Anda di halaman 1dari 102

Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Institut

Hidup Apostolik

KONTEMPLASILAH

Kepada kaum hidup bakti yang berjalan mengikuti


jejak-jejak Sang Keindahan

Menuju Tahun Hidup Bakti


Paus Fransiskus

1
Saudara dan Saudari yang terkasih,
1. Tahun hidup bakti –perjalanan yang indah dan penuh rahmat–
telah mencapai puncaknya, dengan suara para kaum hidup bakti dari
seluruh dunia yang mengekspresikan sukacita panggilan dan kesetiaan
pada identitas mereka dalam Gereja, yang kesaksiaannya terkadang
diberikan dengan kemartiran.
Kedua surat Bersukacitalah dan Selidikilah telah membuka sebuah
jalan perenungan bersama yang serius dan bermakna, serta telah
menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial terhadap hidup
pribadi dan Tarekat. Tepatlah, saat ini, kita meneruskan perenungan
bersama-sama, dengan mengarahkan pandangan pada pusat hidup
pemuridan ini.
Mengarahkan pandangan pada apa yang terdalam dari kehidupan kita,
memperjelas motivasi dari peziarahan kita dalam mencari Allah,
mempertanyakan kembali dimensi kontemplatif di saat ini, untuk dapat
mengenali misteri rahmat yang membentuk, memberi gairah dan
mengubah kita.
Paus Fransiskus memanggil kita dan meminta agar mengarahkan kembali
pandangan hidup kita pada Yesus, namun juga membiarkan diri
dipandang oleh-Nya agar dapat “menyadari kembali bahwa kita adalah
para penjaga harta warisan yang membuat kita menjadi lebih manusiawi
dan membantu kita untuk menjalani kehidupan baru”1. Paus mengundang
kita untuk melatih kembali pandangan dari hati karena “kasih sejati selalu
kontemplatif”2. Baik relasi teologal dari pribadi kaum hidup bakti dengan
Tuhan (confessio Trinitatis), juga persekutuan persaudaraan dengan
mereka yang dipanggil untuk menghayati karisma yang sama (signum
fraternitatis), maupun dengan misi sebagai perwujudan kasih kerahiman
Allah dalam komunitas umat manusia (servitium caritatis), semua itu
berhubungan dengan pencarian wajah Allah yang tidak pernah berakhir,

1
FRANSISKUS, Seruan Ap. Evangelii Gaudium (24 November 2013), 264.
2
Idem., 199.
2
dengan kemampuan mendengarkan dalam ketaatan terhadap Sabda-Nya,
untuk sampai pada kontemplasi Allah yang hidup dan sejati.
Bentuk-bentuk yang berbeda dari hidup bakti –eremit dan perawan,
monastik dan kanonik, konventual dan apostolik, sekuler dan bentuk
persaudaraan baru– memiliki sumber yang sama, yaitu kontemplasi.
Dalam kontemplasilah mereka memulihkan kekuatan dan membangun
kembali semangat. Dalam kontemplasi mereka menemukan misteri yang
mereka hidupi dan kepenuhan untuk menghayati figur injili dari
pembaktian hidup, persekutuan dan misi mereka.
Surat ini –yang merupakan kelanjutan dari Petunjuk Dimensi
kontemplatif dalam hidup religius (1980), Seruan Apostolik post-sinode
Vita Consecrata (1996), Surat Apostolik Novo millennio ineunte (2001),
Petunjuk Bertolak dari Kristus (2002) dan Faciem tuam, Domine,
requiram (2008)– sampai kepada kalian sebagai sebuah undangan
terbuka pada misteri Allah, dasar dari seluruh hidup kita. Sebuah
undangan yang membuka cakrawala yang tidak pernah dicapai dan
dialami secara penuh: yaitu relasi tersembunyi kita dengan Allah yang
hidup, keutamaan hidup dalam Roh, persekutuan kasih dengan Yesus,
pusat hidup serta sumber dari segala inisiatif3 , pengalaman hidup yang
harus dibagikan4. Dalam undangan itu bergemalah kerinduan: “Taruhlah
aku seperti meterai pada hatimu” (Kid. 8:6).
Roh Kudus, satu-satunya yang mengenal dan menggerakkan batin kita,
intimior intimo meo5, mendampingi kita dalam memperjelas,
membangun dan mengubah hidup kita, untuk dapat diterima dan menjadi
kesukaan dari Sang Kehadiran yang hadir, dirindukan dan dicintai,
confession Trinitatis sejati dalam Gereja dan masyarakat manusia.
“Semakin besar iman kita dalam mempercayai-Nya, semakin teguh kita

3
Bdk. KONGREGASI UNTUK TAREKAT HIDUP BAKTI DAN INSTITUT
HIDUP APOSTOLIK, Petunjuk Bertolak dari Kristus. Sebuah komitmen yang
diperbaharui dalam hidup bakti di Milenium Ketiga (19 Mei 2002), 22.
4
Bdk. YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-sinode Vita Consecrata (25
Maret 1996), 16.
5
Bdk. SANTO AGUSTINUS, Pengakuan-Pengakuan III, 6, 11.
3
dalam mengharapkan-Nya, semakin menyala api kerinduan kita, semakin
besar pulalah kemampuan kita untuk menerima Dia”6.
Seruan mistik yang mengenali Sang Kekasih, “Engkau yang terelok di
antara anak-anak manusia” (Mzm. 45:2), sebagai kekuatan cinta yang
memperkaya Gereja dan membangun kembali bagian-bagian yang hilang
dari Sang Keindahan dalam dunia manusia.

6
Idem., Surat 130, 8, 17.
4
Prolog

Kidung Agung 3:2

5
Mendengarkan
2. Siapa mengasihi, dia diliputi oleh dinamisme, mengalami
karakter paska dari eksistensi, menerima resiko keluar dari diri sendiri
untuk mencapai orang lain –tidak hanya dalam ruang eksternal,
melainkan juga dalam batinnya– dan menyadari bahwa ada kebaikan bagi
dirinya sendiri pula dalam menerima dan tinggal bersama orang lain.
Kasih membuat seseorang memiliki pandangan baru terhadap orang lain,
pandangan yang memiliki intimitas khusus, pandangan yang tidak
menganggap orang lain sebagai bagian dari ide-idenya sendiri, tidak
hanya tinggal di permukaan melainkan masuk dalam mikrokosmos dari
perasaannya sendiri, hingga berubah menjadi jantung hatiku (Kid. 3:2),
dia yang aku cari.
Inilah dinamisme yang mengisi Kidung Agung (dalam bahasa Ibrani šȋr
haššȋrȋm), kitab sangat luhur yang dapat didefinisikan sebagai yang
‘kudus dari antara yang kudus’ dari Perjanjian Lama. Ini adalah kitab
pertama dari kelima gulungan (meghillôt) yang bagi orang-orang Ibrani
memiliki relevansi liturgis yang sangat istimewa: dibaca tepat selama
perayaan Paska. Kidung yang agung ini merayakan keindahan dan
kuatnya pesona cinta antara pria dan wanita, yang bertumbuh dalam
batin. Sebuah kisah yang terdiri dari kerinduan, pencarian dan
perjumpaan yang menjadi sebuah eksodus, menjelajahi jalan-jalan dan
lapangan-lapangan (Kid. 3:2), dan yang menyalakan api cinta Allah
dalam dunia. Jika cinta manusiawi ditampilkan dalam kitab itu sebagai
nyala api illahi (Kid. 8:6: šalhebetyâ), nyala api Yāh, itu karena
merupakan jalan yang lebih utama (1 Kor. 12:31), yang pada
kenyataannya manusia sama sekali tidak berguna (1 Kor. 13:2)
tanpanya, dan kasih itulah yang mendekatkan makhluk pada Allahnya.
Kasih adalah gema dan buah dari sifat Allah sendiri. Makhluk ciptaan
yang mengasihi menjadi manusia, namun pada saat yang sama merasakan
pula awal proses dari keillahian karena Allah adalah kasih (1 Yoh.
4:10,16). Makhluk ciptaan yang mengasihi cenderung pada kepenuhan
dan damai, šalom, yang merupakan tujuan dari persekutuan, seperti

6
kedua mempelai dalam Kidung Agung dan šalom ini membawa mereka
memiliki nama: Šelōmōh (pria) dan Šûlammȋt (perempuan).
Kidung Agung telah diinterpretasikan dalam bentuk literal, sebagai
perayaan dari kekuatan kasih manusiawi antara seorang wanita dan
seorang pria, namun juga dalam bentuk alegorik, seperti dalam tradisi
ibrani dan kristiani, untuk berbicara tentang relasi Allah-Israel, Kristus-
Gereja. Kitab ini berlandaskan pada dinamika cinta pasangan suami-istri
–seperti perumpamaan yang membantu kita bergerak ke tempat di mana
bahasa yang digunakan adalah bahasa dari dua orang yang saling jatuh
cinta yang menyembuhkan kesepian, ketertutupan dalam diri sendiri dan
egoisme– yang menunjukkan kepada kita bahwa hidup tidak berjalan
karena adanya perintah atau larangan-larangan maupun peraturan,
melainkan karena keutamaan dari sebuah ekstasi, keterpesonaan,
ketertarikan yang membuat kita berjalan dan membaca sejarah secara
relasional, komunional dan agape.
Manusia dapat menghayati cinta pasangan suami-istri yang
mempengaruhi semua indera dan memberi inspirasi dalam perjalanan,
tidak hanya dalam relasi dengan orang lain, melainkan juga dengan
Allah. Itulah yang terjadi dengan orang yang membaktikan dirinya pada
Allah dalam cakrawala kebijaksanaan dan atmosfer kesuburan nasihat-
nasihat injili, yang menyatakan prioritas relasi dengan Dia. Karena itulah
Kidung Agung adalah sebuah pelita yang menerangi kaum hidup bakti.
Kidung Agung, sebagai nyanyian persatuan mistik, dapat dibaca sebagai
perjalanan hati menuju Allah, seperti peziarahan eksistensial menuju
perjumpaan dengan Allah yang menjadi manusia, yang mencintai seperti
seorang mempelai. Dapat pula dibaca sebagai sebuah simfoni cinta
suami-istri yang memahami kegelisahan dari pencarian seorang kekasih
(dôd), tujuan perjumpaan yang memuaskan hati, mengecap pilihan dan
rasa saling memiliki.
Dalam terang Kidung Agung, hidup bakti tampil sebagai sebuah
panggilan pada kasih yang haus akan Allah yang hidup (Mzm. 42:2;
63:2), yang menyalakan kembali pencarian akan Allah yang tersembunyi

7
di dunia (1 Taw. 16:11; Mzm. 105:4; Yes. 55:6; Am. 5:6; Zef. 2:3) dan
mengenali-Nya dalam wajah para saudara (Mat. 25:40). Di sanalah Allah
menemukan tempat untuk memasang kemah-Nya (Why. 21:3); dalam
doa atau di kedalaman hati di mana Allah menyukainya (Gal. 2:20).
Kaum hidup bakti, baik pria maupun wanita, mendekati Kristus untuk
mendengarkan sabda-Nya yang adalah Roh dan kehidupan (Yoh. 6:63),
dengan menemukan-Nya di tempat-tempat kudus dan juga di jalan-jalan
dan di lapangan-lapangan (Kid. 3:2) dan dengan cinta-Nya mengubah
perjumpaan pribadi pada gairah untuk menjadi perantara dalam dunia.

Hidup bakti, statio orante dalam jantung


sejarah
3. Paus Fransiskus menulis dalam Surat Apostolik untuk para
kaum hidup bakti, “Saya berharap seluruh hidup bakti bertanya pada
dirinya sendiri tentang apa yang diminta Allah dan umat manusia darinya
saat ini. Hanya dengan perhatian terhadap kebutuhan dunia dan dengan
ketaatan pada Roh Kudus, Tahun Hidup Bakti ini dapat menjadi kairòs
yang sejati, sebuah masa penuh rahmat Allah dan masa transformasi”7.
Ini adalah sebuah pertanyaan yang menggema dalam diri kita masing-
masing. Bapa Suci menawarkan jawaban yang pertama: “Mengalami dan
menunjukkan bahwa Allah mampu memenuhi hati kita dan menjadikan
kita bahagia, sehingga kita tidak lagi harus mencari kebahagiaan di
tempat lain”8.
Orang-orang yang rindu akan kepenuhan dan pencari-pencari
kebahagiaan, orang-orang yang penuh gairah dan tidak pernah puas akan
kebahagiaan. Kerinduan inilah yang menyatukan kita.

7
FRANSISKUS, Surat Apostolik Kepada semua kaum hidup bakti, dalam
rangka Tahun hidup bakti (21 November 2014), II, 5.
8
Idem., II, 1.
8
Kita mencari kebahagiaan sejati (bdk. Yoh. 15:11) dalam “suatu waktu,
di mana ketidakpedulian akan Allah sudah menjadi sebuah kebiasaan;
suatu waktu, dimana tindakan mendasar dari manusia yang lebih sadar
akan dirinya sendiri dan akan kebebasannya cenderung akan menyatakan
otonomi absolut dirinya sendiri dengan melepaskan dari segala hukum
yang bersifat adikodrati; suatu waktu di mana ekspresi roh mencapai
puncak irasionalitas dan desolasinya; suatu waktu, akhirnya, yang
ditandai dengan pergolakan dan penurunan yang sampai sekarang tidak
diketahui bahkan dalam agama-agama besar dunia”9.
Itu adalah kata-kata dari Beato Paulus VI yang ditujukan kepada dunia
dalam Sesi Publik Terakhir dari Konsili Vatikan II. Jaman kita ini
bercirikan sentralitas paradigma perubahan, relativitas dan kompleksitas,
lebih dari pada masa-masa setelah pertemuan konsili. Semua berubah
lebih cepat dibandingkan dengan masa lalu dan itu mengakibatkan
hilangnya orientasi serta kegelisahan pada orang-orang yang terpaku
pada kepastian masa lalu dan elemen-elemen yang sudah usang untuk
menginterpretasikan kenyataan. Percepatan ini membuat masa kini
menjadi mudah berubah: saat sekarang adalah tempat berkembangnya
emosi, perjumpaan, pendapat-pendapat yang bersifat antisipatif,
sementara dibutuhkan adanya stabilitas dan titik-titik referensi untuk
menilai dan menghayatinya.
Banyaknya peristiwa, komunikasi dan pengalaman, menjadikan kita sulit
membuat síntesis dan melakukan penegasan rohani, dan oleh karena itu,
banyak orang yang tidak mampu menghayati sebuah pencarian makna
untuk menjadikan masa kini sebagai sebuah tempat untuk belajar
memahami, bersekutu dan berbagi.
Budaya aktual, khususnya budaya barat, yang didominasi dengan sesuatu
yang praktis dan terfokus pada kerja dan produksi, mengakibatkan
kebutuhan bawah sadar akan keheningan, kemampuan mendengarkan
dan nafas kontemplatif. Namun, kedua kecenderungan yang bertolak

9
PAULUS VI, Pidato pada Sesi Publik Terakhir dari Konsili Ekumenis Vatikan
II, Vatikan (7 Desember 1965).
9
belakang itu beresiko menyebabkan kedangkalan yang lebih besar. Baik
aktivisme maupun beberapa cara untuk menghayati kontemplasi, dapat
berarti suatu bentuk pelarian diri dari kenyataan, sebuah pengembaraan
yang neurotis yang melahirkan suatu kehidupan berciri keterburu-buruan
dan sekali pakai buang.
Dalam konteks ini “seringkali dengan cara yang membingungkan,
muncul kebutuhan spiritual yang besar akan hal yang adikodrati, bukti
dari kegelisahan yang ada dalam hati manusia yang tidak terbuka pada
cakrawala transendensi Allah. Sayangnya, Allahlah yang tersingkir dari
cakrawala banyak orang; dan ketika tidak berada dalam ketertutupan dan
penolakan, tema tentang Allah hanya terdapat dalam lingkungan yang
sangat subyektif, tereduksi menjadi sebuah kenyataan yang hanya
bersifat intim dan privat, tersingkir dari kesadaran publik”10.
4. Hidup bakti yang bercirikan pencarian terus menerus akan Allah
serta revisi identitas yang berkesinambungan, setelah kehilangan
kesadaran akan Allah dan kehadiran-Nya dalam sejarah, beresiko untuk
kehilangan identitasnya pula. Ini adalah masa yang penuh dengan, bukan
hanya kekecewaan, pertentangan dan ketidakacuhan, melainkan juga
kehilangan makna. Bagi banyak orang, ini adalah saat-saat yang
membingungkan, sehingga mereka berhenti mencari makna dari segala
hal dalam hidup. Inilah ketenggelaman rohani yang sesungguhnya.
Pada masa inilah Gereja, dan hidup bakti yang ada di dalamnya,
dipanggil untuk memberi kesaksian bahwa “Allah sungguh-sungguh ada,
nyata, hidup, bahwa Allah adalah pribadi yang menyediakan, yang
sungguh baik bagi kita, Dialah Pencipta, kebenaran dan kebahagiaan kita,
sehingga kontemplasi, yang adalah memusatkan pandangan dan hati kita
pada-Nya, menjadi tindakan paling luhur dan paling sempurna dari roh,

10
BENEDIKTUS XVI, Pidato pada Pertemuan Konferensi Episkopal Italia,
Vatikan (24 Mei 2012).
10
tindakan yang hingga saat ini harus menjadi puncak dari segala tindakan
manusia”11.
Inilah tugas yang dipercayakan kepada hidup bakti: bersaksi, di saat ini,
bahwa Allah adalah sukacita. Memusatkan pandangan dan hati kepada-
Nya membuat kita hidup dalam kepenuhan.
Dalam bahasa sehari-hari, istilah kontemplasi digunakan dalam arti
berpikir secara mendalam, memperhatikan sesuatu dengan sungguh-
sungguh hingga memunjulkan kekaguman: pemandangan alam, langit
yang penuh bintang, sebuah lukisan, monumen, pemandangan yang
indah. Pandangan yang menemukan keindahan dan menikmatinya itu,
dapat melihat lebih dari apa yang tampak dan mendorong untuk mencari
siapa pencipta dari keindahan itu (bdk. Keb. 13:1-9; Rm. 1:20).
Kontemplasi adalah sebuah pandangan yang melihat lebih dari apa yang
dilihat mata: seorang ibu yang memandang anaknya saat tertidur
dipelukannya, atau pandangan dua orang kekasih yang hidup bersama
setelah sekian lama dan tetap saling mencintai. Itu adalah pandangan
yang merupakan komunikasi intens, yang mengungkapkan relasi dan
menunjukkan arti seseorang bagi orang lain.
Memang benar bahwa asal kata kontemplasi berasal dari bahasa Yunani
(theorein/theoria); dan yang menunjukkan intuisi dari pikiran yang, dari
banyak hal yang dilihat sampai pada satu saja, sehingga mampu
memahami semua melalui bagian-bagian dan sifat terdalam dari hal-hal
tersebut dalam suatu fenomena; namun masih lebih benar bahwa manusia
injili memiliki animus yang pada hakikatnya bersifat kontemplatif.
Menyadari bahwa dia menerima keberadaannya dari tindakan Allah yang
bebas, dalam keterpesonaannya, manusia menemukan tempat
peristirahatan dari segala kegelisahan hatinya. Kitab Mazmur dipenuhi
dengan sikap syukur dan kekaguman terhadap manusia dan hal-hal yang
ada.

11
PAULUS VI, Pidato pada Sesi Publik Terakhir dari Konsili Ekumenis Vatikan
II, Vatikan (7 Desember 1965).

11
5. Manusia yang dijiwai kitab suci sadar akan inisiatif penuh cinta
dan kebebasan Allah, juga dalam bidang lain: karunia Firman. Inisiatif
Allah membuka dialog kepada makhluk ciptaan-Nya dan
mengikutsertakannya dalam relasi pribadi yang timbal balik, yang
merupakan sebuah perjanjian: Aku untukmu dan engkau untuk-Ku. Hal
itu bukanlah sebuah ‘pemberian’ yang dapat membuatmu menjadi
terbiasa akan hal itu; melainkan sebuah pewahyuan mengejutkan untuk
sekadar ‘menjadi’ sebelumnya, dalam penerimaan dan rasa syukur.
Para Nabi adalah saksi-saksi terpercaya dari sikap ini. Sepuluh kata
yang memeteraikan perjanjian (bdk. Kel. 34:28) diawali dengan
“Dengarlah, hai Israel” (Ul. 6:4). Dosa yang pertama, atau lebih baik
dikatakan, akar dari semua dosa bangsa Israel adalah penolakan terhadap
Firman: seperti yang terjadi pada awal mula, dengan pernyataan tentang
autonomi di hadapan Allah (bdk. Kej. 3:3-6), seperti Musa dan para nabi
menyatakan kepada bangsa Israel tentang penyimpangan mereka dari
perjanjian. “Firman Allah juga, mau tidak mau, mengungkapkan
kemungkinan tragis bahwa kebebasan manusia dapat ditarik dari dialog
perjanjian dengan Allah yang dengannya kita diciptakan. Firman Illahi
juga mengungkapkan dosa yang mengintai dalam hati manusia”12.
Dalam kepenuhan masa, inisiatif Allah ini digenapi: Firman diringkas
hingga menjadi daging dan tinggal di antara kita. Firman itu disingkat
dan menjadi keheningan pada saat Paska. Ciptaan mendapatkan
penebusan dan menjadi ciptaan baru.
Istilah kontemplasi hanya muncul satu kali dalam Perjanjian Baru. Satu-
satunya teks yang menggunakan istilah kontemplasi menunjukkan
pandangan dan hati manusia yang terpusat pada Yesus Kristus yang
disalib, Dia yang telah menyatakan Allah pada manusia (bdk. Yoh. 1:18).
Istilah itu digunakan tepat setelah kematian Yesus melalui seruan serdadu

12
BENEDIKTUS XVI, Seruan Ap. Post-sinodal Verbum Domini (30 September
2010), 26. Teks Kitab Suci yang dikutip antara lain: Ul. 28:1-2,15,45; 31:1; dari
kitab para nabi bdk. Yer. 7:22-28; Yeh. 2:8; 3:10; 6:3; 13:2; hingga yang
terakhir: bdk. Zak. 3:8. Bagi Santo Paulus bdk. Rm. 10:14-18; 1 Tes. 2:13.
12
Romawi yang dari bawah salib menyerukan: “Sungguh, orang ini adalah
orang benar!” (Luk. 23:47). Lukas mencatat: “Dan sesudah seluruh orang
banyak, yang datang berkerumun di situ untuk tontonan itu (dari bahasa
Yunani: theoría; bahasa Latin: spectaculum), melihat apa yang terjadi itu,
pulanglah mereka sambil memukul-mukul diri (Luk. 23:48). Teks dari
Kitab Lukas ini berbicara mengenai kesatuan antara kehidupan interior
dan eksterior, pandangan dan pertobatan. Tindakan melihat dan
memukul-mukul diri menunjukkan persatuan mendalam dari pribadi;
persatuan yang diciptakan secara misterius sebelum Kristus. Istilah teoría
(kontemplasi) menunjukkan “tontonan nyata… Yesus dari Nazaret,
‘Raja orang Yahudi’, yang disalibkan”13
Maka, kontemplasi adalah “memandang Yesus dengan penuh iman”14,
dalam kata-kata sederhana seorang petani dari Ars kepada pastornya
yang saleh, “Aku memandang Dia dan Dia memandangku”15. Dengan
cara yang sama, Santa Teresia dari Yesus menjelaskan, “Demikian juga,
dalam kehidupan ini, dua orang yang memiliki kecerdasan dan sangat
saling mencintai, tampaknya dapat saling memahami tanpa membuat
tanda apa pun, hanya dengan pandangan mereka. Demikian pula
seharusnya, tanpa melihat, kita mampu bertatap muka dengan muka
seperti kedua kekasih, seperti dikatakan Sang Mempelai laki-laki kepada
Mempelai wanita dalam Kidung Agung, apa yang kupercayai, kudengar
telah ada di sini”16.
Jadi, kontemplasi adalah pandangan manusia kepada Allah serta karya
tangan-Nya (bdk. Mzm. 8:4). Dengan kata-katanya, Paulus VI
mengatakan, “usaha untuk memusatkan pandangan dan hati pada-Nya,
[…] serta tindakan roh yang paling berharga dan sempurna”17.

13
G. DOSSETTI, “L’esperienza religiosa. Testimonianza di un monaco”, in
Aa.Vv., L’esperienza religiosa oggi, Vita e Pensiero, Milan 1986, 223.
14
Katekismus Gereja Katolik, no. 2715.
15
Idem.
16
SANTA TERESIA AVILA, Buku Kehidupan, 27, 10.
17
PAULUS VI, Pidato pada Sesi Publik Terakhir dari Konsili Ekumenis Vatikan
II, Vatikan (7 Desember 1965).
13
6. Kaum hidup bakti dipanggil, saat ini mungkin lebih
dibandingkan sebelumnya, untuk menjadi nabi, mistikus dan
kontemplatif, untuk menemukan tanda-tanda kehadiran Allah dalam
kehidupan sehari-hari dan untuk menjadi wakil-wakil yang bijak, yang
memahami pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Allah dan manusia
sepanjang sejarah. Tantangan yang terbesar adalah kemampuan untuk
“tetap ‘memandang’ Allah dengan penglihatan iman di tengah dunia
yang tidak mau tahu menahu tentang kehadiran-Nya”18.
Hidup itu sendiri, sebagaimana adanya, dipanggil untuk menjadi tempat
kontemplasi kita. Pertumbuhan kehidupan batin tidaklah harus
menghasilkan keberadaan antara surga dan dunia, dalam ekstasis dan
cahaya, melainkan kehidupan yang dekat dengan Allah dalam rasa
empati yang tulus terhadap sesama, yang menciptakan dan menyatakan
sebuah keberadaan yang dimurnikan dan diubah dalam dunia.
Dietrich Bonhoeffer menggunakan gambaran cantus firmus19 untuk
menjelaskan bagaimana perjumpaan dengan Allah dapat membuat umat
beriman mengkontemplasikan dunia, sesama manusia dan pekerjaan-
pekerjaannya untuk dikembangkan dengan suatu sikap kontemplatif yang
membuatnya mampu melihat, menghayati dan menikmati kehadiran
misterius Allah Tritunggal dalam segala sesuatu.
Seorang yang kontemplatif, melalui sebuah proses yang panjang, sedikit
demi sedikit menyatukan pekerjaannya bagi Allah serta kepekaan untuk
merasakan kehadiran-Nya, menyadari suara lembut langkah kaki Allah
dalam segala peristiwa hidupnya sehari-hari. Dia menjadi ahli dalam
mendengarkan bunyi angin sepoi-sepoi basa (1 Raj. 19:12) dalam
keseharian di mana Allah hadir.
Dalam Gereja, dimensi kontemplatif dan aktif saling terjalin dan tidak
terpisahkan. Konstitusi Sacrosanctum consilium menggarisbawahi kedua

18
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-Sinode Vita Consecrata (25 Maret
1996), 68.
19
D. BONHOEFFER, Lettera a Renata ed Eberhard Bethge, dalam Opere di
Dietrich Bonhoeffer, v. 8: Resistenza e resa, Queriniana, Brecia 2002, 412.
14
sifat illahi dan manusiawi dari Gereja yang “insani diarahkan dan
diabdikan kepada yang illahi, apa yang kelihatan kepada yang tidak
nampak, apa yang termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan apa yang
ada sekarang kepada kota yang akan datang, yang sedang kita cari”20.
Mari kita kembali pada asal dan dasar hidup kita: relasi dengan Misteri
Allah yang hidup, keunggulan hidup dalam Roh dan persatuan cinta
dengan Yesus, “pusat kehidupan dan sumber semua inisiatif”21, sebuah
pengalaman yang harus dibagikan22.
Sebagai kaum hidup bakti, pentinglah kita mengingat bahwa tidak ada
tindakan gerejani yang produktif secara injili bila kita tidak tinggal
bersatu dengan Kristus yang adalah Pokok Anggur (bdk. Yoh. 15:1-11):
“Tanpa Aku, kalian tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5). Orang
yang tidak tinggal dalam Kristus tidak akan dapat memberikan apa pun
kepada dunia dan tidak akan dapat berbuat apa pun untuk mengubah
bangunan-bangunan dosa. Dia akan bersibuk-sibuk dalam banyak hal
secara sia-sia, mungkin penting, namun bukanlah yang hakiki (bdk. Luk.
10:38-42).
Paus Fransiskus mendorong kita, “Yesus menghendaki pewarta-pewarta
Injil yang mewartakan Kabar Baik bukan hanya dengan kata-kata,
melainkan terlebih dengan hidup yang diubahkan oleh kehadiran Allah.
[...] Pewarta-pewarta Injil yang dipenuhi Roh adalah mereka yang berdoa
dan bekerja. [...] Apa yang dibutuhkan adalah kemampuan memupuk
ruang batin yang dapat memberi makna Kristiani pada komitmen dan
kegiatan. Tanpa saat-saat adorasi yang panjang, saat-saat perjumpaan
dengan sabda dalam suasana doa, saat-saat percakapan tulus dengan
Tuhan, kerja kita dengan mudah menjadi tanpa arti; kita kehilangan

20
KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi Suci
Sacrosanctum Concilium, 2.
21
KONGREGASI UNTUK TAREKAT HIDUP BAKTI DAN INSTITUT
HIDUP APOSTOLIK, Petunjuk Bertolak dari Kristus. Sebuah hidup baru yang
diperbaharui dalam Milenium Ketiga (19 Mei 2002), 22.
22
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-Sinode Vita Consecrata (25 Maret
1996), 16.
15
kekuatan sebagai akibat dari kelelahan dan kesulitan, dan semangat kita
padam. Gereja sungguh-sungguh membutuhkan nafas doa yang
dalam”23.
7. Dalam Gereja, sebagai cantus firmus, para saudara dan saudari
yang kontemplatif secara eksklusif adalah “tanda persatuan eksklusif
Gereja sebagai Mempelai dengan Tuhannya, yang dikasihinya di atas
segala sesuatu”24, namun surat ini tidak ditujukan secara eksklusif untuk
mereka. Kami mengundang kita semua untuk bersama-sama mendalami
dimensi kontemplatif dalam dunia, dasar dari hidup bakti dan sumber dari
kesuburan gerejani yang sejati. Kontemplasi menuntut kaum hidup bakti
untuk melanjutkan dengan metode rohani yang baru.
- Sebuah cara berelasi yang baru dengan Allah, dengan diri mereka
sendiri, dengan orang lain, dengan ciptaan yang memiliki kesamaan
dengan mereka25. Seorang yang kontemplatif mampu mengalahkan
segala rintangan untuk sampai pada Sang Sumber, yaitu Allah. Dia
membuka mata hatinya untuk memperhatikan, menimbang dan
mengkontemplasikan kehadiran Allah dalam diri orang lain, dalam
sejarah dan dalam segala peristiwa.
- Sebuah perjumpaan pribadi dengan Allah, yang melalui Putra-Nya,
telah menjadi daging dan tinggal di antara kita (bdk. Yoh. 1:14),
dan yang saat ini hadir dalam kehidupan setiap orang, dalam
kejadian sehari-hari dan dalam karya ciptaan yang mengagumkan.
Seorang yang kontemplatif tidak melihat hidup sebagai sebuah
rintangan, melainkan sebagai sebuah cermin, yang secara mistik
merefleksikan Sang Cermin26.

23
FRANSISKUS, Seruan Ap. Evangelii Gaudium (24 November 2013), 259;
262.
24
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-Sinode Vita Consecrata (25 Maret
1996), 59.
25
SANTO FRANSISKUS ASISI, Nyanyian Ciptaan, 4.
26
Bdk. SANTA KLARA, Surat kepada Beata Agnes dari Praga, dalam FF,
2901-2903.
16
- Sebuah pengalaman iman yang melebihi pernyataan credo secara
oral, yang membuahkan kebenaran yang terkandung di dalam credo
tersebut menjadi sebuah tindakan hidup. Seorang yang kontemplatif,
pertama-tama adalah seorang percaya, beriman, dengan iman yang
mendarahdaging dan bukan iman hasil laboratorium27.
- Sebuah relasi persahabatan28, seperti ditegaskan oleh seorang
wanita pujangga Gereja, Santa Teresia; rahmat dari Allah yang
bersedia menyatakan diri-Nya secara mendalam kepada manusia,
sebagai seorang sahabat (bdk. Yoh. 15:15). Kontemplasi adalah
menikmati persahabatan Allah dalam intimitas seorang Sahabat.
- Sebuah pencarian yang sungguh-sungguh terhadap Allah yang
hidup dengan kita dan yang membuat diri-Nya dicari di jalan yang
dilalui manusia. Seorang kontemplatif sadar bahwa ‘Ego’-nyalah
yang memberi jarak antara dirinya sendiri dengan Allah dan karena
itu, dia tidak pernah berhenti untuk menjadi pengemis Cinta dan
terus mencari-Nya di tempat yang tepat, yaitu di kedalaman hatinya
sendiri, Bait Suci tempat Allah tinggal.
- Sebuah keterbukaan terhadap pewahyuan dan persatuan dengan
Allah yang hidup melalui Kristus dalam Roh Kudus29. Seorang
kontemplatif membiarkan dirinya dipenuhi oleh pewahyuan dan
diubah oleh persekutuan. Dia menjadi gambaran terang Allah
Tritunggal dan membuat “daya tarik keindahan Illahi”30 dapat
dirasakan dalam kerapuhan manusiawi. Hal ini terjadi dalam
keheningan hidup, di mana kata-kata tidak bersuara sehingga
pandangan menjadi lebih fasih, penuh dengan kekaguman dari mata

27
A. SPADARO, Wawancara dengan Paus Fransiskus, dalam La Civiltà
Cattolica, 164 (2013/III), 474.
28
SANTA TERESIA AVILA, Buku kehidupan 8, 5.
29
KONGREGASI UNTUK TAREKAT HIDUP BAKTI DAN INSTITUT
HIDUP APOSTOLIK, Dimensi Kontemplatif dalam Hidup Religius (Pleno,
Maret 1980), 1.
30
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-Sinode Vita Consecrata (25 Maret
1996), 20.
17
seorang anak, keterbukaan tangan seorang ibu yang tidak
mengharapkan balasan apa pun, dan langkah kaki dari pembawa
kabar baik (Yes. 52:7), yang mampu menyeberangi segala batasan
demi mewartakan Injil.
Oleh karena itu, kontemplasi tidak berusaha mencari pembenaran diri,
sebaliknya, hidup yang biasa-biasa saja itu cenderung repetitif dan
membosankan. “Allah saja cukup” bagi mereka yang mengikuti Yesus:
ini adalah sebuah aspek yang intrinsik dan harus ada dalam pilihan ini.
Dengan “hati yang mengarah pada Tuhan”31, orang-orang kontemplatif
dan para mistikus dalam sejarah kristianisme telah berjalan. Bagi kaum
hidup bakti, mengikuti Kristus selalu berarti pemuridan yang
kontemplatif, dan kontemplasi adalah kepenuhan dari sebuah
pemuridan yang mengubahkan.

31
Bdk. SANTO FRANSISKUS ASISI, Regula non bolata, 19.25.
18
Mencari

Kidung Agung 3:3

19
Mendengarkan
8. Mencintai berarti siap untuk mempelajari hal-hal keseharian dari
pencarian. Dinamika pencarian menunjukkan bahwa tidak ada seorang
pun yang dapat melakukan segalanya sendirian, melainkan dituntut untuk
melakukan eksodus menuju kedalaman dirinya sendiri karena tertarik
pada “tanah kudus orang lain”32, untuk bersama-sama masuk dalam
persekutuan. Bagaimana pun juga, orang lain selalu adalah misteri, orang
lain selalu berada di luar keinginan dan harapan kita, orang lain selalu
tidak dapat ditebak. Orang lain tidak butuh untuk dimiliki, melainkan
untuk dijaga, dirawat dan diberi ruang untuk bertumbuh. Jika hal itu
berlaku untuk manusia maka terlebih lagi bagi Allah, misteri kebebasan
yang tertinggi, relasi dinamis, kepenuhan yang keagungannya mengatasi
kita, kelemahan yang ditunjukkan-Nya lewat salib, melucuti kita.
Cinta dalam Kidung Agung adalah sebuah perjuangan dan usaha, seperti
juga kematian (māwet, Kid. 8:6), yang tidak diidealkan namun
dinyanyikan dengan kesadaran akan krisis dan kehilangannya. Pencarian
memerlukan usaha; menuntut untuk bangkit dan pergi, berani
menghadapi kegelapan ‘malam’. Malam berarti ketidakhadiran,
keterpisahan atau berada jauh dari dia yang adalah sang jantung hati.
Kamar pengantin, dari tempat peristirahatan dan tempat bermimpi,
berubah menjadi penjara dan tempat mimpi buruk serta penyiksaan (bdk.
Kid. 3:1). Sang mempelai wanita, pemeran utama dari kisah itu, mencari
Sang Kekasih, namun Dia tidak ditemukannya. Sang mempelai wanita
harus mencari Dia, pergi ke jalan-jalan dan lapangan-lapangan (Kid.
3:2). Dengan mengambil resiko menghadapi bahaya malam dan terbakar
oleh kerinduan untuk memeluk-Nya lagi, sang mempelai wanita
menanyakan pertanyaan abadi ini, “Apakah kamu melihat jantung
hatiku?” (Kid. 3:3). Itu adalah pertanyaan yang diserukan di tengah
malam dan yang memunculkan kembali kenangan penuh sukacita akan

32
Bdk. FRANSISKUS, Seruan Ap. Evangelii Gaudium (24 November 2013),
169.
20
Sang Kekasih dan sekaligus membuka kembali luka karena kerinduan
yang tak tertahankan. Sang mempelai wanita tidak dapat tidur.
Malam menjadi pemeran utama dalam bab ke-5 kitab Kidung Agung.
Sang mempelai wanita sedang berada di kamar tidurnya, Sang Kekasih
mengetuk pintu ingin masuk, namun sang mempelai wanita ragu-ragu
hingga Dia pun pergi (bdk. Kid. 5:2-6). Apakah ini dinamika dari
ketidakpahaman di antara keduanya ataukah ini mimpi yang berubah
menjadi mimpi buruk yang mengerikan? Teks tersebut berlanjut dengan
sebuah pencarian baru yang penuh dengan pencobaan-pencobaan besar,
tidak hanya yang bersifat emosional dan afektif, melainkan juga fisik,
sebab sang mempelai wanita, yang menghadapi malam sendirian,
dipukuli oleh para penjaga hingga terluka dan terlepas selendangnya
(bdk. Kid. 5:7). Cinta sanggup menghadapi tantangan malam dan bahaya-
bahayanya; cinta lebih besar dari ketakutan apa pun: “Di dalam kasih
tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” (1
Yoh. 4:18).
Seorang wanita yang mencari mempelai prianya menggunakan
pengetahuan pribadi dan perasaannya, menyelidiki kedalaman batin dan
menemukan sakit Asmara (bdk. Kid. 2:5; 5:8). Penyakit ini
menunjukkan ‘perubahan’ dari kondisinya; kenyataan bahwa,
perjumpaan dengan Sang Kekasih membuatnya merasa diubahkan. Dia
menjadi ‘lain’, dibaktikan, dikuduskan untuk Dia yang memenuhi hari-
harinya dengan makna. Demikianlah kondisi seseorang yang mencintai
dengan sungguh.
Hanya mereka yang mampu mengalahkan kesusahan-kesusahan malam
dengan tetap menyebut nama Sang Kekasih di bibir mereka dan wajah-
Nya di hati mereka, tetap akan memiliki ikatan yang menyatukan, dapat
menikmati sukacita segar dari perjumpaan. Api cinta yang telah
menghanguskan relasi antara dua orang kekasih, yang setelah mampu
melewati kesunyian musim dingin, membuat mereka dapat menikmati
musim semi persekutuan, bersaing di antara mereka sendiri untuk
merayakan keindahan pasangannya dengan gairah dan puisi.

21
Belajar dari pencarian sehari-hari
9. “Faciem tuan, Domine, requiram”: Wajah-Mu kucari, ya Tuhan
(Mzm. 27:8). Peziarah yang mencari makna hidup yang terbungkus
dalam suatu misteri agung, manusia mencari wajah Tuhan, kadang secara
tidak sadar. “Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya Tuhan” (Mzm.
25:4). Tidak ada seorang pun yang dapat mencabut, dari hati manusia,
kerinduan untuk mencari Dia yang dikatakan oleh Kitab Suci sebagai
“Dialah segala-galanya” (Sir. 43:27), maupun untuk mencari jalan-jalan
yang dapat mencapai-Nya33.
Pencarian akan Allah menyatukan semua manusia yang berkehendak
baik; bahkan juga mereka yang menyatakan diri sebagai bukan orang
beriman mengakui kerinduan hati mereka yang terdalam ini.
Paus Fransiskus, dalam berbagai peristiwa, menunjukkan dimensi
kontemplasi dalam hidup sebagai suatu jalan untuk masuk dalam misteri.
“Kontemplasi adalah pikiran, hati, lutut”34, “kemampuan untuk
mengagumi; kemampuan untuk mendengarkan keheningan atau
merasakan bisikan lembut dari keheningan yang nyaring di mana Allah
berbicara. Masuk ke dalam misteri menuntut kita untuk tidak memiliki
rasa takut akan kenyataan yang ada: tidak menutup diri, tidak lari dari
mereka yang tidak memahami kita, tidak menutup mata terhadap
masalah-masalah, tidak menyangkal mereka, tidak menghapus
pertanyaan-pertanyaan yang ada […], mampu melampaui rasa aman dan
kenyamanan pribadi, melampaui kemalasan dan sikap tidak peduli yang
menghambat kita dan bergerak mencari kebenaran, keindahan dan cinta,
mencari sebuah makna yang mendalam, sebuah jawaban yang tidak

33
KONGREGASI UNTUK TAREKAT HIDUP BAKTI DAN INSTITUT
HIDUP APOSTOLIK, Petunjuk Pelayanan Kepemimpinan dan Ketaatan,
Faciem tuam, Domine, requiram (11 Mei 2008), 1.
34
FRANSISKUS, Inteligencia, corazón, contemplación, Meditación matutina
en la Capilla de la Domus Sanctae Marthae, Selasa, 22 Oktober 2013, dalam
L’Osservatore Romano, ed. Harian, Tahun CLIII, n. 243, Roma (23 Oktober
2013).
22
dangkal terhadap pertanyaan-pertanyaan yang membawa iman, kesetiaan
dan logika kita pada krisis”35.
10. Masuk dalam misteri berarti sebuah pencarian yang tiada henti,
kebutuhan untuk pergi lebih jauh, tidak menutup mata, terus berusaha
mencari jawaban. Manusia terus menerus berada dalam tegangan untuk
mencapai sesuatu yang lebih baik, selalu berjalan, selalu dalam
pencarian. Ada resiko untuk hidup dalam suatu ketidakpuasan abadi,
terbius oleh emosi-emosi yang kuat. Oleh karena itu, jaman kita ini
adalah masa ketenggelaman dan kejatuhan, ketidakpedulian dan
kehilangan rasa. Haruslah kita sadar akan kesulitan yang menghanguskan
ini, untuk menangkap suara-suara dari jiwa post-modern dan, dalam
kelemahan ini, membangkitkan kembali kehidupan dari akar-akar untuk
mengingatkan kembali dunia akan vitalitas profetis Injil.
Hidup kristiani “menuntut dan berarti sebuah transisi, sebuah pemurnian,
sebuah peningkatan moral dan spiritual manusia; yang menuntut sebuah
pencarian dan usaha pada sebuah kondisi personal, sebuah perasaan
batin, pikiran, mental dan bentuk tindakan, dan sebuah rahmat serta
anugerah yang melimpah yang kita sebut kesempurnaan”36. Berlomba-
lomba menuju peluang, konsumsi, tren, kekuasaan dan keinginan, serta
didorong oleh tekanan untuk mengulang, kita sedang dalam pencarian
suatu kesenangan baru yang tidak pernah terpuaskan. Di jaman kita ini,
pria dan wanita yang berada dalam pencarian yang bersifat ilusif, sampai
pada keputusasaan yang menutup dan mematikan kehidupan.
Santo Agustinus membuat sebuah diagnosis dengan memperhatikan
bahwa manusia tidak selalu mampu untuk membuat lompatan dalam
kualitas yang membuat mereka terdorong untuk pergi lebih jauh, mencari
sesuatu yang tak terhingga, karena “mereka telah sampai pada apa yang
mereka bisa dan merasa puas dengan hal itu, dan karena mereka tidak

35
FRANSISKUS, Homili pada Malam Paska, Basilik Vatikan (Sabtu, 4 April
2015).
36
PAULUS VI, Audisi umum, Vatikan (7 Agustus 1968).
23
terlalu menginginkan apa yang tidak dapat mereka capai. Keinginan
mereka tidak cukup kuat untuk membuat mereka mampu”37.
Dalam kekaburan kesadaran, afeksi dan pengalaman saat ini, yang
kadang tragis, muncullah kebutuhan akan sebuah perjumpaan yang
memerdekakan dengan Allah yang hidup. Kita dipanggil untuk menjadi
teman berbincang tentang keluhan-keluhan tak terucapkan (bdk. Rm.
8:26-27), yang bijak dan sabar, agar kenangan akan Allah, yang masih
menyala di bawah abu ketidakpedulian, tidaklah padam.
Di hadapan kemunculan kembali pencarian akan sesuatu yang sakral ini,
kita tidak dapat mengabaikan, juga di antara mereka yang mengaku
sebagai orang kristen, bagaimana iman tampaknya diredusi menjadi
sebuah tanda kurung religius yang sama sekali tidak menyentuh masalah
sehari-hari. Iman menjadi sesuatu yang aneh dalam kehidupan. Allah
tidaklah dibutuhkan, Dia tidak ada dalam kehidupan, tidak seperti
keluarga, sahabat, afeksi-afeksi yang kuat, pekerjaan, rumah maupun
ekonomi. Pemisahan ini dapat pula mempengaruhi hidup bakti kita.

Peziarah yang jauh mendalam

11. “Jika manusia pada dasarnya adalah seorang pengembara, itu


berarti bahwa dia sedang berjalan menuju suatu tujuan yang, dapat kita
katakan pada saat yang bersamaan dan sekaligus bertolak belakang, telah
dilihatnya namun juga tidak dilihatnya. Namun, kegelisahan adalah
bagaikan musim semi batin dari kemajuannya”38, bahkan juga dalam saat
kekuatan teknis dan cita-citanya, “manusia tidak dapat kehilangan
dorongan ini tanpa menjadi statis maupun mati”39.
Hanya Allahlah yang membangunkan kembali kegelisahan dan kekuatan
pertanyaan, ketidaktiduran yang mengawali keterjagaan dan

37
SANTO AGUSTINUS, Pengakuan-pengakuan, X, XXIII, 33.
38
G. MARCEL, Homo viator. Prolégom
39
Idem.
24
keberangkatan. Dialah kekuatan yang mendorong dalam perjalanan.
Kegelisahan akan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam
kehidupanlah yang mendorong manusia berziarah untuk melakukan
pencarian.
Di akar kehidupan orang kristiani ada gerakan iman yang mendasar:
berjalan menuju Yesus Kristus untuk memusatkan hidup pada-Nya.
Sebuah eksodus yang menuju pada pengenalan akan Allah dan cinta-Nya.
Sebuah peziarahan yang mengenal tujuannya. Sebuah perubahan radikal
dari pengembara menjadi peziarah. Menjadi seorang peziarah menuntut
pergerakan, aktivitas, komitmen. Jalan yang dilalui memiliki bahaya,
ketidakpastian, keterbukaan pada hal-hal baru, pada perjumpaan-
perjumpaan yang tidak pernah diharapkan sebelumnya.
Seorang peziarah bukanlah sekedar seseorang yang pindah dari satu
tempat ke tempat lain. Dia tidak menyuruh orang lain untuk mencari
tujuannya. Dia tahu ke mana dia ingin pergi dan memiliki gambaran
tentang garis akhir itu di hatinya, dan yang terus mendorongnya tekun
berusaha untuk mencapainya. Dia tidak hanya melakukan pencarian
kebahagiaan yang sia-sia, melainkan memiliki pandangan akan titik yang
jelas, atau paling tidak, memiliki gambaran akan titik yang dikenalnya
dan itulah yang mendorongnya untuk berangkat. Tujuan dari setiap orang
kristen adalah Allah.

Quaerere Deum

12. Santo Benediktus, seorang yang tekun mencari Allah,


menegaskan bahwa seorang biarawan bukanlah seseorang yang telah
menemukan Allah; justru dia adalah seseorang yang mencari Allah
sepanjang hidupnya. Dalam Regula-nya, dia meminta untuk memeriksa
motivasi-motivasi dari biarawan muda untuk memastikan, pertama-tama
“si revera Deum quaerit”, apakah dia sungguh-sungguh mencari Allah40.

40
SANTO BENEDIKTUS, Regula, 58, 7.
25
Inilah paradigma hidup dari setiap orang kristen dan setiap kaum hidup
bakti: pencarian akan Allah, si revera Deum quaerit. Kata quaerere
dalam bahasa Latin tidak hanya berarti mencari, pergi mencari sesuatu,
bekerja keras untuk mendapatkan, melainkan juga meminta, mengajukan
pertanyaan. Manusia adalah makhluk yang terus bertanya dan mencari.
Oleh karena itu, mencari Allah berarti tidak pernah lelah bertanya, seperti
refrain dalam Kidung Agung: “Apakah kamu melihat jantung hatiku?”
(Kid. 3:3).
Benang merah dari kisah Kidung Agung direpresentasikan oleh tema
pencarian penuh cinta, tentang nikmatnya kehadiran setelah suatu
ketiadaan yang pahit, tentang fajar yang merekah setelah malam, tentang
melupakan diri sendiri sebagai syarat untuk menemukan Yang Lain.
Tingkatan pertama dari cinta adalah cinta yang mencari. Perasaan rindu
dan pencarian adalah pengalaman yang mendominasi, dan yang lain
dipersepsikan sebagai Kehadiran yang tidak hadir. Kedua kekasih dalam
Kidung Agung adalah pengemis-pengemis cinta, pencari yang dengan
penuh gairah mencari kekasihnya.
Mencari Allah berarti berelasi dengan Dia dan membiarkan Kehadiran-
Nya mempertanyakan kemanusiaan kita. Itu berarti tidak pernah merasa
puas dengan apa yang telah kita capai. Allah terus bertanya kepada kita,
“Di manakah engkau?” (Kej. 3:9). Pencarian akan Allah menuntut
kerendahan hati: kebenaran kita terungkap oleh terang Roh Kudus dan
dalam kebenaran itulah kita melihat bahwa Allahlah yang terlebih dahulu
mencari kita.
“Hati yang gelisah adalah hati yang tidak puas dengan apa pun yang
bukan Allah, sehingga dia menjadi hati yang mencintai. […] Namun
bukan kita saja, manusia, yang memiliki kegelisahan dalam relasi kita
dengan Allah. Hati Allah pun gelisah dalam relasinya dengan kita. Allah
menanti kita. Dia mencari kita. Dia pun tidak pernah beristirahat sampai
Dia menemukan kita. Allah terus mencari kita, mencari orang-orang yang
bersedia memiliki kegelisahan yang sama, kegelisahan yang adalah
gairah terhadap kita, orang-orang yang memiliki pencarian tersebut

26
dalam hatinya, dan juga yang membiarkan hatinya disentuh oleh
pencarian Allah terhadap kita”41.
Alasan pencarian kita membawa kita pada Sang Cinta yang telah mencari
dan menyentuh kita terlebih dahulu, sementara mengenali meterainya.
Bisa saja terjadi, penolakan untuk mencari membuat suara yang
memanggil pada realisasi dalam diri kita menjadi diam. Bisa saja kita
berhenti menikmati keindahan yang membutakan kita dan merasa puas
dengan roti yang mengenyangkan untuk satu hari saja, mengulangi
pilihan awal dari si anak hilang (bdk. Luk. 15:11-32).
Bisa saja cakrawala menjadi lebih sempit ketika hati tidak lagi
menantikan Dia yang datang. Namun Allah selalu hadir hingga
keagungan Cinta ditegakkan dalam hidup kita. Dinamika Kidung Agung
terulang kembali, sebuah pencarian, sebab kita tidak boleh berpikir
bahwa Allah ditemukan sekali untuk selamanya.

Pencarian di malam hari


13. “Di atas ranjangku, pada malam hari, kucari jantung hatiku.
Kucari, tetapi tak kutemui dia” (Kid. 3:1). Kitab Kidung Agung
membungkus kita dalam sebuah relasi cinta impian sementara juga
memperlihatkan penderitaan yang dialami terus menerus oleh jiwa yang
jatuh cinta. Cinta, pengalaman yang mengubahkan dan bukan sekedar
sebuah perjumpaan yang fana dan singkat, mengundang untuk
menghidupi kemungkinan ketidakhadiran sang kekasih dan kadang
keterasingan, keretakan dan perpisahan. Dari pengalaman-pengalaman
itulah lahir penantian dan pencarian yang timbal balik. Teriakan jiwa
yang tidak pernah merasa puas. Kitab Kidung Agung menghadapkan kita
pada krisis dan konfrontasi, saat dimana kita mengenali dan menerima
satu sama lain setelah gairah dan nyala api cinta mula-mula. Inilah

41
BENEDIKTUS XVI, Homili pada Hari Raya Penampakan Tuhan, Basilik
Vatikan (6 Januari 2012).
27
saatnya untuk mencintai dengan cara yang berbeda. Jarak menjadi
pencarian, sementara kerinduan yang menusuk dan menyakitkan menjadi
makanan yang memberi nutrisi pada cinta.

Hasrat

14. Cinta kepada Allah haruslah mempertahankan dinamika hasrat


ini. Allah tidak kelihatan, Dia selalu ada di balik segalanya, pencarian
kita akan Dia tidak akan pernah terpuaskan, dan kehadiran-Nya sulit
dipahami. “Allah adalah Dia yang mencari kita dan, pada saat yang
bersamaan, membuat diri-Nya dicari. Dialah yang menyatakan diri-Nya
sendiri dan, pada saat yang bersamaan pula, menyembunyikan diri-Nya.
Kata-kata Mazmur ini ditujukan kepada-Nya: “Wajah-Mu kucari, ya
Tuhan” (Mzm. 27:8) dan juga banyak kata-kata lainnya dalam Kitab
Suci, seperti yang dikatakan sang mempelai dalam Kidung Agung, “Di
atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku. Kucari, tetapi tak
kutemui dia. Aku hendak bangun dan berkeliling di kota; di jalan-jalan
dan di lapangan-lapangan kucari dia, jantung hatiku. Kucari, tetapi tak
kutemui dia” (Kid. 3:1-2). […] Terdorong oleh kata-kata Kidung Agung,
kucari tetapi tak kutemui dia, kita menghadapi masalah ateisme, atau
ketidakpedulian akan Allah. Tidak ada seorang pun dari kita yang jauh
dari pengalaman itu: dalam diri kita ada potensi ateis yang meneriakkan
dan membisikkan kesulitan-kesulitannya setiap hari agar dipercayai”42.
“Si comprehendis, non est Deus”43, tulis Santo Agustinus, yang berarti
“jika kamu merasa telah memahami Allah, Dia bukanlah Allah lagi”.
Kategori pencarian ini mempertahankan jarak antara ciptaan yang
mencari dengan Sang Pencipta; jarak yang hakiki karena Dia yang dicari
bukanlah sekedar obyek, melainkan Dia juga adalah subyek, subyek

42
C.M. MARTINI, La tentazione dell’ateismo, dalam Il Corriere della Sera, 16
November 2007.
43
SANTO AGUSTINUS, Khotbah, 52, 16.
28
sejati, Dialah yang terlebih dulu mencari, memanggil dan mencintai kita,
memberikan hasrat dalam hati kita.
Pencarian kita adalah sebuah undangan kepada manusia sebab kita
mengenali ‘potensi ateis’ dalam diri kita sendiri. Kita mengalami sulitnya
percaya dan kita melihat kesombongan diri kita, rasa terlalu percaya diri
yang memisahkan kita dari orang lain dan mengutuk diri kita sendiri.
Pencarian akan Allah menuntut keberanian untuk melewati malam dan
bahwa tinggal beberapa saat di sana, menuntut pula penemuan kekuatan
dan keindahan dari berjalan dalam iman, yang tahu bagaimana harus
berhenti di hadapan gelapnya keragu-raguan, tanpa berusaha untuk
menawarkan jalan keluar. Iman yang dihayati akan membuat kita mampu
untuk menjadi saksi Kristus dengan bahasa yang sederhana dari
seseorang yang telah belajar tinggal dalam gelapnya malam dan bertahan
dalam keragu-raguannya.
Dalam Kitab Suci, malam adalah saat yang penuh kesulitan, pertarungan
batin dan peperangan rohani, seperti yang kita lihat terjadi pada Yakub
di Yabok (Kej. 32:25). Malam ketika Nikodemus datang untuk bertemu
dengan Yesus, karena takut akan orang-orang Yahudi (Yoh. 3:2); di
malam hari pulalah Yudas tersesat dan menjauhkan diri dari persahabatan
dengan Kristus saat meninggalkan senakel (Yoh. 13:30); masih di malam
hari pula ketika Maria Magdalena pergi ke makam (Yoh. 21:1) dan
mampu mengenali suara Sang Kekasih (bdk. Yoh. 20:11-18), seperti juga
mempelai dalam Kidung Agung (Kid. 2:8). Malam hari adalah saat hasrat
berubah menjadi perjumpaan, hanya bila malam itu dilewati tanpa
meragukan cinta.
Iman yang sederhana menerima bahwa melewati kegelapan untuk sampai
pada fajar tidak berarti langkah untuk memiliki, melainkan membawa
dari keterpecahan yang menceraiberaikan semangat pada rasa persatuan
dengan Dia yang Bangkit. Hidup menemukan arah dan makna ketika,
hari demi hari, doa demi doa, pencobaan demi pencobaan, namun
peziarahan terus berlanjut menuju jawaban yang definitif, menuju tempat
peristirahatan, menuju kedamaian jiwa.

29
Di jaman ini yang ditandai dengan kerapuhan dan ketidakpastian,
kontemplasi dapat dicari tanpa berakar pada iman, sekedar menjadi
sebuah ‘tempat’ yang hening untuk beristirahat, sebagai ruang emosional,
sebagai kepuasan atas pencarian diri sendiri yang tidak membutuhkan
usaha dan penderitaan. Sabda Allah dan bacaan tentang pengalaman
kekudusan, dimana terdapat penderitaan atau ‘malam kegelapan iman’,
membantu kita untuk menghindari godaan untuk lari dari kesulitan
perjalanan manusia ini.

Harapan

15. Malam, simbol kegelapan dan kemuraman, berubah menjadi


gambaran penuh harapan dalam konteks spiritualitas biblis dan kristiani.
Kisah Roh Kudus dipersiapkan di waktu malam untuk menyambut hari
yang terang dan cerah, hari yang penuh cahaya. Perjalanan melalui
malam yang gelap ditandai dengan meleburnya segala bentuk kepastian
untuk lahir kembali pada sebuah kehidupan yang baru. Terang masuk
melalui kegelapan, masuk ke dalam hidup melalui kematian, hari baru
melalui malam: semua itu menuntut hidup yang penuh iman. Saat dimana
seseorang diundang untuk tinggal dalam Allah. Ini adalah saat dimana
semua orang yang sedang berada dalam pencarian, diundang untuk
melampaui pengalaman dicintai Allah kepada pengalaman mencintai
Allah, hanya karena Dia adalah Allah.
Santo Yohanes dari Salib mengartikan gelapnya malam sebagai
pengalaman rohani dimana kegelisahan, kekeringan, ketidakmampuan,
penderitaan dan keputusasaan muncul saling bergantian, sebuah langkah
menuju persekutuan sempurna dalam cinta dengan Allah. Teresia dari
Avila, pada saat reformasi Carmelit, mengatakan, “Aku bisa saja
melupakan semua kebaikan yang telah diberikan Tuhan padaku: tidak
ada yang tinggal padaku, hanya suatu kumpulan rahmat belaka, dan itu
menjadi sebuah kesusahan besar bagiku. Karena ketika seseorang berada
dalam kondisi seperti ini, pikiran menjadi bodoh; sehingga aku tersiksa
oleh berbagai keraguan dan kecurigaan. Aku berpikir mungkin aku tidak
30
memahami hal itu dengan baik, itu hanya merupakan kesenangan bagiku,
dan itu cukup untuk membuatku merasa telah membohongi diri sendiri,
tanpa menipu orang-orang baik juga. Aku merasa sangat buruk dan mulai
berpikir bahwa segala kejahatan dan ajaran sesat dapat muncul akibat
dosa-dosaku”44.
Dari Santo Fransiskus Asisi sampai Teresia dari Lisieux, dari Gemma
Galgani sampai Bernadette Soubirous, dari Padre Pio sampai Bunda
Teresa dari Kalkuta, ada banyak sekali contoh orang-orang yang
menuliskan: “Ada banyak perlawanan dalam jiwaku, sebuah kerinduan
yang mendalam akan Allah, sangat mendalam hingga menyakitkan,
sebuah penderitaan tiada henti dan, bersama dengan itu pula, perasaan
tidak dicintai oleh Allah, ditolak, kosong, tanpa iman, tanpa kasih, tanpa
gairah. Surga tidak bermakna apa-apa bagiku, hanya sebuah tempat
kosong”45. Kegelapan menjadi tempat cinta yang terselubung dalam
pencobaan, kesetiaan dan kedekatan yang misterius dengan Allah.
O vere beata nox, “Oh malam yang sungguh terberkati”46, kita nyanyikan
pada malam Paska dan kebangkitan serta kemenangan kita wartakan.
Malam menjadi saat dan jalan menuju kedatangan Sang Mempelai yang
menyatukan diri dan mengubah jiwa dalam pelukan, seperti yang
dikidungkan oleh seorang mistikus Spanyol:
“Oh, malam yang membimbingku,
oh, malam yang lebih indah dari fajar,
Oh, malam yang menyatukan
Kekasih dengan yang dicintainya,
sehingga orang yang dicintai itu menjadi Sang Kekasih!”47

44
SANTA TERESIA AVILA, Buku Kehidupanku, 30, 8.
45
TERESIA dari KALKUTA, Vieni e sii la mia luce, ed. Por B. Kolodiejchuk,
BUR, Milan 2009.
46
MISSALE ROMANUM, Pregón Pascual.
47
SANTO YOHANES dari SALIB, Puisi-puisi, V, Malam yang Gelap, 5-8.
31
Tinggal

Kidung Agung 2:16

32
Mendengarkan
16. Kitab Kidung Agung terjalin di antara benang-benang pencarian
dan pertemuan, dalam sebuah epifani perjumpaan yang harmonis dan
kontemplasi timbal balik seturut gaya bahasa yang sangat tepat: yaitu
pujian. Pujian melibatkan seluruh tubuh, tempat relasi yang bisa disentuh
oleh orang lain: bibir, gigi, dagu, leher, rambut, buah dada, tangan, kaki
dan terutama, mata, yang mengirimkan sinyal cinta yang disamakan
dengan burung merpati (bdk. Kid. 1:15; 4:1; 5:12).
Kepenuhan hati diekspresikan melalui bahasa tubuh penuh kenangan.
Pujian akan keindahan tubuh diinterpretasikan melalui bahasa alam
semesta, pembangunan, seni tukang emas serta emosi-emosi. Semesta
mengalir ke dalam tubuh orang yang dicintai dan yang dicintai itu muncul
dalam alam semesta. Sabda diserahkan demi cinta dan muncullah istilah
persekutuan. Cinta berubah menjadi sebuah dialog terus menerus dan
hidup, yang menangkap dan merayakan keindahan. Sang Mempelai Pria
memuji, “Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau!”
(Kid. 1:15), sang mempelai wanita pun membalas, “Lihatlah, tampan
engkau, kekasihku, sungguh menarik!” (Kid. 1:16). Kata-kata ‘penuh
berkat’ menyembuhkan luka yang disebabkan oleh gaya bahasa yang
menyalahkan, yang ada dalam relasi antara pria dengan wanita sejak dosa
asal (bdk. Kej. 3:12). Kata-kata ‘penuh berkat’ memungkinkan terjadinya
perbaikan kesetaraan, hubungan timbal balik dan rasa memiliki satu sama
lain: “Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia” (Kid. 2:16),
“Aku kepunyaan kekasihku, dan kepunyaanku kekasihku” (Kid. 6:3),
“Kepunyaan kekasihku aku, kepadaku gairahnya tertuju” (Kid. 7:10),
ekspresi yang sepertinya mengakhiri semua hukuman illahi yang
diekspresikan dalam Kitab Kejadian (3:16). Gaya bahasa pujian dan
kekaguman membuat relasi menjadi harmonis yang dicerminkan pula
dalam ciptaan, yang tidak pernah terpisahkan dari manusia (bdk. Rm.
8:22-23) dan bersinkronisasi dengan hati manusia dalam perayaan
melalui kegembiraan warna, aroma, rasa dan suara.

33
Bahkan Allah pun, yang terpesona dengan ciptaan-Nya, melimpahi
mereka dengan pujian, seperti yang dilakukan-Nya pada Maria ketika
memberinya salam sebagai yang penuh rahmat (kecharitoméne, Luk.
1:28). Dengan kata-kata itu, Allah menyatakan Maria sebagai ciptaan
keindahan-Nya yang paling agung. Sang ciptaan menanggapi dengan
Magnificat (Luk. 1:46-55), memasukkan kekuatan kuasa pujian yang ada
dalam hati manusia dan memasukkannya dalam relasi yang sejati dengan
Allah.
17. Kata-kata yang meluap untuk membebaskan cinta cenderung
mencari sebuah perjumpaan, menuju pada persatuan. Kitab Kidung
Agung dibuka dengan kerinduan yang merekah di bibir mempelai wanita,
pemeran utama dari kisah itu, yang mengekspresikan kerinduannya untuk
bersatu dengan kekasih yang tidak hadir secara fisik, namun ada dalam
hati dan pikirannya. Bibir kekasihnya menjadi sebuah sumber air, di
mana dia dapat menimba dan memuaskan dahaga serta
menyembuhkannya dari kemabukan. “Kiranya ia mencium aku dengan
kecupan! Karena cintamu lebih nikmat dari pada anggur, harum bau
minyakmu, bagaikan minyak yang tercurah namamu, oleh sebab itu
gadis-gadis cinta kepadamu!” (Kid. 1:2-3). Kecupan dan kelembutan dari
Sang Mempelai Pria (dodȋm) dikatakan sebagai tôbȋm, ‘nikmat’, yang
menunjukkan kualitas dasar dari segala yang berasal dari tangan Sang
Pencipta (bdk. Kej. 1:4) seturut rencana illahi yang mula-mula. Semua
itu mewakili liturgi persatuan, suatu jalan untuk bersatu dengan nafas
dari orang yang dikasihi, sebuah sukacita yang melebihi kemabukan yang
disebabkan oleh anggur: “Kami akan bersorak-sorai dan bergembira
karena engkau, kami akan memuji cintamu lebih dari pada anggur!” (Kid.
1:4). Sang kekasih tidak dapat menolak hal itu, karena cinta adalah
sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Cinta sangatlah kuat
sehingga hanya dapat dibandingkan dengan kematian (Kid. 8:6), sebuah
kenyataan yang memiliki kekuatan luar biasa untuk menarik dan
membawa kedua orang kekasih menjadi satu.
18. Hal itu berlaku baik untuk kehidupan pernikahan (bdk. Kej. 2:24)
maupun hidup bakti yang menghayati dinamisme cinta pernikahan yang

34
serupa dengan dengan Kristus (bdk. 1 Kor. 6:17). Hal itu justru
berkembang dalam cinta, cinta yang mempesona, yang membanjiri
kerinduan yang terdalam, menyentuh sumber-sumbernya dan
membangkitkan kerinduan akan rahmat. Dia muncul sebagai jawaban
atas cinta kepada Allah yang telah memberikan seluruh diri-Nya, sebuah
jawaban atas cinta tanpa pamrih yang bukan untuk dimiliki namun untuk
diterima. “Cinta itu memeluk pribadi secara keseluruhan, jiwa dan
tubuhnya, baik pria maupun wanita, dalam pribadi ‘Aku’ yang unik dan
tidak ada duanya itu. Dia yang telah memberikan diri-Nya untuk selama-
lamanya kepada Bapa, yang ‘memberikan’ diri-Nya dalam misteri
Penebusan, sekarang telah memanggil manusia agar menyerahkan diri
seutuhnya untuk suatu pelayanan khusus dalam karya Penebusan, melalui
keanggotaannya pada sebuah Komunitas persaudaraan yang diakui dan
disahkan oleh Gereja”48.
Dinamika pencarian dan persatuan ini adalah sebuah perjalanan yang
tidak pernah selesai sepenuhnya. Terbukalah jalan pertobatan dan doa
kepada orang yang dipanggil. Dalam pertobatan serta doa itu, kerinduan
menjadi transformasi dan pengudusan, pujian serta membentuk dalam
Keindahan yang menarik dan menyatukan. “Pengenalan yang hangat dan
mendalam tentang Kristus, semakin hari semakin didapatkan dan
didalami berkat hidup doa pribadi, komuniter dan liturgis”49.

Dalam bentuk Keindahan


19. Pewahyuan Allah adalah pusat dari identitas kristiani sebagai
kekuatan yang memberi bentuk sebagai ciptaan dan keselamatan,
keagungan yang tampak pada Kristus dalam Paska-Nya, sekali untuk
selamanya. Melalui Sang Putra dan hidup-Nya di dunia, Allah memenuhi
kehendak-Nya untuk membuat diri-Nya dikenal dan agar ciptaan

48
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Redemptionis donum (25 Maret 1984),
3.
49
Idem., 8.
35
membuka diri pada hal itu: “Kita dimeteraikan oleh Roh Allah. Sebab
jika kita mati dalam Kristus untuk lahir kembali, kita pun dimeteraikan
dengan Roh, agar kita dapat memiliki kecemerlangan, citra dan karunia-
Nya”50. Dalam kata-kata tersebut bergema sebuah pengakuan timbal
balik yang ada sejak awal mula. Allah menyatakan kepuasannya terhadap
manusia: “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh
amat baik” (Kej. 1:31). Allah menghubungkan ciptaan dengan diri-Nya
dengan cinta yang, ketika dikenali, membuatnya kembali pada
keindahannya: “Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik
engkau” (Kid. 1:15), cinta yang absolut dan tidak terpadamkan:
“Kepunyaan kekasihku aku, kepadaku gairahnya tertuju” (Kid. 7:10).
Marilah kita fokuskan pandangan kontemplatif kita pada misteri
Keindahan, dari mana kita dibentuk. Tradisi barat dan timur
memperkenalkan dan memberi pencerahan kepada kita tentang bentuk
kristiani dari Keindahan, keunikannya dan maknanya yang terpenting.
“Betapa terlambat aku mencintai-Mu, oh Keindahan yang lama namun
sekaligus baru!”51. Dalam teriakan penuh penyesalan itu kita menemukan
seruan dari jiwa semua manusia di sepanjang sejarah. Dalam kalimat itu
bergema kebutuhan akan jalan yang menghantar pada keindahan menuju
Keindahan, dari yang hampir terakhir hingga kepada Sang Akhir, untuk
menemukan kembali makna dan sifat asli dari segala yang ada, dasar dari
setiap keindahan: “Engkau yang ada di dalamku dan aku mencari-Mu di
luar diriku. Dalam keburukanku, aku melemparkan diri ke atas
keindahan-keindahan ciptaan-Mu […]. Engkau memanggil dan berseru,
Engkau meluruhkan ketulianku; Engkau bercahaya dan bersinar terang
hingga melenyapkan kebutaanku”52.
20. Gereja, dalam nyanyian Ibadat Sore masa Prapaska dan Pekan
Suci memasukkan Mazmur 45 dengan dua teks Kitab Suci yang tampak
berlawanan satu sama lain. Kunci pemahaman yang pertama mengakui
Kristus sebagai yang terelok di antara manusia: “Engkau yang terelok di

50
SANTO AMBROSIUS, El Espíritu Santo, I, 6, 79.
51
SANTO AGUSTINUS, Pengakuan-pengakuan, X, 27, 38.
52
Idem.
36
antara anak-anak manusia, kemurahan tercurah pada bibirmu” (Mzm.
45). Kemurahan yang tercurah pada bibir menunjukkan keindahan batin
dari sabda, kemuliaan dari Kebenaran, keindahan Allah yang menarik
dan menyebabkan luka Cinta. Dalam Gereja, Mempelai Wanita, kita
berjalan menuju Cinta yang telah memeteraikan bentuk-Nya dalam kita.
Kita hidup dalam keindahan, bukan sebagai sebuah nostalgia yang statis,
melainkan sebagai referensi pertama pada kebenaran yang diam dalam
diri kita: “Allahmu akan menjadi keagunganmu” (Yes. 60:19, bdk. Keb.
8:2).
Teks yang kedua dari Kitab Suci mengundang kita untuk membaca
Mazmur yang sama dengan kunci pemahaman yang berbeda,
bertitiktolak dari Yesaya: “Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada
sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita
menginginkannya” (Yes. 53:2). Bagaimana kedua hal itu dapat
disatukan? Dia yang paling elok di antara manusia itu tidak tampan,
sehingga kita tidak ingin memandang-Nya. Pilatus menunjukkan Dia
kepada orang banyak dengan berkata, “Ecce homo” (Yoh. 19:5), untuk
membangkitkan rasa kasihan kepada Manusia yang hancur karena
pukulan. Manusia tanpa rupa.
21. “Yesus yang buruk rupa dan hancur? Yesus yang tampan dan
terelok di antara manusia? Ya, demikianlah yang disuarakan oleh dua
trompet yang berbunyi dengan cara yang berbeda, namun dengan Roh
yang sama, yang berhembus di dalamnya. Trompet yang pertama berkata,
“Parasnya tampan, terelok di antara anak-anak manusia” dan yang kedua,
bersama Yesaya berkata, “Kami telah melihatnya, Dia tidak rupawan dan
tidak menarik untuk dilihat…” Jangan menolak untuk merasakan
keduanya, sebaliknya, cobalah untuk mendengarkan dan memahami
keduanya”53. Santo Agustinus menulis kontraposisi, bukan kontradiksi,
dengan menunjukkan kemegahan dari Keindahan yang sejati, yaitu
Kebenaran itu sendiri. Siapa yang percaya pada Allah, yang telah
menyatakan diri-Nya sebagai cinta hingga akhir (Yoh. 13:1) dalam tubuh
Kristus yang sengsara dan disalibkan, tahu bahwa keindahan adalah

53
SANTO AGUSTINUS, Comentario a la primera carta de Juan, 9, 9.
37
kebenaran dan kebenaran adalah keindahan. Dalam Kristus yang
sengsara pun, dia tahu bahwa keindahan dari kebenaran termasuk
penghinaan dan penderitaan hingga misteri kematian yang gelap. Dalam
penerimaan akan penderitaan, tanpa mengabaikannya, perjumpaan kita
dengan Sang Keindahan dapat terwujud, pula ketika mata yang lemah
atau hati yang terluka oleh kejahatan, tidak mampu menangkap
rencananya yang misterius dan subur54.
22. Sabda yang menjadi Manusialah yang merupakan jalan menuju
Keindahan yang terakhir: “Hidup yang sejati telah turun ke dunia dan
mengambil kematian kita, menghancurkannya dengan hidup-Nya yang
berlimpah dan dengan suara yang bagaikan gemuruh, menyerukan agar
kita berbalik kepada-Nya”55. Yesus, Sang Sabda, membawa kita pada
sumber keindahan, menarik kita dengan tali cinta: “Lihatlah, tampan
engkau, kekasihku, sungguh menarik!” (Kid. 1:16). Keindahan bergerak
untuk kedua kalinya: cinta adalah jawabannya. Dia bergerak untuk
mempertemukan, untuk mengkontemplasikan. Dia memulai sebuah
perjalanan, tertarik oleh cinta yang datang kepada kita sebagai karunia
dan kebebasan.
Kita diundang pada perjalanan menuju perjumpaan dan untuk tinggal di
dalamnya, sementara Allah mengembalikan kita pada identitas kita yang
indah: “Ketika Musa turun dari gunung Sinai… tidaklah ia tahu, bahwa
kulit mukanya bercahaya oleh karena ia telah berbicara dengan TUHAN”
(Kel. 34:29).
23. Tradisi mistik menjaga keindahan dalam keheningan, dan tidak
ingin merusaknya. Perjalanan keindahan menuntut pengasingan diri, laku
tapa, ketegangan yang menyatukan. Inilah yang menghubungkan teologi
monastik dengan perkembangan mistik yang besar antara akhir Abad
Pertengahan dengan awal Abad Modern.

54
Bdk. J. RATZINGER, La corrispondenza del cuore nell’incontro con la
Bellezza, dalam 30 Giorni, n. 9, September 2002, 87.
55
SANTO AGUSTINUS, Pengakuan-pengakuan, IV, 12, 19.
38
Kita teringat pada suara Dionisius, sang pseudo Areopagite: “Juga dalam
Allah, eros bersifat statis, sehingga tidak memungkinkan seorang kekasih
memiliki dirinya sendiri, melainkan hanya menjadi milik kekasihnya…
Karena itu, Santo Paulus, setelah dimenangkan seutuhnya oleh eros illahi
dan setelah masuk ke dalam kekuatan statisnya, berseru dengan bibir
yang penuh inspirasi, “Bukan aku yang hidup, melainkan Kristus yang
hidup di dalamku”. Dia berbicara sebagai seorang kekasih sejati, seperti
seseorang yang, menurut perkataannya sendiri, telah keluar dari dirinya
sendiri untuk masuk dalam Allah dan tidak lagi hidup dengan hidupnya
sendiri, melainkan dengan hidup Sang Kekasih, sebagai kehidupan yang
sangat berharga”56. Keillahian dimulai di dunia, sang ciptaan diubah dan
kerajaan Allah diawali: kemegahan Allah dalam bentuk gerejani ordo
amoris bernyala-nyala dalam diri manusia sebagai eksistensi dan cara
hidup yang baru. “Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging,
adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan
menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal. 2:20).
24. Keindahan bersifat statis. Dia hanya dapat dicapai oleh mereka
yang menyangkal diri, menerima melakukan perjalanan batin yang,
secara paradoks, membawa mereka keluar dari dirinya sendiri karena
terdorong oleh cinta. “Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia”
(Kid. 2:16); “Aku kepunyaan kekasihku, dan kepunyaanku kekasihku”
(Kid. 6:3). Pengalaman yang menghubungkan kita dengan Tuhan,
pengalaman yang yang dirindukan dan dicari, menjadi ruang teologi di
mana jiwa mengenali dirinya sendiri dan menemukan tempat tinggalnya:
“Allahku, Aku memandang-Mu di dalam surga jiwaku dan aku
menenggelamkan diri dalam-Mu”57. Dalam lembah itu, di mana
segalanya menjadi satu dan damai, misterius dan hening, hiduplah Allah,
Pribadi Lain yang tidak berkata-kata: “Allah, asal dari segala keindahan
dan tanpa-Nya, tidak ada sesuatu pun yang indah”58.

56
DIONISIUS AREOPAGITE, De divinis nominibus 4, 13.
57
B. ELIAS de S. CLEMENTE, Escritos, OCD, Roma 2006, 431.
58
Bdk. ACARDO de S. VICTOR, De unitate Dei et pluralitate creaturarum, 1,
6.
39
Santa Maria Magdalena de Pazzi berkata tentang pengalaman mistik di
mana dia menemukan Kemuliaan Allah serta mahkluk yang ada dalam
Dia, “Jiwa bersatu dengan Sabda pasus et gloriosus, memahami kesatuan
dari yang manusiawi ke dalam yang illahi, terserap dalam kehidupan
Tritunggal demi cinta”59.

Keindahan yang melukai

25. Keindahan memanggil pada ekstasi, sementara tindakan cinta


yang berasal dari keindahan itu, membuka peluang kesadaran akan
perjalanan dan akan kerapuhan dalam diri kita.
Keindahan menyentuh pribadi manusia, melukainya dan justru dengan
cara ini memberinya sayap agar dia dapat terbang tinggi dengan
kerinduan kuat yang diinginkan oleh manusia lebih dari apa pun:
“Manusia-manusia itu telah dijamah oleh Roh Kudus. Dia sendirilah
yang memberikan dalam mata mereka, kilatan cahaya keindahan-Nya.
Lebarnya luka menunjukkan mata panah yang digunakan. Intensitas
kerinduannya memampukan manusia untuk mengetahui siapa yang telah
meluncurkan panahnya”60. Demikianlah Nicolas Cabasilas menjelaskan
Keindahan yang melukai, dengan melihat di dalamnya, baik kehadiran
Kristus maupun vulnus (luka) yang berteriak dalam diri kita sebagai
kerinduan akan kepenuhan. Luka yang mendorong kita pada tujuan akhir
dan misi. Paus Fransiskus mengingatkan kita, “Siapa ingin mewartakan
Sabda, pertama-tama haruslah siap digerakkan oleh Sabda itu dan
menghayatinya dalam kehidupan nyata […]; dia harus menerima untuk

59
S. MARIA MAGDALENA de PAZZI, I colloqui, bagian kedua, dalam Tutte
le opere, v. 3, CIL, Florencia 1963, 226.
60
N. CABASILAS, La vita in Cristo, Città Nuova, Roma 1994, dalam J.
RATZINGER, La corrispondenza del cuore nell’incontro con la Bellezza, dalam
30 Giorni, n. 9, September 2002, 89.
40
terluka karena Sabda itu, seperti Sabda itu juga akan melukai orang-orang
lain”61.
26. Dalam perjalanan yang menghantarkan kita pada Putera, kita
diundang untuk menyadari kemungkinan rusaknya gambaran awal yang
ada dalam diri kita, serta panggilan untuk lahir kembali dari tempat yang
mahatinggi. Kesadaran tersebut haruslah hidup dalam keseharian kita,
dengan menerima resiko pandangan penuh tuntutan yang tidak puas
dengan sebuah pandangan yang sempit, melainkan menuntut untuk
melihat dan menunjukkan keindahan dalam bentuk kristiani. Kita diminta
untuk memiliki pandangan tersebut, menjadikannya lebih sederhana,
lebih murni, lebih merasuk. Pencarian sehari-hari bertujuan untuk tetap
tinggal dalam perjumpaan, untuk mengenali kebiasaan-kebiasaan yang
dapat memalsukannya, kemalasan yang dapat membuatnya menjadi tuli:
“Aku tidur, tetapi hatiku bangun. Dengarlah, kekasihku mengetuk.
"Bukalah pintu, dinda, manisku…” (Kid. 5:2).
Terang Roh datang untuk menyentuh kita dengan berbagai cara dan
kunjungan-Nya membuka satu luka pada kita, membuat kita berada
dalam keadaan yang bersifat sementara. Dia mendorong kita untuk
menjadikan kebutuhan dan cara Sang Kekasih menjadi kebutuhan dan
cara kita. Dia menggoncangkan rasa nyaman kita. Tidaklah mudah
tinggal di antara puing-puing yang telah dihancurkan oleh rahmat. Kita,
kaum hidup bakti, kadang menemukan salep, yang menyembuhkan luka
akibat rahmat, dalam aktivitas misioner. Kita melihat langkah-langkah
yang harus kita ambil, namun kita takut. "Bajuku telah kutanggalkan,
apakah aku akan mengenakannya lagi? Kakiku telah kubasuh, apakah
aku akan mengotorkannya pula?" (Kid. 5:3). Pentinglah merasakan luka
itu dan hidup dalam pertobatan.
27. Roh membawa kita pada keadaan pertobatan (metanoeìn =
shub); yang mengubah kita seutuhnya. Istilah metanoeìn
menggarisbawahi perubahan arah kita dan menunjukkan bahwa di dalam
diri kita terdapat noùs, yaitu dasar rohani, hati yang terdalam. Tinggal

61
FRANSISKUS, Seruan Ap. Evangelii Gaudium (24 November 2013), 149.
41
dalam sikap tobat adalah sebuah sikap kontemplatif, kejutan yang
diperbaharui setiap hari dan tidak mengenal akhir dalam Yesus Kristus.
Apabila kita asing terhadap pertobatan, maka kita pun asing terhadap
cinta. Sebagai kaum hidup bakti, kita diundang untuk memiliki
kerendahan hati dalam mengakui bahwa, dengan kekuatan sendiri, kita
tidak dapat tinggal dalam pertobatan. Hal itu bukanlah buah dari intensi-
intensi yang baik, melainkan merupakan langkah pertama dari cinta:
“Dengarlah! Kekasihku!” (Kid. 2:8).
Bisa saja terjadi, ketika kita tenggelam dalam arus aksi, kita berhenti
untuk memohon (Rat. 5:21; Yer. 31:18) dan mendengarkan suara yang
memanggil kita: “Bangunlah manisku, jelitaku, marilah!” (Kid. 2:10).
Pandangan-padangan kita yang menjadi referensi –pikiran, jam doa,
keputusan-keputusan, tindakan– tidak lagi mampu menanti, merasakan
rindu, tidak juga mampu mendengarkan. Referensi-referensi serta
kebutuhan-kebutuhan baru, yang tidak mengarah kepada Kristus,
mengambil alih dalam diri kita. Kisah anak-anak Zebedeus dalam Injil
Matius menjadi gambarannya (Mat. 20:17-28). Kisah itu menunjukkan
dua orang murid yang ingin terus dekat dengan Yesus namun diselubungi
oleh bayangan ketidaktulusan. Seperti kita, mereka mengikuti Sang
Guru, namun hati mereka keras. Dengan proses yang lambat, mungkin
juga tanpa disadari, hati mereka mengering, tidak mampu lagi melihat
secara bijaksana, menjadi pasif dan layu, kehilangan pandangan
kontemplatifnya. Itu bukanlah kekerasan hati dari seorang ateis, itulah
kekerasan hati dari para rasul, kadang, seperti dikatakan oleh Markus,
diketahui oleh Yesus: “Belum jugakah kamu faham dan mengerti? Telah
degilkah hatimu? Kamu mempunyai mata, tidakkah kamu melihat dan
kamu mempunyai telinga, tidakkah kamu mendengar?” (Mrk. 8:17-18).
Kita pun, yang mengikuti Yesus seturut Injil, dapat berada dalam keadaan
kekeringan hati. Kelihatannya setia, namun dalam diri kita muncul
kepentingan-kepentingan, pemikiran-pemikiran dan penilaian-penilaian
yang duniawi. Kontemplasi menjadi padam dan keindahan tertutup
kegelapan.

42
28. Paus Fransiskus terus menerus menyatakan penolakannya
terhadap sikap hidup yang, beliau sebutkan sebagai, bersifat duniawi:
“Melepaskan diri dari segala bentuk keduniawian rohani, yang adalah
godaan bagi kita semua, melepaskan diri dari segala tindakan yang bukan
untuk Allah dan bukan dari Allah… melepaskan diri dari ketenangan
yang dibawa oleh struktur-struktur, yang kelihatannya perlu dan penting
namun yang tidak boleh memadamkan satu-satunya kekuatan sejati
dalam diri kita, yaitu yang berasal dari Allah. Dialah kekuatan kita.
Melepaskan diri dari segala sesuatu yang tidak hakiki, sebab patokannya
adalah Kristus”62. Dalam Evangelii gaudium beliau mengatakan,
“Keduniawian rohani, yang bersembunyi di balik penampilan kesalehan
dan bahkan kasih pada Gereja mencari bukan kemuliaan Allah,
melainkan kemuliaan manusia dan kesejahteraan pribadi. Hal inilah yang
dikecam Allah pada diri orang-orang Farisi: “Bagaimanakah kamu dapat
percaya, kamu yang menerima hormat seorang dari yang lain dan yang
tidak mencari hormat yang datang dari Allah yang Esa?” (Yoh. 5:44).
Keduniawian ini adalah cara halus untuk mencari “kepentingannya
sendiri, bukan kepentingan Kristus Yesus” (Flp. 2:21)”63.
29. Kita tidak dapat maju dalam perjalanan rohani tanpa keterbukaan
pada karya Roh Allah melalui askesis dan, secara khusus, melalui
peperangan rohani. “Tuhan mengatakan bahwa jalan menuju
kesempurnaan itu sempit. Hal ini untuk membuat kita paham bahwa,
untuk melalui jalan menuju kesempurnaan, jiwa tidak hanya harus
melewati pintu yang sempit dengan mengosongkan diri dari segala yang
sensitif, melainkan juga harus mengecilkan dirinya sendiri, melepaskan
dan meninggalkan segala sesuatu yang bukan berasal dari Roh […].
Sebab kita harus mencari dan mencapai Allah saja dan hanya Allahlah
yang harus menjadi obyek dari pencarian dan pencapaian kita”64. Oleh
karena itu, perlulah kita membuka pintu dan pergi keluar, mencari sampai

62
FRANSISKUS, Pidato dalam pertemuan dengan kaum miskin yang dibantu
oleh Caritas, Asisi (4 Oktober 2013).
63
FRANSISKUS, Seruan Ap. Evangelii gaudium (24 November 2013), 93; bdk.
93-97.
64
SANTO YOHANES dari SALIB, Subid al Monte Carmelo, 2, 7, 3.
43
menemukan, tanpa takut akan siksaan dan pukulan: “Kucari dia, tetapi
tak kutemui, kupanggil, tetapi tak disahutnya…; dipukulinya aku,
dilukainya, selendangku dirampas oleh penjaga-penjaga tembok” (Kid.
5:6-7).
Panggilan itu terus bergema: “Memang panggilan mereka yang
ditakdiskan untuk pertama-tama mencari Kerajaan Allah terutama seruan
untuk bertobat sepenuhnya dan mengingkari diri, supaya dapat hidup
seutuhnya bagi Tuhan, sehingga Allah menjadi semua dalam segalanya.
Para anggota pria maupun wanita hidup bakti –dipanggil untuk
memandang dan memberi kesaksian akan wajah Kristus yang mengalami
transfigurasi– juga dipanggil untuk hidup dalam keadaan
‘transfigurasi’”65. Hati mengenali luka dan merasakannya, sementara
Roh, di lubuk hati terdalam, membuka kita pada doa yang kontemplatif.

Keindahan yang mencari

30. Doa berada di antara kelemahan kita dengan Roh, memancar dari
kedalaman kemanusiaan kita –kerinduan, pencarian, tindakan, jalan–
sebagai luka yang disebabkan oleh rahmat. Seperti sumber air hidup yang
menghanyutkan, mendorong, menggali, memancar (bdk. Yoh. 4:10),
membuat berkembang. Doa adalah sebuah kelahiran batin: kita menjadi
sadar akan hidup yang ada dalam diri kita, yang bertunas dan bertumbuh
dalam keheningan. Bagi para mistikus, berdoa berarti merasakan realitas
kita yang terdalam, titik dimana kita dapat mencapai Allah, dimana Allah
menjamah sementara Dia menciptakan kita kembali: sebuah tempat
perjumpaan yang suci. Tempat hidup baru: “Karena lihatlah, musim
dingin telah lewat… Di ladang telah nampak bunga-bunga… Pohon ara
mulai berbuah, dan bunga pohon anggur semerbak baunya” (Kid. 2:11a,
12a, 13a). Untuk pergi ke tempat itu kita harus didorong oleh kehendak
dan kesetiaan dari orang yang mencintai: “Ceriterakanlah kepadaku,

65
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-sinode Vita consecrate (25 Maret
1996), 35.
44
jantung hatiku, di mana kakanda menggembalakan domba, di mana
kakanda membiarkan domba-domba berbaring pada petang hari. Karena
mengapa aku akan jadi serupa pengembara dekat kawanan-kawanan
domba teman-temanmu?” (Kid. 1:7). Dalam lukisan Penciptaan –yang
dapat kita kagumi di Kapel Sistina– Michael Angelo Buonarroti
membuat kita memandang jari Bapa yang bersentuhan dengan jari Adam,
yang memunculkan misteri. Persatuan yang telah diawali itu tidak akan
pernah berakhir.
31. Doa yang kontemplatif adalah meterai dari Sang Kekasih: rahmat
bagi kita. Sikap yang dibutuhkan hanyalah penantian seperti seruan.
Bahasa biblis dan bahasa yang gunakan oleh para Bapa Gereja
menggunakan kata kerja hypoméneín dan kata bendanya hypomoné,
artinya berada di bawah, meringkuk dan tetap teguh, menantikan
terjadinya sesuatu pada diri kita. Seruan permohonan bantuan: “Dari
jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN!” (Mzm. 130:1)
berani menyatakan keputusasaanku di hadapan wajah Allah, kerinduanku
untuk memandang wajah-Nya. Para biarawan mulai menggunakan nama
Yesus dalam permohonan: “Yesus, tolong aku! Yesus, selamatkan aku!
Yesus, kasihanilah!”. Jiwa mendirikan tenda dan tinggal dalam Nama itu.
Dia tinggal dalam cinta. Dia berkontemplasi.
32. Doa membawa kita kembali ke pusat keberadaan kita,
menyerahkan kita kembali kepada Yesus sementara menyembuhkan diri
sendiri, memulihkan persatuan: “Sang Guru Agung berada di lubuk jiwa
kita seperti Dia berada di buritan kapal Petrus… Mungkin tampaknya Dia
tidur, namun Dia selalu ada di sana; siap sedia menyelamatkan kita, siap
sedia mendengarkan permohonan kita”66.
Santo Yohanes dari Salib bermadah, “Apa lagi yang kau inginkan, oh
jiwaku! Apa lagi yang kau cari di luar dirimu, jika di dalammu terdapat
kekayaan, kenikmatan, kepuasan, kepenuhan dan kemuliaan, yang adalah
Kekasihmu, yang dirindukan dan dicari oleh jiwamu? Bersukalah dan

66
BEATO CARLOS DE FOUCAULD, Opere spirituali, Ed. San Paolo, Roma
1997, 144.
45
bergembiralah dalam hatimu bersama Dia, sebab Dia sungguh dekat
padamu. Inginkanlah Dia di sana, sembahlah Dia di sana. Jangan kejar
Dia di luar dirimu, sebab kamu hanya akan kehilangan arah dan lelah
karenanya dan kamu tidak akan menemukan atau pun menikmati-Nya
dengan lebih pasti maupun lebih cepat maupun lebih dekat dibandingkan
dengan di dalam dirimu sendiri”67. Tradisi Bizantin menggunakan sebuah
ekspresi figuratif: pikiran (noûs) turun ke hati. Akal meninggalkan
perenungannya dan bersatu dengan hati yang memohon. “Taruhlah aku
seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta
kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya
adalah nyala api, seperti nyala api Tuhan!” (Kid. 8:6). Seluruh
keberadaan diri masuk dalam hidup Allah, disembuhkan, disatukan
dalam karya Roh: Cinta memulihkan keindahan. Kontemplasi menjadi
luka Sang Kekasih yang menciptakan kita kembali, kehadiran yang
tinggal dalam diri kita:
“Oh, api cinta yang hidup,
yang melukai jiwaku dengan lembut
di pusatnya yang terdalam!
Engkau tidak lagi dihindari,
jika engkau mau, akhirilah;
robeklah tirai dari perjumpaan yang manis ini!”68

Dalam menjalankan kebenaran


33. Filsafat kuno yang diambil dari Thomas menegaskan bahwa
keindahan adalah ‘kemegahan kebenaran’ dan ‘hiasan serta tindakan
makhluk’, lebih dari itu, keindahan adalah manifestasi dari kenyataan
hidup yang kita miliki dalam diri: kebenaran. Misteri makhluk hadir
dalam kesadaran kita sebagai keindahan yang melahirkan kekaguman,
keajaiban yang tidak dapat dipahami, melainkan melampaui kemampuan

67
SANTO YOHANES dari SALIB, Cántico espiritual B, bait I, 8.
68
Idem., Llama viva de amor B, Prólogo, 4.
46
kita untuk memahaminya. Bukan karena aspek kuantitatif dari alam
semesta, melainkan karena kualitasnya; bukan yang meluas melampaui
waktu dan ruang, melainkan maknanya yang sejati, sumber dan akhir dari
makhluk itu; dengan kata lain, yang tidak terlukiskan69. Itulah hidup yang
bercahaya, tampil dan meluap meski ditutupi tirai yang menyembunyikan
dan menjaganya. Untuk dapat merasakan apa yang tidak terlukiskan itu
dan menangkap hakikatnya, hati kita haruslah tinggal dalam misteri dan,
pada saat yang bersamaan, tinggal dalam waktu secara kontemplatif.
Kita menyebut hidup kita ini sebagai ‘yang dibaktikan’ dan bertanya pada
diri sendiri apakah kata sifat itu belum kehilangan cahaya dari misteri
yang tinggal dan menyatakan dirinya setiap hari. Memang hidup bakti
kita ini adalah sebuah gaya hidup, cara menjalani hidup di dunia; dan
yang memiliki tugas, baik heuristic (menemukan, menyingkapkan,
membuat kelihatan) maupun hermeneutic (mengartikan, menjelaskan,
membuat dapat dipahami).

Kekudusan yang merangkul

34. Tradisi Kristen menyadari akan keistimewaannya –gaya dan


bentuknya– dan menemukan dalam dirinya sendiri kemampuan untuk
menerima segala situasi yang disebabkan oleh sejarah dan budaya dengan
kecerdasan iman yang dimilikinya. Persatuan antara misi Kristus dengan
hidup-Nya, terwujud dalam cara dan bentuk hidup orang Kristen
sepanjang sejarah.
Mari kita kontemplasikan cara Kristus yang mengekspresikan kapasitas
unik Yesus untuk tinggal dalam Bapa dan dalam kasih Roh, sementara
belajar dari setiap individu dan situasi yang ada (bdk. Mrk. 1:40; 5:30;
7:27-29). Sikap ini bukanlah tanda kelemahan melainkan kekuasaan,
kekuatan dan kekudusan. Dia menjadi bercahaya karena doa, pikiran,
kata-kata serta tindakan di dalam diri-Nya menjadi satu dan

69
Bdk. A. J. HESCHEL, L’uomo alla ricerca di Dio, Ed. Qiqajon, Comunidad
de Bose 1995.
47
menunjukkan kesederhanaan serta keutuhan diri-Nya. Kilau-Nya sebagai
Sang Putera dari Bapa tidaklah menyilaukan, melainkan mendekati kita
secara lembut atau memberi jarak demi kebaikan semua dan masing-
masing orang. Dia memberikan ruang kebebasan di sekeliling-Nya
dengan kehadiran dan kedekatan yang penuh kebaikan. Dalam
perjumpaan seperti ini, orang-orang ditempatkan pada kondisi untuk
mampu menemukan identitas mereka yang terdalam. Mereka mengenali
kebenaran mereka sendiri, misteri keputraan dalam Allah.
Cara Kristus ini menunjukkan bahwa Dia memperhatikan dengan mata
cinta Allah. Mereka yang telah menemukan Yesus, dapat melanjutkan
perjalanan karena mereka telah menemukan apa yang paling penting bagi
hidup mereka, sehingga dapat mengenalinya. Manusia Yesus dari
Nazaret adalah manifestasi dari Allah dan dalam Dia “berdiam secara
jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan” (Kol. 2:9). Kaum hidup bakti
dipanggil untuk mengikuti Manusia Yesus dari Nazaret ini dalam hidup
pribadi serta komunitas mereka, yang bersifat manusiawi dan
dimanusiakan.
Kristus “mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan
keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan
beribadah di dalam dunia sekarang ini” (Tit. 2:12). Dengan cara ini,
kemanusiaan kita, yang dimurnikan dan dihidupkan oleh kebutuhan akan
kontemplasi, dibebaskan setiap hari dari kepalsuan agar menjadi tempat
yang lebih manusiawi dan kudus, yang memiliki gema serta kisah hidup
Yesus, meski dengan keterbatasan dan kefanaannya. Marilah kita
mempelajari gaya yang disebut oleh Didaché sebagai ‘gaya Tuhan’70.
Paus Fransiskus mengingatkan kita bahwa, “Mengikuti jejak Kristus
memiliki teladan dalam kemanusiaan Kristus yang kudus untuk menjadi
saksi tentang bagaimana Dia ‘hidup di dunia’71.

70
Didaché, 11, 8.
71
A. SPADARO, Bangukanlah Dunia!, Wawancara Paus Fransiskus dengan
Para Pemimpin Umum, dalam La Civiltà Cattolica, 165 (2014/I), 7.
48
Mendengarkan yang mampu melihat

35. Kita mempelajari gaya Kristus, pertama-tama, dengan


mendengarkan. Kita diundang untuk melakukan cara kontemplatif
hingga Sabda bercahaya dalam hidup kita sebagai pria dan wanita; dalam
pikiran, dalam doa hening, dalam persaudaraan, dalam perjumpaan dan
diakonia, di tempat-tempat di mana kita hidup dan mewartakan kebaikan-
Nya, dalam pilihan-pilihan serta keputusan-keputusan yang kita buat,
dalam jalan formasi yang dilakukan secara terus menerus dan
bermanfaat.
Dengan mendengarkan Sabda Allah, kaum hidup bakti menemukan
tempat di bawah pandangan Tuhan dan belajar dari Dia, cara untuk
memandang diri sendiri, orang lain dan dunia. Surat kepada umat Ibrani
(4:13) menunjukkan pertemuan pandangan ini dengan sangat baik: “Dan
tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya (lógos
toȗ theoȗ), sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia,
yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab (ho
lógos)”. Sabda melihat, memandang, memperhatikan, menantang dan
mengikutsertakan kita, “mata-Nya bagaikan nyala api” (Why. 19:12).
Kontemplasi kristiani lahir dan bertumbuh dalam pelaksanaan ketaatan
(ob-audire) yang berkesinambungan. Jika Allahlah yang berbicara, umat
beriman adalah orang yang dipanggil untuk mendengarkan; seorang
kontemplatif adalah pribadi yang selalu mendengarkan. Kita melihat
dengan pendengaran, dalam hubungannya dengan perjanjian,
pemenuhannya serta sukacita. Sebuah tindakan aktif, cinta serta
kerinduan akan kebenaran: “Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan
menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku, dan ikutilah seluruh
jalan yang Kuperintahkan kepadamu, supaya kamu berbahagia!” (Yer.
7:23).
36. Sintesis antara mendengarkan dan melihat ini “dimungkinkan
oleh pribadi nyata Yesus yang mampu melihat dan mendengarkan […]
Santo Thomas Aquino berbicara tentang oculata fides dari para rasul –
iman yang mampu melihat– di hadapan kehadiran fisik Yesus yang
49
bangkit. Mereka melihat Yesus dengan mata mereka sendiri dan percaya,
artinya, mampu masuk ke kedalaman dari apa yang mereka lihat untuk
mengakui Putra Allah, yang duduk di sisi kanan Bapa […]. Ketika kita
menjadi serupa dengan Yesus, kita pun akan memiliki mata yang sama
untuk melihat-Nya”72. Dipanggil untuk mendengarkan, kita akan
memiliki “hati yang faham menimbang perkara” (1 Raj. 3:9) serta mohon
hikmat dan pengertian (bdk. 1 Raj. 3:12) untuk membedakan mana yang
berasal dari Allah dan yang sebaliknya.
Mendengarkan Sabda menuntut ketelitian (bdk. Ibr. 2:1-3), perhatian
terhadap apa yang didengar (bdk. Mrk. 4:24), kesadaran terhadap siapa
yang didengarkan (bdk. Yer. 23:16) serta cara mendengarkan (bdk. Luk.
8:18). Teresia dari Avila mengingatkan, “Aku tidak menyebutnya
sebagai doa, ketika orang tidak sadar dengan siapa dia berbicara, siapa
yang berbicara padanya, apa yang diminta dan kepada siapa dia
memintanya”73.
Latihan ini membuat kita mampu melihat kekacauan diri sendiri dengan
menerima pandangan penuh belas kasih meski, kadang, pandangan
Kristus Tuhanlah yang menuntun kaum hidup bakti pada visi realistis dari
dirinya: “Arahkanlah matamu hanya pada Dia [...]; jika engkau
memandang-Nya, engkau akan menemukan segalanya”74.
37. Santo Benediktus, dalam Regula, menjadikan pemungut cukai
dari perumpamaan di Injil Lukas (bdk. Luk. 18:9-14) menjadi model
setiap biarawan, exemplum75. Dia tidak meminta biarawan untuk
memiliki pandangan ke atas awan, melainkan, dengan mata menatap ke
bumi. Seorang biarawan tidak memberitakan kedekatannya dengan
Tuhan, melainkan tentang pengenalan akan kejauhannya; dia tidak
mengumbar kata-kata doa yang muluk-muluk, melainkan mengakui

72
FRANSISKUS, Surat Ensiklik Lumen Fidei (29 Juni 2013), 30-31.
73
SANTA TERESIA AVILA, Castillo intertior, Primeras mansions, I, 7.
74
SANTO YOHANES DARI SALIB, Subida al Monte Carmelo, II, 22.
75
Bdk. SANTO BENEDIKTUS, Regula, VII, 62-66.
50
dosanya: “Allah, kasihanilah aku, orang berdosa”76. Isak dari Niniwe
menulis, “Orang yang telah dianggap layak melihat dirinya sendiri, dia
lebih besar dari orang yang mampu melihat malaikat […]. Orang yang
peka terhadap dosanya sendiri, lebih besar dari orang yang mampu
membangkitkan orang mati dengan doanya”77. Paus Fransiskus
menegaskan, “Orang yang tidak berdosa bukanlah manusia. Kita semua
melakukan kesalahan dan harus mengakui kelemahan kita. Seorang
religius yang mengakui kelemahan dirinya dan keberadaannya sebagai
seorang berdosa, tidak melawan kesaksiannya bahwa dia dipanggil untuk
memberi, sebaliknya justru dia memberi lebih. Hal itu baik untuk semua
orang”78.

Quies, requies, otium

38. Untuk tinggal dalam relasi dengan Allah, dengan kekuatan Roh
Kudus, perlu memberi waktu dan ruang pada diri sendiri, berani melawan
arus. Budaya jaman sekarang tidak percaya dengan proses hidup dan
perubahan, meski secara ilmiah hal itu merupakan dasar dari visi mereka.
Nilai lebih diberikan kepada hal-hal yang instan, mulai dengan segera
dan bergerak cepat. Hasil tidaklah diperhitungkan; semua dinamika
dilihat dan dipakai saat ini juga.
Waktu, dalam tradisi kristen, bukanlah komoditas melainkan tanda
bahwa Allah menyatakan diri-Nya kepada kita, di sini dan sekarang.
Waktu dan ruang yang memadai sangatlah diperlukan, sebagai tempat
untuk berdiam tanpa harus tergesa-gesa.

76
Doa singkat dari mulut sang pemungut cukai telah dinyatakan sebagai ‘doa
yang sempurna dan kekal’: A. LOUF, À l’école de la contemplation, Lethielleux,
Paris 2004, 22.
77
ISAK dari NINIWE, Un’umile speranza. Antologia, ed, S. Chialà, Ed.
Qiqajon, Comunidad de Bose 1999, 73.
78
A. SPADARO, Bangukanlah Dunia!, Wawancara Paus Fransiskus dengan
Para Pemimpin Umum, dalam La Civiltà Cattolica, 165 (2014/I), 5.
51
Untuk menunjuk pada hidup kontemplatif, tradisi monastik barat
seringkali menggunakan istilah yang menunjukkan aktivitas batin, waktu
yang didedikasikan hanya untuk Allah (vacare Deo), menemukan
istirahat dalam Allah (quies, requies), menjauhkan diri dari kegiatan
pekerjaan untuk bekerja pada jiwanya (otium negotiosum). Kata-kata itu
berbicara tentang istirahat dan keheningan ketika, dalam kenyataannya,
hal itu menuntut kerja keras dan perjuangan batin: “Kemalasan merusak
semua orang […], namun terlebih merusak jiwa”79.
Hidup batin menuntut adanya askesis waktu maupun tubuh,
membutuhkan keheningan untuk dapat tinggal. Hidup batin
membutuhkan kesunyian sebagai momen penting dari pemurnian dan
integrasi pribadi. Hidup batin memanggil untuk doa yang tersembunyi
untuk dapat bertemu dengan Tuhan yang melihat yang tersembunyi, serta
menjadikan hati sebagai ruang batin (bdk. Mat. 6:6), tempat yang sangat
pribadi dan rahasia untuk memuji Tuhan (bdk. 1 Ptr. 3:15). “Semoga
kekasihku datang ke kebunnya dan makan buah-buahnya yang lezat”
(Kid. 4:16).
39. Kita lebih sering memilih untuk hidup di luar diri kita sendiri, di
luar ruang batin, baik pria maupun wanita hidup secara dangkal sebab
petualangan yang mendalam akan kebenaran itu sangat menakutkan. Kita
lebih memilih ide-ide yang pasti, meski terbatas, daripada tantangan yang
melempar kita lebih jauh melampaui pandangan yang hanya sekilas saja.
“Kita tahu bahwa kita memiliki jiwa. Namun harta yang dimilikinya atau
siapa yang ada di dalamnya atau betapa berharganya dia, jarang sekali
kita sadari; sehingga kita hampir tidak melakukan apa-apa untuk
berusaha mempertahankan keindahannya”80.
Kadang kita tidak dapat menemukan keberanian yang kuat untuk
memulai perjalanan batin yang membawa kita melewati kegelapan batas
dan dosa sampai pada kebenaran yang utama yang tinggal di dalam kita:

79
SANTO YOHANES KRISOSTOMUS, Homili tentang Kisah Para Rasul, 35,
3.
80
SANTA TERESIA AVILA, Castillo interior, Moradas primeras, I, 3.
52
“Kita dapat menganggap jiwa kita seperti puri yang terbuat dari intan atau
kristal yang sangat jernih, dimana terdapat banyak ruangan, seperti surga
yang memiliki banyak tempat tinggal […]. Apabila kita menyadarinya,
jiwa orang benar tidak lain adalah surga dimana Allah senang tinggal di
dalamnya. Menurut kalian, seperti apa ruangan yang disenangi oleh Sang
Raja, yang mahakuasa, mahabijaksana, mahasuci dan memiliki segala
harta, untuk ditinggali-Nya? Aku tidak menemukan hal lain yang dapat
dibandingkan dengan keindahan dan kemampuan satu jiwa…”81

Kenangan yang tidak terlukiskan

40. Sabda adalah jalan pertama yang digunakan Tuhan untuk


berjumpa dengan kita “dan menyatukan kita dalam perjamuan suci;
seperti pada kedua murid dari Emaus, Dia menyatakan arti Kitab Suci
dan memecahkan roti bagi kita”82. Sabda, Kitab Suci, merupakan peti
harta karun yang terbuka, kekayaan yang tertinggi, kisah Allah83.
Perjumpaan dengan seseorang selalu melibatkan satu kata, yang dengan
mengikutsertakan kita dalam hidupnya, membuat kita dapat melihat
sesuatu dari diri kita sendiri.
Inilah Yesus, Agnus Dei. Wajah Kristus, Putera Allah, yang tidak
kelihatan dinyatakan secara sangat sederhana dan, juga, tidak terlukiskan,
terwujud dalam misteri Tubuh dan Darah-Nya. Gereja, menanggapi
kerinduan manusia sepanjang sejarah –yang ingin melihat Yesus (Yoh.
12:21)– mengulang tindakan yang dilakukan sendiri oleh Tuhan:
memecahkan roti, memberikan piala berisi anggur. “Inilah Kristus dalam
sepotong roti: dalam remah-remah, materi yang diciptakan. Inilah Dia

81
Idem., I, 2.
82
MISALE ROMANUM, Doa Syukur Agung V.
83
Bdk. FRANSISKUS, Seruan Ap. Evangelii gaudium (24 November 2013),
174-175.
53
yang tidak diciptakan. Inilah Dia yang Tidak Kelihatan dalam kilasan
yang kelihatan”84.
Di sini, mata orang yang mencari Dia dengan hati tulus akan terbuka;
dalam Ekaristi, mata hati mengenali Yesus85. Santo Yohanes Paulus II
mengingatkan kita, “Memandang Kristus berarti mengenali Dia di mana
pun Dia menyatakan diri-Nya dalam berbagai bentuk kehadiran, namun
terutama dalam Sakramen hidup dari tubuh dan darah-Nya. Gereja hidup
dari Kristus Ekaristi, menerima nutrisi dan diterangi oleh Dia. Ekaristi
adalah misteri iman dan, pada saat bersamaan pula, ‘misteri cahaya’.
Setiap kali Gereja merayakan Ekaristi, umat beriman dapat mengalami
kembali, sedemikin rupa, apa yang dialami oleh kedua murid dari Emaus:
“Ketika itu terbukalah mata mereka dan mereka pun mengenal Dia”
(Luk. 24:31)86.
Setiap hari, Ekaristi mengikutsertakan kita dalam misteri cinta,
menyatakan kepada kita “makna pernikahan cinta Allah. Kristus adalah
Mempelai Pria Gereja, sebagai Penebus dunia. Ekaristi adalah sakramen
penebusan kita. Itulah sakramen Sang Mempelai dari mempelai
perempuan”87. Dia mengatakan kepada hati kita bahwa Allah adalah
Cinta.
41. Menghayati kapasitas kontemplatif dari hidup bakti berarti hidup
secara ekaristis, seturut teladan Sang Putera yang telah diserahkan bagi
kita. Ekaristi memelihara Jesu dulcis memoria, undangan bagi kita, kaum
hidup bakti, untuk dalam Roh Kudus (bdk. Yoh. 14:26),
mempertahankan kenangan akan Yesus dalam jiwa, pikiran dan dalam
kerinduan seperti kontemplasi yang mengubah hidup dan meneguhkan
sukacita kita. “Sejak aku mengenal-Mu, Engkau tinggal dalam ingatanku;

84
P. MAZZOLARI, Il segno dei chiodi, Dehoniane, Bologna 2012, 73-78.
85
Bdk. YOHANES PAULUS II, Homili Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus,
Basilik Santo Yohanes Letran (14 Juni 2001).
86
YOHANES PAULUS II, Surat Ensiklik Ecclesia de Eucharestia (17 April
2003), 6.
87
YOHANES PAULUS II, Surat Ap. Mulieris dignitatem (15 Agustus 1988),
26.
54
dan di sanalah aku menemukan-Mu, ketika aku mengenang-Mu kembali
dan bersukacita di dalam-Mu”88, tegas Santo Agustinus, sementara para
Bapa Yunani menunjukkan kenangan abadi Yesus seperti buah rohani
dari Ekaristi. Dalam kenangan yang kuat akan Kristus ini, bertumbuhlah
pikiran-pikiran yang penuh kelembutan dan kebaikan, sementara Allah
diam di tempat tinggal, dalam jiwa yang menjadi milik-Nya melalui
karya Roh Kudus.
42. Doa dan permohonan, mendengarkan Sabda Allah, peperangan
rohani dan perayaan sakramen memperbaharui, setiap hari, keterbukaan
kita akan rahmat Roh Kudus: “Doa, puasa, sikap berjaga-jaga dan
tindakan-tindakan kristiani lainnya, meski tampak baik, bukan
merupakan tujuan akhir dari hidup kristiani, meski memang membantu
untuk dapat sampai di sana. Tujuan yang sejati dari hidup kristiani adalah
memperoleh Roh Kudus Allah”89.
Benediktus XVI mengungkapkan betapa berharganya komuni dan
kontemplasi yang tidak terpisahkan. “Komuni dan kontemplasi tidak
dapat dipisahkan. Mereka selalu berjalan bersama. Untuk dapat sungguh-
sungguh bersatu dengan orang lain, kita perlu mengenalnya, dapat
menjaga keheningan ketika berada bersamanya, mendengarkan dia,
memandangnya dengan cinta. Dalam cinta dan persahabatan sejati selalu
ada saling memandang, keheningan, kefasihan, penuh rasa hormat dan
kekaguman, sehingga perjumpaan itu dialami secara mendalam, pribadi
dan tidak dangkal. Jika dimensi tersebut tidak ada, bahkan Komuni secara
sakramental pun, dari diri kita, dapat menjadi sebuah tindakan yang
dangkal. Sebaliknya, dalam Komuni yang sejati, yang dipersiapkan
melalui perbincangan dalam doa dan dalam kehidupan, kita dengan
penuh kepercayaan dapat berkata, kepada Tuhan, kata-kata seperti yang
bergema dalam Mazmur Tanggapan: “Ya Tuhan, aku hamba-Mu! Aku
hamba-Mu, anak dari hamba-Mu perempuan! Engkau telah membuka

88
SANTO AGUSTINUS, Pengakuan-pengakuan, X, 8-24.
89
I. GORAINOFF, Serafino di Sarov: vita, colloquio con Motovilov, scritti
spirituali, Gribaudi, Turin 2006, 156.
55
ikatan-ikatanku! Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-
Mu, dan akan menyerukan nama Tuhan” (Mzm. 116:16-17)90.

90
BENEDIKTUS XVI, Homili Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Basilik
Santo Yohanes Lateran (7 Juni 2012).
56
Membentuk

Kidung Agung 8:6

57
Mendengarkan
43. Kitab Kidung Agung mengisahkan cerita dari cinta yang
berorientasi ke relasi interpersonal, tidak terpusat, berusaha
mengkontemplasikan wajah sang kekasih dan mendengarkan suaranya
(bdk. Kid. 2:14): “Orang yang mencintai harus terus berani
menyeberangi rintangan yang menghalangi keterbatasannya. Karena
alasan ini, maka dikatakan bahwa cinta mencairkan hati, karena sesuatu
yang telah mencair tidak lagi berada dalam batasan-batasannya”91.
Melampaui batas-batas diri sendiri ini memasukkan kita pada dinamika
kontemplasi, dimana hanya keindahan dan kekuatan cinta saja yang
berbicara. Kontemplasi mencegah persatuan menjadi sekedar fusi yang
tidak jelas dan samar dengan menjaga alteritas dan membuat rahmat
menjadi mungkin. Kontemplasi adalah ekstasis di hadapan “tanah suci
orang lain”92, adalah tinggal dalam ruang penerimaan dan kesediaan
berbagi dengan apa yang ditawarkan oleh orang lain untuk mengakui
dalam kesatuannya: “dialah satu-satunya merpatiku, idam-idamanku”
(Kid. 6:9), atau “kekasihku menyolok mata di antara selaksa orang” (Kid.
5:10). Untuk tinggal dalam epifani yang demikian, pentinglah melatih
mata dan hati untuk menikmati keindahan sebagai misteri yang
membungkus dan melibatkan.
44. Salah satu kata sifat yang ada dalam Kitab Kidung Agung adalah
yāpâ (cantik) dan yāfeb (tampan). Dalam Kitab Suci, cantik adalah suara
dari seseorang (Yeh. 33:32), seorang wanita (Sarah, istri Abraham dalam
Kej, 12:11), pohon yang berada di taman Eden yang menarik hati, dan
karena itu sedap kelihatannya (Kej. 3:6); alas kaki Yudit menarik mata
Holofernes, kecantikannya merayu hatinya (Ydt. 16:9), indahlah batu-
batu bait Allah (Luk. 21:5). Istilah Kitab Suci tidak hanya berarti
keindahan fisik, melainkan juga keindahan batin. Tampan, sebaliknya,
adalah anggur yang Yesus berikan di Kana (Yoh. 2:10), tampanlah

91
SANTO TOMAS AQUINO, Comentario a las Sentencias de Pedro Lombardo
III XXV, I, I, 4 m.
92
FRANSISKUS, Seruan Ap. Evangelii gaudium (24 November 2013), 169.
58
gembala yang memberikan nyawa bagi domba-dombanya (Yoh. 10:11,
14), tampanlah tindakan wanita yang mengurapi Yesus dan menerima
kata-kata dari Yesus yang akan terus diingatnya selamanya (Mat. 26:10).
Keindahan dalam Kitab Suci muncul seperti ‘meterai’ dari rasa syukur
illahi dan manusiawi dan dalam Kitab Kidung Agung, keindahan
digambarkan sebagai tingkat yang lebih tinggi dari kesendirian, sebagai
pengalaman persatuan. Dua orang yang saling mencintai merasa bersatu
meski sebelum dan sesudahnya, mereka berharap agar persatuan itu
berlangsung selamanya. Kedua kekasih itu tidak mau saling memberikan
perasaan yang sementara saja, melainkan ingin menikmati keabadian
melalui sebuah meterai (bôtâm) di hati dan di lengan (Kid. 8:6), yang
meletakkan segalanya dalam perspektif keabadian Allah. Meterai di
lengan adalah luka yang menciptakan kerinduan abadi akan cinta, api
yang tidak dapat dipadamkan oleh air yang banyak (Kid. 8:7): “Kau, oh
Trinitas abadi, Engkau bagaikan laut yang dalam, di mana ketika aku
makin mencari aku akan makin menemukan dan, ketika aku makin
menemukan aku akan makin mencarimu. Engkau memuaskan jiwa
sedemikian rupa sehingga dia tidak pernah merasa puas, sebab di
kedalaman-Mu yang tak terselami, Engkau memuaskan jiwa sedemikian
rupa sehingga dia selalu merasa lapar dan haus akan Engkau, Trinitas
abadi, dengan kerinduan yang besar untuk melihat-Mu, Sang Terang,
dalam terang-Mu sendiri”93.
Ketika kita menjadi dewasa dalam relasi dengan Allah, kita membiarkan
Dia menguduskan dan mengajar kita untuk melihat seperti Dia, mencintai
seperti Dia. Tentu cara pandang dan mencintai yang baru ini berat –
menuntut apa yang disebut Paus Benediktus XVI sebagai ‘hati yang
melihat’94- karena untuk itu kita harus mengalami perubahan hati yang
radikal yang disebut para Bapa Gereja dengan puritas cordis, perjalanan
formatif.

93
SANTA KATARINA dari SIENA, Il Dialogo della Divina Providenza,
Cantagalli, Sienna 2006, 402-403.
94
BENEDIKTUS XVI, Surat Ensiklik Deus caritas est (25 Desember 2005), 31.
59
Di jalan keindahan
45. Hidup bakti dalam berbagai situasi budaya dan bentuk
kehidupan, saat ini, menuntut perhatian dan kepercayaan dalam tindakan
formatif pribadi dan komunitas, secara khusus dalam dinamika Tarekat,
untuk membentuk, mendampingi dan mendukung sikap dan kemampuan
kontemplatif. Muncul pula kebutuhan untuk mempertanyakan kembali
cara hidup kita dan melihat ethos formasi sebagai “kemampuan
menyusun suatu metode yang ditandai oleh kebijaksanaan rohani dan
pedagogis, yang secara berangsur-angsur akan menghantarkan mereka
yang ingin membaktikan diri untuk mengenakan citarasa Kristus Tuhan.
Pembinaan itu proses dinamis yang membantu orang bertobat kepada
Sabda Allah dalam lubuk sanubarinya”95. Mungkin kita memiliki
kebutuhan untuk menemukan dalam sebuah formasi permanen, nafas
misteri yang hidup dalam diri kita dan mengadikodratikan kita: “Seperti
pohon yang dicabut dari tanah, seperti sungai yang dijauhkan dari
sumbernya, jiwa manusia kehilangan hidup bila dilepaskan dari sesuatu
yang lebih besar darinya. Tanpa kekudusan, kebaikan pun tampak kacau;
tanpa kebaikan, keindahan menjadi sekedar sebuah kebetulan. Kebaikan
dan Keindahan bercahaya dalam satu suara”96.
46. Bagaimana hidup bakti dapat menampakkan kesederhanaan
dalam hidup sehari-hari? Terlepas dari doktrin-doktrin hemeneutic dari
sudut pandang Ajaran Gereja, Peraturan-peraturan serta tradisi-tradisi,
apa yang dapat diceritakan oleh kaum hidup bakti dalam Gereja dan
masyarakat? Apakah mereka benar-benar perumpamaan kebijaksanaan
injili dan sengat kenabian serta simbolik untuk sebuah dunia yang
‘berbeda’? Kami mengajak kalian menuju sebuah evaluasi yang jujur dan
teliti dari gaya hidup yang diperlihatkan sehari-hari, agar kipás

95
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-Sinode Vita Consecrata (25 Maret
1996), 68.
96
A.J. HESCHEL, L’uomo alla ricerca di Dio, Ed. Qiqajon, Comunidad de Bose
1995, 141.
60
kebijaksanaan memisahkan ilalang dari gandum (bdk. Mat. 3:12), agar
nampaklah kebenaran hidup dan panggilan pada Keindahan yang
mengubah.
Ada beberapa alasan untuk berefleksi yang, terintegrasi dalam rencana
dan pendekatan formatif kita, dapat mendampingi proses penting yang
membawa dari kedangkalan kepada kedalaman perasaan, dimana cinta
Allah dapat menyentuh akar keberadaan kita97.

Pedagogi mistagogis

47. Kita telah menyebut Sabda Allah –sumber utama dari semua
spiritualitas kristiani yang merawat sebuah relasi personal dengan Allah
yang hidup dan kehendak-Nya yang menyelamatkan serta
menguduskan98– serta Ekaristi dimana Kristus, Paska dan Roti Hidup,
hadir sebagai pusat hidup gerejani dan Hidup Bakti99, sebagai tempat
untuk tinggal dalam semangat kerendahan hati untuk dibentuk dan
dikuduskan. Kami mengundang kalian untuk bersama-sama menuju
rahmat misteri ini dengan pedagogi yang penuh perhatian. Para Bapa
Gereja, secara istimewa, sangat menghargai komunikasi mistagogi, yang
dapat menyingkapkan dan menanamkan terang Kitab Suci dalam hidup,
sebagai aliran darah kebenaran yang disampaikan dalam misteri yang
dirayakan. Demikianlah, seperti makna dari istilah yunani mystagoghía,
menyampaikan homili dan liturgi dapat mengawali, membimbing dan
mengantar pada misteri. Komunikasi mistagogis dapat, secara
bermanfaat, memperkenalkan anggota baru dari Tarekat kita dan
mendampingi formasi kaum hidup bakti secara konstan, terutama dalam
hidup liturgis.

97
Bdk. YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-Sinode Vita Consecrata (25
Maret 1996), 18.
98
Bdk. Idem., 94
99
Bdk. Idem., 95
61
Liturgi sendiri bersifat mistagogi –sebab berkomunikasi lewat kata-kata,
tindakan, tanda-tanda dan simbol-simbol biblis– yang bermanfaat untuk
memperkenalkan mystérion. Kategori transfigurasi, yang menjadi
referensi hidup bakti, dapat menjadi pusat perjalanan mistagogis, yang
harus dapat membangkitkan misteri paska dalam hidup kita sebagai umat
beriman, arah kita pada kebangkitan100. Gregorius dari Nazianze
mengingatkan bahwa Sang Mistagogis Agung adalah Kristus sendiri dan
seluruh liturgi adalah kepunyaan-Nya, Kýrios yang bangkit dan hadir
sebagai subyek.
48. Komunikasi mistagogis adalah sebuah tindakan kristologis yang
nyata, yang melihat bahwa kebijaksanaan kristiani atau ritus-ritus saja
serta tindakan-tindakan liturgis tidaklah cukup untuk dapat memahami
misteri dan secara bermanfaat ikut berpartisipasi di dalamnya. Tidak ada
liturgi kristiani yang otentis tanpa mistagogi. Jika tidak ada bahasa
mistagogis dalam liturgi, dapat saja terjadi seperti apa yang dikatakan
Origenes tentang orang-orang Lewi, yang ditugaskan untuk membawa
tabut perjanjian yang tersimpan dalam peti dan tertutup tirai. Itu pun
dapat terjadi pada kita, kaum hidup bakti, dapat membawa misteri Allah
di atas bahu kita sebagai beban, tanpa mengetahui apa maknanya, dan
tidak mendapatkan kebaikan apa pun darinya101.
Kita dipanggil untuk merealisasikan sebuah evolusi nyata pada perayaan
komuniter kita –Doa Ibadat Harian, Ekaristi harian dan hari Minggu,
latihan-latihan kesalehan–, dengan bertanya pada diri sendiri, apakah
semua itu merupakan perjumpaan yang hidup dan menghidupkan dengan
Kristus, “sumber dari dorongan pemberian diri yang diperbaharui”102. Ini

100
Bdk. BENEDIKTUS XVI, Seruan Ap. Sacramentum caritatis (22 Februari
2007), 64: “Katekesis terbaik tentang Ekaristi adalah Ekaristi itu sendiri yang
dirayakan dengan baik. Sehingga dengan sendirinya, liturgi memiliki
kegunaannya untuk membawa umat beriman dalam pengenalan akan misteri
yang dirayakan”.
101
Bdk. ORIGENES, Homili tentang Kitab Bilangan, 5, 1.
102
FRANSISKUS, Seruan Ap. Evangelii gaudium (24 November 2013), 24.
62
adalah sebuah undangan untuk berpikir secara bertanggung jawab dalam
sebuah pedagogi mistagogis demi perjalanan formasi permanen kita.

Pedagogi paska

49. Perjalanan mistik yang merupakan dasar dari hidup kristiani kita
merupakan séquela Christi yang istimewa, yang melalui sengsara, wafat
dan kebangkitan Tuhan. Hal itu menuntut sebuah perhatian khusus dan
terus menerus dalam hidup pribadi kita untuk memanfaatkan “segala
peluang tumbuh dalam pengalaman paska, menjadikan diri serupa
dengan Kristus yang disalib yang melaksanakan kehendak Bapa dalam
segalanya”103, serta perhatian yang sama untuk mampu memahami nilai
dan maknanya dalam hidup persaudaraan dan misioner. Sikap
kontemplatif hidup dari keindahan yang tersingkap dari Salib. Sang
Sabda yang pada mulanya berada di sisi Allah, digantung di atas kayu
untuk menyatukan surga dan bumi, menjadi sesuatu yang sangat
memalukan sebelum kita menyingkapkan penutup wajah kita. Saat ini,
banyak kurban-kurban kekerasan lain yang digantung dan dipermalukan
di atas salib-salib dunia sementara matahari mulai meredup, laut menjadi
pahit dan buah-buah hasil dunia menjadi matang untuk memuaskan
kelaparan semua orang, hanya dibagikan untuk memuaskan sedikit
orang. Dalam peristiwa itu bergema undangan untuk menguduskan
pandangan, untuk mengkontemplasikan misteri paska keselamatan yang
hidup dan berkarya dalam dunia dan dalam konteks hidup kita sehari-
hari.

Saat ini, dalam persaudaraan dan komunitas-komunitas kita, yang hidup


tenggelam dalam budaya kontemporer –seringkali ditandai dengan
keduniawian– pandangan kita sebagai kaum hidup bakti pun bahkan
dapat kehilangan kemampuan untuk mengenali keindahan dari Misteri
Paska: ketenangan yang berdaya, yang sangat terlihat di wajah para

103
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-sinode Vita consecrata (25 Maret
1996), 70.
63
saudara yang kita kenal, baik pada wajah kristus-kristus yang ditolak oleh
sejarah yang kita temui dalam pelayanan cinta kasih kita. Wajah-wajah
yang tidak tampan, tidak memancarkan keagungan, tidak menarik untuk
dilihat oleh mata kita (bdk. Yes. 53:2).

50. Setiap hari, tontonan penderitaan manusia ditunjukkan dengan


sangat kejam, sehingga tidak ada penebusan pun yang dapat dicari dan
dipahami tanpa menghadapi skandal penderitaan. Misteri ini terjadi
seperti sebuah ombak raksasa dalam hidup manusia dan yang
mengundang pada sebuah perenungan. Tidak banyak orang, seperti
Dostoevskij, yang dapat merasakan pertanyaan yang mendominasi dalam
hati manusia: penderitaan, penebusan dari dosa, keselamatan yang
menang akan kematian. Dostoevskij membandingkan relevansi
keindahan dengan misteri penderitaan dan bertanya ‘mengapa’. Ippolit
muda, pada saat mendekati kematiannya, mengajukan pertanyaan yang
sulit dan tidak menyenangkan kepada Pangeran Myškin, pemeran utama
dari The Idiot dan sebuah figur Kristus yang penuh teka-teki, Dia yang
Tidak Berdosa yang menderita demi semua orang: “Benarkan, Pangeran,
engkau pernah menyatakan bahwa ‘keindahan akan menyelamatkan
dunia’? Keindahan apa yang akan menyelamatkan dunia?”104.

Pertanyaan tentang dosa muncul setiap hari dalam pikiran, hati dan bibir
banyak saudara dan saudari kita. Hanya jika Allah yang membuat
penderitaan dunia yang tak terbatas ditinggalkan oleh kejahatan, hanya
jika Ia memasuki kegelapan yang paling dalam dari kesengsaraan
manusia, maka rasa sakit ditebus dan kematian dikalahkan. Hal itu telah
terjadi dalam Salib Sang Putra. Sengsara Kristus berhasil menjelaskan
tragedi umat manusia dan membawanya pada keillahian. Dalam
kesengsaraan Kristus, kita dapat melihat jawaban satu-satunya dari
pertanyaan tentang penderitaan. Kontemplasi dan pengetahuan akan
Keindahan yang ada dalam diri kita dan yang melampaui kita, tidak akan

104
F. DOSTOEVSKIJ, L’idiota: II, 2, in E. LO GATTO (ed.), Romanza e
taccuini, vol. II, Sansoni, Florence 1961, 470.
64
dapat dicapai kecuali melalui Salib. Kehidupan tidak dapat dicapai
kecuali melalui kematian.

51. Bagi kita, kaum hidup bakti, masuk ke dalam kebijaksanaan


paska dan melatih diri untuk melihat wajah transfigurasi dari Yesus yang
Bangkit, di sini dan sekarang, dalam segala yang rusak dan tersalib
adalah aspek nyata dari iman. Perjalanan kontemplatif adalah perjalanan
paska. Paska Kristus, dasar dari pengharapan kita, menantang
persaudaraan dan misi kita yang kadang diburamkan dengan relasi yang
dangkal, rutinitas yang membosankan, pelayanan kristiani yang sekedar
bersifat fungsional, dan mata yang telah menjadi malas dan tidak dapat
lagi mengenali misteri. Dalam komunitas-komunitas kita, Keindahan
tetap tertutup tirai! Kita ini bodoh dan lamban hati (bdk. Luk. 24:25)
dalam menghayati pedagogi paska. Kita mungkin saja lupa bahwa
berbagi dalam persekutuan Trinitas dapat mengubah relasi manusia,
bahwa ada kekuatan rahmat perdamaian dalam hati manusia dan dalam
masyarakat, dengan cara ini, kita dapat menunjukkan kepada banyak
orang, keindahan persekutuan persaudaraan dan jalan yang sungguh-
sungguh menuju kepadanya105.

Pedagogi keindahan

52. Selama berabad-abad, hidup bakti telah berada dalam pencarian,


yang tidak pernah berhenti, akan jejak-jejak keindahan, menjaga
kesakralan serta kesuburannya, mengolah kembali visinya, menciptakan
karya yang mengekspresikan iman dan mistik salib dalam arsitektur dan
seni serta ilmu-ilmu pembangunan, seni-seni figuratif, literatur dan
musik, dalam pencarian epifani baru akan Keindahan106.

105
Bdk. YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-sinode Vita consecrate (25
Maret 1996), 41.
106
Bdk. YOHANES PAULUS II, Surat kepada para seniman (4 April 1999).
65
Refleksi kontemporer, yang sering melayang di antara spiritualisasi alam
dan estetika perasaan, telah mengakibatkan pengabaian terhadap daya
tarik kognitif dan formatif keindahan dan makna kebenarannya, dengan
mengurungnya di area abu-abu yang ambigu atau memindahkannya ke
yang bersifat fana. Kita harus memperbaiki hubungan vital dengan
makna keindahan yang lama dan baru sebagai tempat yang terlihat dan
nyata dari misteri tak terbatas dari yang tak terlihat. Tinggal di tempat ini
dari jauh adalah bagaimana meminum dari sumber keindahan. Apabila
eksistensi tidak ikut berperan sedemikian rupa dengan misteri ini,
keindahan hanyalah tinggal sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat
dicapai, hilang dalam kekosongan tanpa makna dan dalam kekosongan
dari segala makna107. Namun, yang paling menyakitkan, kita pun tidak
dapat memilikinya. Paus Fransiskus, ketika masih sebagai Kardinal di
Buenos Aires, dalam sebuah tulisan La belleza educará al mundo108,
menyarankan pedagogi keindahan, permintaan formatif di mana manusia
dipandang sebagai pengemban panggilan abadi pada proses kehidupan
yang berkembang dalam rasa saling menghormati dan saling
mendengarkan, dalam kesatuan pikiran, emosi dan perasaan yang
dipanggil untuk bersatu dalam kedewasaan.
Terbukalah suatu kebutuhan akan perjalanan ganda dari formasi ethos
manusia: “Pengenalan yang sejati adalah dikenai oleh anak panah
keindahan yang melukai manusia, dijamah oleh kenyataan, oleh
kehadiran pribadi Kristus sendiri seperti yang dikatakan-Nya.
Pengenalan yang paling nyata dan mendalam daripada sebuah deduksi
logis adalah dipukuli dan dikalahkan oleh keindahan Kristus. Kita harus
memfasilitasi perjumpaan antara manusia dengan keindahan iman.
Perjumpaan dengan Sang Keindahan dapat menjadi tikaman anak panah
yang melukai jiwa dan dengan cara ini, terbukalah mata, sehingga
sekarang jiwa, selain dari pengalamannya, juga memiliki kriteria
penilaian dan juga kondisi untuk mengevaluasi argumen-argumen secara

107
Bdk. N. BERDJAEV, Il senso della creazione, Jaca Book, Milano 1994,
300ss.
108
J.M. BERGOGLIO – FRANSISKUS, La belleza educhecà il mondo, EMI,
Bologna 2014.
66
benar”109. Keindahan sejati dan abadi dapat sampai pada batin manusia
melalui jalan yang disebut ‘perasaan’ rohani, yang dikatakan oleh Santo
Agustinus sebagai analogi dengan indera-indera pada tubuh: “Apa yang
kucintai ketika aku mencintaimu? [...] Ketika aku mencintai Allahku,
yang adalah terang, melodi, aroma, makanan dan kebahagiaan jiwaku;
bersinarlah dalam jiwaku, di mana terang bercahaya dalam jiwaku dan
tidak ada tempat yang dapat menampungnya, di mana waktu tidak
membawa pergi suara yang indah, dimana tidak ada angin yang
dihamburkan oleh aroma yang wangi, di mana makan tidak pernah
membuat makanan yang disediakan menjadi habis dan, dimana ada
pelukan yang tidak pernah menimbulkan rasa puas. Itulah yang kucintai
ketika aku mencintai Allahku”110
53. Dalam perjalanan, kita, orang-orang kristiani dan kaum hidup
bakti, perlu untuk mengenali jejak-jejak Keindahan, jalan yang
membawa pada Transendensi, pada Misteri terakhir, pada Allah, karena
dengan itu terbuka dan menjadi lebarlah cakrawala kesadaran manusia
sehingga dia dapat keluar melampaui dirinya sendiri, membawa dirinya
lebih dekat pada jurang Keabadian. Kita dipanggil untuk melalui via
pulchritudinis, yang merupakan perjalanan artistik, estetik dan perjalanan
iman serta pencarian teologis111.
Benediktus XVI merasakan dalam musik, sebuah kenyataan yang berada
dalam tingkat teologis dan sebuah jawaban iman, seperti telah
dinyatakannya lebih dari sekali, melalui komentar-komentarnya pada
konser-konser yang dihadirinya: “Siapa telah mendengarkan ini, tahu
benar bahwa iman adalah benar”112.

109
J. RATZINGER, La corrispondenza del cuore nell’incontro con la Bellezza,
dalam 30 Giorni, n. 9, September 2002, 87.
110
SANTO AGUSTINUS, Pengakuan-pengakuan, X, 6, 8.
111
Bdk. BENEDIKTUS XVI, Pidato kepada para artis di Kapel Sistina, Vatikan
(21 November 2009).
112
J. RATZINGER, La corrispondenza del cuore nell’incontro con la Bellezza,
dalam 30 Giorni, n. 9, September 2002, 89.
67
Keindahan yang terekspresikan dalam kecerdasan musik
diinterpretasikan sebagai sebuah pengantar iman: “Dalam musik dapat
dirasakan kekuatan luar biasa dari Kenyataan saat ini seperti untuk
disadari, bukan lagi melalui deduksi, melainkan melalui dorongan hati,
bahwa hal itu tidak dapat muncul dari ketiadaan melainkan lahir hanya
karena kekuatan Kebenaran yang teraktualisasi dalam inspirasi sang
kompositor”113. Mungkin karena itulah para mistikus besar –seperti
diceritakan dalam literatur puisi dan musik– suka menulis puisi dan
madah-madah, untuk mengekspresikan sesuatu yang illahi, karena
mereka memiliki akses perjumpaan rahasia dalam jiwa.
Bersama musik, terdapat pula seni puisi, naratif dan figuratif, sebagai
pengantar pada kontemplasi: dari halaman-halaman literatur sampai
gambar-gambar dan miniatur, dari lukisan-lukisan dinding hingga
lukisan dan pahatan. Semua “melalui jalan batin, jalan yang melampaui
diri sendiri; yang melalui pengudusan pandangan yang juga merupakan
pengudusan hati, menyatakan Keindahan itu pada kita atau paling tidak
secercah cahaya dari Keindahan itu. Demikianlah Kebenaran itu
menempatkan kita dalam relasi dengan kekuatan kebenaran”114.
Dalam Evangelii gaudium, Paus Fransiskus menggarisbawahi relasi
antara kebenaran, kebaikan dan keindahan: pentinglah “memulihkan nilai
keindahan untuk dapat sampai pada hati manusia dan membuat
kebenaran dan kebaikan Yesus yang bangkit, bercahaya dalam
hatinya”115.
54. Oleh karena itu, kita diundang pada perjalanan harmonis yang
dapat menyatukan kebenaran, kebaikan dan keindahan, di sanalah kadang
hal itu tampak sebagai sebuah tugas, seperti etika yang salah dipahami.
Budaya digital dan sumber-sumber komunikasi yang baru memberikan
tantangan lain dengan menekankan bahasa gambar terus menerus tanpa
ada kesempatan untuk bermeditasi, tanpa tujuan, dan seringkali, tanpa

113
Idem.
114
Idem.
115
FRANSISKUS, Seruan Ap. Evangelii gaudium (24 November 2013), 167.
68
hirarki nilai. Menumbuhkan sebuah pandangan yang sungguh hadir,
reflektif, yang jauh melampaui apa yang kelihatan dan rasa lapar akan
kontak terhadap yang tidak teraba, adalah sebuah tantangan yang
mendesak, yang dapat membawa kita masuk dalam Misteri dan menjadi
saksi-Nya. Kita diundang untuk memulai perjalanan formatif yang
memperkuat kita untuk membaca hal-hal. Kita diundang untuk melalui
jalan jiwa yang mengikuti jejak keindahan terakhir menuju pada
Keindahan yang tertinggi. Dengan demikian kita akan melahirkan “karya
seni rahasia yang adalah sejarah cinta dari masing-masing orang dengan
Allah yang hidup dan dengan sesamanya, dalam sukacita serta usaha
untuk mengikuti Yesus Kristus dalam hidup sehari-hari”116.

Pedagogi pikiran

55. Oleh karena itu, formasi kedalaman serta perjalanan batin


tidaklah boleh diabaikan. Formasi adalah perjalanan wajib dan penuh
manfaat yang tidak pernah berakhir. Suatu kebutuhan yang hanya padam
oleh kematian.
Kaum hidup bakti dipanggil untuk melatih diri dalam ‘pemikiran yang
terbuka’: konfrontasi dengan budaya dan nilai-nilai yang kita bawa
menuntut keterbukaan dari hidup kita untuk menerima segala perbedaan
serta membaca tanda-tanda Allah dalam semuanya itu. Pengetahuan dan
kebijaksanaan penuh cinta dari kontemplasi melatih kita untuk memiliki
visi yang mampu mengevaluasi, menyesuaikan dan menghubungkan
segalanya dengan Sang Cinta.
Dalam Ensiklik Caritas in veritate, Benediktus XVI menulis, “Paulus VI
melihat dengan jelas bahwa salah satu penyebab dari perkembangan yang
sangat lambat adalah kurangnya kebijaksanaan, refleksi, pemikiran
bahwa memiliki kemampuan untuk membuat sebuah síntesis sebagai
panduan, dimana ‘visi yang jelas tentang aspek ekonomi, sosial, budaya

116
BENEDIKTUS XVI, Discorso a los Oficiales del Pontificio Consejo de la
Cultura, Vatikan (15 Juni 2007).
69
dan rohani’ sangat dibutuhkan”117. Paus Benediktus XVI
menggarisbawahi, “Kasih dalam kebenaran –caritas in veritate– adalah
sebuah tantangan besar bagi Gereja dalam dunia yang mengalami
globalisasi yang sangat progresif dan ekspansif. Bahaya dari jaman kita
ini adalah saling ketergantungan de facto antara manusia dengan bangsa-
bangsa tidak diimbangi oleh interaksi nurani dan intelektual yang etis”118.
Paus Fransiskus kembali menekankan pada kebutuhan penting ini pada
pertemuannya dengan para Pemimpin Umum Tarekat Religius maskulin
pada 29 November 2013, dengan mengacu pada tantangan kompleks
yang diajukan kepada hidup bakti. “Untuk dapat memahami, kita harus
berusaha melihatnya dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Kita
harus membiasakan diri untuk berpikir”119.
Perhatian yang terus menerus dibutuhkan ketika kita berusaha
menciptakan persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari dan lingkungan
komunitas, tempat formasi pertama, dimana perkembangan pedagogi
pikiran dimulai.
56. Pelayanan otoritas memiliki peran yang sangat penting dalam
proses ini. Formasi yang berkesinambungan menuntut semua anggota
tarekat dan komunitas untuk memusatkan perhatian mereka, pertama-
tama, kepada kaum hidup bakti, untuk mengarahkan dia pada sikap hidup
yang bijaksana, untuk melatihnya dalam budaya yang manusiawi yang
akan membawa dia pada kepenuhan sebagai orang kristiani, untuk
memungkinkan dia berlatih merefleksikan nilai-nilai, untuk membantu
dia menjaga kesakralan hidup agar tidak menggunakannya secara
berlebihan karena mengikuti nilai efisiensi dan kegunaan, dan untuk
memelihara kebijaksanaan kristiani agar tidak berubah menjadi sekedar
gugus-gugus pelayanan dan kompetensi teknis. Mereka yang melayani
sebagai otoritas mendorong dan mendampingi kaum hidup bakti dalam
pencariannya akan dasar metafisik dari kondisi manusiawinya –dimana

117
BENEDIKTUS XVI, Ensiklik Caritas in veritate (29 Juni 2009), 31.
118
Idem., 9.
119
A. SPADARO, “Bangunkanlah dunia!”, Perbincangan Paus Fransiskus
dengan Para Pemimpin Umum, dalam La Civiltà Cattolica, 165 (2014/I), 6.
70
Sabda memancarkan Cahaya-Nya– agar “atas tindakan Roh Kudus
mereka dengan tegas mematuhi saat-saat doa, berdiam diri dan
keheningan, dan mereka tak pernah berhenti memohon kepada Yang
Mahakuasa, anugerah kebijaksanaan dalam perjuangan hidup sehari-hari
(bdk. Keb. 9:10)”120.
Untuk mencari dan memfasilitasi dinamika formasi ini, tindakan-
tindakan yang sporadis dan beberapa keputusan atau pilihan yang bersifat
operatif tidaklah cukup. Sebuah dinamika permanen yang memiliki
hubungan dengan dan efek pada seluruh komunitas serta kehidupan
pribadi, harus diciptakan dan dipertahankan. Untuk itu, perlulah fokus
pada dan mengadopsi sebuah gaya hidup yang memberi bentuk pada
lingkungan, di mana iklim yang ada menolong munculnya pandangan
yang bijaksana, penuh perhatian dan penuh cinta pada hidup dan
manusia. Pandangan yang kembali menemukan dan menghidupi
peluang-peluang perkembangan manusiawi dan rohani, pandangan yang
menginspirasi terciptanya pemikiran baru, program-program yang
berguna dan pedagogi yang terfokus. Sehingga perlulah juga memberi
kesempatan dan mendorong dilakukannya introspeksi yang terdiri dari
refleksi diri dan diskusi eksistensial.
57. Meminta kaum hidup bakti untuk memiliki pandangan
kontemplatif, berarti pula mendorongnya agar dengan refleksi yang tepat,
dia dapat mengenali identitasnya yang terdalam, membaca dan
menceritakan kembali keberadaan dirinya sebagai sejarah ‘yang baik’,
dengan pemikiran yang positif, sebagai relasinya dengan keselamatan,
sebagai pengalaman manusia yang ditulis kembali dalam Yesus Kristus.
“Diri manusia dapat dilihat melalui interpretasi jejak-jejak yang
ditinggalkannya di dunia”121.
Kisah hidup kita, bersama dengan kisah dari mereka yang berjalan
bersama dengan kita dalam persaudaraan dan benih-benih Sabda yang

120
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-sinode Vita consecrate (25 Maret
1996), 71.
121
P. RICOEUR, Il tempo raccontato, Jaca Book, Milan 1998, 376.
71
tinggal di dunia saat ini, adalah jejak-jejak Allah yang harus dibaca ulang
bersama; rahmat yang harus disadari, benih yang harus ditumbuhkan
sebagai pemikiran baru yang berasal dari Roh Kudus untuk kita, untuk
melanjutkan perjalanan. Paus Fransiskus, ketika berbicara kepada
komunitas penulis di La Civiltà Cattolica, mengundang kita untuk
menemukan kembali pedagogi ini. “Tugas kita adalah untuk
mengumpulkan dan mengekspresikan harapan-harapan, keinginan,
sukacita dan kejadian-kejadian di saat ini, serta menawarkan elemen-
elemen yang dibutuhkan untuk membaca realitas seturut terang Injil. Saat
ini, pertanyaan-pertanyaan spiritual yang penting terasa lebih mendesak
dari sebelumnya, namun seseorang harus mengartikan dan memahami
semuanya itu. Dengan pikiran yang sederhana dan terbuka, ‘cari dan
temukanlah Allah dalam segalanya’, seperti yang ditulis oleh Santo
Ignatius. Allah bekerja dalam hidup setiap orang dan dalam kebudayaan:
Roh berhembus ke mana pun Dia kehendaki. Berusahalah keras untuk
mencari tahu apa yang dibawa oleh Allah dan bagaimana melanjutkan
karya-Nya. [...] Mencari Allah dalam segala hal, dalam segala bidang
pengetahuan, seni, ilmu, kehidupan politik dan sosial serta ekonomi,
menuntut pembelajaran, sensitivitas dan pengalaman”122.
Menumbuhkan pemikiran, membentuk penilaian, melatih kebijaksanaan
pandangan serta mempertajam perasaan seturut gaya Kristus (Gal. 4:19),
merupakan langkah-langkah awal menuju misi123.

Dalam kedekatan dengan kerahiman


58. Langkah berguna yang harus diambil dalam latihan kontemplasi
adalah langkah yang membawa pada kedekatan. Dalam perjalanan pada
perjumpaanlah dimana wajah-wajah mencari dan mengenali satu sama

122
FRANSISKUS, Pidato di hadapan komunitas penulis La Civiltà Cattolica,
Vatikan (14 Juni 2013).
123
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-sinode Vita consecrate (25 Maret
1996), 103.
72
lain. Wajah setiap manusia itu berbeda dan unik. Keunikan luar biasa dari
wajah, membuat kita dapat mengenali dengan mudah ketika berada
dalam lingkungan sosial yang rumit di mana kita hidup. Keunikan itu
membantu kita mengenali dan mengidentifikasi orang lain.
Jika kualitas kehidupan bersama “dimulai dengan ‘kamu’”124, atau
dengan menghargai wajah orang lain serta relasi kedekatan, kristen
tampak sebagai agama wajah, atau kedekatan serta keakraban. “Dalam
sebuah kebudayaan yang secara paradoks terluka oleh anonimitas dan
pada saat yang sama terobsesi dengan detil kehidupan orang lain, yang
tanpa rasa malu menderita keingintahuan tidak sehat, Gereja seharusnya
melihat lebih dekat dan penuh simpati kepada orang-orang lain bilamana
diperlukan”125.
Allah menyembuhkan mata rabun kita dan menjaga pandangan kita agar
tidak berhenti pada permukaan dimana mediokritas, kedangkalan serta
perbedaan menemukan tempat tinggalnya. “Allah membersihkan,
memberi rahmat, memperkaya dan menerangi jiwa, bagai matahari yang
sinarnya mengeringkan, menghangatkan, memperindah dan
menerangi”126.
Seorang yang kontemplatif terlatih untuk memandang kemanusiaan dan
realitas yang ada dengan mata Allah, hingga mampu melihat apa yang
tidak kelihatan (bdk. Ibr. 11:27), yaitu karya kehadiran Allah yang selalu
tidak terlukiskan dan dapat dilihat hanya dengan iman. Paus Fransiskus
mengundang kita untuk mengambil bagian dalam kecerdasan spiritual
dan sapientia cordis yang mengidentifikasikan sorang kristiani
kontemplatif sejati sebagai seseorang yang tahu bagaimana menjadi mata
bagi orang buta, kaki bagi orang lumpuh, lidah bagi orang bisu, bapa bagi

124
Bdk. E. LÉVINAS, Etica e infinito. Il volto dell’altro come alterità etica e
traccia dell’infinito, Città Nuova, Roma 1988.
125
FRANSISKUS, Seruan Ap. Evangelii gaudium (24 November 2013), 169.
126
SANTO YOHANES dari SALIB, Cántico spiritual B, 32, 1.
73
anak yatim piatu serta sesama bagi yang kesepian, dengan mengenali
gambar Allah dalam diri mereka127.
Orang-orang kristen, pertama-tama, “adalah mistikus dengan mata
terbuka. Mistik mereka bukanlah mistik biasa yang tanpa wajah,
melainkan mistik yang memandang wajah, sehingga membawa pada
perjumpaan dengan mereka yang menderita, dengan wajah sedih orang-
orang yang menjadi korban. Mata yang terbuka dan waspada
merencanakan pemberontakan dalam diri kita melawan absurditas
penderitaan dari mereka yang tidak bersalah dan yang diperlakukan
dengan tidak adil; membangkitkan rasa lapar dan haus akan keadilan bagi
semua orang dalam diri kita dan menjaga kita dari mengarahkan
pandangan secara eksklusif pada kriteria kecil dari dunia kebutuhan kita
sendiri”128.
59. Hanya cinta yang dapat melihat apa yang tersembunyi: kita
diundang pada kebijaksanaan hati ini yang tidak pernah memisahkan
cinta Allah dari cinta kepada orang lain, terutama kepada kaum miskin,
mereka yang terkecil, ‘tubuh Kristus’129, wajah Tuhan yang disalib.
Seorang kristen yang koheren mengalami perjumpaan dengan perhatian
pada hati dan oleh karena itu, bersama dengan kemampuan profesional
dan perencanaan, pembentukan hati sangatlah diperlukan; agar iman
menjadi aktif melalui cinta (bdk. Gal 5:6). “Yang ingin dicapai orang
kristiani –seperti juga orang Samaria yang baik hati serta Yesus– adalah
‘hati yang mampu melihat’. Hati seperti itu mampu melihat di mana
dibutuhkan cinta dan bertindak dengan tepat. Tentu, ketika karya cinta

127
Bdk. FRANSISKU, Sapientia cordis. “Aku menjadi mata bagi orang buta,
dan kaki bagi orang lumpuh” (Ayb. 29:15), Pesan pada Hari Doa Sedunia XXIII
bagi orang sakit, Vatikan (3 Desember 2014).
128
J.B. METZ, Mistica dagli occhi aperti. Per una spiritualità concreta e
responsabile, Queriniana, Brescia 2011, 65.
129
Misalnya bdk. FRANSISKUS, Pidato pada Vigili Hari Raya Pentekosta
dengan Kelompok-kelompok, Komunitas-komunitas baru, Persatuan dan
gerakan gerejani (18 Mei 2013); Idem., Homili dalam rangka kanonisasi para
Martir dari Otranto serta dua Beata dari Amerika Latin (12 Mei 2013); Idem.,
Angelus (11 Januari 2015).
74
kasih dilaksanakan oleh Gereja sebagai inisiatif komuniter, spontanitas
pribadi harus disatukan dengan perencanaan, pandangan ke masa depan
dan kerja sama dengan institusi serupa”130.
Sikap seperti ini memberi nilai pada kehidupan bersama kita, terutama
dimana muncul kerapuhan baru dan membutuhkan pendampingan yang
“mantap dan meyakinkan, serta mencerminkan kedekatan kita”131.
“Beberapa orang menginginkan Kristus yang murni spiritual, tanpa
daging dan tanpa salib, mereka juga ingin hubungan interpersonal mereka
disediakan oleh peralatan yang canggih, dengan layar dan sistem yang
dapat dihidupkan dan dimatikan menurut perintah. Sementara itu, Injil
mengundang kita terus-menerus menghadapi risiko perjumpaan tatap
muka dengan orang lain, dengan kehadiran fisik mereka yang menantang
kita, dengan rasa sakit dan permintaan mereka, dengan sukacita mereka
yang menulari kita dalam interaksi yang akrab dan berkesinambungan.
Iman yang benar akan Putra Allah yang menjelma tidak bisa dilepaskan
dari pemberian diri, dari keanggotaan dalam komunitas, dari pelayanan,
dari rekonsiliasi dengan sesama. Putra Allah, dengan menjadi manusia,
mengundang kita kepada revolusi kasih yang lemah lembut”132.
Wajah Bapa dalam Putera adalah wajah belaskasih. “Yesus dari Nazaret,
dengan kata-kata, tindakan dan keseluruhan dirinya, menyatakan
kerahiman Allah”133. Semua kaum hidup bakti dipanggil untuk
mengkontemplasikan dan memberi kesaksian tentang wajah Allah seperti
Dia yang mengenal dan mengerti kelemahan-kelemahan kita (bdk. Mzm.
102), untuk mengoleskan minyak kedekatan pada luka manusia dan
bukannya sinisme ketidakpedulian.
“Mari kita membuka mata dan melihat misteri dunia, luka-luka dari
saudara dan saudari kita yang menyangkal martabat mereka, dan marilah

130
BENEDIKTUS XVI, Ensiklik Deus caritas est (25 Desember 2005), 31.
131
FRANSISKUS, Seruan Ap. Evangelii gaudium (24 November 2013), 169.
132
Idem., 88.
133
FRANSISKUS, Misericordiae vultus, Bula penentuan Yubileum Luar Biasa
Kerahiman Ilahi (11 April 2015), 1.
75
kita menyadari bahwa kita diminta untuk memperhatikan teriakan
mereka. Marilah kita menjangkau serta mendukung mereka agar mereka
dapat merasakan kehangatan dari kehadiran, persahabatan dan
persaudaraan kita. Semoga teriakan mereka menjadi teriakan kita juga
dan bersama-sama kita hancurkan tembok-tembok perbedaan yang telalu
sering mendominasi untuk menutup-nutupi kemunafikan dan egoisme
kita”134. Kontemplasi kerahiman illahi mengubah kepekaan manusiawi
kita dan menjaganya dalam pelukan hati yang mampu melihat.

Dalam tarian ciptaan


60. “Laudato si’ mi Signore cum tucte le tue creature”135. Madah
Santo Fransiskus Asisi ini terus bergema pada awal abad ke-21,
mengundang kekaguman karena mampu melihat keindahan awal ketika
kita diciptakan sebagai makhluk. Dalam diri Fransiskus Asisi, kita
menemukan kerendahan hati Kristus di mana “di dalam Dialah telah
diciptakan segala sesuatu” (Kol. 1:16); kemuliaan Allah bercahaya dan
yang mahabesar terlihat dalam yang sangat kecil.
Tuhan bermain-main di kebun ciptaan-Nya. Kita dapat mendengar gema
dari permainan itu ketika kita berada sendirian di malam berbintang,
ketika kita melihat saat anak-anak sungguh adalah anak-anak; ketika kita
merasakan cinta dalam hati kita. Pada saat-saat yang penuh kesadaran itu,
‘kebaruan’ kekosongan dan kemurnian pandangan menjadi jelas,
membuat kita dapat melihat sekilas tarian kosmik dengan irama
keheningan, musik dari sebuah pesta pernikahan136.
Kita pun hadir dalam tarian para makhluk ciptaan itu sebagai penyanyi
dan penjaga yang sederhana. Penyanyi: dipanggil untuk menghidupkan
kembali identitas kita sebagai makhluk ciptaan, memuji bersama dalam
simfoni alam semesta yang mahabesar. Penjaga: dipanggil untuk

134
Idem., 15.
135
SANTO FRANSISKUS ASISI, Cántico de las criaturas, 1.
136
Bdk. T. MERTON, Semi di contemplazione, Garzanti, Milan 1953.
76
menjaga keharmonisan dan keindahan ciptaan seperti para penjaga yang
menantikan fajar. Paus Fransiskus meminta kita untuk ingat bahwa kita
bukanlah tuan atas semesta alam, beliau meminta kita untuk memiliki
pandangan antropologis baru seturut visi Dia yang ‘menggerakkan langit
dan bintang-bintangnya”137, dengan menghargai martabat kita sebagai
manusia, makhluk-makhluk dunia ini yang memiliki hak untuk hidup dan
mencapai kebahagiaan138.
Antroposentrisme modern pada akhirnya memunculkan pemikiran teknis
atas realitas, dengan mencari jalan tengah antara martabat intrinsik dunia,
dalam keterpaduan tatanannya dan semua makhluk. Paus Fransiskus
meneruskan dengan mengutip Romano Guardini, manusia “tidak
merasakan alam sebagai norma yang valid, tidak juga sebagai tempat
perlindungan yang hidup. Manusia melihat alam, tanpa membuat
hipotesis, sebagai tempat dan obyek yang dimanfaatkan, bahan dasar
untuk dibentuk menjadi sesuatu yang berguna, tanpa peduli apa yang
akan diakibatkannya”139. Kita mengalami antroposentris yang
berlebihan.
61. Relasi yang baru dengan alam tidaklah mungkin terjadi tanpa
hati yang baru, hati yang dapat mengenali keindahan dalam setiap
ciptaan, martabat manusia yang unik, kebutuhan akan relasi serta
keterbukaan kepada ‘Kamu’ yang dikenal setiap orang sebagai ‘Yang
Illahi’. Sebagai kaum hidup bakti, kita merasakan panggilan pada sebuah
relasi, yang bersifat sirkular, pada hati yang mampu menaikkan doa
pujian, ekspresi dari askesis yang menuju pada pertobatan, melampaui
auto-referensial yang membuat kita sombong dan tertutup –sementara
menjatuhkan orang lain dan alam– kepada kekudusan Kristus dimana
semua diterima, disembuhkan, disatukan kembali dalam martabatnya
sebagai manusia dan ciptaan.

137
D. ALIGHIERI, Divina Comedia. Paraíso, XXXIII, 145.
138
Bdk. FRANSISKUS, Ensiklik Laudato si’ (18 Juni 2015), 43.
139
Idem., 115.
77
Kita mendengar, berdasarkan apa yang disarankan oleh hati yang
bijaksana, panggilan untuk membuat pilihan dan tindakan nyata bagi
orang-orang, komunitas serta Tarekat, yang mewujudkan gaya hidup
yang masuk akal dan adil140. Kita dipanggil, bersama saudara dan saudari
sesama umat manusia untuk menerima “tantangan budaya, spiritual dan
pendidikan yang besar, yang akan meminta proses-proses pembaruan
yang panjang”141.

Sebuah filokalia baru

62. Kebutuhan akan formasi permanen kembali bergema –filokalia


baru– yang membuka, memberi tubuh dan dorongan akan habitus
kontemplatif dalam diri kita, kaum hidup bakti. “Memperhatikan
keindahan, dan mencintainya, membantu kita keluar dari sikap mencari
kegunaan praktis saja. Ketika seseorang tidak belajar mengambil waktu
untuk mengagumi dan menghargai apa yang indah, tidaklah
mengherankan kalau segala benda baginya menjadi objek untuk
digunakan dan disalahgunakan tanpa merasa bersalah”142. Paus
Fransiskus mengundang kita untuk memiliki gairah akan komitmen
pendidikan menurut spiritualitas ekologi “yang berakar dalam keyakinan
iman kita, karena apa yang diajarkan Injil kepada kita memiliki
konsekuensi terhadap cara kita berpikir, berperasaan, dan hidup”143.
Sebuah spiritualitas yang mengundang pada pertobatan dan, karena itu
pula pada askesis, yang karena sadar bahwa cara hidup kita kadang
menjadi tidak seimbang karena cenderung pada rutinitas, kita
mewajibkan diri untuk bertransformasi dari dalam. “Semakin banyak
padang gurun eksterior yang muncul di dunia, sebab telah meluas pula

140
Bdk. Idem., 203-208.
141
Idem., 202
142
Idem., 215.
143
Idem., 216.
78
padang gurun interior”144. Untuk membuat padang gurun menjadi subur,
dalam hidup batin, kita harus memiliki persaudaraan , hidup misi, benih
kepedulian, kelembutan, rasa syukur, kerelaan memberi dan sukacita
dalam hal-hal kecil serta sederhana, kegembiraan akan perjumpaan dan
pelayanan, “dalam pengembangan bakat, dalam musik dan seni, dalam
kontak dengan alam, dalam doa”145.
Pada waktu penciptaan, ada hari ketujuh di mana Allah menciptakan
istirahat. Kita tampaknya tidak tersentuh oleh nikmatnya istirahat. Kita
bekerja dengan tanggung jawab yang sangat terpuji, namun seringkali
tanggung jawab itu menjadi paradigma hidup bakti kita. Undangan untuk
menemukan hari Yesus yang bangkit dalam hidup serta komunitas kita,
kembali bergema. Hari yang telah tiba dan dari mana kita dapat kembali
berangkat, namun terlebih, hari di mana kita berhenti untuk menikmati
keindahan dari Kehadiran yang terkasih.
63. “Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu” (Kid. 8:6), pinta
mempelai dalam Kitab Kidung Agung, seakan-akan ingin mengikat cinta
pada sebuah ikatan kesetiaan. Perhatian yang dibutuhkan dalam
mendampingi kesetiaan kita mengikuti jejak Kristus dengan pembaktian
istimewa, menjadi jelas bahwa kadang melemah karena kerapuhan hidup
kita dalam Roh (bdk. 1 Tes. 5:17,19). Dimensi kontemplatif dalam hidup
bakti akan menjadi matang bila ruang-ruang formasi dibuka, jalan dipilih,
diusahakan dan dijalani.
Oleh karena itu, kita merasa dipanggil untuk melihat Ratio formationis
kita, praktek-praktek serta pengalaman-pengalaman formatif, serta
habitat formatif dalam berbagai bentuk hidup bakti. Kita harus
mempertanyakan kembali cara hidup pribadi kita dalam keseharian dan
dalam hidup persaudaraan: bagaimana cara kita berdoa, bermeditasi dan
belajar, bagaimana kita hidup dalam relasi kehidupan kerasulan, serta
bagaimana kita beristirahat. Sikap kontemplatif mempertanyakan

144
BENEDIKTUS XVI, Homili pada awal masa pontifical, Vatikan (24 April
2005).
145
FRANSISKUS, Ensiklik Laudato si’ (18 Juni 2015), 223.
79
dinamika hidup sehari-hari disekitar kita: pilihan-pilihan kita, penilaian
moral, kelalaian, cara dan kebiasaan, pluralitas pilihan dan keputusan,
serta budaya. Segalanya diselediki melalui proses disermen dan diterangi
oleh keindahan Misteri yang hidup dalam diri kita. Terang itu haruslah
diperkenalkan pula kepada umat manusia, sehingga kaum hidup bakti
menjadi seperti “kota yang terletak di puncak bukit yang berbicara
tentang kebenaran serta kuasa Sabda Yesus”146.

146
FRANSISKUS, Surat Ap. Kepada semua kaum hidup bakti, dalam rangka
Tahun Hidup Bakti (21 November 2014), II, 2.
80
Penutup

Kidung Agung 7:11

81
Mendengarkan
64. Cinta adalah kejadian yang mengubah waktu, memberi energi
yang, semakin dia dihabiskan, semakin tumbuhlah energi yang baru.
Itulah ciri-ciri cinta yang mampu menanti, belajar untuk menunggu.
Inilah yang terjadi pada Yakub yang jatuh cinta pada Rahel. “Yakub cinta
kepada Rahel, sebab itu ia berkata: "Aku mau bekerja padamu tujuh tahun
lamanya untuk mendapat Rahel, anakmu yang lebih muda itu."... untuk
mendapat Rahel itu, tetapi yang tujuh tahun itu dianggapnya seperti
beberapa hari saja, karena cintanya kepada Rahel” (Kej. 29:18,20). Cinta
Yakub pada wanita itu menjadi alasannya untuk hidup, sehingga dia
bekerja keras sampai waktu menjadi tidak penting. Dalam Kidung
Agung, waktu tampaknya menghilang. Cinta menarik manusia dari
ketertindasan akibat waktu dan benda-benda dan menggantikan
koordinat ruang-waktu, atau lebih baik lagi, mengoksigenkan mereka
dalam atmosfer kebebasan yang memberi keunggulan, bukan untuk
melakukan, tetapi untuk tinggal, merenungkan dan merangkul.
Orang yang jatuh cinta ingin melihat wajah kekasihnya lagi dan sadar
bahwa sukacita perjumpaan akan diikuti oleh kerinduan yang tidak
pernah terpuaskan. Dengan ajakan kepada sang kekasih untuk melompat
“di atas gunung-gunung” (Kid. 8:14), dinamika kerinduan dan pencarian
dinyalakan kembali. Ini adalah sebuah madah terbuka yang merayakan
keindahan sang kekasih yang tidak pernah dapat dimiliki apabila tidak
mengakui keberbedaannya, di mana tubuh adalah simbol. Pencarian
kembali dimulai agar kedua orang yang saling jatuh cinta itu dapat terus
saling memanggil tanpa henti, melepaskan teriakan yang adalah
permohonan yang paling tajam: “Marilah!”. Itulah panggilan kerinduan
timbal balik (Kid. 2:10,13; 4:8; 7:12), panggilan yang diserukan untuk
mengatasi kesendirian, sebuah panggilan untuk bersatu.
Dalam dinamika pernikahan hidup bakti, dorongan jiwa ini diubah
menjadi doa yang tidak pernah putus. Sang Kekasih dipanggil sebagai
kehadiran yang berkarya di dunia, aroma kebangkitan yang menghibur,
menyembuhkan dan membuka harapan (Yer. 29:11). Marilah kita juga

82
menyerukan permohonan yang menutup Kitab Wahyu: Roh dan
pengantin perempuan itu berkata: "Marilah!" Dan barangsiapa yang
mendengarnya, hendaklah ia berkata: "Marilah!" (Why. 22:17).

Di atas gunung sebagai tanda pemenuhan


65. "Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub,
supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya (Yes. 2:3). Perhatian,
intensi, kehendak, pikiran, perasaan, emosi, segala sesuatu yang ada
dalam hatiku, marilah, kita naik ke atas gunung, tempat di mana Tuhan
melihat dan dapat dilihat”147.
Jika panggilan pada kontemplasi, panggilan untuk naik ke gunung Tuhan,
adalah juga panggilan Gereja dan jika seluruh tindakan diarahkan dan
didasarkan padanya148, panggilan itu mendapatkan makna dan
penekanannya bagi komunitas monastik, komunitas pendoa yang
mendedikasikan diri seluruhnya pada kontemplasi, seturut karisma khas
dari setiap keluarga religius.
Hidup monastik adalah bentuk kelahiran pertama dari komunitas-
komunitas hidup bakti dalam Gereja, dan sampai hari ini masih ada kaum
pria dan wanita yang jatuh cinta pada Allah, yang hidup untuk mencari
wajah-Nya, berhasil menemukan dan mengkontemplasikan Allah dalam
dunia. Kehadiran komunitas-komunitas tersebut bagaikan kota yang
terletak di atas puncak gunung dan pelita yang berada di atas kaki dian
(bdk. Mat. 5:14-15), meski dalam kesederhanaan hidup yang dapat dilihat
dari tujuan keseluruhan komunitas gerejani yang “melangkah maju

147
GUILLERMO DE SAINT-THIERRY, La contemplazione di Dio, Prólogo,
1.
148
Bdk. KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi Kudus
Sacrosanctum Concilium, 2.
83
menelusuri kurun waktu dengan pandangannya tertuju ke arah pemulihan
segala sesuatu dalam Kristus di masa mendatang”149.
Apa yang dapat digambarkan oleh pria dan wanita yang memilih hidup
di atas gunung untuk berdoa, bagi Gereja dan dunia? Apa makna yang
dapat diberikan oleh komunitas yang mendedikasikan diri sepenuhnya
pada doa dan kontemplasi dalam konteks koinonia injili dan ketekunan?
66. Hidup orang-orang yang kontemplatif menampilkan gambaran
cinta, pria dan wanita yang hidup tersembunyi bersama Kristus dalam
Allah (bdk. Kol 3:3). Mereka mendiami alur sejarah manusia dan terletak
di jantung Gereja dan dunia150, mereka berdiri “di hadapan Allah demi
semua orang”151.
Komunitas pendoa tidak menawarkan pemenuhan Injil yang lebih
sempurna melainkan mengajak untuk berdisermen demi kebaikan
seluruh Gereja. Hal itu merupakan tanda yang menunjukkan jalan,
mengingatkan kembali seluruh Umat Allah akan makna hidup152. Kaum
hidup bakti dalam kesuburan intim akan permohonan, komunitas-
komunitas kontemplatif, adalah gambaran akan nostalgia surga, masa
depan dari Allah, penantian mempelai wanita yang penuh gairah dalam
Kidung Agung, “yang menandakan persatuan eksklusif Gereja sebagai
Mempelai dengan Tuhannya, yang dikasihinya di atas segala sesuatu”153.
Komunitas-komunitas kontemplatif dipanggil untuk menghayati kategori
saat ini yang telah diberikan154 sebagai sebuah misi, sadar bahwa saat ini

149
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-sinode Vita consecrate (25 Maret
1996), 59.
150
KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja
Lumen Gentium, 44; YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-sinode Vita
consecrate (25 Maret 1996), 3, 29.
151
E. STEIN, Lettera a Fritz Kaufmann, dalam M. PAOLINELLI, «Stare
davanti a Dio per tutti». Il Carmelo di Edith Stein, OCD, Roma 2013.
152
Bdk. KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Dekrit tentang penyesuaian dan
pembaharuan Hidup Religius Perfectae caritatis, 5.
153
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-sinode Vita consecrate (25 Maret
1996), 59.
154
BENEDIKTUS XVI, Ensiklik Spe Salvi (30 November 2007), 9.
84
dan keabadian tidak mendahului satu sama lain melainkan berhubungan
sangat dekat.
Paus Fransiskus berkata, “Panggilan monastik adalah tegangan antara
berada tersembunyi dengan berada secara kelihatan: tegangan yang
mendasar, tegangan kesetiaan. Panggilan kita adalah untuk pergi ke
ladang pertempuran, untuk berjuang mengetuk hati Tuhan”155.
Stabilitas monastik memberi ruang kepada Allah dan mewartakan
kepastian kehadiran-Nya dalam setiap peristiwa hidup manusia, di mana
pun mereka berada: di mana pun manusia tinggal, di sana pula Allah
tinggal bersama dengan Putra-Nya, Yesus Kristus. Keberadaan
komunitas-komunitas kontemplatif berbicara tentang tempat tinggal dari
orang yang tidak lewat begitu saja, seperti orang Lewi atau imam dari
perumpamaan. Komunitas-komunitas tersebut adalah tempat tinggal dari
mereka yang mampu tinggal secara stabil, membiarkan diri menemukan
manusia dan kebutuhan-kebutuhannya, menerima kemanusiaan yang
terluka dan memasukkannya ke dalam relasi personal mereka dengan
Allah.
Mengekspresikan cinta kepada Allah adalah menceritakan perumpamaan
Kerajaan Allah kepada umat manusia, inilah hidup kontemplatif
seutuhnya. Bagi para biarawan dan biarawati, dunia merupakan
cakrawala doa mereka; kebisingan dan keheningan dari kesedihan
mereka, kegembiraan, harta, harapan dan tekanan hidup mereka; padang
gurun kesepian serta kebisingan mereka.
Inilah jalan dari para peziarah yang mencari Allah yang sejati, inilah
kisah dari setiap orang yang kontemplatif, yang selalu waspada, sambil
selalu menyadari bahwa dia sedang mengikuti jejak Krsitus untuk
menjadi serupa dengan-Nya. Stabilitas selalu menampakkan diri sebagai
sebuah jalan, peluang untuk pergi lebih jauh dari batas-batas ruang dan
waktu, untuk memajukan umat manusia. “Mari kita pergi untuk mati bagi

155
FRANSISKUS, Surat kepada kaum hidup bakti pria dan wanita di Keuskupan
Roma, Vatikan (16 Mei 2015).
85
bangsa kita”, kata Edith Stein kepada saudarinya, Rosa, ketika ditangkap
di Biara Eckt dan dibawa ke Auschwitz156.
67. Hidup monastik, yang sebagian besar adalah feminim, berakar
dalam keheningan yang menjadi subur. “Saling memahami satu sama lain
sebagai wanita-wanita pendoa, adalah tantangan yang besar”, tegas para
biarawati. Ini berarti menghayati sebuah status hidup yang kreatif.
Kehidupan monastik feminim menjadi pusat dari doa permohonan, kisah
akan relasi-relasi yang benar, tentang merawat dan menyembuhkan: yang
merupakan penjaga seluruh jejak kehidupan, yang mampu merasakan
keharmonisan meski ketika mereka tersembuyi dan sulit ditemukan. Para
biarawati mampu menjadi suara yang menyerukan rasa syukur dan
pertanyaan-pertanyaan yang bermanfaat, tanpa idealisasi yang sudah
terbentuk sebelumnya, sementara membiarkan diri mereka dibentuk oleh
kuasa Injil. Persatuan hati, dinamika hidup monastik, secara mendesak
mensyaratkan bahwa kehidupan monastik diusulkan kembali sebagai
empati, sebagai laboratorium narasi keselamatan, sebagai disposisi sadar
terhadap dialog dalam budaya fragmentasi, kompleksitas dan
ketidakpastian, menjauh dari pesona kedamaian imajiner.
Semua itu menuntut formasi dalam hidup iman, yang dimatangkan
sebagai ketaatan pada Roh. Selain itu juga menuntut kemampuan
mendengarkan tanda-tanda jaman secara aktif dalam relasi nyata dengan
sejarah dan dengan kenyataan unik Gereja, dan bukannya pada kenyataan
yang dibuat-buat oleh informasi yang abstrak. Hal itu juga menuntut doa
permohonan yang mendorong dan melibatkan kehidupan, tempat di mana
nubuat menjadi kenyataan.
68. Dari perbatasan yang manusiawi itu, komunitas-komunitas
kontemplatif menjadi mampu melihat lebih jauh, melihat yang Lebih
Jauh. Eskatologi bukanlah bagi mereka yang melompati apa yang
manusiawi, melainkan bagi mereka yang, berusaha seumur hidup
mencari Allah, tenggelam dalam kejadian-kejadian hidup untuk

156
Kata-kata terakhir dari Edith Stein (Santa Bernadet dari Salib) kepada
saudarinya, Rosa, di Biara Eckt.
86
melakukan disermen terhadap jejak-jejak kehadiran Allah dan melayani
rencana-Nya. Tembok-tembok yang ada mengelilingi ruang itu ada di
sana untuk membantu pencarian, usaha mendengarkan serta doa. Mereka
tidaklah menggambarkan ketakutan yang tidak masuk akal akan
keterpisahan maupun pelemahan atas perhatian atau penerimaan. Mereka
mengekspresikan detak jantung cinta kita pada Gereja dan cinta kasih kita
pada sesama.
Kehidupan kontemplatif yang integral menceritakan kembali keserasian
antara waktu dan eskatologi. Waktu dipersingkat. Pemuridan dan
penantian berjalan bersama. Perintah ‘ikutilah Aku’ dari Yesus kepada
para murid-Nya tidak dapat dipenuhi tanpa parusía yang menjadi seruan
doa Gereja, harapan yang memohon, “Datanglah, Tuhan Yesus” (Why.
22:20). Gereja-Mempelai subur dengan kesaksian akan ‘yang lebih jauh’,
sebab dimensi eskatologis berhubungan dengan tuntutan akan harapan
kristiani.
Komunitas kontemplatif yang berada di atas gunung dan di pusat kota
yang ramai dan kacau, bagaikan relasi yang hidup antara saat ini dengan
keabadian. Komunitas yang berkontemplasi mengingatkan kita bahwa
kita tidak memiliki waktu yang tidak terbatas, kepulangan yang abadi,
sebuah kontinuum yang homogen tanpa kejutan, dan yang menjadi saksi
atas peluang epifani yang baru. Hari-hari kita bukanlah keabadian yang
kosong, terpecah-pecah dan cair, dimana segalanya dapat saja terjadi,
kecuali sesuatu yang bersifat hakiki. Semoga Keabadian masuk dalam
waktu dan memberi waktu kepada waktu. Dimensi waktu yang dipenuhi
oleh keabadian dialami. Eskatologi kristen tidak lagi dialami sebagai
bagian yang lemah dalam kehidupan kita yang singkat ini, melainkan
sebagai evolusi yang berkelanjutan dan bercahaya157. Orang-orang yang
kontemplatif tidaklah merasakan waktu sebagai sesuatu yang hancur saat
harus mengalami penantian, melainkan sebagai aliran yang berkelanjutan
dari Keabadian dalam kehidupan sehari-hari. Itu adalah nubuat
kehidupan yang terus mengingatkan kita tentang hubungan yang hakiki

157
Bdk. J.B. METZ, Tempo di religiosi? Mistica e politica della sequela,
Queriniana, Brescia 1978.
87
antara sequela dengan penantian. Kita tidak dapat menghilangkan satu
komponen tanpa membahayakan yang lain, kita tidak dapat hidup tanpa
nafas keabadian, tanpa penantian, tanpa eskatologi.
69. Budaya injili yang sangat dekat dengan biara-biara, telah
menunjukkan selama berabad-abad, bahwa pengharapan kristiani yang
dihayati dalam penantian, mengambil bentuk opus Dei yang tidak
membawa pada pelepasan terhadap sejarah dan kehidupan sosial,
melainkan menumbuhkan tanggung jawab dan memberi tempat pada
kemanusiaan yang lebih baik. Dalam budaya yang telah melahirkan
eskatologi gelap kebosanan, waktu tanpa waktu, budaya yang
menghindari transendensi, masa kontemplatif dapat dan harus bercahaya;
masa mereka yang memiliki sesuatu yang penting untuk dikatakan.
Mereka, melalui hidup dalam keheningan dan penuh sukacita serta
kenabian, dengan menghindari segala bentuk manipulasi dan kompromi,
mereka membuktikan ketidakpastian dan karakter fana dari setiap budaya
yang membatasi kehidupan.
Komunitas kontemplatif, dimana pria dan wanita hidup dalam pencarian
Wajah dan mendengarkan Sabda setiap hari, sadar bahwa Allah tetap
adalah infinitas yang tidak dapat dikenali, mereka tenggelam dalam
sebuah dialektik ‘sudah dan belum’. Cara berpikir yang tidak hanya
mempengaruhi relasi waktu-keabadian, melainkan juga relasi antara
pengalaman akan Allah yang hidup dengan kesadaran akan transendensi-
Nya yang misterius. Itu semua terjadi dalam kehidupan mereka sendiri,
dalam kesulitan-kesulitan, dalam aliran hari dan peristiwa.
Manusia yang waspada, penjaga-penjaga malam di atas gunung yang
menjaga tanda-tanda awal datangnya fajar (bdk. Yes, 21:12) serta
mewartakan kedatangan Allah yang menyelamatkan.

88
Berada di jalanan untuk menjaga Allah
70. “Mencari wajah Allah dalam segalanya, dalam diri semua orang,
di setiap waktu; serta melihat tangan-Nya bekerja dalam segala peristiwa.
Inilah yang dimaksudkan sebagai kontemplatif dalam dunia”158, tulis Ibu
Teresa dari Kalkuta.
Apabila komunitas-komunitas secara integral didedikasikan pada terang
kontemplasi yang memimpin jalannya, maka seluruh hidup dari kaum
hidup bakti dipanggil untuk menjadi ruang yang memungkinkan adanya
pelukan dan tempat di mana dapat ditemukan kebersamaan dengan Allah.
Kontemplasi kristiani yang sesungguhnya tidak dapat mengecualikan
gerakan yang mengarah ke luar, sebuah pandangan yang berasal dari
misteri Allah mengarah ke dunia dan diterjemahkan sebagai belas kasih
yang aktif. “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah” (Yoh. 1:18),
namun Yesus sendiri membuatnya menjadi jelas, Bapa yang tadinya tidak
terlihat menjadi satu wajah yang dapat dilihat. Hanya ketika seseorang
membiarkan diri dipakai oleh Kristus dan pilihan-pilihan-Nya, dia akan
dapat berkontemplasi. Orang yang ingin mengkontemplasikan Allah
menerima untuk hidup sedemikian rupa sehingga orang lain dari
jamannya dapat mengenali Allah. Allah menyatakan diri-Nya sebagai
tamu dan teman perjamuan bagi mereka yang hidup sebagai saksi Allah
dalam Yesus Kristus di dunia.
Kita dipanggil untuk menikmati misteri dari “Allah penyayang dan
pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Kel.
34:6), dari Allah yang adalah kasih (1 Yoh. 4:16) dan menjaga-Nya di
jalan-jalan manusia, juga dalam persaudaraan.
Paus Fransiskus mengundang kaum hidup bakti di Korea, “Kalian
ditantang untuk menjadi ‘ahli-ahli’ kerahiman illahi melalui hidup dalam
komunitas. Dari pengalaman, saya tahu bahwa hidup komunitas tidaklah

158
J.L. GONZÁLEZ BALADO (Editor), I fioretti di Madre Teresa di Calcutta.
Vedere, amare, servire Cristo nei poveri, San Paolo, Cinisello Balsamo (MI)
1992, 62.
89
selalu mudah, namun merupakan latihan dasar yang diberikan Allah
untuk hati kita. Tidaklah realistis jika kita mengharapkan tidak adanya
konflik. Kesalahpahaman akan muncul dan itu harus dihadapi. Meski
memiliki banyak kesulitan, namun dalam hidup berkomunitaslah kita
dipanggil untuk bertumbuh dalam belas kasih, kesabaran dan cinta kasih
yang sempurna”159. Dalam visi itulah hidup persaudaraan kita dievaluasi:
tempat belas kasih dan perdamaian, atau sebuah ruang dan relasi yang
tidak berguna dimana rasa curiga dan penghakiman memenuhinya
dengan penilaian yang cenderung menghukum.
71. Kontemplasi dapat terjadi kapan pun dan di mana pun, baik di
atas gunung yang sunyi maupun di perbatasan dari yang tidak manusiawi.
Dan itu menyelamatkan. Komunitas dari kaum hidup bakti, baik pria
maupun wanita, yang berperan sebagai penjaga dalam kota dan di
perbatasan-perbatasan antar bangsa, adalah tempat, yang disediakan para
saudara dan saudari bagi mereka sendiri dan bagi orang lain, untuk
memusatkan perhatian pada Allah. Sebuah undangan untuk menjadi
komunitas-komunitas pendoa di mana Allah hadir; sebuah panggilan
untuk hidup dalam kewaspadaan pengaturan waktu agar tidak hanya
dipenuhi dengan hal-hal, kesibukan dan kata-kata. Melalui kontak dan
dialog terus menerus dengan budaya-budaya, komunitas-komunitas
kerasulan, persaudaraan dan individu kaum hidup bakti dalam berbagai
bentuk, menjaga waktu Allah di dunia, alasan serta cara hidup Injili.
“Komunitas-komunitas itu merupakan tempat harapan dan penemuan
nilai-nilai Sabda Bahagia. Di situ, cintakasih menimba kekuatan dari doa,
sumber persekutuan dan dimaksudkan menjadi pola hidup dan sumber
kegembiraan”160. Itulah tanda dari Dia yang selalu datang menjumpai kita
sebagai Dia yang Hidup.
Pada saat konflik global yang sangat pahit (1943) di Auschwitz, di mana
dalam segala hal diwartakan, atau bahkan diteriakkan, bahwa Allah dan

159
FRANSISKUS, Kepada komunitas-komunitas religius di Korea, Seoul (16
Agustus 2014).
160
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-sinode Vita consecrate (25 Maret
1996), 51.
90
manusia sudah mati, Etty Hillesum, seorang wanita muda Yahudi, dapat
merasakan dengan intuisi kontemplatifnya, ikatan intim antara nasib
seseorang dengan orang lain dan menemukan kembali, dalam dirinya
sendiri, kebenaran manusiawi sebagai ruang relasi belaskasih di mana
kehadiran Allah dapat terus hidup. Dia memberi tugas pada dirinya
sendiri: untuk melindungi dan menjaga, tidak hanya hidup fisiknya,
melainkan yang lebih penting, kehidupan batinnya yang terdalam. Inilah
pengalaman mistik yang didapatkan oleh orang-orang yang berjiwa
pendoa. “Allahku, ini sungguh-sungguh saat penuh penderitaan! Malam
ini, untuk pertama kalinya, aku terjaga dalam kegelapan dengan mata
yang terasa perih. Di hadapanku, silih berganti muncul gambar demi
gambar tentang penderitaan manusia. […] Dan hampir di setiap detak
jantungku, tumbuhlah keraguanku […]. Sekarang giliran kami untuk
membantu-Mu, melindungi rumah-Mu dalam diri kami sampai akhir.
Ada orang-orang yang pada saat-saat akhir kuatir untuk berusaha
menyelamatkan penyedot debu, garpu dan pisau perak, dan bukannya
menyelamatkan-Mu, Allahku […]. Engkau telah membuatku sungguh
kaya, ya Allah, biarlah aku memberikannya juga pada orang lain
sebanyak mungkin. Hidupku telah menjadi sebuah dialog yang tidak
pernah terputus denganmu, satu-satunya dialog yang agung”161.
Ketika roh memahami, melihat dan menikmati kekayaan yang adalah
Allah sendiri, dia akan memberitakannya ke seluruh dunia sebagai
keselamatan dan sukacita. Benarlah apa yang dijanjikan Yesaya, “Tuhan
akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah
yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti
taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah
mengecewakan” (Yes. 58. 11-12).
72. Kontemplasi yang setia dan koheren pada pelaksanaan misi,
telah memanggil kaum hidup bakti baik pria maupun wanita pada ujung
ekstrim dari ekstasi, “dengan menumpahkan darah mereka, dan dengan

161
E. HILLESUM, Diari 1941-1943, Adelphi, Milan 1996, 169-170; 682.
91
demikian secara sempurna menyerupai Tuhan yang disalibkan”162. Ini
adalah ekstasi yang dikatakan sebelumnya oleh Bapa Christian dari
Chergé, pemimpin Biara di Tibhirine, yang dipenggal kepalanya bersama
dengan enam saudara di Gunung Atlas, Algeria, pada bulan Mei 1996.
Tujuh orang biarawan yang memilih untuk menjadi saksi Allah dalam
hidup yang hening dan sepi, dalam keseharian yang dapat dijangkau oleh
orang-orang.
“Tentu kematianku akan tampak sebagai kemenangan bagi mereka yang
secara kejam menghakimiku sebagai orang yang naif dan idealis:
‘Biarkan dia sekarang mengatakan kepada kita apa yang menjadi cita-
citanya’. Namun orang-orang itu harus tahu bahwa pada akhirnya,
keingintahuanku yang terbesar akan dibebaskan. Inilah yang dapat aku
lakukan, yaitu kehendak Allah: menenggelamkan pandanganku pada
pandangan untuk, bersama-sama dengan-Nya mengkontemplasikan
anak-anak-Nya, kaum Muslim, sebagaimana Dia memandang mereka,
semua bersinar dengan kemuliaan Kristus, buah dari sengsara-Nya,
dipenuhi dengan karunia Roh Kudus yang sukacita-Nya akan selalu
menghasilkan persatuan dan memulikan kesenangan, bermain dengan
perbedaan. Untuk hidupku dan hidup mereka yang telah hilang, aku
bersyukur kepada Allah, yang menghendaki semua ini demi sukacita
dalam segalanya dan demi segalanya”163.
Hidup menjadi madah pujian, sementara doa kontemplatif mengalir
seperti berkat yang menyembuhkan dan memulihkan, serta membuka
pada persatuan –melampaui kelompok-kelompok etnis, agama dan
budaya– sambil membawanya menuju pada pemenuhan masa yang akan
datang.
“Tubuhku adalah untuk bumi, namun, tolong
jangan ada dinding pemisah antara bumi dan aku.

162
YOHANES PAULUS II, Seruan Ap. Post-sinode Vita consecrate (25 Maret
1996), 86.
163
C. DE CHERGÉ, Testamento spiritual, dalam C. DE CHERGÉ dan biarawan-
biarawan dari Tibhirine, Più forti dellàodio, Edizioni Qiqajon, Comunità di Bose
2006, 219-220.
92
Hatiku adalah untuk kehidupan, namun, tolong,
jangan ada kepalsuan antara kehidupan dan aku.
Lenganku adalah untuk bekerja,
keduanya akan terjalin dengan sangat sederhana.
Dan wajahku,
semoga dia tetap tidak terselubung,
agar tidak menghalangi kecupan,
dan pandangan. Biarkan dia melihat”164.
Eschaton telah hadir dalam sejarah, benih yang harus dibawa hingga
kepenuhannya dalam madah kehidupan yang berkontemplasi dan
membuat harapan menjadi kenyataan.

164
Idem.
93
Untuk direnungkan

Tantangan-tantangan dari Paus Fransiskus


73. Tantangan-tantangan dari Paus Fransiskus
• Kita pun dapat bertanya, bagaimana Yesus memandangku saat ini?
Dengan panggilan? Dengan pengampunan? Dengan sebuah misi?
[…] Dalam jalan yang Dia buat, kita semua berada di bawah
pandangan Yesus: Dia selalu memandang kita dengan penuh cinta,
bertanya kepada kita tentang sesuatu, mengampuni kita untuk
sesuatu dan memberi kita sebuah misi165.

• Ada banyak permasalahan yang kamu temui setiap hari. Masalah-


masalah itu memaksamu untuk tenggelam dalam karya apostolik
dengan kemurahan hati dan semangat. Namun, kita tahu bahwa kita
tidak dapat melakukan apa pun ketika kita mengandalkan diri
sendiri. […] Dimensi kontemplatif dalam hidup kita menjadi sangat
penting bahkan di tengah-tengah tugas yang paling mendesak dan
paling sulit sekali pun. Semakin misi memanggil kita untuk pergi
menuju perbatasan-perbatasan kehidupan, semakin hati kita
merasakan kebutuhan yang besar untuk bersatu dengan hati Kristus,
yang penuh belas kasih dan cinta166.

• Semoga kamu melanjutkan perjalanan pembaharuan yang telah


kamu mulai dan, yang sebagian besar telah dilaksanakan selama
lima puluh tahun ini, dengan memeriksa semua kebaruan seturut
terang Sabda Allah dan dengan mendengarkan kebutuhan Gereja
serta dunia saat ini, dengan menggunakan semua sarana yang
disediakan oleh kebijaksanaan Gereja untuk maju dalam perjalanan

165
FRANSISKUS, Meditasi pagi di kapel Domus Sanctae Marthae, Vatikan (22
Mei 2015).
166
FRANSISKUS, Kepada para imam, biarawan, biarawati, seminari dan
beberapa perkumpulan, dalam perayaan Ibadat Sore, Tirana (21 September
2014).
94
menuju kekudusan kalian baik secara pribadi maupun komuniter.
Sarana yang terpenting dari semua itu adalah doa, doa yang tanpa
pamrih, doa pujian dan penyembahan. Kita, kaum hidup bakti, telah
dibaktikan untuk melayani Tuhan dan melayani orang lain dengan
Sabda Allah. Bukankan demikian? Tolong katakanlah kepada para
anggota yang baru, bahwa berdoa bukanlah membuang-buang
waktu percuma, menyembah Allah bukanlah kehilangan waktu,
memuji Allah bukanlah buang-buang waktu167.

• Hidup adalah sebuah perjalanan menuju kepenuhan dalam Yesus


Kristus, ketika Dia datang untuk kedua kalinya. Hidup adalah jalan
menuju Yesus, yang akan datang kembali dalam kemuliaan, seperti
yang telah dikatakan oleh para malaikat kepada para rasul di hari
kenaikan-Nya. […] Apakah aku terikat pada barang-barang, ide,
apakah aku tertutup? Atau, apakah aku terbuka kepada Allah yang
suka akan kejutan-kejutan? […] Dan secara definitif, apakah aku
percaya pada Yesus Kristus dan segala yang diperbuat-Nya, bahwa
Dia telah wafat, bangkit […] Percayakah aku bahwa jalan mengarah
pada kedewasaan, pada pernyataan kemuliaan Tuhan? Apakah aku
mampu memahami tanda-tanda jaman dan setia pada suara Tuhan
yang terdengar melalui mereka?168

• Banyak kali kita melakukan kesalahan, sebab kita semua adalah


orang berdosa. Namun ketika menyadari kesalahan, kita meminta
maaf dan maaf pun diberikan. Hal itu baik untuk Gereja:
menyebarkan persaudaraan dalam tubuh Gereja dan kepada seluruh
masyarakat. Persaudaraan itu menggambarkan kebapaan Allah dan
keibuan Gereja serta Bunda Maria. Kita harus membangun kembali,
setiap hari, diri kita dalam relasi seperti ini melalui doa, Ekaristi,
adorasi dan Rosario. Dengan demikian, kita memperbaharui ‘diri’
kita bersama Kristus dan di dalam Kristus, setiap hari, dan dengan

167
FRANSISKUS, Pidato kepada para peserta Pleno Kongregasi untuk Tarekat
Hidup Bakti dan Institut Hidup Apostolik, Vatikan (27 November 2014).
168
FRANSISKUS, Meditasi pagi di kapel Domus Sanctae Marthae, Vatikan (13
Oktober 2014).
95
cara ini menjaga diri kita tetap berada dalam relasi otentis dengan
Bapa Surgawi dan Bunda Gereja, Hirarki suci Bunda Gereja Kudus,
dan Perawan Maria. Jika dalam hidup kita selalu memperbaharui
relasi mendasar ini, maka kita pun dapat mencapai persaudaraan
yang sejati, saksi persaudaraan yang menarik perhatian169.

• Allah bekerja. Dia terus bekerja dan kita harus bertanya pada diri
sendiri, bagaimana kita harus menanggapi ciptaan Allah, yang lahir
dari cinta karena Dia bekerja melalui cinta. [...] Terhadap ‘ciptaan
pertama’ kita harus menanggapi dengan penuh tanggung jawab:
“Bumi adalah milikmu, rawatlah dan buatlah bertumbuh!” [...] Kita
juga memiliki tanggung jawab untuk membuat bumi dan ciptaan
berkembang, menjaga dan mengembangkannya seturut hukum
ciptaan, bukan menjadikan diri sebagai tuan atasnya170.

• Setiap hari kamu adalah orang yang hidup di dunia dan, pada saat
yang bersamaan, menjaga kontemplasi, dimensi kontemplatif yang
mengarah pada Tuhan dan juga relasi dengan dunia;
mengkontemplasikan kenyataan yang ada seperti
mengkontemplasikan keindahan-keindahan dunia, juga dosa-dosa
berat masyarakat, penyimpangan, semua itu, dan selalu dalam
tegangan rohani... Oleh karena itu, panggilan kita itu luar biasa,
sebab merupakan panggilan yang ada di titik itu, di mana
keselamatan dipertaruhkan tidak hanya bagi orang-orang melainkan
juga bagi institusi-institusi171.

• Bagaimana kita menanggapi karya Roh Kudus dalam diri kita, yang
mengingatkan kita akan Sabda Yesus, menjelaskan dan membuat
kita paham akan apa yang Yesus katakan? [...] Allah adalah pribadi.
Dia adalah pribadi Bapa, Putra dan Roh Kudus... jawaban kita

169
FRANSISKUS, Kepada para peserta Pertemuan Nasional Konferensi
Pemimpin Umum Itali (CISM), Vatikan (7 November 2014).
170
FRANSISKUS, Meditasi pagi di kapel Domus Sanctae Marthae, Vatikan (9
Februari 2015).
171
FRANSISKUS, Kepada peserta Pertemuan Umum Konfrensi Institut Sekuler
Italia, Vatikan (10 Mei 2014).
96
kepada ketiganya adalah menjaga ciptaan dan menumbuhkannya,
untuk berdamai dengan Yesus, dengan Allah dalam Yesus, dalam
Kristus, setiap hari, dan untuk tidak menyedihkan Roh Kudus, untuk
tidak berusaha menjauhkan Dia. Roh Kudus adalah Tamu hati kita,
Dia yang mendampingi dan mendewasakan kita172

Salam, Wanita yang berselubungkan matahari

74. Pikiran kita beralih kepada Bunda Maria, Tabut Perjanjian Allah.
Berada di samping Putranya, daging dari dagingnya dan yang berasal dari
Atas, Maria bersatu dengan Misteri. Kebahagiaan yang tidak dapat
digambarkan dan teka-teki yang tidak terjawab. Maria menjadi bait
keheningan, yang tanpanya, Sabda tidak akan dapat berkembang dan
keajaiban Allah tidak dapat bertumbuh. Tempat dimana gema Sabda dan
suara Roh dapat terdengar seperti hembusan angin yang lembut. Maria
menjadi mempelai wanita yang dipuja karena pesonanya. Karya illahi
yang dipenuh secara mengagumkan dalam dirinya diterima di atas
ranjang pernikahan hidupnya sebagai wanita:
Adorna thalamum tuum, Sion,
Virgo post partum, quem genuit adoravit173.
Maria menjadi peti harta kenangan Sang Putra, kenyataan dan kata-kata
yang sesuai dengan nubuat para nabi (bdk. Luk. 2:19) dan merenungkan
Kitab Suci dalam hatinya. Dia sungguh-sungguh menjaga segala yang
tidak dapat dia pahami, menanti hingga Misteri menyatakan dirinya.
Kisah masa kecil Yesus seperti yang diceritakan oleh Lukas, adalah liber
cordis, ditulis oleh hati Sang Bunda sebelum ditulis di atas gulungan
perkamen. Itulah tempat kedalaman, setiap kata Maria tentang sukacita,

172
FRANSISKUS, Meditasi pagi di kapel Domus Sanctae Marthae, Vatikan (9
Februari 2015).
173
Liturgia Horarum. Perayaan Yesus dipersembahkan di Bait Allah, Ibadat
Bacaan.
97
harapan dan penderitaan, telah menjadi kenangan akan Allah dalam
perenungan kontemplatif yang tekun.
Selama berabad-abad, Gereja telah memahami nilai teladan kontemplasi
Maria. Melihat Sang Bunda sebagai gambaran kontemplasi telah menjadi
usaha selama berabad-abad. Dionisius dari Cartujo menunjuk Maria
sebagai summa contemplatrix sebab, demikianlah “telah diakui bahwa
secara istimewa, oleh dia dan melalui dia, misteri keselamatan manusia
menjadi kenyataan, sehingga dia diberi rahmat untuk
mengkontemplasikan misteri itu dengan lebih dalam” . Sejak Maria
174

menerima kabar dari malaikat hingga kebangkitan Yesus, melalui stabat


iuxta crucem, dimana mater dolorosa et lacrimosa mendapatkan
kebijaksanaan tentang penderitaan dan air mata, Maria menenun
kontemplasi Misteri yang hidup dalam dirinya.
Dalam Maria, kita dapat melihat perjalanan mistik dari kaum hidup bakti,
yang dibangun di atas kebijaksanaan yang sederhana yang menikmati
misteri pemenuhan terakhir. Seorang Wanita berselubungkan matahari
muncul sebagai tanda cemerlang di langit: “Maka tampaklah suatu tanda
besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan
bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di
atas kepalanya” (Why. 12:1). Maria, Hawa yang baru, bersimpuh di kaki
salib, wanita baru dari Kidung Agung, “yang muncul dari padang gurun,
yang bersandar pada kekasihnya” (Kid. 8:5), dan melahirkan Putranya di
dunia dalam satu waktu dan kelemahan, buah dari keselamatan alam
semesta, sukacita Injil yang menyelamatkan:
Pergilah, kami memohon…
Terbanglah di antara menara dan menara
di sekeliling kubah,
masuklah melalui puncak gereja-gereja

174
S. DE FIORES, Elogio della contemplazione, in S.M. PASINI (ed), Maria
modello di contemplazione del mistero di Cristo, Ed. Monfortane, Roma 2000,
21-22.
98
dan dari belakang hutan belantara serta gedung-gedung pencakar
langit,
ke tengah-tengah istana kerajaan dan ditengah padang belantara:
engkau akan bermigrasi, hai peziarah,
sekarang dan kapan pun, engkau akan melahirkan Putramu,
sukacita dan kesatuan dari segalanya,
Oh Bunda abadi175.

Vatikan, 15 Oktober 2015


Peringatan Santa Teresia dari Avila,
Perawan dan Pujangga Gereja

Joāo Braz Kard. de Aviz


Prefek

José Rodríguez Carballo, O.F.M.


Sekretaris Uskup Agung

175
D.M. TUROLDO, O sensi miei… Poesie 1948-1988, Rizzoli, Milan 1990,
256.
99
Daftar Isi

Prolog ..................................................................................................... 5
Mendengarkan .................................................................................... 6
Hidup bakti, statio orante dalam jantung sejarah ............................... 8

Mencari................................................................................................ 19
Mendengarkan .................................................................................. 20
Belajar dari pencarian sehari-hari ..................................................... 22
Peziarah yang jauh mendalam ..................................................... 24
Quaerere Deum ............................................................................ 25
Pencarian di malam hari ................................................................... 27
Hasrat ........................................................................................... 28
Harapan........................................................................................ 30

Tinggal ................................................................................................. 32
Mendengarkan .................................................................................. 33
Dalam bentuk Keindahan ................................................................. 35
Keindahan yang melukai .............................................................. 40
Keindahan yang mencari .............................................................. 44
Dalam menjalankan kebenaran ......................................................... 46
Kekudusan yang merangkul.......................................................... 47
Mendengarkan yang mampu melihat ........................................... 49
Quies, requies, otium .................................................................... 51
Kenangan yang tidak terlukiskan ................................................. 53

100
Membentuk ......................................................................................... 57
Mendengarkan .................................................................................. 58
Di jalan keindahan ............................................................................ 60
Pedagogi mistagogis .................................................................... 61
Pedagogi paska ............................................................................ 63
Pedagogi keindahan ..................................................................... 65
Pedagogi pikiran .......................................................................... 69
Dalam kedekatan dengan kerahiman ................................................ 72
Dalam tarian ciptaan ......................................................................... 76
Sebuah filokalia baru.................................................................... 78

Penutup................................................................................................ 81
Mendengarkan .................................................................................. 82
Di atas gunung sebagai tanda pemenuhan ........................................ 83
Berada di jalanan untuk menjaga Allah ............................................ 89

Untuk direnungkan ............................................................................ 94


Tantangan-tantangan dari Paus Fransiskus....................................... 94

Salam, Wanita yang berselubungkan matahari .................................... 97

Daftar Isi ............................................................................................. 100

Diterjemahkan oleh: Sr. Caroline Nugroho, MC, dari teks bahasa


Spanyol.

101

Anda mungkin juga menyukai