Anda di halaman 1dari 13

MARIA DALAM GEREJA INDONESIA

DARI SUDUT PANDANG


SPIRITUALITAS KONSILI VATIKAN II

ARNOLD SUHARDI, SMM*)

I. Spiritualitas Konsili Vatikan II: A. Kristosentrisme – Alkitabiah – Liturgis; B. Komitmen atau Keterlibatan Nyata dalam Dunia; C.
Keterbukaan kepada Umat dari Gereja dan Agama Lain

II. Maria dalam Gereja Indonesia: A. Maria: antara Teologi dan Devosi; B. Maria: Bagian Utuh Kerigma Apostolik; C. Maria: Bagian
Utuh Spiritualitas Kristiani; D. Tiga Bentuk Penerimaan Maria dalam Hidup Rohani: a. Memohon Pengantaraan Maria; b. Memuji
Maria; c. Meniru Maria; E. Maria: Model Bagi Kaum Awam dan Perempuan; F. Maria dalam Relasi dengan Gereja dan Agama Lain; G.
Tantangan ke Depan

***

Kini, usia Konsili Vatikan II (1962-1965) mendekati 40 tahun. Konsili ekumenis ke-21 dalam Sejarah Gereja ini memiliki dua semangat
dasariah yang menjiwai seluruh dokumennya, yaitu kembali ke sumber dan keterbukaan kepada dunia. Yang pertama adalah gerakan
ke dalam. Yang kedua adalah gerakan ke luar. Yang pertama berupaya melihat dasar-dasar iman Gereja sendiri seperti yang
diwartakan para rasul lalu tertuang dalam Kitab Suci dan diteruskan oleh tradisi atas tuntunan Roh Kudus. Yang kedua bermaksud, di
samping untuk berinteraksi secara lebih intens dengan dunia guna mengambil bagian aktif dalam perkembangannya, juga untuk
berdialog dengan umat dari Gereja dan agama lain.

Berdasarkan kedua semangat ini, maka Konsili telah menghembuskan dalam Gereja suatu bentuk penghayatan hidup rohani yang
bisa dikatakan baru. Dikatakan “baru” karena ia lebih merupakan sebuah kerinduan atau harapan yang sejak Konsili itu harus selalu
dicari pengungkapannya yang nyata dalam hidup harian Gereja daripada merupakan sebuah peneguhan atas apa yang telah dihayati
Gereja sejak sebelum Konsili.

Maka kini, berdasarkan tema-tema utama spiritualitas Konsili, akan dibaca gerak-gerik hidup rohani dalam Gereja di tanah air kita,
secara khusus berkaitan dengan tempat dan peranan Bunda Maria di dalamnya. Dengan demikian, tulisan ini menggunakan
pendekatan tematis atas fenomena marial dalam Gereja Indonesia. Karenanya, tulisan ini tidak berpretensi menyajikan sebuah ulasan
lengkap dan mendetail tentang Bunda Maria. Misalnya, kehadiran Maria di bidang seni (lukisan, lagu, ukiran, sastra, etc) akan luput
dari jangkauan tulisan ini. Tulisan ini juga tidak bermaksud menyajikan sebuah penelitian empiris, melainkan sekedar
mengartikulasikan penghayatan akan tempat dan peran Maria sebagaimana tertuang dalam refleksi umat beriman di tanah air.

Tema-tema – yang tidak terpisah satu dari yang lain – dari spiritualitas Konsili akan dipakai sebagai norma, kriteria penilaian atau
kerangka kerja dalam mencari jawaban atas pertanyaan, “Siapa sebetulnya Maria bagi Gereja Indonesia? Bagaimana kehadirannya
dialami? Sejauh mana ia masih relevan?, etc”. Singkatnya, dapatkah ditemukan jejak-jejak penghayatan spiritualitas Konsili Vatikan II
dalam hidup umat beriman di Indonesia dalam relasinya dengan Bunda Tuhan?

I. SPIRITUALITAS KONSILI VATIKAN II

A. KRISTOSENTRISME – ALKITABIAH - LITURGIS

Secara kristiani, spiritualitas berarti koinsidensi yang bersifat tetap antara roh manusia dengan Roh Kristus. Hal ini hanya terjadi jika
roh manusia - sejauh ia taat kepada tuntunan Roh Kudus - berusaha mencari letak gelombang pancaran Roh Kristus, dan
membiarkan Roh Kristus itu meresapi rohnya. Maka, seorang yang rohani adalah seorang yang hidupnya dijiwai oleh Roh Kristus,
sebab Roh Kristuslah yang menjadi rohnya. Roh Kristus dan rohnya menyatu, berdenyut dalam getaran gelombang yang sama.

Oleh karena roh manusia itu diresapi oleh Roh Kristus, maka manusia itu akan mengalami pada dirinya ciri-ciri hidup Kristus. Paulus
menyebutnya dengan “mengenakan Yesus Kristus” atau “menjadi serupa” denganNya dalam seluruh misteri hidupNya. Maka, ciri
dasariah dan tak tergantikan dari hidup rohani orang kristen adalah kristosentrismenya: menjadikan Yesus Kristus sebagai pusat
keterarahan hatinya.

1
Kristus sebagai pusat iman kristiani kita temukan hidup dan sabdaNya dalam Kitab Suci. Karena itu, Kitab Suci merupakan “sumber
murni dan tetap dari hidup rohani” (DV 21). Artinya, spiritualitas kristiani harus menemukan Sabda Tuhan sebagai makanan utamanya
(SC 51). Kitab Suci penting karena sejarah keselamatan merupakan peristiwa dialog. Ia merupakan jawaban atas tawaran kasih Allah.
Dan dalam Kitab Suci selain ditemukan kulminasi tawaran kasih Allah yang definitif itu (Ibr 1: 1-4), juga ditemukan puncak jawaban
atasnya, yaitu dalam diri Kristus (Ibr 10: 5-9).

Demikian pun dalam hidup kristiani. Sejarah keselamatan itu berkisah tentang tindakan Allah dalam pribadi-pribadi dan sejarah. Maka,
setiap orang kristen harus memiliki “kontak yang lebih hidup dengan misteri Kristus” (OT 16) yang tertuang dalam Kitab Suci. Kontak
itu akan mengantar ke pertemuan antara jalan Allah dan jalan manusia. Dalam proses itu, Kitab Suci akan berperan sebagai norma,
cahaya, penilai bagi Gereja agar terus-menerus bertobat dan membaharui diri, agar hidupnya semakin sepadan dengan cita-cita Allah.
Agar Kitab Suci itu sungguh efektif membantu ke tujuan ini, maka perlulah ia “dibaca dan ditafsirkan dengan bimbingan Roh Kudus”
(DV 12), sebagaimana ia telah ditulis “dengan terang Roh Kudus” (DV 11).

Kitab Suci ini dibaca, dijelaskan dan dirayakan dalam liturgi. Maka, liturgi merupakan “sumber pertama dan tak tergantikan dari mana
umat kristen dapat menimba semangat kristiani yang sejati” (SC 14). Yesus Kristus “hadir dalam sabdaNya, Dialah yang berbicara
tatkala dalam Gereja dibacakan Kitab Suci” (SC 7). Karena itu, liturgi mengatasi segala bentuk devosi, sebab ia merupakan
manifestasi sakramental dari karya keselamatan dan misteri Paskah (SC 5-7). Liturgi mengendalikan seluruh hidup Gereja. Hidup
rohani Gereja itu mengalir dari liturgi dan menuju ke liturgi. Dengan demikian, “Liturgi merupakan puncak ke mana mengarah segala
tindakan Gereja dan sekaligus sumber dari mana mengalir seluruh kebajikannya” (SC 10).

B. KOMITMEN ATAU KETERLIBATAN NYATA DALAM DUNIA

Manusia bukan hadir secara kebetulan, juga bukan hanya sekedar “mampir minum” di dunia ini. Yang benar adalah bahwa manusia
hadir di dunia ini karena memang hal itu dikehendaki Allah dalam karya penciptaan. Dan manusia membawa serta tanggung jawab
yang serius: menata dunia ini sesuai dengan kehendak Allah.

Dunia ini diciptakan dengan “amat sangat baik”, dalam harmoni. Namun, tatkala harmoni ini sirna oleh kesombongan, Allah menebus
dunia ini dengan Penjelmaan PuteraNya. Maka, tugas manusia dibaharui, yaitu untuk semakin lebih serius lagi terlibat dalam
mengatur jalannya sejarah, sesuai dengan kehendak Allah. Umat Kristen, dituntut untuk mengamalkan imannya dalam perjuangan di
segala bidang kehidupan, dan di sana mengusahakan solidaritas, memperjuangkan liberasi dan kontekstualisasi, mempromosi
martabat manusia, etc. Karena itu, gerakan fuga mundi yang pernah terjadi dalam sejarah Gereja, yang antara lain dimotivasi oleh
pemahaman akan dunia yang jahat dan penuh dosa, sekarang sudah bukan saatnya lagi. Sebab dunia ini adalah ilahi, selain karena
diciptakan oleh Allah, juga karena menjadi tempat menjelmanya Putera Allah.

Sumbangan nyata Gereja bagi perkembangan dunia sangat diharapkan datang dari kaum awam. Sebab ciri khas dan istimewa
panggilan mereka adalah sifatnya yang sekulir.
“Tugas kaum awam yang bedasarkan panggilan khas mereka, adalah mencari Kerajaan Allah dengan mengurus barang-barang yang
fana dan mengaturnya menurut kehendak Allah. Hidup mereka adalah di dunia, artinya: di tengah-tengah beraneka ragam jabatan dan
pekerjaan serta dalam keadaan biasa hidup keluarga dan masyarakat; hidup mereka kurang lebih terjalin dengan semua itu. Maka
mereka dipanggil oleh Allah untuk di situ memberi sumbangan mereka pada pengudusan dunia” (LG 31).

C. KETERBUKAAN KEPADA UMAT DARI GEREJA DAN AGAMA LAIN

Salah satu tujuan utama Konsili Vatikan II adalah mengupayakan persatuan antara seluruh umat kristen (UR 1). Dari sudut pandang
Allah, dasar dan model persatuan ini adalah relasi mesra dan “persatuan tiga pribadi Allah Tritunggal” (UR 2). Lalu persatuan umatNya
ini dimohonkan kepada Bapa oleh Yesus Kristus (Yoh 17: 1-26). Dari sudut pandang umat, dasar persatuan itu adalah kesatuan dalam
iman dan baptisan.

Ada tiga elemen yang harus menjadi “jiwa seluruh gerakan ekumene” (UR 8), yaitu kekudusan hidup atau pembaharuan Gereja,
pertobatan hati dan kesatuan dalam doa (UR 6-8). Karenanya, ekumenisme tidak terletak pada kekuatan apologetis tapi dalam upaya
pertobatan bersama dan kerinduan untuk semakin serupa dengan Yesus Tuhan (UR 7).

Konsili juga menghendaki untuk memperluas cakrawala hidup rohani Gereja dengan mengarahkan umat beriman kepada dialog dan
kerjasama dengan umat dari agama-agama non-kristen. Dasarnya adalah karena Gereja “tidak menyangkal apa yang benar dan
kudus dalam agama-agama lain” (NA 2). Cara hidup mereka “tidak jarang memancarkan benih kebenaran yang menerangi seluruh
umat manusia” (NA 2).

Maka kini harus dilawan segala bentuk diskriminasi dan pembunuhan atau perang atas nama agama. Sebab satu-satunya Allah yang
disembah oleh semua umat beragama tidak setuju kalau umatNya terpecah-pecah atau malah berperang atas namaNya.

2
II. MARIA DALAM GEREJA INDONESIA

Setelah melihat seluruh arah spiritualitas Konsili Vatikan II, sekarang akan dibedah praktik hidup rohani Gereja Indonesia, khususnya
dalam kaitannya dengan tempat Maria di dalamnya. Apakah penghayatan kita akan tempat dan peran sang Bunda Tuhan
mencerminkan interaksi yang harmonis dengan ciri-ciri spiritualitas Konsili Vatikan II?

A. MARIA: ANTARA TEOLOGI DAN DEVOSI

Berhadapan dengan devosi umat yang marak, refleksi iman yang menyertainya memiliki peran yang sangat penting. Karena devosi
yang tidak disertai refleksi itu sedang diintip bahaya kesesatan. Dalam devosi kita sering bermain dengan simbol, lambang dan
rumusan yang kadang kabur dan tidak menentu. Untuk itu selalu dibutuhkan pendampingan refleksi intelektual. Selain itu, oleh karena
dalam devosi, Maria bisa menjadi sasaran hormat bakti kita, maka ada bahaya bahwa kaitan Maria dengan Kristus dan Allah
Tritunggal mulai menjadi kabur. Lalu perlahan-lahan Maria menjadi pusat yang terisolasi, menjadi seorang dewi. Sebaliknya, refleksi
teologis tidak dapat melihat Maria secara isolatif, sebab refleksi selalu terpusat pada Kristus dan Allah Tritunggal. Maria direnungkan
dalam relasinya dengan Kristus dan Allah Tritunggal dan dalam keseluruhan penghayatan iman.

Maka, refleksi dan devosi memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Devosi dapat memperkaya refleksi teologis,
secara khusus lewat interaksinya dengan konteks kultural dan simbol yang dikapai untuk mengungkapkannya. Sebaliknya, refleksi
teologis yang bersumber pada Kitab Suci dan Tradisi sejati Gereja, dapat mencerahkan, menjernihkan, membimbing devosi kepada
Maria, sehingga tidak menjadi liar dan terisolasi. Refleksi teologis harus selalu untuk melayani penghayatan iman yang benar,
sebagaimana terungkap dalam devosi. Refleksi yang tidak mendukung devosi itu mandul, karena tidak berguna untuk memperdalam
iman.

Secara keseluruhan, Gereja Indonesia ditandai oleh miskinnya refleksi teologis tentang Maria. Padahal, devosi kepadanya tidak bisa
dikatakan sepi. Setiap hari Umat berdoa kepada Bunda Maria, setiap minggu diadakan novena, setiap bulan diadakan ziarah dan tour-
tour, bulan Mei dan Oktober tetap marak sebagai bulan Maria dan Rosario.

Yang hadir cukup signifikan adalah tulisan dan terbitan yang mendukung devosi: rosario, novena, jalan salib Maria, lagu-lagu, etc.
Dalam tulisan-tulisan devosional, pada umumnya Maria menjadi fokus atau sasaran hormat bakti. Kalaupun Allah Bapa, Putera dan
Roh Kudus disebut – dan umumnya selalu disebut -, hal itu tidak dengan segera memperjelas relasi yang ada antara Allah Tritunggal,
Gereja dengan Maria. Sebaliknya, sebuah tulisan teologis berusaha membuat peta yang jelas dari interaksi yang berlangsung antara
Maria dengan seluruh misteri iman kristiani. Sehingga, kalaupun setelah itu Maria menjadi sasaran devosi, hal itu dilakukan dengan
kesadaran yang jelas akan tempat dan perannya.

Kelangkaan refleksi teologis ini memunculkan pertanyaan: apakah Maria itu sungguh menjadi bagian utuh hidup umat beriman di
Indonesia? Ataukah ia dapat ditinggalkan tanpa mengganggu imannya? Apakah Maria merupakan figur yang relevan atau sudah
mubazir? Jika Maria sungguh merupakan bagian utuh hidup iman kita, kalau Maria itu masih relevan, mengapa kehadiran dan
perannya kurang direfleksikan? Ini adalah suatu bentuk kelalaian atas tugas yang diamanatkan Konsili untuk “dengan cermat
menjelaskan tugas-tugas serta kurnia-kurnia istimewa santa Perawan, yang senantiasa tertujukan kepada Kristus, sumber segala
kebenaran, kesucian dan kesalehan” (LG 67).

Selama hampir 40 tahun usia Konsili Vatikan II ini, refleksi atas tempat dan peran Maria dalam karya keselamatan berjalan (sangat)
lamban. Tidak setiap tahun ada terbitan atau diskusi atau ceramah tentang Maria. Berikut ini merupakan sebagian kecil tulisan, yang
memang tidak banyak, asli dalam Bahasa Indonesia.

Sejak 1970 hingga 1978, Tom Jacobs menghasilkan tiga renungan teologis yang indah tentang tempat Maria dalam hidup rohani. Ia
menulis untuk Majalah ROHANI, tapi semuanya kini disatukan dalam bukunya, Yesus Anak Maria1. Tiga artikel itu masing-masing
berjudul: Kemuliaan Bunda Maria2, Kebaktian kepada Bunda Maria3 dan Maria dari Nasaret4.

Setelah era Tom Jacobs berakhir, pada 1983 muncul empat karya B.v.d. Heyden di Seri Pastoral, yang berdasarkan semangat Konsili
merenungkan tempat Maria dalam sejarah Keselamatan. Uraiannya dimulai dari Kitab Suci, yang merupakan sumber utama iman
Gereja, lalu diteruskan dengan melacak kehadiran Maria sepanjang sejarah Gereja sebagaimana terekam dalam tradisi suci. Masing-

1
Kanisius dan Nusa Indah, 1984.
2
ROHANI 17 (1970)233-234.
3
ROHANI 17 (1970)290-296.
4
ROHANI 25 (1978)129-135.
3
masing tulisannya berjudul, Maria dalam Kitab Suci5, Perkembangan Pandangan Umat Beriman Mengenai Maria6, Beberapa Segi dari
Maria7, dan Perhatian dan Hormat Bakti terhadap Maria8.

Lalu, fase yang paling subur dalam merenungkan kehadiran Maria adalah pada 1987-1988, saat dicanangkannya Tahun Maria oleh
Paus Yohanes Paulus II melalui Ensiklik Redemptoris Mater (1987). Ini adalah tahun di mana seluruh Gereja didorong “untuk
meningkatkan kebaktian kepada Maria secara lebih benar dan tepat” 9. Demi tujuan itu, lalu lahirlah beberapa refleksi yang menandai
perkembangan signifikan dari Mariologi di tanah air. Sekurang-kurangnya ada empat tulisan dan kumpulan refleksi yang hingga saat
ini sampai ke tangan kita, yang berusaha menggamit dua ranah klasik dalam fenomena marial: teologi dan devosi. Tulisan-tulisan itu
adalah Maria dalam Gereja, Pokok-pokok Ajaran Konsili Vatikan II tentang Maria dalam Gereja 10, Maria11, Mariologi, Teologi dan
Devosi12, Maria Tokoh Umat Beriman di Indonesia13. Lalu Kliping berjudul Ave Maria yang dibuat oleh Petrus Maria Mitro Dharmo
adalah juga ungkapan kasih yang patut dikagumi kepada Bunda Tercinta.

Sejak 1988 hingga 1999, hampir tidak ditemukan refleksi yang sangat berarti tentang kehadiran Bunda Maria. Baru pada Tahun
Yubileum 2000, Gereja Indonesia terhibur lagi oleh empat tulisan A. Widyamartaya, masing-masing berjudul Salam Maria Bunda Allah,
Salam Maria Mempelai Allah Roh Kudus, Salam Maria Puteri Allah Bapa dan Kidung Pujian Kepada Perawan Maria Bunda Allah.14.
Akhirnya, pada 2004 ini, G. P. Sindhunata menjadi editor, Mengasih Maria, 100 Tahun Sendangsono15. Selain itu, kehadiran Marian
Center pada awal millennium ketiga ini telah turut menggeliatkan wacana tentang Bunda Maria di tanah air.

Kalau ditelusuri, sekurang-kurangnya ditemukan dua penyebab langkanya refleksi teologis atas kehadiran Maria dalam Gereja
Indonesia. Pertama, karena Mariologi, atau yang sering juga disebut Teologi Marial, belum diajarkan sebagai salah satu disiplin teologi
dalam kurikulum teologi pada masa pendidikan para calon imam di beberapa Fakultas Filsafat atau Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi
(STFT) di Indonesia. Akibatnya adalah bahwa, selain para gembala yang dihasilkan bukan saja kurang mengetahui tempat dan peran
sejati sang Ibu Tuhan dalam misteri Kristus dan misteri Gereja, tapi juga kurang terlatih untuk merenungkan pengalaman imannya
sendiri atau pengalaman iman umat akan kehadiran Maria. Kenyataan tidak dicantumkannya Teologi Marial dalam kurikulum
pendidikan teologis tentu merupakan sebuah kelalaian yang patut disesalkan, karena sejak Tahun Marial 1988 itu Kongregasi untuk
Pendidikan Katolik telah mengeluarkan pengarahan tentang “Perawan Maria dalam Pendidikan Intelektual dan Spiritual”:
“Sadar akan pentingnya figur Perawan Maria dalam sejarah keselamatan dan dalam hidup Umat Allah, dan setelah memperhatikan
petunjuk dari Konsili Vatikan II dan para Paus, maka adalah sesuatu yang tidak masuk akal jika kini pengajaran Mariologi diabaikan.
Maka ia harus diberi tempat yang benar di seminari-seminari dan di fakultas-fakultas Teologi” (No. 27, 25 Maret 1988).
Selanjutnya, dokumen ini meminta agar peran Maria direfleksikan dalam keseluruhan sejarah keselamatan, dan dengan demikian
dalam relasinya dengan Kristus, Gereja dan manusia dalam kulturnya (no. 18, 28, 35).

Kedua, secara umum, para teolog Indonesia tampaknya disibukkan dengan upaya “berteologi dari konteks”, yaitu upaya membaca
kehendak Allah dalam konteks multidimensional di negeri kita. Para teolog yang menganut aliran ini berusaha menemukan
konvergensi antara jalan Allah dalam sejarah dengan konteks nyata hidup orang Indonesia di bidang “ipoleksosbud”, berusaha
mengadakan dialog atau interaksi yang tepat antara nilai-nilai Injil dengan kultur. Tujuannya adalah untuk mengadakan tranformasi
terus-menerus di segala bidang itu. Nihilnya refleksi tentang Maria sepertinya merupakan isyarat bahwa Maria tidak dialami kehadiran
dan pengaruhnya dalam perjuangan di segala bidang tersebut, atau tidak dilihat sebagai figur inspiratif oleh umat beriman yang
berjuang di segala bidang itu. Maria ditinggalkan menjadi materi renungan para teolog sistematis seperti Tom Jacobs, Groenen atau
Eddy Kristiyanto, atau dibiarkan saja sebagai sasaran kehidupan devosional umat.

Implikasi dari konsentrasi pada teologi sosial yang mengabaikan kehadiran Maria ini adalah bahwa pembicaraan tentang Maria dalam
Gereja atau menjadi sangat teologis-doktrinal atau menjadi sangat devosional-sentimental. Percakapan tentangnya tidak kontekstual,
tidak aplikatif pada perjuangan sosial-politik, karena tampaknya percakapan tentang Maria tidak relevan dalam bidang itu. Wacana
tentang Maria tidak masuk dalam kancah sosial politik. Pembicaraan tentang Maria itu tempatnya ada dalam percakapan devosional
intern Gereja Katolik. Tidak dalam kaitannya dengan kehidupan sosial-politik, juga tidak dalam relasi dengan agama Islam, apalagi
dengan Protestan.

5
Seri Pastoral No 90, Yogyakarta 1983.
6
Seri Pastoral No 91, Yogyakarta 1983.
7
Seri Pastoral No 92, Yogyakarta 1983.
8
Seri Pastoral No 93, Yogyakarta 1983.
9
Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ, Memperbaharui Sikap sebagai Murid Yesus, HIDUP, 19 Juli 1988.
10
A. Eddy Kristiyanto, diterbitkan Kanisius, Yogyakarta, 1987.
11
Seri Buku Pastoralia XIV/2/1988, Arnoldus, Ende, Flores, 1988.
12
C. Groenen, diterbitkan Kanisius, Yogyakarta, 1988.
13
Anton Naben dan Matheus Beny Mite, diterbitkan Unika Indonesia Atmajaya, Jakarta, 1988.
14
Semuanya diterbitkan Kanisius, Yogyakarta, 2000.
15
Kanisus, Yogyakarta, 2004.
4
Kendati di tingkat refleksi teologis-kontekstual ada kelangkaan, Gereja Indonesia mengalami dengan rasa syukur yang besar akan
penyertaan nyata dan tetap Bunda Maria. Maka kelangkaan refleksi itu bukanlah merupakan imbas “krisis marial” (René Laurentin)
yang terjadi di sebagian besar negara-negara Eropa dan Amerika Utara pasca-Konsili Vatikan II (1965-1974). Gereja Indonesia
memiliki hormat bakti yang konsisten kepada Maria. Umat Allah dengan setia memelihara sensus fidelium, yang dalam
kesederhaannya ternyata dituntun oleh Roh Kudus.

Penyebab kesetiaan itu tiada lain adalah karena Umat Allah mengalami peran Maria sejak lahirnya Gereja di tanah air. Maria bukan
merupakan figur suplemen dalam perkembangan Gereja Indonesia melainkan merupakan bagian utuh yang tak terpisahkan sejak
awal perkembangannya. Di Sendangsono, Yogyakarta, dibaptislah orang-orang Jawa pertama dan hingga sekarang ia tetap
merupakan tempat ziarah yang paling diminati di Indonesia. Dari umat sekitar Sendangsono16, telah dihasilkan dua kardinal bagi
Gereja Indonesia. Di Flores, pulau yang mengalami karya penginjilan para misionaris Portugis, Maria terutama dihormati sebagai Ratu
Rosario, Reinha Rosari. Devosi kepada Maria di sana sungguh menganimasi iman umat. Lebih khusus lagi, di Larantuka, Maria
dihormati sebagai Mater Dolorosa, Bunda Berdukacita. Di sana, Trihari Suci dihayati secara radikal dalam suasana marial. Umat di
sana mengadakan prosesi yang paling menggetarkan jiwa dalam mengambil bagian dalam dukacita Bunda Maria karena sengsara
Puteranya. Itu adalah juga saat dialog dengan Bunda Maria yang berdukacita atas dosa anak-anaknya. Selama prosesi itu selalu
diulangi ratapan Yeremia: “O Vos Omnes!”. Karena itu, prosesi merupakan kesempatan untuk bernazar dan bertobat 17. Di Sumatera,
ada tempat ziarah yang cukup terkenal di Bukittinggi, Keuskupan Padang, seperti juga di kepulauan Mentawai (keduanya berdiri pada
1954), etc. Kini bertebaran di mana-mana tempat ziarah Bunda Maria di seluruh nusantara.

B. MARIA: BAGIAN UTUH KERIGMA APOSTOLIK

“Kerigma Apostolik” berarti pewartaan yang disampaikan para rasul dalam Gereja Perdana, yang kini terekam dalam pewahyuan
kristiani, yaitu dalam Perjanjian Baru. Isi pewartaan itu merupakan ungkapan iman para rasul. Inti pewartaan mereka, dan dengan
demikian juga inti imannya, adalah karya keselamatan yang Allah laksanakan dalam dan melalui Kristus, PuteraNya.

Namun, dari evolusi perkembangan penulisan Kitab Suci, dapat dipastikan bahwa konsentrasi pewartaan mereka pertama-tama
berkisar pada peristiwa sengsara, kematian dan kebangkitan Kristus. Ini sangat tampak pada surat-surat Paulus yang ditulis sekitar
tahun 50-67, dan dalam Kisah Para Rasul. “Allah nenek moyang kita telah membangkitkan Yesus, yang kamu gantungkan pada kayu
salib dan kamu bunuh. Dialah yang telah ditinggikan oleh Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi Pemimpin dan Juruselamat,
supaya Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan dosa. Dan kami adalah saksi dari segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus,
yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang mentaati Dia" (Kis 5, 30-32; bdk. Kis 2, 22-26; 3, 12-26; 4, 9-12; 10, 34-43; 13, 16-
41).

Berhadapan dengan kerigma dasariah ini, Maria disebut secara tidak langsung. “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah
mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat” (Gal 4, 4). Namun, ungkapan “lahir dari
seorang perempuan” (Yun: genómenon ek gynaikós) dipakai Paulus bukan karena ia sedang hendak berbicara tentang Maria,
melainkan untuk mengungkapkan kondisi kenotik Putera Allah (bdk. Ay 14, 1; 15, 14; Mat, 11, 11; Luk 7, 28).

Dalam perkembangan penulisan Kitab Suci selanjutnya, barulah misteri figur dan peran Maria perlahan-lahan mulai disingkapkan oleh
Roh Kudus kepada Gereja Perdana, pimpinan para rasul. Maka akan tampak bahwa kehadiran Maria dalam Kitab Suci bukannya
semakin berkurang dalam perjalanan waktu melainkan semakin berkembang: semakin bertambah dari segi jumlah dan semakin
mendalam dari segi makna kristologis dan eklesial. Namun, berkembangnya referensi ke Maria ini tidak menggantikan atau menyaingi
Yesus. Yesus tetaplah pusat pewartaan Gereja Perdana, dan tak pernah boleh digeser. Perkembangan referensi ke Maria hanyalah
merupakan konsekuensi dari semakin berkembangnya refleksi atas misteri hidup Yesus, pusat iman kristiani itu. Itulah sebabnya
Groenen berkata, “Bagi iman yang terungkap dalam Perjanjian Baru, Maria hanya relevan sejauh relevan bagi iman akan Yesus
Kristus”18.

Dari segi jumlah, dalam Kitab Suci Perjanjian Baru terdapat 153 bait yang merujuk kepada peristiwa Maria: Mulai dari Gal 4, 4; lalu Kis
1, 14; kemudian dua kali disinggung dalam Markus dan paralelnya: Mrk 3, 21.33-35 (bdk. Mat 12, 46-50; Luk 8, 19-21; 11, 27-28; Mrk
6, 3), terus dua episode dalam Yohanes: Yoh 2, 1-12; 19, 26-27, hingga akhirnya kehadiran yang sangat menonjol dalam “Injil masa
Kanak-kanak” Yesus: Mat 1-2 dan Luk 1-2. Kemiripan kisah Matius dan Lukas mengungkapan keberadaan sebuah tradisi yang lebih
tua, yang dipakai oleh mereka berdua sebagai sumber bersama, walaupun di dua tempat berbeda.

Dari segi makna, pertama-tama, kita temukan teks Paulus yang menekankan dimensi kenotik Putera Allah (Flp 2), bahwa kini Ia
menjadi bagian keturunan manusia melalui Maria (Gal 4). Markus menekankan segi kemuridan Maria, malah sebagai model para
murid, dalam melakukan kehandak Allah (Mrk 3: 35). Matius menekankan kebundaan perawani Maria, oleh karena karya Roh Kudus

16
Bdk. G.P. Sindhunata, Mengasih Maria, 100 Tahun Sendangsono, Kanisus, Yogyakarta, 2004.
17
Bdk. Georg Kirchberger, “Ziarah dan Tempat Ziarah”, dalam Maria, Seri Buku Pastoralia XIV/2/1988, Arnoldus, Ende, Flores, 1988, hlm. 136-170.
18
Groenen, Mariologi, Teologi dan Devosi, Kanisius, Yogyakarta, 1988, hlm. 33.
5
(Mat 1: 18-25). Lukas, di samping menyinggung kebundaan perawani Maria, juga menekankan panggilan Allah kepada Maria dan
jawaban Maria atasnya untuk keselamatan umat manusia (Luk 1: 26-38.45). Yohanes menekankan kebundaan biologis Maria
terhadap Yesus kini beralih kepada misi baru yaitu kebundaan spiritual terhadap Gereja. Dalam menyingkapkan kebenaran ini,
Yohanes menggunakan “skema pewahyuan”: “melihat... berkata... inilah” (Yoh 19: 25-27; bdk. Yoh 1: 36).

Dengan demikian, Maria merupakan bagian utuh kerigma apostolik, sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci. Konsekuensinya adalah
bahwa sebuah teologi yang matang, tak dapat mengabaikan diri untuk menggarisbawahi kehadiran Bunda Maria dalam segala misteri
Putera, dari pengandunganNya hingga penyaliban. Groenen menegaskan,
“Ibu Yesus termasuk kerigma awal. Maria tidak dapat disingkirkan dari Injil dan dari Teologi yang merefleksikan dan melayani
pemberitaan Injil. Kedudukan dan peranan Maria dalam Injil tidaklah sama dengan kedudukan dan peranan, misalnya Petrus atau
Paulus, dan bahkan tidak sama dengan kedudukan dan peranan Yusuf. Kalaupun benar bahwa Perjanjian Baru mewartakan Yesus
Kristus, bukan Maria, namun Maria turut diwartakan dan pewartaan Kristus tanpa Maria tidaklah lengkap”19

Dasar turut diwartakannya Maria adalah karena ia, berkat imannya, merupakan unsur konstitutif karya keselamatan Allah dalam diri
Kristus. Sebab Allah tak dapat menyelamatkan manusia dalam diri Kristus jika tawaran keselamatanNya tidak disambut manusia
dalam dan dengan iman (bdk. Mrk 6: 5-6). Maria adalah manusia yang telah beriman itu. Jawabannya dalam iman selain menjadi
model bagi jawaban Gereja terhadap tawaran keselamatan Allah, juga telah mencakup iman Gereja seluruhnya. Jadi, iman Maria
merupakan kepenuhan jawaban Gereja pada rahmat yang ditawarkan Allah kepada manusia (Bdk. LG 63, 68). Maka, melalui “fiat”-
nya, Maria telah turut “mengadakan keselamatan itu”20 (coredemptrix).

C. MARIA: BAGIAN UTUH SPIRITUALITAS KRISTIANI

Spiritualitas kristiani hanya memiliki satu-satunya pusat, yaitu Kristus, dan tiada yang lain. Kristuslah yang hakiki atau esensial. Iman
dan relasi yang hidup dengan Dia akan menjadi kriteria dasariah untuk dapat disebut kristianinya hidup rohani kita. “Pokok seluruh
hidup Gereja, yang juga merupakan pusat devosi-devosi, adalah hidup Kristus dan dari pihak kita iman akan karya keselamatan yang
telah terlaksana dalam wafat dan kebangkitanNya”21.

Namun, dari pewahyuan alkitabiah kita mengetahui bahwa penghayatan spiritualitas kristiani mengimplikasikan penerimaan akan
penyertaan bundawi Maria. Karena sejak awal Gereja, sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci, Maria telah diterima (Yoh 19) dan
dihormati atau dipuji (Luk) dalam komunitas Umat beriman. Demikian seterusnya, Maria tetap hadir baik dalam teologi maupun dalam
penghayatan iman Gereja hingga kini. Dasar kehadiran tetap Maria dalam Gereja itu adalah “Kristus, Juruselamat umat manusia tidak
terpikir tanpa ibuNya, sama seperti ibuNya tidak terpikir terlepas dari Yesus Kristus”22.

Oleh karena Maria merupakan bagian integral iman kristiani, maka devosi kepadanya bukanlah sesuatu yang fakultatif atau opsional
bagi semua dan setiap orang kristen, seperti penghormatan kepada orang kudus lain 23. Sebab ibu Yesus merupakan unsur konstitutif
iman kristiani24. Iman akan Kristus mau tidak mau – bukan karena terpaksa, melainkan karena Maria merupakan bagian utuh iman
kristiani - mengakibatkan penerimaan Maria dalam hidup rohani Gereja.
“Jika seseorang utuh mengakui iman kristen dan menghayatinya, maka penghayatan itu mau tidak mau mencakup juga Maria, ibu
Yesus, karena kedudukan dan peranannya yang istimewa dan tunggal, sehingga Kristus tidak terpikir lepas dari Maria. Maria dalam
sejarah dan tata penyelamatan bukanlah suatu unsur yang serba kebetulan, yang boleh ada dan boleh tidak ada…. Tentu saja pusat
dan poros penghayatan iman (devosi) Kristen sejati ialah Yesus Kristus, Tuhan kita. Tetapi kalau benar bahwa Kristus tidak terpikir
lepas dari ibuNya, maka devosi kepada Kristus mau tidak mau mencakup juga ibuNya”25.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak ada spiritualitas atau hidup kristiani tanpa Maria. Karena walaupun Maria bukanlah “Hakiki”
atau “Pusat” (center) iman, ia sesungguhnya “ada di Pusat” (central) itu. Maria tidak dapat disamakan dengan bungkusan yang hanya
berfungsi dekoratif belaka. Sebagai bagian integral dari misteri hidup Yesus, Maria itu “sungguh dengan sedalam-dalamnya masuk ke
dalam hidup Puteranya…. Hidup Yesus mendapat bentuk dan arahnya yang konkret dalam lingkup ibuNya. Yesus berasal dari
lingkungan hidup Maria”26. Maka, jika kita ingin menjadi kristiani, pada saat yang sama kita juga harus marial.

Oleh karena Maria terkait dengan Kristus dan memperoleh seluruh definisi dirinya dalam kaitannya dengan Kristus, maka untuk lebih
mengenal Maria, sebaiknya Gereja perlu memperdalam pengenalannya akan Kristus. Sebab pengenalan akan tempat dan peran

19
Groenen, Mariologi…, hlm. 19.
20
Tom Jacobs, Yesus Anak Maria, Kanisius dan Nusa Indah, 1984, hlm. 204.
21
Tom Jacobs, Yesus Anak…, hlm. 209.
22
Groenen, Mariologi…, hlm. 150
23
Konsili Trente mendefinisikan penghormatan kepada para orang kudus selain Maria sebagai bonum et utile, bdk. DS 1821.
24
Dalam tradisi teologi kristen, dibedakan antara douleia (kebaktian kepada seorang kudus), hyper-douleia (kebaktian kepada seorang yang
“paling” kudus, Maria), dan latreia (Lt: adoratio) yaitu kebaktian yang dialamatkan kepada Allah.
25
Groenen, Mariologi…, hlm. 152.
26
Tom Jacobs, Yesus Anak…, hlm. 36-37.
6
Maria merupakan faktor derivatif dari pengenalan akan misteri Kristus. Groenen berkata, “Jika Yesus Kristus menjadi kabur bagi umat
beriman, terpaksa ibuNya turut menjadi kabur”27. Namun, dapatlah ditambahkan juga bahwa jika Maria tidak atau belum dikenal,
setelah sekian lama mengimani Kristus, maka iman kristiani itu sebetulnya juga kabur, karena Kristus hanya dapat dimengerti secara
penuh kodrat terdalamnya kalau figur dan peran Maria dilibatkan di dalam pendefinisiannya.

Selanjutnya, jika iman akan Kristus sedemikian ada di pusat hidup kita dan Maria itu hanya diimani secara implisit, misalnya hanya
tahu bahwa Maria itu ibu Yesus tanpa sungguh memahami makna dan konsekuensinya, maka iman kristiani itu sesungguhnya kurang
matang. Namun, jika dalam relasi dengan Maria, figur Maria sudah mulai menempati dan menggantikan posisi Kristus di pusat, maka
relasi itu sedang dalam bahaya kesesatan. Inilah yang disebut marianisme, atau menurut istilah Schillebeeckx, mariolatria 28. Jadi,
sebagai bagian utuh iman kristiani, relasi dengan Maria hendaknya ada pada rel yang tepat.

Bakti yang sejati kepada Maria dalam Gereja selalu mengarah kepada persatuan dengan Kristus di bawah bimbingan Maria. Di sini,
Maria menjadi katalisator menuju Kristus yang adalah satu-satunya Jalan, Kebenaran dan Hidup. Maria membawa kita lebih dekat
dengan Puteranya. “Bila Bunda dihormati, Puteranya pun dikenal, dicintai dan dimuliakan sebagaimana harusnya, serta perintah-
perintahNya dilaksanakan” (LG 66). Namun, bakti kepada Maria bukanlah penyebab atau asal persatuan dengan Kristus, melainkan
faktor derivatif, yang memajukan kematangan persatuan dengan Kristus.

Baiklah kalau spiritualitas kristosentris Konsili Vatikan II yang dihayati Gereja dalam relasinya dengan Maria, seperti yang telah
diartikulasikan Groenen dan Tom Jacobs, diperjelas melalui gambar 1 berikut ini.

Penjelasan:
Relasi dengan Maria merupakan kosekuensi, bukan “kata pengantar” atau “langkah pertama” untuk masuk ke misteri Kristus. Karena
hidup kristiani berangkat dari Kristus, pusat hidup iman dan kerigma apostolik. Dan di dalam Kristus, seorang kristen bertemu dengan
Maria (termasuk Gereja). Dan Maria menjadi “jalan” bukan untuk memulai persatuan dengan Kristus - persatuan itu telah ada - ,
melainkan untuk memperdalamnya dan semakin membuatnya mengakar. Lalu, dengan dan melalui persatuan dengan Kristus itu kita
lantas hidup bersama Bapa dalam terang Roh Kudus. Maka, peran Maria dalam skema klasik Ad Iesum per Mariam – menuju Kristus
melalui Maria (gambar 2), harus dipahami bukan sebagai “langkah pertama” menuju persatuan dengan Kristus, melainkan merupakan
konsekuensi, yang pada gilirannya akan membantu memperdalam persatuan yang telah ada29.

Di Indonesia, penghayatan kehadiran Maria dari perspektif trinitarian dan kristosentris ini didukung oleh berdirinya persekutuan-
persekutuan baru yang dari segi namanya sudah menunjuk langsung ke pusat iman kita, yaitu Kristus dan Allah Tritunggal, namun
yang di dalamnya relasi dengan Bunda Maria dihayati dengan mesra. Persekutuan-persektuan ini juga memberi ruang bagi Kitab Suci,
santapan iman Gereja. Misalnya Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM) yang menimba inspirasi marial dari tradisi Karmelit dan
Komunitas Emmanuel (KE) yang menemukan inspirasi marialnya dari spiritualitas Montfortan 30. Namun, di tingkat devosi rakyat, masih
ditemukan hambatan untuk memajukan secara semakin eksplisit devosi marial yang kristosentris ini. Misalnya, masih ditemukannya
rumusan-rumusan doa Rosario yang tidak kristosentris, di mana misteri Kristus dan Bunda Marianya tidak disebutkan. Yang ada
hanya intensi lalu disusul dengan Bapa Kami dan pengulangan 10 kali Salam Maria dan diakhiri dengan Kemuliaan. Pencanangan
Tahun Rosario pada Oktober 2002 hingga Oktober 2003, lewat Rosarium Virginis Mariae rupanya belum cukup memperbaiki
kekeliruan ini.
27
Groenen, Mariologi…, hlm. 154.
28
Dalam Maria Madre della Redenzione, Edizioni Paoline, Catania, 1965, hlm. 143.
29
Skema kristosentris ini telah mulai menjadi lumrah (mengumat) dalam spiritualitas Gereja Pasca-Konsili Vatikan II. Bdk. Stefano de Fiores, Maria
nella Vita secondo lo Spirito, Edizioni PIEMME, Casale Monferrato, hlm. 147.
30
Dalam Buku Pegangan Komunitas Emmanuel tertulis, “Bersama Yesus dan para rasul, mereka (para anggota Komunitas) belajar untuk hidup
setiap hari bersama Maria, Bunda Sang Emmanuel. Dialah model kekudusan dan karya penginjilan, karena ia telah memberi keada dunia Dia yang
menyelamatkannya. Dialah pelindung janji atau komitmen setiap anggota dan penjamin kesetiaan setiap anggota. “Kasih akan Maria Bunda Sang
Emmanuel, Bunda yang telah menghadirkan Dia di dunia, menjamin kesetiaan kepada rahmat panggilan awal” (Dekrit Persetujuan Statuta, 8
Desember 1992). Itulah sebabnya mengapa para anggota Komunitas Emmanuel secara khusus mempercayakan dirinya kepada kepengantaraan
Perawan Maria, dan dengan suka hati mau mengucapkan setiap hari Doa Pembaktian Diri kepada Yesus melalui Tangan Maria seperti yang
diajarkan St. Louis-Marie Grignion de Montfort: Di hadapan semua orang kudus, hari ini kami memilih engkau, ya Maria, untuk menjadi bunda
dan ratu kami. Dalam kerendahan hati dan kasih, kami mempersembahkan seluruh diri kami kepadamu, tubuh dan jiwa kami, segala anugerah dan
milik kami, baik yang ada kini, di masa lalu maupun yang akan datang. Dengan bebas kami memberi kepadamu hak untuk mengatur kami dan
segala yang kami miliki seturut kehendakmu, untuk kemuliaan Allah yang semakin besar, kini dan selamanya ” (Dari
http://www.emmanuelcommunity.com/Emmanuel110501/intra/downloads/Hand-Book.doc., art. 1: 10).
7
D. TIGA BENTUK PENERIMAAN MARIA DALAM HIDUP ROHANI

Menerima Maria dalam hidup rohani berarti bahwa kehadiran Maria dengan cara tertentu mengarahkan, menentukan, mempengaruhi
dan membentuk penghayatan hidup kristiani kita. Ada dua wadah penampungan kehadiran dan pengalaman marial dalam hidup
rohani Gereja. Yang pertama adalah penerimaan dalam liturgi. Inilah “devosi” yang paling tinggi dan bersifat universal karena
mencakup seluruh Gereja. Sebetulnya Gereja hanya memiliki Tahun Liturgi Kristus. Namun karena Kristus dan Maria (juga dengan
seluruh Gereja, orang kudus) tidak saling terpisahkan, maka berdasarkan petunjuk Konsili diusahakan untuk menyelipkan secara
organis “peringatan dari Bunda dalam siklus liturgi dari misteri-misteri Putera” (MC 2). Penerimaan yang kedua adalah dalam wujud
devosi pribadi atau kelompok, seperti doa rosario, ziarah, novena, pendarasan litani, bulan Mei dan Oktober, Angelus, lagu-lagu, etc.

Uraian tentang bentuk-bentuk penerimaan Maria dalam hidup rohani berikut ini tidak membedakan keduanya. Sekurang-kurangnya
ditemukan tiga bentuk relasi yang terjalin antara umat beriman dengan Bunda Maria. Tentu saja ketiga bentuk ini tidak dapat
dipisahkan satu dari yang lain.

a. Memohon Pengantaraan Maria

Dalam citra umum umat, Maria lebih banyak dilihat sebagai “pengantara” 31. Apa persisnya makna sebutan ini? Berdasarkan tempat
Maria dalam pewahyuan alkitabiah di atas, peran ke-“pengantara”-an Maria ini haruslah dipahami sebagai pengantara dalam Kristus
(Bdk. RM 38, 39-41). Artinya, Kristus tetaplah Pengantara utama dan satu-satunya. Namun, dalam relasi kita dengan Kristus, Maria
diterima sebagai seorang yang berjalan bersama kita dalam proses untuk semakin bersatu dengan Kristus, yang adalah satu-satunya
Pengantara itu. Maria diterima karena Kristus sendirilah yang memintanya kepada kita, “Inilah ibumu!” (Yoh 19: 27). Dan Maria,
dengan pengantaraan bundawinya, akan mengantar atau membantu kita anak-anaknya – “Ibu, inilah anakmu!” (Yoh 19: 26) -, dalam
persatuan yang semakin mesra dengan Puteranya. Sebab tiada seorang pun yang telah sedemikian dekat dan bersatu dengan Yesus,
selain ibuNya. Sekarang, dari atas salib, Sang Juruselamat meminta Gereja untuk menerima ibuNya. Bunda Maria adalah hadiah
paling berharga sang Juruselamat bagi Gereja, itu untuk menjadi ibu, guru dan pengantara dalam proses persatuan yang semakin
intens dengan Dirinya.

Maka jelaslah bahwa sebagai pengantara “dalam” Kristus, pengantaraan Maria itu bukan berdiri sendiri, melainkan terkait dengan
Kristus. Artinya, asal-muasal dan daya pengantaraanya tergantung pada relasinya dengan Kristus, satu-satunya Pengantara.
“Adapun peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikitpun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang
tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya. Sebab segala pengaruh Santa Perawan yang menyelamatkan manusia tidak
berasal dari suatu keharusan objektif, melainkan dari kebaikan ilahi, pun dari kelimpahan pahala Kristus. Pengaruh itu bertumpu pada
pengantaraan Kristus, sama sekali tergantung dari padanya, dan menimba segala kekuatan dari padanya. Pengaruh itu sama sekali
tidak merintangi persatuan langsung kaum beriman dengan Kristus, melainkan justeru mendukungnya” (LG 60).

Dalam praktiknya, sering mencul kesalahpahaman berkaitan dengan peran pengantaraan Maria ini. Tidak jarang peran itu dipahami
secara isolatif, yaitu dengan memisahkannya dari Kristus. Kebetulan kata “pengantara” itu dekat dengan kata “antara”, yang
membangkitkan kesan kalau Maria itu merupakan makhluk yang berdiri sendiri, terletak antara Gereja dan Kristus. Jika demikian,
Maria lantas mulai dipandang sebagai seorang dewi atau malaikat, yang terletak “di luar”, malah “di atas” Gereja. Kepengantaraan
Maria lantas dipahami dalam gambaran birokratis yang terpisah dari Kristus: Maria → Kristus → Allah Bapa (Roh Kudus tidak disebut
di sini).

Maria itu sepenuhnya merupakan anggota Gereja. Karena itu, ia sama seperti kita. Ia beriman seperti kita, walaupun imannya menjadi
gerbang bagi keselamatan kita (Luk 1: 45). Ia diselamatkan seperti kita, walaupun ia diselamatkan dengan menjadi ibu Sang Putera
(Luk 1: 47). Ia juga dibangkitkan dari antara orang mati, walaupun ia telah mendahului kita dalam kemuliaan surgawi. Jadi, Maria
adalah anggota Gereja seperti kita, walaupun sebagai anggota, Maria itu “serba unggul dan sangat istimewa” (LG 53). Dia manusia
seperti kita, walaupun oleh rahmat Allah ia telah diangkat sebagai wakil kita semua. Tom Jacobs mengatakan, “Memang Maria lain
daripada yang lain. Tetapi tidak begitu berlainan sehingga ia bukan manusia lagi”32.

Sebagai anggota Gereja, pengantaraan Maria - seperti pengantaraan semua orang kudus – itu dibangkitkan oleh Yesus. Konsili
berkata, “Satu-satunya pengantaraan Penebus tidak meniadakan, melainkan membangkitkan pada makhluk-makhluk aneka bentuk
kerjasama yang berasal dari satu-satunya sumber” (LG 62). Itu terjadi bukan atas kehendak mereka sendiri, bukan pula atas
kemampuannya sendiri, tapi melulu oleh karena rahmat Allah yang tercurah melalui Kristus berkat kerjasama mereka dengan Roh
Kudus.

31
Bdk. Segala kesaksian dalam Georg Kirchberger, “Ziarah dan Tempat Ziarah”, dalam Maria, Seri Buku Pastoralia XIV/2/1988, Arnoldus, Ende,
Flores, 1988, hlm. 136-170; G.P. Sindhunata, Mengasih Maria, 100 Tahun Sendangsono, Kanisus, Yogyakarta, 2004.
32
Tom Jacobs, Yesus Anak…, hlm. 203.
8
Maka, antara Umat beriman dengan Kristus relasinya selalu bersifat langsung (Gal 3: 28). Maria menjadi pengantara bagi kita dalam
arti bahwa dia memfasilitasi – lewat doa dan tuntunannya – persatuan langsung itu. Sebab dalam Gereja, Maria “menduduki tempat
yang paling luhur sesudah Kristus dan paling dekat dengan kita” (LG 54). Maria membantu agar kebutuhan putera-puteri Gereja
diperhatikan Puteranya, dan agar kehendak Puteranya dilaksanakan putera-puteri Gereja. Persis seperti yang dilakukannya di Kana:
“Mereka kehabisan anggur” – “Lakukanlah apa yang dikatakan(-Nya) kepadamu” (Yoh 2). Peran yang sama masih diteruskannya
hingga kini di surga (LG 62). Sebab karya keselamatan belum berakhir dengan naiknya Yesus ke surga atau terangkatnya Maria ke
surga, melainkan masih sedang berlangsung kini dalam waktu, dan baru akan berakhir tatkala “Allah akan menjadi segalanya bagi
semuanya”. Maka, Maria, yang dalam dirinya karya keselamatan sudah penuh, masih sedang berkarya hingga kini, menjadi
pengantara kita.

b. Memuji Maria

Sudah sejak Gereja perdana Maria dipuji dan dihormati. “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah
rahimmu…!” (Luk 1: 42). Jika Maria itu pantas menerima hormat bakti Gereja, itu bukan pertama-tama karena pribadi Marianya,
melainkan karena rasa kagum atas karya-karya agung Allah dalam dirinya (Luk 1: 48-49). Karya-karya agung itu bukan hanya terjadi
pada saat Putera Allah hendak menjelma, tapi sampai sekarang masih diteruskan Allah dalam Gereja. Maria terus dipuji hingga
sekarang, oleh karena ia telah menjadi gerbang karya-karya agung Allah bagi kita. Tom Jacobs berkata, “Devosi kepada Maria selalu
harus mulai dengan hormat dan rasa kagum bagi keagungan karya Tuhan dalam Santa Perawan; dengan kesadaran bahwa karya itu
juga mau dilaksanakan di dalam diri kita”33.

Setelah itu barulah muncul alasan kedua, yaitu bahwa Maria dipuji oleh karena imannya yang mendatangkan keselamatan bagi kita.
“Berbahagilah ia yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana” (Luk 1: 45), bahwa yang
mustahil menjadi mungkin (Luk 1: 37). Maria menghayati sebuah iman yang tidak menuntut tanda. Dalam iman, ia menceburkan diri
sepenuhnya dalam rencana Allah dan mengambil bagian aktif di dalamnya. Namun, oleh karena iman tidak datang dari kemampuan
Maria sendiri, melainkan karena anugerah Roh Kudus, maka lagi-lagi Allahlah yang sebetulnya dipuji jika Maria dipuji. Maria sadar
akan hal ini, sehingga pujian Gereja kepadanya diteruskannya kepada Allah Bapa di surga. St. Montfort mengatakan,
“Jika kamu mengatakan “Maria”, maka ia akan mengulanginya “Allah”. Santa Elisabet memuji Maria dan menyebutnya berbahagia
karena telah percaya. Maria, gema yang setia dari Allah, melantunkan kidung: Magnificat anima mea Dominum: jiwaku mengagungkan
Tuhan. Apa yang Maria lakukan pada saat itu, diulanginya setiap hari. Jika ia dipuji, dikasihi, dihormati atau menerima sesuatu, maka
Allahlah yang dipuji, dikasihi, dihormati dan menerima persembahan kepadaNya melalui dan dalam Maria” (BS 225).

c. Meniru Maria

Maria tidak cukup jika hanya dipuji. Ia juga harus ditiru, diteladani. Sebab dialah typos dan model Gereja (bdk. LG 53, 63, 65, 68).
Maria pantas ditiru karena ia sungguh-sungguh telah mewujudkan hidup yang Allah cita-citakan dari manusia dan yang manusia cita-
citakan bagi Allah. Marialah sintesis seluruh kebajikan kristiani. Dengan demikian, devosi kepadanya merupakan jalan interiorisasi
(pengendapan) atas segala segala kebajikannya, sehingga menjadi milik kita sendiri (apropriasi). Lantas hidup kita menjadi serupa
dengan hidupnya. Ada banyak hal pada Maria yang dapat ditiru (bdk. MC 17-20). Tapi berikut ini hanya disebutkan beberapa di
antaranya.

1. Maria adalah teladan dalam hal ketaatan kepada Roh Kudus. Keterbukaan kepadaNya bukan saja perlu pada awal karya
keselamatan (Luk 1: 35), tapi juga untuk pembaharuan Gereja sepanjang masa (Kis 1: 14). Devosi kepada Maria membantu Gereja
untuk setiap kali kembali ke sifat aslinya: menunggu dan taat kepada Roh Kudus34. Roh Kuduslah yang menjadikan Gereja tetap
perawan dan selalu subur seperti Maria, untuk setiap kali mengandung dan melahirkan anak-anak bagi Tubuh Mistik Kristus.

2. Maria adalah teladan dalam kesederhanaan hidup (Luk 1: 48), bukan saja dalam hal ekonomi (Luk 1: 52-53; 2: 24), tapi juga dalam
hal sikap di hadapan Tuhan. Seorang yang sederhana adalah seorang yang beriman sepenuhnya kepada Allah (Luk 1, 49),
mengandalkan dia semata-mata dan selalu siap-sedia bagiNya (Luk 1: 38). Seorang yang sederhana adalah seorang yang seluruhnya
menunggu dengan aktif, menerima dengan tanggung jawab, dan melaksanakan kehendak Allah dengan setia. Meneladani Maria
berarti mempersatukan iman kita dengan imannya - yang telah merangkum iman kita juga – agar semakin terbuka sepenuhnya bagi
Allah dan rencanaNya.
“Bersama dengan semua orang kecil di Israel Maria meletakkan hidupnya dalam tangan Tuhan. Iman-kepercayaan Maria adalah
puncak dan rangkuman seluruh iman Israel, khususnya dari para nabi. Arus pengharapan para nabi mencapai kepenuhan dalam
hidup sederhana Maria. Batas-batas hidup kecil ini bukan penghalang untuk perkembangan iman, melainkan justru wadah dan
penampungnya”35.

33
Tom Jacobs, Yesus Anak…, hlm. 213.
34
Bdk. A. Widyamartaya, Salam Maria Mempelai Allah Roh Kudus, Kanisius, 2000.
35
Tom Jacobs, Yesus Anak…, hlm. 40.
9
3. Maria adalah juga teladan dalam peziarahan iman (Luk 1: 45). Iman, yang lahir dari keputusan bebas, bukanlah sesuatu yang sekali
dinyatakan lalu selesai. Maria selalu merenungkannya lagi dalam hatinya (Luk 2: 19, 51), terutama kini dalam kaitannya dengan
segala peristiwa hidup Puteranya. Dalam proses itulah, iman Maria dimurnikan dan ditingkatkan hingga menemukan arahnya yang
pasti, bahwa Yesus bukanlah Mesias politis seperti yang bangsanya nantikan – dan pasti seperti yang Maria nantikan juga - ,
melainkan Mesias Hamba Yahwe.

4. Maria adalah juga model dalam menjalani hidup ini dengan gembira, kendati segala dosa, ketidaksetiaan dan beban hidup yang
tidak selalu ringan. Dasar kegembiraan adalah karena Allah tidak meninggalkan kita dalam segala situasi itu. Kini Ia datang sebagai
Pembebas (Luk 1: 46-47), dengan mengutus PuteraNya. Maria dipanggil untuk bergembira (Luk 1: 28) karena akan mengambil bagian
aktif dan dengan penuh kasih dalam proses itu. Maka, “devosi kepada Maria harus mengajarkan kita bahwa pengabdian kepada
Tuhan harus merupakan sumber kegembiraan dalam hidup sehari-hari”36.

E. MARIA: MODEL BAGI KAUM AWAM DAN PEREMPUAN

Tema tentang relevansi Maria bagi kaum awam sebetulnya belum muncul dalam wacana teologis di tanah air. Namun, dalam
semangat Lumen Gentium dan Apostolicam Actuositatem – yang sangat menekankan peran kaum awam dalam Gereja -, baiklah
kalau tema ini jangan kita abaikan. Selain deskripsi resmi Gereja yang tercantum dalam LG 33, Soedjati Djiwandono memiliki
ungkapan yang bagus, “spiritualitas kaum awam adalah spiritualitas situasi, yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai
mengikuti Kristus dalam situasi hidup awam yang konkret. Termasuk dalam situasi hidup yang konkret itu adalah kehidupan sosial-
politik”37.

Dalam perjuangan di bidang “sospol”, Konsili memang menegaskan bahwa kaum awam berada di garda depan (LG 36). Jalan
penghayatan kekudusan mereka temukan dalam pekerjaan harian dalam situasi yang konkret, melalui keterlibatan nyata dalam
aktivitas keadilan sosial dan pengabdian kepada sesama, khususnya yang kecil (bdk. LG 40, 51, 67). Di dunia, dalam situasi yang
konkret, kaum awam berusaha menanggapi kehendak Allah. Mereka berusaha menemukan Allah dalam hal-hal kecil dan tidak berarti.
Hal-hal itu diberi makna baru.

Kehadiran di dunia ini bukanlah sesuatu yang sekunder dalam sejarah keselamatan. Maka, tanggung jawab bagi perkembangan dunia
harus diemban dengan serius. Maria adalah teladan dalam keterlibatan dalam dunia secara bertanggung jawab (Luk 1: 38). Maria
adalah seorang yang telah membaca tanda-tanda kehadiran Allah dalam kesederhanaan hidup keluarga dan pekerjaannya. Ia
menghayati segala yang biasa secara luar biasa, menjadikan hidup yang sederhana wadah kehadiran Allah. Ia terlibat dalam segala
situasi zamannya, walau dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh kulturnya. Namun, ia menjadikan batas-batas itu kemungkinan
untuk realisasi dirinya secara penuh.
“Maria sungguh dipanggil dan dirahmati dalam kesederhanaan keluarga di Nazaret. Sebagaimana Maria membuat hidup kecil ini
berarti, begitu juga Tuhan sendiri memberi arti yang amat mendalam kepada kehidupan seorang ibu keluarga: Maria dijadikan Bunda
Putera Allah. Maria yang hidup tersembunyi dalam kekecilan desa, menjadi titik pertemuan Allah dengan manusia”38.

Namun, seperti Maria, dasar keterlibatan kaum awam dalam dunia ini adalah iman (bdk. Luk 1: 45) 39. Sehingga walaupun hidup di
dunia, mereka harus tetap sadar bahwa mereka bukan berasal dari dunia. Maka, seorang awam harus selalu mengusahakan
kesatuan antara dua pola hidup yang tak terpisahkan satu sama lain: keterlibatan aktif dalam membangun dunia serta iman yang
dalam dan kesetiaan kepada Gereja. Persisnya, keterlibatan dalam dunia itu merupakan manifestasi iman dan cintanya kepada
Gereja. Jadi iman yang duluan ada, barulah sebuah kesaksian nyata dalam keterlibatan di dunia. Lalu keterlibatan dalam dunia akan
memperkaya penghayatan imannya. Allah ditemukan dalam interaksi aktif antara ke dua medan itu.

Tema hangat yang justru mulai mencuat dalam refleksi teologis di Indonesia adalah berkaitan dengan relevansi Maria bagi perjuangan
keadilan gender. Untuk bidang ini, studi Murniati40 akan sangat membantu kita. Persoalan gender sebetulnya berkaitan dengan dua
hal yang tak saling terpisahkan, yaitu soal visi dan aksi nyata. Dikatakan “persoalan” karena ada visi yang keliru berkaitan dengan
relasi antara pria dan wanita (para feminis lebih suka menggunakan kata ‘perempuan’), yang atas dasar visi keliru itu diarahkanlah
segala sikap, penilaian, keputusan, pendapat, pembagian tugas, etc.

Visi keliru itu asal-muasalnya ada dalam kultur, entah patriarkat, entah matriarkat. Kebetulan dunia ini secara umum dibentuk oleh
kultur patriarkat. Maka kultur ini dalam visinya menempatkan pria sebagai lebih superior dari perempuan. Perempuan itu hanya
berperan dalam menjalankan fungsi reproduksi, dan selebihnya untuk membantu atau menemani laki-laki. Dan dalam prokreasi
36
Tom Jacobs, Yesus Anak…, hlm. 214-215.
37
J. Soedjati Djiwandono, Perahu Gereja dalam Perairan Indonesia, makalah ceramah di Cibinong, 21 September 2003, hlm, 8.
38
Tom Jacobs, Yesus Anak…, hlm. 41.
39
Bdk. Peka seperti Maria (HIDUP, 21 Oktober 2001; Kepekaan dan Cinta Bunda Maria (HIDUP Nomor 52 Tahun LIII, 26 Desember 1999, hlm. 21).
40
A. Nunuk P. Murniati S., “Peranan Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat”, dalam Gereja Indonesia Pasca-Konsili Vatikan II, Refleksi dan
Tantangan, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm. 79-104.
10
(penciptaan baru), laki-laki dikatakan sebagai berperan formatif, perempuan hanya penerima pasif sperma laki-laki. Visi keliru ini –
yang menuntun pada aksi – merupakan sumber kekacauan, ketidakadilan, ketimpangan gender. Akibat negatif yang ditimbulkan
adalah tidak optimalnya realisasi diri seorang perempuan, karena ia dibelenggu oleh paradigma yang dibentuk kultur patriarkat. Dari
sinilah dimulai perjuangan para feminis untuk persamaan peran (tugas dan wewenang) dalam segala aspek kehidupan, seperti juga
dalam prokreasi. Laki-laki dan peremuan diciptakan secitra dengan Allah (imago Dei). Suasana jadi lebih demokratis.

Namun, mereka menemukan hambatan dalam perjuangan itu, karena dalam Gereja rupanya dominasi kultur patriarkat itu turut
dilanggengkan oleh segala citra yang diberikan kepada Maria. Maria mereka lihat sebagai “perempuan idaman” bentukan kultur
patriarkat ini. Maka kaum perempuan, yang diwakili Maria, akan selalu subordinatif terhadap pria. Maka, para feminis (khususnya neo-
feminisme yang muncul pada 1968-1980) sangat membenci paparan Gereja Katolik tentang Maria sebagai “mempelai Kristus” (LG 4,
6, 7, 9, 39, 41, 46), “Hawa Baru” (LG 63), “Bunda” dan “Perawan” (LG 63-64). “Mempelai” dan “Hawa Baru” dibenci karena
menimbulkan kesan perempuan yang tergantung, tidak mandiri. “Bunda” dibenci karena berkaitan dengan fungsi reproduksi. Padahal
fungsi reproduksi merupakan “dasar perempuan mengalami diskriminasi” 41. “Perawan” dibenci karena ia merupakan citra bentukan
kultur patriarkat pada saat keperawanan dipuja dan dikatakan lebih bernilai dari hidup perkawinan. Sekarang keperawanan itu
merupakan ideal yang mustahil. Murniati berkata, “Mitos ini [keperawanan] menciptakan diskriminasi terhadap perempuan” 42, karena
tidak membiarkan perempuan menjadi dirinya sendiri.

Untuk menemukan relevansi Maria bagi perjuangan gender, para feminis mengemukakan pendekatan baru terhadap Mariologi, yang
dikenal dengan nama Mariologi “dari bawah” 43. Ini adalah suatu upaya untuk menelaah tempat dan peran Maria dalam sejarah
keselamatan dengan bertitik tolak dari hidupnya sebagai manusia biasa dalam konteks zamannya, yang berusaha menjawab tawaran
Allah dengan seluruh kebebasannya. Maka, relevansi Maria mereka temukan pada pilihan bebas dalam menjawab kehendak Allah,
sebagai ungkapan imannya.
“Maria melalui pertimbangannya sendiri memutuskan bagaimana pilihan terhadap keadaan badannya, tanpa meminta pertibangan
tunangannya, Yusuf…. Injil Lukas di sini menunjukkan bahwa pilihan Maria untuk menjadi ibu adalah pilihan bebas ( free choice).
Ketika malaikat datang, Maria tidak berkonsultasi dengan Yusuf, tetapi mengambil keputusan sendiri…. Maria sebagai perempuan
berdiri sendiri, tidak dikaitkan dengan laki-laki, walaupun ada tunangannya”44.
Dari sudut pandang kebebasan untuk menentukan diri ini kemudian tampak bahwa perempuan ternyata bukanlah makhluk yang
lemah. Tapi dipilih Allah untuk melaksanakan karya-karya ajaibNya untuk kepentingan umat manusia seluruhnya. Dan Maria
mengambil bagian aktif di dalamnya sambil mengidungkan madah kebebasannya (Luk 1: 46-55). Dalam konteks keputusan bebas
inilah baru gelar-gelar Maria sebagai “Perawan”, “Bunda”, etc baru dapat diterima, karena semuanya itu lahir dari otonomi Maria,
isyarat bahwa ia bebas menentukan jalan hidupnya sendiri. “AKU ini hamba Tuhan….”. Konsili berkata, “Maria tidak secara pasif
belaka digunakan oleh Allah, melainkan bekerja sama dengan penyelamatan umat manusia dengan iman serta kepatuhannya yang
bebas” (LG 56).

F. MARIA DALAM RELASI DENGAN GEREJA DAN AGAMA LAIN

Konsili Vatikan II mencita-citakan “persaudaraan semesta tanpa diskriminasi” (NA 5). Dalam hal ini, Indonesia yang terkenal
kemajemukannya, banyak diharapkan oleh dunia untuk menampilkan wajah sejati visi Vatikan II ini. Maka “relasi yang hidup”, “kerja
sama” dan “dialog” harus merupakan kata-kata yang sering diucapkan dan diwujudnyatakan dalam kehidupan Gereja Indonesia.
Khususnya dalam konteks kita, persaudaraan dalam relasinya kita dengan Gereja-gereja dan agama-agama lain, khususnya dengan
Islam (tanpa bermaksud mengecualikan yang lain)45.

Dalam kaitannya dengan Gereja-gereja Kristen non-Katolik, kita memiliki refleksi bersama yang langka – untuk tidak menyebutnya
tidak ada sama sekali - tentang Maria. Malah, agak mengejutkan bahwa dalam tulisan Pendeta Gerrith 46, untuk 75 tahun Penerbit
Kanisus, Maria tidak disebut sebagai hambatan untuk “saling mengakui dan menerima” serta “hambatan di dalam penghayatan
praktis” dalam relasi Katolik – Protestan. Dalam artikel tersebut, beliau hanya berbicara tentang teologi ekaristi dan pernikahan
campuran Katolik-Protestan. Apakah tidak disebutnya Maria merupakan ungkapan bahwa Maria sungguh-sunnguh tidak dianggap
sebagai beban dalam ekumenisme, ataukah ungkapan kekurangtahuan akan kehadiran Maria dalam Gereja Indonesia?

41
A. Nunuk P. Murniati S., “Peranan Perempuan…”, hlm. 95.
42
A. Nunuk P. Murniati S., “Peranan Perempuan…”, hlm. 96.
43
Untuk membedakannya dari Mariologi “dari atas”, yaitu menelaah peran Maria dari sudut pandang dogma-dogma.
44
A. Nunuk P. Murniati S., “Peranan Perempuan…”, hlm. 96-97.
45
Bdk. B. Kieser, “Maria, Siapa Punya? Orang Kristiani dan Orang Muslim Menghormati Maria”, dalam G.P. Sundhunata (ed.), Mengasih Maria,
Kanisius, Yogyakarta, 1004, hlm. 189-204; Maria dalam Islam (HIDUP Nomor 21/29, Tahun XLII, 22/29 Mei 1988, hlm. 39-40); Maria sebagai
Jembatan Dialog Katolik dengan Islam (HIDUP Nomor 21 Tahun XLV, 26 Mei 1991, hlm. 50-52).
46
Pdt. E. Gerrith Singgih, “Tantangan dan Perkembangan Gerakan Oikumene di Indonesia”, dalam Gereja Indonesia Pasca-Konsili Vatikan II,
Refleksi dan Tantangan, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm. 167-182.
11
Memang harus diakui, bahwa sejak Konsili Vatikan II, di tingkat internasional semakin ditingkatkan studi-studi bersama antara semua
Gereja dalam merenungkan tempat dan peran Maria dalam misteri Kristus dan misteri Gereja. Walaupun secara umum tetap ada
jurang teologis, namun mulai bertumbuh dalam Gereja-gereja reformasi pengintegrasian Maria dalam hidup dan teologinya. Pada
1988, Groenen mencatat,
“Secara tradisional umat Protestan sangat anti-Mariologi dan terlebih anti devosi marial dalam Gereja Roma Katolik. Tetapi akhir-akhir
ini ada semacam tendensi terbalik. Dicari suatu kemungkinan untuk, berdasarkan Perjanjian Baru dan pendirian para Reformator,
mengintegrasikan ibu Yesus dalam keseluruhan teologi dan penghayatan iman. Sikap negatif lambat laun diganti dengan sikap positif
dan pendekatan simpatik”47.

Sejak 1988 itu hingga 2004 ini, dapat kita temukan banyak studi yang dilakukan teolog-teolog Protestan di seluruh dunia tentang
Maria. Maka, sudah bukan saatnya lagi Maria dianggap sebagai sandungan bagi ekumenisme. Malah ia lebih merupakan faktor
pemersatu daripada pertentangan antara Katolik dan Protestan. Atas dasar keyakinan ini, pada Tahun Maria, 1988, Mgr. Leo Soekoto
memberi arahan yang meneguhkan tentang bagaimana Gereja hendaknya merayakan Tahun Maria itu. Beliau menegaskan, “Segi
ekumene tak boleh diabaikan. Tak boleh “menyembunyikan” atau meninggalkan Maria demi ekumene. Sebaliknya, demi kesatuan
umat kristiani harus banyak dimohon bantuan Maria”48.

Dalam relasi dengan umat Islam, Konsili menyatakan, “Gereja juga menghargai umat Islam… Memang mereka tidak mengakui Yesus
sebagai Allah, melainkan menghormatiNya sebagai nabi. Mereka juga menghormati Maria BundaNya yang tetap perawan, dan pada
saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya” (NA 3). Studi tentang Maria dalam Islam terasa cukup berprospek di tanah air
kita. Dalam Al-Quran memang Maria dihormati sebagai seorang yang taqwa-beriman dan seorang perawan yang mengandung dan
melahirkan Isa Almasih dengan kuasa Roh Allah. Maka, bagi agama semua kristen dan Islam, Maria bermakna sebagai model
bersama dalam menyerahkan diri kepada Allah dan mengabdiNya dengan seluruh hidup.

G. TANTANGAN KE DEPAN

Walaupun produksi tulisan tentang Maria masih sedikit, dan mungkin akan selalu sedikit, namun yang sudah ada sekarang
mencerminkan dengan sangat baik sekali arah yang ditunjuk oleh spiritualitas Konsili Vatikan II. Walau masih ada tantangan yang
menjadi pekerjaan rumah untuk dirajut pada hari-hari ini. Pertama, di bidang teologi, diusahan untuk memperluas wacana marial lewat
dialog dengan Gereja lain, agama lain (khususnya Islam) dan situasi kontekstual negeri kita. Maria itu relevan bagi seluruh umat
beriman di segala bidang kehidupannya. Kedua, di bidang devosi, hendaknya mengusahakan kesatuan antara devosi-devosi pribadi,
devosi umum (liturgi, sakramen) dengan hidup nyata. Maria bukanlah tokoh masa lalu yang dengan kagum dapat dikenang, tapi tetap
aktual untuk zaman kini dan dapat dimohonkan penyertaan dan kepengantaraannya, “untuk menemukan Yesus Kristus dengan
sempurna, mencintaiNya dengan mesra dan melayaniNya dengan setia” (BS 62).

Biara Karmel Lembang, 19 April 2004

*) ARNOLD SUHARDI, Montfortan.


Ditahbiskan pada Tahun Yubileum, 2000. Sebelum tahbisan, menempuh pendidikan Filsafat dan Teologi di Universitas Parahyangan,
Bandung; lalu menjalani semester pastoral (1996) di Benua Martinus dan masa praktik diakonat (awal 2000) di Putussibau, keduanya
di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Setelah tahbisan, menempuh studi spesialisasi di bidang Teologi Spiritual di Universitas
Gregoriana, Roma (Februari 2001 - Februari 2003); dan atas beasiswa Pemerintah Perancis mengikuti Université d’Été – Kuliah
47
Groenen, Mariologi…, hlm. 154.
48
Mgr. Leo Soekoto SJ, Suara para Gembala Menjelang Tahun Maria, HIDUP 19 Juli 1988.
12
Musim Panas (2002) di bidang Literatur dan Kebudayaan Perancis di Universitas Katolik Lyon, Perancis. Kini mendampingi pendidikan
para frater dan bruder SMM di Seminari Montfort, Bandung.

DAFTAR SINGKATAN

DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi


LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja
SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci
OT : Optatam Totius, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pembinaan Imam
UR : Unitatis Redintegratio, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumenisme
NA : Nostra Aetate, Pernyataan Konsili Vatikan II tentang
Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristen
MC : Marialis Cultus, Eksortasi Apostolik Paus Paulus VI,
tentang Devosi kepada Maria, 1974
RM : Redemptoris Mater, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II,
tentang Santa Perawan Maria dalam Hidup Gereja yang sedang Berziarah
BS : Bakti Sejati kepada Maria,
Mahakarya St. Louis-Marie Grignion de Montfort (1673-1716)

DAFTAR BACAAN
(Pada lembaran terpisah)

13

Anda mungkin juga menyukai