Anda di halaman 1dari 47

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS PENDIDIKAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA Dr. ESNAWAN ANTARIKSA

Nama Mahasiswa: Calista Paramitha


Nim

Tanda Tangan

: 11.2014.038

....................

Dr. Penguji : dr. Suryantini Sp.PD

...................

IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap

: Ny. R

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal lahir

: 19.09.1979(54 th)

Suku bangsa : Betawi

Status perkawinan

: menikah

Agama

: Islam

Pekerjaan

: ibu rumah tangga

Pendidikan

: SMP

Alamat

: Jln Industri 3 Pademangan Masuk tanggal : 19 mei 2015

A. ANAMNESIS
Diambil dari: auto anamnesis dan aloanamnesis Tanggal: 28 Mei 2014 (hari ke 9
perawatan) Jam: 15.30
Keluhan Utama: os mengeluh lemas sejak 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
Os datang dengan keluhan lemas sejak 3 hari SMRS. Keringat dingin dirasakan sejak pagi.
Pandangan berkunang-kunang dan sempat muntah berisi cairan sudah lebih dari 5 kali dalam

2 hari ini. Di dapatkan BAB berwarna hitam dan berbau sebanyak 1 kali pada saat pagi hari.
Tidak ada muntah berdarah.
Beberapa bulan sebelumnya os sering merasa nyeri dan pegal pada daerah punggung
belakangn bagian kanan kurang lebih 3 bulan. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan
dirasakan hilang timbul. Pada awalnya rasa nyeri dirasakan tidak terlalu mengangu tetapi
lama kelaman keluhan nyeri mulai sering dirasakan dan rasa nyeri semakin bertambah berat.
Nyeri tidak membaik dengan perubahan posisi. Untuk keluhan ini pasien sudah
memeriksakan diri di klinik swasta

dan didiagnosis sebagai batu di ginjal kanan,

mendapatkan pengobatan lebih lanjut untuk penyakitnya.Saat nyeri os mengkomsumsi


NSAID dan dari klinik mendapatkan obat Lansoprazol, Scopolamin dan juga Ondancentron.
Penyakit Dahulu (Tahun, diisi bila ya (+), bila tidak (-) )
( - ) Cacar

( - ) Malaria

( + ) Batu Ginjal

( -) Cacar air

( - ) Disentri

( - ) Burut (Hernia)

( - ) Difteri

( - ) Hepatitis

( - ) Penyakit Prostat

( - ) Batuk Rejan

( - ) Tifus Abdominalis

( - ) Wasir

( - ) Campak

( - ) Skirofula

( - ) Diabetes

( -) Influenza

( - ) Sifilis

( - ) Alergi

( - ) Tonsilitis

( - ) Gonore

( - ) Tumor

( - ) Khorea

( - ) Hipertensi

( - ) Penyakit Pembuluh

( - ) Demam Rematik Akut

( - ) Ulkus Ventrikuli

( - ) Perdarahan Otak

( - ) Pneumonia

( - ) Ulkus Duodeni

( - ) Psikosis

( - ) Pleuritis

( - ) Gastritis

( - ) Neurosis

( - ) Tuberkulosis

( - ) Batu Empedu

Lain-lain:

( - ) Operasi
( - ) Kecelakaan

Adakah Kerabat Yang Menderita:


Penyakit
Alergi
Asma
Tuberkulosis
Arthritis
Rematisme

Ya
-

Tidak
+
+
+
+
+

Hubungan
-

Hipertensi
Jantung
Ginjal
Lambung

+
+
+
+

ANAMNESIS SISTEM
Catatan keluhan tambahan positif disamping judul-judul yang bersangkutan
Kulit
( - ) Bisul

( - ) Rambut

( -) Keringat malam

( - ) Kuku

( - ) Kuning / Ikterus

( - ) Sianosis
( - ) Lain-lain

Kepala
( - ) Trauma

( - ) Sakit kepala

( - ) Sinkop

( - ) Nyeri pada sinus

Mata
( - ) Nyeri

( - ) Radang

( - ) Sekret

( - ) Gangguan penglihatan

( - ) Kuning / Ikterus

( - ) Ketajaman penglihatan

Telinga
( - ) Nyeri

( - ) Gangguan pendengaran

( - ) Sekret

( - ) Kehilangan pendengaran

( - ) Tinitus
Hidung
( - ) Trauma

( - ) Gejala penyumbatan

( - ) Nyeri

( - ) Gangguan penciuman

( - ) Sekret

( - ) Pilek

( - ) Epistaksis
Mulut
(- ) Bibir

(-) Lidah kotor

(- ) Gusi

(- ) Gangguan pengecap

(- ) Selaput

(- ) Stomatitis

Tenggorokan
( - ) Nyeri tenggorokan

( - ) Perubahan suara

Leher
( - ) Benjolan

( - ) Nyeri leher

Dada (Jantung / Paru)


( - ) Nyeri dada

( - ) Sesak napas

( - ) Berdebar

( - ) Batuk darah

( - ) Ortopnoe

( - ) Batuk

Abdomen (Lambung / Usus)


( - ) Rasa kembung

( - ) Wasir

( - ) Mual

( - ) Mencret

( - ) Muntah

( - ) Tinja darah

( - ) Muntah darah

( - ) Tinja berwarna dempul

( - ) Sukar menelan

( - ) Tinja berwarna teh

( - ) Nyeri perut, kolik

( - ) Benjolan

( - ) Perut membesar
Saluran Kemih / Alat kelamin
( - ) Disuria

( - ) Kencing nanah

( - ) Stranguria

( - ) Kolik

( - ) Poliuria

( - ) Oliguria

( - ) Polakisuria

( - ) Anuria

( - ) Hematuria

( - ) Retensi urin

( - ) Kencing batu

( - ) Kencing menetes

( - ) Ngompol (tidak disadari) ( - ) Penyakit Prostat


( - ) Kencing berwarna teh
Saraf dan Otot
( - ) Anestesi

( - ) Sukar mengingat

( - ) Parestesi ekstremitas sinistra

( - ) Ataksia

( - ) Otot lemah

( - ) Hipo / hiper esthesi

( - ) Kejang

( - ) Pingsan

( - ) Afasia

( - ) Kedutan (Tick)

( - ) Amnesia

( - ) Pusing (vertigo)

( - ) Lain-lain

( - ) Gangguan bicara (Disartri)

Ekstremitas
( - ) Bengkak

( - ) Deformitas

( - ) Nyeri sendi

( - ) Sianosis

BERAT BADAN
Berat badan rata-rata (Kg)

Berat tertinggi kapan (Kg)

: 65 kg

Berat badan sekarang (Kg)

: 85 kg

(Bila pasien tidak tahu dengan pasti)


Tetap

(-)

Turun` ( - )
Naik

(-)

RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat lahir : ( - ) Di rumah

( - ) Rumah Bersalin

( + ) R.S. Bersalin

Ditolong oleh : ( + ) Dokter

( - ) Bidan

( -) Dukun

( - ) Lain-lain
Riwayat Imunisasi
( -) Hepatitis

( -) BCG

( -) Polio

( -) Tetanus

Kesan : Imunisasi dasar tidak diketahui

( -) Campak

( -) DPT

Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari

: 3x/hari

Jumlah / Hari

: sedikit

Variasi / Hari

: bervariasi

Nafsu makan

: biasa

Pendidikan
( - ) SD

( - ) SLTP

( + ) SLTA

( - ) Sekolah Kejuruan

( - ) Akademi

( - ) Universitas

( - ) Kursus

( - ) Tidak sekolah

Kesulitan
Keuangan

: ada

Pekerjaan

: ada

Keluarga

: ada

Lain-lain

: Tidak ada

B. PEMERIKSAAN JASMANI :
Tanggal `15 April 2014
Pemeriksaan Umum
Tinggi badan

: 160 cm

Berat badan

: 65 kg

Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 84 x/menit

Suhu

: 36,20 C

Pernapasan (Frekuensi dan tipe)

: 22 kali per menit, abdominal-thorakal

Keadaan gizi

: berlebih

Kesadaran

: compos mentis

Sianosis

: tidak ada

Udema umum

: tidak ada

Habitus

: atletikus

Cara berjalan

:-

Mobilitas (Aktif / Pasif)

: pasif

Aspek Kejiwaan
Tingkah laku

: tenang

Alam perasaan

: biasa

Proses pikir

: wajar

Warna

: sawo matang

Jaringan parut

: tidak ada

Kulit

Pertumbuhan rambut : distribusi rambut baik merata


Suhu raba

: hangat

Keringat

: umum

Lapisan lemak

: normal

Effloresensi

:(-)

Pigmentasi

: normal

Pembuluh darah

:tidak tampak pelebaran pembuluh darah maupun pembuluh


darah kolateral

Lembab/kering

: lembab

Turgor

: baik

Ikterus

: tidak ada

Edema

: tidak ada

Kelenjar Getah Bening


Submandibula

: tidak teraba membesar

Supraklavikula

: tidak teraba membesar

Lipat paha

: tidak teraba membesar

Leher

: tidak teraba membesar

Ketiak

: tidak teraba membesar

Kepala
Ekspresi wajah

: wajar/normal

Rambut

: hitam dan beruban merata tidak mudah dicabut

Simetri muka

: asimetris

Pembuluh darah temporal : tidak ada kelainan

Mata
Exophthalmus

: tidak ada

Enopthalmus

: tidak ada

Kelopak

: oedem ( - ), hiperemis ( - )

Lensa

: jernih

Konjungtiva

: anemis ( - )

Visus

: tidak dinilai

Sklera

: ikterik ( - )

Gerakan mata

: normal

Lapangan penglihatan

: normal

Tekanan bola mata

: normal

Deviatio konjungae

: tidak ada

Nystagmus

: tidak ada

Tuli

: -/-

Selaput pendengaran

: utuh

Lubang

: liang telinga lapang

Penyumbatan

: -/-

Serumen

: -/-

Perdarahan

: -/-

Cairan

: -/-

Telinga

Mulut
Bibir

: normal

Langit-langit

: tidak bercelah

Gigi geligi

: tampak caries

Faring

: tidak hiperemis

Lidah

: normal

Tonsil

: T1-T1 tenang

Bau pernapasan

: normal

Trismus

: tidak ada

Selaput lendir

: normal

Leher
Kelenjar Tiroid

: tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe

: tidak teraba membesar

Tekanan vena Jugularis (JVP): Dada


Bentuk

: simetris

Pembuluh darah

: tidak tampak vena kolateral

Buah dada

: tidak tampak benjolan

Paru-paru

Depan
Warna kulis matang tidak ada lesi benjolan

Bentuk thoraks normal

Pergerakan dada saat statis dan dinamis simetris

Tidak ada retraksi sela iga

Sela iga normal, nyeri tekan ( - )

Fremitus taktil normal simetris

Sonor di seluruh lapang paru


Suara vesikuler

Wheezing -/-, Ronki -/-

Inspeksi

Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

Ictus cordis teraba pada sela iga 5, garis mid-clavicularis kiri, sebesar 2,5

Inspeksi

Palpasi

Perkusi
Auskultasi

Belakang

Jantung

cm
Perkusi

Batas atas: sela iga 2 garis parasternalis kiri


Auskultasi

Batas kanan: sela iga 4 garis parasternalis kanan

Batas kiri: sela iga 5, garis mid-clavicularis kiri


BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi

: simetris, tampak datar, tidak tampak lesi kulit

Palpasi

: Dinding perut : supel, benjolan ( - ), nyeri tekan eigastrium,


hipogastrium kanan dan kiri

Hati

: tidak teraba adanya pembesaran

Limpa

: tidak teraba adanya pembesaran

Ginjal

: Ballotement ( - ), nyeri ketok CVA ( + )pada sebelah kanan

Perkusi

: timpani, shifting dullness ( - )

Auskultasi

: bising usus normal

Refleks dinding perut

: normal

Alat kelamin: pemeriksaan tidak dilakukan (tidak ada indikasi)

Anggota gerak
Lengan
Otot

Kanan

Kiri

Tonus :

normal

tidak ada

Massa :

tidak ada

tidak ada

Sendi

normal

normal

Gerakan

baik

baik

Kekuatan

+5

+5

Ptechiae

(-)

(-)

Lain-lain

Kanan

Kiri

Tungkai dan kaki


Luka

tidak ada

tidak ada

Varises

tidak ada

tidak ada

Otot (tonus dan massa)

normal

normal

Sendi

normal

normal

Gerakan

baik

baik

Kekuatan

+5

+5

Edema

tidak ada

tidak ada

Ptechiae

(-)

(-)

Refleks ( pemeriksaan tidak dilakukan)


Kanan

Kiri

Refleks tendon
Bisep
Trisep
Patella
Archiles
Kremaster
Refleks kulit
Refleks patologis
LABORATORIUM & PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA
Pada tanggal 19 Mei 2015 Tempat : UGD
Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Hemaglobin
Hematokrit

Hasil

Nilai Normal

9.6
27.0

11.7-15.5 g/dL
40-50 %

Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Kimia klinik
Natrium (Na)
Kalium (K)
Clorida (Cl)
Kimia darah
Glukosa darah sewaktu
Fungsi ginjal
Ureum
Kreatinin

24.700
286.000

3.5-4.7 juta/uL
3.600-11.000 / uL
1500000-450000 / uL

130
3.8
100

135-159 mEq/L
3,6-5.5 mEq/L
94-111 mEq/L

86

<140 mg/dL

10,8
6,36

10-50 mg/dL
0.6-1.1 mg/dL

Hasil pemeriksaan Imunologi


tanggal 19 mei 2015
Jenis Pemeriksaan
HbsAg

Hasil
Negatif

Nilai Normal
Negatif

HIV
HCV

Negatif
Negatif

Negatif
Negatif

Widal
Shalmonella typhy O
Shalmonella typhy H

Negatif
Negatif

Shalmonella Para typhy AO

Negatif

Shalmonella Para typhy AH

Negatif

Shalmonella Para typhy BO

Negatif

Shalmonella Para typhy BH

Negatif

Foto thorax
Tanggal 20 Mei 2015
Kesan : tampak Kardiomegali dengan oedem paru.
Pemeriksaan tanggal tanggal 22 Mei 2015 tempat ruang ICU (ICU 3) jam 11.00
Nama Pemeriksaan

Hasil

Satuan Nilai Rujukan

Hematologi
Darah Rutin
Hemaglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Kimia
Faal Hati
Bilirubin Total
Bilirubin direk
Bilirubin indirek
Protein Total
Albumin
Globulin
SGOT
SGPT
Profil Lemak
Kolesterol Total
Trigliserida
Faal Ginjal
Ureum
Kreatinin
Asam urat

10,2*
30*

11,7-15,5 gr/dL
40-50 %

14.000 *
364.000

3.600-11.000 / uL
1500000-450000 / uL

0,5 mg/dL
0,2 mg/dL
0,3 mg/dL
5,0* g/dL
3,0* g/dL
2,0* g/dL
38 u/l
11 u/l

<1,1 mg/dL
<0,25 mg/dL
0,1-1,0 mg/dL
6,0-8,0
3,4-4,8
2,5-3,9
P: 10- 50 u/l W:10-35 u/l
P: 10- 50 u/l W:10-35 u/l

182 mg/dL
198 mg/dL

<200 mg/dL
<200 mg/dL

159* mg/dL
5,93* mg/dL
14,5* mg/dL

10-50 mg/dL
P:0,9-1,3 W : 0,6-1,1 mg/dL
P:3,6-8,2 W : 2,3-6,1 mg/dL

Diabetes
Glukosa Puasa

95 mg/dL

80-100 mg/dL

Pada tanggal 24 Mei 2015 . Jam 08.38 Tempat: Ruang ICU


Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Hemaglobin
Hematokrit

Hasil

Nilai Normal

9.7
29

11.7-15.5 g/dL
40-50 %

Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Kimia klinik
Natrium (Na)
Kalium (K)
Clorida (Cl)
Kimia darah
Glukosa darah sewaktu
Fungsi ginjal
Ureum
Kreatinin

11.700
312.000

3.5-4.7 juta/uL
3.600-11.000 / uL
1500000-450000 / uL

130
3.8
100

135-159 mEq/L
3,6-5.5 mEq/L
94-111 mEq/L

86

<140 mg/dL

10,8
6,36

10-50 mg/dL
0.6-1.1 mg/dL

Pemeriksaan tanggal 25 mei 2015


Hematologi
Darah Rutin
Hemaglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Hitung Jenis Leukosit
Basofil
Eosinofil
Neurofil batang
Neutrofil Segmen
Limfosit
Monosit
Kimia
Faal Hati
Protein Total
Albumin
Globulin
SGOT
SGPT

9,5*
29*

11,7-15,5 gr/dL
40-50 %

12.300 *
288.000

3.600-11.000 / uL
1500000-450000 / uL

0%
1*%
0*%
70 %
25%
4%

0-1%
2-4%
3-5%
50-70%
24-40%
2-8%

6,3 g/dL
3,7 g/dL
2,6 g/dL
21 u/l
23 u/l

6,0-8,0
3,4-4,8
2,5-3,9
P: 10- 50 u/l W:10-35 u/l
P: 10- 50 u/l W:10-35 u/l

Profil Lemak
Kolesterol Total
Faal Ginjal
Ureum
Kreatinin
Asam urat
Diabetes
Glukosa Puasa

198 mg/dL

<200 mg/dL

139* mg/dL
3,15* mg/dL
9,6* mg/dL

10-50 mg/dL
P:0,9-1,3 W : 0,6-1,1 mg/dL
P:3,6-8,2 W : 2,3-6,1 mg/dL

102* mg/dL

80-100 mg/dL

Pemeriksaan tanggal 26 Mei 2015


Kimia klinik

Hasil

Nilai satuan

rujukan

metode

Elektrolit
Calsium
Phospor Anorganik
Magnesium

10,7
3.9
1,80

mg/dL
mg/dL
mg/dL

8,6-10,0
2,6-4,5
1,70-2,58

Arsenaso III
Phospomol boat
Xylidyl blue

Pemeriksaan tanggal 27 Mei 2015


Fungsi ginjal
Ureum
Kreatinin

131*
4,0*

10-50 mg/dL
0.6-1.1 mg/dL

USG Abdomen
Tanggal 27 Mei 2015
Ginjal kanan :
besar dan bentuk normal, echostruktur parenkym homogen.
Sistem pelviokalises tidak melebar
Batas cortex dan medula baik
Tampak gambaran hiperechoic dengan post acustic shadow ukuran 1,6 cm
Ginjal kiri

besar dan bentuk normal, echostrukur parenkym homogen. Sistem pelviokalises tidak
melebar.
Batas cortex dan medula baik
Tampak pelebaran pelviokalises, tampak kalsifikasi.

Kesan :- hidronefrosis ginjal kiri dengan kalsifikasi ginjal kiri


- Batu ginjal kanan
CT SCAN
Tanggal 28 Mei 2015
Kesimpulan CT scan:Ct-scan kepala dalam batas normal
Colok dubur
Tanggal 19 Mei 2015
Sfingterani kuat
Ampula Recti kosong
Di dapatkan Feses (+) berwarna kehitaman (+) dan tanpa darah (-)
RESUME
Os seorang wanita berusia 54 tahun datang dengan keluhan lemas sejak 3 hari SMRS. Os
datang dengan keluhan lemas sejak 3 hari SMRS. Keringat dingin dirasakan sejak pagi.
Pandangan berkunang-kunang dan sempat muntah berisi cairan sudah lebih dari 5 kali dalam
2 hari ini. Di dapatkan BAB berwarna hitam dan berbau sebanyak 1 kali pada saat pagi hari.
Tidak ada muntah berdarah.

Beberapa bulan sebelumnya os sering merasa nyeri dan pegal pada daerah punggung
belakangn bagian kanan kurang lebih 3 bulan. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan
dirasakan hilang timbul. Pada awalnya rasa nyeri dirasakan tidak terlalu mengangu tetapi
lama kelaman keluhan nyeri mulai sering dirasakan dan rasa nyeri semakin bertambah berat.
Nyeri tidak membaik dengan perubahan posisi. Untuk keluhan ini pasien sudah
memeriksakan diri di klinik swasta

dan didiagnosis sebagai batu di ginjal kanan,

mendapatkan pengobatan lebih lanjut untuk penyakitnya.Saat nyeri os mengkomsumsi


NSAID dan dari klinik mendapatkan obat Lansoprazol, Scopolamin dan juga Ondancentron
Pemeriksaan fisik tanggal 19 Mei 2015 didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, TD 66/38 mmHg, Nadi 109x/menit,RR 20x/menit, suhu 36,3C
SaturasiO2 97%
Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb:9.6, Ht:28, leukosit 24.000/mm3, trombosit
286.000/mm3, GDS 86nmg/dL, ureum 10,8 mg/dL, kreatinin 6,36 mg/dL

Diagnosis :
Nefrolitiasis dekstra

Diagnosis banding :
Gagal ginjal kronik stadium V
Sepsis ec ISK

Penatalaksanaan

Masukkan keruang ICU

Renxamin dan NacL 0,9 1:2 dalam 2 line /24 jam

Cefoperazon injeksi 2x1

Ondancentron ondancentron inj 2x1

Antasida syr 3x 1 sendok makan

Lansoprazol 1x1 injeksi

Tensi vaskon syring pump 0,01-0,4 mg/KgBB/jam

Prognosis :

Ad Vitam

: dubia ad bonam

Ad Functionam

: dubia ad malam

Ad Sanationam

: dubia ad malam

28 Mei 2015

29 Mei 2015

1 Juni 2015

3 Juni 2015

S : Os merasa
pusing berputar dan
muntah.

S : Os merasa pusing
berputar dan muntah.

S : sudah tidak ada


keluhan

S : sudah tidak ada


keluhan

O:
CM
GCS:E4M6V5(15)
TD = 140/90
S = 36C
RR = 20 X
N = 90 X

O:
CM
GCS:E4M6V5(15)
TD = 140/90
S = 36C
RR = 20 X
N = 90 X

O:
CM
GCS:E4M6V5(15)
TD = 130/90
S = 36,5
RR = 18 X
N = 72 X

O:
CM
GCS:E4M6V5(15)
TD = 130/90
S = 36,5
RR = 18 X
N = 72 X

Kepala :
Normocephali
Ca -/-, SI -/Leher : kaku kuduk
(-) KGB tidak
teraba membesar
Dada:
Pulmo : vesikuler
+/+, Wh -/-, Rh -/Cor : BJ I,II
murmur (-), Gallop
(-)
Abdomen :Supel,
hepar teraba 2 jari
dibawah arcus
costa
Akral hangat
+ +
+ +

Kepala :
Normocephali
Ca -/-, SI -/Leher : kaku kuduk (-)
KGB tidak teraba
membesar
Dada:
Pulmo : vesikuler +/+,
Wh -/-, Rh -/Cor : BJ I,II murmur
(-), Gallop (-)
Abdomen :Supel,
hepar teraba 2 jari
dibawah arcus costa
Akral hangat
+ +
+ +

Kepala :
Normocephali
Ca -/-, SI -/Leher : kaku kuduk
(-) KGB tidak teraba
membesar
Dada:
Pulmo : vesikuler +/
+, Wh -/-, Rh -/Cor : BJ I,II murmur
(-), Gallop (-)
Abdomen :Supel,
hepar teraba 2 jari
dibawah arcus costa
Akral hangat
+ +
+ +

Kepala :
Normocephali
Ca -/-, SI -/Leher : kaku kuduk
(-) KGB tidak teraba
membesar
Dada:
Pulmo : vesikuler +/
+, Wh -/-, Rh -/Cor : BJ I,II murmur
(-), Gallop (-)
Abdomen :Supel,
hepar teraba 2 jari
dibawah arcus costa
Akral hangat
+ +
+ +

A:
CKD ec Nefrolitiasis
dekstra

A:
CKD ec Nefrolitiasis
dekstra

A:
CKD ec Nefrolitiasis
dekstra

A:
CKD ec
Nefrolitiasis
dekstra

P:
P:
Renxamin
Renxamin
Ceftriaxon injeksi Ceftriaxon injeksi
2x1
2x1
Ondancentron
Ondancentron
injeksi 3x4
injeksi 3x4
Antasida syr 3x1
Antasida syr 3x1
Lansoprazol 1x1
Lansoprazol 1x1
Bicna 2x1
Bicna 2x1
NaCl cap
NaCl cap 3x500mg
3x500mg
Caco3 3x1
Caco3 3x1
As folat 2x1
As folat 2x1
Neufrofit 1x1
Neufrofit 1x1

P;
Renxamin
Ceftriaxon injeksi
2x1
Ondancentron
injeksi 3x4
Antasida syr 3x1
Lansoprazol 1x1
Bicna 2x1
NaCl cap 3x500mg
Caco3 3x1
As folat 2x1
Neufrofit 1x1

P:
Renxamin
Ceftriaxon injeksi
2x1
Ondancentron
injeksi 3x4
Antasida syr 3x1
Lansoprazol 1x1
Bicna 2x1
NaCl cap 3x500mg
Caco3 3x1
As folat 2x1
Neufrofit 1x1

TINJAUAN PUSTAKA
GAGAL GINJAL KRONIK
Definisi
Gagal ginjal kronik (GKK) adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan karena penurunan
progresif fungsi ginjal yang ireversibel, dan di tandai oleh penurunan laju filtrasi glomerulus
(LGF) kurang dari 60 mL/ menit/ 1,73 m 2. Selama tiga bulan atau lebih. 1,3 GGK terjadi pada
berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal. Bila proses penyakit tidak di
hambat, maka pada semua kasus seluruh nefron akhirnya hancur dan di gantikan dengan
jaringan parut. Meskipun penyebabnya banyak, gambaran klinis GGK sangat mirip satu
dengan lain, karena gagal ginjal progresif dapat didefinisikan secara sederhana sebagai
defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan dikombinasikan gangguan yang tidak dapat
dielakkan lagi. 1
Gagal ginjal kronik sesuai tahapannya, dapat ringan, sedang, atau berat. Gagal ginjal tahap
akhir (end stage) adalah tingkat gagal ginjal yang dapat mengakibatkan kematian kecuali
dilakukan terapi penganti. 1
Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk
kacang yang terletak di kedua sisi koloumna
vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah
daripada ginjal kiri karena tertekan ke bawah
oleh liver. Kutub atas ginjal kanan setinggi
iga ke 12, sedangkan kutub ginjal kiri
setinggi iga ke 11. Permukaan anterior dan
posterior kutub atas, bawah, dan tepi lateral
ginjal berbentuk cembung, sedangkan tepi
medialnya berbentuk cekung karena adanya
hilus. Beberapa struktur yang masuk atau
keluar dari ginjal melalui hilus diantaranya

Gambar 1. Kidney ureter and bladder

adalah arteri dan vena renalis, saraf, pembuluh


limfatik, dan ureter. 1,2
Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis (
setinggi vertebra lumbalis II). Aorta terletak

Gambar 2. Anatomi

disebelah kiri garis tengah, sehingga arteri renalis kanan lebih panjang dari arteri renalis kiri.
Setiap arteri renalis bercabang sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal. Vena renalis
menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang terletak di
sebalah kanan dari garis tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari vena renalis
kanan. 1,2
Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris
yang berjalan diantara piramid, selanjutnya membentuk percabangan arkuata yang
melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuata lalu akan membentuk
arteriol interlobularis yang tersusun pararel
dalam

korteks.

Arteriol

interlobularis

ini

selanjutnya membentuk arteriol aferen. Masingmasing arteriol aferen akan menyuplai ke


rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerolus
(jamak : glomeruli). Kapiler glomeruli bersatu
membentuk arterior eferen yang kemudian
bercabang-cabang membentuk sistem jaringan
portal yang mengelilingi tubulus dan kadang

Gambar 3. Artery supply of kidney

disebut kapiler peritubular. 1,2


Medula terbagi-bagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut
dikelilingi oleh korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak
bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papilla
(apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan
bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu
perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor. Beberapa
kaliks minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga
membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal.
Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria. 1,2
Ureter berasal dari bagian bawah pelvis renalis pada ureteropelvic junction lalu turun ke
bawah sepanjang kurang lebih 28 34 cm menuju kandung kemih. Dinding dari kaliks,pelvis
dan urter mengandung otot polos yang berkontraksi secara teratur untuk mendorongvurine
menuju kandung kemih. 1,2
Struktur mikroskopik ginjal: 1,2,3

a. Nefron
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai
nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta
nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur
dan fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari
kapsula Bowman, yang mengitari rumbai kapiler
glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung
henle,

dan

tubulus

kontortus

distal,

yang

mengosongkan diri ke duktus pengumpul.1,2


b. Korpuskular ginjal
Korpuskular ginjal terdiri dari kapsula bowman
dan rumbai kapiler glomerulus. Kapsula bowman
merupakan

suatu

invaginasi

dari

tubulus

proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine


antara rumbai kapiler dan sel-sel kapsula bowman,
dan ruang yang mengandung urine ini dikenal
dengan ruang Bowman atau ruang kapsular

Gambar 4. nefron

Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel


epitel parietalis berbentuk gepeng dan membentuk
bagian terluar dari kapsula; sel epitel visceralis jauh lebih besar dan membentuk bagian
dalam kapsula dan juga bagian luar dari rumbai kapiler. Sel visceralis membentuk tonjolan
yang disebut podosit, yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak tertentu
sehingga terdapat daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel Membrana basalis
membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit diantara sel-sel epitel pada satu sisi dan
sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding
kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari gel hidrasi yang menjalin serat
kolagen. Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Sel endotel
langsung berkontak dengan membrana basalis. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel
epitel visceralis merupakan 3 lapisan yang membentuk membrane filtrasi glomerulus.
Membran filtrasi glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan unsurunsur darah dan molekul protein besar. Membrana basalis glomerulus merupakan struktur
yang membatasi lewatnya zat terlarut ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran
molekul. Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri dari sel
mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk jaringan yang berlanjut antara

lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga berfungsi sebagai kerangka jaringan
penyokong.
c. Aparatus Jukstaglomerulus
Aparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknya dekat
dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang berperan penting dalam mengatur
pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan ekstraselular (ECF) dan tekanan darah. JGA
terdiri dari 3 macam sel:
1. Juksta glomelurus (JG) atau sel glanular (yang memproduksi dan menyimpan renin) pada
dinding arteriol averen.
2. Makula densa tubulus distal.
3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis.
Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan
khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresi
lenin. Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor ekstrarenal dan intrarenal. Dua
mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin adalah sel JG dan makula densa. Setiap
penurunan tegangan dinding arteriol aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula densa
dalam tubulus distal akan merangsang sel JG untuk melepaskan renin dari granula tempat
renin tersebut disimpan didalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelialnya secara khusus mengikat
arteriol aferen, juga bertindaksebagai transducer tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau
volume sirkulasi efektif (ECV) yang sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan
perfusi ginjal, yang sirasakan sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian
melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme
reninangiotensin-aldosteron. Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat didalam sel
makula densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang
terdapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida (NaCl)
dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang di absorbsi ke dalam tubulus proximal)
kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan peningkatan renin.
Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi perubahan sekresi renin ini belum
diketahui dengan pasti. Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan
tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek
yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECFyaitu menekan
sekresi renin. Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yang
merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1-adrenergik dalam JGA, angiotensin II
yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain yang juga mengubah sekresi

renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan natrim) dan berbagai hormon, yaitu hormon
natriuretik atrial, dopamin, hormone antidiuretik (ADH), hormon adrenokortikotropik
(ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari
endothelium [EDRF] ), dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat
integrasi berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.
Fungsi ginjal
Ginjal mengekresi bahan-bahan kimia asing tertentu, seperti obat-obatan, hormon, dan
metabolit lain, tetapi fungsi ginjal paling utama adalah mempertahankan volume dan
komposisi ECF dalam batas normal. Tentu saja ini dapat terlaksana dengan mengubah
ekskresi air dan zat terlarut, kecepatan filtrasi yang tinggi memungkinkan pelaksanaan fungsi
ini dengan ketepatan yang tinggi. Pembentukan renin dan eritropoietin serta metabolism
vitamin D merupakan fungsi nonekskreator yang penting. Sekresi renin berlebihan yang
mungkin penting pada etiologi beberapa bentuk hipertensi. Defisiensi eritropoietin dan
pengaktifan vitamin D yang dianggap penting sebagai penyebab anemia dan penyakit tulang
pada uremia. 4,5
Ginjal juga berperan penting dalam degradasi insulin dan pembentukan sekelompok senyawa
yang mempunyai makna endokrin yang berarti, yaitu prostaglandin. Sekitar 20% insulin yang
dibentuk oleh pancreas didegradasi oleh sel-sel tubulus ginjal. Akibatnya, penderita diabetes
yang menderita payah ginjal mungkin membutuhkan insulin yang jumlahnya lebih sedikit.
Prostaglandin merupakan hormone asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam banyak
jaringan tubuh. Medula ginjal membentuk PGI dan PGE2 yang merupakan vasodilator
potensial. Prostaglandin mungkin berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal,
pengeluaran renin, dan reabsorbsi Na+ . Kekurangan prostaglandin mungkin juga turut
berperan dalam beberapa bentuk hipertensi ginjal sekunder, meskipun bukti-bukti yang ada
sekarang ini masih kurang memadai.4,5
Fungsi Utama Ginjal : 4,5
1. Fungsi ekskresi.
a. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah ekskresi air.
b. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekresi Na+.
Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang
normal.
d. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan
membentuk kembali HCO3

e. Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea, asam urat,
dan kreatinin).
f. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.
2. Fungsi non-ekskresi.
a. Mensintesis dan mengaktifkan hormon.
b. Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah.
c. Eritropoetin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang.
d. 1,25 dihidroksivitamin D3: hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk paling kuat.
e. Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan melindungi
dari kerusakan iskemik ginjal.
f. Degradasi hormon polipeptida. Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon
pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal (gastrin,polipeptida intestinal vasoaktif
[VIP]).
Epidemiologi
Diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di Amerika Serikat telah
menderita gagal ginjal kronik dengan LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat 1 dan 2). Selain
itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3 dan 4. Data pada tahun
1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun.Di
Malaysia dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per
tahun.Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60
juta/tahun.5
Etiologi
Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu : 5,6
1. Kelainan parenkim ginjal
- Penyakit ginjal primer
-

Glomerulonefritis
Pielonefritis

Ginjal polikistik
TBC ginjal

Amiloidosis ginjal

- Penyakit ginjal sekunder


-

Nefritis lupus
Nefropati analgesic

2. Penyakit ginjal obstruktif


- Pembesaran prostat batu

- Batu saluran kencing, dll.


Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal yang
mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat.
Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Hal
ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh
penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut. 4
Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor (TGF-). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat variabilitas inter individual untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling
dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana
basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K+. Pada LFG di
bawah 15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. 4
Azotemia adalah Retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan insufisiensi ginjal.
Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresivitas insufisiensi ginjal dimana berbagai

sistem organ telah terganggu. Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea dapat
menimbulkan gejala klinis seperti anoreksia , malaise, muntah dan sakit kepala. Produk
nitrogen lainnya seperti komponen guanido, urat dan hipurat , hasil akhir metabolisme asam
nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan dalam tubuh pada
penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan angka kematian pada
uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan ekskresi renal saja tetapi dapat juga
menyebabkan gangguan pada fungsi metabolik dan endokrin yang dapat menyebabkan
anemia malnutrisi, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gangguan penggunaan
energi, dan penyakit tulang metabolik. Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormon
polipeptida seperti paratiroid hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing hormon, dan
prolaktin akan meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal
tetapi juga karena meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder
dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi , produksi eritropoetin (EPO)
dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu. Jadi patofisiologi dari sindrom uremia
dapat dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk
metabolisme protein , yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti
keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon. 4
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah ,
kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia
bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar
yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi
laboratorium. Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada
penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari
permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi
ekskresi ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai
hematokrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya
menurun, saat kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30 35 ml/menit. Anemia pada
gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang
memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat
hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak
adekuat. Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal
ginjal, yaitu: Hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon
dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat
terjadi seperti intoksikasi aluminium. 4

1. Hemolisis.
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis kronik,
masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah
normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab hemolisis
terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditransfusikan kepada pasien
uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan
gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu hidup yang normal.
Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari
Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme yang menyebabkan
terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan
dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi
Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari
luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar hormon PTH pada
darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang
hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan
kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan
kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2
mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar
PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek langsung
pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing.
Terdapat laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan
paratiroidektomi pada pasien dengan uremia. Mekanisme lainnya yang menyebabkan
peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah
penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan
pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat kompliksaidari prosedur dialisis
atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk
menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan
jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin
yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat
mengakibatkan denaturasi hemoglobin, pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan
hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat,
atau formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu
hidup eritrosit. Hipersplenism merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh

pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis
dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal
terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis
seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih.
Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik
lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis
nodosa, SLE, dan hipertensi maligna. 4
2. Defisiensi Eritropoetin
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang
memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi
tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari
fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang
berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresif
dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran penting defisiensi eritropoetin pada
patogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia.
Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa
dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan
penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat.
Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi
defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan
pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien
dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif. 4
3. Penghambatan eritropoesis.
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor eritrosit
terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada
pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapat
dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler
dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe
yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi yang
menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormon.
Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak
hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis
dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan

merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak
memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik.
Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder tetapi hal ini masih
kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada eritropoesis.
Walaupun menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari
kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH
dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH
pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH
seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab
dalam hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada gagal ginjal. 4
4.Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal terminal
dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi
tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium.
Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serum nya meningkat atau
normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan
diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesis nya belum sepenuhnya dimengerti tetapi
terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis
menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium
dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan
mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi
besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang. 4
Manifestasi GGK dan Uremia:
1.

Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa4


a. Homeostasis Natrium dan Air.
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan Natrium
dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan penyebabnya adalah
terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau
natrium dari proses pencernaan menyebabkan penambahan natrium yang menyebabkan
ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan
hipertensi yang menyebabkan kerusakkan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit
ginjal kronik yang belum di dialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian loop
diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan sebagai terapi.
Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk

menyimpan natrium dan H2O. Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan cairan
terjadi seperti muntah, diare, berkeringat, demam, pasien akan mengalami kekurangan
CES. 4
b. Homeostasis Kalium.
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan
ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi dengan gejala
klinis berupa konstipasi, katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of
stored redblood cells, augmented dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat
dapat menghambat kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di distal
nefron. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik. Biasanya merupakan
tanda kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari
gastro intestinal.
c. Metabolik Asidosis. 4
Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi
penyangga jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan
eksternal ion-ion hidrogen. Asidosis metabolik ialah akibat yang tidak dapt dihindarkan.
Pada kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal yang stabil, pemberian 20-30
mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam
respons terhadap tantangan asam yang mendadak (apakah dari sumber endogen atau
eksogen), pasien gagal ginjal kronik, rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah
alkali yang besar utuk koreksi. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian
yang seksama terhadap status volume.
2.

Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat. 4


Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan
sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan
rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder
hiperparatiroidism berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :
(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO 43-) dan
menimbulkan retensi PO43-.
(2). Tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa sel
kelenjar para tiroid.
(3) Tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan
sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2+ dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25
dihidroksi oleh kalsiferol).

(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat
pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah, pada
akhirnya, menimbulkan hiperparatiroidism melalui mekanisme langsung dan tidak
langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh
karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan
kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca2+ dari
traktus gasrto interstinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya
meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH
dan proliferasi dari paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low turn
over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia dan
penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah
osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada
osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau
peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan
deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai
kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan gagal
ginjak kronik, dan ini biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes. Penyakit tulang
dinamik memiliki kriteria berupa pengurangan volume tulang dan mineralisasi dan
merupakan hasil supresi produksi PTH denagn terapi kalsitriol. Osteodistrofi renal
merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan
osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian
hormon kalsitriol (1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan
asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di
saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan
dalam mengatasi hiperfosfatemia. 4
3.

Kelainan kardiovaskuler.4
a. Penyakit Jantung Iskemik.
Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat dari faktor resiko
tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia, dislipidemi, overaktivitas simpatis,
dan

hiperhomosisteinemia.

Dan

faktor

resiko

nontradisional,

yaitu

anemia,

hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan


dalam setiap derajat penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase
akut, seperti interleukin 6 dan Creaktif protein, yang menyebabkan proses penyumbatan
koroner dan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride oksida merupakan

mediator yang penting dalam pada dilatasi vaskular. Keberadaan nitrit oksida, pada
penyakit ginjal kronik menurun sebab terjadi prningkatan konsentrasi asimetris dimetil-1arginin.
b. Gagal jantung kongestif.
Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease dan atau left ventricular
hypertrophy, bersamaan dengan retensi air dan garam pada uremia, kadang menyebabkan
gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.
c. Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.
Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling sering. Hipertensi
yang berkepanjangan menyebabkan terjaadinya hipertrofi ventrikel.
4.

Kelainan hematologi.
a. Anemia. 7
Anemia terjadi pada 80 90 % pasien penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh
defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik,
hirparatiroidisme yang berat, keracunan aluminium, dan keadaan umum lain seperti
hemoglobinopaties. Anemia yang tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa
kelainan fisiologis, seperti penurunan pengantaran dan penggunaan oksigen ke jaringan,
meningkatkan cardiac output, pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal
jantung kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan siklus menstruasi,
gangguan host untuk melawan infeksi. Selain itu anemia dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan pada anak dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai
saat kadar hemoglobin 10 g % atau hematokrit 30 %, meliputi evaluasi terhadap
status besi (kadar besi serum/serum iron,kapasitas ikat besi total/total iron binding
capacity, feritin serum), mencari sumber paerdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan
adanya hemolisis dan lain sebagainya.
b. Gangguan pembekuan. 4
Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan aktivitas faktor
pembekuan III, kelainan platelet agregation, dan gangguan konsumsi protrombin. Gejala
kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, perdarahan dari luka operasi, perdarahan
spontan dari traktus gastro intestinal,dll.

5. Kelainan neuromuskular
Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan komposisi dan fungsi otot,
merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada sistem
saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur;
iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups, keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada
uremia terminal, didapatkan astherixis, mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang
dan koma. Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik,
ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal lebih dari bagian proximal. 4
6. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor ,sensasi pengecapan seperti
metal, gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa pada saluran pencernaan yang dapat
menyababkan nyeri perut, mual, muntah, dan kehilangan darah,peningkatan insiden
terjadinyadivertikulosis, pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik, meningkatkan
terjadinya pankreatitis. 4
7. Gangguan metabolik endokrin
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme glukosa dan pada wanita terjadi
penurunan hormon estrogen, sehingga terjadi amenorea, dan kemungkinan untuk menjadi
hamil menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani dialisis dalam waktu
yang lama akan terjadi impotensi, oligospermia, displasia sel germinal, yang menurunkan
kadar testosteron plasma.
8. Kelainan dermatologi.
Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat anemia, ekimosis dan hematoma
akibat gannguan pembekuan, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi calcium fosfat dan
hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna kuning akibat deposisi pigmen metabolik dan
urokrom, serta uremic frost akibat kadar urea itu sendiri.

Gambar 5. Manifestation chronik renal failure


Klasifikasi 4,5
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan
diagnostik etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas satu dari dua persamaan
berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma, umur, jenis kelamin, etnik. Pertama, persamaan dari
penelitian modifikasi diet pada penyakit ginjal yaitu:

Kedua, persamaan dari Kockcroft-Gault sebagai berikut :

Klasifikasi menurut NICE 2008 8


1. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGK
2. Proteinuria:
a. Urin ACR (albumin clearance ratio) 30mg/mmol atau lebih.

b. Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih. (dengan perkiraan urinary protein excreation 0,5
g/24jam atau lebih)
3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori:
a. LFG 45 59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3A)
b. LFG 30 44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3B)

Tabel 1. Stadium penyakit ginjal kronik.


5.

Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi oleh usia. Pada orang dengan usia > 70
tahun dengan LFG 45 59 ml/min/1,73 m2 , apabila keadaan tersebut stabil seiring
dengan waktu tanda ada kemungkinan dari gagal ginjal, biasanya hal tersebut tidak
berhubungan dengan komplikasi dari GGK.

Manifestasi klinis
Kardiovaskuler:
a. Hipertensi

d. Edema periorbital

b. Pembesaran vena leher

e. Friction rub pericardial

c. Pitting edema
Pulmoner:
a. Nafas dangkal

c. Kusmaul

b. Krekels

d. Sputum kental dan liat

Gastrointestinal:
a. Konstipasi / diare

d. Perdarahan saluran GI

b. Anoreksia, mual dan muntah

e. Ulserasi dan perdarahan pada mulut

c. Nafas berbau ammonia

Muskuloskeletal:
a. Kehilangan kekuatan otot

c. Fraktur tulang

b. Kram otot
Integumen:
a. Kulit kering, bersisik

d. Rambut tipis dan kasar

b. Warna kulit abu-abu mengkilat

e. Pruritus

c. Kuku tipis dan rapuh

f. Ekimosis

Reproduksi:
a. Atrofi testis
Sindrom uremia:
a. Lemah letargi
b. Anoreksia
c. Mual dan muntah
d. Nokturia
e. Kelebihan volume cairan (volume
overload).
f. Neuropati perifer
g. Uremic frost
h. Perikarditis
i. Kejang
j. Koma.

b. Amenore

Pemeriksaan penunjang6
A. Gambaran laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: sesuai dengan penyakit yang

mendasari (diabetes militus, hipertensi, dll).


Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar kreatinin

serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.


Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,

hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.


Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isosisteinuria.

B. Gambaran radiologi 6
Pemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi:
Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque.
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan.
Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis,
adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
Indikasi USG (NICE 2008):
- Progresif GGK (LFG turun > 5 ml.min.1,73m2 dalam 5 tahun).
- Adanya hematuria
- Ada gejala obstruksi saluran kencing
- Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia lebih dari 20tahun.
- GGK stadium 4 dan 5.
- Memerlukan biopsi ginjal.

Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan bila ada indikasi.


Diagnosis 5
Diagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2 selama lebih dari 3 bulan, atau
adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang abnormal atau adanya tanda kerusakan,
termasuk abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau gambaran radiologi). Bila dar
hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka dapat
dilakukan biopsy ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal. Tetapi
37

prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil bilateral, penyakit ginjal polikistik,
hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius, kelainan perdarahan, gangguan
pernapasan dan morbid obesity.
Penatalaksanaan
Farmakoterapi 8
A. Kontrol tekanan darah
Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik < 140 mmHg (dengan
kisaran target 120 139 mm Hg) dan tekanan diastolic < 90 mmHg.
Pada orang dengan GGK dan Diabetes dan juga orang dengan ACR 70 mg/mmol atau
lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau proteinuria 1
gr/24jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik < 130 mmHg (dengan
kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80 mmHg.
B. Pemilihan agen antihipertensi: 8
1st line: ACEInhibitor/ARBs (apabila ACEInhibitor tidak dapat mentolerir).
ACE Inhibitor/ARBs diberikan pada: 8
Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih dari 3,5
mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium GGK.
Note: Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan di sini untuk memulai pengobatan
ACE Inhibitor pada orang dengan CKD dan proteinuria. Potensi manfaat ACE inhibitor
dalam konteks ini sangat meningkat jika seseorang juga memiliki diabetes dan hipertensi
dan dalam keadaan ini, sebuah batas yang lebih rendah diterapkan.
GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau lebih (kira-kira
ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria 0,5 gr/24jam atau lebih).
GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan
PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), tanpa adanya
hipertensi atau penyakit kardivaskular.
GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR < 30 mg/mmol (kira-kira ekuivalen
dengan PCR < 50 mg/mmol, atau proteinuria < 0,5 gr/24jam.
Saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs, upayakan agar mencapai dosis terapi maksimal
yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan terapi 2nd line (spironolakton).
Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs: 8

38

Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum potassium dan perkiraan LFG
sebelum memulai terapi ACE Inhibitor/ARBs. Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2
minggu setelah penggunaan obat, dan setelah peningkatan dosis.
Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi serum potassium
secara signifikan > 5,0 mmol/L.
Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut, karena menurut hasil
penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan hiperkalemia.
Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE Inhibitor/ARBs yang dapat juga
mencetuskan hiperkalemia, bukan kontraindikasi penggunaan terapi tersebut, tapi harus
menjaga konsentrasi serum potassium.
Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat > 6,0 mmol/L atau
lebih dan obat lain yang diketahui dapat meningkatkan hiperkalemia sudah tidak
digunakan.
Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat sebelum terapi kurang dari 25%
atau kreatinin plasma meningkat dari batas awal kurang dari 30%:
o Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan NSAIDs.
o Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis harus diturunkan
dan alterlatif antihipertensi lain bisa digunakan.
C. Pemilihan statins dan antiplatelet8
Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular.7 Pada orang
dengan GGK, penggunaannya-pun tidak berbeda.
Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder dari
penyakit kardiovaskular, terlepas dari batas nilai lipid-nya.
Penggunaan antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder dari
penyakit kardiovaskular. GGK bukan merupakan kontraindikasi dari penggunaan
aspirin dosis rendah, tetapi dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan
perdarahan minor pada orang dengan GGK yang diberikan antiplatelet multipel.
D. Komplikasi lainnya8
Metabolisme tulang dan osteoporosis
- Melakukan pengukurang rutin untuk kalsium, fosfat, paratiroid hormone (PTH) dan level
vitamin D pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B, tidak tirekomendasikan.
- Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH pada orang dengan GGK
stadium 4 dan 5 (LFG < 30 ml/min/1,73m2 ).
- Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi untuk mencegah dan mengobati
osteoporosis pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B.
39

- Pemberian suplemen vitamin D:


o GGK stadium 1, 2, 3A/3B diberikan cholecalciferol atau ergocalciferol.
o GGK stadium 4 dan 5 diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol (alfacalcidol) atau
1,25 dihydroxycholecalciferol (calcitrol).
- Monitor lonsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang yang mendapatkan terapi
diberikan

1-alpha-hydroxycholecalciferol

(alfacalcidol)

atau

1,25-

dihydroxycholecalciferol (calcitrol).
E. Anemia 9
Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11 g/dl (atau 10 g/dl pada
usia < 2 tahun).
Menentukan apakah

anemia

disebabkan

oleh

GGK

atau

bukan.

Dengan

memperhatikan LFG < 60 ml/min/1.73m2 .


Anemia defisiensi zat besi, biasanya pada:
o Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin < 100 mikrogram/L.
o Orang dengan GGK stadium 3 dan 4, dengan level ferritin < 100 mikrogram/L.
Penanganan anemia
1. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan
recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti
yang telah di demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin,
human recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa ,telah
dibuktikan

menyebabkan

peningkatan

eritropoetin

yang

drastis.

Hal

ini

memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi darah


berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfusi reguler. Pada
gambar.3, saat sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa,
pasien reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu
dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan materi
rekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek
samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis
Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial
selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat terlihat.
Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi
juga peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan
tingginya viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator
40

terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human


recombinant eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis
mungkin mempengaruhi hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum
kreatinin yang meningkat dan hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya
efisiensi dializer karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena
peningkatan keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh
eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien dengan
peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant
human eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan
bahwa kebanyakan efek samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak
meningkat ke normal, tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human
eritropoetin merupakan manajemen yang utama pada pasien uremia. Indikasi dan
Kontraindikasi terapi EPO: 10
1) Indikasi: Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan
penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a. Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%.
b. Tidak ada infeksi yang berat.
2) Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO.
3) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:
a. Hipertensi tidak terkontrol.
b. Hiperkoagulasi.
c. Beban cairan berlebihan / fluid overload.
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup, terdapat beberapa
kriteria pengkajian status besi pada GGK:10
i. Anemia dengan status besi cukup.
ii.Anemia defisiensi besi:
a. Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L
b. Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L
Saturasi Transferin < 20 %
Terapi Eritropoietin Fase koreksi: 10,11
Tujuan: Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 %
dalam 2-4 minggu
c. Pantau Hb dan Ht tiap 4 minggu.
d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL).
41

e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%.


f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%.
g. Pemantauan status besi: Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen
sesuai dengan panduan terapi besi.
Terapi EPO fase pemeliharaan: 10,11
a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL). Dosis 2 atau 1 kali 2000
IU/minggu. Pantau Hb dan Ht setiap bulan Periksa status besi setiap 3 bulan.
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup) maka
dosis EPO diturunkan 25% Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek
samping diantaranya: 10,11
- Hipertensi:
i. tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi eritropoetin fase
koreksi.
ii. pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau peningkatan dosis obat
antihipertensi.
iii. peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin tidak
berhubungan dengan kadar Hb.
-Kejang:
i. Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi.
ii. Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang tidak
terkontrol. Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekwat.
Respon EPO tidak adekuat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang
dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8 minggu.
Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang tidak adekwat yaitu: 10,11
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering).
b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE,AIDS).
c. Kehilangan darah kronik.
d. Malnutrisi.
e. Dialisis tidak adekwat.
f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis).
g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium, hemoglobinopati
seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi asam folat dan vitamin B12,
multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan).

42

Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi penunjang yang berupa
pemberian:
a. asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat
terapi EPO.
e. vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi
intravena.
g. Preparat androgen (2-3 x/minggu):
Dapat mengurangi kebutuhan EPO
Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati
Tidak dianjurkan pada wanita
2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis. 10,11
Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada dasarnya dapat
juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak prosedur ini dapat
membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan menghambat eritropoesis. Selain itu,
pengalaman

klinis

membuktikan

bahwa

perkembangannya

lebih

cepat

daripada

menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi pengganti ginjal merupakan


akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya.
pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi dtoksifikasi pada uremia dengan
meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusi dan atau transportasi
konvektif tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Misalnya, tidak ada data yang
membuktikan bahwa hemofiltrasi yang mencakup pembuangan jangkauan molekuler yang
lebih besar dibanding hemodialisis dengan membaran selulosa yang kecil, merupakan dua
terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada gagal ginjal. Selain itu continious ambulatory
peritoneal dialysis (CAPD) , juga merupakan terapi dengan pembuangan jangkauan
molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan dengan hemodialisis standar dengan
membaran selulosa yang kecil. Hal ini masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini hanya
karena pembuangan yang lebih baik dari inhibitor eritropoesis. Beberapa penelitian
mengindikasikan CAPD meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal dan
karena oleh itu meningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya belum diketahui terapi
dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi, toksisitas okular,
43

komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena infeksi jamur. Efek samping ini
berespons terhadap pemberhentian terapi sementara waktu, pengurangan dosis atau
pemberhentian terapi. Efek DFO pada anemia dapat berakibat drastis, yang menggambarkan
perubahan nilai hemoglobine, feritin serum, dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH pada
pasien dengan ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada permulaan terapi
pasien mengalami anemia mikrositik peningkatan nilai aluminium serum dan feritin. Setelah
beberapa bulan terapi dengan DFO, MCV dan MCH pada nilai diatas normal, hemoglobin
meningkat secara signifikan dan feritin serum dan aluminium menurun.
Prognosis 5
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk,
kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini,
bertujuan hanya untuk mencegah progesivitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK
sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala,
sehingga penanganannya seringkali terlambat

ANALISA KASUS
Os seorang wanita berusia 54 tahun datang dengan keluhan lemas sejak 3 hari SMRS. Os
datang dengan keluhan lemas sejak 3 hari SMRS. Keringat dingin dirasakan sejak pagi.
Pandangan berkunang-kunang dan sempat muntah berisi cairan sudah lebih dari 5 kali dalam
2 hari ini. Di dapatkan BAB berwarna hitam dan berbau sebanyak 1 kali pada saat pagi hari.
Tidak ada muntah berdarah.
Beberapa bulan sebelumnya os sering merasa nyeri dan pegal pada daerah punggung
belakangn bagian kanan kurang lebih 3 bulan. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan
dirasakan hilang timbul. Pada awalnya rasa nyeri dirasakan tidak terlalu mengangu tetapi
lama kelaman keluhan nyeri mulai sering dirasakan dan rasa nyeri semakin bertambah berat.
Nyeri tidak membaik dengan perubahan posisi. Untuk keluhan ini pasien sudah
memeriksakan diri di klinik swasta

dan didiagnosis sebagai batu di ginjal kanan,

mendapatkan pengobatan lebih lanjut untuk penyakitnya.Saat nyeri os mengkomsumsi


NSAID dan dari klinik mendapatkan obat Lansoprazol, Scopolamin dan juga Ondancentron
44

Pemeriksaan fisik tanggal 19 Mei 2015 didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, TD 66/38 mmHg, Nadi 109x/menit,RR 20x/menit, suhu 36,3C
SaturasiO2 97%
Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb:9.6, Ht:28, leukosit 24.000/mm3, trombosit
286.000/mm3, GDS 86nmg/dL, ureum 10,8 mg/dL, kreatinin 6,36 mg/dL.
Penyakit ginjal kronik adalah penyakit ginjal yang disebabkan karena kerusakan dari struktur
ginjal lebih dari 3 bulan yang disertai dengan penurunan LFG < 60 mL/min/1,73 m 2, dengan
atau tanpa penurunan fungsi ginjal yang bersifat irreversible. Pada pasien keluhan sudah
dirasakan kurang lebih 3 bulan yang lalu, yaitu nyeri pinggang, dan telah didiagnosis dengan
adanya batu renal dekstra.Pasien didiagnosis mengalami gagal ginjal kronis. Sedangkan
untuk menilai derajat dari gagal ginjal kronis itu sendiri dinilai berdasarkan nilai dari LFG
pasien dimana didapatkan hasil perhitungan :

LFG = (140-54) x 65 kg X 0,85


72 x 6,36
= 10,37ml/mnt/ m2 Stage V
Sehingga pada kasus ini pasien mengalami penyakit ginjal kronik stage V, dimana telah
terjadi kegagalan fungsi ginjal yang didukung dengan GFR 10,37 mL/min/1,73 m 2.
Penurunan dari Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) pada pasien ini disebabkan akibat dari
menurunnya sebagian besar jumlah dari nefron yang mengalami kerusakan. Apabila
penurunan jumlah nefron yang rusak melebihi dari 75% dari massa nefron dapat
mengakibatkan peningkatan laju filtrasi dan beban bagi nefron sehingga keseimbangan antara
glomerolus dan tubulus tidak dapat dipertahankan lagi sehingga menurunkan laju filtrasi dari
glomerolus. Gejala yang umum ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah
edema, hipertensi, dan anemia. Pada pasien ini mengalami anemia pada pemeriksaan
penunjang. Pada pasien dengan gagal ginjal kronis stadium v terjadi gangguan dalam
mengonsentrasikan dan mengencerkan urin sehingga terjadi gangguan keseimbangan
45

elektrolit dimana natrium dan cairan tertahan di dalam tubuh sehingga bisa terjadi edema
pada pasien.
Pada pasien ini menunujukkan gejala anemia dimana ditemukan dalam kondisi yang lemas
dan pasien terlihat pucat, dan hasil pemeriksaan laboratorium pasien mengalami anemia
derajat ringan (Hb 9,6) NN. Pada pasien ini bisa saja terjadi anemia normokromik normositer
akibat gangguan eristropoesis. Seperti yang sudah diketahui bahwa kondisi anemia pada
pasien penyakit ginjal kronis sangat berkaitan dengan regulasi dari hormon eritropoetin yang
dihasilkan oleh ginjal. Hormon eritropoetin berfungsi sebagai stimulus pembentukan eritrosit
yang dilakukan oleh sumsum tulang belang. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik
terjadi kerusakan pada jaringan ginjal yang menghambat proses sekresi dari hormon
eritropoetin ini sehingga akan menghambat juga aktivitas sumsum tulang belakang untuk
menghasilkan eritrosit sehingga dalam jangka waktu yang lama akan terjadi kondisi anemia
pada pasien.
Etiologi dari PGK yang tersering adalah diabetes mellitus, diikuti oleh hipertensi dan
glomerulonefritis, dan obstruksi serta infeksi saluran kemih. Pada pasien didapatkan dengan
tekanan darah 66/38 mmHg (Hipotensi), disertai temuan batu renal dekstra ( USG abdomen).
Komplikasi dari PGK akibat tingginya kadar ureum dapat menyebabkan gangguan dari
berbagai sistem organ, salah satunya gastropati uremikum. Gejala dari gastropati uremikum
berupa gejala umum dengan lemas dan gejala GI yaitu nausea, vomiting, anorexia.
Tatalaksana penyakit gagal ginjal kronik meliputi terapi terhadap penyakit dasarnya,
pencegahan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition), memperlambat
pemburukan (progression) fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi
pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Sehingga untuk penanganannya diperlukan terapi replacement yaitu berupa hemodialisis
untuk segera membuang toksin yang terakumulasi di dalam tubuh dan pada pasien ini terlihat
dari BUN dan Serum Kreatinin yang tinggi. Hemodialisa diindikasikan jika ada gejala-gejala
seperti asidosis metabolik berat, edema yang luas, gejala gastrointestinal yang berat dan lainlain. Pada pasien dilakukan HD elektif dikarenakan adanya metabolik asidosis serta mual
muntah yang berat.

46

Pada pasien dengan PGK stadium V diserti dengan gejala mual dan muntah yang disebabkan
oleh gastropati uremikum dan pada pasien ini diberikan terapi berupa ondansetron injeksi 2 x
1 mg iv
Pada prinsipnya manajemen diet pada pasien PGK bertujuan untuk mempertahankan status
gizi, mencegahatau menurunkan kadar ureum dan memperlambat progresivitas dari penyakit
gagal ginjal tersebut dengan memberikan diet tinggi karbohidrat dan rendah protein, cukup
untuk memenuhi kebutuhan basalnya (0,5-0,8

protein/kgBB/hari) dan mencegah dan

memperlambat perburukan fungsi ginjal. Pada pasien direncanakan diet 35 kkal, 0,8 g
protein/kgBB/hari

47

Anda mungkin juga menyukai