Anda di halaman 1dari 18

ST.

MONTFORT :
“TEOLOG BERBOBOT”1
Oleh : Arnold Suhardi, SMM

Pengantar
I. St. Montfort: “Teolog….”
A. Deskripsi “Teolog”
B. Ciri-ciri Teologi St. Montfort
1. Teologi menurut dan untuk Umat
2. Teologi Praktis-pastoral
3. Teologi Simbolis

II. St. Montfort: “Teolog… Berbobot”


A. Perspektif nexus mysteriorum
B. Metode “Sejarah Keselamatan”
C. Panggilan Universal untuk Menjadi Kudus
D. Konvergensi antara Bab VIII Lumen Gentium dan Bakti Sejati kepada Maria
E. Hubungan antara Devosi Pribadi dan Liturgi

III. Santo Montfort dan Paus Yohanes Paulus II


A. Pengaruh St. Montfort dalam Hidupnya
B. Terjemahan Ajaran St. Montfort bagi Seluruh Gereja

Penutup
Suplemen:

Disposisi Teologis di Hadapan Ungkapan Kultural


A. Perhambaan
B. Figur Ribka sebagai Pralambang Maria
C. Menghalangi Umat untuk Berelasi langsung dengan Kristus?
D. Maria yang Isolatif dari Kristus?
1.
“Saya telah yakin bahwa Maria mengantar kita kepada Kristus, tapi pada masa ini
saya mulai mengerti juga bahwa Kristus mengantar kita kepada ibuNya. Itu adalah
masa di mana saya mulai mempertanyakan devosi saya kepada Maria, karena saya
berpikir bahwa jika devosi saya kepadanya menjadi terlalu besar, maka hal itu
mungkin akan membahayakan supremasi ibadat yang seharusnya diberikan kepada
Kristus. Pada saat itu, saya sangat terbantu oleh buku karya St. Louis-Marie
Grignion de Montfort yang berjudul ‘Bakti Sejati kepada Santa Perawan Maria’. Di
sana saya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya. Ya, Maria
sungguh membawa kita semakin dekat kepada Kristus; ia sungguh membimbing
kita kepada Kristus, dengan syarat bahwa kita menghayati misteri Maria dalam
Kristus. Karya St. Louis-Marie de Montfort ini mungkin akan cukup mengganggu oleh
karena gayanya yang sedikit berlebihan dan barok, tapi esensi kebenaran teologis
yang terkandung di dalamnya sungguh tak tersangkalkan. Pengarang karya ini
adalah seorang TEOLOG BERBOBOT. Pemikiran mariologisnya berakar pada misteri
Tritunggal dan pada kebenaran Inkarnasi Sabda Allah”.
( Paus Yohanes Paulus II )

PENGANTAR

1
Artikel ini pada awalnya disampaikan sebagai bahan kuliah lisan di Seminari Montfort “Pondok Kebijaksanaan”, Malang.
Kemasyuran Misionaris asal Montfort-sur-Meu, Brétagne, Perancis ini semakin melampaui
batas-batas negerinya sendiri. Kharismanya sebagai Pujangga semakin dikenal di seluruh
Gereja. Karya-karya tulisnya, tanpa usaha yang berlebihan, terus beredar dalam Gereja
dan dibaca seluruh Umat Allah. Terutama Bakti Sejati kepada Maria dan Rahasia Maria
terus dicetak ulang dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, bahkan dalam bahasa-
bahasa yang penggunanya sedikit, dan di negeri-negeri yang paling tersembunyi di planet
ini2. Kebenaran yang disampaikan tulisan-tulisannya lalu dipraktikkan, sehingga umat
semakin berkembang dalam kekudusan.

Sadar akan pengaruh St. Montfort (1673-1716) dan dayaguna tulisan-tulisannya yang
tidak kecil, maka kerinduan serta “gerakan” yang meminta Bapa Suci agar
menganugerahkan gelar “Pujangga Gereja Universal” kepada Misionaris sederhana ini
tidak hanya lahir dari Keuskupan Luçon, Keuskupan di mana terdapat makam dan
basilikanya, di daerah Normandia; tidak juga datang hanya dari umat Perancis, negeri dari
mana dia berasal, melalui Konferensi Wali-Gerejanya, tapi juga dari seantero dunia.

Kalau St. Montfort hendak digelari Pujangga Gereja, itu haruslah berdasarkan kenyataan
bahwa dia adalah seorang teolog. Bahwa St. Montfort adalah seorang teolog, tidak pantas
orang meragukannya. Sebab Paus, tanpa ragu, sudah dan bahkan menyebutnya sebagai
“teolog berbobot”3. Jika betul St. Montfort adalah “teolog berbobot”, maka perlu
dikemukakan ciri-ciri teologi yang digelutinya dan relevansinya bagi Gereja masa kini.

Artikel ini, dengan demikian, bermaksud untuk menjelaskan lebih lanjut pernyataan Bapa
Suci di atas. Pada dua bagian pertama akan ditelaah maksud pernyataan Bapa Suci di atas
dari sudut pandang Konsili Vatikan II, lalu akhirnya dikemukakan secara sekilas pertalian
rohani St. Montfort dengan hidup pribadi Bapa Suci. Karya St. Montfort yang secara
dominan dipakai untuk menelaah seluruh tema ini adalah Bakti Sejati kepada Maria.

I. ST. MONTFORT: “TEOLOG…”

A. Deskripsi “Teolog”

Siapa itu teolog? Tak ada orang yang mampu mendefinisikannya, seperti juga tak ada
orang yang berani menyebut dirinya demikian. Kalaupun ternyata ada orang yang disebut
dengan predikat “teolog”, hendaknya hal itu dipahami bukan seperti memahami predikat
“antropolog”, “sosiolog”, “psikolog”, “filosof”, dll. Sebab objek cabang-cabang ilmu yang
lain ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia di dunia ini, dan instrument
manusiawi untuk mendalaminya adalah akal budi. Maka, “hukum-hukum” ilmu itu dapat
“dikuasai” dengan sejenis keteraturan yang niscaya.

Sementara “objek” teologi adalah Kebenaran Allah (bdk. Yoh 8: 32), yang kepenuhan
pewahyuannya terjadi dalam diri Yesus Kristus. Kebenaran ini bukanlah objek, Dia adalah
Pribadi yang Hidup. Dia mengatasi akal budi (DV 4). Maka, Ia tidak dapat “dikuasai”.
Bukan manusia yang terlebih dahulu “mempelajari”-Nya, melainkan Kebenaran itulah yang
lebih dahulu memperkenalkan diri kepada manusia. Dia pulalah yang memberi
kemungkinan kepada manusia untuk mengenalNya, yaitu dengan anugerah iman (DV 5).
Maka, menjadi teolog bukanlah profesi yang dikehendaki sendiri, dengan mengandalkan
kemampuan akan budi semata. Sebaliknyalah yang benar, bahwa menjadi teolog
merupakan anugerah Roh Kudus. Akal budi, yang juga berasal dari Allah, itu sangat
terbatas, walaupun tidak bertentangan dengan Kebenaran itu. Akal budi membantu untuk
2
Menurut data pada 1958 Bakti Sejati kepada Maria telah sampai pada 328 edisi dalam 24 bahasa, Rahasia Maria sampai pada 298 edisi dalam 20
bahasa. Sekarang, 40-an tahun kemudian, pasti jauh lebih banyak lagi. Kini dua karya utamanya ini diterbitkan dalam berbagai Bahasa Timur Tengah,
Afrika dan Asia. Karya-karya lengkapnya diterbitkan dalam Bahasa Perancis, Italia, Spanyol, Inggeris dan Kroatia.
3
Yohanes Paulus II, Kurnia dan Misteri,… hlm. 32.
2
semakin memahami apa yang diimani. Pemahaman itu takkan pernah sempurna dan
tuntas. Baik oleh karena iman manusia selalu sedang dalam peziarahan, maupun oleh
karena apa yang dimengerti dalam iman yang “belum sempurna” itu tidak selalu dapat
dibahasakan secara penuh oleh akal budi manusia. Seorang teolog, dengan demikian,
adalah seorang yang selalu “mencari” Kebenaran, bukan orang yang merasa telah
“menemukan”-Nya.

Seorang teolog “mencari” dalam rangka semakin mengenal lebih dan mencintai lebih
Kebenaran yang telah diimaninya. Iman mendorong dia untuk “mencari”. Lalu pada
giliranya pengenalan yang diperoleh selama pencarian itu akan semakin memperdalam
imannya. Sehingga Kebenaran itu dapat diwartakan dengan lebih baik. Seorang teolog
pertama-tama adalah seorang yang mencintai Allah atau Kebenaran. Sehingga ia akan
berusaha juga selama seluruh hidupnya agar Allah itu dicintai juga oleh orang lain. Teolog
adalah seorang yang mencintai Allah dan yang membuat Allah semakin dicintai. Ia
“mencari” karena cinta. Ia juga mengajarkan jalan-jalanNya karena cinta.

Dari deskripsi di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa seorang teolog itu menghayati gerak
dinamis: vertikal, yaitu kontemplasi akan Misteri Ilahi; dan horisontal, yaitu
penyampaiannya kepada sesama. Kedua gerakan ini tidak saling terpisahkan. Keduanya
bukan saja merupakan satu kesatuan tapi juga saling mempengaruhi. Untuk keduanya
seorang teolog melibatkan seluruh dirinya, seluruh hidupnya. Gerak pertama itu bersifat
personal, yang kedua bersifat komunal. Yang pertama merupakan hidup, yang kedua
merupakan profesi. Yang pertama menemukan wujudnya dalam doa, yang kedua
menemukan ungkapannya dalam penelitian dan pengajaran. Tentang kesatuan kedua
gerak ini, baiklah dikutip kata-kata Paus Yohanes Paulus II, “Karena objek teologi adalah
Kebenaran, Allah yang hidup dan rencana keselamatanNya yang dinyatakan dalam Yesus
Kristus, teolog dipanggil untuk memperdalam hidup imannya dan untuk selalu
mempersatukan penelitian ilmiah dengan doa”4.

Sekarang, berkaitan dengan St. Montfort. Orang kudus kita ini mengenal Wajah Allah
dalam diri Yesus. Yesus adalah Sang Kebijaksanaan, yang menjelma dan disalibkan karena
cintaNya kepada manusia. St. Montfort sepenuhnya “terperangkap” oleh pengalaman cinta
Sang Kebijaksanaan itu, sehingga ia sepenuhnya juga diubah dalam dan oleh pengalaman
itu. Maka, atas dasar cinta yang sama, ia lalu “mencari” Sang Kebijaksanaan ini tanpa
henti, siang dan malam (CKA 54, K 124-126), dan yang ia cari melalui dan bersama Maria
(CKA 203-222). Pengenalan akanNya merupakan kebahagiaan tertinggi jiwa manusia (K
126).

St. Montfort menyebut “pengenalan karena cinta” itu sebagai “la grande science des
saints”, “ilmu agung para kudus” (CKA 93). Karena, dalam pikiran Montfort, semua orang
kudus pasti telah mencintai. Cintalah yang membuat mereka dan seluruh manusia menjadi
kudus. Sebab kudus merupakan “kesempurnaan cinta kasih” (LG 40, 42). Ciri khas “ilmu”
ini adalah bahwa ia “bukan merupakan ilmu yang kering, mandul dan tanpa sikap bakti,
melainkan sebaliknya, ia merupakan ilmu yang terang, penuh pengurapan, penuh daya
dan penuh bakti, yang menyentuh dan memuaskan hati sambil mencerahkan akal budi”
(CKA 94, bdk. BS 64). Teologinya St. Montfort, dengan demikian, adalah pengalaman akan
cinta. Ia tidak hambar, tidak kering. Tapi hidup. Teologi adalah hidup itu sendiri. Setiap
orang kudus dengan demikian adalah seorang teolog. Dalam arti ini, menjadi teolog
merupakan panggilan sejati setiap orang Kristen, karena ia intrinsik (hakiki) pada
5
martabat Pembaptisan .

4
Kongregasi Ajaran Iman, Instruksi Donum Veritatis, tentang Panggilan Gerejawi para Teolog, no. 8; mengutip Kata Sambutan Paus Yohanes Paulus II
pada kesempatan penganugerahan “Hadiah Internasional Paulus VI” kepada Hans Urs von Balthasar, 23 Juni 1984.
5
Bdk. Kongregasi Ajaran Iman, Instruksi Donum Veritatis, tentang Panggilan Gerejawi para Teolog, no. 1.
3
Setelah mengalami “perjumpaan pribadi” dengan Allah, seorang teolog lantas pada saat
yang sama berusaha untuk membuat Allah yang dikenalnya dalam pengalaman itu dikasihi
juga oleh orang lain. Inilah dimensi horizontal panggilan seorang teolog. Hal itu dapat
dilakukannya pertama-tama dan terutama dengan seluruh hidupnya. Kebenaran Ilahi itu ia
wartakan dengan seluruh hidupnya. Karenanya, seluruh hidupnya menjadi lembaran-
lembaran kisah yang tak pernah habis tentang bagaimana ia telah dan sedang mengasihi
Allah, dan bagaimana sebaiknya Allah itu dikasihi juga oleh orang lain. Hidupnya menjadi
bacaan dan undangan yang tak pernah tuntas untuk datang mengenal dan mencintai
Allah. Hidupnya merupakan sebuah kabar gembira, sebuah injil yang hidup. Dengan
demikian, seseorang tidak menjadi teolog karena tulisannya, tapi karena cinta yang
menggelorakan hidupnya. Seorang teolog itu berbicara tentang Cinta. Tapi kalau ia
sepenuhnya telah dihangatkan oleh bara api cinta ilahi itu, maka tentulah ia akan mencari
cara-cara nyata untuk meneruskan kehangatan cinta itu kepada sesama. Tulisan hanya
merupakan salah satu sarana pengungkapannya. Kalau ia menulis, ia mengungkapkan
bagaimana ia berbicara “dengan” Allah. Tulisannya mengalir dari seluruh kepenuhan
penghayatan pribadinya.

B. Ciri-ciri Teologi St. Montfort

St. Montfort kebetulan menerima karunia untuk menulis. Dan ia menulis di atas lebih dari
dua ribu halaman, hanya selama masa hidupnya yang 43 tahun. Ia terutama dikenal
karena dua karyanya: Bakti Sejati kepada Maria dan Rahasia Maria. Tapi ada juga dua
karya di bidang kristologi: Cinta Kebijaksaan Abadi dan Surat kepada Sahabat-sahabat
Salib, di samping karya-karya lain seperti Rahasia Rosario, Doa Menggelora, Kumpulan
Kidung, tulisan-tulisan yang barkaitan dengan Serikat-serikat yang didirikannya dan Surat-
surat. Kalau ingin mengenal teologi-nya St. Montfort, karya-karya ini perlu dijelajahi.
Semuanya mengalir dari intimitas relasinya dengan Allah. Maka berikut ini akan
disebutkan beberapa ciri teologinya.

1. Teologi menurut dan untuk Umat

Pertama, teologi-nya St. Montfort bukanlah teologi dengan cara paparan dan bahasa
pengungkapan seperti yang diajarkan di universitas. Ia memang pernah diminta untuk
mengajar dan menjadi pembina di Seminari Tinggi St. Sulpice, Paris, persisnya, setelah ia
ditahbiskan imam pada 1700. Tapi ia menolak permintaan itu. Pilihannya adalah menjadi
misionaris rakyat, untuk menjadi pengajar dan pembina iman umat yang terlantar di
kampung-kampung. Maka jika dia menulis, sasaran pembacanya adalah orang-orang
sederhana yang dilayaninya itu (BS 26). Seorang teolog itu harus mengenal kultur di mana
ia hidup dan berkarya, sehingga kemudian dapat menjelaskan atau mengajarkan
Kebenaran iman secara efektif. Sadar akan kultur umat sederhana yang dilayaninya, St.
Montfort lalu tidak mengawang-awang, menggunakan abstraksi dan memakai aneka istilah
yang rumit dalam menjelaskan aneka kebenaran teologis tentang Allah Tritunggal, Kristus,
Roh Kudus, Gereja, Maria, Sakramen, Moral, dll.

Ia, misalnya, hanya menggubah Kidung-kidung, dengan mengganti syair lagu rakyat yang
telah ada dengan pesan-pesan moral-spiritual. Bahasanya sederhana. Sehingga mudah
dihafal. Walaupun tidak kehilangan ciri ilmiahnya, yaitu sistematisasi dan argumentatif.
Sehingga dalam Kidung-kidung itu ia sering membuat membuat “catatan pinggir” singkat
dan sistematis berisikan kebenaran iman yang hendak disampaikan pada setiap baitnya.
Demikianpun dengan mahakaryanya, Bakti Sejati kepada Maria: bahasanya sederhana,
puitis, hangat. Walaupun pada saat yang sama juga tetap sistematis, ciri utama sebuah

4
karya ilmiah. Saking ilmiahnya, para editor pertama memberi judul karya ini sebagai
TRAKTAT, “Traktat6” tentang Bakti yang Sejati kepada Maria.

Maka teologinya Montfort adalah teologi rakyat, teologi menurut umat dan dengan cara
penyampaian yang khas untuk umat sederhana. Pada St. Montfort, ilmiah ternyata
tidaklah berarti rumit atau abstrak. Baginya, teologi bukanlah ilmu yang rumit, tapi
sederhana, justeru karena ia merupakan Cinta.

Semuanya ini hanya hendak mengatakan bahwa seorang teolog tidak harus mengajar di
universitas, kepada para mahasiswa yang haus akan pengetahuan tentang Allah, tapi juga
kepada seluruh umat yang haus akan pengalaman dan pemahaman akan Allah. Tulisan-
tulisan teologis tidak harus lahir dari bangku kuliah, dari dunia pengajaran akademis. Ia
juga bisa lahir dari refleksi atas gejala-gejala hidup beriman yang nyata, yang lantas
mendorong seseorang untuk mencari dasar, arah dan jawaban dari gejala-gejala tersebut
dalam Kitab Suci dan Tradisi.

2. Teologi Praktis-Pastoral

Kedua, teologinya St. Montfort adalah teologi yang mengarahkan orang ke praktik atau
tindakan. Orang tidak boleh berpuas diri dan berhenti pada perbaikan pemahaman, tapi
juga harus melangkah ke upaya nyata untuk memperbaiki kualitas penghayatan hidup
beriman. Orang tidak boleh tinggal terpesona dalam pengenalan akan Kebenaran, tapi
Kebenaran itu harus menuntun manusia dalam hidup yang nyata (RM 1). Dan keunggulan
Misionaris sederhana ini adalah bahwa umat tidak dibiarkan mengambang dalam
menemukan sendiri bagaimana harus menerapkan pemahaman ke dalam praktik, tapi ia
sendiri menyodorkan aneka wahana, yang dapat mereka pilih dalam kebebasannya. Ia
lakukan itu misalnya lewat pesan moral-spiritualnya di Kidung-kidung atau pembentukan
aneka wadah atau persekutuan gerejawi untuk merawat iman yang telah dibaharui.

Namun, wahana yang paling monumental adalah praktik “pembaktian diri kepada Kristus
lewat tangan Maria”. Praktik ini membantu banyak umat saat itu, juga hingga kini, untuk
mencintai Allah dan membuat Ia juga semakin dicintai, atau seperti kata St. Montfort
sendiri, “untuk berkenan hanya kepada Allah saja, untuk mempersatukan diri dengan
Yesus Kristus sebagai tujuan akhir dan membawa sesama kepada kesalehan” (BS 117). Di
dalam dan melalui penghayatan praktik inilah menjadi eksplisit seluruh teologi St.
Montfort.

3. Teologi Simbolis

Akhirnya, ketiga, teologinya St. Montfort adalah juga teologi simbolis, karena dalam
tulisannya akan ditemukan banyak ungkapan simbolis. Simbol-simbol itu tentu berasal dan
tergantung dari kultur, namun semuanya juga ditemukan dalam Kitab Suci dan Tradisi.
Kita berbicara tentang simbolisme tatkala “Suatu kenyataan, yang terdapat dalam alam,
dalam hidup sosial atau dalam relasi-relasi pribadi, dijadikan penanda bagi sebuah sikap
hidup rohani yang melampaui sebuah pemahaman indrawi. Kenyataan itu diangkat ke
tingkat pemahaman yang lebih tinggi dan, secara khusus untuk kita, ke tingkat yang lebih
supernatural yaitu ke tingkat iman”7. Misalnya, kenyataan adanya praktik “perhambaan”
dalam hidup sosial di masa lalu. Hal ini lalu diangkat ke tingkat penghayatan iman, lantas
menjadi simbolisme untuk sebuah penyerahan diri yang total kepada Yesus lewat Maria
6
Kata Traktat berasal dari kata Bahasa Latin Tractatus, yang artinya pembicaraan, perembukan; uraian, risalah, pembahasan kotbah. Cf. K. Prent, cs.,
(ed.), Kamus Latin-Indonesia, Semarang: Kanisius, 1969, hlm. 873. Kata Traité, dalam Bahasa Inggeris diterjemahkan sebagai Treatise. Dan inilah arti
Indonesia yang diberikan pada kata Treatise: “Buku atau karangan yang membahas suatu masalah secara terperinci ”. Cf. Peter Salim, The
Contemporary English-Indonesian Dictionary, 5th Edition, 1990, Jakarta: Modern English Press, hlm. 2107. Huruf miring dan tebal berasal dari penulis.
7
Charles-André Bernard, SJ, “Simbolismo”, dalam Stefano de Fiores dan Salvatore Meo (ed.), Nuovo Dizionario di Mariologia (selanjutnya disingkat
NDM), Edizioni Paolone, Cinisello Balsamo, Milano, 1988, hlm. 1293.
5
sebagai “hamba”-nya. Demikianpun misalnya ungkapan “Gembala yang baik”. Ini
merupakan simbolisme kasih yang total dari Allah bagi kita yang terungkap lewat
kehadiran Putra-Nya.

Di samping dua ungkapan simbolis yang bersifat umum di atas, dalam tulisan-tulisan St.
Montfort ditemukan ungkapan-ungkapan simbolis khusus untuk melukiskan pribadi dan
peran Maria. Stefano de Fiores, dalam artikelnya Figur Maria dalam Bakti Sejati kepada
Maria8, mengklasifikasi adanya empat kelompok simbol marial yang terdapat dalam Bakti
Sejati kepada Maria. Jumlah seluruhnya ada 40 simbol, di mana beberapa di antaranya
ada yang disebut berulang-ulang.

a. Simbol-simbol yang menekankan gerakan naik atau vertikal. Ini bisa terkait dengan
cahaya, tempat dan bangunan yang mengarah ke atas atau yang ada di atas, di
ketinggian. Maria dilihat sebagai fajar (BS 50), bulan (85), bintang (55,199,209); Maria
adalah tempat yang tinggi dan kudus (218, 261, 263, 218), altar Allah (262), takhta Allah
dan rahmat (178, 248 dua kali, 262), benteng Daud dan benteng gading (178).

b. Simbol-simbol yang terkait dengan lahan untuk memperoleh makanan. Di sini Maria
dilihat sebagai lingkungan yang terbuka dan siap untuk menerima dan melayani Allah dan
manusia. Maria adalah dunia Allah (BS 6), kota Allah (7, 48, 262), bait (6), bait suci dan
tempat istirahat Allah Tritunggal (5, 262, 268), taman firdaus Adam Baru (18), dan dari
anak-anak Hawa (45). St. Montfort melukiskan taman firdaus ini sebagai lingkungan yang
memungkinkan hubungan yang mesra dengan Allah, di mana kita terlindung dari musuh-
musuh, diberi makanan yang lezat, diberi buah kehidupan dan pengetahuan, dan
memperoleh kekudusan (45). Pengalaman yang sama diungkapkan dengan simbol-simbol
lain seperti lingkungan hidup yang penuh rahasia (265), tanah (45, 261), padang (211),
tempat tinggal atau kediaman (178), rumah (178, 196), bangsal dari misteri-misteri Allah
(248, 263), bejana (278 tiga kali). Maria adalah dapur cinta kasih yang menyala tanpa
henti (261), tapi juga jangkar keselamatan (175 tiga kali), bahtera Nuh dan kekudusan
(175, 268). Maria adalah harta (23, 145, 216) dan gudang yang berisi penuh (23) jurang
yang tidak dapat diduga (7), susu yang memberi makan umat beriman (48, 68, 208, 264),
dada dan rahim yang merupakan tempat makanan dan ruang perlindungan (33, 199, 208,
216, 264).

c. Simbol yang menekankan perjalanan atau gerak maju: Dalam konteks ini Maria dilihat
sebagai terusan yang gaib (BS 24, 25, 142), saluran layang air (24) karena ia meyalurkan
kepada manusia rahmat Allah. Tetapi Maria juga adalah jalan naik (86), jalan dan sarana
(50 tiga kali, 64, 157, 158 dua kali, 168, 218) atau perjalanan (64, 152 tujuh kali, 153,
155 dua kali, 157, 158, 159, 168 tujuh kali). Tampak bahwa ada insistensi pada simbol
‘jalan’. Maria dan praktik devosi kepadanya juga ditampilkan sebagai jalan (30 kali dalam
seluruh BS). Hal ini mengisyaratkan bahwa Maria itu memfasilitasi manusia untuk
mencapai persatuan dengan Yesus Kristus.

d. Simbol yang berkaitan dengan siklus, di mana terdapat asal dan hasil, keluar dan
masuk, datang dan pergi. Maria dilihat sebagai gema Allah (BS 225), mata air yang
termeterai (5, 263), taman tertutup (263), pohon kehidupan (44, 164, 218, 261), forma
Dei (164, 218, 219, 220), cetak tuang Allah (219, 220, 260) dan cetak tuang para kudus
(218, 221, 260).

Dari semuanya ini, masih menurut De Fiores, dapat disimpulkan bahwa relasi St. Montfort
dengan Maria itu tidak dapat direduksi pada karya-karya tulis semata, melainkan bahwa ia
telah memiliki sebuah ‘pengalaman marial’ yang sungguh hidup. Dalam pengalaman itu,
8
“La Figura di Maria nel Trattato della Vera Devozione”, dalam Majalah Miles Immaculatae, no. 19, 1983, hlm. 59-61, Roma; dikutip dari Charles-André
Bernard, SJ, “Simbolismo”, NDM,… hlm. 1302-1303.
6
Maria hadir secara aktif lewat berbagai peran yang dimainkan. Maria adalah cetak tuang
dan rahim yang melahirkan Allah dan anak-anak Allah (siklus), lingkungan bundawi dan
perlindungan untuk pertumbuhan rohani (makanan), ruang kudus dan penuh cahaya yang
menunjuk kepada Allah (vertikal) dan “sarana” yang menuntun ke perjumpaan pribadi
dengan Kristus (perjalanan).

II. ST. MONTFORT: “TEOLOG… BERBOBOT”

Setelah membedah karakter teologis St. Montfort, berikut ini akan dikemukakan bobotnya.
Kita terutama akan berkonsentrasi pada Teologi Marial-nya, suatu bidang teologis
dogmatis yang secara mengagumkan sangat dicintai oleh St. Montfort. Hal ini akan
dilakukan dengan cara menginteraksikannya dengan ajaran Konsili Vatikan II tentang
tempat dan peran Maria, sebagaimana tertuang dalam bab VIII Lumen Gentium.
Diteropong dari sudut pandang Konsili ini, akan ditemukan sekurang-kurangnya lima
alasan mengapa St. Montfort dan karya-karyanya menjadi aktual dan relevan untuk
Gereja masa kini.

A. Perspektif Nexus Mysteriorum

Pertama, St. Montfort memaparkan kebenaran-kebenaran tentang Maria dengan perspektif


(cara pandang) yang cocok sekali dengan semangat Konsili Vatikan II. Cara pandang itu
sering disebut sebagai nexus mysteriorum, yaitu bahwa salah satu cabang teologi
diteropong dalam kaitannya dengan misteri-misteri iman kristiani yang lain, entah secara
eksplisit, entah sebagai kerangka pikiran. Sehingga cabang yang menjadi konsentrasi
pembahasan itu tidak ditempatkan secara isolatif, tapi selalu dalam korelasi yang
harmonis dengan misteri-misteri iman yang lain. Cara pandang ini, pada Konsili, tampak
sangat eksplisit pada judul bab VIII LG: “Tentang Maria Bunda Allah dalam Misteri Kristus
dan Misteri Gereja”. Di sini Maria dikontemplasikan dalam kaitannya dengan misteri Allah
Tritunggal, misteri Kristus dan misteri Gereja.

Walau tanpa menyebut kata nexus mysteriorum, seperti juga Konsili tidak menyebutnya,
St. Montfort menerapkan perspektif ini, juga secara sangat gamblang dalam tulisan-
tulisannya, terutama dalam Bakti Sejati kepada Maria dan Rahasia Maria. Dalam dua karya
ini, Maria dikontempasikan dalam kaitannya dengan misteri Allah Bapa, Allah Putera, Allah
Roh Kudus dan Gereja. Itulah sebabnya mengapa Paus Yohanes Paulus II berkata, “Berkat
St. Louis-Marie de Montfort, saya jadi mengerti bahwa devosi kepada Bunda Allah ternyata
sangat Kristosentris; sungguh, devosi kepadanya sangat mendalam berakar dalam Misteri
Allah Tritunggal, dalam misteri Inkarnasi dan Penyelamatan” 9. Perspektif ini
didemostrasikan St. Montfort dengan cara yang sangat elok dan memuaskan hati dalam
menguraikan dasar-dasar teologis dari devosi yang sejati kepada Maria, yang tertuang
dalam bagian pertama Bakti Sejati kepada Maria (1-89) dan Rahasia Maria (7-22).

Dikatakan elok, karena walaupun bagian ini dari segi isi sangat dogmatis, ia
menguraikannnya dengan gaya repetisi yang menciptakan bunyi yang sangat indah.
Berkali-kali Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus diulang secara berturut-turut (BS
16-18, 20, 23-25, 29, 31, 34; RM 11-13, 15, 35, 68), menciptakan apa yang oleh Léthel
disebut sebagai “symphonie Trinitaire”10 alias “simfoni trinitarian”. Di bagian pertama
kedua karya ini pula diartikulasikanlah tempat dan peran Maria dalam misteri Gereja.
9
Yohanes Paulus II, Melintasi Ambang Pintu Harapan, Jakarta: Obor, 1995, hlm. 266; bdk. John Paul II, Crossing the Treshold of Hope, ed. Vittorio
Messori, Jonathan Cape, London, 1994, p. 213.
10
François-Marie Léthel, OCD, Louis-Marie Grignion de Montfort,. L’Amour de Jésus en Marie , Ad Solem, Genève, Suisse, 2000, hlm. 53. Untuk
uraian yang lebih terperinci tentang Maria dari perspektif trinitarian bisa dibaca E. Cousins dan P. Gaffney, “Trinity” dalam Stefano de Fiores (ed.),
Jesus Living in Mary, Handbook of the Spirituality of St. Louis-Marie de Montfort (selanjutnya disingkat Handbook), Montfort Publications, New York,
1994, hlm. 1177-1190.
7
Sedangkan bagian kedua Bakti Sejati kepada Maria (90-273) dan Rahasia Maria (23-78),
merupakan bagian praktis, di mana St. Montfort menjelaskan praktik yang sempurna dari
devosi yang sejati kepada Maria, yaitu “pembaktian diri kepada Kristus lewat tangan
Maria”: ciri-ciri, maksud, alasan-alasan, buah-buah, praktik-praktik lahiriah dan praktik-
praktik batiniahnya. Maka, menjadi jelas bahwa Maria itu relasional, yang takkan pernah
ada kalau bukan dalam relasinya dengan Allah Tritunggal dan Gereja (bdk. BS 225). Bagi
St. Montfort, dengan demikian, Mariologi itu selalu trinitarian, kristologis, pneumatologis
dan eklesiologis. Dalam konteks inilah dapat dipahami penilaian P. Lepidi yang sebelum
Konsili menyatakan bahwa Bakti Sejati kepada Maria merupakan “metafisika-nya
Mariologi”, karena karya ini menyediakan landasan trinitarian dan eklesiologis dari
Mariologi.

Lalu penyajian dari perspektif ini dikatakan memuaskan hati karena ia merupakan cara
yang sangat lezat untuk menempatkan peran Maria pada proporsi dan lalu-lintas yang
seharusnya dalam konstelasi iman akan misteri Allah Tritunggal dan Gereja. Maka, karya
St. Montfort dapat menjadi oase hidup rohani bagi setiap jiwa yang haus dan gelisah,
bukan saja akan kebenaran perihal tempat sejati Maria dalam sejarah keselamatan, tapi
juga akan perannya dalam kita menghayati dengan sungguh-sungguh apa artinya menjadi
Gereja. Maka kesan yang keliru tentang St. Montfort yang dikatakan melebih-lebihkan
peran Maria dalam Gereja itu dengan sendirinya gugur. Karena kalau ia menulis tentang
Maria, itu karena ia tahu persis peta tempat dan perannya, ia tahu proporsinya. Kesan
keliru seperti itu bisa muncul jika orang membaca karyanya hanya satu-dua kali saja,
secara sambil lalu dan parsial, sehingga ia hanya berhenti pada bahasa dan cara
pengungkapan St. Montfort, yang tentu saja secara kuat sekali dipengaruhi oleh kultur
zamanya. Untuk pembaca yang memiliki kesan demikian, Paus Yohanes Paulus II
mengarahkan, “Karya St. Louis-Marie de Montfort ini mungkin akan cukup mengganggu
oleh karena gayanya yang sedikit berlebihan dan barok, tapi esensi kebenaran teologis
yang terkandung di dalamnya sungguh tak tersangkalkan. Pengarang karya ini adalah
seorang teolog berbobot. Pemikiran mariologisnya berakar pada misteri Tritunggal dan
pada kebenaran Inkarnasi Sabda Allah”.11

B. Metode “Sejarah Keselamatan”

Kedua, St. Montfort telah menggunakan metode teologis yang diterapkan oleh Konsili dan
kemudian digandrungi para teolog pasca-Konsili, yaitu metode “sejarah keselamatan”
(bdk. DV bab II, 7-10). Ini berarti bahwa sebuah cabang teologi dipaparkan dalam
keseluruhan evolusi historisnya, untuk sampai ke pemahaman dan keyakinan tentang
bagaimana kini seharusnya misteri iman yang direnungkan lewat cabang teologi itu
hendaknya dimengerti.

Sejarah penuh dengan intervensi Allah, dan di sana ada goresan refleksi perihal kesadaran
dan pengalaman akan kehadiranNya. Intervensi yang definitif itu terjadi dengan
Penjelmaan Allah Putera (Bdk. Yoh 1: 1-5; Ibr 1: 1) yang lahir dari Maria (Gal 4: 4-6), dan
refleksi tentangnya tertuang dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, hasil pengalaman iman
para rasul. Dari evolusi kronologis penulisan Kitab Suci, kita tahu bahwa Maria merupakan
bagian utuh, dan karenanya tak terpisahkan, dari iman dan kerygma para rasul. Kini pun
Allah itu masih terus terlibat dalam sejarah, melalui RohNya, untuk menuntun jalannya
sejarah menuju keserupaan dengan Gambaran aslinya, di mana Allah akan “menjadi
segala bagi semua”. Dalam proses ini, pada masa Gereja kini, Maria tetap setia
meneruskan peran dan misi kebundaannya terhadap Gereja (LG 62). Tugas setiap putera-
puteri Gereja sepanjang masa adalah menjelmakan dalam konteks historis zamannya apa
yang telah diimani para rasul, sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, di

11
Yohanes Paulus II, Kurnia dan Misteri,… hlm. 32.
8
mana Maria merupakan salah satu bagiannya yang tak terpisahkan. Inilah salah satu
makna dari ciri Gereja yang apostolik.

Setia kepada ciri apostolik ini, St. Montfort pun, melakukan sintesis (pepaduan) besar-
besaran atas tempat dan peran Maria dalam sejarah keselamatan Umat Allah. Hal itu ia
tampilkan dengan cara yang sangat meyakinkan untuk orang-orang pada zamannya, di
Perancis Barat. Dan agar pewartaannya meyakinkan, ia temukan dan kemukakan dasar-
dasarnya sebagaimana tergores dalam sejarah keselamatan, mulai dari pewahyuan
alkitabiah kristiani12, lalu Perjanjian Lama, para Bapa Gereja, para Pujangga, para Paus
dan orang Kudus dari Abad Pertengahan sampai zaman ia hidup (bdk. BS 41). Terutama
untuk menyampaikan gagasannya tentang praktik “pembaktian diri kepada Kristus lewat
tangan Maria”, St. Montfort terlebih dahulu melakukan eksplorasi besar-besaran untuk
menemukan dasar-dasarnya dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci, demi kredibilitas (dapat
dipercaya ) dan kontekstualisasi penyampaiannya.

Dikatakan di atas tadi bahwa St. Montfort melakukan “sintesis”, sebab ia sama sekali tidak
mengemukakan sesuatu yang baru (BS 159). St. Montfort hanya merupakan titik temu
dari segala anak sungai yang telah mengalir sebelumnya, dan yang sejak dia, dan melalui
dia, sungai-sungai kecil yang telah menyatu itu mengalir dan menyembur secara lebih
kuat lagi dalam Gereja. Dan semburan “air marial” ini masih terus relevan bagi Gereja
sepanjang masa, oleh karena kesetiaannya yang sempurna pada aspirasi alkitabiah dan
tradisi Gereja.

C. Panggilan Universal untuk Menjadi Kudus

Ketiga, St. Montfort juga menjadi aktual bagi Gereja masa kini oleh karena ajarannya
sangat harmonis dengan semangat Konsili Vatikan II. Ada dua semangat utama yang tak
saling terpisahkan, yang menjiwai semua dokumen Konsili Vatikan II yaitu semangat
untuk kembali ke sumber dan semangat untuk terbuka kepada dunia. Semangat yang
pertama bertujuan untuk menemukan kembali akar-akar identitas pewahyuan, eksistensi
dan panggilannya; sedangkan semangat yang kedua bertujuan untuk menegaskan lagi
panggilan Gereja untuk terlibat secara nyata dalam membangun dunia dan untuk menjalin
“persaudaraan semesta” (NA 5) dengan seluruh umat manusia, dengan semua umat
beragama lain dan dengan semua Gereja.

St. Montfort itu hidup pada masa semangat kontra-reformasi (melalui Konsili Trento:
1545-1563), di sebuah negara yang mayoritas Katolik, yang mengalami getirnya ancaman
Islam ke Eropa. Pada abadke-17 itu “luka-luka iman” karena dikuasainya Tanah Suci oleh
Islam masih menganga. Maka mustahil mengharapkan bahwa dari pena St. Montfort akan
keluar ulasan panjang lebar tentang ekumenisme dan dialog dengan umat beragama
lain13.

Namun, dia menangkap dengan tepat sekali semangat atau panggilan dasariah Gereja,
yaitu untuk bersatu dan menjadi serupa dengan Kristus, oleh karena kasih. Keserupaan
dengan Kristus itulah yang dimaksudkan dengan kekudusan. Gereja seluruhnya dipanggil
untuk menghayati martabatnya sebagai kudus, oleh karena “Yang Kudus” itu berdiam di
dalamnya. Konsili Vatikan II, lewat konstitusi dogmatisnya, Lumen Gentium,
mengalamatkan panggilan untuk menjadi kudus ini kepada seluruh Gereja, walaupun
dihayati dengan cara yang berbeda-beda menurut “kurnia dan tugas”-nya masing-masing
(bab V).

12
Maksudnya, Perjanjian Baru. Salah satu dasar alkitabiah untuk Teologi Marial adalah Yoh 19: 25-27. Perikop ini dikutipnya secara eksplisit dalam RM
66; SK 36; BS 144, 179, 216, 266.
13
Bdk. Patrick Gaffney, “Ecumenism”, dalam Handbook…, hlm. 323-332.
9
Berdasarkan aspirasi dasariah hidup kristiani ini, St. Montfort memulai karya mungilnya,
Rahasia Maria, yang ditujukan kepada seorang perempuan-awam yang menjadi mitra
kerjanya di Nantes, dengan sebuah afermasi (penguatan, penegasan) yang menjadi jiwa
seluruh pewartaannya, “Sebagai orang kristen, kamu adalah citra Allah yang hidup, yang
diselamatkan dengan darah Kristus yang berharga. Allah menghendaki bahwa kamu
menjadi kudus seperti Dia, menjadi kudus dalam hidup di dunia ini dan mengambil bagian
dalam kemulianNya yang telah ada sejak keabadian. Karenanya, panggilanmu yang pasti
adalah menjadi kudus. Ke arah tujuan inilah, hendaknya kamu arahkan segala pikiran,
kecenderungan, perkataan, pekerjaan dan penderitaan dalam hidupmu. Janganlah
melawan Allah, jangan pula mengabaikan perjalanan untuk mencapai tujuan untuk apa
Allah menciptakanmu dan untuk apa Allah membiarkanmu terus hidup” (RM 3). Kekudusan
atau keserupaan dengan Kristus inilah yang menjadi satu-satunya tujuan “pembaktian diri
kepada Kristus lewat tangan Maria” yang diajarkan St. Montfort. “Yesus Kristus penebus
kita, sungguh Allah dan sungguh manusia, harus menjadi tujuan akhir segala bakti kita,
kalau tidak bakti itu tidak tepat dan menyesatkan” (BS 61).

Praktik “pembaktian diri kepada Kristus lewat tangan Maria”, sebagai sarana untuk
mencapai dan memelihara kekudusan ini, dialamatkan St. Montfort kepada semua orang,
termasuk umat awam (BS 110), yang menurut Lumen Gentium berada di garda depan
dalam perjuangan di bidang sospol (bdk. LG 31, 36). St. Montfort mencita-citakan
membentuk seorang kristiani yang berkomitmen nyata dalam dunia, yang menimba
seluruh dasar dan kekuatannya dari kesetiaan kepada iman kristiani dan Gereja.

Apabila dilihat dari tujuan yang hendak dicapai ini, dapatlah dipastikan bahwa St. Montfort
secara tidak langsung turut mengambil bagian dalam pembentukan seorang kristen yang
ekumenis dan dialogis dengan Gereja dan agama lain. Sebab “jiwa seluruh gerakan
ekumene” (UR 8), adalah kekudusan hidup atau pembaharuan Gereja, kerinduan untuk
semakin serupa dengan Kristus, pertobatan hati dan kesatuan dalam doa (UR 6-8). Lalu
dalam dialog dengan agama-agama lain, “pembaktian diri kepada Kristus lewat tangan
Maria” yang diajarkan St. Montfort membantu kita untuk semakin bertumbuh dalam
kedewasaan dan kematangan sebagai orang kristen, sehingga mampu “memberi kesaksian
tentang iman serta perihidup kristiani” dalam berdialog dan bekerjasama “secara bijaksana
dan penuh kasih” dengan para penganut agama-agama lain (bdk. NA 2).

D. Konvergensi antara bab VIII Lumen Gentium dan Bakti Sejati kepada Maria

Keempat, secara lebih khusus, St. Montfort itu aktual dan relevan bagi Gereja kini karena
ajarannya tentang pentingnya Maria dalam perjalanan kekudusan kita itu amat serasi
dengan bab VIII Lumen Gentium Konsili Vatikan II, yang membahas tentang “Santa
Perawan Maria Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja”. Bab VIII ini merupakan
hasil kombinasi antara perspektif “jalan turun” (kristotipikal) dan “jalan naik”
(eklesiotipikal) dalam memahami Maria. “Jalan turun” merupakan peneropongan tempat
dan peran Maria “dalam Misteri Kristus” sedangkan “jalan naik” merupakan peneropongan
tempat dan peran Maria “dalam misteri Gereja”. Kedua perspektif ini sangat hangat
dipakai sebelum Konsili dalam membahas tempat dan peran Maria, yang terus berlanjut
dalam berbagai diskusi selama Konsili. Akhirnya, keduanya disatukan oleh Konsili dalam
bab VIII Lumen Gentium.

Eloknya, adalah bahwa kedua “jalan” atau perspektif ini sangat eksplisit tertuang dalam
Bakti Sejati kepada Maria dan Rahasia Maria gubahan misionaris rakyat asal Perancis Barat
ini. Bahasa pengungkapannya boleh berbeda tapi roh dari skema yang sama ini adalah
persis sama. Karenanya, dasar-dasar teologis-dogmatis yang tertuang di bagian pertama
Bakti Sejati kepada Maria dan Rahasia Maria, bahkan seluruh isi kedua karya ini, secara

10
tepat dapat diberi judul, seperti judul bab VIII LG, “Santa Perawan Maria Bunda Allah
dalam Misteri Kristus dan Gereja”14.

Berkaitan dengan perspektif yang harmonis ini, Mgr. Gerard Philips, salah seorang aktor di
balik naskah definitif bab VIII LG berkata bahwa saat penyusunan naskah bab VIII LG itu,
“Bakti Sejati kepada Maria, gubahan St. Montfort memang tidak ada di hadapan saya, tapi
ia ada di dalam pikiran dan hati saya” 15. Atas dasar itu, Mgr. Théas lalu berkata, “Saya
pikir, komentar terbaik untuk bab VIII LG Konsili Vatikan II dapat ditemukan dalam ajaran
St. Louis-Marie de Montfort” 16. Para Bapa Konsili telah memutuskan untuk membatasi diri
hanya dengan merujuk pada Kitab Suci, keputusan-keputusan Konsili Ekumenis
sebelumnya, ajaran para Bapa Gereja dan ajaran para Paus. Karya St. Montfort juga
disusun dari sumber-sumber yang sama dengan sumber Konsili itu. Maka, walaupun
Lumen Gentium tidak mengutip secara eksplisit Bakti Sejati kepada Maria sebagai
referensi, antara kedua karya ini terdapat konvergensi (bertemu, bersatu) yang
menakjubkan. Secara lebih detail, berikut ini dikemukakan beberapa konvergensi 17 antara
dua bab VIII LG dan Bakti Sejati kepada Maria:

No Gagasan Dasar Bab VIII Lumen Bakti Sejati kepada


Gentium Maria
1 Ulasan tentang rencana keselamatan No. 56, 58-61 No. 14-35
Allah
2 Kesatuan yang tak saling terpisahkan No. 56-58 No. 63, 74, 120,
antara Kristus dan Maria 165, 274
3 Penegasan tentang Kristus sebagai No. 60 No. 61
satu-satunya Pengantara
4 Peran Maria sebagai Bunda dan Model No. 61-65 No. 29-36, 260
5 Hormat bakti kepada Maria sebagai No. 66 No. 164-168
sarana untuk semakin bersembah bakti
kepada Allah
6 Maria “sarana” untuk semakin matang No. 67 No. 49, 67, 120
dalam hidup kristiani

E. Hubungan antara Devosi Pribadi dan Liturgi

Kelima, aktualitas St. Montfort itu ditemukan juga dalam mengaitkan “praktik-praktik dan
pengalaman bakti kepadanya [Maria], yang di sepanjang zaman telah dianjurkan oleh
Wewenang mengajar Gereja” (LG 67) dengan Liturgi. Montfort tahu bahwa “mengaitkan”
tidak sama dengan “menyejajarkan”. Liturgi itu mengatasi segala bentuk devosi pribadi.
Konsili menyatakan bahwa “Liturgi merupakan puncak ke mana mengarah segala tindakan
Gereja dan sekaligus sumber dari mana mengalir seluruh kebajikannya” (SC 10).

Walaupun Liturgi mengatasi devosi pribadi, Liturgi tidak bertentangan dengannya. Karena
itu, St. Montfort tidak memisahkan kehidupan devosional dengan kehidupan lirtugis-
sakramental. Sehingga dia menempatkan secara benar praktik devosi yang diajarkannya
dalam Liturgi, khususnya dengan liturgi ekaristi. Hal itu dilakukannya dengan

14
Hingga saat ini, judul klasik bagian pertama Bakti Sejati kepada Maria adalah: “Tempat khusus Maria dalam rencana keselamatan Allah dan dalam
kehidupan Gereja” (1-59) dan “beberapa kebenaran dasariah bakti sejati” (60-89).
15
Bdk. H.-M. Manteau-Bonamy, OP, S. Louis-Marie Grignion de Montfort. Théologien de la Sagesse éternelle au seuil du troisième millénaire , Ed.
Saint-Paul, Paris-Fribourg 1986, hlm. 54.
16
Dikutip dalam “Kata Pengantar” untuk Bakti Sejati kepada Maria, diterbitkan Edizioni Paoline, 1977, hlm. 14.
17
Bdk. “Kata Pengantar” untuk Bakti Sejati kepada Maria, dalam S. Luigi-Maria da Montfort, OPERE 1, Scritti Spirituali, (selanjutnya disingkat OPERE 1),
Edizioni Monfortane, Roma, 1990, hlm. 350.
11
“menyelipkan”18 dalam ekaristi apa yang menjadi “bentuk konkret” dari praktik
“pembaktian diri kepada Kristus lewat tangan Maria” yang diajarkannya. “Bentuk konkret”
itu berupa disposisi batin yang bersifat “marial” sebelum, saat dan setelah menerima
komuni (BS 266-272), sehingga kita dapat menerima verum Corpus natum de Maria
Virgine. Dengan cara ini St. Montfort menyelipkan “spiritualitas marial” di tengah-tengah
perayaan puncak “spiritualitas kristiani” dalam ekaristi. Hal ini dapat dilakukan baik pada
saat perayaan Misteri Kristus yang secara eksplisit menyebut “proprium” Bunda Maria (MC
1-15) maupun yang tidak menyebut “proprium Maria” secara khusus (MC 16-23).

Maria relevan dalam perayaan ekaristi karena ia merupakan “model sikap rohani dengan
mana Gereja merayakan dan menghayati misteri-misteri ilahi (yang dirayakan dalam
ekaristi)” (MC 16). Maka, praktik ini dapat membantu untuk menghayati dengan sungguh-
sungguh persatuan dengan Kristus, seperti yang dicontohkan Bunda Maria, dengan
menghayati janji-janji pembaptisan kita (BS 126).

Mengenai keabsahan “disposisi batin” ini, Konsili memang tidak secara eksplisit
merekomendasikannya, maupun praktik yang memayunginya, yaitu “pembaktian diri
kepada Kristus lewat tangan Maria” yang diajarkan St. Montfort. Tapi Konsili dengan jelas
mengafermasi (menegaskan, penguatan) legitimitas (sah, logis, masuk akal) “pelbagai
ungkapan sikap bakti terhadap Bunda Allah, yang dalam batas-batas ajaran yang sehat
serta benar telah disetujui oleh Gereja” (LG 66). Di antara “pelbagai sikap bakti” kepada
Maria ini harus kita sebut juga praktik yang ditawarkan St. Montfort ini, yaitu “pembaktian
diri kepada Kristus lewat tangan Maria” dan “bentuk konkret” penghayatannya saat
perayaan ekaristi. Praktik ini dan karya yang memaparkannya secara panjang lebar, Bakti
Sejati kepada Maria, telah diuji kebenarannya, dan dengan demikian diakui Gereja sejak
saat St. Montfort dibeatifikasi pada 22 Januari 1888 oleh Paus Leo XIII. Praktik dan karya
ini kemudian dianjurkan oleh Paus Pius X (1908), Paus Benediktus XV (1916), Pius XII
(1947), Paulus VI (1973) dan Yohanes Paulus II (1988)19.

III. SANTO MONTFORT DAN PAUS YOHANES PAULUS

Oleh karena segala bobot teologis ini, St. Montfort lantas menjadi aktual dan relevan
untuk Gereja masa kini. Salah seorang yang secara sangat mendalam membiarkan hatinya
diresapi oleh kesuburan rohani ajaran St. Montfort adalah Paus Yohanes Paulus II sendiri.
Sejak awal masa baktinya sebagai gembala Gereja Universal, beliau menghembuskan
dalam Gereja dan dunia “angin marial”, sehingga ia sering dijuluki sebagai “Paus-nya
Maria”. Nama pertamanya sebagai Paus telah menunjukkan referensi marial itu karena
memilih nama Penginjil Yohanes, “murid yang dikasihi”, yang telah menerima Maria
sebagai Bunda dalam rumahnya (Yoh 19: 25-27). Logo kepausannya mengungkapkan hal
itu secara lebih eksplisit lagi: Maria yang berdiri di bawah Salib.

Tahun 1978, tahun di mana ia mulai menduduki Takhta St. Petrus, masih ada gejala “krisis
marial”20 yang mendera sebagian wilayah Eropa dan Amerika Utara yang sudah dimulai
sejak Konsili (1965) dan belum seluruhnya berakhir dengan dikeluarkannya Marialis Cultus
(1974). Cirinya adalah merosot dengan cepatnya devosi dan refleksi teologis tentang
Bunda Maria, yang disebabkan oleh persoalan baru yang datang dari kultur. Kehadiran
Marialis Cultus tidak cukup memperbaiki keadaan, walau telah memberi indikasi

18
Istilah “menyelipkan” ini berasal dari Marialis Cultus, yang dipakai untuk menunjukkan tempat perayaan liturgis marial dalam keseluruhan siklus tahun
liturgi Kristus (bdk. MC 2).
19
Tentang tanggapan para Pengganti St. Petrus atas ajaran St. Montfort bdk. Supplex Libellus: San Luigi-Maria da Montfort nella Chiesa di oggi e di
domani, dalam Spiritualità Monfortana 1, Centre International Montfortain, Roma, hlm. 23-29. Paus yang terakhir ini menyebutnya lagi lewat sebuah
dokumen dari Kongregasi untuk Liturgi Suci: Direktorium tentang Devosi Umat dan Liturgi, yang diterbitkan Libreria Editrice Vaticana, 2002, hlm. 167-169.
20
Fenomena ini disinyalir pertama kali oleh René Laurentin, dalam karyanya La Question Mariale, Seuil, Paris, 1963.
12
pembaruan (MC 24-55). Paus Yohanes Paulus II kini hadir untuk menerjemahkan
semangat Lumen Gentium dan Marialis Cultus.

A. Pengaruh St. Montfort dalam Hidupnya

Bersama Bapa Suci ini, nama St. Montfort dikenal semakin luas dan eksplisit dalam
wacana dan devosi Gereja kepada Maria. Paus Yohanes Paulus II berkali-kali dan tak
pernah henti mengakui dengan terbuka pertautan rohaninya dengan St. Montfort 21. Sebab
“spiritualitas Marial” (RMat 48) St. Montfort pun merupakan terjemahan dari adegan pada
Yoh 19 di atas. Lalu, atas inspirasi St. Montfort, Paus Yohanes Paulus II
menerjemahkannya untuk hidupnya pribadi. Keberhasilan terjemahan pada tingkat pribadi
ini merupakan “pengaruh tingkat tinggi” ajaran St. Montfort pada seorang “pejabat tinggi”
Gereja yang mendefinisikan diri sebagi “servus servi Christi”. Moto kepausannya: Totus
Tuus, diambil dari mahakarya St. Montfort, Bakti Sejati kepada Maria (BS 233, bdk. 216,
266)22. Banyak orang tidak tahu bahwa motto itu menunjuk ke “Pembaktian Diri”
seluruhnya, secara tak terbagi kepada Kristus melalui tangan sang Bunda Allah,
sebagaimana yang diajarkan St. Montfort.

B. Terjemahan Ajaran St. Montfort bagi Seluruh Gereja

itu dilakukan karena permintaan Lucia dari Fatima dan setelah ia sendiri sembuh dari
percobaan pembunuhan pada 13 Mei 1981.

Pada 1987 ia mengeluarkan Ensiklik Redemptoris Mater untuk mencanangkan Tahun Maria
Setelah sebagai pribadi Bapa Suci dipengaruhi secara mendalam oleh ajaran St. Montfort,
ia lalu menerjemahkan semangat “pembaktian diri” yang diajarkan St. Montfort itu kepada
seluruh Gereja. Pada 25 Maret 1984 ia mempersembahkan seluruh dunia kepada Hati Tak
Bernoda Bunda Maria. Hal 1988. Di sana, pada no. 48 Ensiklik ini, secara eksplisit Bapa
Suci menyebut nama St. Montfort, sebagai SAKSI dan GURU spiritualitas marial, yang
mengusulkan pembaktian diri kepada Kristus lewat tangan Bunda Maria, sebagai
pembaharuan yang sempurna dari janji-janji Pembaptisan. Ini merupakan “pengakuan
tertinggi” seluruh Gereja pada pengaruh St. Montfort dan dayaguna ajarannya. Menurut
Stefano de Fiores, Redemptoris Mater dapat secara tepat disebut sebagai “spiritualitas
marial Yohanes Paulus II yang dibuat menjadi ensiklik” 23. Walaupun, untuk
menerjemahkan istilah “perhambaan” Bapa Suci lebih suka menggunakan kata
“Affidamento” atau entrustment (RMat 45), yang artinya “mempercayakan diri” daripada
“membaktikan diri” atau “pembaktian diri” (consécration de soi-même) yang dipakai St.
Montfort.

Terakhir, pada 2002 Paus mengeluarkan Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae untuk
mencanangkan Tahun Rosario. Di sana, pada no. 8, ia menyebut nama St. Montfort
sebagai salah seorang saksi kudus yang mengalami Doa Rosario sebagai “jalan sejati
untuk menghayati kekudusan”. Hingga kini, di setiap dokumen yang ia keluarkan,
21
Untuk pengenalan lebih lanjut tentang pertalian rohani antara Santo Montfort dengan Paus Yohanes Paulus II, baca artikel Alberto Rum, “Montfort
dan Yohanes Paulus II, dua saksi dan guru spiritualitas marial”, dalam Fragmenta Monfortana 3, Memoria e Profezia, hlm. 107-142.
22
Paus mengakui ini dalam berbagai tulisan dan kesempatan, misalnya dalam André Frossard dialoga con Giovanni Paolo II, Non abbiate paura ,
Rusconi, 1983, hlm. 157-159; Yohanes Paulus II, Kurnia dan Misteri, Jakarta: Obor, 1997, hlm. 32; Melintasi Ambang Pintu Harapan, Jakarta: Obor,
1995, hlm. 266; Sambutan kepada para peserta Seminar Internasional Mariologi VIII , 13 Oktober 2000 dan yang paling akhir adalah Surat kepada
para anggota Tarekat Hidup Bakti dari Keluarga Besar Montfortan, untuk memperingati 160 tahun Bakti Sejati kepada Maria, 8 Desember 2003.
23
S. De Fiores, Maria nella teologia contemporanea, Centro di Cultura Mariana, Roma, 1991, hlm. 552
13
walaupun tidak berbicara secara khusus tentang Bunda Maria, nomor-nomor terakhir
umumnya didedikasikannya untuk sebuah doa persembahan kepada Bunda Maria.

PENUTUP

Akhirnya, harus dikatakan bahwa semuanya ini menjadi mungkin, oleh karena Bakti Sejati
kepada Maria karya St. Montfort merupakan buku kesayangannya sejak ia masih di
seminari menengah. “Ini adalah buku kesayangan Bapa Suci Yohanes Paulus II, sebuah
karya yang tidak pernah dipisahkan dari dirinya selama bertahun-tahun” 24. Lalu, Bapa Suci
sendiri, dalam kotbahnya saat berziarah ke makam St. Louis-Marie de Montfort di Saint
Laurent sur-Sèvre pada 19 September 1996, menegaskan, “Saya sangat berhutang budi
kepada St. Montfort dan kepada karyanya, Traktat tentang Bakti yang Sejati kepada Santa
Perawan Maria”25.

Walaupun demikian, Bapa Suci bukan sendirian dalam menghayati ajaran St. Montfort. Ia
hanya merupakan “puncak” dari sebuah bukit yang dibentuk oleh begitu banyak organisasi
kerasulan gerejawi, tarekat religius dan pribadi yang menghayati “pembaktian diri kepada
Kristus lewat tangan Maria”, seperti yang diajarkan St. Montfort. Karena itu, hingga kini,
dalam Gereja, St. Montfort tetap tampil sebagai salah satu dari orang-orang kudus yang
telah mengerti dengan sangat baik tempat dan peran sejati Bunda Maria dalam sejarah
keselamatan.

Suplemen:

DISPOSISI TEOLOGIS DI HADAPAN UNGKAPAN KULTURAL

Dari seluruh paparan di atas, kesan yang segera muncul adalah bahwa karya St. Montfort,
Bakti Sejati kepada Maria memiliki aktualitas yang tidak kecil untuk zaman kita kini.
Namun, baiklah kalau segera diingatkan bahwa untuk menemukan saripatinya yang aktual
itu, karya ini hendaknya dibaca dengan hati-hati. Sikap hati-hati ini lebih dari sekadar
kritis. Seseorang yang tidak membaca karya ini secara hati-hati bisa di antar ke dua
kemungkinan: atau menjadi seorang yang fanatik kepada Maria (mariolatria 26) atau malah
sebaliknya, mencampakkan karya ini, dan Maria yang menjadi tema bahasannya, ke
tempat sampah.

Kemungkinan pertama ini muncul karena dalam karya St. Montfort ini akan ditemukan
banyak eulogi (kata-kata pujian) atas karya Allah dalam diri Maria. Maka seseorang yang
“senang” dengan Bunda Maria akan “mendekap” buku ini, menerima secara lurus-lurus
dan memahami secara harafiah segala yang dikatakan di dalamnya. Sebaliknya,
kemungkinan kedua juga bisa muncul karena banyaknya nama Maria dalam buku ini.
Walaupun Maria dipandang dalam relasinya dengan Allah Tritunggal, Kristus, Roh Kudus
dan Gereja, banyaknya nama Maria memunculkan kesan kalau Maria itu dilebih-lebihkan.
Padahal yang penting dalam iman kristiani adalah Kristus. Maka, karya ini tidak sesuai
24
Penegasan para uskup Polandia, dalam Surat Konferensi Waligereja Polandia, 14.10.1979.
25
ORE, 25 September 1996, hlm. 3.
26
Istilah dari Schillebeeckx, dalam Maria Madre della Redenzione, Edizioni Paoline, Catania, 1965, hlm. 143.
14
dengan Kitab Suci. Karya ini lantas dicampakkan ke tempat sampah. Oleh karena
semuanya ini, maka haruslah dikatakan bahwa karya ini sebaiknya dibaca dengan sebuah
pendampingan atau tuntunan, agar saripatinya dapat ditemukan, dan karenanya dapat
dinilai secara proporsional.

Dapat dipastikan bahwa kedua kemungkinan di atas bisa muncul jika bacaan terhadap
karya St. Montfort ini dilakukan secara parsial, isolatif dan sepintas lalu saja. Sebab di
dalam karya ini terdapat banyak ekspresi atau ungkapan yang secara kuat dipengaruhi
oleh zamannya, seperti dalam memandang Allah dan seluruh karyaNya, dalam
memandang manusia, dalam membahasakan peran dan tempat Maria dan dalam
menafsirkan Kitab Suci. Di sana terdapat banyak ungkapan yang dipengaruhi oleh kultur
sosiologis, teologis, historis dan antropologis zamannya.

Oleh karena ungkapan-ungkapan itu terikat pada kultur tertentu, maka semuanya dapat
“direlatifkan” dengan sensibilitas kultural manusia sepanjang masa, termasuk masa kini.
Tetapi “isi dasariah” yang hendak disampaikan oleh ungkapan-ungkapan itu harus
dipertahankan. Dan untuk menemukan “isi dasariah” ini perlulah dilakukan bacaan yang
menyeluruh dan mendalam. Karena itu tidak cukup membacanya hanya sekali saja.

Kebutuhan untuk melakukan pembaruan ungkapan kultural ini antara lain karena didorong
oleh Marialis Cultus yang mengatakan bahwa untuk setiap bentuk sikap bakti kepada Maria
kita “perlu memperbaharui atau mengganti elemen-elemen mubazir, dan
mempertahankan elemen dan ajaran sejati, yang dicapai melalui refleksi teologis dan
berdasarkan usulan kuasa mengajar Gereja” (MC 24). Berikut ini beberapa ungkapan
kultural dan kemungkinan pembaharuan atau pemahaman atasnya.

A. Perhambaan

Pertama, berkaitan dengan ungkapan “perhambaan”, seperti dalam ungkapan “hamba


Maria”, “perhambaan karena kasih”, “perhambaan sukarela”, “hamba Yesus Kristus” dan
“hamba Maria” (BS 68-77, 244-246). Ini merupakan ungkapan yang dipengaruhi
zamannya, yang menjadi sandungan bagi sebagian orang untuk memahami ajaran St.
Montfort. Pertanyaan manusia zaman kini adalah, mengapa kita menghambakan diri lagi,
padahal kita sudah dibebaskan oleh Yesus Kristus? Lagipula kata “perhambaan”
mengingatkan orang zaman kini akan sejarah masa lalu yang getir berkaitan dengan
perdagangan budak-budak. St. Montfort sebetulnya tahu persis bahwa istilah yang
dipilihnya ini bisa membuat orang salah mengerti isi ajarannya, karena itu ia berusaha
dengan susah payah untuk menjelaskan maksud istilah ini, dengan mengemukakan
dasarnya dalam Kitab Suci dan penggunaannya dalam tradisi dan Konsili Ekumenis (BS
68-77).

Berhadapan dengan problem ini, dalam semangat Marialis Cultus, ada yang mengusulkan27
bahwa sebaiknya ungkapan ini diganti, jika sudah dianggap mubazir untuk zaman kini,
dengan ungkapan yang mampu mengakomodasi semangat asli yaitu persembahan seluruh
diri yang berlangsung tetap kepada Kristus lewat Maria, dan kesiapsediaan untuk selalu
mengikuti bimbingan bundawi Maria dalam menjalankan kehendak Allah.

Namun, oleh karena yang dipentingkan adalah pemahaman yang benar atas “isi dasariah”
yang terdapat di balik ungkapan, maka sebetulnya istilah “perhambaan” ini secara sah
dapat terus dipertahankan, asal dapat dipahami dengan sungguh-sungguh arti dan
maksud terdalamnya. Surat Paus untuk perayaan 360 tahun terbitan edisi pertama Bakti
Sejati kepada Maria memberikan apresiasi pada ungkapan “perhambaan” ini. Bapa Suci

27
Salah seorang di antaranya adalah Stefano de Fiores, bdk. “Kata Pengantar” dalam OPERE 1, hlm. 351.
15
melihatnya “dalam terang pertukaran yang mengagumkan antara Allah dengan umat
manusia dalam misteri Sabda yang menjelma. Itu adalah pertukaran sejati dari kasih,
antara kasih Allah dan kasih ciptaanNya dalam proses saling memberikan seluruh diri” (no.
6). Ia merupakan simbolisme dari totalitas penyerahan diri kepada Yesus lewat tangan
Maria, di mana tidak satu hal pun dan tidak satu detik pun dalam hidup yang tidak
dipersembahkan. Ini merupakan simbolisme dari koinsidensi yang bersifat tetap dengan
hati, jiwa dan roh Maria28.

Koehler, dalam artikelnya Slavery of Love,29memilih jalan tengah: ia menekankan


pentingnya pembaruan tapi juga menyadari pentingnya “isi dasariah”. Tapi, kalaupun
ungkapan ini mau diganti berdasarkan sensibilitas kultural yang berbeda-beda di masing-
masing daerah, ia mengemukakan banyak ungkapan lain yang ternyata digunakan juga
oleh St. Montfort sendiri, seperti: “devosi yang paling sempurna” (CKA 219), “pembaktian
diri” (CKA 219; BS 120, 231), “menyerahkan segala sesuatu dalam tangan Maria” (CKA
221-222; RM 31), “persembahan diri” (CKA 222; BS 121, 124), “pemberian diri” (CKA
222, 225; RM 28-31; PA; BS 120, 126), “mempercayakan diri” (RM 40; BS 179), “totus
tuus” (BS 179, 216, 266; RM 66), dan masih banyak lagi ungkapan lainnya.

B. Figur Ribka sebagai Pralambang Maria

Kedua, tidak sedikit orang mengalami kesulitan dalam memaknai hubungan antara figur
Ribka dengan Maria dan Yakub dengan umat beriman yang membaktikan diri kepada
Kristus lewat tangan Maria yang dikisahkan secara panjang lebar dalam BS Bab VI (133-
212). Sikap Ribka terhadap Ishak dalam menyampaikan aspirasi Yakub, puteranya, dapat
mengantar ke pemahaman yang keliru atas peran pengantaraan Maria terhadap umat
beriman.

St. Montfort memang tidak sedang mengedepankan korespondensi moral dan spiritual
antara Ribka dan Maria. Dalam kedua hal ini Maria mengatasi Ribka. Maria memiliki peran
pengantaraan terhadap Gereja seperti Ribka terhadap Yakub, tapi dasar, makna, cara dan
tujuannya tentu berbeda dan mengatasi Ribka. Jadi, peran pengantaraan Ribka dan Maria
itu tidak paralel.

Walaupun demikian, persatuan yang mesra dan tak terpisahkan serta relasi ibu-anak yang
terjalin antara Ribka dan Yakub merupakan pralambang dari sikap atau jasa baik yang
akan Maria, dilambangkan oleh Ribka, berikan kepada orang-orang yang membaktikan diri
kepadanya (201-212) dan pralambang dari sikap-sikap “orang terpilih”, yang
dilambangkan oleh Yakub, kepada Maria (196-200), ibu mereka.

Dengan cara ini, St. Montfort sedang menafsirkan kembali kisah Ribka dan Yakub dalam
Perjanjian Lama (Kej 27: 1-40) dalam kaitannya dengan iman kristiani (Perjanjian Baru)
akan pengantaraan Maria terhadap Gereja.

C. Menghalangi Umat untuk Berelasi Langsung dengan Kristus?

Ketiga, ada juga kesan sekilas kalau St. Montfort itu melarang orang kristen untuk berelasi
secara langsung dengan Kristus oleh karena rasa takut akan keilahiannya (BS 85).

28
Salah seorang yang getol mempertahankan ungkapan “perhambaan” ini adalah François-Marie Léthel, OCD. Bdk. tulisannya, Louis-Marie Grignion de
Montfort. L’Amour de Jésus en Marie , Ad Solem, Genève, Suisse, 2000, hlm. 81-119. Ia membandingkan ungkapan Esclavage d’Amour (“perhambaan
karena kasih”)-nya St. Montfort dengan Holocauste à l’Amour (“korban bakaran kepada Kasih”)-nya St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus (bdk. MA 238; P
9; NV 305, etc). Keduanya dipandang dari pespektif persatuan mistik antara Allah dengan jiwa.
29
Théodore Koehler SM (Marianist), “Slavery of Love”, dalam Handbook…, hlm. 1157-1167.
16
Kesan ini, harus dikaitkan dengan kenyataan bahwa St. Montfort juga ternyata berdoa
langsung kepada Kristus (BS 63-67, 266). Jadi, St. Montfort tidak memiliki gambaran yang
menakutkan tentang Yesus. Cukup kita menengok begitu banyak halaman yang
didedikasikannya untuk mendeskripsikan kelemah-lembutan Yesus 30 dalam Cinta
Kebijaksaan Abadi 118dst, sehingga tak ada satu hal pun pada Yesus yang menakutkan
(CKA 70).

D. Maria yang Isolatif dari Kristus?

Keempat, kesan lain lagi adalah bahwa St. Montfort mengajarkan agar segala sesuatu
harus dilakukan melalui Maria, dan kepengantaraan Maria di sini dipahami secara isolatif
dari Kristus. Peran pengantaraan Maria dilihat sebagai “langkah pertama “ menuju ke
persatuan dengan Kristus (bdk. BS 86, 258).

Kesan ini harus dikaitkan dengan kenyataan bahwa bagi St. Montfort, pengenalan dan
hormat bakti kepada Maria merupakan faktor derivatif(dikarang dari asli) dari pengenalan
dan iman akan Yesus Kristus, satu-satunya Pengantara. “Jika kamu ingin mengenal Maria,
Bunda; kenalilah Yesus Puteranya, sebab Maria merupakan Bunda Allah” (BS 12, bdk 49).
Dengan demikian, kepengantaraan Maria merupakan konsekuensi dari persatuan dengan
Kristus yang telah terlebih dahulu ada berkat pembaptisan. Kepengantaraan Maria ini
bertujuan bukan untuk memulai persatuan, melainkan untuk semakin memperteguh dan
memperdalam persatuan yang telah ada dengan Kristus.

Maka, kepengantaraan Bunda Maria bukanlah pengganti atau saingan bagi


kepengantaraan Kristus, tapi yang memfasilitasi semakin intensnya persatuan yang telah
ada dengan Kristus, sebab pengantaraan Bunda Maria menimba seluruh kekuatannya dari
kepengantaraan Kristus yang tunggal ini. Ajaran ini selaras dengan ajaran Konsili yang
mengatakan bahwa “peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak
menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru
menunjukkan kekuatannya” (LG 60).

Kalau ada pernyataan yang memunculkan kesan Maria dilihat secara isolatif, kesan itu
hanya dapat ditemukan kekeliruannya kalau seseorang sudah membaktikan diri kepada
Kristus lewat tangan Maria. Karena jika tindakan ini telah dihayati dengan sungguh-
sungguh, kehadiran Maria dialami sedemikian mesra dan dekat dalam hidupnya. Sehingga
pernyataan-pernyataan yang diutarakan setelah itu umumnya langsung berbicara kepada
dan tentang Maria, tanpa lagi mengaitkannya secara eksplisit dengan Kristus. Karena
Maria dan pengaruh bundawinya dialami dengan sangat intens. Namun hal itu sama sekali
tidak berarti bahwa Maria dimutlakkan dan Kristus dikecualikan. Tidak dikaitkannya Maria
secara eksplisit dengan Kristus tidak berarti bahwa posisi Kristus telah diambil-alih oleh
Maria, tapi malah sebaliknya, semakin menegaskannya lagi, karena kehadiran Maria yang
dekat ini hanya dimungkinkan oleh karena jasa Kristus dan persatuan tak terpisahkan
antara Maria denganNya.

Ya Roh Kudus, ingatlah melahirkan dan membentuk anak-


anak Allah dalam persatuan dengan Maria, mempelaiMU yang surgawi dan setia. Bersama
dia dan dalam dia Engakau telah membentuk Kepala Umat Terpilih, bersama dia dan
dalam dia Engkau harus membentuk anggota tubuhNYA. Didalam Ketuhanan Engaku tidak
membangkitkan pribadi Ilahi, namun diluar Ketuhanan hanya Engkau sendirilah yang

30
Bdk. P. Daviau, “Tenderness”, dalam Handbook… hlm. 1169-1176.
17
membentuk segala ppribadi yang diilahikan, semua orang kudus dari masa lampau, dari
masa kini sampai akhir zaman adalah karya kasihMU bersama Maria

(Doa yang Menggelora untuk memohon Misionaris-Misionaris, oleh St.Louis-Marie Grignion


de Montfort)

18

Anda mungkin juga menyukai