Tingkat/Jurusan : II-C/Teologi
I. Pendahuluan
Pada pertemuan yang lalu telah dibahasa mengenai misi pada masa Abad
Pertengahan. Dalam abad tersebut kegiatan misi dilakukan, tetapi dengan
kekerasan. Selain dengan kekerasan, para misionaris melakukan misi dengan cara
menguasai bidang politik sehingga masyarakat terpaksa menerima ajaran yang
diberikan. Dampaknya, misi yang dilakukan pada masa itu bukan mencerminkan
misi Allah, melainkan hanyalah sebuah upaya kristenisasi. Misi pada masa ini
bersifat kolonialisme.
Yang menjadi masalah pada masa ini, yaitu seluruh pengajaran dituntut
untuk dapat diterima dengan akal. Hal ini membuat masyarakat mulai
memberontak dan menolak ajaran-ajaran gerejawi. Untuk mengatasi masalah ini,
maka dari pihak gereja berusaha agar dapat menjelaskan ajarannya agar dapat
diterima dengan akal.
Pada masa krisis ini, muncul suatu paradigma yang baru dari Martin
Luther (1483-1800 M). Ia melihat abad pertengahan ada dalam suatu kebusukan,
baik secara teologis maupun moral. Ia berusaha untuk meluruskan kembali ajaran-
ajaran yang telah menyimpang dari Alkitab. Pada paper kali ini akan dibahas
mengenai “Apa dan Bagaimana Misi Reformator”.
II. Pembahasan
II.1. Pengertian Misi
Istilah misi (mission) berasal dari Bahasa Latin, yaitu dari kata ‘missio’
yang diangkat dari kata ‘mittere’ yang berkaitan dengan kata ‘missum’ yang
1
berarti ‘to send’ (mengirim atau mengutus). Dalam Kristen dipahami bahwa misi
adalah pengutusan, yang dilakukan oleh Allah sendiri melalui para hamba-
hambaNya. Hal yang paling penting ditekankan dari ‘misi atau pengutusan Allah’
adalah berbicara tentang Allah yang mengutus. Ia adalah sumber atau dapat
disebut sebagai inisiator, pelaksana dan penggenapan misi-Nya.1 Dalam gereja
istilah misi biasanya digunakan untuk karya khusus pewartaan dan penyebaran
iman Kristen. Misi memiliki tujuan untuk pengutusan para misionaris untuk
memperkenalkan dan menyebarkan iman Kristen kepada orang-orang yang belum
pernah mendengar tentang injil, yakni kepada orang-orang yang beragama lain
atau tidak beragama. Misi inilah yang dikatakan sebagai perwujudan komitmen
yang dalam terhadap kebenaran suatu pesan khusus yang ditafsirkan sebagai kabar
baik kepada semua orang.2
1
Yakob Tomala, Teologi Misi (Jakarta: Leadership Foundation, 2003),16.
2
Edmund Woga, Dasar-dasar Missiologia (Yogyakarta: Kanisius,2002), 14-15.
3
F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja (Jakarta: Gunung Mulia,2015),126.
4
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta:
Gunung Mulia,2006), 335.
2
II.3. Konteks Masa Reformasi
Untuk dapat melihat lebih jelas dan lebih dalam mengenai paham para
reformator terhadap misi, karena pembahasan ini juga tidak lepas dari sejarah
gereja maka perlu kiranya untuk melihat bagaimana latar di balik sejarah
berlangsungnya reformasi. Pada masa itu (hingga 1517) hanya ada satu gereja
yang dianggap sebagai gereja yang Am, yaitu gereja Katolik. Keselamatan
dipahami hanya ada di dalam gereja (Katolik). Semua orang hanya dapat masuk
ke surga bila ia menjadi warga gereja Katolik sebelum ajal mereka. Namun
Paradigma Katolik Roma tersebut mengalami sebuah krisis pada akhir abad
pertengahan, pada waktu kekuatan-kekuatan perubahan mengantarkan sebuah
zaman baru, zaman itulah yang disebut masa reformasi. Para reformator lebih
menekankan Teologi Paulus dalam Roma 1:16, disitu ‘Injil’ digambarkan sebagai
‘kekuatan Allah yang menyalamatkan setiap orang yang percaya’ dan lebih
khusus lagi dalam ayat berikutnya, Karena di situlah (yaitu di dalam injil),
kebenaran Allah dinyatakan dari iman kepada iman: seperti tertulis, orang benar
akan hidup oleh iman. Pada zaman Reformasi, pembenaran oleh iman menjadi
titik tolak teologi. Ada jarak tak terjembatani antara Allah dan manusia dan hanya
karena kasih Allah semata (sola gratia) Ia mengambil inisiatif mengampuni,
membenarkan dan menyelamatkan manusia (Roma 1:16).5 Dengan
mengedepankan pembenaran oleh iman, para reformator cenderung kurang
gigihdalam melakukan misi (seperti definisi misi yang dipahami teolog abad 19
yaitu mencari jiwa-jiwa yang terhilang). Martin Luther percaya bahwa tanpa
bantuan manusia Allah mampu membuat seseorang percaya kepada-Nya. Misi
merupakan misi Allah dan bukan misi manusia. Berbeda dengan dasar teks misi
gereja yang mula-mula (Yoh. 3:16) dan gereja pada abad pertengahan (Luk.
14:23), dasar teksmisi yang digunakan dalam gereja reformasi adalah Roma 1:16.
Pada masa Reformasi, kerjasama gereja dengan penguasa (negara) masih tetap
ada. Masyarakat di tiap-tiap wilayah mengikuti agama yang dominan wilayahnya
(katolik, protestan, ortodoks).6
5
David J, Bosch, Transformasi, 371-372.
6
I. Nyoman Enos, Penuntun Praktis Misiologi Modern (Bandung: Kalam Hidup, 2012), 59-60.
3
II.4. Pemikiran Reformator tentang Misi
Bagi Luther, iman adalah sesuatu yang hidup, gelisah yang tidak dapat tinggal
diam. Kita tidak diselamatkan oleh perbuatan-perbuatan, katanya, namun
ditambahkannya, “tetapi kalau tidak ada pekerjaan, tentu ada sesuatu yang salah
dengan iman tersebut”. Di tempat lain ia menulis bahwa bila seorang Kristen
mendapati dirinya berada di suatu tempat dimana tidak ada orang Kristen lain “ia
mempunyai kewajiban untuk memberitakan dan mengajarkan injil kepada orang-
orang kafir yang sesat atau orang-orang non Kristen karena itulah tugasnya
sebagai saudara meskipun, misalnya, tak seorangpun menyuruhnya melakukan hal
tersebut”. 7
Yang menjadi tekanan misioner dari teologi para reformator, sedikit sekali
yang terjadi dalam jangkauan misioner pada dua abad pertama setelah reformasi.
Jelas, ada halangan-halangan praktis dalam hal ini. Pertama-tama, kaum protestan
melihat tugas utama mereka adalah memperbaharui gereja pada zaman mereka.
Hal ini menghabiskan semua energi mereka. Kedua, kaum protestan tidak
mempunyai kontak langsung dengan orang-orang non-Kristen, sementara spanyol
dan Portugal, keduanya bangsa katolik, sudah mempunyai kekaisaran kolonial
yang luas pada waktu itu. satu-satunya orang-orang kafir di Eropa adalah orang-
orang Lapp dan mereka memang di injili oleh orang-orang Lutheran Swedia pada
abad ke-16. Ketiga, gereja-gereja reformasi terlibat dalam pertempuran semata-
mata untuk bertahan hanya setelah Perdamaian Westfalen (1648) mereka mampu
mengorganisasikan diri mereka dengan baik. Keempat, dengan meninggalkan
7
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, 380
4
monastisisme, para reformator telah kehilangan sebuah agen misi yang sangat
penting. Baru berabad-abad kemudian muncul sesuatu yang sama sekali masih
jauh dari kecakapan dan efektivitas Gerakan misi monastic di dalam
Protestanisme. Kelima, orang-orang Protestan itu sendiri tercabik-cabik oleh
pertikaian intern dana kehabisan tenaganya dalam semangat yang sia-sia dan
dalam perbedaan pendapat dan pertikaian yang tidak ada habis-habisnya, hanya
sedikit energi yang tersisa untuk berpaling kepada mereka yang berda di luar
kawanan Kristen.8
5
Hanya karena iman kita dibenarkan, bukan karena perbuatan-perbuatan
baik. Iman memperoleh janji Allah, mempersatukan dengan Yesus Kristus,
bahkan menggenapkan hukum (dalam hukum pertama dan Kesepuluh
Hukum). Perbuatan baik bukan cara untuk memperoleh jalan kepada
kebenaran, tetapi buah dari kebenaran dalam manusia adalah sama seperti
buah bagi pohon.9
2.4.2 Karya-karya Philip Melancton
Melanchton menerbitkan Pengakuan
iman Augsburg (1530).
Pengakuan Augsburg terdiri dari dua bagian yaitu: Pertama,
bagian ini memaparkan pandangan-pandangan Luther dalam 21
pasal. Ada yang tetap mengikuti ajaran Katolik tradisional
(misalnya mengenai Allah, dosa turunan, baptisan); yang lain jelas
bercorak Lutheran (misalnya mengenai pembenaran, perjamuan
kudus, perbuatan baik). Kedua, bagian ini terdiri dari 7 pasal,
membicarakan tentang kesewenang-wenangan yang telah diperbaik
dalam gereja-gereja Lutheran (misalnya larangan bagi kaum awam
untuk minum dari cawan dalam komuni atau larangan menikah
bagi kaum rohaniawan). Pada tahun 1540, Philip menerbitkan
Pengakuan Iman tersebut dalam edisi yang sudah ditinjau kembali.
Pada tahun 1580, tepat 50 tahun sesudah pembacaan pengakuan
iman Augsburg kepada kaisar, buku kebulatan tekad atau buku
konkordia diterbitkan. Isinya: ketiga kredopurba, pengakuan iman
Augsburg serta apologia oleh melanchton, pasal-pasal
Schmalkalden dari luther (1537), risalat melanchton tentang kuasa
dan keunggulan paus (1537, katekismus kecil dan besar dari luther
(kedua-duanya dan 1529) dan formula konkordia. 10
2.4.3 Karya-karya Marthin Bucer
Melanchton menerbitkan Pengakuan
iman Augsburg (1530).
Pengakuan Augsburg terdiri dari dua bagian yaitu: Pertama,
bagian ini memaparkan pandangan-pandangan Luther dalam 21
9
Tony Lane, Runtut pijar, 133-134
10
Ibid, 140
6
pasal. Ada yang tetap mengikuti ajaran Katolik tradisional
(misalnya mengenai Allah, dosa turunan, baptisan); yang lain jelas
bercorak Lutheran (misalnya mengenai pembenaran, perjamuan
kudus, perbuatan baik). Kedua, bagian ini terdiri dari 7 pasal,
membicarakan tentang kesewenang-wenangan yang telah diperbaik
dalam gereja-gereja Lutheran (misalnya larangan bagi kaum awam
untuk minum dari cawan dalam komuni atau larangan menikah
bagi kaum rohaniawan). Pada tahun 1540, Philip menerbitkan
Pengakuan Iman tersebut dalam edisi yang sudah ditinjau kembali.
Pada tahun 1580, tepat 50 tahun sesudah pembacaan pengakuan
iman Augsburg kepada kaisar, buku kebulatan tekad atau buku
konkordia diterbitkan. Isinya: ketiga kredopurba, pengakuan iman
Augsburg serta apologia oleh melanchton, pasal-pasal
Schmalkalden dari luther (1537), risalat melanchton tentang kuasa
dan keunggulan paus (1537, katekismus kecil dan besar dari luther
(kedua-duanya dan 1529) dan formula konkordia. 11
2.4.4 Karya-karya Yohanes Calvin
Pada tahun 1531-1532, Calvin
menyelesaikan buku pertamanya, yakni tentang karya Seneca De
Clementai dan diterbitkan pada tanggal 04 April 1532. Karya nya
tersebut diharapkan mendorong Francis I mempertimbangkan
kebijakan fleksibelitas dan kemurahan hati terhadap kaum
Protestan.
Pada tahun 1535, Calvin menyelesaikan tulisannya Institutes of
the Christian Religion yang diterbitkan pada tahun 1536. Tujuan
ditulis dana diterbitkannya buku tersebut adalah untuk memberikan
ikhtisar ajaran Kristen sekaligus memertahankan kebenaran ajarana
dan membela penganut-penganut Reformasi. Dan karya itu juga
dipersembahkan kepada raja Francis I, dengan harapan Raja
Francis akan mengambil sikap lunak kepada para penganut
reformasi.12
2.4.5 Karya-karya Ulirch Zwingy
11
Ibid, 140
12
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13360/4/D_762009003_BAB%20IV.pdf. Diakses
pada tanggal 24 Februari 2023, pukul 14.22 Wib.
7
Salah satu karya Zwingly yang pertama adalah Von Klarheit und
Gewissheit des Wortes Gottes (Kejelasan dan Kepastian Firman Allah), yang
diterbitkan tahun 1522. Di sini Zwingly mengajukan prinsip Protestan
mendasar tentang Alkitab yang mempunyai wewenang terakhir. Karena
Firman Allah adalah pasti.
Pada tahun 1525 Zwingly menulis bukunya Von dem Touff, vom
Widertouff und vom Kindertouff (Baptisan, Baptisan Ulang dan Baptisan
Anak). Dalam tulisan tersebut dia membela baptisan ana katas dasar bahwa itu
adalah tanda perjanajian, dan perjanjian meliputi seluruh keluarga bukan
hanya oknum-oknum tertentu.13
II.5. Hambatan Misi Reformasi
Kaum protestan melihat tugas utama mereka adalah memperbaharui gereja
pada zaman mereka. Hal ini menghabiskan semua energi mereka.
Kaum protestan tidak mempunyai kontak langsung dengan orang-orang
non-Kristen, sementara Spanyol dan Portugal, keduanya bangsa Katolik,
sudah mempunyain kekaisaran kolonial yang luas pada waktu itu. Satu-
satunya orang-orang kafir di Eropa adalah orang-orang Lapp, dan mereka
memang diinjili oleh orang-orang Lutheran Swedia pada abad ke-16.
Gereja-gereja Reformasi terlibat dalam pertempuran semata-mata untuk
bertahan, hanya setelah Perdamaian Westfalen (1648) mereka mampu
mengorganisasikan diri mereka dengan baik.
Dengan meninggalkan monastisisme, para Reformator telah kehilangan
sebuah agen misi yang sangat penting. Baru berabad-abad kemudian
muncul sesuatu yang sama sekali masih jauh dari kecakapan efektivitas
gerakan misi monastik di dalam prostestanisme.
Orang-orang Protestan itu sendiri tercabik-cabik oleh pertikaian intern dan
kehabisan tenaganya dalam semangat yang sia-sia dan dalam perbedaan
pendapat dan pertikaian yang tidak ada habis-habisnya, hanya sedikit
energi yang tersisa untuk berpaling kepada mereka yang berada di luar
kawanan Kristen.14
13
Tony Lane, Runtut pijar 144-146.
14
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah,
hlm. 381
8
II.6. Misi dan Reformator
II.6.1. Augustinus
II.6.1.1. Riwayat Singkat
Augustinus lahir di Tagaste, Aljazair, Afrika Utara, 13
November 354 M sebagai putra seorang ibu yang saleh yaitu
Monnica.16 Ayahnya bernama Patricius, seorang tuan tanah kecil
dan anggota dewan kota yang kurang taat beragama hingga
menjelang akhir hayatnya. Augustinus dididik dan dibesarkan
secara Kristen kendatipun karena adat istiadat yang berlaku pada
masa itu, ia tidak dibaptiskan ketika masih bayi. 17 Augustinus
memperoleh pendidikan dasar di Tagaste dansecara khusus
mempelajari bahasa Latin dan ilmu hitung. Ketika berusia sekitar
sebelas tahun, Augustinus dikirim ayahnya ke Milano untuk
menyelesaikan pendidikan dasarnya dan berhasil memperoleh
pengetahuan yang cukup mengagumkan dalam tata bahasa dan
sastra Latin. Pada tahun 370 M, Augustinus dikirim ke Chartago
15
David , Bosch, Transformasi, 378-379.
16
Adolf Heuken, Ensiklopedia Gereja Jilid I (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,1991),61
17
Arif Purnomo, Pemikiran Historis Augustinus Sebagai Jiwa Zaman Abad Pertengahan (Jurnal Paramitha No.
2 Th X Juli 2000),169.
9
untuk melanjutkan studinya dalam ilmu hukum sebagaimana yang
didambakan ayahnya. Akan tetapi ia lebih tertarik mempelajari
ilmu pidato (retorika) oleh karena pada masa itu kefasihan lidah
akan mempermudah seseorang untuk meraih jabatan yang tinggi.
Pada masa mudanya Augustinus hidup dengan gaya hedonistik. Di
Chartago ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan muda
yang selama lebih dari sepuluh tahun dijadikannya sebagai istri
gelapnya. Dari hubungan suami istri tanpa nikah itu Augustinus
memperoleh anak bernama Adeodatus.18 Pada saat Augustinus
berusia 19 tahun (373 M), setelah membaca buku Hartensius karya
Cicero yang berisi pujian dan pujaan terhadap filsafat, Augustinus
mulai tertarik pada filsafat khususnya ajaran Manicheisine. Dari
sinilah Augustinus kemudian menjadi pengikut Manicheisme yang
setia.19 Setelah kurang lebih 4 tahun menjadi pengikut
Manicheisme, Augustinus mulaimerasakan bahwa sebenarnya
karakter filsafat Manicheisme bersifat destruktif, karena
menurutnya sanggup merusak dan memusnahkan segala sesuatu
tetapi tidak sanggup membangun sesuatu apapun. Selain itu juga
moralitas para pengikut Manicheisme yang ternyata lebih buruk
dari dugaannya. Oleh sebab itu ia mulai meninggalkan ajaran
Manicheisme, untuk selama beberapa tahun ia menjadi orang yang
skeptis. Pada tahun 383 M, Augustinus meninggalkan Chartago
menuju Roma, kemudian pindah ke Milan dan diangkat menjadi
guru besar ilmu retorika. Di tempat ini ia berkenalan dengan ajaran
filsafat Plato dan Neo-Platonis sebelum masuk agama Kristen.
Dalam hidupnya ia banyak dipengaruhi oleh Ambrosius, seorang
jagoan retorika seperti Augustinus sendiri, namun lebih tua
danlebih berpengalaman. Akibat uskup Ambrosius, Augustinus
bertobat menjadi Kristen (386 M), mencari kesepian, mendirikan
biara dan pada tahun 396 M dipilih menjadi uskup kota Hippo
sebagai uskup, ia rajin memimpin keuskupannya, berkhotbah,
mengajar dan berdebat dengan penganut-penganut bidah
18
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum,2001),71.
19
Arif Purnomo, Pemikiran Historis 170.
10
(Manicheisme, Donatisme, Pelagianisme). Bagi kaum bidah,
Augustinus merupakan momok, ia menjadi pujangga dan Bapak
Gereja Latin yang terbesar.20
II.6.1.2. Misi dalam Perspektif Augustinus
Augustinus menunjukkan peran misiologisnya selama ia
menjabat sebagai uskup di kota Hippo. Ia adalah seorang yang
sangat jenius dan pemikirannya juga dipengaruhi oleh keadaan-
keadaan politik yang melingkupinya. Augustinus harus
menghadapi dua krisis besar, yaitu kaum Donatis di Afrika Utara
dan Pelagius, seorang biarawan Inggris.21
1. Pelagius
Pelagius adalah seorang rahib dari Inggris. Ia tidak mau
menerima bahwa seluruh keturunan Adam dihinggapi dosa dan
kesalahan akibat perbuatan manusia pertama itu. Menurutnya
manusia memiliki kehendak bebas, sehingga masih sanggup
berbuat baik di hadapan Allah. Kalau manusia berdosa, itu hanya
disebabkan oleh contoh-contoh buruk orang lain. Keselamatan
merupakan hasil dari kerja sama antara pribadi manusia dengan
anugerah Allah.22 Lewat pandangan ini Pelagius menunjukkan
bahwa ia tidak menganggap Kristus sebagai Juruselamat yang mati
untuk dosa-dosa manusia, tetapi hanya sebagai guru dan model dan
kita terpanggil untuk meneladani-Nya. Mengenai hal ini
Augustinus memberikan jawab dengan doktrin tentang dosa asal
dan predestinasi. Gambar Allah, yang dirusakkan oleh dosa dan
kelemahan manusia, tidak dapat dipulihkan melalui proses
pedagogis, melainkan memerlukan pengalaman pertobatan yang
radikal dan perjumpaan dengan kasih karunia Allah yang tidak
dapat ditolak di dalam Kristus.23 Augustinus adalah orang
pertamayang dengan serius mengambil ajaran Paulus tentang
pembenaran oleh iman.24
20
Adolf Heuken, Ensiklopedia, 61.
21
David J. Bosch, Transformasi, 335-336.
22
Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana : Sejarah Gereja Ringkas (Jakarta: Gunung Mulia 2016), 82.
23
Ibid, 82.
24
David J. Bosch, Transformasi, 336-337.
11
2. Donatis
Donatisme adalah bidat yang khususnya terdapat di Afrika.
Bidat ini telah muncul seusai penghambatan gereja oleh
Diocletianus yang disebabkan oleh tuduhan bahwa beberapa uskup
telah menyerahkan kitab-kitab suci. Menurut kaum Donatis, gereja
sejati hanya ada di mana terdapat pelayan yang tidak berdosa berat.
Karena itu gereja Katolik tidak dapat dipandang sebagai gereja
yang sejati.25 Pandangan ini menunjukkan adanya kontras yang
mutlak antara Injil Kristus dengan keduniawian gereja. Orang-
orang percaya tidak boleh punya hubungan apapun dengan dunia
dan dengan gereja yang membiarkan dirinya di cemari oleh dunia.26
Gereja sejati harus tetap menjaga diri agar tetap murni dan
sempurna. Bila hal ini tidak terjadi, maka dosa dari anggota-
anggotanya akan dapat mencemari dan menyebar seperti infeksi di
seluruh gereja. Augustinus dengan gigih menentang kaum Donatis.
Namun bukan berarti dengan ini Augustinus ingin menyetujui
bahwa gereja dan para pemegang jabatan bebas dari dosa, seperti
telah dituduhkan oleh kaum Donatis. Augustinus berpendapat
bahwa dalam gereja pastilah akan menemukan pemabuk, orang
kikir, penipu, penjudi, pezinah, yang hidupnya tidak senonoh,
orang-orang yang mengenakan jimat-jimat, sifat-sifat duniawi
lainnya. Augutinus menekankan bahwa gereja bukanlah tempat
perlindungan dari dunia, melainkan justru hadir demi dunia yang
sedang kesakitan27. Memang, hukuman disiplin atas orang yang
berkelakuan buruk harus ada. Tetapi hendaknya pelaksanaan
hukuman itu “jangan seperti pisau tukang bantai yang
menyembelih, tetapi seperti pisau ahli bedah yang
menyembuhkan”. Menurut Augustinus ada dua alasan lain lagi:
Kelompok Donatisme itu kurang memiliki dua ciri khas yang
25
Ibid, 339.
26
Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 81-82.
27
David J. Bosch, Transformasi, 340.
12
sejati: Aliran itu tidak bersifat Am (terbatas pada provinsi Afrika
saja), dan halnya demikian justru karena aliran itu tidak mengenal
kasih persaudaraan.28
Namun demikian, pendapat Augustinus ini memiliki sisi
negatif. Kewibawaan dan kekudusan dianggap melekat pada gereja
yang melembaga. Sehingga bagi mereka yang memutuskan diri
hubungan-hubungannya dengan gereja Katolik, turut pula
memutuskan hubungan dengan Allah29. Karena itu pula Augustinus
menyetujui adanya pemaksaan bagi orang-orang untuk masuk ke
kekristenan. Perintah cogite intrae (paksalah oranng-orang agar
masuk (lih. Luk. 14:23) diberlakukan kepada orang di luar gereja
(kaum Donatis) dengan pertolongan negara. Tindakan ini bukanlah
penganiayaan, melainkan hanya disciplina. Dengan cara
pelaksanaan disiplin ini kaum Donatis harus dikatolikkan kembali.
Dalam pada itu, pemberlakuan tekanan terhadap mereka bisa
dilakukan30.
3. De Civitate Dei (Kota Allah)
Setelah Theodosius Agung (395) wafat, orang Romawi tidak
berhasil lagi membendung bangsa-bangsa German di perbatasan
kekaisaran. Bangsa-bangsa itu membanjiri wilayah Romawi dan
pada tahun 410 kota Roma pun di rebut dan dijarahi oleh mereka.
Bagi kebanyakan orang peristiwa tersebutseakan-akan menandai
akhir dunia, paling tidak akhir dunia mereka, dunia kekaisaran
Romawi bersama dengankebudaayaannya. Agama Romawi
tradisional mempersalahkan orang-orang Kristen karenanya.
Augutinus menyanggah pandangan-pandangan tersebut dalam
karyanya De Civitate Dei (Kota Allah).31
Dalam karyanya, Augustinus menyebutkan di sana bahwa
manusia ia golongkan kepada dua kelompok. Kelompok yang
pertama adalah mereka yang hidup dengan standar-standar manusia
dan kelompok yang lain adalah mereka yang hidup menurut
28
Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 82.
29
David J. Bosch, Transformasi, 340.
30
Ibid, 342.
31
Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 82-83.
13
kehendak Allah. Kedua masyarakat ini hadir secara bersamaan dan
berdampingan. Civitas Dei berlangsung selamanya, namun tidak
akan pernah terwujud sepenuhnya dimuka bumi. Kota ini
merupakan persekutuan orang-orang kudus, sebagai umat yang
berziarah dalam perjalanan menuju rumah surgawi. Gagasan
tentang kota ini sebagaimana pemahaman Augustinus bukanlah
sesuatu yang empirik. Namun dalam abad-abad yang berikut,
gagasan tentang kota Allah ini praktis bercampur dengan gagasan
tentang Gereja Katolik Roma yang empirik. Augustinus
berpendapat bahwakota duniawi ini lebih rendah dibandingkan
dengan kota Allah. Namun pada praktiknya, Augustinus
mengkompromikan gereja kepada negara dan kekuasaan sekular.
Hal ini nampak dalam bagaimana upaya paksaan digunakan untuk
menghasilkan pertobatan bagi gereja Katolik32 dengan bantuan
pemerintah. Augustinus tidak memiliki kesulitan dalam
menerapkan tekanan dalam usaha-usahanya untuk mengkatolikkan
kembali kaum Donatis. Pelaksanaan tekanan ini baru berlaku pada
tahun 400. Augustinus meyakini jikalau penekanan ikut
memainkan peranan. Adalah baik untuk memberikan kesempatan
kepada seseorang untuk melepaskan diri dari penghukuman kekal
dan karena hal ini pelaksanaan tekanan merupakan sesuatu yang
baik. Penekanan hanya boleh dilakukan sebatas denda, penyitaan
harga milik, pengasingan dan yang sejenisnya membunuh dan
tindakan yang membuat cacat sama sekali tidak boleh.33
II.6.2. Martin Luther
II.6.2.1. Riwayat Singkat
32
David J. Bosch, Transformasi, 344-347.
33
Ibid, 347
14
menurut “jalan modern” yang diajarkan oleh murid-murid
Gabriel.34 Dua tahun kemudian dia di tahbiskan menjadi imam
(1507). Dengan cepat juga dia menjadi seorang yang terkemuka
dalam ordonya. Dua tahun kemudian dia mencapai gelar “doktor
dalam kitab suci” dan diangkat menjadi seorang guru besar dalam
ilmu teologi padaUniversitas Wittenberg.35 Di universitas
Wittenberg, Luther mulai menguliahkan tafsiran kitab Mazmur,
kemudian surat Roma, Galatia dan surat Ibrani. Sementara itu
pergumulan rohaninya terus berjalan yaitu mencari kerajaan Allah
yang rahmani. Barangkali pada tahun 1514 Luther menemukan
jalan keluar dari pergumulannya itu. Ia menemukan pengertian
yang baru tentang perkataan-perkataan Paulus dalam (Roma1:16-
17). Luther mengartikan kebenaran Allah, yang menerima orang-
orang yang berdosa serta berputus asa terhadap dirinya, tetapi
menolak orang-orang yang menganggap dirinya baik. Kebenaran
Allah adalah sikap Allah terhadap orang-orang berdosa dan dari
sebab itu TuhanAllah mengenakan kebenaran Kristus kepada
manusia berdosa dan dari sebab itu Tuhan Allah memandang
manusia berdosa sebagai orang-orang benar. Penemuan Luther ini
tidak menjadi titik meletusnya gerakan reformasi Luther. Titik
meletusnya gerakan reformasi Luther adalah masalah penjualan
Surat Indulgensia (penghapusan siksa) pada masa pemerintahan
Paus Leo X untuk pembangunan gedung Gereja Rasul Petrus di
Roma dan pelunasan utang Uskup Agung Albrecht dari Mainz.
Luther tak dapat menerima praktik seperti itu dengan berdiam diri
saja. Hatinya memberontak. Itulah sebabnya ia maju mengundang
para intelektual Jerman untuk mengadakan perdebatan teologis
mengenai Surat Indulgensia. Demi maksud itu Luther merumuskan
95 dalilnya dan ditempelkan di depan pintu gerbang gereja Istana
Wittenberg, 31 Oktober 1517. Tanggal ini oleh gereja-gereja
reformatoris diperingati sebagai hari reformasi.36
34
Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: Gunung Mulia,2016), 132.
35
Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 154.
36
F.D Wellem, Riwayat, 126.
15
II.6.2.2. Misi dalam Perspektif Martin Luther
37
David J. Bosch, Transformasi, 379-380.
16
tersebut.38 Luther memisahkan diri dengan gagasan apapun yang
menggunakan kekeraasan untuk mengkristenkan orang. Dalam
pandangan Luther bahwa pedang kaisar tidak ada hubungannya
dengan iman dan tidak ada satu pasukan pun yang boleh
menyerang orang lain dengan panji-panji Kristus. Malah Luther
berpendapat, jika memang Paus adalah wakil Kristus di dunia ini,
maka ia akan memberitakan Injil kepada orang-orang Turki dan
bukan dengan menghasut para penguasa sekular untuk melakukan
kekerasan terhadap mereka.39
38
Ibid, 380.
39
Ibid, 380.
17
Sorga) tetapi dalam Roh Kudus40 Tujuan reformasi Calvin adalah
bahwa kebenaran Ilahi harus di cari dalam Alkitab bukan ajaran
gereja dan bahwa keselamatan tergantung semata-mata dari Allah
serta Kristus, bukan dari pelayanan gereja (sakramen).41
18
pemerintah (dewan kota). Sehingga hubungan gereja dan negara
sangat erat. Calvin mencita-citakan adanya suatu negara dengan
konsep teokrasi (pemerintahan Allah). Seluruh kehidupan harus
diaturkan bersamaan dengan kehendak Allah45. Pemerintah diberi
tugas untuk mendukung serta melindungi penyembahan Allah yang
lahiriah, mempertahankan ajaran yang sehat tentang ibadah dan
kedudukan gereja, mengatur kehidupan pergaulan masyarakat,
membentuk kesusilaan agar sesuai dengan yang ditetapkan oleh
undang-undang supaya keikhlasan dan sopan satun dijunjung tinggi
dan menjadikan masyarakat agar rukun dan memelihara damai
serta ketenteraman umum.46
19
menurut uskup soal itu adalah urusan paus atau konsili 48. Namun ia
tetap melakukan dan berfokus pada pengajaran kitab suci. Padahari
pertama tahun 1519, Zwingli menjadi pastor pada gereja utamadi
Zurich. Setibanya di sana, ia mengumumkan bahwa ia akan
berkhotbah dari Injil Matius dan bukan dari teks yang sudah
ditentukan. Ia berpegang dalam menyiarkan Injil dan Kitab Suci
sesuai dengan kemampuannya.49 Bagi Zwingli, kitab suci
menyangkut terutama dengan hukum Allah, dengan suatu
kumpulan aturan untuk tingkah laku, dengan tuntutan-tuntutan
yang dibuat oleh Allah yang Maha kuasa untuk umat-Nya50. Bagi
Zwingli siapa yang percaya kepada Injil akan diselamatkan. Hanya
Allah sendiri yang mengampuni dosa melalui Yesus Kristus.
Semuanya adalah pemeliharaan Allah dan campur tangan ilahi 51.
Kristus adalah kepala gereja yang kelihatan danyang tidak
kelihatan. Ia juga menekankan bahwa firman Allah yang terdapat
dalam kitab suci, terutama Perjanjian Baru adalah satu-satunya
petunjuk bagi iman dan praktik kekristenan52.
III. Kesimpulan
48
Ibid,200
49
A. Kenneth Curtis, J Stepen Lang dan Randy Petersen, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 78.
50
Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 157
51
Ibid,159.
52
F.D. Wellem, Riwayat, 200-201.
20
Allah inilah yang termaktub didalam kitab Injil. Karena itu harus kembali kepada
Alkitab. Di Alkitab akan kitatemukan bahwa Misi itu adalah karya Allah sesuai
dengan kacamata reformator. Allahlah yang berkarya untuk menyelamatkan umat-
Nya. Itulah titik tolak misi dalam perspektif para reformator
Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana : Sejarah Gereja Ringkas
(Jakarta: Gunung Mulia 2016).
Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: Gunung Mulia,2016).
Yakob Tomala, Teologi Misi (Jakarta: Leadership Foundation, 2003).
21
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13360/4/D_762009003_BAB
%20IV.pdf. Diakses pada tanggal 24 Februari 2023, pukul 14.22 Wib.
22