DOSEN:
PDT. DR. LINDA P. RATAG, M.TH, MAICS
KELOMPOK 4 :
FEMMY FERRA LUMEMBOW
INTAN N. N. NGONGOLOY
FAKULTAS TEOLOGI
PROGRAM STUDI S2
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
YAYASAN DS. A. Z. R. WENAS
2022
PEMBAHASAN
1. Masa Gereja Awal & Abad Pertengahan
1.1 Masa Gereja Awal (Pelayanan Pastoral sebagai Perjuangan Melawan Dosa)
Bagi orang Kristen pada masa gereja awal, “pelayanan pastoral” dihayati sebagai
pelayanan perjuangan melawan dosa. Dosa sering kali dilihat sebagai sebuah
‘penyakit’, dan oleh karena itu tugas pelayan pastoral (dalam hal ini uskup), sering
digambarkan sebagai seorang ‘dokter’ atau ‘tabib.1
1.2 Abad Pertengahan (Pelayanan Pastoral Sebagai Pengakuan Dosa)
Gereja Abad Pertengahan (abad 5-15M): Lebih dari satu millenium pelayanan
pastoral sangat berhubungan dengan pengakuan dosa yang diadakan di gereja, yaitu
dalam rangka pelayanan sakramen pengakuan dosa bagi umat. Sejak tahun 1215, pada
konsili Lateran ke-4, diputuskan, bahwa setiap umat memiliki kewajiban untuk
secara teratur mengaku dosa. Tiga bagian dari pengakuan dosa adalah contritio
cordis (pengakuan hati), confessio oris (pengakuan mulut) dan satisfactio operis
(pengampunan, bahwa setiap kesalahan yang telah diakui tersebut ditebus oleh
pengakuan itu sendiri). Adapun tahapan praktek pengakuan dosa ini yaitu; pengakuan dan
penyesalan, kembali menjadi baik, dan formulasi pernyataan pengampunan oleh seorang
imam.
3
Hommes, 106.
4
Agus Santoso, Bobby Putrawan, “Pelayanan Pastoral: Perspektif para Reformator”. Kontekstualita:Jurnal
Sosial Keagamaan. Vol, 36 No, 1. (2021), 9.
1) Pelayanan pastoral bukanlah karya atau pekerjaan manusia, melainkan Allah-lah
yang berkarya. Oleh karena itu, pelayanan pastoral merupakan pelayanan yang
didasarkan atas perintah Allah.
2) Melalui teologinya simul iustus et peccator, bahwa manusia adalah orang yang
dibenarkan sekaligus orang yang masih dapat hidup dalam dosa, maka pelayan
pastoral bertugas untuk mendampingi manusia yang simul iustus et peccator.
3) Oleh Luther, pelayanan pastoral dideklerikalisasi. Semula tugas klerus dalam
tugas pelayanan sakramen pengakuan dosa sangat penting. Namun bagi Luther, di
dalam persekutuan Kristen, setiap umat dapat mengambil bagian dalam pelayanan
pastoral, di dalam menghibur dan menguatkan. Untuk itulah, bagi Luther, pelayanan
pastoral merupakan pelayanan “penghiburan” dari setiap umat, misalnya ketika
terdapat anggota jemaat yang sakit, sedih, depresi, dan sebagainya. Ajaran ini disebut
dengan sanctorum communio (imamat setiap orang percaya). Luther dan para tokoh
reformasi menegaskan, hal ini tidak bermaksud menolak peranan para pendeta karena
mereka tetap melaksanakan fungsi khusus mereka, sebagaimana yang dilakukan Luther
mempraktekkannya dengan percakapan pastoral, khotbah, dan juga surat-surat.5
5
J. William Black, “From Martin Bucer to Richard Baxter: ‘Discipline’ and Reformation in Sixteenth
and Seventeenth-Century England”, Church His-tory, 70, 4 (2001), 644-673.
menjaga orang-orang Kristen yang kuat dan mapan, dan mendesak mereka kearah segala
sesuatu yang baik”.6
2.3 Calvin
Pelayanan pastoral juga mendapatkan penekanan dari Johannes Calvin. Secara
sistematis Calvin membuat tata aturan empat pejabat gerejawi: 1) pastor yang
melayani dalam bidang khotbah dan pelayanan pastoral; 2) doktor yang melayani
dalam bidang katekisasi atau pengajaran gereja; 7 3) presbiter yang melayani dalam
bidang disiplin gereja dalam arti correptio fraterna; dan 4) diakon yang melayani
dalam bidang perawatan orang miskin. 8 Empat pejabat gerejawi tersebut janganlah
dilihat sebagai hirarki (sebagaimana dalam Katolik Roma), melainkan keempatnya
membentuk pelayanan presbiterian.
3. Abad 18 mulai digunakan Istilah Teologi Pastoral
Penggunaan istilah "Teologi Pastoral" dalam protestanisme baru muncul pada
pertengahan abad ke-18. Bahkan, Teologi Pastoral belum diakui sebagai suatu disiplin
ilmu, teologi pastoral baru muncul pada tahun 1830 melalui buku yang ditulis oleh Klaus
Harms di Jerman, sementara di Amerika sendiri baru muncul pada tahun 1847. Pada
masa-masa awal ini, Teologi Pastoral dimaknai sebagai upaya penerapan teologi ke
dalam praktik. Sebenarnya, ide-ide mengenai Teologi Pastoral sendiri sudah muncul
sejak sebelumnya. Sebagaimana sebelumnya dihubungkan dengan istilah seelsorge
(penyembuhan dan pemeliharaan jiwa-jiwa) walaupun sebenarnya keduanya tidak
identik.
Pada abad ke-17, Richard Baxter menulis sebuah buku untuk para pendeta dengan
judul "The Reformed Pastor" (Gembala yang diperhabarui) yang menganjurkan sistem
pelayanan ke rumah-rumah jemaat. Dalam buku ini, ia mengkritisi perasaan tanggung
jawab yang dimiliki oleh seorang pendeta kepada jemaatnya. Ia menuntut adanya
persiapan yang serius dari para pendeta sebelum melakukan pelayanan penggembalaan.
Walaupun demikian, ia tidak memandang penting teori dan berpendapat bahwa
kemampuan praktis untuk melihat bermacam-macam kebutuhan lebih penting.9
6
Hommes, 109.
7
Yohanes Calvin, In-stitutio: Pengajaran Agama Kristen, Sumber-Sumber Sejarah Gereja 1, ( Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1985), 182.
8
Timothy George,“Theology of the Reformers”, (Nashville: Broadman, 1988), 235-249.
9
Hommes, 109-110.
menilai penting pelayanan pastoral tetapi mereka merasa harus mempertentangkannya
dengan teologi ketika mereka melakukannya.
Mendekati awal abad ke-19, buku-buku mengenai petunjuk praktis untuk pendeta
mulai bermunculan dan menekankan hal-hal seperti kebijaksanaan, pengetahuan,
kesalehan, doa, dan penyangkalan diri dalam diri pendeta. Selain itu, seorang pendeta
juga dituntut untuk sering mengunjungi jemaatnya.
Studi Teologi Pastoral, muncul di Jerman pada abad ke-19, dan baru disusun
secara sistematis oleh Inggris dan Amerika sekitar tahun 1873 dengan mengembangkan
Teologi Praktika, sebuah bagian studi Teologi yang dipandang Friedrich Schleiermacher
sebagai bidang studi yang lebih luas dibandingkan Teologi Pastoral.10
Bagi Friedrich Scleiermacher, teologi pastoral dalam sudut pandangmya termasuk
dalam ruang lingkup praktika. Dalam salah satu karyanya ia mengatakan bahwa teologi
tanpa pelayanan terhadap jemaat akan kehilangan karakter teologisnya dan oleh karena
itu teologi secara keseluruhan bersifat pastoral. Pelayanan pastoral juga tidak terbatas
pada jemaat suatu gereja saja, tetapi juga kepada individu-individu yang belum menjadi
anggota jemaat. Baginya, teologi pastoral adalal memerhatikan kesejahteraan orang-
orang dan juga penataan gereja.11 Selain Scleiermacher, juga hadir berbagai pandangan
para tokoh mengenai cakupan teologi pastoral, antara lain :
- W. G. T Shedd dari Auburn dan Union Theological Seminaries, memandang teologi
pastoral sebagai studi atas perkunjungan, pengajaran, kehidupan pribadi, doa dan akal
budi dari pendeta.
- Van Oosterzee yang memandang Teologi pastoral sebagai studi Poimenika, yaitu
sebagai teori pelayanan pastoral.
- F.B Koster membagi ilmu pastoral menjadi 4 bagian yaitu : Liturgia, seelsorge,
Homiletika dan kateketik.
- Alexander Vinet. Baginya, teologi praktika berurusan dengan segala macam kegiatan
yang dilakukan oleh pastor kecuali khotbah dan katekese.
- Di Amerika Serikat, hasil karya Teologi Pastoral sistematis pertama kali di buat oleh
Enoch Pond dimana baginya, teologi pastoral berhubungan dengan relasi yang lebih
dekat antara pendeta dan jemaatnya.
- Washington Gladden menulis tentang “gereja yang melayani”. Baginya, merupakan
tugas pendeta untuk mencarikan pekerjaan pelayanan bagi jemaahnya. Menciptakan
Kerjasama baik dalam mengajar, melayani dan menyelamatkan baik pria, wanita maupun
anak anak.12
6. Perelevansian
Apa yang dapat kita pelajari dari periode Reformasi, dan juga dari sebelum
waktu itu, yang secara bermakna terkait dengan konteks kita saat ini? penting untuk
disadari bahwa pelayanan pastoral di era reformasi memerlukan lebih dari
sekedar keterampilan berkhotbah dan tugas-tugas administrasi atau disiplin. Itu
mencakup pengetahuan yang mendalam tentang Tuhan, yang dipupuk oleh
pertemuan pribadi dengan Tuhan.
Selain itu, efektivitas pelayanan pastoral juga bergantung pada pengetahuan
yang mendalam tentang orang lain dan diri mereka sendiri sebagai pengasuh. Sejalan
dengan ini, pelatihan teologis seharusnya lebih dari sekadar pembelajaran hafalan ide-
ide teologis akademis. Persemaian untuk pelayanan penggembalaan yang berbuah
dimulai di seminari dan pusat pelatihan, dengan fokus pada pembinaan pengasuh pastoral
yang matang secara rohani dan emosional. Para pelayanan pastoral yang sepenuhnya
sadar akan luka mereka sendiri, memang bisa menjadi penyembuh yang terluka
serta mewujudkan kenyamanan Tuhan. Jadi, identitas pastoral yang jelas diperlukan,
agar tidak 'kelelahan' dalam pelayanan, tetapi untuk perkembangannya.16
DAFTAR PUSTAKA
15
A.C. Campbell, “Rediscovering Pastoral Care” (London: Darton, Longman and Todd, 1986).
16
Campbell, 16.
Black, J. William, “From Martin Bucer to Richard Baxter: ‘Discipline’ and
Reformation in Sixteenth and Seventeenth-Century England”, Church History, Vol, 4, No,70
(2001).
Campbell, A.C. “Rediscovering Pastoral Care” .London: Darton, Longman and Todd,
1986.
Dames, Gordon E. “The Dilemma of Traditional and 21st Century Pastoral Ministry:
Ministering to Families and Communities Faced with Socio-Eco-nomic Pathologies”, HTS
Teologiese Studies/Theological Studies, Vol 66, No. 2, (2009).