Anda di halaman 1dari 49

BAB II

GEREJA, FEMINISME, JENDER DAN TEORI KEPEMIMPINAN

Dewasa ini, aktifitas dan fungsi perempuan di dalam gereja sering didiskusikan.

Diskusi ini seringkali mempertanyakan: apakah aktifitas, fungsi dan peranan perempuan

di dalam gereja itu harus atau tidak harus dijalankan dan bagaimanakah hubungannya

dalam pelaksanaan di tengah gereja: apakah mengambil bagian atau tidak? Jika aktifitas

dan fungsi perempuan itu mengambil bagian dalam pelaksanaannya, dimanakah posisi

dan peran perempuan dalam nisbah laki-laki dan perempuan di tengah Gereja? Pada

bab ini akan dibahas mengenai Gereja, Feminisme, Jender dan Teori Kepemimpinan.

Karena pembahasan tentang seputar kepemimpinan begitu luas, penulis membatasinya

dan hanya membahas tentang Kepemimpinan yang melayani.

A. Gereja

1. Pengertian Gereja

Kata gereja berasal dari kata Portugis ‘igreja’ yang berkaitan dengan kata iglesia

(Spayol) serta ecclesia (Latin) sampai ke ekklesia (Yunani). Kata ‘ekklesia’ (Yunani)

sendiri berarti sidang, perkumpulan, perhimpunan, paguyuban pada umumnya (seperti

di kampung, di kota atau negara). 20

20
B.S. Mardiatmaja SJ, Ekklesiologi Makna dan Sejarahnya, Yogjakarta, Kanisius, 1986, 51-53.

12
Pengertian gereja digambarkan secara simbolik, mistis dan figuratif oleh rasul

Paulus. Menurut Paulus,21 gereja adalah tubuh Kristus dimana setiap orang percaya

adalah anggota tubuh, sementara Kristus sendiri adalah kepala tubuh ((1 Korintus

12:12-27, Efesus 4:15, Kolose 1:18). Dengan demikian, masih menurut Paulus, gereja

sebagai persekutuan orang percaya adalah keluarga Allah – familia Dei, yang dibangun di

atas pengorbanan Kristus, sehingga di atas dasar itu pula gereja bertumbuh, rapih

tersusun di dalam Roh (Efesus 2: 2 1– 22 band. 1 Korintus 3:1).22 Itu berarti pengertian

dan pemahaman tentang gereja (eklesiologi) tidak lepas dari pemahaman kristologi dan

pneumatologi yang pada akhirnya bertujuan untuk keselamatan manusia (soteorologi).

Pengertian gereja juga dikemukakan oleh Berkhof. Menurutnya gereja berarti

‘jemaat yang dipanggil keluar’ dari dunia untuk menjadi milik Tuhan.23 Gereja ada oleh

sebab Yesus memanggil orang menjadi pengiringNya, mereka dipanggil dalam

persekutuan dengan Dia. Jadi wujud gereja ialah pertama-tama, persekutuan dengan

Kristus. Akan tetapi persekutuan dengan Kristus selalu berarti pula persekutuan dengan

manusia lain. Persekutuan itu dapat dirasakan dalam Perjamuan Kudus, karena di

sanalah jemaat dapat merasakan pertaliannya dengan Kristus dan perhubungannya satu

sama lain seerat-eratnya.

21
Jurgen Moltmann, The Church In The Power of The Spirit, London, SCM Press Ltd, 1977, 67. Moltman sepertinya
sepakat dengan Rasul Paulus memahami gereja sebagai tubuh Kristus. Menurut Moltman, Gereja adalah tubuh
Kristus, rumah Tuhan, umat Tuhan, persekutuan orang-orang kudus, yang secara langsung mengedepankan
pribadi Yesus dan sejarahNya dengan cara bergantung kepada Kristus.
22
Ibid.
23
H. Berkhof & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1988, 376.

13
Selanjutnya, Marthin Luther24 mendefinisikan bahwa Gereja tidak lain dari

persekutuan orang-orang percaya dalam Kristus dan ajaranNya. Gereja suci selama Injil

diajarkan dan sakramen dengan benar dipergunakan. Dalam hal pelaksanaan Gereja

bukanlah dibatasi oleh hukum-hukum dan kemegahan luarbiasa, dalam waktu, tempat

dan juga oleh orang-orang. Dalam Gereja diproklamasikan Injil sebagai konstitusi

kebenaran Gereja bukan paus dan para bishop. Allah sendirilah yang memerintah dalam

Gereja yang menjadi pimpinan, berbicara, bertindak dan yang dimuliakan.

Selanjutnya kata ekklesia yang kemudian menjadi Gereja dipergunakan untuk

menamai kelompok orang percaya kepada Kristus tersebut. Kelompok tersebut adalah

semua orang yang dibaptis, apakah Yahudi atau Yunani, tidak ada hamba atau orang

merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan karena semua adalah satu di dalam Kristus

Yesus (Galatia 3: 28).

Dalam pemahaman Spong pernyataan Paulus dalam Galatia 3:28 tersebut

menetapkan revolusi bahasa (gereja Galatia dan Gereja-gereja lainnya), bahwa di dalam

Yesus tidak ada laki-laki atau tidak ada perempuan. Hal ini berarti (hubungan laki-laki

dan perempuan) tidak ada superirotas dan inferioritas.25 Spong menambahkan bahwa

Paulus memberikan ledakan yang kuat bagi realitas dunia yang baru dengan pengalaman

bersama Yesus. Paulus mengusulkan pengalaman bersama Yesus adalah visi, realitas

bahwa pemulihan kekuasaan anti-perempuan dengan cara menghancurkannya.26 Itu

berarti relasi bersama Yesus melahirkan kemanusiaan baru bahwa setiap aturan kuno

24
William A. Mueller, Church and State in Luther and Calvin, Nashville, Broadman Press, 1954, 6.
25
John Shelby Spong, The Sin of Scripture, San Franscisco, HarperSan Franscisco, 2006, 103.
26
Ibid.

14
dan juga penghalang ajaran agama kuno sedang disisihkan. Sesesuatu yang baru telah

lahir, kesadaran baru sedang dibentuk.

Di samping pengertian gereja sebagai persekutuan (fungsi komunitas: sebagai

suatu keluarga dimana anggota-anggotanya terikat seperti saudara – pendeta

berfungsi sebagai bapak dari keluarga besar yang mewakili Yesus Kristus yang menjadi

kepala Gereja), gereja juga dianggap sebagai sebuah lembaga. Hal ini dinyatakan

Marthin Luther bahwa gereja sebagai suatu yang lahir dan tercipta oleh Firman Allah.

Keseluruhan hidup dan aspek-aspek alamiah Gereja berada pada firman Allah. Orang-

orang percaya yang mendengar dan mengalami Firman Allah adalah disebut Gereja.27

Menurut Martin Luther, hanya ada dua elemen yang memberi definisi kepada

Gereja yaitu jemaat orang-orang percaya (domba yang mendengar) dan Firman Tuhan

(suara dari gembala mereka).28 Dengan kata lain Luther tetap memelihara bahwa Gereja

adalah suatu institusi (tidak dipelihara dan dibangun manusia dan tradisi-tradisi tetapi

oleh Injil).

Meskipun Martin Luther melihat gereja sebagai suatu institusi yang tidak

dipelihara dan dibangun oleh manusia dan tradisi, namun tidak dapat disangkal bahwa

gereja juga adalah sebuah institusi. Menurut Anne Hommes29 bahwa Gereja berfungsi

sebagai lembaga dalam masyarakat yaitu suatu organisasi, di dalamnya ada peraturan,

serta nilai kebudayaan yang sudah diinstitusionalisasikan atau sudah dilembagakan.

Lembaga Gereja berarti himpunan dari sistem kepercayaan, iman dan perikelakuan yang

27
Heinrich Bornkam, Luther’s Worls of Thought, St. Louis, Concordia Publishing House, 1958, 137.
28
Walter Altmann, A Luther and Liberation, Minneapolis, Fortress Press, 1987, 60-61.
29
Anne Hommes, Perubahan Peran Pria..., 124-127.

15
berhubungan dengan hal yang bersifat kudus yang telah diatur melalui suatu organsisasi

hirarkhis. Akibatnya gereja bersifat stabil atau konservatif dan sangat jarang menantang

struktur masyarakat sehingga Gereja yang pada hakikatnya berfungsi sebagai

stabilisator dalam masyarakat, tidak dapat mempertahankan nilai-nilai, norma-norma

yang berlaku berdasarkan Alkitab.

Berbicara lembaga gereja berarti berbicara mengenai tata gereja. Kedua hal

tersebut tidak dapat dipisahkan. Dalam tata Gereja HKBP, kepemimpinan dan

pemeliharaannya dilakukan melalui tiga macam jabatan yaitu pendeta, guru jemaat,

bibelvrouw, diakones, evangelis dan penatua. Keenamnya bersama-sama dalam suatu

badan yang disebut dengan Majelis Gereja. Merekalah yang memiliki otoritas dalam

pemerintahan Gereja memberikan jalur serta wadah kegiatan-kegiatan Gereja dan

tanggungjawab anggota jemaat dibatasi pada keterlibatan saja. Menjadi pertanyaan

siapa yang memegang jabatan Majelis ini? Ternyata ada ketidakseimbangan dalam

memainkan otoritas di dalam Gereja. Meskipun kaum perempuan merupakan

mayoritas dalam jemaat, persentase pejabat perempuan sangat kecil.

Dalam penjelasan lebih lanjut Anna Hommes mengutip pandangan Ferdinand

Tonnies, seorang ahli sosiologi, melihat perbedaan Gereja sebagai lembaga dengan

gereja sebagai persekutuan. Menurutnya, Gereja sebagai lembaga disebutkan sebagai

Gesellschaft dan sebagai keluarga/persekutuan, Gemeinschaft.30

a. Gesellschaft memiliki ciri-ciri bahwa ikatan lahir dimana anggota-anggota

bertalian dengan kontrak (sidi dalam Gereja). Gesellschaft terbentuk sebagai

30
Anne Homes, Perubahan Peran Pria..., 125

16
suatu organisasi, suatu mesin dengan macam-macam onderdil, dimana

peranan, fungsi serta prestasi lebih penting daripada orang yang

melaksanakannya, baik laki-laki atau perempuan. Demikian juga dengan

organisasi Gereja, tidak perduli namanya pak A atau ibu B, yang dibutuhkan

adalah kecakapannya.

Jadi sangat jelas, kalau mau menduduki jabatan-jabatan Gereja, mereka (laki-

laki atau perempuan) harus mampu memenuhi syarat tugas tersebut dengan

keahlian tertentu.

b. Gemeinschaft terbentuk sebagai organ tubuh, bukan sesuatu yang mekanis

tetapi hidup. Ciri-cirinya adalah ikatan batin di mana anggota-anggota

bertalian secara intim dengan rasa cinta. Hubungan timbal balik diantara

anggota-anggota tubuh lebih penting daripada hasil karya mereka. Tentunya

organ tubuh ini mempunyai kepala yang dalam sistem patriarkhat adalah

seorang laki-laki. Dalam organ yang hidup kepala tetap kepala dan tidak

dapat diganti dengan jantung. Dengan kata lain, bapak tetap kepala dan ibu

tetap hati dari tubuh atau keluarga Gereja. Hal ini tentunya berbeda dengan

model Gereja sebagai lembaga dimana onderdil-onderdilnya dapat diganti,

dalam arti baik laki-laki ataupun perempuan dapat berfungsi sebagai

onderdil bermutu.

Seiring dengan itu juga Gereja berfungsi sebagai sosialisasi bahwa baik dalam keluarga

maupun dalam Gereja, anak belajar nilai serta norma bukan dari banyaknya nasehat yang

17
diterima dari orangtuanya atau guru sekolah minggu, tetapi dari teladan yang diberikan melalui

sikap dan tingkah laku mereka.

Dengan demikian sikap dan tingkah laku religius orangtua dan kisah-kisah Alkitab yang

menyampaikan dasar iman Kristen serta peraturan yang berlaku. Dari keduanya dapat dilihat

bahwa pembagian kerja menurut jenis kelamin tidak hanya di rumah tetapi juga dalam

Gereja.31 Dapat dikatakan betapa kehidupan bergereja dan juga kisah-kisah Alkitab dapat

memengaruhi sosialisasi dalam masyarakat.

Dengan berbagai uraian definisi gereja (baik sebagai persekutuan maupun sebagai

lembaga) melahirkan berbagai kesadaran yang baru dalam hidup menggereja. Hal ini telah

menghantam pemahaman Gereja yang sudah berkembang cukup lama. Kesadaran akan relasi

antara laki-laki dan perempuan diawali dengan permulaan hubungan dalam Alkitab

sebagaimana ditemukan di dalam:

1.1. Perjanjian Lama (PL)

Dalam cerita penciptaan menurut Kejadian 1 dan 2 terutama dalam penciptaan laki-laki

dan perempuan ditemukan cara yang berbeda.

a. Manusia sebagai Gambar Allah Kejadian 1

Dalam Kejadian 1: 26 dinyatakan “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut

gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan

burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan segala

binatang melata yang merayap di bumi.” Pernyataan ini secara tiba-tiba

membuat perbedaan antara manusia dan ciptaan lainnya. Manusia telah

31 Anne Hommes, Perubahan Peran Pria ..., 126.

18
diciptakan dari sebuah keputusan khusus dari Pencipta – mari Kita membuat

manusia – diciptakan dengan relasi khusus dengan Tuhan – dalam gambar Kita

dan rupa Kita – dan telah memberikan tugas khusus – membiarkan mereka

berkuasa.

Ayat 27 yang merupakan kesimpulan dari situasi: “lalu Tuhan menciptakan

manusia dalam gambarNya, dalam gambar Tuhan, Dia ciptakan dia, laki-laki dan

perempuan Dia ciptakan mereka”. Kejadian 1 telah memberitahu kita perbedaan

antara seksual telah ada lebih awal, diwariskan dalam ide manusia, penciptaan

umat manusia sebagai laki-laki dan perempuan merupakan bagian integral dari

keputusan Tuhan menciptakan manusia.

Manusia sebagai gambar Allah dipahami pertama, ketika gambar dilihat

dalam umat manusia secara keseluruhan, itu berarti totalitas manusia

dibutuhkan untuk mengungkapkan gambar Allah tersebut. Gambar Allah hanya

dapat dilihat secara bersama dalam laki-laki dan perempuan dan setiap relasi

diantara keduanya.32

Menurut Mary J Evans,33 ada dua keputusan komplementer dapat

digambarkan, pertama bahwa ide manusia ditemukan penuh makna tidak hanya

dalam laki-laki sendiri, tetapi dalam laki-laki dan perempuan. Kedua, kepribadian

manusia harus diekpresikan juga dalam bentuk laki-laki atau perempuan.

Seorang manusia dalam bentuk laki-laki atau bentuk perempuan.

32
Mary J. Evans, Women in the Bible, Illinois, Intervarsity Press, 1984, 12.
33
Ibid, 13.

19
Dengan demikian tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam

penciptaan mereka sebagai gambar Tuhan juga untuk berkuasa atas seluruh

bumi. Tidak ada petunjuk subordinasi satu jenis kelamin kepada yang lain dapat

ditemukan dalam cerita penciptaan tersebut.

Selanjutnya dalam ayat 28 sama sekali tidak mengecualikan atau membatasi

bagian perempuan sebagai manusia. Umat manusia adalah secara tiba-tiba

diciptakan sebagai dua jenis kelamin dan dipercayakan sebagai tuan yang bebas

atas ciptaan yang lainnya. Hal itu menempatkan bahwa tanggungjawab ada

pada pundak keduanya laki-laki dan perempuan.

Dapat disimpulkan Kejadian 1 memberikan informasi kepada kita, tidak ada

alasan memikirkan bahwa perempuan berpartisipasi dalam gambar Allah dengan

cara yang berbeda dari laki-laki.

b. Manusia sebagai gambar Allah dalam Kejadian 2

Ada 4 pendapat yang digunakan untuk menyatakan bahwa Kejadian 2

mengajarkan subordinasi perempuan oleh laki-laki dan juga dominasi laki-laki

terhadap perempuan sebagaimana dalam tata cara penciptaan yaitu:34

a. Perempuan diciptakan setelah laki-laki, oleh karena itu orang kedua kepada

laki-laki.

Jika tenggang waktu dalam penciptaan menjadi superioritas sehingga siapa

yang diciptakan terlebih dulu menjadi superior, ini berarti bahwa binatang

lebih berkuasa atas manusia dalam Kejadian 1 sehingga dalam Kejadian 2

34
Mary J. Evans, Women in..., 14 – 16.

20
laki-laki adalah lebih berkuasa kepada perempuan. Tidak ada indikasi dalam

Kejadian 2 waktu adalah prioritas, melainkan lebih cocok dengan lingkaran

berpikir Ibrani, di mana pusat perhatian tiap unit kelihatan dari awal dan

akhir. Dengan demikian dua mahluk dilihat sebagai paralel, urutan tidak

meremehkan yang satu.35

b. Perempuan diambil dari laki-laki, oleh karena itu orang kedua kepada laki-

laki.

Laki-laki dengan sendirinya adalah manusia utuh, perempuan yang

diambil dari rusuk laki-laki sehingga semua eksistensi perempuan untuk laki-

laki, perempuan yang ditambahkan kepada laki-laki, yang tidak memberi arti

bagi alam laki-laki. Bagaimanapun, bagian dari fakta ini, dapat dilihat sebagai

indikasi bahwa tanpa perempuan laki-laki sendiri tidak lengkap, penekanan

seluruhnya dalam ayat-ayat selanjutnya dalam Kejadian 2 bukan pada

perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetapi pada keterkaitan mereka.

Titik penekanan bahwa seluruh umat manusia berasal dari satu pencipta

yang menetapkan keduanya menjadi kesatuan kemanusiaan mutlak, dan

substansi asli keduanya, laki-laki dan perempuan.

Perempuan yang diciptakan dari rusuk laki-laki, tetapi penting untuk

dicatat bahwa hal itu adalah tindakan kreatif langsung dari Tuhan dalam

membangun tulang rusuk untuk memberi perempuan itu keberadaannya.

Seperti laki-laki, perempuan berutang hidupnya semata-mata kepada Tuhan.

35
Mary J. Evans, Women in ..., 15.

21
Bagi keduanya, laki-laki dan perempuan, keaslian hidup mereka adalah

misteri ilahi.36

Jadi dapat dikatakan bahwa hal itu bukan argumen yang kuat untuk

subordinasi. Adalah salah mengatakan bahwa perempuan berutang seluruh

eksistensinya kepada laki-laki, sama halnya akan menjadi salah juga

mengatakan bahwa laki-laki berutang seluruh eksistensinya kepada debu dan

karena itu bawahan untuk itu. Keduanya laki-laki dan perempuan

digambarkan ciptaan langsung oleh tindakan dan tujuan dari Pencipta.

c. Perempuan diberi nama oleh laki-laki, oleh karena itu bawahan laki-laki.

Penamaan perempuan dalam Perjanjian Lama menyiratkan kekuasaan

dengan penerapan berkuasa atasnya. Kata perempuan tidak pernah

digunakan sebagai nama diri, itu hanya kata benda umum yang menunjuk

jenis kelamin. Hal itu sama saja ketika binatang-binatang dibawa kepada

Adam untuk diberi nama (Kejadian 2: 19).

d. Perempuan diciptakan menjadi “penolong” bagi laki-laki dengan demikian

bawahan bagi laki-laki.

Kata penolong bisa diartikan menunjukkan keunggulan dan dia layak

serta cocok bagi yang menyertainya. Dapat dikatakan bahwa penggunaan

kata penolong itu sendiri tidak dapat dipahami sebagai inferioritas atau

subordinasi. Penolong cocok untuk laki-laki adalah rekannya, pelengkapnya,

mitranya, temannya, tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya.

36
Mary J. Evans, Women in...,15

22
Tentunya tidak ada dalam Kejadian 2 yang akan mengarahkan kita untuk

mengasumsikan bahwa perempuan sebagai gambar Tuhan dalam cara yang

berbeda atau lebih rendah dari laki-laki.

Keduanya, Kejadian 1 dan 2 menunjukkan bahwa manusia sebagai

keseluruhan terdiri dari dua bagian, laki-laki dan perempuan. Masing-masing

dilihat sebagai individu yang komplit, tetapi apa yang ditekankan di sini

bukan individualitas mereka atau perbedaan antara mereka, tetapi kesatuan

dan kenyataan bahwa mereka tak terpisahkan terikat secara bersama-sama.

Mereka lebih mengajarkan bahwa kehidupan manusia dalam setiap bidang

dapat sepenuhnya hidup hanya sebagai laki-laki dan perempuan yang

bekerjasama.

c. Kejatuhan manusia (Kejadian 3)

Dalam Kejadian 3 kita mempunyai gambar yang sangat jelas dari cara dimana

relasi antara laki-laki dan perempuan dininabobokan dosa. Kejadian 3

menunjukkan terganggunya hubungan manusia dengan Penciptanya. Hal ini

bukan hanya hubungan seperti itu yang dihancurkan, tetapi lebih menuju kepada

kesempurnaan. Laki-laki dan perempuan masih saling melengkapi tetapi tidak

lagi sempurna.

1.2. Perjanjian Baru (PB)

a. Dalam Markus 14: 3 – 9 ketika Tuhan Yesus makan di rumah Simon si kusta, ia diurapi

oleh seorang perempuan dengan minyak narwastu murni. Perempuan itu

mengganggu makan malam tersebut dengan mencurahkan minyak dari atas kepala

23
sampai ke kaki Tuhan Yesus. Tindakannya itu merupakan kekerasan dalam budaya

patriarkhal Yahudi dan setiap norma patriarkal,37 sehingga laki-laki di pesta mengutuk

perilakunya. Menurut Markus, hal itu adalah tindakan revolusioner. Ia

menggambarkan Tuhan Yesus menegur penyiksanya dan menegaskan haknya untuk

hadir, tindakannya dan motivasinya. Menurut Tuhan Yesus, perempuan itu telah

melakukan sesuatu yang indah.

b. Cerita tentang Maria dan Marta (Lukas 10: 38 – 42), mengungkapkan Tuhan Yesus dan

murid-muridNya diterima di rumah Marta. Marta memiliki saudara perempuan

bernama Maria yang duduk dekat kaki Tuhan Yesus dan terus mendengarkan

perkataanNya sedang Marta sibuk melayani. Maria menggambarkan perempuan

seorang pelajar, murid bahkan murid seorang rabbi. Menurut Spong,38 cukup jelas

bahwa peran itu dilarang dalam keseharian dan budaya mereka. Tuhan Yesus

menegaskan Maria dalam perannya itu bagaimanapun Marta menolaknya. Bahkan

Marta meminta Tuhan Yesus menyuruh Maria meninggalkan peran murid dan

menerima peran domestik membantu Marta mempersiapkan makan malam.

Tuhan Yesus mendukung Maria dan membela kesadaran-membangkitkan aksi

melalui penetapan bahwa Maria telah memilih sebuah pilihan yang lebih tinggi. Dia

menegaskan sebuah ide revolusi, perempuan berpendidikan menjadi terpelajar.

c.Pandangan Paulus dalam Galatia 3:28.

37
Letty M. Russel dan J.Shannon Clarkson ed, Dictionary of Feminist Theologies, Kentucky, Westminster Jhon Knox
Press, 1996, 205 :Patriarki berarti aturan bapak, mengarah kepada sistim hukum, hubungan ekonomi dan sosial
politik yang memvalidasi dan menegakkan kedaulatan laki-laki sebagai kepala dari keluarga yang menguasai semua
orang dalam rumah tangga.
38
Jhon Shelby Spong, The Sin..., 106.

24
Paulus menegaskan bahwa, dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau Yunani,

tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki, atau perempuan, karena

kamu semua adalah satu di dalam Yesus Kristus. Pernyataan Paulus ini merupakan

perlawanan terhadap seluruh pernyataan dalam budaya Yahudi dan Gereja pada

masa itu bahwa tidak ada perbedaan dalam Tuhan Yesus sebaliknya kesetaraan.

2. Peran Perempuan dalam Gereja

Pembahasan tentang perempuan dalam Gereja tentulah tidak terlepas dengan

peranannya. Peran yang dimaksud di sini bukan saja peran aktif kaum perempuan dalam

kegiatan gereja, dalam Penelaahan Alkitab (PA) perempuan, dalam Sekolah Minggu

tetapi dalam kepemimpinan dan dalam mengambil keputusan yang berkenan dengan

kehidupan dan kegiatan Gereja. Untuk itu, kita perlu menelusuri ajaran Gereja

mengenai peran laki-laki dan perempuan. Dalam penelusuran ajaran gereja tersebut -

menurut Anne Homes,39 ada tiga sumber pokok yaitu Alkitab, pengaruh Gereja Zending

yang telah mengkristenkan daerah tertentu di Indonesia dan kebudayaan setempat.

Alkitab (ditulis dalam latarbelakang bangsa Israel) dipengaruhi oleh sistim

patriarkhal yang terdapat dalam agama Yudaisme dan juga pengaruh kebudayaan

Yunani, khususnya aliran Gnostik. Dalam PL terdapat tekanan antara dinamika Allah

yang membebaskan umatnya dan memandang kaum laki-laki dan perempuan sederajat,

tetapi tidak dapat dipungkiri daya tarik sistem patriarkhal yang berbau diskriminasi jenis

kelamin sangat kuat. Demikian juga halnya dengan aspek dualisme (aliran filosofis yang

39
Anne Hommes, Perubahan Peran ..., 127.

25
menggambarkan kesuburan perempuan dengan kesuburan alam) yang dimanfaatkan

laki-laki untuk kehidupannya.40

Akibatnya Gereja mengalami pertentangan di antara ajaran Kristen (dalam hal ini

Alkitab) dan lingkungan Yunani mengasimilasi unsur dualisme dalam teologianya dan

menomorduakan kaum perempuan. Pembagian kerja menurut jenis kelamin dalam

Gereja berakar dalam sistim patriarkhal maupun dalam pikiran dualisme sehingga

enggan menerima perempuan sebagai pemimpin atau pendeta jemaat.41

Pemahaman Gereja sedemikian dibawa bersama para missionaris Gereja-gereja

zending ke Indonesia dan mengkristen suku-suku. Struktur dan tata Gereja serta liturgi

dan tradisi dari Gereja induk langsung ditanam dalam lapangan misi. Kontekstualisasi

masa kini diperhatikan namun pembagian tugas menurut jenis kelamin yang juga

diwariskan masih tetap bertahan.

Hal itu terjadi sebab adanya pengaruh yang ketiga yaitu adat istiadat setempat yang

juga merupakan daya tarik yang kuat membentuk keadaan Gereja.42 Orang Indonesia

dibesarkan dalam tradisi dan kebudayaan sukunya yang mempunyai bahasa dan adat-

istiadat yang khas. Kebudayaan masing-masing suku mempengaruhi kedudukan dan

peranan perempuan dan laki-laki.

Dalam lingkungan tradisional fungsi utama dari laki-laki mencari nafkah dan

perempuan menjadi isteri dan ibu yang memelihara kesejahteraan. Identitas dan ciri

kaum perempuan diperoleh dari kaum laki-laki, perempuan menjadi anak orangtuanya,

40
Anne Homes, Perubahan Peran..., 129.
41
Ibid, 130.
42
Ibid.

26
isteri suaminya, ibu dari anak-anaknya. Karena itu isteri pendeta berfungsi sebagai

pendeta kecil yang memimpin komisi perempuan, PA dan paduan suara dan sering

diminta berdoa tanpa mempersoalkan bakat dari isteri tersebut.

Tentu menjadi pertanyaan mengapa pengaruh kebudayaan atas Gereja sangat kuat?

Ada dua alasan mengapa hal tersebut terjadi menurut Anne Homes43 yaitu: alasan

pertama, orang Kristen di Indonesia merupakan generasi pertama, yang telah dewasa

yang sudah matang dan terbentuk. Otomatis sikap mereka terhadap peranan

perempuan dan laki-laki berakar dalam kebudayaan serta adat dan akar ini sangat dalam

dan telah berkarat seiring dengan umur mereka.

Alasan kedua adalah sistim klasifikasi di mana atau denominasi-denominasi

ditentukan secara geografis atau sebagai Gereja suku, misalnya GKJ, GKPM, GPKB, HKBP,

GKPS dan gereja-gereja suku yang lainnya. Tentunya ikatan adat istiadat dan Gereja

kuat. Gereja mencerminkan norma dan nilai masyarakat di sekitarnya. Sebagai contoh

dalam adat Batak posisi perempuan dan laki-laki belum sama sehingga mas kawin sering

diartikan seolah-olah perempuan dibeli dan menjadi milik marga suaminya. Faktor

budaya Batak juga menghalangi seorang perempuan yang ingin diakui sebagai

pendeta.44

Di samping itu, kita semua tahu bahwa yang paling banyak dan rajin ke Gereja

adalah kaum perempuan dan yang paling aktif melakukan pekerjaan sosial juga kaum

perempuan. Akan tetapi kedudukan perempuan dalam kepengurusan atau

43
Anne Homes, Perubahan Peran ..., 131
44
Ibid.

27
kepemimpinan Gereja sangat minim. Menurut Hetty Siregar,45 hal itu disebabkan

Gereja-gereja sudah terbiasa dengan tradisi (bahwa laki-laki sebagai pemimpin) dan juga

tidak mengenal tradisi yang lain. Sementara itu kaum perempuan diikutsertakan

bilamana diperlukan. Ini berarti penekanan yang lebih bersifat praktis ketimbang

prinsip.

Dapat dikatakan bahwa partisipasi perempuan dalam Gereja tidak hanya dihambat

oleh rintangan teologis dan budaya tetapi juga praktis. Menurut gambaran stereotipe

perempuan bersifat lemah, emosional, kurang logis, tanpa otoritas untuk memimpin.

Menurut kodratnya perempuan berperan di rumah, melayani suaminya dan anak-

anaknya. Kesibukan dalam rumah tangga membuatnya kurang sempat mengembangkan

potensinya di luar alam domestik.

Disamping itu suami dan orang di sekitarnya tidak membiarkannya untuk mengejar

pendidikan lanjutan atau suatu profesi. Kalaupun dia melakukan itu akan dipersalahkan

mengabaikan kesejahteraan keluarganya. Bahkan orang-orang yang mempekerjakan

perempuan menikah mengeluh dirugikan karena masa cuti menstruasi dan hamil.

Perempuan yang berkarier, termasuk pendeta perempuan dan pejabat perempuan di

kantor sinode dan Gereja sering dinilai lain dan kurang mendapat pujian.46 Contoh Pak S

sering bicara dalam rapat dan mengajukan gagasan yang kreatif. Dia dinilai sebagai

seorang pemimpin yang baik. Sebaliknya, Ibu D yang juga pandai berbicara, dianggap

seorang kasar yang suka menonjol. Dengan penilaian yang penuh prasangka ini

45
Hetty Siregar, Menuju Dunia Baru, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001, 48.
46
Anne Homes, Perubahan Peran Pria..., 132.

28
mengakibatkan, kaum perempuan mengalami hambatan yang berakar kuat dalam

masyarakat dan Gereja.

Situasi itu sangat jelas dipantau oleh Tim Evaluasi Dekade DGD (Dewan Gereja

Dunia) pada tahun 1994 bahwa, Gereja ternyata ketinggalan dibandingkan dengan

masyarakat luas yang telah banyak memberikan peluang bagi perempuan berkarier

bahkan menjadi Presiden. Di Gereja masih saja terdengar kurangnya persamaan

persepsi tentang perempuan sebagai mitra Allah.47 Alkitab sebagai dasar Gereja

tentunya memiliki andil yang cukup dalam memahami peran perempuan dalam

kepemimpinan Gereja sebagaimana dapat dicatat.

Dalam persekutuan Kekeristenan mula-mula, penerimaan kepemimpinan

perempuan adalah kehancuran sebuah perubahan dalam peran perempuan dari tradisi

Yahudi. Dalam PL peran perempuan sebagai imam ditolak. Perempuan telah diterima

sebagai nabi-nabi yang berbicara untuk Allah, dalam peran dasar mereka sebagai ibu

(II Raja 22: 14 – 20; Joel 2: 28). Dalam bait Allah dan kemudian di sinagoge perempuan

tidak diperbolehkan memimpin ibadah dan mengajarkan Kitab Suci.48

Dalam Perjanjian Baru struktur patriarkhi dipatahkan secara radikal melalui perintah

baru kebebasan bagi setiap perempuan yang diterima Yesus sebagai pengikutNya

menjadi murid yang setara. Mereka termasuk didalam jemaat mula-mula dan juga

menjadi pemimpin-pemimpin lokal dan dalam perjalanan pemberitaan. Pada periode

Perjanjian Baru dicatat bahwa ada dua perbedaan kontras yang dikembangkan

mengenai peran perempuan. Kolose, Efesus dan surat Pastoral membatasi peran

47
Stephen Sulaiman dan Bendalina Souk, Berikanlah Aku Air Hidup Itu, Jakarta, Persetia, 1995, 49.
48
Letty M. Russel, Church in The Round, Kentucky, Westminister/Jhon Knox Press, 1993, 60.

29
pengajaran perempuan, ketika di saat yang sama Markus dan Yohanes menempatkan

perempuan dalam level setara dengan laki-laki sebagai saksi Kristus (Yohanes 4: 1 – 42; I

Timoteus 2:11 – 15).49

Pembicaraan tentang perempuan sebagai imam-imam dalam PB tidak dicatat sebab

model pelayanan dan kepemimpinan tidak ada pada masa itu. Keimaman yang rajani

diberikan kepada semua anggota, yang hidup melalui anugerah Allah, yang telah

menerima baptisan dalam kematian Kristus (I Petrus 2: 9). Baptisan sebagai tanda

panggilan Kristus untuk melayani bagi keduanya laki-laki dan perempuan.50

Martin Luther51 berpendapat mengenai hal yang sama bahwa semua orang Kristen

tanpa terkecuali benar-benar dan sungguh-sungguh termasuk golongan rohaniawan,

dan tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali pekerjaan mereka yang berlainan dan

semuanya sungguh-sungguh imam. Pemahaman ini juga peluang bagi perempuan

diterima sebagai pemimpin dalam masyarakat dan Gereja, sebab posisi kepemimpinan

diberikan kepada semua untuk melayani Allah dan sesama.

3. Kemitraan laki-laki dan perempuan

Kata koinonia (partnership) dan kata yang berhubungan koinonos (partner) dan

koinoneo (berpartisipasi) berasal dari akar kata koinos (bersama). Kata ini sering muncul

dalam surat-surat Paulus yang senantiasa berhubungan langsung dengan

49
Letty M. Russel, Church in ..., 61.
50
Ibid.
51
Th. Van den End, Harta dalam Bejana, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 1987, 176.

30
keberagamaan. Kata itu mengandung arti partisipasi orang-orang percaya dalam Kristus,

dalam berkat Kristus, dan dalam persekutuan Kristen.52

Menurut Russel,53 kemitraan dapat berlangsung ketika ada relasi baru dalam

sejarah hubungan dengan Yesus Kristus yang membebaskan kita kepada yang lainnya

dimana terdapat komitmen berkelanjutan dan perjuangan bersama dalam interaksi

dengan konteks komunitas yang lebih luas.

Selanjutnya dijelaskan bahwa kemitraan berkembang dalam pertumbuhan relasi

ketergantungan dalam Tuhan, antar pribadi-pribadi, dan dengan ciptaan lain sehingga

seluruhnya secara konstan berinteraksi dengan komunitas pribadi-pribadi, struktur

sosial, nilai-nilai dan keyakinan yang lebih luas akan saling mendukung dan

mengoreksi.54

Lebih lanjut dikemukakan, bagi perempuan Kristen pengalaman kebebasan baru

mengarahkan tanggungjawab baru. Roh kebebasan itu membawa serta perempuan

untuk bertindak dalam pelayanan dan melayani kepada dunia yang sedang

mengerang.55 Itu berarti perempuan dibebaskan untuk melayani kepada yang lain.

Intervensi Allah dalam sejarah manusia merupakan pencapaian pesan kemitraan

perempuan dan laki-laki sehingga pada gilirannya mereka dapat belajar bagaimana

untuk hidup sebagai mitra dengan yang lain.

52
F. Hauck, “Koinos” Theological Dictionary of New Testament, Vol. III, Westminster B. Eerdmans Publishing Co,
1964 – 1976, 804 – 809.
53
Letty M. Russel, Growth in Partnership, Philadelphia, The Westminister Press, 1981, 28.
54
Ibid, 29.
55
Letty M. Russel, Human Liberation in a Feminist Perspective a Theology, Philadelphia, The Westminster Press,
1977, 30.

31
Dengan tegas Russel menjelaskan bahwa melayani (diakonia) adalah bentuk yang

penting dalam gereja dan dunia saat ini dikarenakan: 56

a. Pengharapan baru dari kebebasan dan implikasi sosialnya yang telah

memengaruhi hati dan pikiran banyak orang.

b. Tuntutan lainnya bahwa mereka menemukan pengalaman kebebasan

sendiri dan melepaskan belenggu ketergantungan.

c. Tegak jatuhnya kredibilitas Gereja terletak pada responnya terhadap dunia

yang sedang mengerang.

Oleh karena itu ada 3 jenis diakonia yang dapat dilakukan dalam pelayanan

Gereja dan dunia yaitu:57

1. Diakonia Kuratif adalah pemulihan luka-luka orang-orang yang menjadi

korban kehidupan, menyediakan obat bagi orang sakit, kelaparan dan

tunawisma.

2. Diakonia Preventif yang mencoba untuk membatasi perkembangan yang

dapat mengakibatkan pembatasan kebebasan penuh kehidupan, bekerja

melalui aksi sosial menyediakan pusat training kejuruan, program

perlindungan korban narkoba, dll.

3. Diakonia Prospektif yang mencoba untuk membuka situasi untuk realisasi

kehidupan masa depan, menolong semua orang yang terbuang dari budaya

dominan dan masyarakat untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat dan

atau untuk membentuk kembali masyarakat baru.

56
Letty M. Russel, Human Liberation..., 31.
57
Ibid, 32.

32
Dari uraian di atas dapat disimpulkan Gereja adalah persekutuan orang percaya

kepada Yesus Kristus yang dipanggil ke luar untuk memberitakan Kabar Baik bagi semua

ciptaan. Kabar Baik yang dimaksud adalah keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.

Namun kenyataannya peran perempuan dalam Gereja menghadapi hambatan karena

adanya rintangan yang disebabkan pandangan teologis dan budaya serta hal praktis

sebagaimana disebutkan di atas yang mengakar kuat dalam Gereja dan bukan tidak

mungkin hal itu juga yang membatasi perempuan sebagai pemimpin Gereja.

Gereja adalah pelaku keadilan sehingga pemahaman-pemahaman yang

berkembang tentang posisi perempuan sebagai warga kelas dua, sudah selayaknyalah

ditinjau kembali dengan pemahaman bahwa manusia, laki-laki dan perempuan adalah

gambar Allah dan di dalam Kristus kita adalah satu.

Kepemimpinan Gereja menjadi tanggungjawab bersama karena semua orang

adalah imam sebagaimana dipahami dalam I Petrus 2: 9. Imamat am orang percaya

memberikan pemahaman bahwa siapa saja, baik laki-laki atau perempuan memiliki

tanggungjawab yang sama karena itulah dia disebut dan boleh menjadi pemimpin.

Untuk itulah perempuan dan laki-laki terpanggil secara bersama-sama dan bekerjasama

dalam Gereja mewujudkan kesetaraan dan keadilan sehingga keduanya memiliki posisi

yang setara.

B. Teori Feminisme dan Jender

1. Feminisme

Kita tahu bahwa orang zaman dahulu menganggap derajat perempuan rendah.

Sebagaimana dikutip oleh John Stott, Plato menganggap nasib malang yang menimpa

33
laki-laki kalau dia berinkarnasi sebagai perempuan. Sedangkan Aristoteles menganggap

perempuan sebagai ‘jenis pria yang tidak lengkap’. Ia menuliskan “ betina adalah jantan

yang tidak sempurna, yang secara tidak sengaja dilahirkan demikian akibat kekurangan

si ayah atau akibat pengaruh jahat angin selatan yang lembab’.58

Hal yang sama juga ditemukan dalam doa pagi orang Yahudi, seorang pria Yahudi

setiap pagi mengucap syukur bahwa Allah tidak menciptakan dia “sebagai seorang kafir,

budak atau seorang wanita”.59 Dalam sejarah doktrin, perempuan selalu disalahkan dan

membawa kepada pencobaan dan mengarahkan suku ke dalam dosa asali. Dalam

hukum Yahudi seorang perempuan bukan suatu pribadi, melainkan suatu benda. Ia tidak

mempunyai suatu hak legalpun, ia milik mutlak suaminya, yang boleh diperlakukannya

sesuka hatinya.60 Dalam faktanya perempuan adalah ciptaan kedua, di luar Adam dan

hal tersebut dipakai sebagai bukti memperlakukan perempuan dibawah laki-laki. Juga

dalam pikiran banyak perempuan tidak hanya berbeda dari laki-laki, perempuan adalah

subordinasi bahkan dianggap iblis. 61

Sejarah penindasan terhadap kaum perempuan sudah berlangsung begitu lama

dan tersebar merata sehingga terasa bahwa sudah tiba saatnya masyarakat yang

didominasi kaum perempuan harus mengoreksi diri. Gerakan feminisme mendapat

momentum, khususnya pada tahuan 60-an bertujuan membebaskan baik laki-laki

maupun perempuan dari dominasi kaum laki-laki dan mengangkat pandangan serta

58
John Stott, Isu-Isu Global, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1994, 334.
59
Letty M. Russel, Ed, Feminist Interpretation of the Bible, Philadephia, West minster Press, 1973, 22-23.
60
Letty M. Russel, Ed, Feminist..., 35.
61
Ibid.

34
nilai kaum perempuan ke dalam kesadaran masyarakat agar berkembang suatu

hubungan baru berdasarkan kesamaan tingkat.62

Feminisme memperjuangkan suatu cara berpikir yang terbuka dan inklusif. Oleh

karena itu feminisme merupakan suatu sikap dan keyakinan yang dapat dianut oleh

kaum laki-laki juga. Pada dasarnya teori feminisme tidak bersifat tunggal, namun ada

banyak alirannya. Meskipun gerakan feminisme berasal dari analisis dan ideologi yang

berbeda tetapi mempunyai kesamaan tujuan yaitu kepedulian memperjuangkan nasib

perempuan. Ada tiga aliran feminisme yang disebut dalam bagian ini yaitu:

a. Aliran Feminisme Liberal

Aliran Feminisme Liberal memahami bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada

rasionalitas. Mereka tidak memperlihatkan struktur dan sistem sebagai pokok

persoalan tetapi dalam penekanan dalam diri perempuan itu sendiri. Oleh karena itu

mereka mengusulkan dengan cara mempersiapkan perempuan agar bisa bersaing

dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas.63

Teori Feminisme Liberal bermaksud membebaskan perempuan dari penindasan

berdasar jenis kelamin. Untuk itu dianjurkan baik laki-laki maupun perempuan

mengembangkan sifat androgini, yakni dengan mengembangkan karakter maskulin

dan feminim dalam dirinya masing-masing.64 Pemberian hak kepada individu

merupakan prioritas tertinggi agar tercipta kesempatan yang lebih adil antara laki-

62
Maria Claire Barth-Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 2003, 9.
63
Mansour Fakih, Analisis Gender, Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2010, 80 -83.
64
Dien Sumiyatiningsih, Ringkasan Disertasi Kepemimpinan Pendidikan dalam Perspektif Jender, Semarang UNS,
Program Pasca Sarjana, 2010, 25.

35
laki dan perempuan. Agenda yang diperjuangkan adalah di bidang pendidikan,

politik , kesehatan dan kerja.

b. Aliran Feminisme Radikal

Aliran Feminisme Radikal menganggap penyebab penindasan terhadap

perempuan berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi

patriarkhinya. Peran tubuh dan seksualitas bagi teori ini mempunyai tempat yang

sangat penting. Bagi mereka, patriarkhi adalah dasar dari ideologi penindasan yang

merupakan sistem hirarkhi seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior atas

tubuh pribadi perempuan.65

Dari sini tumbuh sistim patriarkhi (yaitu bapa atau laki-laki) yang berkuasa. Itu

berarti berbagai penindasan sistim patriarkhi yang terjadi dalam ruang pribadi/ranah

privat, juga merupakan penindasan di bidang publik. Oleh karena itu mereka

mengusulkan untuk menuju kepada kesetaraan jender adalah jika ada pengadopsian

pemahaman androgini, menolak kontrol atas tubuh, melakukan penyadaran serta

edukasi tentang konsep patriarkhi dan dampaknya.66

c. Aliran Feminis Sosialis

Feminisme Sosialis dikenal thn 1970-an, aliran ini memahami bahwa penindasan

perempuan terjadi di kelas manapun bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta

merta menaikkan posisi perempuan. Feminis Sosialis berpendapat ketidakberhasilan

memasukkan perempuan ke dalam masyarakat revolusi di Uni Soviet, Cina dan Kuba

65
Mansour Fakih, Analisis Gender ..., 84-85.
66
Dien Sumiyatiningsih, Ringkasan Disertasi..., 14.

36
membuktikan bahwa revolusi sosialis tidak dengan serta merta membebaskan

perempuan.67

Menurut Feminisme Sosialis, ketidakadilan bukan akibat dari perbedaan biologis

laki-laki – perempuan tapi lebih karena penilaian dari masyarakat (social

construction) terhadap perbedaan itu.68 Itu berarti ketidakadilan juga bukan karena

kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyarakat melainkan karena manisfestasi

ketidakadilan jender yang merupakan konstruksi sosial. Mereka memerangi

konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang

dibangun di atas bias jender.

Menurut aliran ini, alienasi perempuan lebih berat karena kehadirannya hanya

sekedar sebagai pelengkap orang lain, bahkan dia sendiri telah kehilangan jati

dirinya. Oleh karena itu teori ini menyarankan perempuan harus dapat menemukan

jati dirinya secara utuh sebab penindasan terhadap kaum perempuan dapat diatasi

dengan kekuatan dan posisi ekonomi yang baik dari perempuan itu sendiri. 69

Meskipun gerakan feminisme memiliki aliran yang bermacam-macam namun

mereka mencoba menggunakan analisis masing-masing yang cocok untuk melihat

keadaan yang sedang dihadapi. Di samping itu mereka memiliki tujuan yang sama

yaitu adanya kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan.

67
Mansour Fakih, Analisis Gender ..., 90 - 93
68
Ibid, 92.
69
Dien Sumayatiningsih, Risalah Disertasi..., 15.

37
2. Jender

Ide jender dalam dunia kontemporer Barat dipengaruhi oleh legalitas filsafat

klasik Yunani yang lebih mencatat binari atau bentuk dualis karakter bawaan dan relasi

manusia. Meskipun secara simbolis dan empiris memberi gambaran representasi jender

tradisional.70 Hal itu merupakan fenomena dikotomi, seperti dualisme yang adalah

nyata produksi pengkategorian manusia. Jender adalah suatu sifat yang melekat pada

laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat secara sosial maupun budaya

dalam kaitannya dengan relasi antara laki-laki dan perempuan.71 Misalnya perempuan

itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap:

kuat, rasional, jantan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu

ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.72

Jender adalah seperangkat peran yang menyampaikan kepada orang lain bahwa

kita adalah maskulin atau feminim.73 Perangkat perilaku khusus yang mencakup

pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas,

tanggungjawab, keluarga, secara bersama-sama memoles “peran jender” kita. Peran-

peran itu berubah seiring dengan waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur

lainnya. Peran itu juga amat dipengaruhi oleh sosial, usia dan latarbelakang etnis.74

Sejarah perbedaan jender antara manusia laki-laki dan perempuan dikarenakan

oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi

secara sosial atau kultural, melalui ajaran dan keagamaan maupun negara. Jender akan
70
Elaine Graham, Making The Difference, North America, Fortress Press, 1996, 12.
71
Rahayu Relawati, Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender, Bandung, Muara Indah, 2011, 3-5.
72
Mansour Fakih, Analisis Gender..., 7 – 10.
73
Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, 3 – 5.
74
Ibid.

38
menentukan seksualitas, hubungan dan kemampuan kita untuk membuat keputusan

dan bertindak secara otonom. Jender bisa satu-satunya faktor penting akan membentuk

kita jadi apa nantinya.

Perbedaan jender tersebut menimbulkan ketidakadilan jender yang diantaranya

adalah :

a. Jender dan marginalisasi perempuan

Marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan atas satu jenis kelamin

tertentu dalam hal ini perempuan dan juga pendeta perempuan di Gereja HKBP

disebabkan oleh perbedaan jender. Marginalisasi perempuan, karena perbedaan

jender dapat bersumber dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi

atau kebiasaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan.75

Marginalisasi perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi

dalam rumah tangga, masyarakat kultur dan bahkan negara. Menurut Mansour

Fakih,76 marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga

dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan yang

diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya dalam pemberian

harta warisan yang tidak memberi hak kepada perempuan.

Membatasi atau kurang melibatkan perempuan dalam kepemimpinan di Gereja

merupakan perlakuan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, telah

mengakibatkan penyisihan hak-hak perempuan. Tradisi atau kebiasaan, yang

75
Dwi J Narwoko, – Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Edisi Ketiga, Jakarta, Kencana,
2010, 341.
76
Mansour Fakih, Analisis Gender...,13 – 14.

39
terdapat dalam budaya Batak telah membuat pembatasan hak kepada perempuan,

secara khusus pendeta perempuan sebagai pemimpinan di Gereja HKBP.

b. Jender dan Subordinasi

Disamping itu juga terjadi Subordinasi terhadap perempuan karena adanya

dominasi laki-laki terhadap perempuan mengakibatkan perempuan sebagai warga

kelas dua. Juga ada anggapan masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional

dalam berpikir sehingga tidak bisa tampil sebagai pemimpin akibatnya perempuan

hanya ditempatkan pada posisi yang tidak penting.77 Perempuan adalah subordinasi

terhadap laki-laki sebab masyarakat membentuk perempuan sangat dekat kepada

ketidakberhargaan dan pengolahan alam. Laki-laki disesuaikan sebagai pemilik alam

dan pencipta budaya, dan perempuan diletakkan begitu kuat kepada reproduksi dan

ruang publik.78

Ruang reproduksi – dikarakterkan sebagai alam, pribadi, domestik dan profan –

disesuaikan dalam berbagai cara adalah esensi dari perempuan. Perempuan

subordinasi dari ruang sosial yang disebabkan oleh definisi bahwa perempuan

dilekatkan secara otomatis membentuk karakter peran prokreatif.79

Oleh karena itu dalam rumah tangga sering terdengar jika keuangan keluarga

sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak -

77
Narwoko, Dwi, J – Suyanto Bagong, Sosiologi Teks..., 341 – 342.
78
Elaine Graham, Making the Difference, Minneapolis, Fortress Press, 1996, 64.
79
Ibid, 69.

40
anaknya maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama.80 Juga hal itu

terjadi berawal dari kesadaran jender yang tidak adil.

c. Jender dan Stereotipe

Stereotipe adalah adanya pelabelan atau penandaan terhadap satu kelompok

tertentu yang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Masyarakat memiliki

anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe

ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.81

Stereotipe terhadap perempuan ini terjadi dimana-mana. Banyak peraturan

pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang

dikembangkan karena stereotipe tersebut.

Oleh karena itu dalam budaya Batak perempuan dibatasi menempuh pendidikan

yang lebih tinggi karena akhirnya dia akan bekerja di dapur mengurus anak dan

suaminya. Juga karena alasan bahwa kalau nanti dia berhasil tidak menjadi

kebanggaan keluarga dan bukan penerus marga orangtuanya sebab dia akan

menikah dan menjadi milik dan penerus marga suaminya.

Disamping itu bahasa sebagai alat komunikasi sangat bias jender. Setiap

masyarakat memiliki masalah yang diikuti oleh anggotanya, sebagaimana mereka

belajar memainkan peran feminim atau maskulin. Sebab setiap masyarakat memiliki

bahasanya sendiri. Sejak lahir sampai dewasa kita meniru, mempelajari dan

80
Mansour Fakih, Analisis..., 16.
81
Ibid, 16-17.

41
mempraktekkan cara-cara khusus yang telah dibentuk oleh masyarakat bagi kita

untuk menjadi laki-laki dan perempuan.82

Sangat jelas sekali bahwa jender dalam masyarakat dan budaya Batak telah

membentuk laki-laki dan perempuan dalam perannya ditengah-tengah masyarakat

dan Gereja.

d. Jender dan Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun

integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada

dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu

jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan jender. Kekerasan yang

disebabkan oleh bias jender ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya

kekerasan jender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam

masyarakat.83

Jenis dan bentuk kejahatan yang dapat dikategorikan kekekerasan jender,

diantaranya:84

Pertama, perkosaan terhadap perempuan termasuk perkosaan dalam

perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk

mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan

ini seringkali tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh pelbagai faktor, misalnya

82
Richards Halloway, ed, Who Needs Feminism, London, Biddlest Ltd, Guildford and King’s Lynn, 1991,
138 – 140.
83
Mansour Fakih, Analisis Gender dan..., hl. 17.
84
Ibid, 17 – 20.

42
ketakutan, malu, keterpaksaan yang terjadi dalam baik ekonomi, sosial maupun

kultural, tidak ada pilihan lain.

Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga

(domestic violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap

anak-anak (child abuse).

Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital

mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Berbagai alasan

diajukan oleh suatu masyarakat untuk melakukan penyunatan. Namun salah satu

alasan terkuat adalah, adanya alasan dan anggapan bias jender di masyarakat, yakni

untuk mengontrol kaum perempuan.

Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran, (prostitution). Pelacuran

merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu

mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan

negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual. Di satu sisi

pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara juga

menarik pajak dari mereka. Sementara seorang pelacur dianggap rendah oleh

masyarakat, namun tempat pusat kegiataan mereka selalu ramai dikunjungi orang.

Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi Keluarga Berencana

(enforced sterilization). Keluarga Berencana di banyak tempat ternyata telah

menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Dalam rangka mengontrol

pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program

tersebut, meskipun persoalannya tidak saja pada perempuan melainkan berasal dari

43
kaum laki-laki juga. Namun akibat bias jender, perempuan dipaksa sterilisasi yang

sering kali membahayakan fisik maupun jiwa mereka.

Ketujuh, adalah jenis kekerasan terselubung (molestation), yaitu memegang atau

menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan

kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di

tempat pekerjaan atau di tempat umum, seperti dalam bis.

Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum

dilakukan di masyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual

and emotional harassment. Ada banyak bentuk pelecehan dan yang umum terjadi

adalah unwanted attention from men. Banyak orang membela bahwa pelecehan

seksual itu sangat relatif karena sering terjadi tindakan itu merupakan usaha untuk

bersahabat. Tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk

bersahabat, karena tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan

bagi perempuan.

Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan pelecehan seksual. Di antaranya:

1. Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang

dirasakan sangat ofensif.

2. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor.

3. Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau

kehidupan pribadinya.

4. Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau

untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lain.

44
5. Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa

seizin dari yang bersangkutan.

e. Jender dan Beban Kerja

Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin,

serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua

pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggungjawab kaum perempuan.

Konsekwensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras untuk menjaga

kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari menyapu dan mengepel

lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Di

kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini ditanggung oleh perempuan

sendiri. Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul

beban kerja ganda.85

Hal itu terjadi karena bias jender yang mengakibatkan beban kerja tersebut

seringkali diperkuat dan disebabkan adanya pandangan atau keyakinan dalam

masyarakat bahwa pekerjaan itu sebagai jenis “pekerjaan perempuan”. Seperti

semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan

pekerjaan yang dianggap sebagai “pekerjaan laki-laki” serta dikategorikan sebagai

“bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi Negara.86

Akibatnya karena anggapan jender ini sejak dini perempuan telah diasosiasikan

untuk menekuni peran jender mereka. Di lain pihak kaum laki-laki tidak diwajibkan

secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik. Kesemua ini

85
Mansour, Fakih, Analisis Gender dan..., 18-20
86
Ibid.

45
telah memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum

perempuan.

Dalam golongan kelas menengah dan kaya beban kerja itu kemudian

dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic workers) yang konon adalah

perempuan juga. Sesungguhnya mereka telah menjadi korban dari bias jender di

masyarakat. Mereka bekerja lebih lama dan berat, tanpa perlindungan dan

kejelasan kebijaksanaan negara. Disamping itu belum adanya kemauan politik untuk

melindungi mereka, hubungan feodalistik dan seringkali bersifat perbudakan

tersebut memang belum dapat dilihat secara transparan oleh masyarakat luas.

Istilah jender berguna karena istilah itu mencakup peran sosial kaum perempuan

maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan sangat penting dalam

menentukan posisi keduanya. Demikian pula, jenis-jenis hubungan yang bisa

berlangsung antara perempuan dan laki-laki akan merupakan konsekuensi dari

pendefinisian perilaku jender yang semestinya oleh masyarakat.87

Menurut Julia Cleves Mosse,88 pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dan

laki-laki dalam masyarakat tertentu ditetapkan oleh kelas, jender dan suku. Tetapi

sebagian perempuan juga hidup dalam keluarga dan hubungan jender di dalam

keluarga tersebut mewakili aspek yang amat penting tentang cara bagaimana

perempuan mengalami dunia. Bisa jadi, pembuatan keputusan, akses terhadap

sumber daya, pembagian kerja dan hubungan di luar keluarga, semuanya diputuskan

oleh hubungan jender di dalam unit keluarga itu sendiri.

87
Mansour, Fakih, Analisis Gender dan ...,18-20
88
Julia Cleves Mosse, Gender dan..., 8 -9.

46
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketidakadilan jender dalam bentuk

marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotipe dan beban kerja tersebut

terjadi dipelbagai tingkatan. Manifestasi ketidakadilan jender mencakup negara, di

tempat kerja organisasi maupun dunia pendidikan, dalam adat istiadat masyarakat dan

dalam tafsir keagamaan, terlebih-lebih dalam rumah tangga.

Oleh karena manifestasi ketidakadilan jender telah mengakar mulai dari

keyakinan di individu, keluarga hingga pada tingkat negara dan Gereja. Pemahaman ini

telah memposisikan perempuan sebagai warga kelas dua sehingga hal itu membatasi

perempuan dalam berkarya di ranah publik. Peningkatan pemahaman kesetaraan jender

perlu ditingkatkatkan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam

ranah domestik dan publik.

C. Teori Kepemimpinan yang Melayani

Istilah kepemimpinan membutuhkan semacam panduan dan penjelasan yang tepat yang

mengarahkan sekelompok orang, sekaligus memberikan rasa aman satu dengan yang lain. Akan

tetapi, istilah itu tidak dapat diaplikasikan dalam konteks kepemimpinan yang lebih luas

terutama dalam gerakan yang hendak terlibat, menerobos, sekaligus mentransformasi budaya

– tugas gereja yang terlibat dalam misi. Dalam bagian ini penulis hanya membahas teori

kepemimpinan yang melayani sebagaimana telah dinyatakan Yesus, sang Kepala Gereja.

1. Pengertian Kepemimpinan.

Kita mungkin dapat mendefinisikan kepemimpinan dari sudut pandang tertentu

yang berlaku sepanjang waktu dalam kaitannya dengan Gereja tanpa memperhatikan

47
konteks atau tradisi tertentu. James Kouzes dan Barry Possner89 menekankan,

kepemimpinan bukanlah milik pribadi dari beberapa orang yang memiliki kharisma.

Kepemimpinan adalah proses yang digunakan oleh orang-orang biasa ketika mereka

memberikan apa yang terbaik dari diri mereka dan dari orang lain. Kepemimpinan

adalah kapasitas Anda untuk menuntun orang lain ke tempat yang belum mereka (dan

Anda) datangi. Sehubungan dengan itu Neuschel90 mendefinisikan, kepemimpinan

adalah ketrampilan yang membutuhkan kapasitas, dedikasi dan pengalaman (yang

berarti waktu untuk hidup dan belajar). Selanjutnya siapa yang menjalankan tugas

sebagai pemimpin dalam situasi tertentu tergantung pada seberapa luas tugas yang

dapat ditangani dan ada tidaknya orang yang memiliki kemampuan yang tepat.

Menurut Roach dan Behling91 mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu

proses memengaruhi dan mengorganisir kelompok terhadap pencapaian tujuan-

tujuannya. Selanjutnya dikemukakan bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses sosial

memengaruhi yang dibagikan di antara semua anggota-anggota grup. Oleh karena itu

kepemimpinan tidak dibatasi oleh penggunaan pengaruh seseorang dalam posisi atau

peran khususnya melainkan juga para pengikutnya adalah bagian dari proses

kepemimanan itu juga.

Dalam cakupan yang lebih luas Robert Banks dan Bernice M. Ledbetter92

mendefinisikan, kepemimpinan melibatkan orang, kelompok atau organisasi yang

menunjukkan jalan dalam aspek kehidupan-dalam jangka waktu singkat maupun


89
James M. Kouzes dan Barry Z. Possner, The Leadership, 3rd.ed, San Francisco,Jossey Bass, 2002, xxiv.
90
Robert P. Neuschell, Pemimpin Yang Melayani, Indonesia, PT Macanan Jaya Cemerlang, 2008, 15.
91
Richard L. Hughes, Rober C. Ginnet and Gordon J. Curphy, Leadership Enhancing The Lessons of Experience,
Boston, Richard D, Irwin Inc, 1993, 8.
92
Robert Banks dan Bernice M. Ledbetter, Reviewing Leadership, USA, Grand Rapids, Baker, 2004, 16-17.

48
panjang dan dengan demikian, akan mempengaruhi bahkan memberdayakan cukup

orang untuk membawa perubahan terhadap aspek kehidupan tersebut.

Dengan demikian kepemimpinan adalah sebuah hubungan di mana satu orang

mencoba memengaruhi pemikiran-pemikiran, perilaku-perilaku, kepercayaan-

kepercayaan atau nilai-nilai orang lain untuk membuat suatu perbedaan dalam

kehidupan sekitar mereka.

2. Kepemimpinan yang Melayani

Menurut Haryanto,93 kepemimpinan transformasional dijabarkan sebagai

kepemimpinan yang visioner, kharismatik memiliki pengaruh yang positif terhadap

kepuasaan kerja dan mempengaruhi perilaku pekerjanya sehari-hari. Kepemimpinan

transformasional sering dihubungkan dengan keefektifan kepemimpinan, inovasi dan

perbaikan kualitas.

Pemimpin yang transformasional memiliki pengaruh yang meningkatkan

kepercayaan bawahan tentang arah dan tujuan dari organisasi yang dapat merubah nilai

dari bawahan. Hal itu dapat memotivasi pengikut mengabaikan kepentingan pribadi dan

bekerja untuk kepentingan organisasi untuk mencapai hasil yang signifikan. Kepemimpinan

transformasional membentuk dan menstimulasi kepentingan motivasi sedemikian rupa

sehingga mereka bekerja tanpa pamrih dan mencapai hasil melebihi apa yang diharapkan

oleh pemimpin yang dapat menghasilkan perubahan besar. 94

Salah satu dari kepemimpinan tranformasional adalah servant leadership. Dalam

mendefinisikan servant leadership, Greenleaf menulis “If one is servant, either leader or

93
Jony Oktavian Haryanto, Kepemimpinan Yang Melayani, Salatiga ,Universitas Kristen Satya Wacana, 2004, 5.
94
Ibid, 6-7.

49
follower, one is always searching, listening, and expexting that a better wheel for these time

is in the making”.95 Selanjutnya dikatakan, pemimpin natural adalah orang yang mengerti

bahwa dia adalah pelayan terlebih dahulu yang menempatkan kepentingan orang lain

sebagai prioritas tertinggi.96

Sehubungan dengan itu Neuschel97 menyebut yang melayani adalah seorang

pemimpin dengan pengikut yang ia bantu untuk berkembang dalam reputasi, kemampuan

atau dalam sejumlah hal memberi kontribusi untuk membangun mereka menjadi orang

yang lebih berguna dan bahagia. Pemimpin yang melayani mengembangan kemampuan

para pengikutnya untuk memberi kontribusi bagi organisasi. Pemimpin yang melayani

membuat para bawahannya berkembang dalam kemampuan mereka untuk berproduksi.

Dapat dikatakan bahwa kepemimpinan transformasional dan servant leadership,

keduanya berfokus pada proses antara pemimpin dan pengikut. Hubungan antara

pemimpin dan pengikutnya menekankan proses antara keduanya yaitu visi, pengaruh,

kredibilitas, kepercayaan dan pelayanan. Servant leadership muncul dari prinsip yang dianut

oleh pemimpin, nilai-nilai dan kepercayaan. Melayani pihak lain berarti pemimpin

memfasilitasi bawahannya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pemimpin yang

melayani merasa bahwa begitu arahannya jelas, peranannya adalah membantu

bawahannya mencapai sasaran.98

Itulah sebabnya pemimpin yang melayani terus menerus mencoba menemukan hal-hal

yang diperlukan orang-orang mereka untuk berhasil. Pemimpin yang melayani memiliki rasa
95
Robert K. Greenleaf, Servant Leadership, A journey into the Nature of Legitimate Power & Greatness, New York,
Paulist Press, 2002, 23.
96
Ibid, 27.
97
Robert P. Neuschel, Pemimpin yang..., 107.
98
Jony Oktavian Haryanto, Kepemimpinan yang..., 45.

50
kemanusian yang tinggi karena dia melayani orang-orang bukan untuk memperoleh lebih

banyak dari mereka; melainkan karena ingin meningkatkan harga diri mereka dan

kebanggaan orang-orang itu. Hal ini semata-mata bukan hanya melayani untuk

mendapatkan hasil, tetapi perilaku untuk melayani adalah hasilnya.

3. Kepemimpinan yang melayani dalam Alkitab

a. Perjanjian Lama

Dalam Alkitab, Perjanjian Lama sudah ada ditulis transformasional leadership atau

servant leadership. Beberapa contoh pemimpin-pemimpin yang ada dalam Alkitab dengan

jelas menunjukkan contoh pemimpin yang sukses karena mereka memiliki gaya

kepemimpinan transformasional. Salah satunya adalah Abraham yang kemudian disebut

Bapa orang percaya. Abraham (Kejadian 12: 1-9) dan Nehemia (Nehemia 2: 1-10) disebut

seorang pemimpin yang transformasional karena mereka memiliki ciri-ciri dari

kepemimpinan transformasional atau yang menerapkan servant leadership. Adapun ciri-ciri

tersebut:

a. Abraham memiliki visi yaitu pikiran yang mengarah ke masa depan

Abraham adalah seorang monoteis (hanya percaya kepada satu orang Tuhan yang

disuruh Allah pergi ke suatu tempat yang dia belum ketahui. Visi ini merupakan tongkat

maraton dari Abraham ke Ishak ke Yakub dan ke anak-anak Yakub, sehingga mengubah

jalan hidup bangsa Israel selama berabad-abad. Abraham tidak hanya mempunyai visi saja

tetapi dia mampu mengkomunikan kepada anak cucunya beratus-ratus tahun kemudian.

b. Abraham memiliki keberanian dan kepercayaan

c. Abraham perduli terhadap sesama manusia dan memiliki rasa keadilan yang kuat.

51
d. Abraham adalah seorang yang rendah hati

e. Abraham memiliki pengaruh terhadap sesamanya manusia

f. Abraham berani berbeda dengan orang lain

g. Nehemia adalah pemimpin yang mendelegasikan, membagi dan menaklukkan

h. Nehemia menghargai pekerjaan orang lain

i. Nehemia adalah seorang pemimpin yang murah hati.

b. Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru juga dapat ditemukan servant leadership ini dicontohkan dan

diperintahkan Tuhan Yesus sendiri. Yesus Kristus membasuh kaki murid-muridNya

merupakan peletakan simbol dari pekerjaan pelayan. Tuhan Yesus mendeklarasikan,

“Saya telah memberikanmu contoh” (Yohanes 13: 15). Tuhan Yesus mengenakan

handuk dari seorang hamba, dan kita harus mengenakannya juga. Dia mengatakan,

“Tidak ada pelayan lebih besar daripada tuannya” (ayat 16), sebab pelayanan bukan

hanya peran yang telah dimainkan Tuhan Yesus dalam dunia, tetapi karakter nyata yang

dimilikiNya.99

Tuhan Yesus menentang struktur otoritas abad lama dan membalikkan seluruh isu

otoritas menjadi isu pelayanan. Yesus memahami bahwa model kepemimpinan Yunani

sangat jelas sekali hirarkhi. Dalam perkelahian kecil siapa yang dapat kursi di dekat raja

(Matius 20: 25 – 28), Yesus meluncurkan model kerajaan yang melayani. Etika

kepemimpinan dalam kerajaan akan mencapai komitmen hati.100 Itu berarti cara

otoriter tidak akan terjadi. Sebaliknya jika ingin menjadi yang terkemuka, harus berhasil

99
Del Birkey, The House Church, Pennsylvania, Herald Press, 1988, 87 – 88.
100
Ibid, 88.

52
melayani. Jika ingin menjadi yang pertama, kau harus menjadi yang terakhir, hamba dari

semua (Markus 9: 35). Kehebatan di antara pengikutnya tidak akan diukur dalam jumlah

peringkat kecerdasan pribadi tetapi dalam kualitas kerendahan hati pribadi dalam

kehambaan.

Anak Manusia mengungkapkan gagagasan dengan tepat mengenai

kepemimpinan ideal saat berkata, “Barangsiapa yang terbesar diantaramu hendaklah

dia menjadi pelayanmu.” Pemimpin yang hebat juga pelayan yang hebat. Tuhan Yesus

telah memberikan pelayanan kepada tubuhNya, yaitu Gereja. Dia memberikan sikap

yang berkualitas kepada murid-muridNya. Kepemimpinan dalam tubuhNya adalah isu

nyata-pelayanan. Kehidupan dalam Gereja tidak sama dengan kehidupan dalam

masyarakat sekuler. Sebaliknya kehidupan dipanggil sama sekali bagi model baru, bukan

definisi belaka.

Kitab suci (Alkitab) melarang dengan keras sikap “memerintah atas orang lain”

Petrus mengimbau para penatua Gereja agar tidak “memerintah atas kawanan domba

itu” (I Petrus 5:8). Rasul Petrus juga menerapkan servant leadership dalam

kepemimpinannya ketika dia memberi nasehat kepada jemaat. Pekerjaan seorang

gembala tidak dapat dilakukan secara efektif tanpa hati seorang gembala.

Rasul Petrus membicarakan motivasi para pemimpin. Pemimpin rohani harus

menerima dan mbelaksanakan tanggungjawabnya bukan karena terpaksa, melainkan

dengan sukarela. Seorang pemimpin Kristen tidak boleh bersikap sebagai diktator.

Seorang pemimpin yang ambisius dapat menjadi seorang tiran yang picik dengan sikap

53
mau memerintah. Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mau melayani.101

Melayani orang-orang, melayani demi mengusahakan yang terbaik bagi mereka,

meskipun dengan berbuat demikian pemimpin itu tidak akan selalu menjadi popular.

Oleh karena itu, Gereja menegaskan kehambaan dalam pelayanan. Seorang

adalah gurumu dan kamu semua adalah saudara (Mat 23: 8). Perjanjian Baru

memberikan prinsip-prinsip dan wawasan yang cukup untuk mempraktekkan

kepemimpinan pelayanan Gereja Kristus.

Bahasa tua untuk kepemimpinan dihubungkan dengan bahasa berkuasa dan

dominasi, namun ada pergeseran pemahaman secara serius dari pengajaran yang

diberikan Tuhan Yesus bahwa siapa hendak memimpin di antara kamu hendaklah dia

menjadi hamba dan bukan penguasa. Bahasa kepemimpinan Perjanjian Baru adalah

salah satu relasi horizontal, memimpin dan mengikuti, penyerahan sukarela dan layanan

terhadap satu sama lain.

Adapun prinsip-prinsip kepemimpinan yang melayani yang muncul dalam Perjanjian

Baru adalah sbb:102

1. Satu-satunya otoritas akhir yang diakui orang percaya adalah otoritas mutlak Tuhan

Yesus, hanya Dia dan tidak ada perantara lain (Filipi 2: 10 – 11).

2. Dasar otoritas rasul diwujudkan dalam kanon PB, mereka tidak memiliki penerus.

Kekuasaan Kristus didelegasikan kepada mereka, dan setiap generasi orang percaya

menunjukkan kontinuitas dengan menghadirkan ajaran rasul-rasul (Kisah Para Rasul

2: 42). Tuhan Yesus mengimplementasikan kekuasaanNya melalui Kata dan Roh.

101
Jony O. Haryanto, Kepemimpinan yang..., 26 -28.
102
Del Birkey, The House..., 89 – 90.

54
3. Dimanapun dalam PB pemimpin-pemimpin Gereja, menginstrusikan melatih

kekuasaan atas umat Tuhan. Otoritas gerejawi selalu otoritas menyeluruh (Kisah

Para Rasul 15). Otoritas gerejawi tidak pernah dikemas hanya untuk setiap pendeta

atau konfederasi menurut jenis kelamin atau status.

4. Otoritas dalam memimpin umat Tuhan selalu dihubungkan pada fungsinya bukan

kepemimpinan mereka. Kemajelisan adalah persoalan pelayanan dan bukan

administrasi. Otoritas majelis lebih daripada relasi fungsional ketimbang posisi

institusional. Kata Yunani untuk manage dalam I Timoteus 3: 4 – 5 membawa ide

keprihatinan manajer dan supervisor berdasarkan kedewasaan spiritualititas,

kebijaksanaan dan konseling yang baik. Lebih jauh kata Yunani sering diterjemahkan

taat dalam referensi pemimpin spiritual lebih secara literatur “menjadi menderita”

(Ibrani 13, 7)

5. Kepemimpinan menurut gaya Paulus adalah masalah mode baik dalam karakter

kepemimpinan dan komunikasinya (I Tim 4: 11 – 14). Prinsip kepemimpinan Paulus

ditekankan dalam II Korintus 10 – 13 menampakkan pemimpin yang melayani

merefleksikan seperti Kristus diantara umat Tuhan.

6. Hanya ada satu kepala dalam tubuh, Yesus sendiri (Efesus 1: 15–23; Kolose 1: 15 -

18). Ketika kenyataan ini ditegaskan, pemimpin-pemimpin manusia melayani kepala

sebagai pemimpin-pemimpin di antara umat Tuhan.

Lebih jauh jenis pribadi yang diperlengkapi menjadi pemimpin dalam Gereja PB

adalah jenis pribadi-pribadi yang mendemonstrasikan kualitas yang memberanikan dan

membangun solidaritas keluarga.

55
4.Siapakah Pemimpin yang melayani.

Servant leadership adalah yang pertama pelayan, diawali dengan perasaan alamiah

seseorang menyukai untuk melayani, melayani yang utama. Pelayan lebih

mengutamakan, memprioritaskan kebutuhan orang yang dilayani.103 Dengan anugerah

intuisi yang dipahami Greenleaf sebagai “sebuah perasaan terhadap pola-pola” para

pemimpin yang melayani akan membuat konsep daripada begitu saja melancarkan

kritik. Greenleaf mengecam:

Kita terlalu merasa puas menjadi kritikus dan para ahli. Ada terlalu
banyak perputaran roda intelektual, terlalu banyak yang tenggelam
dalam “riset”, terlalu sedikit persiapan dan kemauan untuk mengambil
alih tugas-tugas yang sulit dan berisiko tinggi untuk membangun intuisi
yang lebih baik dalam dunia yang tidak sempurna dan terlalu sedikit
kecenderungan untuk melihat bahwa “masalah” itu ada di dalam dan
bukan di luar. Singkatnya yang menjadi musuh sebenarnya adalah
mereka yang terlahir sebagai pelayan alamiah yang memiliki potensi
memimpin, tetapi tidak memimpin atau yang memilih mengikuti
seorang yang bukan berjiwa seorang hamba.104

Oleh karena itu menurut Greenleaf ada beberapa hal yang ditemukan dalam diri Servant

Leadership yaitu:105

1. Sesuatu diawali dari inisiatif individu. Pikiran, sikap dan tindakan dari setiap orang

diawali dari konsep individu yang lahir dari inspirasi. Pemimpin yang melayani

membutuhkan lebih dari inspirasi. Pemimpin yang berinisiatif membangun ide dan

struktur dan mampu menanggung resiko kegagalan dalam perjalanan menuju

sukses.

103
Robert K. Greenleaf, Servant leadership..., 27.
104
Ibid, 45.
105
Ibid, 45 – 55.

56
2. Mimpi adalah konsep visioner menggerakkan dan menjadikan kepemimpinan

mencapai gol sehingga sekalipun resiko tinggi, bawahan dapat menerima dan

mengikuti pemimpin.

3. Visi, adalah sebuah tindakan untuk melihat objek eksternal, yaitu kemampuan untuk

melihat, penglihatan; Visi lebih sempurna dan akurat pada hewan daripada manusia.

Dapat juga dikatakan visi sesuatu yang diimpikan untuk dilihat, kadang-kadang tidak

nyata dan masih bersifat abstrak. Visi memberikan semangat dan mengubah tujuan

menjadi tindakan nyata. Oleh karena itu visi merupakan sebuah realita yang belum

nyata dan lebih dari sekedar mimpi.

Seorang pemimpin haruslah seseorang yang memiliki visi, pandangan dan mampu

untuk mengetahui cara berpikir dari pihak lain. Banyak penulis teori kepemimpinan

menekankan pentingnya visi untuk menginspirasikan pihak lain, untuk memotivasi

tindakan, untuk bergerak dengan harapan untuk masa depan.

Penjelasan yang lebih jauh visi merefleksikan pengertian mendalam yang

memungkinkan seseorang mendeteksi pola dan trend yang selama ini dipegang

sehingga dapat menuntun pemimpin untuk masa kini dan masa yang akan datang.

Untuk itu seorang pemimpin haruslah pertama sekali mengembangkan semangat

dan mental positif dalam mencapai harapan yang dikehendaki. Mental positif ini

yang disebut visi atau kadang juga disebut sebagai tujuan dari misi. Kemudian

Haryanto dapat menyimpulkan visi, yaitu:106

a. Visi yang profetik

106
Jony Oktavian Haryanto, Kepemimpinan ..., 9.

57
b. Indera untuk mengetahui hal yang tidak belum diketahui

c. Melihat apa yang tidak terlihat.

4. Mendengar dan Memahami

Seorang pemimpin yang benar-benar pelayan secara alami merespon dengan

spontan setiap masalah dengan lebih dahulu mendengar. Pemimpin yang secara

alami membutuhkan displin belajar mendengar sehingga dapat mendengar dengan

benar dan mampu membangun kekuatan bagi orang lain. Oleh karena itu jangan

takut diam, sebab dengan diam kita dapat mengembangkan apa yang ada dalam

pikiran kita.

5. Pengaruh

Pengaruh memiliki peranan yang sangat penting dalam hubungan antara pemimpin

yang dipimpin, terutama dalam pemenuhan tujuan mereka. Oleh sebab itu

pengaruh merupakan hal yang vital untuk memperoleh kerjasama dari pihak lain

untuk memenuhi tujuan grup dan organisasi.

6. Kredibilitas

Hal yang sangat penting lainnya dalam memahami dan menerapkan servant

leadership adalah kredibilitas. Kredibilitas adalah sesuatu yang pemimpin impikan.

Seorang pemimpin haruslah mengkomunikasikan kredibilitas kepada mereka yang

diinginkannya untuk menjadi bawahan atau pengikutnya. Kredibilitas pemimpin

yang melayani didasarkan pada ketergantungan dan kepercayaan antara atasan dan

bawahan. Kredibilitas pemimpin terjadi ketika pemimpin mendemonstrasikan

keahlian dan kompetensinya dan menunjukkan pengetahuan berkaitan dengan

58
tehnologi dan pengembangan baru dalam bidangnya. Pemimpin yang memiliki

kredibilitas akan senantiasa belajar dan menciptakan situasi pembelajaran didalam

organisasi mereka. Pemimpin juga menginspirasikan harapan dan keberanian pada

pihak lain dengan memberikan keyakinan, dengan memfasilitasi citra yang positif,

dan dengan memberikan bantuan kepada pihak lain.

7. Kepercayaan

Kepercayaan adalah faktor yang sangat penting mempengaruhi hubungan antara

pemimpin dan pengikutnya. Kepercayaan adalah akar dari kepemimpinan yang

melayani dan pengambilan keputusan. Integritas dipandang sebagai integral dari

hubungan kepercayaan. Tanpa integritas, kepercayaan tidak akan pernah dapat

diperoleh. Pemimpin yang terbaik adalah yang transparan, melakukan apa yang

mereka katakan dan bertindak dalam nilai-nilai yang benar. Kepercayaan sangat

penting dalam mengembangkan hubungan interpersonal, terutama dalam proses

komunikasi interpersonal. Kepercayaan adalah pusat dari hubungan kemitraan yang

diwakili melalui ide dari persahabatan dan kepercayaan dengan pihak lain. Ada 4

komponen yang membangun kepercayaan yaitu:

a. kompetensi

b. keterbukaan

c. keprihatinan

d. reliability

59
8. Pelayanan

Menurut Haryanto,107 pelayanan adalah bagian yang sangat penting dalam

kepemimpinan, terutama sekali dalam servant leadership sebagaimana ditegaskan

oleh Greenleafs bahwa menjadi seorang pemimpin yang melayani dimulai dengan

perasaan alamiah yang menganggap bahwa pada dasarnya orang ingin dilayani dan

melayani terlebih dahulu.108 Salah satu faktor utama dari kepemimpinan yang baik

haruslah diawali dengan melayani pihak lain dan membantu mereka

mengembangkan talenta mereka dan kemampuan mereka untuk mencapai titik

maksimal dari talenta mereka.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpin adalah sebuah hubungan

dimana satu orang memengaruhi pikiran, perilaku, kepercayaan atau nilai orang lain untuk

membuat suatu perbedaan dalam kehidupan sekitar mereka. Kepemimpinan itu merupakan

suatu proses memengaruhi yang dibagikan di antara anggota-anggotanya untuk pencapaian

tujuan. Oleh karena itu kepemimpinan melibatkan seorang pemimpin dan orang-orang yang

dipimpinnya secara bersama melayani sesama. Dapat dikatakan bahwa kepemimpinan adalah

pelayan.

Kepemimpinan Yesus menjadi dasar dan teladan bagi setiap kepemimpinan yang ada

sebagaimana seluruh hidupNya adalah melayani. Oleh karena kepemimpinan yang melayani

adalah memberikan pelayanan kepada pihak lain. Pemimpin haruslah mengetahui bahwa tugas

dan kewajiban utama dari pemimpin adalah melayani kebutuhan dan kepentingan dari pihak

lain.

107
Jony Oktavian Haryanto, Kepemimpinan yang..., 49.
108
Robert K. Greenleaf, The Servant..., 27.

60

Anda mungkin juga menyukai