Disusun oleh :
Nama : Gabrilia. Lesticya. Cornella. Amisi
Stbk : 2151.3429
Dosen : Pdt. Bartolomeus Padatu M.Th
A. Pengantar
Pengertian gereja misioner ialah gereja yang secara konsisten menjalankan misi yang ditugaskan oleh
Yesus dalam bentuk pekabaran Injil. Aktivitas gereja yang konsisten menjalankan misi tersebut sesuai
dengan Visi yang di firmankan oleh Tuhan Yesus dalam Injil Markus 16 : 15-16, yaitu semua orang
akan mendengar berita Injil, menjadi percaya, dibaptis dan menjadi murid-murid-Nya. Penugasan dari
Tuhan inilah yang menjadi Misi Gereja, sehingga setiap gereja yang mendasarkan imannya kepada
Kristus tidak bisa mengelak dari tanggung jawab melaksanakan misi tersebut.
Perkataan Tuhan Yesus “pergilah” menunjuk pada aktivitas pekabaran Injil sebagai misi gereja.
Pengertiannya adalah semua warga jemaat di perintahkan untuk bersaksi mengabarkan Injil kepada
siapa saja didalam masyarakat yang belum mengenal Yesus. Tentunya hal tersebut tidak berarti bahwa
setiap warga jemaat kemana-mana harus membawa Alkitab dan berkhotbah, malainkan bersaksi
melalui sikap yang terpuji didalam pergaulan, baik dalam keluarga maupun di tengah-tengah
masyarakat, termasuk dalam tugas keseharian bekerja mencari nafkah. 1
B. Isi
1
Halaman 18-19 “Manajemen Gereja sebuah alternative”
a. GEREJA
Secara harafiah eklesiologi berarti pemahaman tentang gereja (bahasa Portugis : igreja; Bahasa
Yunani; Ekklesia). Dari pengalaman sepintas pun kita tahu bahwa setiap orang Kristen mempunyai
pemahaman tertentu tentang gereja. Tetapi bila diamati secara lebih rinci, pemahaman itu sangat
beraneka-ragam. Tak sedikit orang Kristen yang masih memahami gereja sebagai tempat (gedung
ibadah dengan segala perlengkapannya). Ada yang memahami gereja sebagai tak lebih dari sekedar
lembaga atau organisasi social (sehingga lebih mengutamakkan kelembagaannya).
Sementara itu ada pula yang lebih mengutamakan aspek kerohanian atau batiniahnya, yakni
gereja sebagai persekutuan atau penguyuban orang yang beriman kepada Kristus, tanpa terlalu
mempedulikan kelembagaan dan ketertiban organisasi. Pemahaman yang beranekaragam itu tak lepas
dari perkembangan pemahaman diri gereja di sepanjang sejarahnya, dan tak terlepas pula dari
pemahaman yang diwarisi suatu gereja dari pendahulu atau “saudara tua” nya. Gereja di Indonesia,
misalnya, mewarisi pemahaman dirinya dari Gereja Barat melalui para penginjil yang dating dari sana.
Padahal konteks social-budaya-agama di Indonesia sangat berbeda dari Barat.
Apakah konteks yang berbeda itu tidak memungkinkan adanya pemahaman-diri yang berbeda?
apakah ada Eklesiologi yang Universal dan berlaku abadi ? gereja di Barat sendiri mengalami
perkembangan pemahaman-diri dari abad kea bad dalam rangka mengaktualisasikan diri menjawab
tantangan yang terus menerus berkembang. Dan tantangan yang terus berkembang itu juga dihadapi
Gereja di Indonesia, sehingga ia juga harus berusaha terus-menerus untuk membarui pemahaman-
dirinya kalau tidak hendak terlintas oleh arus perkembangan dan menjelma menjadi fosil. Bagaimana
gereja sedunia pada umumnya, dan gereja di Asia dan di Indonesia pada khususnya, menjawab
tantangan demi tantangan itu dengan merumuskan dan mengembangkan isi dan arah baru dari
pemahaman-dirinya, agar tetap actual dan relevan, 2
Gereja ada oleh sebab Yesus memanggil orang menjadi
pengiringNya. Mereka dipanggil dalam persekutuan dengan Dia, yaitu Gereja. Jadi wujud gereja ialah
pertama-tama : persekutuan dengan Kristus. Jikalau didalam suatu Gereja Kriten persekutuan itu tidak
ada, maka gereja itu tidak berhak disebut Gereja.
Akan tetapi persekutuan dengan Kristus itu selalu berarti pula persekutuan dengan manusia lain.
Tatkala Tuhan Yesus memanggil murid-muridNya, maka mereka dikumpulkanNya menjadi suatu
rombongan orang yang masing-masing bukan saja terikat erat-erat kepada Penebusnya, tetapi seorang
2
Apa dan bagaimana gereja
kepada yang lain pula. Krisrus telah berjanji akan hadir dimana dua-tiga orang berhimpun atas nama-
Nya dan hal ini masih berlaku terus.
Wujud Gereja Kristen belum cukup diartikan dengan menunjuk kepada persekutuan itu saja. Selain
itu perlu juga kita menekan pada tugas amanat Gereja. Yesus telah menyuruh para muridNya ,
“pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu” dan “Kamu akan menjadi saksiKu”. TitahNya itu
berlaku pula untuk segala pengikutNya di kemudian hari selama bumi ini masih ada. Oleh sebab itu
Gereja bukan saja lahir dari amanat Kristus itu, tetapi amanat itu pula menjadi Gereja yang sewajarnya.
Amanat Kristus menjadikan persekutuan Gereja dan di dalam itu, persekutuan Gereja melaksanakan
amanat Tuhannya. Dengan perkatan lain: Gereja dan pekabaran Injil sama saja, karena merupakan
dwitunggal yang tak terpisah. Ketika Gereja lahir3
1. Sifat Gereja
- Gereja Itu Esa
Sifat pertama dari Umat Allah yang sejati ialah esa. Credo unam ecclesiam. Makna teologisnya
jelas. keesaan Gereja adalah gambaran atau refleksi dari keesaan Tuhan. Itu bukan pertama-
tama soal matematis, melainkan soal relasi.
Keesaan bukan keseragaman organisasi, liturgy, tata gereja atau sebagainya. Keesaan
menampakkan diri dalam kebinekaan dalam organisasi atau unity in diversity. Ia adalah suatu
perwujudan iman sekaligus watak kemanusiawian Gereja dengan segala cederanya. 4
- Gereja Itu Kudus
Umat Allah yang bernama Gereja itu kudus. Sifat kekudusan itu memiliki dua rujukan.
Pertama, Gereja sebagai realitas iman, credo sanctam ecclesiam. Kedua, Gereja sebagai
realitas social-organisatori, communion sanctorum. Dua kawasan ini tidak boleh dipisahkan.
Hal-hal yang di Imani patut menjadi jiwa dari bentuk organisatoris dan mandate social dari
Gereja.
3
Sejarah Gereja
4
Hal 66 ‘meng-hari-ini-kan injil di bumi pancasila’
bersikap dan berperilaku berbeda, karena tata social yang berlaku di situ sumber dari kawasan
roh.5
- Gereja itu Am
Gereja adalah am atau katolik. Credo catholicam ecclesiam. Ini sifat ketiga dari Gereja
yang sejati. Dalam bahasa Indonesia, kata catholicam di terjemahkan dengan istilah ‘am’, yang
berarti ‘umum’. Arti yang lazim adalah Gereja itu tidak terikat pada suatu tempat, etnis,
profesi, jenis kelamin, usia, dll. Gereja adalah umat milik Tuhan yang mengatasi batas-batas
ras, bahasa, sejarah, dan waktu yang ditetapkan manusia. 6
5
Hal 72 ‘meng-hari-ini-kan injil di bumi pancasila’
6
Hal 80 ‘meng-hari-ini-kan injil di bumi pancasila’
Berbicara mengenai gereja yang misioner sebenarnya adalah berbicara mengenai bagaimana
gereja bisa memenuhi komitmen misiologis yang terkandung dalam Amanat Agung tersebut.
Bagaimana prinsip yang terkandung dalam Amanat Agung itu sepenuhnya diwujudkan, tetapi dengan
metode yang kontekstual, metode yang menghargai keragaman konteks di mana Injil itu akan
disebar. Sekali lagi perlu mendapat penekanan yang cukup tegas di sini, prinsip dan metode tidak
bisa serta merta dicampuradukkan.
Karena itu misi pertama-tama tidak bisa dilihat sebagai suatu hal yang bisa dihitung secara
kuantitatif, karena hitungan yang tepat untuknya (berdasarkan naturnya) mau tidak mau memang
hitungan kualitatif.
Inilah yang seringkali dilupakan oleh gereja-gereja dalam usaha misi mereka. Seringkali
hitungan gereja menggunakan hitungan ekonomi, semakin banyak orang yang percaya maka
semakin sukses upaya misi yang dilakukan gereja tersebut. Ini adalah paradigma yang keliru.
Seperti halnya paradigma bahwa konflik berdarah-darah dalam perang bersenjata lebih buruk
daripada perang ekonomi, seperti konsep di India ketika mereka ngeri melihat darah tertumpah,
lembu terbantai, tetapi mewajarkan penganiayaan dan kekerasan non-fisik seperti korupsi karena
kerakusan. Dalam misi, kita lebih terganggu dengan sesuatu yang bersifat material, tetapi justru
tidak terlalu terganggu dengan sesuatu yang bersifat non-material, spiritual, yang sebenarnya
justru menjadi fokus sebuah misi.
C. KAJIAN TEOLOGIS
Lalu bagaimanakah teologi yang secara prinsip seharusnya menjadi dasar bagi gereja untuk
menjalankan komitmen misiologisnya. Ada beberapa catatan penting yang harus selalu
dipertimbangkan, bukansalah satunya tetapi seluruhnya, yaitu:
1 Meneladan Yesus. Misi sebeneranya adalah tanggungjawab yang didelegasikan oleh Yesus
kepada pengikutnya. Yesus sendirilah yang sebenarnya memulai upaya misi dengan menafsirkan
ulang kepercayaan Yahudi. Ketika menafsirkan sesuatu Yesus tetap berpegang pada kitab-kitab
Yahudi, tetapi menambahkan sesuatu yang lebih daripada tafsiran yang selama ini ada, sesuatu
yang lebih itu tidak lain adalah kasih universal. Kita bisa melihat bagaimana Yesus menafsirkan
misalnya ketika Dia berkhotbah di bukit. Seharusnya upaya misi juga berangkat dari bagaimana
Yesus melakukan misinya, upaya yang dilakukannya adalah yang dilakukan dalam damai, kasih.
Bukan pertama-tama untuk menghakimi kepercayaan seseorang, tetapi untuk membawa
kepercayaan itu ke tingkat yang lebih tinggi dari yang selama ini telah dicapai.
2. Dua hal berjalan bersama. Dari Kis. 2: 47, ada dua hal yang berjalan bersama dalam misi
gereja perdana yaitu “menambahkan jumlah mereka … dengan orang yang diselamatkan.” Ada
penambahan jumlah orang percaya, tetapi bukan hanya percaya tetapi diselamatkan. Tentu ini
lebih bersifat transenden daripada imanen, bahwa yang berhak menilai seseorang sebagai
percaya dan diselamatkan bukanlah sang misionaris, bukanlah manusia tetapi Tuhan.
Keselamatan dan keanggotaan gereja seharusnya adalah dua hal yang berjalan beriringan, ini
adalah kritikan keras bagi penekanan salah satu saja, penekanan pada seolah-olah kuantitas
dengan misi yang agresif, atau penekanan pada seolah-olah kualitas pada misi yang pasif.
3. Bukan demi gereja, tetapi demi terwujudnya tanda-tanda kehadiran Allah di dunia. Ini
adalah catatan penting untuk misi sebuah gereja. Ketika misi dijalankan oleh gereja sekadar
untuk gerejanya, maka yang terwujud tidak jarang adalah upaya ‘menobatkan’ orang yang sudah
Kristen supaya bergabung dengan gerejanya. Ini bukanlah tugas pertama misi, tugas pertama
misi adalah membawa orang ke dalam Yesus dan mengajar orang itu untuk melakukan apa
yangmenjadi kehendak Yesus.
Pada akhirnya, John Stott dalam tulisannya menyatakan bahwa ada empat hal yang bisa
menjadi tolak ukur apakah sebuah misi berjalan dengan tepat ataukah tidak, empat hal itu
berhubungan dengan relasi antarorang percaya, tentu saja dalam keragaman denominasi mereka.
Empat hal tersebut adalah apakah orang-orang percaya bertekun pada ajaran para rasul sesuai
dengan ajaran Yesus, apakah hubungan atau relasi ini terjalin baik satu sama lain, apakah mereka
berhubungan dengan baik dengan Allah, dan apakah mereka berhubungan baik dengan dunia
luar dalam menjadi saksi Yesus. Gereja yang misioner tampaknya tidak bisa menghilangkan
salah satu variabel dari keempat variabel ini.
D. PENUTUP
Gereja yang begitu agresif dalam misinya seringkali begitu berbangga ketika banyak orang
masuk ke dalam gerejanya. Mereka memberitakan Yesus yang menyelamatkan, misi yang
berpangkal pada baptisan, tapi melupakan bahwa dalam misi-Nya, Yesus justru sangat terbuka
pada perbedaan: Yesus yang membiarkan perempuan Siro-Fenisia tetap pada imannya, Yesus
yang membiarkan Nikodemus tetap pada profesinya sebagai pemimpin agama Yahudi. Mereka
melupakan bahwa Yesus yang tidak mengajarkan Kerajaan Allah dengan cara doktrin per doktrin
tetapi justru dengan perumpamaan, supaya tafsir orang pada akhirnya menjadi lebih luas daripada
pada doktrin yang kaku dan pragmatis.
Gereja-gereja yang demikian tidak jarang dengan mudah menyesat-sesatkan gereja yang
tidak sealiran dengannya. Bukan membuat perdamaian menjadi salah satu agenda, tetapi semakin
melebarkan jurang permusuhan antargereja. Prinsip Amanat Agung yang mereka lewatkan adalah
mengajar mereka melakukan kehendak Yesus, karena sudah terpaku pada doktrin bahwa ajaran
Yesus tidak lagi bisa ditafsirkan sesuai dengan konteks jaman sekarang yang begitu plural.
Di sisi lain, kita bertemu dengan gereja yang adem ayem, mereka yang merasa sudah mempunyai
anggota yang cukup, mereka berhenti dalam tugas misi mereka.
Dengan tenang mereka mengatakan bahwa iman adalah semata-mata urusan personal, yang
tak lain sebenarnya adalah dalih bahwa mereka juga begitu terpaku pada paradigma bahwa doktrin
mereka sudah benar, sudah baku dan tidak bisa lagi-lagi diutak-atik. Dalam misi mereja menjadi
pasif, mereka menunggu orang datang, bukan mengajak orang untuk ikut serta. Gereja yang
demikian merasa bahwa ketika terjadi pembaptisan, maka itu sudah cukup, dan mereka lalai
bahwa dalam Amanat Agung, baptisan adalah penjumlahan dari upaya gereja untuk pergi dan
menjadikan bangsa-bangsa murid-Nya. Sebuah bahasa yang lebih tepat dibunyikan sebagai
kebutuhan proaktif daripada sekadar kebutuhan reaktif.
Pertentangan misi ini membuat gereja-gereja, kalau boleh jujur dan berani, sibuk
mengurusi domba-domba gereja lain, bahkan gembala-gembala gereja lain (yang sebenarnya
sudah masuk ke dalam lingkaran, dan seharusnya tinggal “diajar melakukan”) dan lupa
kepada dunia yang sebenarnya justru menjadi sasaran misi. Yang satu sangat sibuk dengan
komitmen misi yang sempit, karena misi hanya dimengerti dalam paradigma mereka sebagai
membawa jiwa-jiwa ke dalam gerejanya dan bukan kepada Yesus yang universal, yang justru
tetap beragama Yahudi itu (walaupun Yesus membawa angin baru bagi Yudaisme).
Sedangkan yang satu begitu sibuk dengan komitmen teologis yang sempit hingga melupakan
bahwa misi perlu upaya proaktif, pergi dan bergerak ke luar. Misi antargereja ini lalu tidak
membawa damai sejahtera, tetapi membuat perseitrgangan antargereja menjadi lebih
kompleks. Keragaman teologi kemudian justru menjadi perbedaan yang memecah, bukan
kekayaan yang patut senantiasa menjadi diskursus.