Anda di halaman 1dari 31

KOMUNITAS BASIS SEBAGAI BASIS MENGEMBANGKAN KOMUNIO DI

PAROKI

I. Pengantar
Gereja menyadari bahwa dirinya bukan semata-mata hierarki (uskup dan para imam) melainkan
seluruh umat yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Sabda Allah dan penebus, yang
dipersatukan oleh sakramen Baptis dan bersatu dalam Gereja hierarki. Dari sebab itu, panggilan
Gereja diperuntukkan bagi seluruh umat, bukan saja para hierarki, atau rohaniwan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa seluruh umat didesak untuk berpartisipasi dalam pengutusan
Gereja untuk membangun tubuh Gereja. Itu berarti umat awam sebagai anggota Gereja
berdasarkan imamat umum yang diterimanya, dipanggil untuk menunaikan tugas perutusannya
itu sebaga nabi, imam dan raja dalam kehidupannya di dalam Gereja. Dan salah satu tugasnya
adalah membangun persekutuan di antara mereka khususnya sebagai anggota Gereja lokal, yakni
di dalam paroki.
Berkenaan dengan hal ini, tulisan ini mencoba mendalami peran umat awam dalam menghidupi
persekutuan yang dijalankannya, yakni lewat komunitas basis. Persekutuan ini dapat disebut
juga sebagai bentuk paguyuban umat, menurut hemat penulis dapat dipikirkan sebagai cara atau
upaya dalam mengembangakan persekutuan umat di paroki. Dimensi persekutuan inilah yang
menjadi penekanan tulisan ini, yang disimak sebagai salah satu persoalan besar dalam kehidupan
menggereja. Menjadi persoalan karena dewasa ini, nilai persekutuan mulai dikikis oleh
kecenderungan individualisme. Namun sebelum mendalaminya, baiklah kita menyimak terlebih
dahulu apa itu komunitas basis dan bagaimana peran dan kehadirannya di dalam sebuah paroki.

II. Komunitas Basis sebagai Suatu Paguyuban Umat


2.1. Pemahaman Umum tentang Komunitas Basis
Ada beberapa definisi atau pemahaman tentang Komunitas Basis. Dalam pembahasan ini,
penulis mencoba mengikuti definsi sebagaimana yang dipaparkan oleh Yanuarius Seran.
Menurut Yanuarius Seran (selanjutnya disebut Yanuarius) bahwa ada banyak istilah tentang
komunitas basis, antara lain: comunidades de Base=Basic Communities (Komunitas Basis);
CCB: Comunidad Christiana de Base =BCC: Basic Christian Communities (Komunitas Basis
Kristiani); Grassroots Communities (Komunitas Masyarakat Akar Rumput); CEB: Comunidades
Eclesiais de BASE=BEC: Basic Ecclesial Communities (Komunitas Basis Gerejawi), dll. Selain
itu, ada beberapa pengertian lain yang bisa kita simak sebagaimana yang disarikan oleh
Yanuaris, misalnya dari dua tokoh yang ia angkat: C. Boff dan Jose Marins.
Menurut Clodovis Boff, Komunitas Basis Gerejani terdiri dari kelompok kecil, umumnya
terkelompok dalam jumlah sepuluh orang di suatu wilayah, biasanya di satu paroki. Kelompok
kecil ini memiliki nama yang berbeda bahkan menghidupi aspek-aspek hidup menggereja yang
berbeda pula, entah kelompok evangelisasi, kajian Kitab Suci, doa, renungan. Siapakah
kelompok keci ini? Menurut C. Boff mayoritas KBG adalah orang miskin, mereka yang paling
menderita, yang berasal dari lapisan masyarakat yang paling rendah, petani dan buruh. Menurut
C. Boff, ini merupakan fakta sosial yang ada bukan fakta religius. Kelompok ini berkembang di
wilayah-wilayah orang miskin yakni, di daerah-daerah pedalaman dan daerah-daerah di kota-
kota besar. Kepada merekalah Injil diwartakan. Selain itu, menurutnya, KBG terdiri dari orang-
orang kelas menengah bahkan kelas atas. Pada umumnya mereka adalah pekerja-pekerja pastoral
yang bertanggungjawab atas tugas-tugas tertentu dalam komunitas. Ringkasnya mereka ini
adalah umat awam yang mengabdikan diri kepada kaum miskin demi evangelisasi yang
membebaskan.
Menurut studi dari Yanuaris, KBG di Brazil secara pastoral menciptakan dan memfasilitasi
proses evangelisasi, serta proses pertumbuhan iman dan hidup kristiani yang menjawabi
kebutuhan-kebutuhan mayoritas penduduk. Dari segi institusional, KBG menunjukkan
paradigma organisasi gerejawi yang sangat berbeda dari model-model yang sudah ada
sebelumnya dan berdampak pada seluruh kehidupan institusional Gereja di Brazil. Dengan
demikian, menurut hematnya, KBG adalah elemen kunci dalam hidup gerejawi di Brazil
sekaligus upaya untuk memahami hidup menggereja. Berbeda dengan C. Boff, Jose Marins
melihat KBG adalah Gereja itu sendiri, sakramen keselamatan universal yang melaksanakan misi
Kristus, suatu komunitas penyembahan dan cinta kasih pada tingkat lokal (basis), keuskupan dan
dunia.

2.2. Ciri-ciri Komunitas Basis


Ciri-ciri komunitas basis sebagaimana yang akan diparafrasekan berikut ini akan mengikuti garis
besar pemikiran Marcello Azevedo seperti yang dipahami oleh Yanuarius. Ciri-ciri ini akan
diringkas dalam beberapa poin berikut ini:
Pertama, KBG adalah komunitas. Sebagai sebuah komunitas, KBG memperlihatkan pola hidup
Kristen yang sangat bertentangan dengan pendekatan yang individualis, egois dan kompetitif
dalam hidup sehari-hari yang melekat pada budaya kontemporer-modern Barat. Sebagaimana
KBG di sini adalah mengikuti model KBG Brazil, maka dimensi yang ditonjolkan di sini adalah
menghidupkan dua dimensi komunitas: komunio dan partisipasi. Dari dimensi komunio, jelas
KBG lebih menekankan dimensi menghidupkan iman bukan sebagai pengalaman nyata pribadi
tetapi pengalaman nyata yang dikembangkan dan disharingkan bersama.
Kedua, KBG adalah eklesial. Menurut Yanuaris, melalui KBG, signifikansi Sabda Allah dan
sharing doa biblis menjadi nyata. Hal ini dimaksudkan agar KBG dapat menguji pendekatan
konfrontal atau bermusuhan dengan hierarki, yang disimaknya menjadi ciri komunitas basis
tahun 1960-an khususnya di Italia dan Perancis, atau Gereja Bawah tanah di Amerika.
Ketiga, KBG adalah basis. Ciri yang menonjol dalam komunitas ini adalah keaktifan dari kaum
awam. Secara eklesial, KBG berada di dasar Gereja, karena hubungannya dengan hierarki
Gereja. Selain itu, Yanuaris melihat pula bahwa KBG berada di dasar masyarakat. Dengan ciri
ini, Yanuaris menyimak bahwa kaum miskin merasa didukung dan dikuatkan. Ia melihat pula
bahwa kelompok ini terbuka pada partisipasi, karena di sana kebutuhan bersama lebih
diperhatikan. Dengan berada di dasar, KBG lebih mudah mengaitkan iman dengan kehidupan
nyata.
Keempat, KBG adalah komunitas yang hidup dari Sabda. Dalam poin ini, Sabda Allah menjadi
titik acuan langsung dan sumber inspirasi seluruh kegiatan harian.. Dalam arti ini, Sabda Allah
menjadi katalis utama komunitas. Yanuaris melihat bahwa proses evangelisasi akan berjalan
karena adanya simbiosis antara sabda dan hidup nyata
Kelima, KBG adalah komunitas yang hidup dari ekaristi. Komunitas ini menjadikan ekaristi
sebagai pusat hidup mereka. Sebagai sel pokok Gereja, komunitas ini merasa penting memiliki
atau hidup dari ekaristi. Dan inilah yang ditekankan oleh Konsili Vatikan II bahwa tidak ada
komunitas Kristen yang dibangun tanpa mendasarkan diri pada perayaan ekaristi kudus.

2.3. Komunitas Basis: Basis Mengokohkan Communio Di dalam Paroki


2.3.1. Peran Khas Awam dalam Gereja
Konsili Vatikan II menegaskan identitas Gereja pertama-tama tidak lagi bersifat hierarkis
semata-mata, melainkan seluruh umat yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Sabda Allah
dan penebus, yang dipersatukan oleh sakramen Baptis dan bersatu dalam Gereja hierarkis. Dari
sebab itu, Gereja tidak lagi menjadi monopoli kaum klerus atau hierarki melainkan melibatkan
pula peran dan tanggungjawab kaum awam. Konsili Vatikan II berkata: Kaum beriman
kristiani, yang berkat sakramen baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi
Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengembangkan tugas imamat, kenabian dan
rajawi Kristus (LG 31). Dari pemahaman ini, kita dapat mengatakan bahwa kaum awam
dipanggil untuk mengambil bagian dalam tugas-tugas gerejani, yakni aneka kegiatan yang lebih
mengarah pada kehidupan dan perkembangan internal Gereja itu sendiri. Hal ini ditegaskan
secara gamblang oleh LG 32. Di sana dikatakan bahwa kaum awam diangkat ke pelayanan suci
dengan mengajar, menguduskan serta membimbing dengan kewibawaan Kristus
menggembalakan keluarga Allah. Dengan menjalankan tugas ini, maka perintah baru tentang
cintakasih pada akhirnya dilaksanakan oleh semua pihak. Panggilan dan perutusan kaum awam
adalah bekerja sama dengan hierarki. Gagasan ini secara tegas dikatakan oleh dokumen Gereja
yang sama, yakni LG 33. Hal yang ditegaskan di dalam dokumen ini yaitu bahwa kaum awam
bekerja sama dengan hierarki secara lebih langsung.
Keterlibatan kaum awam ke dalam Gereja disimak sebagai suatu bentuk partisipasi yakni
keterlibatan dengan harapan agar Gereja Katolik hidup dan berkembang, serta menghasilkan
buah yang berlimpah bagi seluruh umat beriman Katolik (bdk. AA 10). Menurut pemahaman L.
Prasetya bahwa keterlibatan kaum awam adalah upaya untuk mengembangkansuburkan Gereja
Katolik. Dan menurutnya, hal ini tampak secara nyata dalam kegiatan liturgi (mengambil bagian
dalam imamat Kristus), kegiatan pewartaan (mengambil bagian dalam kenabian Kristus) dan
kegiatan penggembalaan anggota Gereja (mengambil bagian dalam rajawi Kristus). Pertanyaan
kita, apakah Gereja itu dapat bertumbuh dan berkembang sebagaimana yang dicita-citakannya
dalam semangat partisipatif ini? Kita harus mengatakan dan menunjukkan bahwa partisipatif
aktif dari seluruh umat (hierarkis dan umat awam) adalah modal utama dalam mengembangkan
dan menghidupkan Gereja itu sendiri. Itu berarti tanggungjawab dan keaktifanlah yang bisa
menunjukkan hal ini lewat keutamaan dan karunia yang telah mereka terima (bdk. AA 4).

2.3.2. Gereja sebagai Communio dan Missio


Gereja adalah communio (persekutuan). Communio di sini tentunya merupakan persekutuan
dengan dan dalam Allah yang diikat Roh Kudus berkat jasa Yesus Kristus. Aspek persekutuan
semacam ini begitu ditekankan dan dirindukan oleh Gereja atau umat Allah. Menurut John
Djegadut, apa yang disebut sebagai aspek communio ini disimaknya menjadi kerinduan,
keprihatinan dan doa serta usaha utama Yesus Kristus sendiri dalam membangun Kerajaan Allah
di dunia. Ia melihat bahwa ternyata dosa sesungguhnya telah mencerai-beraikan persekutuan asli
manusia dengan Allah dan antara manusia itu sendiri. Dan kita tahu bahwa Allah datang ke dunia
juga untuk memulihkan kembali persekutuan tersebut, yang didambakan-Nya untuk membentuk
umat sebagai satu kawanan dengan satu gembala saja.
Wawasan seperti ini, mesti dilihat sebagai unsur konstitutif dan hal yang amat penting untuk
menyadari bahwa salah satu usaha utama dalam karya pastoral ialah menciptakan persekutuan.
Dengan demikian benarlah apa yang dikatakan oleh Paulus bahwa di dalam suatu jemaat tidak
ada lagi apa yang disebut sebagai gap (jurang pemisah) atau perbedaan kelas sehingga di dalam
Kristus tidak ada lagi orang Yahudi atau Yunani, wanita atau laki-laki, hamba atau orang
merdeka, karena semuanya telah menjadi anak-anak Allah (Gal 3:28). Menurut hemat John,
pemahaman seperti ini sangat penting untuk menciptakan seluruh paroki sebagai suatu
persekutuan, yang satu dalam kegiatan dan tindakan, yang bersatu hati dalam kehidupan
menggereja tanpa membebankan salah satu pihak saja. Dari poin ini, jelas sekali bahwa sebuah
paroki menekankan kesatuan di antara umat adalah paroki yang mau menumbuhkembangkan
model hidup menggereja yang diharapkan Kristus. Bagi John, wawasan ini penting juga untuk
menciptakan persekutuan-persekutuan basis (pelbagai kelompok basis baik kategorial maupun
teritorial) di dalam paroki. Aspek persekutuan atau komunio inilah yang mesti dibangun dan
dihidupkan dalam diri umat awam dengan maksud agar mereka pun memiliki kesadaran akan
keselamatan yang dibawa Yesus yakni keselamatan dalam persekutuan (baik dalam iman
maupun tindakan atau perbuatan serta pelayanan persaudaraan). Hanya dengan semangat untuk
bersekutu, mengadakan suatu paguyuban bersama, maka sebetulnya di situ, secara tidak
langsung telah ditanamkan suatu usaha pengembangan hidup berparoki yang menurut hemat
penulis begitu berharga, yakni mengokohkan persekutuan umat di dalam sebuah paroki. Gereja
hadir pada dasarnya bukan untuk dirinya sendiri. Kenyataan ini dalam bentuk yang paling
sederhana tampak dalam kehidupan kelompok-kelompok umat basis. Dalam persekutuan yang
mereka adakan, selain karena keinginan untuk berkumpul atau mengadakan paguyuban bersama,
tetapi juga karena ingin saling melengkapi dan mendukung satu sama lain, termasuk dalam
penghayatan imannya.
Dewasa ini, tak dapat dipungkiri lagi bahwa di mana-mana muncul fenomena dalam hidup
menggeraja, yakni, kelompok-kelompok umat hadir baik sebagai suatu keluarga maupun sebagai
persaudaraan berkumpul secara rutin untuk merayakan dan mengamalkan iman kristianinya.
Menurut pemahaman Raymundus, bahwa komunitas-komunitas basis, yang telah ada, pada
dasarnya ada bukan untuk diri mereka sendiri, bukan pula hanya untuk Gereja, melainkan untuk
masyarakat sekitarnya. Dari poin ini, ia melihat bahwa apa yang disebut dengan dimensi hidup
Gereja, yakni communio dan missio, merupakan dua hal yang saling melengkapi. Di satu pihak,
setiap anggota dalam relasi personal satu sama lain memiliki komitmen untuk menghayati
seperangkat nilai ideal yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Pertanyaan kita, apa sumbangsih dari
kehadiran komunitas-komunitas ini dalam kehidupan menggereja? Dalam kacamata,
Raymundus, komunitas-komunitas tersebut sering kali menjadi motivator pembaruan dan
revitalisasi hidup Gereja. Di lain pihak, dalam relasinya dengan masyarakat sekitar, komunitas-
komunitas tersebut turut memberi andil dalam membangun dunia yang baru.

III. Komunitas Basis dan Tantangan Persekutuannya


3.1. Komunitas Basis di Pusaran Globalisasi
3.1.1. Hedonisme dan Pengaruhnya bagi Manusia
Kemajuan dunia dewasa ini dalam banyak hal begitu memengaruhi pola dan gaya hidup
manusia. Dan dalam arti tertentu sikap dan karakter hidup manusia pun dari sendirinya tidak jauh
berbeda dengan kemajuan zaman yang begitu pesat dewasa ini dunia sekarang sedang berada
dalam pusaran globalisasi, di satu pihak memengaruhi manusia ke arah positif, tapi di sisi lain
justru menghanyutkan manusia. Dan dalam arti tertentu dapat menghancurkan (bersifat
destruktif) terhadap perkembangan iman seseorang.
Kalau kita menyimak dengan baik pola dan gaya hidup zaman ini, apa yang kita sebut sebagai
individualisme dan hedonisme begitu kuat mewarnai gaya hidup manusia abad ini.
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat
melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengkonsumsi barang dengan
banyak pilihan yang ada. Dan salah satu gaya hidup yang begitu kental tampak dalam pola hidup
zaman ini adalah konsumtif dan hedonis. Kenyataan ini merajalela di mana-mana di berbagai
belahan dunia. Hedonisme merupakan sebuah fenomena yang masih menjadi pusat perhatian
orang-orang di zaman ini. Hal ini tampak sekali dalam kehidupan di negara-negara berkembang,
misalnya di Indonesia. Di negara kita, fenomena ini tampak dalam pemilikan barang-barang
mutakhir yang bercirikan teknologi tinggi. Hal ini begitu menguasai lini kehidupan manusia abad
ini dan merupakan sebuah prestasi yang harus dikejar. Dari sebab itu, ukuran keberhasilan dan
kesuksesan manusia akhirnya tampak sejauh mana dia memakai dan mengkonsumsi barang-
barang mutakhir dan karena itu mempunyai gengsi atau prestise tersendiri bila menikmatinya.
Memilikinya jauh lebih bermakna daripada sekedar menguasainya secara fungsional. Simbol-
simbol lahiriah seperti arsitektur rumah kediaman, pusat-pusat perbelanjaan modern (adanya mal
di mana-mana), makanan modern, dsb., menjadi gaya hidup modern, dan kalau orang sudah
menikmati atau merasakan serta memperlihatkan gaya hidup itu, maka ia menjadi puas, lantas
tidak heran bila ia mengidentikkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat modern. Tentu saja di
sisi lain, apa saja yang berbau tradisional, dirasakan sebagai sesuatu yang sudah usang, dari
sebab itu perlu ditinggalkan. Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa ukuran
keberhasilan hidup manusia tidak lagi terletak pada keunggulan hal-hal rohani, tetapi justru pada
hal-hal jasmaniah semata-mata. Norma menjadi longgar, karena apapun dapat dilakukan untuk
menuju keberhasilan di bidang jasmani dan materi. Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru
di zaman ini.
Kenyataan di atas, dalam banyak hal terjadi atau dialami pula oleh umat kristiani dewasa ini,
tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga sudah masuk ke daerah-daerah pedalaman. Tanpa
disadari, kebanyakan dari antara mereka telah terperangkap oleh pola atau gaya hidup zaman ini.
Manusia begitu terobsesi dengan pencarian dirinya dalam dunia digital ini, oleh karena itu,
tidak mengherankan jikalau ia berusaha mengidentikkan dirinya dengan apa saja yang ia cari,
pakai (konsumsi) dan alami dalam kehidupannya (saya konsumsi maka saya ada). Manusia
memang menguasai hasil atau daya kreasinya, tetapi di sisi lain, sesungguhnya dia sedang
dikuasai oleh buatan tangannya sendiri. Dari sebab itu, tidak heran jikalau orang menjadi budak
atasnya, dikendalikan dan dikontrol olehnya. Dan salah satu puncak kepuasannya adalah
mencari, menemukan, memakai dan terus-menerus menumpuk segala-galanya (uang, status atau
kedudukan atau privilege), dsb. Antusiasme seperti ini, sebetulnya juga tidak luput dari
kecenderungan manusia zaman ini, yakni cenderung rapuh terhadap penderitaan. Bagi mereka
penderitaan itu tidak membahagiakan dan karenanya sebisa mungkin dihindari. Hal ini dapat kita
simak dalam komentar yang diberikan Alfathri Adlin, yaitu bahwa manusia kontemporer
cenderung rapuh terhadap penderitaan, dengan alasan bahwa karena mereka terbiasa hidup dalam
budaya kenikmatan dan keinstanan. Semua hal ini, hanya mau menunjukkan betapa manusia di
abad ini begitu dikuasai dan dikendalikan oleh mentalitas zaman ini.

3.1.2. Perayaan Individualisme


Manusia zaman modern ditandai apa yang disebut perayaan individualisme. Secara filosofis
kecenderungan ini merujuk kepada penolakan secara radikal situasi relasionalitas antara manusia
dengan realitas lain dan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Tampaknya situasi
ini lahir sebagai akibat dari hebatnya tendensi manusia untuk mengafirmasi kekhasan diri dan
keagungan kodratnya di hadapan makhluk lain. Penegasan ini lantas menghantar manusia kepada
sebuah rumusan tentang diri yang baru: komunitas dunia tidak lagi memiliki primas tertinggi
dengan individu sebagai produknya, melainkan dianggap sebagai hasil bentukan individu yang
berkumpul secara sukarela untuk meraih tujuan tertentu. Berbagai bentuk relasi tidak lagi
memiliki poin penting, tapi hanya disimak sebagai unsur yang memiliki arti preferensial.
Lewat kemajuan teknologi maju orang akhirnya merasa tidak lagi membutuhkan orang lain
dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial. Orang
menjadi pribadi yang tenggelam atau hanyut dalam dunianya sendiri. Hidup lantas dilihat hanya
untuk dirinya sendiri, sedangkan yang lain bukan menjadi urusannya. Kenyataan ini paling
sering bisa kita jumpai dalam kehidupan di kota-kota besar. Dan dalam kehidupan berparoki pun,
hal ini bukan asing lagi bagi kita, karena di mana-mana kecenderungan untuk hidup hanya untuk
diri sendiri tidak dapat disangkal lagi. Hal praktis yang bisa kita amati misalnya di paroki adalah
kurangnya antusias umat untuk melibatkan dirinya dalam berbagai aktivitas yang diadakan. Kita
bisa melihat pula bahwa umat kurang aktif dalam mengikuti doa-doa di lingkungan, kalau pun
hadir, yang datang biasanya orang-orang tertentu, misalnya ibu-ibu sementara bapak-bapak
kurang menunjukkan keaktifan mereka. Fenomena ini penulis alami sendiri ketika mengadakan
praktek pastoral di Paroki St. Martinus, Keuskupan Sintang (September 2009-Mei 2010),
ataupun dalam salah satu penelitian yang penulis adakan (untuk matakuliah Teologi Kontekstual)
beberapa waktu silam di Lingkungan Sta. Monika, Paroki Kathedral Ijen.
Dua fenomena di atas (hedonisme dan indivualisme), merupakan persoalan yang serius dan
menjadi tantangan tersendiri bagi Gereja dalam mengembangkan kehidupan menggerejanya,
khususnya dalam menumbuhkembangkan persekutuan. Pertanyaan kita adalah bagaimana umat
kristiani menyikapi hal ini, dan apakah mungkin lewat paguyuban, misalnya melalui KBG,
pengaruh negatif di atas bisa diminimalisir. Dari sebab itu, kita akan mendalami bagaimana KBG
bisa menjadi titik kekuatan untuk mengkounternya.

3.1.3. Komunitas Basis:Titik Kekuatan yang Memberangus Hedonisme


Hedonisme dewasa ini kita tahu begitu memengaruhi mentalitas manusia. Kenyataan ini dalam
arti tertentu sebetulnya telah memperlihatkan sebuah gaya hidup atau ciri kemodernan. Budaya
ini dengan demikian merupakan budaya masyarakat, sudah menjadi bagian integral kehidupan
orang-orang zaman ini. Menurut Magnis Suseno, sebagaimana yang dikutip Yanuaris, bahwa
kebanyakan orang mengira dirinya bisa menjadi orang dengan membeli barang-barang bagus
atau mewah, misalnya membeli handphone atau mobil merek tertentu dst. Dan inilah mentalitas
konsumerisme. Bagi kaum elite, konsumerisme berarti terus meningkatkan konsumsi mereka,
misalnya berlibur ke luar negeri, berziarahnya juga harus ke Tanah Suci dsb. Menurut hematnya,
masyarakat biasa pun tidak ketinggalan, mereka juga terus meniru gaya hidup kaum elite.
Efeknya, kehidupan rumah tangga pun menjadi rusak.
Di tengah-tengah derasnya arus kecenderungan ini, tentunya umat kristiani ditantang untuk
menunjukkan jati dirinya. Budaya di atas (hedonistik) harus disadari sebagai budaya yang persis
bertentangan dengan budaya hati dan pergaulan yang dibawa Yesus. Dari sebab itu, ketika orang
kristen berhadapan dengan budaya ini, maka mereka dituntut untuk membuktikan bahwa Injil
membebaskan manusia dari kuasa-kuasa dunia; bahwa hidup adalah kesederhanaan, cinta,
kejujuran dan solider dengan orang-orang kecil. Menerapkan pola ini oleh Yanuaris dilihatnya
sungguh membebaskan dan membahagiakan daripada menjalani pola hidup hedonistik.
KBG sebagai sebuah komunitas paguyuban umat kristiani merupakan wadah yang baik dan
dapat membantu umat kristen untuk semakin mematangkan imannya di tengah-tengah
cengkeraman atau himpitan budaya hedonistik. Sebagai sebuah komunitas yang sangat
menekankan nilai Sabda Allah, menjadi titik acuan langsung dan sumber inspirasi seluruh
kegiatan mereka, maka umat kristiani ditantang untuk menghidupi nilai Sabda Allah (Injil) itu
dalam pengalaman konkret mereka. Dan dalam menghadapi realitas kontemporer ini (misalnya
hedonisme, dll.), umat kristiani didesak untuk berani menolak tawaran-tawaran kenikmatan dan
mentalitas konsumtif. Mengapa semuanya itu harus ditolak, oleh karena apa yang disebut budaya
hedonistik dan konsumerisme tadi samasekali tidak membebaskan manusia. Manusia justru
dikungkungnya, ketika nilai-nilai Injili (hidup sederhana, ugahari, solider dengan yang
berkekurangan) tidak diinternalisasi secara sungguh-sungguh dalam kehidupannya sehari-hari.
Dalam arti ini, Sabda Allah menjadi katalis utama komunitas. Yanuarius melihat bahwa proses
evangelisasi akan berjalan karena adanya simbiosis antara sabda dan hidup nyata. Artinya bahwa
evangelisasi itu akan semakin tampak memperlihatkan nilai-nilainya bila nilai-nilai Sabda (Injil)
diungkapkan atau diwujudkan secara nyata dalam kehidupan masyarakat.

3.1.4. Komunitas Basis : Titik Kekuatan untuk Mengkounter Individualisme


Salah tugas panggilan hidup menggereja adalah membentuk persekutuan atau communio Dan
communio ini dapat dijumpai dan dihayati dalam cara hidup jemaat perdana yang sangat
menekankan semangat kesatuan, persaudaraan. Jemaat perdana telah memperlihatkan cara hidup
berguyub, di mana cara hidup mereka ini (Kis 2: 41-47) menjadi cara hidup umat kristiani di
segala zaman, termasuk zaman ini. Satu poin penting yang menjadi karakter kehidupan
komunitas jemaat perdana, yakni persekutuan (Kis 2:42) di mana para murid Kristus hidup
dalam kerukunan dan persaudaraan. Dalam poin ini, para rasul sangat menjunjung tinggi nilai
persatuan,
Sebagaimana cara hidup jemaat perdana, demikianlah kaum beriman kristiani dewasa ini, dalam
segala situasi dan kondisi hidupnya di tengah arus kemodernan dewasa ini, dipanggil untuk
senantiasa menghayati dan membina imannya. Dan KBG adalah salah satu wadah yang bisa
membantu mereka dalam menghayati dan membina imannya bersama anggota gereja yang lain
sebagai sebuah persekutuan atau paguyuban. Di tengah perayaan individualisme yang begitu
mengental di setiap lini kehidupan dewasa ini, KBG dipanggil untuk sungguh-sungguh melawan
individualisme, yang mengabaikan kebersamaan. Dalam disposisi inilah, sebagaimana yang
ditegaskan Yanuarius, KBG justru mengedepankan kebersamaan dan menghargai kepentingan
orang lain. Berkenaan dengan hal ini, ia melihat bahwa Gereja Katolik nyaris runtuh karena
banyak anggota tidak mau mengikatkan diri dengannya sebagai satu komunitas. Keprihatinan
lain yang disimaknya di sini adalah bahwa masing-masing orang mau mengatur imannya atau
membina relasi pribadi dengan Allahnya sendiri. Akan tetapi kenyataan itu tidak ditemukan
dalam KBG. Dalam KBG, hal yang ditekankan adalah menjadi seorang Kristen dan hidup
berkomunitas pada dasarnya identik. Dalam poin ini, setiap orang tidak lagi terisolasi atau
ditinggalkan sendirian, tetapi dibantu untuk semakin mengembangkan dirinya menjadi semakin
kristiani.

3.2. Komunitas Basis: Titik Pijak Mengembangkan Persekutuan Umat Paroki


Panggilan dan perutusan para awam tidak mempunyai arti apapun apabila tidak bertitik tolak dari
eklesiologi persekutuan. Menurut John Tondowidjojo kaum awam harus menghayati secara
serentak ketiga hal esensial, yakni, berada dalam Kristus, menjadi Gereja dalam Gereja dan
berada di dunia. Baginya, awam itu lahir di dalam Kristus untuk pelayanan terhadap Gereja, dan
karenanya berada di dalam Gereja. Berbicara tentang kesadaran umat awam mengenai perannya
amat bergantung pada pola kepemimpinan yang dijalankan hierarki. Persoalan kita di sini
sebagaimana yang disinggung oleh Yanuarius Seran adalah apakah praksis kepemimpinan yang
dilaksanakan di kalangan jemaat mampu mengembangkan kaum awam dalam dunia modern ini?
Berkenaan dengan ini, Yanuarius mempertanyakan model kepemimpinan yang tepat yang
dijalankan selama ini, apakah itu sudah dijalankan atau belum, yakni transformatif
(mengembangkan), partisipatif (mengikutsertakan) atau sebaliknya feodal dan otoriter.
Kalau agak disimak dengan baik tampak bahwa pola kepemimpinan yang dijalankan selama ini,
praktis banyak menerapkan model top-down (atas-bawah), di mana unsur seseorang menjadi
penguasa tunggal, penekanan dan kekerasan dari sang pemimpin terhadap komunitasnya tak
dapat dihindari. Kepemimpinan yang demikian, menurut hemat Yanuarius sungguh
memperlihatkan unsur kekuasaan atau wewenang. Akibatnya, pola kepemimpinan yang
menekankan segi pelayanan kurang ditekankan, malahan yang terjadi adalah tercipta
kepemimpinan hierarkis sebagai pemberi petunjuk. Berkenaan dengan kesadaran ini, kaum
awam perlu diberi penyadaran dan dibangkitkan antusiasme untuk menunjukkan partisipasi
aktifnya di dalam kehidupan menggereja, secara khusus di dalam parokinya masing-masing.
Bentuk dan cara bagaimana ia melibatkan diri bisa bermacam-macam, misalnya terlibat dalam
berbagai macam kerasulan awam.

IV. Beberapa Strategi Pastoral


4.1. Menciptakan Sikap Kritis
Di tengah pusaran globalisasi atau kemajuan zaman yang demikian pesat dewasa ini, Gereja
perlu selalu memiliki kesadaran kritis. Tanpa sikap seperti ini, upaya untuk membangun sebuah
kehidupan iman dari dalam diri sendiri tidak akan berhasil. Dengan kata lain misi untuk
membangun sebuah persekutuan iman yang kokoh tidak akan cukup bila tidak mengkhamiri
konteks atau pengaruh-pengaruh buruk yang ada di sekitarnya.
Kita sudah melihat bahwa dalam berbagai lini kehidupan masyarakat, globalisasi telah
melumpuhkan kesadaran sosial, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Kirchberger bahwa
penting sekali kita meningkatkan kesadaran kritis dalam masyarakat untuk melindungi
korbannya. Baginya tidak ada pembelaan yang lebih kuat daripada kesadaran yang tajam.
Kesadaran kritis ini penting untuk melihat apakah dunia dan segala kemajuannya sudah cukup
menghantar orang kepada perjumpaan akan suatu nilai hidup yang didambakan oleh seorang
beriman atau tidak. Jikalau tidak demikian maka, kesadaran seperti itu perlu selalu dimunculkan.
Berkenaan dengan kenyataan ini, bagaimana Gereja bisa berbicara atau bertindak? Kita tahu di
mana-mana jemaat basis begitu ditanamkan dan menjadi semacam way of life kaum beriman
kristiani yang ingin memperdalam dan mengembangkan imannya. Semangat syering dan dialog
mewarnai persekutuan mereka. Dan model penghayatan hidup seperti ini menurut hemat
Kirchberger merupakan sarana penting untuk mengembangkan kesadaran kritis. Baginya apabila
Injil itu diwartakan kepada kaum miskin, dan hidup KBG adalah hidup yang terarah pada Sabda
yang hidup, maka sepantasnya mereka diminta untuk mendiskusikan persoalan yang tengah di
hadapi, misalnya persoalan tentang kaum miskin. Ataupun hal lain yang menurut hemat penulis
penting juga adalah bersikap kritis terhadap pengaruh-pengaruh negatif lainnya yang ditimbulkan
oleh arus globalisasi di atas (individualistik, hedonistik/konsumeristik, dsb). Mungkin kesadaran
kritis ini sangat tepat kalau bisa diungkapkan lewat kesaksian hidup mereka di mana mereka
berada baik secara moral maupun spiritual.
Sebuah paroki tentunya akan menjadi paroki yang berkembang dan bertumbuh subur apabila di
dalamnya tertanam kesadaran kritis mulai dari Pastor Paroki sebagai kepala sekaligus motivator
dan pembimbing sampai ke umat level bawah. Dalam arti inilah, kesadaran untuk mengkounter
dan menghilangkan pengaruh-pengaruh buruk inilah perlu diciptakan secara bersama-sama dan
menjadi semacama suatu habitus baru.
4.2. Membangun Kesadaran Umat untuk Berpartisipasi Aktif
Menyimak dinamika konteks dunia saat ini, yang diwarnai oleh arus globalisasi, penulis
menyadari pentingnya menjadikan KBG sebagai gambaran ideal dan cermin bagi hidup beriman
dewasa ini. Dari sebab itu, arah pastoral yang harus selalu dibangkitkan dan ditanamkan dalam
konteks ini adalah plantatio fidei (penanaman iman) atau missio ad intra (reksa pastoral). Dalam
arti ini, KBG boleh dijadikan sebagai medan untuk menanamkan iman, membangun dan
menghidupkan iman di tengah arus globalisasi ini. Penulis melihat, kesadaran semacam ini perlu
dibangkitkan dan ditanamkan selalu dalam diri mereka. Partisipasi aktif mereka menjadi tanda
keterlibatan mereka bagi perkembangan iman mereka sendiri, tetapi juga dapat menjadi sebuah
kesaksian bagi umat lain bagaimana mestinya menjadi umat Kristen yang sejati. Dengan
partisipasi dimaksudkan di sini bahwa semua orang melibatkan diri dalam membangun sebuah
persekutuan iman, oleh karena iman itu selain ditanggapi secara pribadi perlu diungkapkan
secara bersama. Dan melalui keterlibatan bersama dalam aneka karya pastoral paroki (berguyub,
aktif dalam salah satu kegiatan parochial, dsb) di situ iman seseorang dipupuk dan
dikembangkan. Dengan demikian, semua orang pada akhirnya tanpa kecuali mengambil bagian
yang sama dalam perutusan Gereja. Jadi dalam poin ini, penulis melihat bahwa umat secara
keseluruhan perlu menyadari peranan mereka sebagai anggota Gereja yang juga dipanggil untuk
melanjutkan karya Yesus Kristus di dunia, mewartakan Injil dan membangun Kerajaan Allah di
tengah-tengah dunia. Konsili Vatikan II, sudah menegaskan hal ini, bahwa Gereja pada
hakekatnya bukan semata-mata hierarki. Seluruh umat dipanggil untuk berpartisipasi dalam
pengutusan Gereja untuk membangun tubuh Gereja, menjadi saksi Kristus dalam masyarakat dan
untuk tampil sebagai garam dunia serta meresapi dunia dengan kasih Allah.
Konsili Vatikan II memahami Gereja bukan sebagai kesatuan organisatoris dan bersifat yuridis
semata, melainkan lebih sebagai kesatuan iman, yang dibangun bersama-sama oleh seluruh umat
beriman Katolik, sehingga kehidupan dan perkembangan Gereja Katolik sungguh menjadi
tanggungjawab bersama umat beriman Katolik. Dengan ini, menuurt hemat L. Prasetya Gereja
Katolik ditampilkan dan dipahami lebih sebagai paguyuban umat beriman akan Yesus Kristus,
yang disebut Umat Allah yang disatukan berdasarkan pada kesatuan Bapa dan Putra dan Roh
Kudus. (LG 4). Dengan pemahaman ini menjadi jelas juga bahwa perutusan Gereja tidak lain
adalah tugas seluruh umat beriman dan tidak lagi dimonopoli kaum klerus atau hierarki. Dari
sebab itu, kaum beriman awam dipanggil, lewat KBG untuk bersama seluruh Gereja
mewujudkan perutusannya.

4.3. Membangun Budaya Tandingan: KBG Menjadi Tanda Kehadiran Kristus di Dunia
Kalau kita menyimak konteks hidup beriman zaman ini, tak dapat disangkal lagi bahwa
penghayatan iman umat kristiani sekarang berangsur-angsur menurun, jikalau dibandingakan
dengan pola hidup beriman umat yang belum tersentuh oleh kemajuan teknologi atau
perkembangan zaman. Menurut Theo C. Vergeer, dalam banyak situasi, komunitas Kristen
terancam eksistensinya karena gejala individualisme dan depersonalisme yang merajalela.
Baginya, pengaruh dunia modern antara lain lewat high technology (yang membawa
pergeseran nilai-nilai), sistem pendidikan (terarah pada prestasi pribadi), pasar bebas (yang
mengalahkan yang lemah) dan digitalisasi (segala-galanya diatur dari belakang komputer, tanpa
melihat wajah orang) telah masuk ke dalam kehidupan banyak orang. Kenyataan ini, tentu
merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi umat kristiani, yang juga adalah komunitas zaman
ini. Tantangannya yang mungkin cukup berat dihadapi yakni apakah jemaat Kristen sekarang
bisa menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia saat ini. Tanda-tanda itu
adalah hidup dalam persekutuan seperti para rasul atau jemaat perdana, berkumpul bersama,
berdoa bersama dan saling mengasihi satu sama lain (bdk. Kis 2: 41-47).
Penghayatan hidup seperti di atas dalam arti tertentu mesti menjiwai umat Kristen sekarang. Dan
hanya dengan cara penghayatan demikian, umat Kristen telah memulai apa yang disebut dengan
membangun budaya tandingan yakni mengokohkan iman akan Kristus di tengah kemajuan
zaman dengan berkumpul bersama, berdoa bersama, atau mengikuti kegiatan-kegiatan
lingkungan lainya atau bahkan mengadakan suatu kegiatan karitatif (karya sosial) dalam hidup
bersama. Citra diri seperti ini, perlu selalu dijaga dan ditingkatkan sehingga akhirnya menjadi
sebuah way of life, bahkan budaya baru dalam mengokohkan iman Kristen di tengah-tengah arus
perubahan dunia yang selalu menawarkan nilai-nilai baru, yang kadang-kadang berseberangan
dengan nilai-nilai Kristiani.

4.4. Perlu Perhatian dan Pendampingan dari Pastor Paroki


Kita telah melihat bahwa mentalitas hidup manusia dalam banyak hal telah terperangkap dalam
gaya hidup mondial, akibat adanya globalisasi. Dan kenyataan ini, kalau kita simak dengan baik,
sebetulnya merupakan tantangan-tantangan yang cukup serius bagi Gereja saat ini. Dengan
demikian, benarlah apa yang dikatakan John Tondowidjojo bahwa sejumlah tantangan tersebut
merupakan akibat langsung dari keadaan dunia yang sedang berubah. Menurutnya, tantangan itu
sudah dan terus memasuki kehidupan Gereja dan ini tidak hanya melanda kehidupan masyarakat.
Baginya, terhadap tantangan-tantangan itu, Gereja Paroki harus menghadapinya, sebab menurut
hematnya, Gereja dipanggil untuk mengetahui pemikiran-pemikiran dan kecenderungan di dalam
negeri maupun sedunia, baik dalam masyarakat maupun dalam terutama dalam Gereja sendiri.
Dalam arti ini, ia dipanggil untuk terus melihat tanda-tanda zaman. Apa artinya? Maksudnya
adalah bahwa Gereja mesti melihat, mengamati dengan serius dan sekaligus memperbaharui
imannya kepada Allah. Pertanyaan kita, tanda-tanda zaman apakah yang sekarang ini dihadapi
secara serius oleh Gereja? Tanda-tanda yang dimaksud adalah seperti yang sudah kita bahas di
atas yakni menguatnya materialisme, hedonisme ataupun konsumerisme bahkan individualisme
di segala lini kehidupan. Jikalau demikian, langkah atau strategi apa yang bisa diterapkan di sini
selain membangun budaya tandingan untuk mengkounter budaya zaman ini, terutama dalam
kehidupan di tingkat paroki (dalam keluarga, lingkungan maupun dalam kelompok-kelompok
kategorial, dsb.).
Menyimak bahwa tantangan dan harapan ini, menurut hemat penulis, perlu juga sikap dan
tanggungjawab dari Pastor Paroki dalam mendampingi atau membimbing umatnya. Kita melihat
bahwa munculnya KBG adalah pertama-tama karena kesadaran mereka untuk berguyub oleh
karena iman dan kesaksian hidup mereka akan Sabda Allah. Dari sebab itu, tidak ada cara lain
yang paling memungkinkan paguyuban ini semakin bertumbuh dan berkembang selain
keprihatinan dan sikap (respon) positif dari Pastor Paroki. Dengan kata lain, Pastor Paroki atau
pun petugas pastoral lainnya jangan sampai mematikan dinamika kehidupan mereka di tingkat
basis. Dalam arti ini, mereka harus dibina agar perkembangan dan kemajuan Gereja semakin
nyata melalui mereka sebagai anggota tubuh yang satu. Dalam arti ini, Pastor Paroki sebagai
pemimpin umatnya perlu selalu membangkitkan minat dan antusiasme umat untuk menghidupi
dinamika kehidupan berparoki. Salah satu tugas Pastor Paroki adalah menjalankan reksa pastoral
untuk kelompok (umatnya). Reksa pastoral yang dimaksud di sini pertama-tama menyangkut
pewartaan dan perayaan (Ekaristi), tetapi khususnya tertuju kepada pembentukan persekutuan,
sebagaimana ditentukan dalam kan 529 par 2. Di dalam kanon ini, dikatakan bahwa Pastor
Paroki bekerjasama dengan uskupnya dan para imam keuskupan, dalam usahanya agar umat
beriman memperhatikan kesatuan (communio) paroki dan mengambil bagian dalam mendukung
karya-karya yang memajukan kesatuan itu. Perhatian yang mendalam terhadap kegiatan-kegiatan
pastoral yang dijalankan umat, misalnya lewat komunitas basis, sebetulnya merupakan modal
yang kuat dalam mengembangkan persekutuan umat di dalam paroki. Dalam poin ini benarlah
apa yang dikatakan oleh Thomas P. Sweetser bahwa seorang Pastor Paroki adalah seorang yang
memiliki sikap kegembalaan yang baik. Itu mengandaikan bahwa seorang pastor atau seorang
pribadi, yang mengambil alih tempat pastor sebagai administrator pastoral. Ia harus tampil
sebagai pembawa atau pemegang impian maupun sebagai pendorong perubahan. Dalam
hubungan dengan umatnya, seorang Pastor Paroki adalah seorang yang sungguh-sungguh mau
memperhatikan kebutuhan dan keinginan umatnya. Dengan gaya kepemimpinan sebagai
pendamping yang baik inilah maka kita dapat mengatakan bahwa paroki itu sesungguhnya
adalah milik umat dan bukan milik Pastor Paroki. Dari sebab itu, kerinduan dan harapan umat
untuk mengembangkan imannya dengan berguyub bersama dalam komunitas basis (atau pun
dalam kelompok-kelompok kategorial lain) perlu dipelihara dan dikembangkan terus-menerus.

V. Penutup
Di tengah-tengah derasnya arus globalisasi, Gereja ditantang untuk menunjukkan jati dirinya
yang sesungguhnya. Salah satu identitas yang mesti selalu dipelihara adalah menghidupkan
semangat persekutuan atau paguyuban. Paguyuban atau persekutuan inilah yang diharapkan bisa
membantu mereka dalam mengembangkan dan menumbuhkan kehidupan beriman mereka di
tengah-tengah dunia yang terus berubah dan bergerak ini. Dengan mengupayakan paguyuban
bersama, misalnya lewat KBG tersebut, umat awam menampakkan partisipasi aktifnya dalam
mengupayakan sebuah pengembangan persekutuan di dalam Gereja, khususnya dalam paroki.
Sebuah paroki akan menjadi paroki yang berkembang dan bertumbuh subur, bila di dalamnya
tertanam semangat paguyuban di mana di dalamnya, umat beriman (awam) berdasarkan imamat
umumnya ikut menunaikan tugas perutusannya di dunia. Dan karya perutusan ini, akan semakin
sempurna bila Pastor Paroki atau hierarki berkenan memperhatikan, mendukung dan
mengarahkannya selalu sebagaimana tugas yang dipercayakan kepadanya (bdk. Kan 529 par 2).

DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Gereja:
Kitab Hukum Kanonik, 1983, terj. Sekretariat KWI, Jakarta: Obor, 1991.
Dokumen Konsili Vatikan II, ter. R. Hardawiryana, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI,
1993.

Buku-buku dan Artikel:


Adlin, Alfathri, Realitas Spiritualitas dan Hierarki Realitas dalam Alfathri Adlin (ed.),
Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer, Bandung: Jalasutra, 2006.
Djegadut, John (ed.), Evangelisasi Baru dalam Jemaat Basis, Ende: Nusa Indah, 1996.
Griffin, David Ray (ed.), Introduction: Postmodernimse Spirituality and Society dalam
Spirituality and Society Postmodern Visions, Albany: State University of New York Press, 1988.
Kirchberger, Georg, Misi Evangelisasi Penghayatan Iman, Maumere: Ledalero, 2004.
Prasetya, L., Keterlibatan Awam sebagai Anggota Gereja, Malang: Dioma, 2003.
Piliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Bandung:
Jalasutra, 2003.
Seran, Yanuarius, Pengembangan Komunitas Basis, Cara Baru Menjadi Gereja dalam Rangka
Evangelisasi Baru, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2007.
Sudhiarsa, Raymundus, Evangelisasi Berlanjut Meneruskan Wasiat Sang Guru, Yogyakarta,
Kanisius 2009.
________, Kearifan Sosial Lintas Budaya, SVD Surya Wacana Merespon Misi Gereja, Bantul,
Yoyakarta: Lamalera, 2008.
Susanto, Al. Amin & Tom Jacobs, Sumbangan Pemikiran di Sekitar Kepemimpinan Pastoral
Khususnya Kepala Paroki dalam J. B. Banawiratma (ed.), Petugas Pastoral Imam dan
Awam,Yogyakarta: IKIP Sanata Darma, 1987.
Tondowidjojo, John, Pastoral Paroki Masa Kini, Arah Dasar, Malang: Dioma, 1989.
_________, Arah dan Dasar Kerasulan Awam,Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Vergeer, Theo C., Mencari Model Misi: Penabur Menjadi Benih, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
KEPEMIMPINAN KOMUNITAS BASIS (01)

KOMUNITAS BASIS DAN KEPEMIMPINANNYA

Mengapa Menjadi Pilihan Pastoral Gereja Dewasa Ini

(Pendahuluan)

Pembicaraan seputar komunitas umat basis dan model kepemimpinan


pastoral yang diharapkan untuk dihidupkan menjadi topik yang hangat akhir-akhir
ini. Topik ini bukannya bisa diaplikasikan dengan mudah dan tanpa halangan,
paling kurang kalau kita menyimak tentang pro dan kontra sikap Gereja terutama
hirarkinya dalam tiga dekade terakhir.
Kenyataan pro dan kontra ini hemat saya berkaitan dengan pilihan Gereja-
Gereja lokal di seantero jagad ini yang mau dan telah menjadikannya sebagai
sebuah pilihan pastoral Gereja, yang mengusahakannya sebagai cara berada Gereja
di konteks masyarakatnya. Itulah sebabnya, kita sangat sering mendengar
ungkapan bahwa komunitas basis adalah satu cara berada Gereja yang sadar
konteks.
Bagian pertama pembahasan kita, coba melihat secara sekilas alasan atau
latar belakang, mengapa Komunitas umat Basis serta model kepemimpinan yang
diadopsinya menjadi sebuah pilihan perhatian. Saya katakan pilihan perhatian,
justru berangkat dari kenyataan bahwa tema atau topik ini menjadi tema yang kita
dalami dalam loka karya ini.
Kita akan mencoba melihat beberapa alasan atau latar belakangnya berikut
ini, yang dimulai dari alasan yang lebih umum hingga pemahaman tentang konteks
pastoral di mana kita hidup dan berkarya. Untuk kepentingan kita, saya akan
mencoba menyampaikan tiga alasan mendasar yakni: (1) paham tentang Gereja
dari Konsili Vatikan II, (2) situasi pastoral Asia dan mendesaknya pemberdayaan
komunitas basis, dan (3) visi dan program pastoral Gereja lokal (Keuskupan
Larantuka).

1.1. Konsili Vatikan II dan Kesadaran Diri Gereja


Perbincangan seputar komunitas basis dan model kepemimpinan yang
diterapkannya sungguh tak bisa dipisahkan dari karya Roh yang bekerja dalam
Gereja, terutama ketika para bapak konsili merefleksikan hakikat Gereja. Ada tiga
poin penting yang hendak kita lihat di sini yakni (a) hakikat Gereja sebagai
persekutuan, (b) focus yang diperbaharui dalam kaitan dengan tempat Sabda Allah
dan (c) pengertian yang lebih pas tentang misi sosial dari Gereja.

1.1.1. Gereja pada dasarnya adalah Persekutuan dan komunitas basis menjadi
satu bentuk aktualisasi Gereja di lingkungannya
Ungkapan dan deskripsi tentang Gereja yang dihasilkan oleh Konsili
Vatikan II mengungkapkan hakikat Gereja dalam berbagai nama seperti Umat
Allah,1[1] Tubuh Kristus, Mempelai Kristus, Kenisah Roh Kudus, dan juga
Keluarga Allah. Semua ungkapan yang digunakan di sini saling melengkapi satu
sama lain dan harus dipahami dalam terang misteri Kristus atau misteri Gereja
dalam hubungannya dengan Kristus sendiri. Nampak sangat jelas bahwa paham
tentang Gereja dalam semua ungkapan ini menjelaskan tentang hakikat Gereja
sebagai persekutuan. Eklesiologi persekutuan ini sungguh merupakan ide sentral
yang dimiliki oleh Konsili Vatikan II tentang Gereja.
Pertanyaan sekarang ialah bagaimana ungkapan persekutuan atau
communio itu dimengerti? Pada dasarnya communio yang dimaksudkan
Gereja itu bersumber pada persekutuan Allah Tritunggal2[2], persekutuan antara
Allah Bapa bersama Putera dalam Roh Kudus, yang di dalam Gereja diungkapkan
melalui Sabda Allah dan sakramen-sakramen Gereja. Bagaimana hal ini dipahami.
Orang Kristen masuk dalam persekutuan dengan Gereja melalui Sakramen Baptis
yang sekaligus menjadi pintu masuk dan dasar persekutuan dalam gereja. Setelah
itu Ekaristi menjadi puncak dan sumber kepenuhan hidup Kristianinya.3[3] Dan
dalam Ekaristi inilah Gereja local sebagai persekutuan umat Allah merayakan
kenangan akan Kristus yang sedang memberikan diriNya dan mencintai umatNya.
Di sinilah, dalam berbagi roti dan anggur, semua yang mengambil bahagian di
dalamnya dilebur menjadi Satu Tubuh Kristus.4[4] Persekutuan dengan Tubuh

1[1] Lihat CONGAR, Yves, This Church that I Love, (terjemahan oleh Lucien Delafuente).
(Denville, New Jersey: Dimension Books, l969). Congar mengatakan, "Konsep 'Umat Allah
sebagaimana ada dalam Kitab Suci memberi kemungkinan kepada kita untuk menegaskan tentang
kesamaan derajad orang beriman dalam kehidupan menggereja, juga ketidak samaan derajat mereka
dalam fungsi dan peran sebagai anggota Gereja" (halaman 23).
2[2] Bandingkan. O HALLORAN, James, Signs of Hope, Developing Small Christian Communities.
(New York: Orbis Book, 1991), 26. Menarik untuk memperhatikan bagaimana ia menjelaskan persoalan
di sini. Di bawah judul Gereja sebagai Persekutuan, dia memberikan pendasaran atas dasar trinitaris
darui Komunitas Basis. Dia menulis, <>.
3[3] LG.11.
4[4] TILLARD, J.M.R. OP., Church of Churches, the Ecclesiology of Communion. (Minnesota; The
Liturgical Press, 1992), 37.
Tuhan dalam Ekaristi ini pula yang menghidupkan persekutuan yang intim dari
seluruh umat beriman dengan Tubuh Tuhan yang adalah Gereja (1 Kor. 10:16).

Pendapat seperti ini disampaikan juga oleh Avery Dulles dalam


penjelasannya tentang model kedua dari Gereja sebagai persatuan mistik. Ia
menekankan bahwa Gereja dimaksudkan untuk menghantar manusia kepada
persekutuan dengan yang Ilahi. Dia menambahkan bahwa di manapun Gereja
hadir, para anggotanya sebenarnya telah bersatu dengan Allah. Dengan kata lain, di
mana orang menjadi anggota Gereja, mereka sesungguhnya telah sebahagian dari
tujuan eksistensinya, yakni bersatu dengan Allah.5[5]

Itulah sebabnya menurut Congar, eklesiologi persekutuan tak bisa diredusir


hanya kepada persoalan-persoalan organisasi atau hanya kepada persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan kekuasaan.6[6] Masih dalam kaitan dengan ini,
eklesiologi persekutuan ini menjadi juga dasar dari semua aturan dalam Gereja,
secara khusus lagi berkaitan dengan hubungan yang benar antara kesatuan dan
keanekaan dalam Gereja. Jadi dalam semua hubungan dan aturan, sesungguhnya
eklesiologi persekutuan ini sangat menjamin tempat bagi partispasi dan tanggung
jawab bersama dalam semua level pemerintahan dan pelayanan Gereja.7[7]

Masih dalam kaitan dengan pemahaman Gereja sebagai persekutuan, Konsili


Vatikan II juga menemukan karakter lokal dari Gereja: bahwa Gereja
mengaktualisasikan dirinya secara penuh dalam Gereja-Gereja local. Dengan
demikian, Gereja lokal adalah Gereja dalam kepenuhannya dan Gereja universal

5[5] DULLES, Avery, SJ, Models of the Church, A Critical Assessment of the Church in All Aspects.
(Dublin: Gill and Macmillan Ltd, 1987), 58.
6[6] Bdk. CONGAR, Yves, Power and Poverty in the Church, (translated by Jennifer Nicholson).
(Baltimore: Helicon, 1964), 40 - 79. Pada bahagian kedua dari buku ini, Congar memaparkan tentang
Perkembangan historis dari Kekuasaan dalam gereja, mulai dari Katolik pada masa Para Martir dan
Monasteri sampai pada masa kini. Pada kesimpulannya, dia menulis, Komunitas atau ecclesia-lah yang
pertama-tama dilihat, baru sesudah itu perhatian diberikan kepada kuasa potestas dari kepalanya. Hal
pertama yang dilihat ialah bahwa komunitas itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, baru setelah itu
susunan strukturnya dan organisasinya. . . " (halaman 77)
7[7] SYNOD of Bishops 1985, The Church in the Word of God celebrates the Mysteries of Christ
for the Salvation of the World. Final Report to the Synod, written by Cardinal Godfried Daneels,
Archbishops of Malines, Brussels, dalam East Asian Pastoral Review, Vol. XXIII, No. 1, (Manila: EAPI,
1986), 17 - 21. Bandingkan juga CONGAR; Yves, Blessed is the Peace of My Church, (translated from the
French by Salvator Attanasio), New Jersey, Dimension Books, 1973), 76; ketika dia menulis bahwa
"Hirarki dan Paus sendiri bukan berada di atas komunitas tetapi ada di dalam komunitas. "
sendiri dilihat sebagai persekutuan Gereja-Gereja lokal.8[8] Gereja yang demikian
menjadi Gereja pribumi dan inkulturatip. Bila beginilah hakikat Gereja, maka kita
sebagai Gereja harus menjadi satu Gereja yang rendah hati dan terus-menerus
berdialog dengan budaya, dengan religiositas setempat. Secara singkat Gereja yang
berdialog dengan semua aspek hidup orang, yang melaluinya Gereja telah berakar
dan menjadi bagian dari keberadaannya.9[9]

Lalu bagaimana hubungan antara Gereja dan komunitas basis? Dewasa ini
ketika berbicara tentang komunitas basis, kita akan selalu mulai dari aspek
communio atau persekutuan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Komunitas basis
bukanlah satu pemahaman yang bertentangan dengan Gereja, melainkan adalah
suatu pencarian akan satu bentuk baru atau ekspresi dari cara berada Gereja, yang
lebih komunitarian dalam ekspresinya dan lebih terintegrasi dalam masyarakat, dan
pada akhirnya kita boleh berharap untuk bias mengatasi anonimitas, kurangnya
relasi dan birokrasi yang berbelit-belit dalam tubuh Gereja sendiri.10[10]
Jadi, visi tentang Gereja, mulai dari Gereja Universal hingga komunitas
basis sebagai aktualisasi dan lokalisasi dari Gereja adalah satu visi tentang
persekutuan dan partisipasi dari cara berada Gereja. Visi ini melibatkan semua
unsur umat beriman dalam Gereja: kaum awam, kaum religius, imam dan uskup
dalam karya dan pelayanan pastoral Gereja. Tentunya visi ini meminta juga gaya
kepemimpinan baru, yakni kepemimpinan yang memampukan dan menganimasi
semua.

1.1.2. Sabda Allah dan Tempatnya di Komunitas Beriman


Konsili Vatikan II juga mewariskan kepada Gereja sebuah pemahaman baru
tentang tempat Sabda Allah dalam kehidupan Gereja. Tentang akses kepada Sabda
Allah, dalam dokumen Dei Verbum, terutama dalam bab 4 tentang Kitab Suci
dalam Kehidupan Gereja, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa akses kepada
Kitab Suci telah terbuka lebar untuk semua orang Kristen.11[11] Karena itu Gereja

8[8] SDEGFRIED Wiedenhoefer, "Ecc1esiologia," in SCHNEIDER Theodor (editor), Nuovo Corso di


Dogmatica, Vol. 2 (Brescia: Editrice Queriniana, 1995), 104.
9[9] Pernyataan Akhir dari Sidang, "Evangelisation in Modern Day Asia", Statement and
Recommendations of the First Plenary Assembly, Taipei, Taiwan, 27 April 1974, dalam ROSALES,
Gaudencio and AREVALO C.G., For All Peoples of Asia, Vol. 1, FABC Documents from 1970 to 1991,
(Manila: Claretian Publications,1997), 14.
10[10] See, SDEGFRIED Wiedenhoefer, "Ecc1esiologia, 160
11[11] DV. 21
sejak awal berdirinya telah menterjemahkan Kitab Suci ke dalam berbagai bahasa,
dalam persetujuan dengan otoritas Gereja dalam kerja sama dengan semua saudara
yang beriman Kristen. Semuanya usaha ini dimaksudkan agar Gereja terus
membantu menghidupkan umat beriman dengan kekuatan Sabda Allah sendiri.
Kembalinya tempat Sabda Allah ke tangan kaum beriman, teristimewa ke
tangan umat disambut gembira oleh seluruh Gereja dan ditanggapi dengan
berbagai program dan kegiatan di tengah umat. Kebiasaan membaca, merenungkan
Sabda Allah serta mensyeringkannya menjadi keseharian umat beriman. Berbagai
kelompok pendalaman Kitab Suci bertumbuh kembang di mana-mana dan
kemudian menemukan tempatnya yang strategis dalam komunitas basis seantero
jagad.
Kehadiran komunitas basis di seantero jagad dengan berbagai nama dan
bentuknya menempatkan Sabda Allah sebagai elemen penting dari kehadirannya.
Hal ini rupanya juga menjawab pertanyaan untuk apa anggota komunitas bertemu
kalau ekaristi tak bisa dirayakan dalam komunitas basis, oleh karena kurangnya
pelayan tertahbis. Jadi pada salah satu unsur yang merekatkan persatuan dalam
komunitas bukan saja diwarnai oleh kegiatan yang bernuansa sosial ekonomis,
tetapi juga yang rohani, hal mana dijawab dengan adanya tempat sentral Sabda
Allah dalam pertemuan komunitas.
Ketika komunitas basis dihubungkan dengan Sabda Allah dan refleksinya,
kita berbicara tentang kebiasaan berbagi pengalaman iman dalam komunitas
sebagai satu karakter penting dalam hidup komunitas. Syering iman adalah suatu
syering refleksi dari pengalaman akan Allah dalam hidup komunitas tentang
bagaimana Allah menyentuh setiap pribadi dan bagaimana pribadi-pribadi itu
menanggapi sentuhan kasih Allah itu.12[12] Syering yang demikian sesungguhnya
adalah satu tindakan yang mengungkapkan kepercayaan total. Ia mengungkapkan
bagaimana orang mengundang orang lain ke dalam bagian dari kepribadiannya
yang paling intim, di mana ia menyimpan berbagai nilai, kepercayaan, komitmen,
keraguan dan juga berbagai pengalaman berkaitan dengan kesulitan dan tantangan.
Pada saat anggota komunitas mendengarkan kisah dan pengalaman saudara-
saudarinya, akan muncul apreasi dalam diri mereka akan bagaimana Allah bekerja
dalam hidup setiap anggota komunitas beriman. Dengan demikian yang menjadi
tujuan syering iman ini adalah mendengarkan bagaimana Sabda Allah dan
KehendakNya yang selalu menyapa setiap orang secara baru dalam hidup
komunitas.

12[12] Lihat SOFIELD, Loughlan, Rosine Hammet dan Carroll Juliano, Building Community:
Christian, Caring, Vital.(Indiana: Ave Maria Press, 1998), 123-130.
Hingga di sini kita bisa mengerti kenapa Sabda Allah itu begitu vital
perannya dalam kehidupan kaum beriman dan kehidupan komunitas beriman.
Memberikan tempat yang penting bagi Sabda Allah dalam kehidupan komunitas
basis dan berbagai bentuk komunitas hidup bersama mengaffirmasi tentang
kehadiran Allah yang terus berkarya dalam sejarah kehidupan manusia beriman. Ia
akan menolong orang untuk menyadari kehendak dan rencana Allah dalam
hidupnya, dan menolong orang beriman untuk memperdalam relasinya dengan
Allah. Karena sesungguhnya kehidupan komunitas beriman Kristen adalah satu
perjalanan spiritual, satu perjalanan menuju Allah, dan perjalanan menuju
kedalaman pribadi manusia itu sendiri.

1.1.3. Gereja dan Kesadaran akan Misinya di tengah Masyarakat


Satu hal lain yang menjadi alasan mengapa kita membahas komunitas basis
dalam kaitan dengan Konsili Vatikan II adalah soal kesadaran akan misi yang
diemban Gereja sebagai satu bentuk pengabdian sosialnya di tengah masyarakat.
Dalam pembukaan konstitusinya tentang Gereja dalam Dunia Modern, Gaudium et
Spes, bapak-bapak Konsili menyampaikan bahwa, kegembiraan dan harapan,
kecemasan dan duka dari manusia zaman ini, terutama dari mereka yang miskin
dan menderita adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari semua
pengikut Yesus.13[13] Karena itu semua anggota komunitas beriman tergerak
untuk menjadi solider dengan umat manusia dan diajak untuk menjadi peka dan
mampu membaca tanda-tanda zaman serta menilainya dalam terang Sabda Allah,
dan bersama-sama berjalan menuju Allah yang menghendaki kebaikan bagi semua.
Penegasan ini mengingatkan kita semua bahwa Gereja dalam diri para
anggotanya memiliki tanggung jawab secara sosial untuk mengambil bahagian
dalam usaha pembangunan masyarakat dan secara khusus memberikan perhatian
lebih kepada mereka yang diabaikan atau dilupakan dalam masyarakat. Gereja
masih berada dalam dunia. Karena itu para anggotanya mesti menyadari bahwa
uapaya mencapai keselamatan hendaknya tidak bersifat tertutup dalam arti
mengusahakan keselamatan diri sendiri tetapi mengusahakan agar semua manusia
mencapai keselamatan.
Mgr. Timothy O Brien ketika mengamati Gereja Pasca - Vatikan II
mengatakan bahwa semenjak Konsili Vatikan II, Gereja berjuang menjadi Umat
Allah. Sambil menyitir konsep Yohanes tentang Allah adalah cinta dan Allah itu
pada hakikatnya telah mengosongkan diriNya sendiri, maka kita anggota Gereja
seharusnya menjadi orang yang siap untuk megosongkan diri kita demi

13[13] GS. 1
mewujudkan Kerajaan Allah. Untuk mengosongkan diri kita sendiri, pertama-
tama kita mesti mengenal kebutuhan satu sama lain. Untuk itu, Gereja dalam diri
anggota-anggotanya harus menjadi Gereja yang terlibat.14[14]
Apa yang disampaikan O Brien di atas sejalan dengan pendapat Donal
Dorr, ketika ia berbicara tentang dibutuhkannya satu spiritualitas yang seimbang
bagi anggota komunitas basis. Ia mengungkapkannya dalam kalimat, Berjalanlah
dengan rendah hati bersama Allahmu Mencintailah dengan ikhlas dan -
Bertindaklah dengan benar dan adil.15[15] Ajakan untuk bertindak dengan benar
dan adil merujuk pada tata tindak anggota komunitas basis di tengah masyarakat,
yakni bahwa kita semua dipanggil untuk menghidupkan dan membawa pesan
Sabda Allah (Injili) dalam semua bidang kehidupan. Itu berarti bahwa khabar
gembira harus dibawa ke tengah keluarga, ke tempat kerja dan ke pasar, dalam
ruang kehidupan bermasyarakat sipil dan politik.

1.2. Situasi Pastoral Asia dan Mendesaknya Pemberdayaan Komunitas Basis


Situasi yang terjadi dalam Gereja universal juga dialami oleh Gereja di Asia,
walaupun ada kekhususan karakter di sini. Ara Uskup Asia dalam konperensinya
(FABC) melihat adanya tiga kunci utama meneropong situasi Asia dewasa ini.
1.2.1. Realitas tragis bahwa Asia ini adalah benua yang sangat besar dengan
banyaknya jumlah orang miskin.
1.2.2. Asia adalah tempat lahir dan tempat bertemunya semua agama besar dunia
dan berbagai aliran filsafat besar di dunia
1.2.3. Asia adalah tempat lahirnya budaya-budaya besar dunia dan dipandang
sebagai ibu dari peradaban dunia.
Inilah tiga situasi pastoral khas Asia yang meminta kita juga menerapkan
tiga pendekatan yang berhubungan dengan dialog, yakni : dialog dengan yang

14[14] Gereja yang terlibat dalam konsep O Brien dimaksudkan untuk selalu berkembang dalam
tiga bidang ini yakni (a) mengembangkan pemahaman bahwa kita ini terbatas, (b) mengubah struktur
diri kita sebagai tanggapan atas situasi sosial, budaya dan politis dewasa ini dan (c) menemukan
identitas kita sebagai Gereja dalam identitas dan misi Yesus Kristus sendiri. Lihat O BRIEN Timothy,
Mgr.and Margareth Gunnel, Why Small Christian Communities Work. (California: Resource Publication,
Inc., 1996), halaman 28-37.
15[15] DORR, Donal, Spirituality and Justice. (Dublin: Gill and Macmillan, 1984), hal. 8-18.
Ungkapan di atas dijabarkannya dalam tiga ajakan berikut, yakni setia kepada Allah dan kehendaknya
(hubungan personal dengan Allah), solider satu terhadap yang lain (aspek hubungan interpersonal) serta
peka dan terlibat dalam kehidupan masyarakat luas (dalam hubungan dengan kepentingan publik).
miskin, dialog dengan orang beriman dan berkepercayaan lain dan dialog dengan
budaya. Dan ketiga pendekatan ini menuntut pula suatu cara berada Gereja Asia
yang baru, suatu Gereja yang sungguh-sungguh meng-Asia.
Cara berada Gereja yang demikian berarti satu communio atau persekutuan;
bahwa Gereja Asia adalah orang-orang yang berada dalam communio dengan
Allah yang satu, bahwa Gereja Asia bersatu dengan Gereja universal dan ada
dalam persatuan dengan orang Asia dan budayanya. Inilah yang disebut dengan
communio, persekutuan dengan komunitas-komunitas orang beriman Asia.
Bila communio model inilah yang dibutuhkan, maka Gereja Asia harus
berbicara, bertindak dan menghidupi suatu persekutuan dengan Roh Tuhan dalam
suatu spiritualitas yang sungguh kontemplatif (membaca, mendoakan dan
merenungkan Sabda Allah) dan sungguh apostolik (berkarya kerasulan). Dan cara
hidup atau cara berada yang sepadan dengannya, bisa diungkapkan dalam suatu
komunitas yang disebut dengan nama komunitas (umat) basis.

1.3. Visi dan Program Pastoral Gereja - Gereja Lokal (secara khusus
Keuskupan Larantuka)
Bergerak ke situasi di mana kita hidup dan berkarya, kita juga menemukan
ajakan yang sama untuk memberdayakan komunitas basis yang diserukan oleh
Gereja Katolik Indonesia. Para Uskup bersama semua utusannya, dalam
kesemapatan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2000 mengajak
agar dalam mengembangkan komunitas-komunitas basis, hendaknya diperhatikan
semangat keterbukaan karena bertolak dari kenyataan bahwa kita hidup dalam
masyarakat dan budaya yang majemuk.16[16] Karena keterbukaan merupakan
sikap yang menentukan untuk selalu membaharui diri, membangun persaudaraan
sejati serta semakin menghadirkan Kerajaan Allah melalui perjuangan keadilan,
kebenaran dan kesetaraan jender. Sidang ini sesungguhnya merupakan sebuah
momen yang berlangsung untuk mensyukuri Yubileum Agung Tahun 2000 serta
kesempatan bagi para gembala di negeri ini untuk menggumuli arah Gereja
memasuki Millenium III.
Ajakan para Uskup Indonesia dalam sidang tahunannya ini sesungguhnya
mengakomodasi berbagai upaya yang telah dilaksanakan oleh berbagai Gereja
lokal di negeri ini yang telah jauh-jauh hari memilih komunitas basis sebagai satu
pilihan pastoral yang lebih menyapa umat. Sebelum dilaksanakannya SAGKI
2000, para uskup Regio Nusa Tenggara dalam pertemuan pastoralnya yang ke lima

16[16] Panitia SAGKI 2000, Gereja yang Mendengarkan. Jakarta: Panitia SAGKI 2000, 2000),
halaman 5-6. Sidang ini mengambil tema Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Indonesia Baru.
di Ruteng, Keuskupan Ruteng pada bulan Agustus 1999 17[17], telah menegaskan
supaya merayakan Yubileum Agung dengan mengembangkan tema pembebasan
dan pertobatan.
Menindak lanjuti ajakan pertemuan pastoral regio Nusa Tenggara ini,
Keuskupan Agung Ende pada Juli 2000 dalam kesempatan Musyawarah Pastoral
IV merayakan Yubileum Agungnya dengan mengadakan sidang pastoral lima
tahunannya. Musyawarah ini kemudian menghasilkan arah dasar dan strategi
pastoral keuskupan Agung Ende memasuki milenium III kekristenan dengan
menegaskan Pastoral Pembebasan dan Pemberdayaan sebagai arah dasar dan
strategi pastoralnya.18[18] Muspas IV dan kemudian MUSPAS V tahun 2005 dan
MUSPAS VI tahun 2010 Keuskupan Agung Ende ini menempatkan pembebasan
dan pemberdayaan komunitas basis serta kepemimpinan pastoralnya sebagai
strategi untuk mencapai pelayanan pastoral yang lebih menyapa umat.
Setelah semua konteks yang lebih luas di atas, kini kita melihat alasan
mengapa lokakarya dengan tema Kepemimpinan pastoral umat basis ini diadakan.
Dugaan saya ialah karena kita sadar konteks, di mana kita berada dengan segala
tuntutan dan tuntunannya. Gereja keuskupan Larantuka tidak tinggal diam. Melalui
repelita demi repelitanya, Keuskupan ini telah menjawabi persoalan pastoral
dengan berbagai pendekatan sebagaimana nampak terbaca dalam arah dasar
pastoral keuskupan ini.
Berhubungan dengan Komunitas Basis Gerejani, keuskupan Larantuka
menjelaskan dalam pendasaran teologis visi dan misinya sebagai berikut. KBG
bukan sekedar nama atau istilah, melainkan Gereja yang hidup bergeark dinamis
dalam pergumulan iman. Ia akan memberi wajah baru hidup menggereja yang
mampu berbela rasa dengan saudara yang miskin dan tertindas. Dengan KBG [ ... ]
Gereja diharapkan bisa lebih mengakar, lebih kontekstual dan mampu menjalankan
perannya dalam menggarami dunia dengan lebih baik.19[19]
Dengan pandasaran teologis visi ini, Gereja Keuskupan Larantuka
menjadikan Pastoral Komunitas Basis sebagai salah satu program pastoral

17[17] Pertemuan Pastoral Regional Nusa Tenggara biasanya dihadiri oleh para Uskup Nusa
Tenggara bersama utusan umat keuskupannya. Keuskupan yang termasuk di dalamnya adalah Keuskupan
Agung Ende dengan keuskupan sufragannya: Maumere, Larantuka, Ruteng, dan Keuskupan Agung
Kupang bersama keuskupan sufragannya Atambua, Sumba dan Denpasar.
18[18] Lihat Pusat Pastoral KAE, Pastoral Pembebasan dan Pemberdayaan Keuskupan Agung
Ende Memasuki Milineum Ketiga (Musyawarah Pastoral IV dan Amanatnya). (Ende: Puspas KAE,
2001.)
19[19] Sekretariat Pastoral Keuskupan Larantuka, Arah Dasar Pastoral Keuskupan Larantuka,
(Larantuka: Penerbit Sekpas Keuskupan Larantuka, 2007), halaman 9.
Keuskupan. Dalam arah dasar pastoralnya tentang program yang satu ini
dinyatakan, Sudah menjadi komitmen kita untuk menjadikan komunitas basis-
komunitas basis di paroki-paroki kita menjadi basis yang kuat dari kehidupan
gereja lokal di keuskupan ini. Hal ini dinyatakan sebagai kelanjutan dari program
Repelita III pastoral keuskupan ini, sebagai berikut, Kita lanjutkan program
pemberdayaan para pemimpin basis [...] Kesadaran dan pemahaman terhadap
pentingnya hidup berkomunitas hendaknya kembali dibangun dan ditanamkan
dalam hati umat kita melalui program-program penyadaran.20[20]
Semua yang diangkat di atas sebagai alasan mengapa kita memberikan
perhatian pastoral kepada komunitas basis dan model kepemimpinannya,
memberikan kepada kita dasar yang cukup kokoh untuk menjelaskan tema tentang
Kepemimpinan Pastoral Komunitas Basis. Dan materi yang disampaikan dalam
lokakarya ini diharapkan menjawabi kebutuhan kita semua akan satu cara
berpastoral dalam cara berada yang baru dalam Gereja yang lebih sadar konteks.

20[20] Ibid. halaman 49.


''Komunitas Basis Gerejani sebagai Tanda Nyata Kehadiran Kristus di Dunia''
Saudari-Saudara terkasih dalam Kristus,
Pada hari Rabu yang akan datang, bersama-sama seluruh Gereja, kita akan memasuki
masa Prapaskah. Kita semua tahu, Prapaskah merupakan waktu yang istimewa ketika
kita diundang untuk bersama-sama memperdalam iman dan mengembangkan hidup
kita sebagai murid-murid Yesus melalui pertobatan yang terus-menerus. Dalam masa
Prapaskah 2011, marilah kita merenungkan secara khusus mengenai hidup sejati yang
terwujud melalui hidup berkomunitas. Hal ini sejalan dengan tema Aksi Puasa
Pembangunan Keuskupan Bandung 2011, yaitu ''Kesejatian dalam Mewujudkan
Diri Menuju Perwujudan Komunitas.'' Kita diajak untuk mengisi masa tobat ini
dengan semakin menyadari segi gerejani hidup beriman kita. Berkat baptisan, kita
menjadi bagian dari Gereja yang menjalankan perutusan Kristus di dunia ini. ''Mari
ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.'' (Mat. 4:19). Tanggapan para
murid atas ajakan Yesus ini melahirkan komunitas para murid yang bertekun dan setia
mendengarkan kehendak-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Itulah Gereja yang
merupakan komunitas para murid. Kita adalah juga para murid yang dipanggil untuk
hidup berkomunitas, bersaudara, berjemaat, dalam kesatuan dengan Kristus untuk
menjadi ''penjala manusia.''
Sementara itu kita sadari pula bahwa Gereja sebagai komunitas para murid masih
harus terus-menerus kita bangun. Pertanyaan mendasar ialah apakah kita sudah
mengalami Gereja sebagai persekutuan atau persaudaraan para murid Yesus?
Bagaimana kita bisa mengalaminya? Dengan rendah hati marilah kita akui bahwa kita
belum sungguh mengalami Gereja sebagai keluarga, tempat kita saling berbagi dan
mengampuni, menumbuhkan dan meneguhkan; Gereja belum cukup menjadi ruang
dimana kita bersama berdoa dan berkarya, memuji dan berbakti. Ada godaan besar
bagi kita untuk hidup dalam kesendirian, menghayati iman dalam kesendirian pula,
sehingga lupa bahwa kita adalah anggota Gereja. Kita diajak untuk rela terlibat didalam
komunitas-komunitas basis Gerejani yang hidup di keuskupan dan paroki kita.
Keterlibatan kita di wilayah dan lingkungan paroki merupakan tanggapan atas panggilan
Tuhan untuk berjumpa dengan saudari-saudara seiman membangun persekutuan yang
semakin kokoh. Kerelaan kita untuk bergabung dan aktif dalam komunitas-komunitas
kategorial, baik komunitas doa ataupun karya, merupakan kesempatan untuk
bertumbuh bersama dalam komunitas. Demikian pula, ketekunan kita untuk
membangun keluarga kristiani merupakan dasar panggilan dan pengalaman kita untuk
hidup menggereja.
Kita dipanggil untuk bersatu, bersaudara. Persatuan dan persaudaraan itu kita alami
dalam keluarga dan komunitas basis Gerejani yang merupakan tanda nyata dari
kehadiran Kristus di dunia ini. Itulah harapan Tuhan yang terungkap lewat doa-Nya
kepada Bapa bagi para murid-Nya: ''Ya Bapa, semoga mereka menjadi satu di dalam
Kita, sama seperti Engkau di dalam Aku, dan Aku di dalam Engkau, agar dunia percaya
bahwa Engkaulah yang mengutus Aku.'' (Yoh. 17:21) Persekutuan yang kita bangun
menjadi kesaksian akan kasih Allah yang nyata dalam diri Yesus Kristus. Dengan
demikian, persekutuan kita dalam iman itu menjadi pewartaan atau kesaksian kita
kepada dunia akan Allah yang adalah Kasih.
Saudari-saudara yang terkasih,
Almarhum Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa ''Komunitas basis gerejani
merupakan tanda kehidupan dan vitalitas dalam Gereja, alat formasi dan evangelisasi,
serta menjadi titik awal perwujudan masyarakat baru yang didasarkan atas peradaban
kasih.'' Kehidupan sejati sebagai murid Kristus akan tampak dalam keterlibatan kita
menciptakan peradaban kasih itu. Melalui komunitas, persekutuan, persaudaraan iman,
yang ditandai dengan semangat berbagi dan mengasihi, kita menegakkan peradaban
kasih dan bersaksi dan mewartakan kekuatan kasih dalam melawan budaya kebencian
dan kematian.
Dengan demikian, selain dimensi eklesial, buah pertobatan kita juga harus membawa
kita pada kesadaran akan dimensi sosial hidup kita. Perutusan yang kita terima dari
Kristus membawa kita pada perjumpaan dengan dunia dan realitas di mana kita hidup.
Kita adalah bagian dari komunitas sosial yang, disatu pihak menampilkan kekayaan dan
keberhasilan, senyuman dan kebahagiaan. Namun, di lain pihak komunitas sosial itu
juga berwajah suram penuh dengan tangisan dan ratapan, bergelimang dosa dan
nestapa. Lingkungan di mana kita tinggal penuh dengan raut kemiskinan dan
kelaparan, kekerasan dan kebencian. Justru dalam situasi seperti inilah, komunitas
basis Gerejani menjadi saksi utama dan tanda kasih-kebaikan Tuhan, bila kita mampu
hidup dalam kasih yang diwarnai dengan kemauan berbagi dan mengampuni.
Sabda Tuhan pada hari ini menegaskan kembali betapa pentingnya kesadaran akan
dimensi eklesial dan sosial ini agar kita dapat menjalankan perutusan Kristus. ''Bukan
setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga, melainkan ia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga.'' (Mat. 7:21).
Tuhan menghendaki agar kita menegakkan peradaban kasih melawan budaya
kematian dan menghadirkan kasih-kebaikan Tuhan. Komunitas basis Gerejani yang kita
bangun, keluarga kristiani yang kita hidupi dapat menjadi alat kasih itu. Melalui
komunitas iman yang menjadi alat peradaban kasih Allah, kita telah dan terus berusaha
membangun kehidupan yang sejati.
Saudari-saudara yang terkasih,
Marilah kita mengisi hari-hari puasa dan tobat dengan semakin menjadikan diri kita
bagian dari komunitas eklesial dan sosial. Kita syukuri panggilan Tuhan yang telah
menjadikan kita utusan-Nya. Kita jalani perutusan itu dengan hidup dalam komunitas
iman yang menjadi tanda peradaban kasih Tuhan. Melalui kita semua, Gereja yang
misioner akan terwujud, dan peradaban kasih akan terbangun. Semoga dengan
demikian, bersama dengan komunitas, perskutuan atau persaudaraan lain yang tumbuh
di masyarakat kita, Gereja Keuskupan Bandung akan semakin hidup, mengakar, mekar,
dan menghasilkan buah-buah peradaban kasih. Berkat Tuhan dan salam saya untuk
segenap keluarga dan komunitas.
Bandung, 31 Januari 2011

Mgr.Ignatius Suharyo
Administrator Apostolik
Komunitas-Basis Yang Berdaya Bagi Indonesia Baru

Oleh J. Sunarka, SJ

A. MENDALAMI PEMAHAMAN KOMUNITAS BASIS

Komunitas, paguyuban, kelompok pepanthan, kumpulan, jemaat, umat, menunjuk pada beberapa
pribadi orang, yang secara tetap bertemu, saling berhubungan atau berkomunikasi. Suatu
Komunitas yang konstitutif bagi komunitas-komunitas lainnya, artinya: yang mau tak mau harus
ada. Itulah komunitas-basis.

Komunitas-basis adalah komunitas yang paling bawah, yang menjadi penyangga bagi
komunitas-komunitas yang lain. Komunitas yang lain adalah komunitas menengah. Dan masih
ada lagi komunitas puncak. Masing-masing komunitas ini sifatnya majemuk. Maka:
Komunitas-basis masih dapat dirinci lagi: ada komunitas-basis bawah, ada komunitas-basis
menengah dan ada komunitas-basis atas.
Demikian pula komunitas-basis-menengah masih dapat dirinci lagi menjadi komunitas-basis-
menengah bawah, komunitas-basis-menengah menengah dan komunitas-basis-menengah atas.
Begitu juga lalu ada komunitas-basis-atas yang juga dapat dibeda-bedakan sebagai komunitas-
basis-atas yang bawah, yang menengah dan yang atas.

Yang paling menentukan adalah komunitas-basis bawah. Kalau tidak ada komunitas-basis
bawah, maka komunitas menengah dan komunitas puncak roboh semua. Adanya pribadi-pribadi
jelaslah tidak termasuk pada pengertian komunitas-basis. Kedekatan dan kekerapan hubungan
pribadi-pribadi dihayati oleh suami dan isteri serta anak. Inilah keluarga. Sedangkan paguyuban
yang disebut rukun tetangga, rukun warga dan kelurahan, kecamatan dst. adalah komunitas-basis
yang sifatnya sudah merupakan olahan komunitas-basis. Demikian pula dalam kalangan umat
katolik: apa yang disebut lingkungan, wilayah, stasi, paroki, sudah merupakan lingkup cakupan
dari komunitas-basis paling bawah yaitu keluarga-keluarga. Perlu kita sadari, bahwa issue
komunitas-basis pada umumnya, seperti diangankan oleh Komisi Teologi KWI, sudah
berkonotasi pada komunitas-basis yang tidak lagi paling dasar.

Komunitas-basis yang digambarkan adalah stasi, lingkungan, dan ini sudah menyangkut
komunitas-basis yang sebetulnya sudah tidak basis lagi. Ini sudah merupakan komunitas-basis
cakupan. Maka unsur komunitas-basis cakupan adalah pribadi-pribadi yang berasal dari keluarga
sebagai "komunitas basis paling basis" dan mau berkumpul. Komunitas-basis yang paling dasar
dan yang purna waktu adalah keluarga. Sedangkan kelompok-kelompok gerakan keagamaan atau
kemasyarakatan di luar keluarga adalah kelompok basis "penggal waktu". Komunitas-basis yang
merangkul orang tanpa menilai dan menerima secara terbuka, sudah merupakan komunitas-basis
cakupan. Dalam olah pikir Komisi Teologi KWI muncul pengertian wujud Komunitas-basis.
Ada tiga macam Komunitas-basis, yakni: pertama, Komunitas-basis Gerejani (KBG); kedua,
Komunitas-basis Antar Iman (KBAI); dan ketiga, Komunitas-basis Manusiawi (KBM). Ciri yang
membuat sebutan-sebutan itu adalah warga dan kesamaan keyakinan mereka dalam persekutuan.
Warga KBG dalam perkembangannya harus mengalami keterbukaan terjadap KBAI dan KBM.
De-ngan demikian pendalaman iman dan penyatuannya dengan hidup sehari-hari makin hari
makin berkembang ke sikap kebersamaan yang meluas.

1. Komunitas-Basis Gerejani (KBG)


- 1. KBG adalah persekutuan yang relatif kecil, katakanlah di antara 15 sampai 20 keluarga yang
mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan Firman Allah, membahas berbagi
masalah-masalah harian bersama dan mencari pemecahannya dalam ilham alkitabiah. Sebagai
satuan kristiani, KBG terdiri dari anggota yang saling mengenal. Mereka tidak hanya mengenal
nama semua anggota lain, tetapi juga riwayat hidup dan harapan masing-maing rekan.
- 2. KBG bukan suatu gerakan di dalam Gereja, tetapi adalah Gereja itu sendiri, yang sedang
bergerak maju. KBG bukan untuk orang-orang tertentu (kaum bapa atau ibu, kaum profesional,
atau malah hanya bagi orang yang rajin dan saleh saja), melainkan untuk semua orang, yang mau
ambil bagian, entah dia anggota Gereja, entah dia berada dalam pinggiran Gereja, atau malah di
luar Gereja sama sekalipun. KBG merupakan paguyuban terapan mendasar gerejani, merupakan
satuan basis gerejani itu sendiri.
- 3. KBG memperjuangkan keadilan, membela kaum tertindas dan bermediasi di tengah
kerusuhan yang direkayasa oleh kaum elite. Di dalam KBG iman dan kehidupan harian disa-
tupadukan. KBG merayakan, memperdalam imannya, mendengarkan firman Tuhan yang
mendorong dan menjernihkan, sambil mempertebal pilihan untuk hidup, bertindak dan bersikap
sebagi saudara dan saudari semua orang. Visi alkitabiah bertumbuh melalui sharing pemahaman
Kitab Suci, doa biblis, dan ibadat. Sifat KBG menghantar anggota-nya kepada sikap social dan
sekaligus melampaui batas karya sosial.

2. Komunitas-Basis Antar Iman (KBAI)


- 1. KBAI adalah persekutuan yang relatif kecil antar orang-orang yang mempunyai berbagai
keyakinan. Kekhususan masing-masing tradisi religius dalam komunitas dapat bertemu dan
saling memperkaya dalam sesuatu, entah secara territorial, entah secara fungsional kategorial.
Dalam KBAI penghayat iman yang berbeda-beda dapat bersama-sama mencari dan menemukan
Yang Maha-Menghendaki-dan-Menetukan-hidup, serta mengikuti-Nya. Pada tingkat ini masing-
masing mengalami wawan intrareligius atau religius inter-nal. Di antara satu sama lain ada
proses saling pendalaman iman, yang membuahkan suatu proses transformatif kehidupan dari
warga KBAI. Dalam keterbatasan masing-masing tradisi, penghayatan iman kristiani dan
penghayatan iman lain itu akan saling mengisi saling memperkaya. Terjadilah proses synergi
iman.
- 2. KBAI memperjuangkan kerukunan dan kesejahteraan hidup antar umat beriman. Keja-
makan agama merupakan kekayaan yang dapat saling menolong, dan bukan untuk saling
memusuhi, membenci, atau bahkan untuk saling membunuh dan membinasakan.

3. Komunitas-Basis Manusiawi (KBM)


- 1. KBM adalah persekutuan dan persaudaraan yang tidak terbatasi oleh iman dan agama
tertentu, melainkan oleh pengalaman hidup bersama sebagai manusia, dengan kepedulian
manusiawi bersama pula. Itulah komunitas kecil (umumnya terdiri dari orang-orang kecil juga)
yang terlibat dalam tindakan-tindakan sosial.
- 2. KBM terbentuk untuk perjuangan mengurangi atau menghapus penderitaan, sehingga
masyarakat dan lingkungan hidup menjadi lebih adil dan lestari.
- 3. Dalam KBM, masing-masing anggota membawa serta hidupnya yang sering tercecer,
terpisah-pisah, malah mungkin kocar-kacir. Hidup kocar-kacir itu disatukan di dalam kehangatan
persaudaraan. KBM merupakan medan, di mana usaha berbagai pengalaman dan berbagai rasa,
dapat berkembang subur menuju transformasi kehidupan bersama.

Pertanyaan Refleksif
Nah, pertanyaannya sekarang adalah:
o Di mana tempat Persekutuan Doa Karismatik, Marriage Encounter, Christian Life Community,
Legio Mariae, Choice, Putri Maria, Persaudaraan Lanjut Usia, Muda Mudi Paroki, Pemuda
Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI), Wanita Katolik Republik
Inndonesia (WKRI), Kegiatan Karyawan Muda Katolik (KKMK)?
o Apa mereka itu dapat dikategorikan Komunitas-basis? Mengapa tidak? Mengapa termasuk?

Rasanya akan menjadi suatu pandangan yang naif untuk mengatakan, bahwa mereka itu semua
bukan terkategorikan ke dalam yang disebut Komunitas-Basis. Padahal di situ ada persekutuan
dan persaudaraan, ada petemuan yang teratur untuk mendengarakan Sabda Allah, ada
pembahasan berbagai masalah hidup pribadi dan sosial keseharian, ada usaha mencari
berdasarkan kejernihan alkitbiah pemecahan masalah-masalah sosial, dlsb. Itulah komunitas
yang merupa-kan perwujudan Gereja. Apa lagi dalam situasi apapun komunitas itu tetap
bertahan dan hidup. Mau apa lagi? Bagaimanapun juga mereka tetap adalah komunitas-basis.
Entah komunitas-basis itu akan disebut apa: mungkin komunitas-basis kategorial?

B. KOMUNITAS BASIS YANG BERDAYA BAGI INDONESIA BARU

1. Apa arti "Yang berdaya"


Istilah "berdaya bagi atau mendayakan" dapat berarti sesuatu yang mempunyai daya, keku-atan,
atau energi yang dapat mempengaruhi sesuatu yang lain. Dalam tema di atas dibayang-kan,
bahwa Indonesia Baru (rakyat, kebersamaan, tata kebersamaan, pelaksana penata ke-bersamaan,
pengawas dan penjaga tata kebersamaan) dapat diberi energi atau malahan: sedang memerlukan
daya. Dan Komunitas Basis diangankan sebagai yang dapat, bahkan harus menjadi daya atau
mendayakan Indonesia Baru itu. Maka "berdaya bagi" lalu berarti: tindakan partisipasif dalam
informasi, animasi, motivasi sampai juga pada koordinasi.

2. Apa Bayangan Kita tentang Indonesia Baru?


Pengertian kita tentang Indonesia Baru masa ini sudah tidak jelas. Mana Indonesia Lama? Mana
Indonesia Baru? Indonesia sekarang ini lama atau baru? Pengertian Indonesia sekarang ini secara
ideologi sudah tidak lagi jelas, secara politis kacau dengan adanya tingkah para elite politik yang
sungguh memuakkan, secara ekonomis memprihatinkan, secara sosial remuk berkeping-keping,
secara tata-nilai-kehidupan rusak, secara keamanan rusuh dan menakutkan. Mgr. Ig. Suharyo,
Sekjen KWI dan Uskup Agung Semarang, dalam pertemuannya dengan Presiden dan Ketua DPR
mengungkapkan, bahwa situasi Indonesia sekarang ini berkondisi kekiamatan Indonesia. Yang
namanya Indonesia akan hilang dari muka bumi. Dengan demikian Indonesia Baru berarti
pembubaran Indonesia sekarang ini. Apakah setiap daerah menjadi negara merdeka sepenuhnya,
atau setiap daerah menjadi negara mandiri yang berfederasi, atau Indonesia tetap menjadi negara
kesatuan dengan jaminan otonomi daerah,walahualam.

Lalu umat katolik bersikap bagaimana? Apakah umat katolik dalam kondisi yang tidak jelas ini
perlu menentukan sikapnya tentang Indonesia Baru secara konseptual? Perlukah mencapai
pengertian secara visoner? Dan juga memikirkan misi serta strateginya? Mampukah kita? Massa
umat katolik tidak banyak. Lalu dengan kekuatan apa komunitas-basis umat katolik akan
bergerak? Bukankah hanya suatu utopi saja, bahwa umat katolik mau berkomunitas basis yang
berdaya untuk Indonesia Baru? Bukan utopi, kalau umat katolik mengetahui kekuatannya, tahu
kelemahan masyarakat dan tahu memainkan kekuatan itu secara tepat-guna dan tepat-sasaran.
Bermain dengan "otot" massa bukanlah caranya. Bermain otak dan komunikasi canggih adalah
cara yang sangat relevan.Entah Inonesia akan menjadi negara yang bagaimana, Umat Katolik
haruslah semakin me-nyadari perutusannya, ialah menumbuh-kembangan nilai luhur martabat
manusia dalam per-saudaraan, kedamaian, kesejahteraan. Itulah cita-cita dasar. Nilai-nilai
ideologis Pancasila, yang mendapatkan reputasi baik secara global, tetap harus dipertahankan.

C. TANTANGAN DAN PELUANG SAAT INI

1. Secara politis
- Tantangan: Situasinya begitu kacau. Lembaga Negara (legislatif, eksekutif dan legislatif) tidak
harmonis, cakar-cakaran. Masing-masing seakan-akan main sendiri-sendiri demi kekuasaan.
Masyarakat yang menderita tidak mendapatkan perhatian. Orang memper-gunakan model
menggerakkan massa, yang mempunyai berbagai pengaruh negatif dalam banyak hal: keamanan,
ekonomi, kekerasan. Cita-cita "democracy" pemerintahan di tangan rakyat mewujud-nyata dalam
"democrazy", yaitu "rakyat yang bertingkah edan-edanan". Kecenderungan pecahnya Negara
Kesatuan bisa mewujud pada negara merdeka yang satu terpisah dari yang lain.
- Peluangnya: pemberdayaan umat basis yang sadar ketata-negaraan dan peka akan ketidak
adilan, berani berjuang melawan korupsi, kolusi dan nepotisme lembaga ketatanegaraan daerah.

2. Secara ekonomis
- Tantangan: Jam kerja produktif menurun, karena jutaan orang dimanipulasi dengan demontrasi-
demontrasi. Banyak perusahaan yang berandalkan barang-barang import menjadi tidak berdaya,
karena merosotnya nilai rupiah. Faktor kerusuhan dan peram-pokan, yang terjadi di mana-mana,
tidak memungkinkan penanam modal asing masuk ke Indonesia. Ketidak-percayaan lembaga
internasional (IMF, ADB) terhadap kemampuan pemerintah Indonesia untuk menggulirkan dana-
dana pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Defisit APBN yang berjumlah sekitar Rp 83
trilyun. Kewajiban membayar hutang negara jatuh tempo 2001 sejumlah $ 2,5 milyard yang
tidak tersangga oleh kemampuan bayar. Kurang tergarapnya ekonomi pedesaan, karena banyak
remaja desa lari ke kota mencari pekerjaan, pada hal kota mengalami krisis di bidang usaha.
2. Peluang: pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah dan ekonomi pedesaan untuk mampu
mandiri dalam kebutuhan pokok.

3. Secara etis
- Tantangan: Hilangnya rasa kemanusiaan, dengan makin meluasnya kegiatan pembunuhan,
pengrusakan, perampokan dan penodongan, pencurian, perkosaan. Menipisnya rasa
persaudaraan. Melemahnya tanggung-jawab tugas pejabat pemerintah. Rusaknya kehidupan
moral remaja, karena makin banyak remaja terkena narkoba dan seksmaniak.
- Peluangnya: pendidikan yang peka akan kebutuhan penyadaran, penanaman dan
pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Penyadaran remaja akan bahaya-bahaya yang lahir dari
kerusakan moral.
4. Segi religiositas
- tantangan: Maraknya nilai-nilai ketuhanan yang dihayati dalam penghayatan agama yang
berwawasan sektarian, primordial, komunalisme sempit. Agama dipakai untuk alat-alat
perebutan kekuasaan dan harta. Akibatnya: umat begitu mudah dikorbankan dengan slogan
perang suci. Penghayatan agama dikembangkan pada fanatisme dengan akibat: rasa membenci
dan mau membinasakan orang yang bukan dari kelompknya. Agama menjadi sumber
permusuhan. Adanya acara-acara liturgis sebagai pelarian dan legitimasi kebejatan moral. Juga
penghayatan agama yang kyaiisme, ulamaisme, imamisme, uskupisme, yang membuat umat
merasa, bahwa segala-galanya tergantung pada kyai, ulama, imam dan uskup.
- Peluangnya: penanaman dan pengembangan kedalaman hidup religius universal yang berdaya
mempersatukan umat dalam persaudaraan sejati dan melahirkan kedamaian dan keadilan.
Penanaman dan pengembangan hidup iman umat yang berani mengambil kepu-tusan sesuai
dengan panggilannya masing-masing sebagai awam dan sebagai rohaniwan.

5. Adanya budaya bias "Gender" secara politis, ekonomi, pendidikan, dan sosio-budaya
- Tantangan: Ketercekaman budaya paternalisme. Muatan kerja perempuan lebih berat dari laki-
laki. Diskriminasi terhadap perempuan dalam jabatan-jabatan tertentu. Gaji pekerja perempuan
lebih rendah daripada laki-laki.
- Peluangnya ialah penyadaran dan pengembangan hak-hak perempuan yang dalam
kebersamannya dengan laki-laki sebagai gambaran Allah.

6. Lingkungan yang tidak bersahabat lagi dengan manusia


- Tantangan: Bencana banjir, tanah longsor, angin topan, gelombang laut mengamuk, ba-nyak
hama tanam-tanaman, tanah gundul, pupuk kimia non-organik yang merusak kesuburan tanah.
- Peluangnya menanamkan kesadaran akan keserasian antara manusia dengan alam sekitar.

D. KOMUNITAS-BASIS SEBAGAI STRATEGI

Pengertian strategi ialah: suatu langkah yang dipandang paling tepat-guna dan kena-sasaran.
Indonesia Baru yang dicita-citakan adalah Indonesia dalam bentuk negara demokrasi, dalam arti
rakyat mengambil bagian dalam keputusan ketatanegaraan yang adil dan sejahtera.

1. Negara Demokrasi.
Bentuk negara demokrasi hanya dimungkinan, apabila warga-negara menyadari perannya dan
mampu melaksanakan peran itu. Komunitas-basis merupakan wahana strategis untuk
menggulirkan peran itu. Terjadinya anarki "democrazy = rakyat edan-edanan ", antara lain
disebabkan karena rakyat belum siap dan belum mampu hidup dalam demokrasi. Terlalu
diandaikan, bahwa kalau rakyat diberi kebebasan, lantas demokrasi bisa berjalan dengan baik.
Bangsa Indonesia ini sejak mengalami kemerdekaan belum pernah mengalami demokrasi yang
sehat. Yang pernah terjadi adalah "demokrasi feudalisme" pada jaman kepemimpinan Soekarno
dan kemudian "demokrasi diktator militerisme" dalam kepemimpinan Soeharto. Jangan
dilupakan, bahwa bentuk negara demokrasi memerlukan disiplin mental tertentu dari rakyatnya.
Kenyataan sekarang adalah: rakyat yang belum biasa mengalami demokrasi secara sehat, seolah-
olah sekarang ini langsung dilepas begitu saja Apa yang terjadi? Yaitu: "Democrazy, edan-
edanan, hukum rimba". Cara hidup bebas dan tertib-hukum rasanya belum pernah menjadi
mekanisme hidup bangsa. Padahal menanamkan mental disiplin tidak bisa terjadi begitu saja
secara instant, "seketika". Kalau mau secara instant, diperlukan cara represif.
Komunitas-basis begitu strategis menjadi wahana pelatihan orang untuk bisa berpikir secara
bebas, mengungkapkan pendapat, memutuskan bersama dan berdisiplin melaksanakan keputusan
bersama. Itulah cara komunitas-basis berdaya bagi Indonesia baru yang demokratis. Juga
diperlukan komunitas-basis yang bergerak sebagai pemantau kiprah instansi kenegaraan,
misalnya dengan "pantauan parlemen, pantauan kepemerintahan, pantauan penegak keadilan".

2. Indonesia Baru dengan tatanan ekonomi yang adil dan sejahtera.


Masalah dasar yang dihadapi sekarang ialah "sistim kapitalisme liberal", bahwa sebagian besar
kekayaan negara dikuasai oleh hanya sekelompok kecil bangsa ini. Ada sentralisasi kelola
kekayaan dan pendapatan negara. Sekelompok kecil mempermainkan, memojokkan dan
menekan sebagian besar bangsa ini.
Pertanyaannya: bagaimana menyempitkan kesenjangan ekonomis dan mendayakan kelompok
lemah mayoritas, untuk mendapatkan kesempatan kerja dan bagian hasil yang layak untuk
menyangga keperluan hidup mereka: makanan/minuman, pakaian, rumah, kesehatan, kendaraan,
keamanan dan pendidikan. Pembinaan kelompok-kelompok basis mengarah pada kesadaran
situasi nyata. Mereka mendapatkan pelatihan untuk membaca situasi ekonomi setempat dengan
penguasaan ketrampilan cara analisa sosial dan membuat jaringan-jaringan perjuangan keadilan.
Bukan hanya itu. Dalam kelompok-kelompok basis perlu dilatihkan ketrampilan-ketrampilan
usaha ekonomis. Karena ketrampilan sosial dan semangat perjuangan tanpa didampingi
ketrampilan usaha ekonomis, membuat rakyat menjadi perampok. Dalam komunitas-basis juga
para pengusaha besar sepantasnya selalu memelihara kesadaran untuk melibatkan rakyat lemah
sebagai peserta usaha. Dengan keterlibatan komunitas-basis seperti itu masalah ekonomis secara
personal dan struktural mendapatkan perhatian dan pengolahan dalam kiprah komunitas-basis.
Gencarnya pelaksanaan undang-undang otonomi daerah sangat mendukung peran Komunitas-
basis mewujudkan Indonesia Baru dalam tatanan ekonomi yang adil dan sejahtera.

3. Masalah etika, moral, tata nilai yang kita rasakan sekarang kacau, rusak.
Nampaknya masalah dasar adalah cekaman paham materialisme. Sementara rakyat keba-nyakan
berada dalam situasi kekurangan, ada segelintir orang terbanjiri cara-cara hidup modern dan
menggiurkan. Segi negatif arah pembangunan yang lebih menekankan ekonomi, yang berkaitan
dengan memiliki barang dan uang. Dan kalau orang sudah terperangkap dalam barang, uang dan
kenikmatan, apa saja di luar itu akan menjadi relatif. Kebendaan dan kenikmatan menjadi puncak
kehidupan. Maka apapun untuk memenuhi kebutuhan itu dapat dilakukan, entah dengan
membakar, merampok, menodong, membunuh. Rasa kemanusiaan hilang. Kalau yang menjadi
ukuran nilai hidup adalah benda dan nikmat, manusiapun hanya dirasakan sebagai barang.
Selanjutnya, juga tidak mustahil bahwa menipisnya kehidupan moral itu akibat sistim
pemerintahan militerisme selama sekitar 32 tahun. Di sini orang menjadi "barang" yang geraknya
mengikuti komando. Hidupnya adalah berperang. Semboyannya adalah "atau saya mati, atau
engkau mati".

Komunitas-basis mempunyai peluang untuk menggarap nilai-nilai perikemanusiaan. Dalam


pertemuan yang sering, apa lagi dengan acara mengenal keagungan Hati Yesus yang Maha-
kudus, orang akan terbina mendalami dan merasukkan rahasia perasaan kemanusiaan; rasa
menderita, kecewa, tertindas, tersingkir, terhina, senang penuh harapan, bangga, percaya diri,
kejujuran, dihargai dan menghargai, setia-kawan, sependeritaan, bela-rasa, saling menolong,
sayang, cinta-kasih, pengampunan, kerendahan hati. Dalam suasana gerak Komuni-tas-basis,
nilai kemanusiaan itu diharapkan dapat berkembang. Dengan demikian jiwa ma-sing-masing
anggota Komunitas-basis akan terangkat oleh kurnia Roh Kudus. Manusia adalah ciptaan rohani.
Sebagai ciptaan rohani manusia diberi kurnia mampu membedakan roh. Ada roh jahat dan roh
baik. Bagaimana orang dilatih untuk terampil pembedaan roh secara intelektual, secara rasa
perasaan dan secara nurani.

4. Pengambangan religiusitas.
Ramainya perayaan liturgis keagamaan dan upacara-upacara liturgis adat serta kenegaraan
ternyata tidak begitu berpengaruh pada dalamnya religiositas bangsa Indonesia. Tidak jarang
semuanya itu untuk menjadi cara legitimasi tingkah-laku atau menutupi kejahatan hidup
seseorang. Hidup sekular menyeret dan mendangkalkan kedalaman hidup manusia: politisasi
upacara keagamaan, liturgi-liturgi untuk mencari uang. Kehidupan religiusitas yang sebetul-nya
berwawasan universal "inklusif" dan mempersatukan cenderung menjadi "penghayatan agama"
yang sektarian eksklusif. Orang atau kelompok merasa diri sebagai wakil Allah dan dengan sikap
tanpa merasa bersalah mencap orang atau kelompok lain "kafir", maka mereka harus
dimusnahkan.
Indonesia Baru memerlukan Komunitas-basis yang prihatin pada terwujudnya Kerajaan Allah.
Komunitas-basis ini diharapkan mendarah-dagingkan kehadiran Allah dalam diri setiap anggota
Komunitas-basis. Di samping itu, juga perlunya penanaman pengalaman kehadiran kuasa Allah
pada kelompok secara kolektif. Kuasa Allah yang hadir dalam kebersamaan. Dengan demikian
perlu adanya bekal gerakan lebih luas untuk menghayati dan mem-perjuangkan kesadaran
masyrakat luas akan kehadiran Allah dalam setiap orang di dunia ini. Kesadaran ini hendaknya
menjadi dasar gerak kerasulan mewujudkan persaudaraan sejati antar umat beriman dan umat
lainnya.

E. KATA AKHIR

Pemberdayaan Komunitas-basis merupakan arah strategis kehidupan menggereja dan


membangsa serta menegara umat katolik Indonesia dalam memasuki jaman bangsa Indonesia
berolah kehidupan bersama yang adil dan sejahtera. Pola hidup berkomunitas basis sekarang ini
masih dalam situasi "trial and error" untuk sampai pada pola hidup bersama yang paling baik.
Umat Katolik harus berani menempuh proses "trial and error" tersebut dengan setiap kali
bersedia memawasnya lagi dalam terang Roh. Karena pola hidup berkomunitas basis meru-pakan
salah satu pola, maka kita perlu menyadari bahwa pada suatu saat kita dituntut untuk berpola
yang lain sesuai dengan tuntutan jaman.
Purwokerto, 13 Mei 2001

Dikutip dari : http://www.bukumisa.co.cc/public_html/uskup/Mgr.%20Sunarka/komunitas-


basis.html

Anda mungkin juga menyukai