PAROKI
I. Pengantar
Gereja menyadari bahwa dirinya bukan semata-mata hierarki (uskup dan para imam) melainkan
seluruh umat yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Sabda Allah dan penebus, yang
dipersatukan oleh sakramen Baptis dan bersatu dalam Gereja hierarki. Dari sebab itu, panggilan
Gereja diperuntukkan bagi seluruh umat, bukan saja para hierarki, atau rohaniwan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa seluruh umat didesak untuk berpartisipasi dalam pengutusan
Gereja untuk membangun tubuh Gereja. Itu berarti umat awam sebagai anggota Gereja
berdasarkan imamat umum yang diterimanya, dipanggil untuk menunaikan tugas perutusannya
itu sebaga nabi, imam dan raja dalam kehidupannya di dalam Gereja. Dan salah satu tugasnya
adalah membangun persekutuan di antara mereka khususnya sebagai anggota Gereja lokal, yakni
di dalam paroki.
Berkenaan dengan hal ini, tulisan ini mencoba mendalami peran umat awam dalam menghidupi
persekutuan yang dijalankannya, yakni lewat komunitas basis. Persekutuan ini dapat disebut
juga sebagai bentuk paguyuban umat, menurut hemat penulis dapat dipikirkan sebagai cara atau
upaya dalam mengembangakan persekutuan umat di paroki. Dimensi persekutuan inilah yang
menjadi penekanan tulisan ini, yang disimak sebagai salah satu persoalan besar dalam kehidupan
menggereja. Menjadi persoalan karena dewasa ini, nilai persekutuan mulai dikikis oleh
kecenderungan individualisme. Namun sebelum mendalaminya, baiklah kita menyimak terlebih
dahulu apa itu komunitas basis dan bagaimana peran dan kehadirannya di dalam sebuah paroki.
4.3. Membangun Budaya Tandingan: KBG Menjadi Tanda Kehadiran Kristus di Dunia
Kalau kita menyimak konteks hidup beriman zaman ini, tak dapat disangkal lagi bahwa
penghayatan iman umat kristiani sekarang berangsur-angsur menurun, jikalau dibandingakan
dengan pola hidup beriman umat yang belum tersentuh oleh kemajuan teknologi atau
perkembangan zaman. Menurut Theo C. Vergeer, dalam banyak situasi, komunitas Kristen
terancam eksistensinya karena gejala individualisme dan depersonalisme yang merajalela.
Baginya, pengaruh dunia modern antara lain lewat high technology (yang membawa
pergeseran nilai-nilai), sistem pendidikan (terarah pada prestasi pribadi), pasar bebas (yang
mengalahkan yang lemah) dan digitalisasi (segala-galanya diatur dari belakang komputer, tanpa
melihat wajah orang) telah masuk ke dalam kehidupan banyak orang. Kenyataan ini, tentu
merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi umat kristiani, yang juga adalah komunitas zaman
ini. Tantangannya yang mungkin cukup berat dihadapi yakni apakah jemaat Kristen sekarang
bisa menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia saat ini. Tanda-tanda itu
adalah hidup dalam persekutuan seperti para rasul atau jemaat perdana, berkumpul bersama,
berdoa bersama dan saling mengasihi satu sama lain (bdk. Kis 2: 41-47).
Penghayatan hidup seperti di atas dalam arti tertentu mesti menjiwai umat Kristen sekarang. Dan
hanya dengan cara penghayatan demikian, umat Kristen telah memulai apa yang disebut dengan
membangun budaya tandingan yakni mengokohkan iman akan Kristus di tengah kemajuan
zaman dengan berkumpul bersama, berdoa bersama, atau mengikuti kegiatan-kegiatan
lingkungan lainya atau bahkan mengadakan suatu kegiatan karitatif (karya sosial) dalam hidup
bersama. Citra diri seperti ini, perlu selalu dijaga dan ditingkatkan sehingga akhirnya menjadi
sebuah way of life, bahkan budaya baru dalam mengokohkan iman Kristen di tengah-tengah arus
perubahan dunia yang selalu menawarkan nilai-nilai baru, yang kadang-kadang berseberangan
dengan nilai-nilai Kristiani.
V. Penutup
Di tengah-tengah derasnya arus globalisasi, Gereja ditantang untuk menunjukkan jati dirinya
yang sesungguhnya. Salah satu identitas yang mesti selalu dipelihara adalah menghidupkan
semangat persekutuan atau paguyuban. Paguyuban atau persekutuan inilah yang diharapkan bisa
membantu mereka dalam mengembangkan dan menumbuhkan kehidupan beriman mereka di
tengah-tengah dunia yang terus berubah dan bergerak ini. Dengan mengupayakan paguyuban
bersama, misalnya lewat KBG tersebut, umat awam menampakkan partisipasi aktifnya dalam
mengupayakan sebuah pengembangan persekutuan di dalam Gereja, khususnya dalam paroki.
Sebuah paroki akan menjadi paroki yang berkembang dan bertumbuh subur, bila di dalamnya
tertanam semangat paguyuban di mana di dalamnya, umat beriman (awam) berdasarkan imamat
umumnya ikut menunaikan tugas perutusannya di dunia. Dan karya perutusan ini, akan semakin
sempurna bila Pastor Paroki atau hierarki berkenan memperhatikan, mendukung dan
mengarahkannya selalu sebagaimana tugas yang dipercayakan kepadanya (bdk. Kan 529 par 2).
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Gereja:
Kitab Hukum Kanonik, 1983, terj. Sekretariat KWI, Jakarta: Obor, 1991.
Dokumen Konsili Vatikan II, ter. R. Hardawiryana, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI,
1993.
(Pendahuluan)
1.1.1. Gereja pada dasarnya adalah Persekutuan dan komunitas basis menjadi
satu bentuk aktualisasi Gereja di lingkungannya
Ungkapan dan deskripsi tentang Gereja yang dihasilkan oleh Konsili
Vatikan II mengungkapkan hakikat Gereja dalam berbagai nama seperti Umat
Allah,1[1] Tubuh Kristus, Mempelai Kristus, Kenisah Roh Kudus, dan juga
Keluarga Allah. Semua ungkapan yang digunakan di sini saling melengkapi satu
sama lain dan harus dipahami dalam terang misteri Kristus atau misteri Gereja
dalam hubungannya dengan Kristus sendiri. Nampak sangat jelas bahwa paham
tentang Gereja dalam semua ungkapan ini menjelaskan tentang hakikat Gereja
sebagai persekutuan. Eklesiologi persekutuan ini sungguh merupakan ide sentral
yang dimiliki oleh Konsili Vatikan II tentang Gereja.
Pertanyaan sekarang ialah bagaimana ungkapan persekutuan atau
communio itu dimengerti? Pada dasarnya communio yang dimaksudkan
Gereja itu bersumber pada persekutuan Allah Tritunggal2[2], persekutuan antara
Allah Bapa bersama Putera dalam Roh Kudus, yang di dalam Gereja diungkapkan
melalui Sabda Allah dan sakramen-sakramen Gereja. Bagaimana hal ini dipahami.
Orang Kristen masuk dalam persekutuan dengan Gereja melalui Sakramen Baptis
yang sekaligus menjadi pintu masuk dan dasar persekutuan dalam gereja. Setelah
itu Ekaristi menjadi puncak dan sumber kepenuhan hidup Kristianinya.3[3] Dan
dalam Ekaristi inilah Gereja local sebagai persekutuan umat Allah merayakan
kenangan akan Kristus yang sedang memberikan diriNya dan mencintai umatNya.
Di sinilah, dalam berbagi roti dan anggur, semua yang mengambil bahagian di
dalamnya dilebur menjadi Satu Tubuh Kristus.4[4] Persekutuan dengan Tubuh
1[1] Lihat CONGAR, Yves, This Church that I Love, (terjemahan oleh Lucien Delafuente).
(Denville, New Jersey: Dimension Books, l969). Congar mengatakan, "Konsep 'Umat Allah
sebagaimana ada dalam Kitab Suci memberi kemungkinan kepada kita untuk menegaskan tentang
kesamaan derajad orang beriman dalam kehidupan menggereja, juga ketidak samaan derajat mereka
dalam fungsi dan peran sebagai anggota Gereja" (halaman 23).
2[2] Bandingkan. O HALLORAN, James, Signs of Hope, Developing Small Christian Communities.
(New York: Orbis Book, 1991), 26. Menarik untuk memperhatikan bagaimana ia menjelaskan persoalan
di sini. Di bawah judul Gereja sebagai Persekutuan, dia memberikan pendasaran atas dasar trinitaris
darui Komunitas Basis. Dia menulis, <>.
3[3] LG.11.
4[4] TILLARD, J.M.R. OP., Church of Churches, the Ecclesiology of Communion. (Minnesota; The
Liturgical Press, 1992), 37.
Tuhan dalam Ekaristi ini pula yang menghidupkan persekutuan yang intim dari
seluruh umat beriman dengan Tubuh Tuhan yang adalah Gereja (1 Kor. 10:16).
5[5] DULLES, Avery, SJ, Models of the Church, A Critical Assessment of the Church in All Aspects.
(Dublin: Gill and Macmillan Ltd, 1987), 58.
6[6] Bdk. CONGAR, Yves, Power and Poverty in the Church, (translated by Jennifer Nicholson).
(Baltimore: Helicon, 1964), 40 - 79. Pada bahagian kedua dari buku ini, Congar memaparkan tentang
Perkembangan historis dari Kekuasaan dalam gereja, mulai dari Katolik pada masa Para Martir dan
Monasteri sampai pada masa kini. Pada kesimpulannya, dia menulis, Komunitas atau ecclesia-lah yang
pertama-tama dilihat, baru sesudah itu perhatian diberikan kepada kuasa potestas dari kepalanya. Hal
pertama yang dilihat ialah bahwa komunitas itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, baru setelah itu
susunan strukturnya dan organisasinya. . . " (halaman 77)
7[7] SYNOD of Bishops 1985, The Church in the Word of God celebrates the Mysteries of Christ
for the Salvation of the World. Final Report to the Synod, written by Cardinal Godfried Daneels,
Archbishops of Malines, Brussels, dalam East Asian Pastoral Review, Vol. XXIII, No. 1, (Manila: EAPI,
1986), 17 - 21. Bandingkan juga CONGAR; Yves, Blessed is the Peace of My Church, (translated from the
French by Salvator Attanasio), New Jersey, Dimension Books, 1973), 76; ketika dia menulis bahwa
"Hirarki dan Paus sendiri bukan berada di atas komunitas tetapi ada di dalam komunitas. "
sendiri dilihat sebagai persekutuan Gereja-Gereja lokal.8[8] Gereja yang demikian
menjadi Gereja pribumi dan inkulturatip. Bila beginilah hakikat Gereja, maka kita
sebagai Gereja harus menjadi satu Gereja yang rendah hati dan terus-menerus
berdialog dengan budaya, dengan religiositas setempat. Secara singkat Gereja yang
berdialog dengan semua aspek hidup orang, yang melaluinya Gereja telah berakar
dan menjadi bagian dari keberadaannya.9[9]
Lalu bagaimana hubungan antara Gereja dan komunitas basis? Dewasa ini
ketika berbicara tentang komunitas basis, kita akan selalu mulai dari aspek
communio atau persekutuan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Komunitas basis
bukanlah satu pemahaman yang bertentangan dengan Gereja, melainkan adalah
suatu pencarian akan satu bentuk baru atau ekspresi dari cara berada Gereja, yang
lebih komunitarian dalam ekspresinya dan lebih terintegrasi dalam masyarakat, dan
pada akhirnya kita boleh berharap untuk bias mengatasi anonimitas, kurangnya
relasi dan birokrasi yang berbelit-belit dalam tubuh Gereja sendiri.10[10]
Jadi, visi tentang Gereja, mulai dari Gereja Universal hingga komunitas
basis sebagai aktualisasi dan lokalisasi dari Gereja adalah satu visi tentang
persekutuan dan partisipasi dari cara berada Gereja. Visi ini melibatkan semua
unsur umat beriman dalam Gereja: kaum awam, kaum religius, imam dan uskup
dalam karya dan pelayanan pastoral Gereja. Tentunya visi ini meminta juga gaya
kepemimpinan baru, yakni kepemimpinan yang memampukan dan menganimasi
semua.
12[12] Lihat SOFIELD, Loughlan, Rosine Hammet dan Carroll Juliano, Building Community:
Christian, Caring, Vital.(Indiana: Ave Maria Press, 1998), 123-130.
Hingga di sini kita bisa mengerti kenapa Sabda Allah itu begitu vital
perannya dalam kehidupan kaum beriman dan kehidupan komunitas beriman.
Memberikan tempat yang penting bagi Sabda Allah dalam kehidupan komunitas
basis dan berbagai bentuk komunitas hidup bersama mengaffirmasi tentang
kehadiran Allah yang terus berkarya dalam sejarah kehidupan manusia beriman. Ia
akan menolong orang untuk menyadari kehendak dan rencana Allah dalam
hidupnya, dan menolong orang beriman untuk memperdalam relasinya dengan
Allah. Karena sesungguhnya kehidupan komunitas beriman Kristen adalah satu
perjalanan spiritual, satu perjalanan menuju Allah, dan perjalanan menuju
kedalaman pribadi manusia itu sendiri.
13[13] GS. 1
mewujudkan Kerajaan Allah. Untuk mengosongkan diri kita sendiri, pertama-
tama kita mesti mengenal kebutuhan satu sama lain. Untuk itu, Gereja dalam diri
anggota-anggotanya harus menjadi Gereja yang terlibat.14[14]
Apa yang disampaikan O Brien di atas sejalan dengan pendapat Donal
Dorr, ketika ia berbicara tentang dibutuhkannya satu spiritualitas yang seimbang
bagi anggota komunitas basis. Ia mengungkapkannya dalam kalimat, Berjalanlah
dengan rendah hati bersama Allahmu Mencintailah dengan ikhlas dan -
Bertindaklah dengan benar dan adil.15[15] Ajakan untuk bertindak dengan benar
dan adil merujuk pada tata tindak anggota komunitas basis di tengah masyarakat,
yakni bahwa kita semua dipanggil untuk menghidupkan dan membawa pesan
Sabda Allah (Injili) dalam semua bidang kehidupan. Itu berarti bahwa khabar
gembira harus dibawa ke tengah keluarga, ke tempat kerja dan ke pasar, dalam
ruang kehidupan bermasyarakat sipil dan politik.
14[14] Gereja yang terlibat dalam konsep O Brien dimaksudkan untuk selalu berkembang dalam
tiga bidang ini yakni (a) mengembangkan pemahaman bahwa kita ini terbatas, (b) mengubah struktur
diri kita sebagai tanggapan atas situasi sosial, budaya dan politis dewasa ini dan (c) menemukan
identitas kita sebagai Gereja dalam identitas dan misi Yesus Kristus sendiri. Lihat O BRIEN Timothy,
Mgr.and Margareth Gunnel, Why Small Christian Communities Work. (California: Resource Publication,
Inc., 1996), halaman 28-37.
15[15] DORR, Donal, Spirituality and Justice. (Dublin: Gill and Macmillan, 1984), hal. 8-18.
Ungkapan di atas dijabarkannya dalam tiga ajakan berikut, yakni setia kepada Allah dan kehendaknya
(hubungan personal dengan Allah), solider satu terhadap yang lain (aspek hubungan interpersonal) serta
peka dan terlibat dalam kehidupan masyarakat luas (dalam hubungan dengan kepentingan publik).
miskin, dialog dengan orang beriman dan berkepercayaan lain dan dialog dengan
budaya. Dan ketiga pendekatan ini menuntut pula suatu cara berada Gereja Asia
yang baru, suatu Gereja yang sungguh-sungguh meng-Asia.
Cara berada Gereja yang demikian berarti satu communio atau persekutuan;
bahwa Gereja Asia adalah orang-orang yang berada dalam communio dengan
Allah yang satu, bahwa Gereja Asia bersatu dengan Gereja universal dan ada
dalam persatuan dengan orang Asia dan budayanya. Inilah yang disebut dengan
communio, persekutuan dengan komunitas-komunitas orang beriman Asia.
Bila communio model inilah yang dibutuhkan, maka Gereja Asia harus
berbicara, bertindak dan menghidupi suatu persekutuan dengan Roh Tuhan dalam
suatu spiritualitas yang sungguh kontemplatif (membaca, mendoakan dan
merenungkan Sabda Allah) dan sungguh apostolik (berkarya kerasulan). Dan cara
hidup atau cara berada yang sepadan dengannya, bisa diungkapkan dalam suatu
komunitas yang disebut dengan nama komunitas (umat) basis.
1.3. Visi dan Program Pastoral Gereja - Gereja Lokal (secara khusus
Keuskupan Larantuka)
Bergerak ke situasi di mana kita hidup dan berkarya, kita juga menemukan
ajakan yang sama untuk memberdayakan komunitas basis yang diserukan oleh
Gereja Katolik Indonesia. Para Uskup bersama semua utusannya, dalam
kesemapatan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2000 mengajak
agar dalam mengembangkan komunitas-komunitas basis, hendaknya diperhatikan
semangat keterbukaan karena bertolak dari kenyataan bahwa kita hidup dalam
masyarakat dan budaya yang majemuk.16[16] Karena keterbukaan merupakan
sikap yang menentukan untuk selalu membaharui diri, membangun persaudaraan
sejati serta semakin menghadirkan Kerajaan Allah melalui perjuangan keadilan,
kebenaran dan kesetaraan jender. Sidang ini sesungguhnya merupakan sebuah
momen yang berlangsung untuk mensyukuri Yubileum Agung Tahun 2000 serta
kesempatan bagi para gembala di negeri ini untuk menggumuli arah Gereja
memasuki Millenium III.
Ajakan para Uskup Indonesia dalam sidang tahunannya ini sesungguhnya
mengakomodasi berbagai upaya yang telah dilaksanakan oleh berbagai Gereja
lokal di negeri ini yang telah jauh-jauh hari memilih komunitas basis sebagai satu
pilihan pastoral yang lebih menyapa umat. Sebelum dilaksanakannya SAGKI
2000, para uskup Regio Nusa Tenggara dalam pertemuan pastoralnya yang ke lima
16[16] Panitia SAGKI 2000, Gereja yang Mendengarkan. Jakarta: Panitia SAGKI 2000, 2000),
halaman 5-6. Sidang ini mengambil tema Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Indonesia Baru.
di Ruteng, Keuskupan Ruteng pada bulan Agustus 1999 17[17], telah menegaskan
supaya merayakan Yubileum Agung dengan mengembangkan tema pembebasan
dan pertobatan.
Menindak lanjuti ajakan pertemuan pastoral regio Nusa Tenggara ini,
Keuskupan Agung Ende pada Juli 2000 dalam kesempatan Musyawarah Pastoral
IV merayakan Yubileum Agungnya dengan mengadakan sidang pastoral lima
tahunannya. Musyawarah ini kemudian menghasilkan arah dasar dan strategi
pastoral keuskupan Agung Ende memasuki milenium III kekristenan dengan
menegaskan Pastoral Pembebasan dan Pemberdayaan sebagai arah dasar dan
strategi pastoralnya.18[18] Muspas IV dan kemudian MUSPAS V tahun 2005 dan
MUSPAS VI tahun 2010 Keuskupan Agung Ende ini menempatkan pembebasan
dan pemberdayaan komunitas basis serta kepemimpinan pastoralnya sebagai
strategi untuk mencapai pelayanan pastoral yang lebih menyapa umat.
Setelah semua konteks yang lebih luas di atas, kini kita melihat alasan
mengapa lokakarya dengan tema Kepemimpinan pastoral umat basis ini diadakan.
Dugaan saya ialah karena kita sadar konteks, di mana kita berada dengan segala
tuntutan dan tuntunannya. Gereja keuskupan Larantuka tidak tinggal diam. Melalui
repelita demi repelitanya, Keuskupan ini telah menjawabi persoalan pastoral
dengan berbagai pendekatan sebagaimana nampak terbaca dalam arah dasar
pastoral keuskupan ini.
Berhubungan dengan Komunitas Basis Gerejani, keuskupan Larantuka
menjelaskan dalam pendasaran teologis visi dan misinya sebagai berikut. KBG
bukan sekedar nama atau istilah, melainkan Gereja yang hidup bergeark dinamis
dalam pergumulan iman. Ia akan memberi wajah baru hidup menggereja yang
mampu berbela rasa dengan saudara yang miskin dan tertindas. Dengan KBG [ ... ]
Gereja diharapkan bisa lebih mengakar, lebih kontekstual dan mampu menjalankan
perannya dalam menggarami dunia dengan lebih baik.19[19]
Dengan pandasaran teologis visi ini, Gereja Keuskupan Larantuka
menjadikan Pastoral Komunitas Basis sebagai salah satu program pastoral
17[17] Pertemuan Pastoral Regional Nusa Tenggara biasanya dihadiri oleh para Uskup Nusa
Tenggara bersama utusan umat keuskupannya. Keuskupan yang termasuk di dalamnya adalah Keuskupan
Agung Ende dengan keuskupan sufragannya: Maumere, Larantuka, Ruteng, dan Keuskupan Agung
Kupang bersama keuskupan sufragannya Atambua, Sumba dan Denpasar.
18[18] Lihat Pusat Pastoral KAE, Pastoral Pembebasan dan Pemberdayaan Keuskupan Agung
Ende Memasuki Milineum Ketiga (Musyawarah Pastoral IV dan Amanatnya). (Ende: Puspas KAE,
2001.)
19[19] Sekretariat Pastoral Keuskupan Larantuka, Arah Dasar Pastoral Keuskupan Larantuka,
(Larantuka: Penerbit Sekpas Keuskupan Larantuka, 2007), halaman 9.
Keuskupan. Dalam arah dasar pastoralnya tentang program yang satu ini
dinyatakan, Sudah menjadi komitmen kita untuk menjadikan komunitas basis-
komunitas basis di paroki-paroki kita menjadi basis yang kuat dari kehidupan
gereja lokal di keuskupan ini. Hal ini dinyatakan sebagai kelanjutan dari program
Repelita III pastoral keuskupan ini, sebagai berikut, Kita lanjutkan program
pemberdayaan para pemimpin basis [...] Kesadaran dan pemahaman terhadap
pentingnya hidup berkomunitas hendaknya kembali dibangun dan ditanamkan
dalam hati umat kita melalui program-program penyadaran.20[20]
Semua yang diangkat di atas sebagai alasan mengapa kita memberikan
perhatian pastoral kepada komunitas basis dan model kepemimpinannya,
memberikan kepada kita dasar yang cukup kokoh untuk menjelaskan tema tentang
Kepemimpinan Pastoral Komunitas Basis. Dan materi yang disampaikan dalam
lokakarya ini diharapkan menjawabi kebutuhan kita semua akan satu cara
berpastoral dalam cara berada yang baru dalam Gereja yang lebih sadar konteks.
Mgr.Ignatius Suharyo
Administrator Apostolik
Komunitas-Basis Yang Berdaya Bagi Indonesia Baru
Oleh J. Sunarka, SJ
Komunitas, paguyuban, kelompok pepanthan, kumpulan, jemaat, umat, menunjuk pada beberapa
pribadi orang, yang secara tetap bertemu, saling berhubungan atau berkomunikasi. Suatu
Komunitas yang konstitutif bagi komunitas-komunitas lainnya, artinya: yang mau tak mau harus
ada. Itulah komunitas-basis.
Komunitas-basis adalah komunitas yang paling bawah, yang menjadi penyangga bagi
komunitas-komunitas yang lain. Komunitas yang lain adalah komunitas menengah. Dan masih
ada lagi komunitas puncak. Masing-masing komunitas ini sifatnya majemuk. Maka:
Komunitas-basis masih dapat dirinci lagi: ada komunitas-basis bawah, ada komunitas-basis
menengah dan ada komunitas-basis atas.
Demikian pula komunitas-basis-menengah masih dapat dirinci lagi menjadi komunitas-basis-
menengah bawah, komunitas-basis-menengah menengah dan komunitas-basis-menengah atas.
Begitu juga lalu ada komunitas-basis-atas yang juga dapat dibeda-bedakan sebagai komunitas-
basis-atas yang bawah, yang menengah dan yang atas.
Yang paling menentukan adalah komunitas-basis bawah. Kalau tidak ada komunitas-basis
bawah, maka komunitas menengah dan komunitas puncak roboh semua. Adanya pribadi-pribadi
jelaslah tidak termasuk pada pengertian komunitas-basis. Kedekatan dan kekerapan hubungan
pribadi-pribadi dihayati oleh suami dan isteri serta anak. Inilah keluarga. Sedangkan paguyuban
yang disebut rukun tetangga, rukun warga dan kelurahan, kecamatan dst. adalah komunitas-basis
yang sifatnya sudah merupakan olahan komunitas-basis. Demikian pula dalam kalangan umat
katolik: apa yang disebut lingkungan, wilayah, stasi, paroki, sudah merupakan lingkup cakupan
dari komunitas-basis paling bawah yaitu keluarga-keluarga. Perlu kita sadari, bahwa issue
komunitas-basis pada umumnya, seperti diangankan oleh Komisi Teologi KWI, sudah
berkonotasi pada komunitas-basis yang tidak lagi paling dasar.
Komunitas-basis yang digambarkan adalah stasi, lingkungan, dan ini sudah menyangkut
komunitas-basis yang sebetulnya sudah tidak basis lagi. Ini sudah merupakan komunitas-basis
cakupan. Maka unsur komunitas-basis cakupan adalah pribadi-pribadi yang berasal dari keluarga
sebagai "komunitas basis paling basis" dan mau berkumpul. Komunitas-basis yang paling dasar
dan yang purna waktu adalah keluarga. Sedangkan kelompok-kelompok gerakan keagamaan atau
kemasyarakatan di luar keluarga adalah kelompok basis "penggal waktu". Komunitas-basis yang
merangkul orang tanpa menilai dan menerima secara terbuka, sudah merupakan komunitas-basis
cakupan. Dalam olah pikir Komisi Teologi KWI muncul pengertian wujud Komunitas-basis.
Ada tiga macam Komunitas-basis, yakni: pertama, Komunitas-basis Gerejani (KBG); kedua,
Komunitas-basis Antar Iman (KBAI); dan ketiga, Komunitas-basis Manusiawi (KBM). Ciri yang
membuat sebutan-sebutan itu adalah warga dan kesamaan keyakinan mereka dalam persekutuan.
Warga KBG dalam perkembangannya harus mengalami keterbukaan terjadap KBAI dan KBM.
De-ngan demikian pendalaman iman dan penyatuannya dengan hidup sehari-hari makin hari
makin berkembang ke sikap kebersamaan yang meluas.
Pertanyaan Refleksif
Nah, pertanyaannya sekarang adalah:
o Di mana tempat Persekutuan Doa Karismatik, Marriage Encounter, Christian Life Community,
Legio Mariae, Choice, Putri Maria, Persaudaraan Lanjut Usia, Muda Mudi Paroki, Pemuda
Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI), Wanita Katolik Republik
Inndonesia (WKRI), Kegiatan Karyawan Muda Katolik (KKMK)?
o Apa mereka itu dapat dikategorikan Komunitas-basis? Mengapa tidak? Mengapa termasuk?
Rasanya akan menjadi suatu pandangan yang naif untuk mengatakan, bahwa mereka itu semua
bukan terkategorikan ke dalam yang disebut Komunitas-Basis. Padahal di situ ada persekutuan
dan persaudaraan, ada petemuan yang teratur untuk mendengarakan Sabda Allah, ada
pembahasan berbagai masalah hidup pribadi dan sosial keseharian, ada usaha mencari
berdasarkan kejernihan alkitbiah pemecahan masalah-masalah sosial, dlsb. Itulah komunitas
yang merupa-kan perwujudan Gereja. Apa lagi dalam situasi apapun komunitas itu tetap
bertahan dan hidup. Mau apa lagi? Bagaimanapun juga mereka tetap adalah komunitas-basis.
Entah komunitas-basis itu akan disebut apa: mungkin komunitas-basis kategorial?
Lalu umat katolik bersikap bagaimana? Apakah umat katolik dalam kondisi yang tidak jelas ini
perlu menentukan sikapnya tentang Indonesia Baru secara konseptual? Perlukah mencapai
pengertian secara visoner? Dan juga memikirkan misi serta strateginya? Mampukah kita? Massa
umat katolik tidak banyak. Lalu dengan kekuatan apa komunitas-basis umat katolik akan
bergerak? Bukankah hanya suatu utopi saja, bahwa umat katolik mau berkomunitas basis yang
berdaya untuk Indonesia Baru? Bukan utopi, kalau umat katolik mengetahui kekuatannya, tahu
kelemahan masyarakat dan tahu memainkan kekuatan itu secara tepat-guna dan tepat-sasaran.
Bermain dengan "otot" massa bukanlah caranya. Bermain otak dan komunikasi canggih adalah
cara yang sangat relevan.Entah Inonesia akan menjadi negara yang bagaimana, Umat Katolik
haruslah semakin me-nyadari perutusannya, ialah menumbuh-kembangan nilai luhur martabat
manusia dalam per-saudaraan, kedamaian, kesejahteraan. Itulah cita-cita dasar. Nilai-nilai
ideologis Pancasila, yang mendapatkan reputasi baik secara global, tetap harus dipertahankan.
1. Secara politis
- Tantangan: Situasinya begitu kacau. Lembaga Negara (legislatif, eksekutif dan legislatif) tidak
harmonis, cakar-cakaran. Masing-masing seakan-akan main sendiri-sendiri demi kekuasaan.
Masyarakat yang menderita tidak mendapatkan perhatian. Orang memper-gunakan model
menggerakkan massa, yang mempunyai berbagai pengaruh negatif dalam banyak hal: keamanan,
ekonomi, kekerasan. Cita-cita "democracy" pemerintahan di tangan rakyat mewujud-nyata dalam
"democrazy", yaitu "rakyat yang bertingkah edan-edanan". Kecenderungan pecahnya Negara
Kesatuan bisa mewujud pada negara merdeka yang satu terpisah dari yang lain.
- Peluangnya: pemberdayaan umat basis yang sadar ketata-negaraan dan peka akan ketidak
adilan, berani berjuang melawan korupsi, kolusi dan nepotisme lembaga ketatanegaraan daerah.
2. Secara ekonomis
- Tantangan: Jam kerja produktif menurun, karena jutaan orang dimanipulasi dengan demontrasi-
demontrasi. Banyak perusahaan yang berandalkan barang-barang import menjadi tidak berdaya,
karena merosotnya nilai rupiah. Faktor kerusuhan dan peram-pokan, yang terjadi di mana-mana,
tidak memungkinkan penanam modal asing masuk ke Indonesia. Ketidak-percayaan lembaga
internasional (IMF, ADB) terhadap kemampuan pemerintah Indonesia untuk menggulirkan dana-
dana pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Defisit APBN yang berjumlah sekitar Rp 83
trilyun. Kewajiban membayar hutang negara jatuh tempo 2001 sejumlah $ 2,5 milyard yang
tidak tersangga oleh kemampuan bayar. Kurang tergarapnya ekonomi pedesaan, karena banyak
remaja desa lari ke kota mencari pekerjaan, pada hal kota mengalami krisis di bidang usaha.
2. Peluang: pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah dan ekonomi pedesaan untuk mampu
mandiri dalam kebutuhan pokok.
3. Secara etis
- Tantangan: Hilangnya rasa kemanusiaan, dengan makin meluasnya kegiatan pembunuhan,
pengrusakan, perampokan dan penodongan, pencurian, perkosaan. Menipisnya rasa
persaudaraan. Melemahnya tanggung-jawab tugas pejabat pemerintah. Rusaknya kehidupan
moral remaja, karena makin banyak remaja terkena narkoba dan seksmaniak.
- Peluangnya: pendidikan yang peka akan kebutuhan penyadaran, penanaman dan
pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Penyadaran remaja akan bahaya-bahaya yang lahir dari
kerusakan moral.
4. Segi religiositas
- tantangan: Maraknya nilai-nilai ketuhanan yang dihayati dalam penghayatan agama yang
berwawasan sektarian, primordial, komunalisme sempit. Agama dipakai untuk alat-alat
perebutan kekuasaan dan harta. Akibatnya: umat begitu mudah dikorbankan dengan slogan
perang suci. Penghayatan agama dikembangkan pada fanatisme dengan akibat: rasa membenci
dan mau membinasakan orang yang bukan dari kelompknya. Agama menjadi sumber
permusuhan. Adanya acara-acara liturgis sebagai pelarian dan legitimasi kebejatan moral. Juga
penghayatan agama yang kyaiisme, ulamaisme, imamisme, uskupisme, yang membuat umat
merasa, bahwa segala-galanya tergantung pada kyai, ulama, imam dan uskup.
- Peluangnya: penanaman dan pengembangan kedalaman hidup religius universal yang berdaya
mempersatukan umat dalam persaudaraan sejati dan melahirkan kedamaian dan keadilan.
Penanaman dan pengembangan hidup iman umat yang berani mengambil kepu-tusan sesuai
dengan panggilannya masing-masing sebagai awam dan sebagai rohaniwan.
5. Adanya budaya bias "Gender" secara politis, ekonomi, pendidikan, dan sosio-budaya
- Tantangan: Ketercekaman budaya paternalisme. Muatan kerja perempuan lebih berat dari laki-
laki. Diskriminasi terhadap perempuan dalam jabatan-jabatan tertentu. Gaji pekerja perempuan
lebih rendah daripada laki-laki.
- Peluangnya ialah penyadaran dan pengembangan hak-hak perempuan yang dalam
kebersamannya dengan laki-laki sebagai gambaran Allah.
Pengertian strategi ialah: suatu langkah yang dipandang paling tepat-guna dan kena-sasaran.
Indonesia Baru yang dicita-citakan adalah Indonesia dalam bentuk negara demokrasi, dalam arti
rakyat mengambil bagian dalam keputusan ketatanegaraan yang adil dan sejahtera.
1. Negara Demokrasi.
Bentuk negara demokrasi hanya dimungkinan, apabila warga-negara menyadari perannya dan
mampu melaksanakan peran itu. Komunitas-basis merupakan wahana strategis untuk
menggulirkan peran itu. Terjadinya anarki "democrazy = rakyat edan-edanan ", antara lain
disebabkan karena rakyat belum siap dan belum mampu hidup dalam demokrasi. Terlalu
diandaikan, bahwa kalau rakyat diberi kebebasan, lantas demokrasi bisa berjalan dengan baik.
Bangsa Indonesia ini sejak mengalami kemerdekaan belum pernah mengalami demokrasi yang
sehat. Yang pernah terjadi adalah "demokrasi feudalisme" pada jaman kepemimpinan Soekarno
dan kemudian "demokrasi diktator militerisme" dalam kepemimpinan Soeharto. Jangan
dilupakan, bahwa bentuk negara demokrasi memerlukan disiplin mental tertentu dari rakyatnya.
Kenyataan sekarang adalah: rakyat yang belum biasa mengalami demokrasi secara sehat, seolah-
olah sekarang ini langsung dilepas begitu saja Apa yang terjadi? Yaitu: "Democrazy, edan-
edanan, hukum rimba". Cara hidup bebas dan tertib-hukum rasanya belum pernah menjadi
mekanisme hidup bangsa. Padahal menanamkan mental disiplin tidak bisa terjadi begitu saja
secara instant, "seketika". Kalau mau secara instant, diperlukan cara represif.
Komunitas-basis begitu strategis menjadi wahana pelatihan orang untuk bisa berpikir secara
bebas, mengungkapkan pendapat, memutuskan bersama dan berdisiplin melaksanakan keputusan
bersama. Itulah cara komunitas-basis berdaya bagi Indonesia baru yang demokratis. Juga
diperlukan komunitas-basis yang bergerak sebagai pemantau kiprah instansi kenegaraan,
misalnya dengan "pantauan parlemen, pantauan kepemerintahan, pantauan penegak keadilan".
3. Masalah etika, moral, tata nilai yang kita rasakan sekarang kacau, rusak.
Nampaknya masalah dasar adalah cekaman paham materialisme. Sementara rakyat keba-nyakan
berada dalam situasi kekurangan, ada segelintir orang terbanjiri cara-cara hidup modern dan
menggiurkan. Segi negatif arah pembangunan yang lebih menekankan ekonomi, yang berkaitan
dengan memiliki barang dan uang. Dan kalau orang sudah terperangkap dalam barang, uang dan
kenikmatan, apa saja di luar itu akan menjadi relatif. Kebendaan dan kenikmatan menjadi puncak
kehidupan. Maka apapun untuk memenuhi kebutuhan itu dapat dilakukan, entah dengan
membakar, merampok, menodong, membunuh. Rasa kemanusiaan hilang. Kalau yang menjadi
ukuran nilai hidup adalah benda dan nikmat, manusiapun hanya dirasakan sebagai barang.
Selanjutnya, juga tidak mustahil bahwa menipisnya kehidupan moral itu akibat sistim
pemerintahan militerisme selama sekitar 32 tahun. Di sini orang menjadi "barang" yang geraknya
mengikuti komando. Hidupnya adalah berperang. Semboyannya adalah "atau saya mati, atau
engkau mati".
4. Pengambangan religiusitas.
Ramainya perayaan liturgis keagamaan dan upacara-upacara liturgis adat serta kenegaraan
ternyata tidak begitu berpengaruh pada dalamnya religiositas bangsa Indonesia. Tidak jarang
semuanya itu untuk menjadi cara legitimasi tingkah-laku atau menutupi kejahatan hidup
seseorang. Hidup sekular menyeret dan mendangkalkan kedalaman hidup manusia: politisasi
upacara keagamaan, liturgi-liturgi untuk mencari uang. Kehidupan religiusitas yang sebetul-nya
berwawasan universal "inklusif" dan mempersatukan cenderung menjadi "penghayatan agama"
yang sektarian eksklusif. Orang atau kelompok merasa diri sebagai wakil Allah dan dengan sikap
tanpa merasa bersalah mencap orang atau kelompok lain "kafir", maka mereka harus
dimusnahkan.
Indonesia Baru memerlukan Komunitas-basis yang prihatin pada terwujudnya Kerajaan Allah.
Komunitas-basis ini diharapkan mendarah-dagingkan kehadiran Allah dalam diri setiap anggota
Komunitas-basis. Di samping itu, juga perlunya penanaman pengalaman kehadiran kuasa Allah
pada kelompok secara kolektif. Kuasa Allah yang hadir dalam kebersamaan. Dengan demikian
perlu adanya bekal gerakan lebih luas untuk menghayati dan mem-perjuangkan kesadaran
masyrakat luas akan kehadiran Allah dalam setiap orang di dunia ini. Kesadaran ini hendaknya
menjadi dasar gerak kerasulan mewujudkan persaudaraan sejati antar umat beriman dan umat
lainnya.
E. KATA AKHIR