Anda di halaman 1dari 55

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur patut kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan kasih setia, serta bimbingan-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan buku ini.
Buku Katekese Sekolah adalah buku ajar, merupakan acuan dan bahan dasar dalam perkuliahan
Katekese Sekolah. Oleh karena itu sangat diharapkan para pemakai buku ini hendaknya lebih
memperkaya diri dengan membaca buku-buku lain yang terkait dengan Katekese Sekolah.
Harapan kami, buku ini dapat membantu para dosen dan mahasiswa dalam mempersiapkan diri
sebagai pewarta khususnya di sekolah.
Akhirnya kami mengucapkan limpah terima kasih kepada semua pihak yang dengan
caranya masing-masing telah membantu dalam penyusunan buku ajar ini. Kami sangat
mengharap kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan buku ini, untuk itu kami
ucapkan banyak terima kasih.











2

DAFTAR ISI


1. Pendahuluan :
1.1.Pengertian Katekese
1.2.Pengertian Sekolah dan Makna Lingkup Sekolah
1.2.1. Pengertian Sekolah
1.2.2. Makna Lingkup Sekolah
1.2.2.1.Makna Sekolah (sebagai Rukun Hidup dan Rukun Belajar)
1.2.2.2.Makna Lingkup Sekolah
1.3. Pengertian Katekese Sekolah
1.4. Peranan dan Tujuan Katekese Sekolah
1.4.1. Peranan Katekese Sekolah
1.4.1.1.Pembentukan Pribadi Kristiani
1.4.1.2.Pembentukkan Hidup Menggereja
1.4.1.3.Semangat Misioner
1.4.1.4.Turut Mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur
1.4.1.5.Pembentukkan Sikap yang Menunjang
1.4.2. Tujuan Katekese Sekolah
1.4.2.1.Penghayatan Iman
1.4.2.2.Kerterlibatan dalam Gereja
1.4.2.3.Semangat Misioner
1.4.2.4.Integrasi Iman
1.4.2.5.Cinta Tanah Air
1.4.2.6.Menggumuli Hidup Beriman
2. Sejarah Perkembangan Katekese Sekolah
2.1.Perkembangan Katakese Sekolah dalam Gereja Universal
2.1.1. Perkembangan Pada Abad Awal Kekritenan (Krygma, Didache, Katekumenat,
Homiliat)
2.1.2. Perkembangan Katekese Sekolah pada Abad Pertengahan Tahun 500-1500 M
(Berdirinya Sekolah)
2.1.3. Katekese Sekolah pada Jaman Pencerahan (Aufklarung)
2.1.4. Katekese Sekolah pada Masa Industrialisasi
2.2.Perkembangan Katekese Sekolah di Indonesia.
2.2.1. Sebelum Tahun 1975.
2.2.2. Kurikulum 1975
2.2.3. Kurikulum 1984
2.2.4. Kurikulum 1994
2.2.5. Kurikulum 2004 (KBK dan KTSP)
3. Dasar dan Hakekat Pendidikan Hidup Beriman dalam Lingkup Sekolah
3.1. Dasar Pendidikan Hidup Beriman

3

3.1.1. Dasar Biblis
3.1.2. Dasar Ajaran Gereja (Magisterium)
3.1.3. Dasar Efisiensi Pelaksanaan
3.2.Hakekat Pendidikan Hidup Beriman
3.2.1. Pendahuluan
3.2.2. Pengembangan Penghayatan Iman Peserta Didik.
3.3.Pendidikan Hidup Beriman di Sekolah dalam Sistem Pendidikan di Indonesia.
3.3.1. Panc asila
3.3.2. UUD 1945
3.3.3. Tap MPR no. IV 1978
3.4.Pendidikan Iman yang Terarah pada Hidup
3.4.1. Katekese Sekolah untuk Sekolah
3.4.2. Katekese Sekolah untuk Hidup
4. Peserta Katekese Sekolah
4.1. Peserta Katekese Sekolah Dasar
4.1.1. Perkembangan biologis siswa Sekolah Dasar
4.1.2. Perkembangan Psikis siswa SD
4.1.3. Kehidupan religius siswa SD
4.2. Peserta Katekese SMP
4.2.1. Perkembangan biologis siswa SMP
4.2.2. Perkembangan Psikis siswa SMP
4.2.3. Kehidupan Religius siswa SMP
4.3.Peserta Katekese SMA
4.3.1. Perkembangan Biologis siswa SMA
4.3.2. Perkembangan Psikis siswa SMA
4.3.3. Kehidupan Religius siswa SMA
5. Pola- Pola Katekese Sekolah
5.1. Pola Hafal
5.2. Pola Pelajaran Analisis Teks
5.3. Pola Pergumulan (PAK)
5.4. Pola Katekese Umat
5.5. Pola Komunikasi Iman Naratif Eksperiensal
5.6. Pola Dialog Partisipatif Pengembangan Iman
5.7. Pola Ekploratif
6. Latihan-Latihan
6.1. Latihan Menyusun Perangkat Mengajar
6.1.1. Program Tahunan [Prota], Progran Semester[Prosem], dan Program
Mingguan[Promi].
6.1.2. Silabus
6.1.3. RPP (Rencana Pelaksaan Pembelajaran)

4

6.1.4. KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).
6.2. Latihan Pengelolaan Kelas
6.2.1. Pengelolaan ruang
6.2.2. Pengelolaan murid
6.3. Latihan Menyusun Evaluasi
6.3.1. Bentuk Penilaian
6.3.2. Alat Penilaian
6.4. Simulasi




















5

DISKRIPSI MATA KULIAH KATEKESE SEKOLAH
Mahasiswa memahami hakekat dan perkembangan katekese sekolah serta
mampu dan terampil mengaplikasikannya dalam karya pewartaa n.



KOMPETENSI DASAR


Mampu memahami kekhasaan dan prinsip-prinsip katekese sekolah dan
mengaplikasikan dalam tugas pewartaan.


KATEKESE SEKOLAH
BAB I
PENDAHULUAN

INDIKATOR :

1. Menjelaskan arti katekese
2. Menjelaskan arti sekolah
3. Menjelaskan makna lingkup sekolah
4. Menjelaskan peranan dan tujuan katekese sekolah


URAIAN

1.1 PENGERTIAN KATEKESE

Berdasarkan arti kata, katekese berasal dari bahasa Yunani Katechein, bentukan dari kata
Kat yang berarti meluas atau pergi, dan echo yang berarti menggemakan atau
menyuarakan. Dengan demikian katechein berarti perwartaan secara meluas tentang

6

suatu berita. Secara sempit Katekese adalah pengajaran atau pendidikan iman bagi calon
permandian.

Dalam pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia katekese mendapat tekanan
khusus, yaitu sebagai komunikasi iman. Dengan rumusan itu dapat dinantikan kesaksian-
kesaksian pengalaman iman dalam kehidupan riil yang pada gilirannya dapat saling
meneguhkan. Sebagai komunikasi iman maka dapat ditrapkan di sana terjadi saling
mewartakan.


1.2 PENGERTIAN SEKOLAH DAN MAKNA LINGKUP SEKOLAH

1.2.1 Pengertian Sekolah

Sekolah pada dasarnya adalah lembaga pendidikan formal dari tingkat Taman Kanak-
Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas/Sekolah
Menengah Kejuruan dan PerguruanTinggi.
Sekolah mengemban tugas untuk ikut serta mencerdaskan bangsa (Pembukaan UUD
1945). Setiap tingkat pendidikan merupakan pengejawantahan tujuan pendidikan
nasional. Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan
Nasional bab III pasal 3 menyebutkan: Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU RI no. 20
thn 2003). Sekolah dibahas dalam rangka pendidikan. Sekolah tidak hanya mengajar,
melainkan juga diharapkan mendidik, tak hanya lewat pengajaran melainkan juga
sikap, perilaku keteladanan, suasana, kegiatan kemanusiaan dan keagamaan (Dr. Piet
Go O.Carm., Katolisitas Sekolah Katolik, hal 16). Dengan demikian, sekolah menjadi
sarana pembentuk mentalitas bangsa, alat integrasi sosial dan kunci pengembangan
segala bidang kehidupan manusia.

1.2.2 Makna Lingkup Sekolah

Anak-anak/siswa datang ke sekolah untuk membentuk diri dengan belajar secara
pribadi atau bersama, dengan pertemuan bersama guru dan teman serta dengan
mematuhi dan menjalankan segala kegiatan sekolah baik dalam kurikulum ataupun
ekstrakurikuler. Akan tetapi sekolah tidak hanya sebagai lembaga pendidikan formal
dengan kurikulumnya, tetapi juga segala unsur yang meliputi lembaga itu. Unsur-
unsur itu adalah: struktur, peluang kecerahan masa depan, situasi lingkungan sekolah
yang menyeluruh, kondisi lingkungan hidup para siswa, wawasan yang berorientasi
pada hidup dan mau terlibat dalam masyarakat.
Hal ini ditegaskan dalam tujuan dan aspek-aspek pendidikan kristiani bahwa
pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya,
yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan

7

umum dari masyarakat, maka anak-anak dan para remaja hendaknya dibina
sedemikian rupa sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral dan
intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh cita rasa
tanggungjawab yang semakin sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka
dengan tepat dan dapat berperan serta dalam kehidupan sosial secara aktif.

1.2.2.1 Makna Sekolah sebagai Rukun Hidup dan Rukun Belajar.

Pada dasarnya sekolah sebagai lembaga pendidikan formal adalah rukun / komunitas
hidup dan rukun belajar. Sekolah merupakan Rukun Hidup karena sebagian waktu anak-
anak berada bersama kawan dan guru di sekolah. Mereka berada , bergaul , bermain dan
belajar bersama untuk mengembangkan dan mendewasakan diri mereka.

Dari uraian tersebut, jelas bahwa Sekolah sebagai rukun hidup dan rukun belajar, bukan
dengan sendirinya sebagai lingkup iman. Siswa datang ke sekolah bukan untuk urusan
soal iman. Namun toh dirasa penting memberikan pelajaran agama di sekolah, karena
sekolah juga sebagai lembaga pendidikan yang bertugas mendewasakan pribadi siswa.

Di sekolah katolik senantiasa mengusahakan terciptanya suasana ke katolikkan. Di
sekolah hendaknya diusahakan agar iman anak-anak terwujud dan dinyatakan. Artinya
iman mereka kepada Yesus Kristus hendaknya mempengaruhi hidup mereka. Maka
katekese di sekolah tidak hanya terbatas pada pelajaran agama sesuai tuntutan kurikulum
tetapi juga meliputi segala bentuk kegiatan keagamaan lainnya.


1.2.2.2 Makna Lingkup Sekolah

Memperhatikan berbagai masalah tersebut, maka perlu diusahakan untuk mengatasi
permasalahan yang di hadapinya. Salah satunya perlu dicoba membuat suatu sekolah
menjadi suatu lingkungan hidup, sebagai suatu komunitas, sebagai suatu Lingkup
Sekolah. Itu berarti sekolah tidak hanya dimengerti sebagai instansi pendidikan formal
dengan seperangkat kurikulum, dan segala macam peraturan yang berlaku di dalamnya.
Harus dilihat dan dimengerti bahwa sekolah suatu lingkup, suatu persekutuan hidup.
Makna sekolah sebagai suatu lingkup atau suatu komunitas adalah sekolah formal dengan
kurikulum dengan segala peraturan yanag berlaku yang ditunjang dengan semangat hidup
bersatu dalam masyarakat dengan segala permasalahan dan harapannya. Dengan
demikian sekolah benar-benar menyiapkan para siswanya untuk siap tampil di tengah
masyarakat.

1.3. Pengertian Katekese Sekolah

Tempat katekese sekolah secara umum dapat disebutkan bahwa tempatnya di sekolah
dengan sasaran adalah anak/siswa SD, SMP, SMA dan SMK. Sepanjang sejarah gereja
telah berkembang usaha-usaha pendidikan hidup beriman dengan tekanan pada segi-segi
tertentu. Dalam gereja universal lebih dikenal dengan istilah Katekese Sekolah. Di

8

Indonesia, digunakan istilah-istilah: pendidikan agama di sekolah, pelajaran agama dan
ada juga yang menggunakan pengajaran agama dan katekese sekolah.
Istilah-istilah itu dapat dipakai namun diusahakan untuk berada dalam tinjauan visi dasar
yakni usaha membantu anak-anak agar beriman yang mengarah pada seluruh hidup. Dan
di atas landasan visi dasar ini pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah berarti
usaha membantu anak-anak/siswa agar mereka beriman Katolik selama mereka belajar
dan selanjutnya menunjang hidup mereka sepanjang usia.
Dengan demikian, anak-anak/siswa digiatkan, disadarkan dan dibina agar sejak dalam
sekolah mereka menyatukan diri dengan Kristus dan Gereja, terungkap nyata dalam
kesaksian hidup Kristen dan terlibat dalam hidup masyarakat.

1.4 Peranan dan Tujuan Katekese Sekolah

1.4.1 Peranan Katekese Sekolah

Pendidikan hidup beriman dalam rangka sekolah berperanan penting. Peranan itu pada
hakekatnya muncul dari status diri anak yang adalah seorang pribadi, warga Gereja dan
warga masyarakat. Dan peranan itu juga muncul dari tujuan pendidikan Katolik dan
tujuan pendidikan negara yakni menciptakan pribadi kristiani yang beriman, yang
menggereja dan memasyarakat sepanjang usia hidupnya.

1.4.1.1 Pembentukan Pribadi Kristiani

Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah berfungsi untuk membentuk pribadi
kristiani yang dewasa dan bertanggungjawab, yang sungguh percaya kepada Yesus
Kristus. Karena itu maka dalam segala bentuk kegiatan pendidikan hidup beriman
hendaknya memberikan perhatian pada tindakan pendidikan iman yang:

a. Mempertajam kepekaan peserta didik terhadap Tuhan yang hidup dan terus berkarya
dalam kehidupan sehingga mereka sanggup menghayati arti yang paling dalam dari
hidup.

b. Mendalami dan mengartikan pengalaman hidup sehari-hari menurut terang Kitab
Suci dan ajaran Gereja.

c. Mengajak para peserta didik agar mereka sadar dan yakin bahwa segala hal yang
dipelajari di sekolah memberikan bekal dan dasar untuk hidupnya sebagai makhluk
Tuhan dan makhluk sosial.

d. Membantu menanamkan kemampuan pada para peserta didik agar berusaha
mendapatkan arti hidup selama mereka belajar dan setelah mereka tamat.

e. Mengajak para peserta didik untuk semakin terbuka terhadap dunia yang semakin
majemuk, khususnya kemajemukan suku, budaya, kepercayaan/agama dan lain-lain.

9

Dengan demikian, para peserta didik semakin memahami dan mempertanggung
jawabkan ajaran iman Katolik dengan hidup secara benar dan baik dalam Gereja dan
masyarakat.

1.4.1.2 Pembentukan Hidup Menggereja

Dalam rangka sekolah, pendidikan hidup beriman berperanan untuk menanamkan
kesadaran kepada para peserta didik bahwa mereka adalah Gereja. Bahwa mereka adalah
anggota umat Allah karena permandian dan kini sedang berjalan menuju rumah Bapa.
Berkenaan dengan peranan tersebut, maka pendidikan hidup beriman dalam lingkup
sekolah hendaknya:

a. Memberikan penjelasan pada peserta didik tentang arti dan makna gereja. Mereka
yang berada dalam sekolah adalah umatAllah (=Gereja) dan secara konkrit
tergabung sebagai warga keluarga Katolik, warga Kelompok Umat Basis (KUB),
warga lingkungan dan paroki.

b. Mendorong mereka untuk terlibat mengikuti segala kegiatan keagamaan di KUB,
lingkungan stasi dan paroki sebagai perwujudan konkrit penghayatan mereka akan
gereja. Kegiatan-kegiatan itu seperti: doa bersama, katekese, latihan koor, ikut serta
mengatur gereja dan sebagainya. Hendaknya mereka sudah dibiasakan untuk hidup
sebagai anggota gereja.

1.4.1.3 Semangat Misioner

Gereja pada dasarnya bersifat misioner. Berarti gereja bertugas melanjutkan karya
keselamatan Allah lewat pewartaan dan kesaksian hidup agar semakin banyak orang
mengenal dan percaya kepada Yesus Kristus. Dalam kegiatan pendidikan hidup
beriman, hendaknya para peserta didik terlibat sebagai seorang rasul Tuhan dengan
jalan:

a. Memahami panggilan sekaligus tugas mereka sebagai imam, nabi dan raja berkat
permandiannya.

b. Kemampuan para peserta didik untuk berpartisipasi dalam ketiga tugas tersebut.
Tugas imam: menguduskan dunia melalui doa, kebaktian, ibadat dan penciptaan
suasana Kristen. Tugas kenabian: mengajar kebenaran yang diwahyukan Tuhan
melalui kata-kata, perbuatan dan kesaksian dalam hidup masyarakat. Tugas
raja/kepemimpinan: memimpin orang ke arah Kristus dengan ajakan, nasihat dan
teladan hidup.

c. Memberikan daya dorong agar peserta didik melakukan tugas sehari-hari sebagai
persembahan dan kebaktian kepada Allah.

d. Memberanikan peserta didik agar mereka mewartakan kabar baik dalam perkataan,
perbuatan dan kesaksian hidupnya setiap hari.

10


1.4.1.4 Turut mewujudkan masyarakat adil makmur.

Pembangunan bangsa bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
material spiritual berdasarkan Pancasila. Sedangkan hakikat pembangunan nasional
adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia. Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah adalah:
membina peserta didik yang adalah warga Negara Indonesia. Pendidikan itu hendaknya
sedemikian agar:

a. Mereka sanggup mewujudkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun
spiritual.

b. Para peserta didik memiliki kepribadian yang utuh dan hidup selaras dengan
lingkungannya (Yakob Papo, Pendidikan Hidup Beriman.hal 50-52).

1.4.1.5 Pembentukan sikap yang menunjang

Tujuan pendidikan nasional dirumuskan sebagai berikut : pembangunan di bidang
pendidikan didasarkan atas falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk
manusia Indonesia yang sehat rohani dan jasmani, memiliki pengetahuan dan ketrampilan
, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap
demokrasi dan tenggang rasa, mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi
pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan sesama manusia sesuai denganketentuan
yang termaktub dalam UUD 1945.

Selaras dengan tujuan pembangun nasional tersebut, katekese di sekolah berperan untuk
berusaha sedemijkian rupa sehingga sikap iman terbentuk dalam diri anak-anak dan
kaum muda sehingga iman menjadi daya gerak inspirasi dalam kegiatan mempelajari
segala ilmu.

1.4.2. Tujuan Katekese Sekolah

Tujuan katekese sekolah adalah agar para siswa sebagai peserta katekese:

1.4.2.1 Penghayatan Iman

Menjadi orang katolik yang sungguh-sungguh menghayati imannya. Mereka merasa ada
keterikatan dengan Tuhan, peka akan kehadiran Tuhan, mendapatkan arti hidupnya dalam
Tesus Kristus, dan mampu mewujudkan imannya dalam doa dan hidup persaudaraan
dengan siapapun.

1.4.2.2 Keterlibatan dalam Gereja

Merasakan dan mengalami bahwa dirinya anggota Gereja, dan aktif melibatkan diri
dalam kegiatan Gereja.

11


1.4.2.3 Semangat missioner

Mempunyai semangat missioner, ikut terlibat secara aktif dalam karya pewartaan baik
eksplisit maupun implisit, yakni lewat lewat perkataan, tindakan dan tingkah laku
mereka.

1.4.2.4 Integrasi Iman

Mengintegrasikan imannya dalam seluruh kegiatan belajar.

1.4.2.5 Cinta tanah air

Mencintai tanah airnya, ikut terlibat secara aktif dalam pembangunan bangsa menuju
masyarakat adil dan makmur.

1.4.2.6 Menggumuli hidup beriman

Sanggup menggumuli kenyataan hidup berdasarkan terang Injil.



BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN KATEKESE SEKOLAH


Indikator

1. Menjelaskan perkembangan katekese sekolah dalam gereja universal
2. Menjelaskan factor pendukung dan penghambat dari perkembangan katekese sekolah
dalam tahap-tahap Gereja Universal.
3. Membuat perbandingan dari perkembangan katekese sekolah di Indonesia.
4. Menjelaskan keunggulan dan kelemahan kurikulum katekese sekolah KBK/KTSP



URAIAN

2.1 Perkembangan Katekese sekolah dalam Gereja Universal

2.1.1 Perkembangan pada abad awal kekristenan ( Kerygma, Didache, Katekemunat,
Homiliat)


12

Pada abad-abad pertama kekristenan, katekese sekolah belum menjadi kegiatan pokok
Gereja. Gereja lebih menitipberatkan pada kegiatan kerugma, didache, homelis, dan
katekumenat.
a. Kerygma adalah warta pertama yang disampaikan para rasul kepada umat yang
belum mengenal Yesus Kristus.

b. Didache adalah penjelasan lebih lanjut tentang ajaran Yesus Kristus. Didache
meliputi dua pokok ajaran yakni :
1) Ajaran Iman : Tentang Allah Bapa, Yesus Kristus, Roh Kudus, Tri Tunggal
MahaKudus, Gereja, Pengampunan dosa, kebangkitan badan, kehidupan kekal )
2) Ajaran susila : hokum cinta kasih, kebajikan, etika, dll)
c. Homelia adalah wejangan yang ditujukan kepada umat yang sudah menerima ajaran
dan hidup Kristus. Biasanya diberikan dalam perayaan bersama, misalnya dalam
kebaktian dan Ekaristi.

d. Katekumenat ialah usaha menyiapkan calon penerima sakramen baptis. Persiapan
untuk menerima sakramen baptis biasanya mengikuti tiga tahap, yakni:
1) Masa katekumenat : penerimaan calon lewat pemeriksaan yang teliti.
2) Masa kompetentes/ electi : persiapan dengan penelitian teliti atas hidup susila
dan kemurnian
3) Masa neophytes : penerimaan anggota baru lewat penyangkalan setan, pengakuan
iman, janji pembaptisan, pengusiran setan, pencurahan air pembaotisan,
penerimaan penguatan, dan Ekaristi Paska.

2.1.2 Katekese Abad Pertengahan

Abad pertengahan adalah masa antara tahun 500-1500 masehi. Pada masa ini mulai
muncul usaha-usaha baru dalam bidang katekese karena adanya perubahan zaman. Model
katekese lebih bersifat sistimatis, tersusun secara teratur dalam satu program yang masuk
akal. Pada abad ini, mulai berdirinya banyak sekolah dengan adanya perundang-
undangan raja-raja Karoling yang berusaha membentuk sistim sekolah sebagai tambahan
pada sekolah biara dan sekolah katedral yang sudah ada pada masa itu.
Sekolah-sekolah pada waktu itu didirikan dalam hubungannya dengan paroki-paroki.
Sekolah-sekolah ini pada mulanya hanya berurusan dengan pembinaan calon imam.
Dalam perkembangan selanjutnya, di sekolah juga diajarkan pengetahuan umum dan
pengetahuan tentang iman meliputi: doa Bapa Kami, Aku Percaya, Dosa Asal dan
Delapan Sabda Bahagia.

2.1.3 Katekese sekolah pada zaman Pencerahan ( Aufklarung)

Katekese pada abad ini (abad 18) memasuki tahap yang menentukan bagi arah zaman
kemudian. Zaman ini mulai menguat rasionalisme. Akibatnya sekolah-sekolah
berkembang pesat. Gereja sadar bahwa pendidikan agama untuk anak-anak tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Ciri utama dari masa ini ialah:

a. Sekolah diwajibkan

13

Pendidikan agama mulai diwajibkan di sekolah-sekolah. Hal ini bukan diwajibkan
oleh hierarki gereja melainkan oleh penguasa pemerintah. Katekese yang menjadi
tugas gereja beralih kepada tugas sekolah.

b. Semangat rasionalisme
Semangat ini muncul sebagai dugaan dari akibat pengetahuan agama yang sangat
kurang. Paham ini melampaui batas dan sekat-sekat yang memisahkan. Paham ini
menjadi titik-tolak persoalan yakni agama tidak dapat memecahkan masalah
manusia, agama dan Tuhan. Lalu paham ini menganjurkan mencari pemecahan
persoalan yang dihadapi manusia di tempat lain yaitu pada akal budi manusia
semata-mata. Paham ini menganggap norma utama dari pikiran dan perbuatan
manusia adalah akal budi.

Katekese untuk anak-anak di sekolah kena imbasnya juga. Prinsip yang digunakan adalah
anak menjadi pusat perhatian. Metode katekese yang cocok dan sesuai jiwa anak-anak di
sekolah ialah Metode Sokrates. Metode ini mengutamakan asimilasi seturut
perkembangan pemikiran anak. Namun kelemahan yang mencolok ialah katekese tidak
menjadi gaung Wahyu Ilahi yang merubah manusia melainkan mendahulukan dan
mengutamakan karya akal budi manusia. Katekese di sekolah mengutamakan
pengetahuan tingkat hafalan.
Untuk mengecilkan pengaruh rasionalisme, maka dikembangkan sejarah Kitab Suci.
Namun metode inipun kurang berhasil, akhirnya orang kembali ke metode lama:
penjelasan sederhana teks katekismus dan kemudian memberikan aplikasi praktis.

2.1.4 Katekese sekolah pada masa Industrialisasi

Sebelum akhir abad ke 19 timbul pembaharuan dalam bidang industrialisasi dan ilmu
pengetahuan. Psikhologi pendidikan juga berkembang, dan berdampak pada
perkembangan katekese. Sejaman ini muncul sekolah-sekolah :

a. Sekolah Munich dan Wina
Sekolah ini muncul karena ilmu pengetahuan terlalu diagung-agungkan dan agama
mulau ditinggalkan. Peranan keluarga tidak jelas.
Sekolah Munich dan Wina menekankan katekese menggunakan tiga langkah, yakni
1) Bahan katekese ( pewartaan ) disampaikan
2) Bahan diingat
3) Bahan dipahami.

Berdasarkan pola itu maka katekese :
1) Pertama harus menggunakan contoh yang menarik sebagai titik tolak.
2) Kedua Mengembangkan teks-teks Katekismus. Metode ini disebut metode
pengembangkan teks atau metode Munich.
Pada Kongres katekese yang pertama di Wina tahun 1912, metode ini diterima dan
disyahkan penggunaannya.

14


b. Sekolah Learn by doing ( Bentuk sekolah aktif).
Ialah model pendidikan dengan mengembangkan metode belajar dengan berbuat.
Anak belajar bukan hanya dengan mendengar melainkan juga dengan berbuat,
dengan mewujudkan dalam hidup. Dalamn katekese, anak dibantu untuk daspat
menangkap kehidupan rohani baik lewat katekese, bimbingan rohani, dan lewat
liturgy.
Mulai zaman ini mulai dipikirkan pengadaan buku katekismus.

2.2. PERKEMBANGAN KATEKESE SEKOLAH DI INDONESIA

2.2.1 Pelajaran Agama Katolik Sebelum Tahun 1975

Sebelum diberlakukan Kurikulum Pendidikan Agama Katolik tahun 1975, setiap guru
agama melaksanakan kegiatan belajar mengajar mengikuti kehendaknya dan dengan
menggunakan buku pegangan sendiri-sendiri. Waktu itu lebih ditonjolkan guru kelas
untuk SD. Ini mengandaikan guru menguasai semua pelajaran. Dampak dari sistim guru
kelas sangat terasa. Perencanaan tak berjalan mulus. Buku pegangan terserah kepada
guru. Kesinambungan materi dan jenjang SMP dan SMA kurang diperhatikan.
Sebelum tahun 1975, pelajaran agama Katolik di Indonesia mengenal dua pola, yakni:

a. Pola Hafal
Pola ini mengandalkan proses Tanya-jawab dari buku Katekismus. Guru
mengajukan pertanyaan dalam teks mengikuti suruhan katekismus dan murid
menjawab. Jawaban murid harus sesuai dengan rumusan katekismus. Waktu itu
muncul berbagai macam katekismus misalnya Katekismus Indonesia, Katekimus
Ringkas, Katekismus Jerman dan lain-lain.

b. Pola Analisis Teks
Pola ini mengikuti proses penyajian kebenaran-kebenaran iman dengan rumusan
yang padat. Guru agama menjelaskan kalimat per kalimat. Kata demi kata.
Kemudian dibuat aplikasi untuk diterapkan dalam hidup siswa.

2.2.2 Kurikulum Pelajaran Agama Katolik 1975

Kurikulum ini berorientasi pada tujuan, artinya pelajaran agama ( juga pelajaran-
pelajaran lain ), diarahkan pada pencapaian tujuan yang telah dirumuskan terlebih dulu.
Mulai tahun itulah pelajaran agama secara resmi mendapat tempat di dalam pendidikan
nasional, mulai tahun itu mata pelajaran agama katolik masuk dalam kurikulum SD,
SMP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Sebagaimana semua bidang studi diarahkan pada
tujuan, begitupun pendidikan agama Katolik di sekolah. Pendidikan agama Katolik
dipandang sebagai salah satu modal untuk tercapainya tujuan pembangunan. Tujuan
katekese sebagai keseluruhan disebut tujuan kurikuler, sedangkan tujuan pelaksanaan
katekese satu demi satu disebut tujuan instruksional.


15

a. Pola
Pola Katekese, yakni Komunikasi iman antara murid, guru dan antar murid. Apa
yang dikomunikasikan ? Peng-arti-an hidup dalam Kristus.

b. Materi
Pengalaman hidup dalam cahaya Kristus.

c. Buku
1) Kuncup ( SD ) Kat SD
2) Persahabatan ( SMP )
3) Langkah-langkah ( SMA ).
4) Guru
Berperan sebagai penyadar.

2.2.3 Pendidikan agama Katolik di sekolah berdasarkan kurikulum 1984

Tujuan pokok dari kurikulum 84 adalah agar peserta didik peka, terampil dan mampu
memahami diri sendiri yang dipanggil Tuhan, sesama dan lingkungan untuk mencari dan
membangun hidup yang berarti dan mendalam seperti yang diwartakan Yesus Kristus dan
diwujutkan serta diwartakan terus oleh jemaat beriman Katolik.

a. Pola
Pola yang digunakan adalah pola PAK

b. Materi
1) Hidup
2) Kitab Suci
3) Ajaran Gereja.

c. Buku
1) Allah memanggil kita ( SD )
2) Remaja bersama Yesus ( SMP )
3) Yesus teladanku (SMA/K)

d. Peran Guru
Guru berperan sebagai pendamping.

2.2.4 Pendidikan agama Katolik di sekolah berdasarkan kurikulum 1994

Kurikulum ini mengalami perubahan dengan muncul kurikulum suplemen tahun 1999.
Hakekat dan inti kurikulum supelemen sama dengan kurikulum 1994, hanya beberapa
pokok bahasan dihilangkan, dan buku paket tetap sama. 9)

a. Pola
Pola yang digunakan adalah naratif eksperensial.


16

b. Materi :
1) Hidup
2) Kitab Suci
3) Ajaran Gereja.

c. Buku
Seri murid-murid Yesus : * Pendidikan agama katolik untuk SD, SLTP dan SLTA.

d. Guru
Berperan sebagai Pendamping, mitra dialog, mitra komunikasi.

2.2.5 Pendidikan agama Katolik di sekolah berdasarkan kurikulum 2004 - 2006

a. Pola
Naratif eksperensial

b. Materi
Hidup, Kitab Suci, Ajaran Gereja.

c. Buku
Seri Murid-murid Yesus- Persekutuan Murid-murid Yesus Pendidikan Agama
Katolik untuk SMP

d. Peran Guru:
Guru berperan sebagai Pendamping, mitra dialog, mitra komunikasi, fasilitator.




BAB III

DASAR DAN HAKEKAT PENDIDIKAN HIDUP BERIMAN
DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH


Indikator

1. Menjelaskan dasar pendidikan hidup beriman
2. Menjelaskan hakekat pendidikan hidup beriman
3. Menjelaskan tujuan dari katekese sekolah untuk sekolah
4. Menjelaskan tujuan dari katekese sekolah untuk hidup.

URAIAN

3.1 DASAR PENDIDIKAN HIDUP BERIMAN

17


Pendidikan hidup beriman dalam Lingkup Sekolah dijalankan sepanjang zaman. Dalam
pemikiran, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan hidup beriman dalam lingkup
sekolah hendaknya terarah dan tertuju pada pelayanan kebutuhan iman anak-anak,
kaum muda pelajar sesuai dengan situasi konkrit mereka. Karena itu perlu dipahami
tentang dasar biblis, dasar ajaran Gereja dan dasar efisiensi pelaksanaan serta hakikat
pendidikan hidup beriman dalam Lingkup Sekolah itu sendiri.

3.1.1. Dasar Biblis

Pelaksanaan Pendidikan Hidup Beriman dalam Lingkup Sekolah dikehendaki oleh
Kristus sendiri. Hal ini tampak jelas dalam karya pewartaan Kristus sendiri dengan
perhatian khusus pada anak-anak kecil ( Bdk Matius 19: 13-15). Tugas ini diberikan
Yesus kepada mereka yang mendapat tugas khusus dari Yesus.

Kristus menghendaki agar semua manusia mendapat warta gembira sabda-Nya,
Sesudah itu berkelilinglah Yesus di seluruh Galilea, sambil mengajar dalam sinagoga-
sinagoga, serta memaklumkan kabar gembira tentang Kerajaan Allah, Yesus
menyembuhkan segala penyakit dan segala kelemahan di antara bangsa itu (Mat 4:23).
Yesus mewartakan pelbagai macam hal dengan penuh wibawa. Pewartaan-Nya
didasarkan dan diwujutkan dengan tindakan cinta kasih dalam perbuatan hidup-Nya
sendiri.

Yesus mempunyai perhatian khusus dan memanggil pada anak-anak dan memberikan
berkat bagi mereka Biarlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu
menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya kerajaan
surga ( Mat. 19: 1315) Lebih lanjut di tempat lain Yesus berkata : Sesungguhnya
barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil ia tidak akan
masuk ke dalam-Nya ( Mat. 19:13-15; Luk 18 : 15-17; Mrk 10:13-16). Yesus juga
menuntut agar kepada anak-anak diberikan pengajaran yang benar, karena mereka
memiliki hati yang ikhlas dan suci serta penuh kepercayaan. Dengan demikian anak-
anak menjadi norma untuk kehidupan bahagia di Rumah Bapa. Tetapi barang siapa
yang menyesatkan salah satu orang dari anak-anak kecil ini, yang percaya kepada-Ku,
lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia
ditenggelamkan ke dalam laut (Mat 18:6). Yesus meletakkan anak kecil sebagai
contoh, Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkan di tengah-
tengah mereka lalu berkata: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak
bertobat dan menjadi seperti anak-anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam
Kerajaan Surga. Sedangkan barang siapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak
kecil ini dialah yang terbesar di dalam Kerajaan Surga. Dan barang siapa menyambut
seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku (Mat 18:2-5).

Tugas menyampaikan warta gembira termasuk dalam tugas untuk memperhatikan dan
mendidik anak-anak, Yesus berikan kepada semua umat. Yesus memberkati mereka
dan berkata, Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di Surga dan di bumi. Karena itu
pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptiskanlah mereka dalam nama

18

Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarilah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa sampai
kepada akhir zaman (Mat:18-20) 10)

3.1.2. Dasar Ajaran Gereja (Magisterium)

Sepanjang sejarah, Gereja tetap mengemban tugas pokok untuk menjalankan
pendidikan iman bagi anak-anak, kaum muda dan pelajar. Kita dapat melihatnya
dengan jelas dalam Sejarah Katekese Sekolah. Lebih khusus dalam penegasan Gereja
dalam ajaran-ajaran.

3.1.2.1. Deklarasi tentang Pendidikan Kristen Konsili Vatikan II

Dalam menunaikan tugas pendidikan, Gereja mengusahakan semua sarana yang tepat,
terutama sarana yang khas baginya. Di antaranya yang utama adalah pendidikan
katekese, yang menerangi dan meneguhkan iman, yang mengasuh kehidupan menurut
semangat Kristus, yang mengantar kepada peran serta atif dan sadar dalam misteri
Liturgi dan yang merangsang kegiatan kerasulan

3.1.2.2. Direktorium Umum tentang Katekese

Pada tahun 1971 Gereja mengeluarkan buku pegangan umum untuk katekese dengan
nama Directorium Cathetiscum Generale (Direktorium Umum Katekese) Buku ini
memberikan perhatian khusus juga pada katekese untuk anak-anak dan para remaja dan
sekolah.
Tugas katekese terhadap anak-anak ialah mendidik menjadi orang beriman untuk
memberikan jawaban yang makin jelas dan secara pribadi pada sabda Tuhan dan
undangan-Nya. Katekese harus membawa anak didik untuk memiliki jawaban hati
terhadap Allah dengan menyenangi dan merasakan doa (baca Directorium Umum
Katekse No. 79

Bagi anak-anak remaja, katekese bertugas untuk:
a. menghidangkan tema yang cocok untuk masa prapuber, puber, adolesen;
b. menemukan arti Kristiani dari hidup;
c. memberikan perhatian pada nilai-nilai yang otentik dan benar;
d. memajukan remaja untuk mencapai kedewasaan pribadi;
e. menunjukkan perwujudan iman dalam sikap tanggung jawab di tengah masyarakat.
f. menyiapkan anak-anak remaja agar mereka menyaksikan iman Kristiani secara
terbuka

3.1.2.3. Evangelisasi Nuntiandi (Pewartaan Injil Kepada Bangsa-Bangsa)

Tahun 1975, Paus Paulus VI menerbitkan ensiklik Evangelii Nuntiandi,Evangelisasi
dalam dunia modern. Amanat ini menekankan pentingnya katekese sebagai salah satu
metode evangelisasi. Dikatakan bahwa akal budi, khususnya akal budi anak-anak dan
kaum muda, perlu belajar melalui pengajaran agama secara sistimatis tentang ajaran

19

fundamental, isi hidup kebenaran yang ingin Allah sampaikan kepada Gereja, dan yang
Gereja usahakan untuk mengungkapkannya dengan cara yang semakin kaya, selama
dalam perjalanan sejarah yang panjang. Pengajaran kateketik agar diberikan baik dalam
keluarga, Gereja, juga dalam sekolah. 14) (EV artikel 44)

3.1.2.4. Sinode para Uskup di Roma tahun 1977 tentang Katekese

Pada sinode ini ditekankan betapa pentingnya peranan sekolah, baik sekolah Katolik
maupun sekolah negeri. Masalah hubungan dengan pemerintah dalam hubungan
dengan pengajaran sering disoroti. Masih banyak kesulitan mengenai pendidikan agama
di sekolah, khususnya terkait dengan nasionalisasi dan akibat-akibatnya.
Dalam sinode juga sangat ditekankan pentingnya katekese anak-anak dan remaja. 15)

3.1.2.5. Ajaran Apostolik Paus Yohanes Paulus II

Pada 16 Oktober 1979 Paus Yohanes Paulus II memberikan ajakan tentang berkatekse.
Dalam hubungannya dengan pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah, ajakan
apostolik itu menyatakan bahwa dalam hubungannya dengan keluarga, sekolah
menyelenggarakan katekese dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak boleh
diabaikan. Pada tempat pertama menyangkut sekolah Katolik dengan kekhususannya
yang khas ialah mutu pengajaran agama yang diintegrasikan dengan hidup. Lembaga-
lembaga Katolik harus menghormati suara batin, dan tetap mengemban tugas yakni
memberikan latihan keagamaan yang cocok bagi situasi keagamaan para murid yang
sering sangat berbeda.
Mereka berkewajiban memberikan penjelasan bahwa panggilan Allah mengikat suara
batin manusia. Selanjutnya Paus juga mengajak memperhatikan kehidupan iman dan
kehidupan agama anak-anak Katolik di sekolah negeri dan sekolah swasta lainnya

Jelaslah bahwa pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah merupakan tugas
pokok Gereja. Dari waktu ke waktu Gereja selalu memperkembangkan pendidikan
hidup beriman dalam lingkup sekolah. Dalam situasi sulit sekalipun Gereja
mengusahakan agar anak-anak, kaum remaja, para pelajar dapat mengintegrasikan iman
dalam seluruh kehidupannya sesuai dengan situasi konkrit hidup mereka serta sesuai
dengan perkembangan jiwa dan perkembangan seluruh kepribadian. 16)

3.1.3. Dasar Efisiensi Pelaksanaan

Pendidikan Hidup Beriman dalam Lingkup Sekolah perlu dijalankan dengan sebaik-
baiknya hingga berhasil. Dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, dasar-dasar
penting ini haruslah diperhatikan demi pemanfaatan semaksimal mungkin segala usaha
pendidikan.

3.1.3.1. Perkembangan diri peserta didik seutuhnya

Usaha pembentukan diri anak-anak atau kaum muda pelajar untuk menjadi orang
beriman kristiani, harus mengetahui dan memperhatikan perkembangan anak didik

20

sejak dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi, meliputi perkembanan jiwa, perasaan,
hubungan sosial, budi, daya tangkap, tingkah laku, kehidupan iman.

Pendidikan hidup beriman hendaknya menggunakan metode dan sarana yang tepat
sesuai dengan usia perkembangan mereka. Karena itu tugas pendidik adalah
memahami perkembangan anak didiknya dan secara terampil menyampaikan
pendidikan sesuai usia perkembangan mereka.

3.1.3.2. Situasi sekolah

Kegiatan utama di sekolah adalah belajar. Tugas para murid adalah mempelajari
sejumlah bidang studi, dan salah satunya adalah pelajaran agama, sesuai kurikulum dan
jadwal yang sudah ditetapkan. Atas dasar pemikiran itu, maka pendidikan hidup
beriman dalam lingkup sekolah berusaha sejauh mungkin mengikuti tuntutan kurikulum
pemerintah, dan berusaha menunjang tujuan Pendidikan Nasional, serta mendorong
para murid untuk penuh semangat mempelajar semua bidang studi dengan dasar iman
Kristiani.

Selain itu dalam pendidikan agama di sekolah harus tetap mempertahankan dan
memperjuangan kekhasannya, yakni penghayatan iman haruslah dihayati dan terpancar
dalam kehidupan sehari-hari, selain itu baik guru maupun para murid peka untuk
mendengarkan Sabda Tuhan dalam pergumulan ilmu pengetahuan dan tuntutan hidup
konkrit di tengah masyarakat.
Dengan memperhatikan tuntutan bagi pendidikan agama di sekolah tersebut, maka
sangat dirasakan bahwa waktu yang disediakan untuk pelajaran agama amatlah kurang,
maka dibutuhkan usaha lain di luar jam pelajaran agama di sekolah.

3.1.3.3. Segi Wahyu Allah

Wahyu adalah komunikasi diri Allah yang menyejarah dan dalam pengalaman manusia
untuk menyelmatkan manusia. Wahyu Allah sudah berjalan dan terjelma dalam kitab
Suci dan Tradisi Gereja, dan sampai kini masih berjalan dalam bentuk-bentuk
pengalaman manusia. Dengan memberikan hidup dalam pengalaman pada manusia,
Allah masih terus memberikan kekuatan cinta-Nya. Karena itu wahyu adalah sesuatu
yang sungguh hidup secara nyata dalam kehidupan manusia, Ia (wahyu) nyata dalam
pergaulan antar manusia, Ia hadir dalam sejarah dan kebudayaan manusia, Ia nyata
hadir dalam pengalaman manusia baik pengalaman istimewa manusia maupun
pengalaman biasa setiap hari.

Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah bergerak dalam lingkungan Wahyu
seperti tersebut di atas. Karena itu baik dalam proses membentuk maupun dalam
kegiatan keagamaan di luar jam pelajaran hendaknya diberikan banyak kesempatan
untuk merefleksi dan komunikasi yang sadar akan diri sendiri, orang lain, kelompok
beriman, alam sekitar dengan pengalaman iman pendahulu (Kitab Suci, ajaran dan
tradisi Gereja).


21

3.1.3.4. Segi Kehidupan Iman

Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah bergerak di antara anak-anak atau
kaum muda pelajar yang sedang membentuk diri. Pendidikan hidup beriman hendaknya
membentuk diri anak-anak atau kaum muda pelajar dalam bidang iman mereka. Usaha
pendidikan hidup beriman hendaknya sedemikian rupa, sehingga dalam diri anak atau
kaum muda terpelajar dapat berubah dan menghidupi diri mereka dengan warta Kristus
sendiri. Dengan demikian anak atau kaum muda pelajar sanggup menjawabi persoalan
hidupnya berdasarkan iman mereka.

3.1.3.5. Hidup Menggereja

Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah yang bergerak dalam lingkungan
pendidikan formal, merupakan salah satu bidang tugas pewartaan Gereja. Guru Agama
yang bertugas di sekolah adalah pelayan kabar gembira yang bertugas atas nama
Gereja. Tugas mereka adalah melayani umat Allah/ peserta didik yang adalah anggota
Gereja.
Oleh karena itu berkatekese dalam lingkup sekolah harus selalu berhubungan dengan
instansi Gereja, karena Gereja yang menjamin kebenaran isi ajaran yang disampaikan.
Anak didik harus dibimbing untuk menyadari bahwa diri mereka adalah anggota Gereja
dan karena itu mereka harus ikut mengambil bagian dalam kehidupan dalam KBG,
dalam paroki dan keuskupan tempat mereka tinggal. Sebaliknya anggota Gereja di luar
sekolah mempunyai tanggung jawab akan kelangsungan hidup pendidikan hidup
beriman dalam lingkup sekolah.

3.1.3.6. Unsur Kekinian.

Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah harus berdasarkan pada kekinian,
artinya pendidikan beriman harus mengena pada kehidupan dan pengalaman hidup
peserta didik dalam situasi konkrit saat ini. Untuk itu pendidikan iman :

a. Menyentuh kebutuhan peserta didik, sehingga mereka mampu memberikan arti
yang mendalam pada hidup, dan siap bertemu dengan Tuhan dalam situasi konkrit
saat ini.

b. Membantu peserta didik untuk mewujudkan imannya dalam pelayanan kokrit dalam
masyarakat.

c. Mengikut sertakan peserta didik untuk dapat bertemu dengan Allah dan mengalami
kebahagiaan bersama-Nya.

3.2 HAKIKAT PENDIDIKAN HIDUP BERIMAN

Berdasarkan pada uraian tentang dasar pendidikan hidup beriman dalam lingkup
sekolah, maka dapat dilihat hakikat pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah.
Hakikat pendidikan beriman dalam lingkup sekolah adalah pendidikan, pengembangan

22

penghayatan iman anak-anak atau kaum muda pelajar Katolik yang ditangani oleh
Gereja dalam sistim pendidikan pelbagai negara.

Pendidikan hidup beriman di satu pihak berada dalam tanggung jawab pastoral gereja,
di lain pihak pelaksanaannya dipengaruhi dan ditentukan oleh sistim pendidikan
pelbagai negara. Para pengembang pendidikan hidup beriman dan guru-guru agama
Katolik hendaknya pandai mendapatkan bahan terbaik untuk melayani iman peserta
didik.

3.2.1. Pendahuluan

Berdasarkan pada penguraian secara menyeluruh mengenai dasar pendidikan hidup
beriman dalam lingkungan sekolah, maka sudah dapat dilihat hakekat pendidikan hidup
beriman dalam lingkup sekolah.

Hakikat pendidikan beriman dalam lingkup sekolah pada prinsipnya merupakan
pendidikan pendidikan, pengembangan penghayatan iman anak-anak atau kaum muda
pelajar Katolik yang ditangani oleh Gereja dalam sistem pendidikan pelbagai negara.
Pendidikan hidup beriman ini di satu pihak berada dalam tanggung jawab pastoral
Gereja, di lain pihak pelaksanaannya juga dipengaruhi dan ditentukan oleh sistem
pendidikan pelbagai negara. Para pengembang pendidikan hidup beriman, guru-guru
agama Katolik harus pandai mendapatkan bahan terbaik untuk melayani iman anak-
anak kaum muda pelajar dalam situasi yang demikian.

3.2.2. Pengembangan Penghayatan Iman Peserta Didik

3.2.2.1. Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah dalam tugas Pastoral Gereja

Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah berada dalam tanggung jawab Gereja.
Tugas itu diperoleh dari Yesus Kristus, dan dapat dijalankan lewat jalur non sekolah
dan jalur sekolah.

Jalur non sekolah dapat dibedakan berdasarkan jenjang usia, misalnya katekse anak-
anak, katekese remaja, katekse kaum muda, katekese orang dewasa, katekse orang tua.
Selain itu juga katekese berdasarkan pekerjaan, misalnya katekese kelompok buruh,
kelompok tani, kelompok profesi, dll.

Katekese dalam lingkup sekolah mempunyai tekanan agar anak-anak atau kaum muda
pelajar, menghayati dan mengintegrasikan imannya itu dalam keseluruhan kegiatan
intelektual dan keseluruhan hidup. Pelaksanaan pendidikan hidup beriman dalam
lingkup sekolah bergerak dari dalam diri anak dan pelajar agar mereka sadar dan
mengubah diri dan terlibat untuk:
- Menambahkan dan mengembangkan pengetahuan iman.
- Menghayati dan menekuni penghayatan iman.
- Aktif terlibat dalam berliturgi, baik pribadi maupun bersama.

23

- Mewujudkan iman dalam bentuk tingkah laku kristiani dalam hidup di manapun
berada.
- Sadar dan bertanggung jawab serta kreatif terlibat dalam segala kegiatan Gereja
bentuk apapun.
- Berani menjalankan kesaksian hidup dan merasa terpanggil untuk merasul.

Untuk mencapai tujuan itu maka Gereja harus memanfaatkan sebaik-baiknya segala
bentuk pendidikan beriman dalam lingkup sekolah. Jadi pendidikan beriman dalam
lingkup sekolah pada hakekatnya merupakan tanggung jawab Gereja agar anak-anak
kaum muda pelajar katolik benar-benar menghayati iman mereka dengan sungguh
dengan mendayagunakan segala bentuk pendidikan beriman dalam lingkup sekolah,
termasuk kemudahan yang diberikan oleh pemerintah dalam sitem pendidikan
Negara.

3.2.2.2. Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah dalam sistem Pendidikan
Beberapa Negara

Perkembangan pendidikan hidup beriman di suatu negara sangat dipengaruhi oleh
situasi negara tertentu yang memberi hak hidup agama Katolik. Dengan demikian dapat
dimengerti kalau masing-masing negara menentukan kebijakan terkait dengan
perkembangan pendidikan hidup beriman dalam lingkungan sekolah. Sebagai contoh,
di Cekoslowakia, pendidikan agama Katolik diberikan di setiap sekolah pemerintah. Di
Irak, Gereja membangun kerja sama dengan pemerintah dalam menerbitkan buku-buku
agama dan para murid dapat menerima buku itu secara cuma-cuma. Hal yang sama di
Jerman dan juga negara-negara lain pasti mempunyai kebijakan tersendiri terhadap
pendidikan hidup beriman dalam lingkungan sekolah.

Selain kebijakan-kebijakan yang menguntungkan, ada juga hal-hal yang menyulitkan
bagi pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah. Kesulitan itu diuraikan dalam
sinode para uskup di Roma tahun 1977. Beberapa kesulitan muncul, antara lain
kelompok Spanyol dan Portugis mengemukakan bahwa dengan adanya pelajaran agama
di sekolah sulit mengembangkan sikap kebebasan beragama sebab sekolah
menekankan pendidikan agama Kristen. Di Pakistan, akibat nasionalisasi sekolah,
banyak sekolah kekurangan tenaga pendidik iman, di pihak lain banyak imam, bruder
dan suster mengundurkan diri sementara awam belum siap menggantikan mereka. Di
Nigeria, setelah nasionalisai, banyak agama selain Katolik masuk dan pemerintah
hanya menerbitkan satu macam buku pelajaran agama Kristen untuk murid dari
pelbagai macam agama Kristen.

Dari gambaran tersebut memberi gambaran bahwa situasi setiap negara bervareasi dan
memberikan tantangan tersendiri bagi pendidikan hidup beriman dalam lingkup
sekolah. Namun tetap diyakini bahwa pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah
amatlah penting, karena di sana terjadi proses pengembangan iman anak-anak
sedemikian rupa sehingga iman mereka semakin kuat dan dewasa. Oleh karena itu
Gereja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Juga harus diperhatikan

24

bahwa anak-anak dan kaum muda pelajar Katolik harus dibiasakan untuk menghayati
dan mewujudkan iman mereka dalam kehidupan sehari-hari.

3.3 PENDIDIKAN HIDUP BERIMAN DI SEKOLAH DALAM SISTEM
PENDIDIKAN DI INDONESIA

Gereja Katolik di Indonesia adalah Gereja Katolik yang hidup dalam suatu
pemerintahan negara Indonesia. Oleh karena itu sebagai warga masyarakat, Gereja ikut
mengambil bagian secara aktif dalam pembangunan bangsa. Keterlibatan Gereja dalam
pembangunan bangsa khususnya dalam bidang pendidikan tidak perlu disangsikan.
Sebagai warga masyarakat, Gereja telah membaktikan diri pada pemerintah dan
masyarakat, antara lain dengan membangun banyak gedung sekolah mulai TK, SD,
SMP, SMA/K dan Perguruan Tinggi. Selain itu Gereja juga dengan aktif mendidik para
kader bangsa, salah satunya adalah mendidik para calon pendidik baik umum maupun
agama.
Pengambil bagian tugas pembangunan, Gereja tetap mengacu dan mendasarkan diri
pada segala Undang-undang dan peraturan yang berlaku di negara Indonesia,
teristimewa pada dasar Negara Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis Besar
Haluan Negara.

3.3.1. Pancasila

Sila pertama dalam Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan sila ini
menegaskan bahwa bangsa Indonesia mengaku dan menghormati pada Tuhan sang
pencipta dan penyelenggara dunia seisinya. Konsekwensi dari pengakuan dan
penghormatan ini adalah pengakuan dan penghormatan ciptaan lain, termasuk sesama
manusia. Dalam bumi Indonesia yang berdasarkan Pancsila tidak dimungkinkan untuk
menghancurkan alam ciptaan Tuhan dan hidup orang lain. Untuk itu pendidikan hidup
beriman dalam lingkup sekolah amatlah penting, sebab akan menjaga dan
mengembangkan iman dan penghayana iman anak-anak dan kaum muda pelajar.

3.3.2. Undang-Undang Dasar 1945

UUD 1945, Indonesia menjamin seluruh warga negara untuk memilih, menganut,
menghayati serta mempraktekkan hidup keagamaannya atau kepercayaannya dalam
hidup sehari-hari. Dalam hal ini tidak ada orang lain, atau instansi tertentu, termasuk
kedua orang tuanya atau keluarganya untuk memaksakan kehendaknya. Pendapat ini
sesuai UUD 1945 Bab IX Pasal 29:
1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu.
Terkait dengan Pasaal 29 UUD 1945, sekolah apapun tidak dibenarkan memaksakan
agama/ kepercayaannya pada para siswa.
Sekolah merupakan salah satu institusi dalam masyarakat berkewajiban memberi
kesempatan agama-agama yang diakui oleh negara untuk menyampaikan ajarannya
kepada para murid yang ingin mempelajarinya. 18)

25

Pemerintah dengan serius menjalankan pembangunan di segala bidang, termasuk
bidang agama. Di sekolah-sekolah mulai SD sampai Perguruan Tinggi
pemerintah memasukkan pendidikan agama dalam kurikulum.

Tap MPR No. IV 1978
Searah dengan Pancasila dan UUD 1945, MPR mengeluarkan ketetapannya dalam
GBHN, yakni Tap MPR No. IV/MPR/1978/GBHN. Dalam GBHN khususnya dalam
bidang pendidikan umum, pun juga agama dikatakan bahwa :
dasar Pendidikan Nasional adalah Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mempertinggi mental budi pekerti,
mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan, membina serta memperkembangkan fisik
yang kuat dan sehat.
Dari uraian tersebut pada hakikatnya pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah
secara resmi sebagai pendidikan formal, sejajar dengan bidang studi lainnya. Sebagai
pendidikan formal, konsekwensinya pemerintah ikut mengatur pelaksanaanya tanpa
harus memandulkan peran Gereja sebagai pendidik iman. Gereja tetap mengemban misi
Yesus Kristus yakni mendatangkan Kerajaan Allah, dan pihak Pemerintah membantu
pengadaan sarana fisik, finansial dan perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan.
Salah satu bentuk kerja sama Gereja dan Pemerintah khususnya hal pendidikan iman
dalam lingkungan sekolah adalah dimasukkan pendidikan agama dalam kurikulum
pemerintah. 19)

3.4 PENDIDIKAN IMAN YANG TERARAH PADA HIDUP

3.4.1. Katekese dalam sekolah

Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah mau tidak mau mengikuti segala tata
aturan yang berlaku bagi suatu sekolah formal, memiliki kurikulum dan memiliki
sejumlah komponen-komponen yang dibutuhkan dalam suatu bidang studi di suatu
sekolah. Perangkat yang dibutuhkan antara lain: memiliki metode, memiliki sistim
penilaian, memiliki program untuk jangka waktu tertentu, memiliki jadwal, dll. Selain
itu sebagai pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah harus memperhatikan
ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.

3.4.2. Katekese sekolah untuk hidup
Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah harus mengusahakan agar para
peserta didik terarah pada hidup. Hal itu berarti bahwa pendidikan hidup beriman harus
mengarahkan para peserta didik agar beriman untuk hidup nyata, baik selama dalam
bangku pendidikan maupun setelah tamat. Oleh karena itu sejak dalam bangku
pendidikan, para peserta didik dilatih agar imannya mulai terlibat dalam hidup
bermasyarakat. Para peserta didik harus dilatih untuk memberi kesaksian imannya,
solider bagi mereka yang miskin dan menderita yang tertindas dan tersingkir 20)





26

BAB IV

PESERTA KATEKESE SEKOLAH


Indikator :

1. Menjelaskan aspek kehidupan religius anak SD
2. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan biologis anak SMP dan
SMA/K
3. Menjelaskan faktor psikhologis anak SMP dan SMA/K
4. Menjelaskan aspek religius anak SMP dan SMA/K
5. Menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi anak SMP dan SMA/K
6. Menjelaskan bagaimana mengatasi masalah-masalah yang dihadapi anak SMP dan
SMA/ K


URAIAN

Pendidikan hidup beriman dalam lingkup sekolah yang pesertanya dari tingkat SD sampai
Perguruan Tinggi merupakan bagian dari perwujutan tanggung jawab Gereja dan negara demi
pembangunan dan pengembangan iman putra-putrinya. Mengingat katekese dimaksudkan untuk
pembangunan dan pengembangan iman, maka dirasa perlu untuk mengenal kepribadian para
peserta katekese sekolah. Dalam buku ini akan diuraikan peserta katekese tingkat SD, SMP dan
SMA/K.

4.1. PESERTA KATEKESE SEKOLAH DASAR

4.1.1. Perkembangan biologis anak SD

Berdasarkan para ahli, perkembangan biologis anak sebagai berikut:
a. Pada usia 0 7 tahun berkembang menjadi anak yang gemuk dan bulat, tetapi
kemudian menyust dan menjadi ramping berbarengan dengan kegiatan fisik anak
tersebut, sebab pada usia ini anak suka bergerak dan bermain. Montessori
menandai usia ini dengan periode penangkapan, artinya anak suka menangkap baik
dengan tangan maupun dengan pikiran.

b. Usia 7 13 tahun anak kembali menjadi mekar, tambah gemuk. Pada usia ini
merupakan usia belajar, anak-anak mulai belajar di sekolah. Usia ini anak mulai
memperhatikan hal-hal yang abstrak, anak-anak memperhatikan kesusilaan, anak
mengenal perbuatan baik dan buruk, mulai mendengarkan suara hati.

c. Usia 13 20 tahun anak kembali menjadi ramping. Pada usia ini anak mulai belajar
ke kedewasaan. Montessori menyebut periode ini sebagai penemuan diri dan
kepekaan rasa sosial. 21)

27


4.1.2. Perkembangan psikhis anak SD

Masa kanak-kanak adalah masa yang mengalami goncangan. Ozwald Kroh menyebut
Trotzperiod. Anak mengalami dua kali Trotzperiod, yani:
a. Tahun ketiga atau awal tahun ke empat dan
b. Pada permulaan masa pubertas

Berdasarkan dua gelombang Trotzperiod ditemukan tiga fase perkembangan yakni:
a. Dari lahir sampai masa Troz pertama, disebut masa kanak-kanak
b. Dari masa Troz pertama sampai awal Troz kedua disebut masa keserasian
bersekolah
c. Dari masa Troz kedua sampai akhir masa remaja, disebut masa kematangan.

Berdasarkan fase-fase tersebut dapat disebutkan ciri-ciri psikologis:
a. Masa kanak-kanak (Masa Trotz pertama).
Tanda-tanda yang tampak:
1) Pemikiram dan pengalaman sangat subyektif, artinya semuanya berpusat pada
dirinya. Si anak merasa dirinya segalanya-galanya, dirinya bagaikan seorang
raja kecil yang mengatur orang lain sesuai kemauannnya. Bagi dia, dirinya,
lingkungan dan dunia sekitarnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Apa yang terjadi dalam dunia sekitar, terjadi dalam dirinya. Misalnya, seorang
anak akan ikut menangis ketika menyaksikan teman bermainnya menangis.
Dengan demikian, kalau orang tua rajin dan khusuk berdoa, maka anakpun akan
ikut khusuk berdoa.
2) Anak pada usia ini belum mampu mencernak hal-hal abstrak, dia suka hal-hal
yang nyata. Misalnya kita dapat membantu memperkenalkan Allah dengan
gambar seorang kakek dengan janggut panjang, dll

b. Masa pertama masa SD umur 5 9 tahun Masa Trotz pertama Masa awal Troz
kedua
Dalam masa ini, anak mengalami perkembangan pemahaman perihal dunia sekitar,
namun anak masih belum memahami hal-hal yang abstrak. Anak masih berfikir hal-
hal yang nyata, yang dapat diindera.
Rasa tanggung jawab terhadap tugas belum ada. Konsentrasi pada satu hal tertentu
masih sangat terbatas, dalam arti tidak mampu konsentrasi dalam waktu yang lama.
Konsekwensi dalam pengajaran, guru harus memiliki kreatifitas untuk setiapkali
merubah cara pengajaran, misalnya dengan dramatisasi, menyanyi, menggambar,
bermain, darmawisata, dll.
Egosentris anak sangat kuat.

c. Fase masa SD, Umur 9 10 tahun, masa Troz kedua
Masa ini ditandai dengan keinginan untuk mengetahui, dan sudah dapat
membedakan mana yang sungguhan dan yang bukan. Mereka senantiasa
menganggap apa yang dikatakan guru atau orang tua adalah benar. Karena itu harus
dicegah adanya perbedaan antara pengajaran guru dengan pandangan orang tua.

28

Konsekwensi lain, penampilan Katekis atau Guru harus tampil sebagai figur yang
meyakinkan. Anak mengharapkan penampilan figur yang berkuasa tetapi sekaligus
amat dekat. Gambaran Allah sebagai Bapa amat menarik bagi anak usia ini. Karena
dengan sebutan Bapa disatu pihak menampakkan Tuhan yang kuasa dan sekaligus
mempunyai hubungan yang akrab.

4.1.3. Kehidupan Religius anak SD

a. Faktor penggerak kehidupan religius anak SD
1) Keluarga
Keluarga merupakan faktor ekstern dan utama penggerak kehidupan religius
anak-anak, namun tidak eksklusif, karena dalam perkembangan, anak bertemu
banyak orang lain dan masyarakat secara lebih luas. Oleh karena itu model bagi
sianak bukan terbatas pada orang tua saja, melainkan terbuka juga bagi banyak
kemungkinan.
2) Sekolah
Sekolah ikut berperan dalam mengembangkan hidup anak-anak, karena kalau
dihitung secara matematik, banyak waktu anak dihabiskan di sekolah. Mereka
kontak dengan guru dan teman, mereka mengenal diri dan teman sebaya dalam
kelebihan dan kekurangan.
3) Umat Paroki
Umat Paroki ikut membangun diri anak-anak. Anak-anak bersama umat hadir
dalam Ibadat bersama, anak ikut menyaksikan beberapa kesempatan penerimaan
sakramen, pembaptisan, komuni pertama, krisma, pernikahan, dll. Pengalaman
ini menumbuhkan benih-benih iman dan sikap penghargaan terhadap hal-hal
terkait hidup keagamamaan.

Selain faktor-faktor tersebut yang kesemuanya merupakan faktor ekstern. Perlu
diingat ada faktor-faktor intern yang menggerakkan hidup religius anak, yakni:
1) Pertumbuhan aspek kognitif
Akibat pergaulan dengan orang lain, anak mengalami perkembangan daya pikir,
mulai dari hal-hal yang konkrit menuju ke pikiran-pikiran abstrak. Sejalan
dengan hal itu daya ingatanpun berkembang pula.
2) Pertumbuhan sikap afektif
Sikap afektifnya berkat pergaulannya dengan orang lain, anak mengalami
perkembangan, yakni hidup emosionalnya dapat dikontrol, cinta mereka kepada
keluarga bertumbuh menjadi lebih otentik dan mulai dari hal yang sederhana.
3) Pertumbuhan sikap sosial
Sikap sosialnya juga berkembang, mereka menempatkan orang dewasa sebagai
idola. Anak juga mulai menyadari bahwa orang dewasa yang di idolakan tidak
bersifat absolut karena mereka melihat bahwa orang dewasa mempunyai
kelemahan dan kekurangan juga.
4) Pertumbuhan moral
Pertumbuhan moral memainkan peranan dalam kehidupan anak-anak. Mereka
mulai mengerti perbuatan yang baik dan yang jahat, tetapi kadang-kadang tidak

29

memahami intensi secara jelas, mengapa ini baik, mengapa yang itu jahat, ada
kemungkinan mereka berbuat yang baik karena takut mendapat hukuman.

b. Ciri khas kehidupan religius anak SD
1) Anak-anak dalam usia SD, giat beragama karena pengaruh orang lain, atau
otoritas orang yang lebih dewasa. Anak juga sudah mulai mempunyai rasa
ketertarikan pada kisah dan tokoh-tokoh suci. Misalnya anak senang mendengar
kisah Tuhan Yesus, juga kisah-kisah para santo/ santa. Ketertarikan ini
menggerakkan hati dan mendekatkan hidup mereka dengan sang tokoh. Di mata
mereka, sang tokoh adalah pribadi pahlawan yang akan mereka ikuti.
2) Sikap hidup agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan mereka, hal ini
disebabkan kekurang mampuan anak-anak secara pribadi.
3) Gambaran tentang Allah sangat antropomorfis, Allah dibayangkan sebagai
manusia biasa, punya rumah, punya keluarga, Ia juga bekerja, dll.
4) Hidup agama mereka bersifat animistis, misalnya mereka melihat kesengsaraan,
penyakit dll, sebagai kutukan atau hukuman Allah. Setelah menginjak usia 12
tahun sifat ini mulai berkurang.
5) Dalam diri anak hidup mentalitas magis, anak melaksanakan kegiatan
spiritualitas untuk hal-hal material. Anak tekun berdoa untuk kenaikan kelas
atau lulus ujian, atau anak rajin berdoa agar dia menang dalam undian. Hal ini
akibat kesalahan dalam pendidikan agama.
6) Hidup moral anak-anak sangat tergantung pada lingkungan dan orang dewasa di
sekitar mereka. Sikap tokoh-tokoh biblis mempunayi arti besar bagi mereka.
7) Anak-anak juga sangat giat mempraktekkan hidup keagamaan, semangat
menjadi putra-putri altar, menghafal doa-doa, dll. 23)

4.2. PESERTA KATEKESE SMP

4.2.1. Perkembangan biologis siswa/siswi SMP

Beberapa fakta biologis siswa/siswi SMP
a. Perkembangan Kelamin Sekunder
1) Gejala yang nampak dalam fase ini adalah :
a. Anak-anak mengalami pertumbuhan jasmani yang sangat pesat
b. Pertumbuhan ini membuat mereka bingung, kaku, kikuk, merasa tidak
selincah masa-masa sebelumnya.
c. Mereka membutuhkan makanan dan istirahat yang cukup.
d. Mereka juga senang menyendiri dan berfikir tentang dirinya.
2) Fase ini berlangsung 2 3 tahun, dan gejala fisik yang nampak adalah:
a) Pada remaja putra
- Tubuh lebih kekar, lebih kelihatan jantan
- Suara membesar dan parau
- Tumbuh bulu-bulu badan termasuk di sekitar alat kelamin
- Menonjolnya buah jakun (buah adam)
-
Pada remaja putri

30

- Tampak tanda-tanda ke-gadis-annya
- Membesarnya buah dada
- Nampak semakin montok, pinggulnya semakin nampak
- Tumbuh bulu-bulu badan.

Perkembangan kelamin Primer
1) Pada remaja putra
a) Sewaktu-waktu sperma memancar (ejakulasi-mimpi basah)
b) Sewaktu-waktu alat kelamin mengembang dan mengeras (ereksi).
2) Pada remaja putri
a) Mengalami menstruasi (keluarnya sel telur yang tidak dibuahi)
b) Mengalami loncatan sel telur (ovulasi)
Pada fase ini para remaja mengalami peningkatan rangsangan seksual. Oleh
karena itu pada fase ini kaum remaja tertarik (senang) pada:
a) Pikiran seksual, ada dorongan untuk mengalami kenikmatan seksual
b) Pikiran cabul, berkeinginan untuk menikmati kegairahan seksual dan
melakukan tanpa memikir resiko dan akibatnya.
c) Pikiran erotis, anak remaja mulai tertarik dan simpatik pada lawan jenis,
mereka tertarik pada ketampanan dan kecantikan teman. 24)

4.2.2. Perkembangan Psikhis Siswa SMP

Seiring perkembangan perkembangan jasmani, menyusulah perkembangan kejiwaan.
Dapat disebut di sini, ada perkembangan emosi, perkembangan intelektual (daya nalar),
perkembangan kehendak dan aspirasi, perkembangan sosial, perkembangan kultural,
perkembangan kesadaran harga diri, perkembangan psiko-seksual, perkembangan etis
moral. Perkembangan ke arah otonomi pribadi, perkembangan menuju satu status sosial
tertentu, dan perkembangan filsafat hidup pribadi.

Franz Dahler membagi perkembangan psikis dalam 4 (empat) kelompok dengan cirinya
masing-masing: 25)
a. Mencari identifikasi diri, dengan ciri-ciri:
1) Menghayati masa lampau dan masa depan secara lebih mendalam
2) Menyadari kekhususan pribadi, tidak mau disamakan dengan kakak, adik dan
teman-teman
3) Mementingkan dirinya sendiri, walaupun hanya untuk sementara
4) Ingin berfikir logis dan abstrak, misalnya tentang kebenaran, misalnya mencari
makna dan tujuan hidup
5) Mencari prinsip pimpinan yang baru, yakni AKU SENDIRI
6) Mengalami pertentangan dan kerinduan menuju ke hal yang baik, tetapi
sekaligus ada dorongan untuk melakukan yang jahat, ingin mencintai dan
sekaligus membenci, mencari relasi dan komunikasi dan sekaligus
terdorong untuk mencari kesendirian, mendambakan kemurnian dan juga ingin
menikmati gairah seksual, dll.

b. Melepaskan diri dari ayah dan ibu, ciri-cirinya:

31

1) Ada perasaan bosan pada ayah ibu, adik dan kakak. Hubungan dengan teman
jauh lebih kuat dari pada dengan orang tua dan saudara-saudara lainnya.
2) Tidak serta merta menerima kewibawaan dan kebijaksanaan orang tua, anak
biasanya bersikap kritis.
3) Berusaha mendapatkan pegangan baru, dan figur kewibawaan baru.
4) Ingin meniru tokoh-tokoh yang terkenal atau tokoh terkenal yang menjadi idola
mereka.
5) Remaja putra akan lebih akrab dengan ibunya dan remaja putri lebih akrab
dengan ayahnya.

c. Mencari nilai-nilai baru, dengan ciri-ciri:
1) Idealismenya timbul. Ia ingin berjuang untuk cita-citanya, misalnya
memperjuangkan keadilan sosial, membela orang kecil, melawan aturan-aturan
yang dinilai sudah ketinggalan jaman
2) Meragukan kewibawaan yang sudah ada, termasuk meragukan kebenaran
agama. Kaum remaja ingin bukti-bukti, bukan hanya dalam bentuk cerita-cerita
atau khotbah-khotbah saja.

d. Merindukan teman-teman baru (suka membentuk kelompok), dengan ciri-ciri
1) Mencari teman dari satu jenis, ini yang disebut homoseksual normal.
Mereka mencari sahabat untuk dapat diajak tukar pikiran, dan yang dapat
memahami akan dirinya. Tetapi kerinduan ini sebenarnya belum terpenuhi
seluruhnya, karena persahabatan baru menjadi kuat setelah berusia 20 tahun ke
atas. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa setelah menikah seoraang suami
masih memerlukan teman-teman sejenisnya. Berbeda dengan seorang
perempuan, setelah menikah perhatiannya lebih tercurah pada rumah tangga.
Persahabatan dengan jenis kelamin yang sama mengandung aspek-aspek positif
a. Antar mereka akan berkompetensi secara sehat.
b. Dapat membicarakan dan memecahkan soal dengan tenang karena tidak
terpengaruh oleh daya seksual.
c. Dapat mengembangkan kepribadian sebagai pria dan wanita. Kita
perhatikan kalau pada usia 12 16 tahun sudah pacaran, akibatnya
mengurangi pergaulan dengan teman sejenis, kemungkinan bagi pria akan
menjadi manusia yang agak feminin, sedang wanita berkembang sebagai
orang yang agak maskulin.

2) Teman dari jenis lain (heteroseksual)
Biasanya terjadi pada usia 16-20 tahun. Ada usia semacam ini, mereka sudah
merasa bahwa bergaul dengan teman sejenis merasa ada sesuatu yang masih
kurang. Hal-hal khusus tidak dapat diperoleh dengan bergaul dengan teman
sejenis.
Menurut J Riberu pada masa ini seorang pemuda mengalami tiga fase, yakni
a) Fase keranjingan pada lawan jenis, artinya pria tergila-gila melihat
kemolekkan tubuh perempuan.
b) Fase tipe, artinya tertarik pada sesuatu (bodynya, sifatnya, perangainya,
halus budinya, keibuannya, dll)

32

c) Fase elektif, pria tertarik pada seorang gadis saja.

Sedang seorang gadis memiliki dua fase, yakni:
a) Fase penantian, yakni mendambakan seorang pria yang memberi perhatian
kepadanya. Dalam fase ini gadis akan berusaha menarik perhatian.
b) Fase elektif. Yakni seorang gadis akhirnya menentukan pilihannya.
Situasi semacam itu tetap harus dihormati, artinya adanya ketertarikan
lawan jenis. Adanya rasa erotis adalah merupakan kesenangan naluri yang
dialami dalam pergaulan, dan harus dihormati dan tetap perlu diarahkan.
3) Sahabat dewasa.
Ia juga mencari sahabat yang lebih dewasa dari dirinya, meskipun kemudian
akan hilang pengaruhnya. Kaum dewasa hendaknya sebagai jalan yang juga siap
untuk ditinggalkan. Sahabat dewasa ini bisa dalam diri ayah ibu, atau guru
mereka.

4.2.3. Kehidupan Religiositas Siswa SMP

a. Ciri-ciri Religiositas Siswa SMP
1) Ambivalen (mendua hati), belum teguh, ragu-ragu dan ada sikap kurang percaya
terhadap praktek keagamaan orang-orang dewasa yang saleh
2) Meragukan sikap beragama tradisional orang tua
3) Menguatnya sikap egoisme infantil, kurang dewasa
4) Masih berbau magis dan animistis
Secara singkat siswa SMP menghadapi perombakan menyeluruh, disertai sikap
kritis terhadap kebiasaan-kebiasaan yang mereka terima dari keluarga, sekolah atau
paroki, dan mengarah kepada keyakinan pribadi.

b. Sikap animistis
Di satu pihak siswa SMP dalam suatu proses menuju kedewasaan religius, di lain
pihak mereka masih bersifat animistis. Mereka melihat bahwa kemalangan
merupakan hukuman Allah atas dosa. Mereka beranggapan bahwa semua yang ada
berguna untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ketidak beresan dalam hidup mereka
dikaitkan dengan ketidak beresan hubungan dengan Allah Yang Mahatahu dan
Mahaadil.

c. Sikap Magis
Keuntungan spiritual ingin diperoleh melalui usaha material semata-mata.
Dalam doa mereka meletakkan kekuatan ilahi untuk kebutuhan yang ingin
diperoleh, sehingga dalam doa cenderung memaksa kehendak Tuhan untuk
meluluskan permohonannya.

d. Gambaran tentang Allah
Gambaran tentang Allah beralih dari antromoformis dan egosentrisme infantil
pelan-pelan bergerak menuju pada penghayatan yang personal, di mana perasaan
subyektif dan afektif mulai tumbuh. Hubungan cinta antara aku dan Tuhan (aku
dengan Engkau) mulai berkembang. Perkembangan kearah sedemikian ini hanya

33

dapat terjadi kalau ada bimbingan dan pendampingan. Sesuai dengan dinamika
perkembangan kepribadiannya yang belum stabil, iman kepercayaan kepada Yesus
Kristus masih labil pula, kadang muncul perasaan ragu-ragu dan menyangsikan-
Nya. Mereka kadang meragukan dan menyangsikan Allah, hal ini juga disebabkan
oleh perkembangan daya nalar mereka. Pada umumnya mereka membayangkan
Allah sebagai sesuatu yang menakutkan, bukan Allah yang menyayangi dan
menenteramkan seperti yang diwahyukan oleh Yesus Kristus.

e. Sikap mereka terhadap Kristus
1) Kadang mereka sangat simpatik pada Yesus Klristus, tetapi kadang juga
menjadi bosan, karena Kristus dilihat sangat lemah dalam menghadapi para
musuh-Nya. Ketika Yesus ditangkap, mengapa Ia tidak menggunakan
kekuasaan dan kekuatan-Nya untuk melawan para musuh.
2) Timbul keragu-raguan, apakah Yesus Kristus sungguh Allah?

Terhadap keragu-raguan ini, Franz Dahler memberi jalan pemecahan:
1) Menunjukkan bahwa Kristus menjadi pejuang keadilan; bahwa Ia dengan
keberanian besar melawan atasan dan pemimpin yang munafik. Kristus dapat
menjadi model dan idola dalam membela kaum lemah.
2) Sebaiknya pewartaan tentang Yesus Kristus lebih ditekankan segi kemanusiaan-
Nya, sedang segi ke Ilahian dapat ditunda untuk sementara waktu.
3) Pewartaan akan sengsara dan wafat serta kebangkitan Yesus Kristus menjadi
model bagaimana usaha untuk menyelamatkan orang lemah membutuhkan
pengorbanan, namun tidak ada pengorbanan yang sia-sia, pada hari ketiga
bangkit.

f. Remaja dan Gereja
Satu pertanyaan, apakah remaja SMP sungguh sudah merasa menjadi anggota
Gereja? Secara hukum, akibat pembaptisan ya mereka menjadi anggota Gereja.
Kenyataan sebagian remaja hidup kegerejaannya masih terbatas ikut sembahyang
dan beberapa ikut kegiatan remaja, dan sebagian kaum remaja tidak pergi kegereja
dan tidak terlibat dengan kehidupan menggereja.
Para katekis dan pembina mempunyai tugas untuk mengajak kaum remaja ikut
secara aktif dalam aktivitas Gereja. Mereka (para pembina) menolong kaum remaja
untuk menemukan motivasi baru, yang lebih batiniah dan personal dalam seluruh
kehidupan agama mereka. Ikut perayaan Ekaristi dan ibadat-ibadat lain serta
semangat untuk berdoa secara pribadi menjadi unsur pembentuk kepribadian yang
perlu diperjuangkan terus menerus. Selain itu perlu dibina dan dibimbing agar kaum
remaja dapat semakin dekat dengan Gereja, hal ini mengingat bahwa pada usia-usia
SMP ada kecenderungan untuk melepaskan dari pengaruh dan ikatan dengan
keluarga dan terbuka pada dunia luar dengan segala nilai-nilai yang ditawarkan.
Untuk itu pewartaan adalah hidup manusiawi yang riil dan hidup di dunia ini, yang
diterangi oleh wahyu Allah.
Fransz Dahler secara terperinci menunjuk sikap kaum remaja terhadap Gereja dan
sekaligus mengemukakan jalan keluar untuk mengatasinya:
1) Menganggap ibadat, penerimaan sakramen, dll adalah suatu kebiasaan

34

2) Ragu-ragu terhadap Gereja, karena ia melihat bahwa dalam sejarah Gereja ada
hal-hal yang buruk
3) Memandang dan menganggap Gereja sudah kolot, ketinggalan jaman, tidak
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern dan bersikap otoriter
4) Meragukan kebenaran kitab suci, antara lain tentang berita mujizat-mujizat.

Jalan keluarnya:
1) Mengikutsertakan secara aktif kaum remaja dalam ibadat, misalnya dalam
latihan koor, dilatih sebagai lektor, dll.
2) Melibatkan dalam diskusi-diskusi yang membahas kehidupan Gereja dalam
hubungannya dengan kehidupan dewasa ini, dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan, sumbangan gereja terhadap masyarakat, dll.
3) Melibatkan dalam pendidikan liturgi.
4) Memberikan bimbingan dalam hubungan personal antara muda dan mudi dalam
suatu kegiatan yang menarik.

4.3. PESERTA KATEKESE SMA/K

4.3.1. Perkembangan siswa SMA/K

Dalam buku Psikhologi Pendidikan tulisan Drs Sumadi Suryabrata, BA., MA., Ed.S.,
Ph.D. mengutip pendapat Aristoteles, bahwa periode perkembangan anak-anak dari
anak-anak sampai dewasa dibagi dalam tiga periode, yakni :
a. Fase I yakni anask usia 0 sampai 7b tahun, merupakan masa anak kecil
b. Fase II yakni dari 7 tahun sampai 14 tahun merupakan masa anak belajar
c. Fase III dari umur 14 tahun sampai 21 tahun merupakan masa remaja atau pubertas.

Dengan pembagian semacam itu, anak-anak SMA merupakan masa pubertas
Dan masa itu sudah mulai sejak anak SMP.
Oleh karena itu dalam buku ini tidak diuraikan secara khusus perkembangan siswa
SMA/K, karena dalam pembicaraan tentang siswa SMP sudah diuraikan secara panjang
lebar.















35

BAB V
POLA-POLA KATEKESE SEKOLAH

Indikator

1. Menyebutkan dan menjelaskan pola-pola katekese sekolah.
2. Menjelaskan keunggulan dan kelemahan dari masing-masing pola


URAIAN

5.1 POLA HAFAL
Pola hafal ialah kegiatan belajar-mengajar agama di sekolah, dalam bentuk guru
memberikan pertanyaan dan murid menjawab pertanyaan itu berdasarkan pada buku
katekismus. Tugas guru ialah memberikan pertanyaan sedangkan tugas murid ialah
menjawab dan menghafalkan ajaran yang sudah tertulis dalam katekismus.
Pola ini dijalankan secara resmi pada tahun 1942, lewat keputusan MAWI untuk
menyusun jadwal pengajaran agama yang berdasarkan pada Kleine Katechismus dan
Grote Katechismus, yang berlaku untuk sekolah-sekolah katolik bagi anak-anak Eropa.
Katekismusnya berjudul Katechismus van Nederlands Indie. Dalam setiap daerah
katekismus ini diredaksikan sesuai dengan keadaan masing-masing daerah. Tahun 1925
disepakati penyusunan jadwal pelajaran katekismus. Tahun 1934, diadakan penekanan
kesatuan dalam memakai satu katekismus dalam mengajar agama dengan menggunakan
bahasa Melayu. Tahun 1955 diputuskan untuk menerbitkan katekismus bersama.
Dengan demikian muncullah pelbagai macam katekismus Indonesia dan katekismus
ringkas.
Pola ini mementingkan pengetahuan hafalan tentang ajaran iman. Segi penghayatan
iman kurang diperhatikan.

5.2 POLA PELAJARAN ANALISA TEKS

Pola analisa teks ialah suatu bentuk pelajaran agama yang menyajikan bahan pelajaran
dalam bentuk rumusan-rumusan yang padat dan dijelaskan secara terpenggal-penggal,
rumusan demi rumusan, kata demi kata. Kemudian dibuat aplikasi praktis untuk
penggunaan praktis dalam hidup.
Langkah dasar dari pola analisa teks adalah sajian, penjelasan dan penerapan praktis .
Sajian bertujuan untuk pengenalan bahan, yang biasanya diberikan dalam bentuk tanya
jawab. Penjelasan memberikan uraian yang lebih lanjut tentang bahan dalam bentuk

36

tafsiran teks, penerapan praktis, berupa penyajian ajaran-ajaran praktis yang harus
dijalankan oleh umat. Aplikasi umumnya sangat moralistis.
Pola ini menekankan pengetahuan tentang iman dan pengetahuan tentang ajaran. Buku
yang mengikuti pola ini seperti katekismus Jerman.

5.3. POLA PERGUMULAN (PAK)
Pola pergumulan ialah satu bentuk pelajaran agama yang membentuk ketrampilan pada
peserta didik untuk sanggup menggumuli atau menyelesaikan masalah hidupnya
berdasarkan visi kristiani. Tekanan pokok pada pola ini ialah membentuk ketrampilan
pada diri anak untuk menjawab pelbagai macam kenyataan hidup.
Proses pola pergumulan melewati tiga tahap yakni pengenalan kenyataan, pemahaman
kenyataan hidup dan pergumulan hidup. Dalam tahap pengenalan kenyataan peserta
didik dilatih agar mereka memiliki kepekaan dan menyadari kenyataan hidup yang
dialaminya. Tahap pemahaman kenyataan membantu peserta didik untuk sanggup
mengetahui sebab akibat mengapa segala pengalaman dan kenyataan terjadi. Tahap
pergumulan hidup melatih peserta didik agar mereka sanggup dan terampil menjawab
segala macam masalah hidup berdasarkan terang firman Tuhan ataupun berdasarkan
tradisi Gereja.
Bila peserta didik dilatih sedemikian baik dengan pola ini maka di mana dan kapan saja
ia akan tetap menjadi seorang Katolik yang tangguh mempertanggungjawabkan
imannya.

5.4. POLA KATEKESE UMAT
Pola katekese ialah suatu bentuk pelajaran agama yang memberikan tekanan pada
pembentukan sikap iman. Pola katekese mementingkan penghayatan iman, walaupun
segi pengetahuan dan pemahaman tentang iman tidak dikesampingkan.
Pola katekese pada zaman ini berpuncak pada katekese umat yakni tukar-menukar
pengalaman iman antara peserta didik, dengan demikian iman mereka diteguhkan.
Dalam pola katekese ini para peserta didik didberi kan kesempatan untuk saling
menyampaikan pengalaman iman mereka tentang peranan Allah dalam hidupnya.
Proses pelaksanaan katekese ini dimulai dengan tukar menukar pengalaman hidup
setiap hari, kemudian diteguhkan dalam ajaran Gereja atau dalam warta gembira Kitab
Suci. Dalam proses ini setiap peserta didik adalah sederajat yang sama-sama bersaksi
tentang Yesus Kristus. Pemimpin atau guru berperanan sebagai fasilitator.
Pola katekese ini baik. Namun prakteknya dalam kurikulum sekolah agak sulit karena
waktu yang terbatas, kesulitan mengkurikulumkan situasi aktual dan hasilnya harus
dievaluasi menurut tuntutan kurikulum. Penghayatan iman yang merupakan tujuan
katekese sulit dievalusia.

5.5. POLA KATEKESE IMAN NARATIF EKSPERENSIAL

37

Pola ini menyajikan materi-materi pelajaran lewat cerita yang mengandung nilai
religius, sosial, kultural, moral, ekonomi dan lain-lain. Termasuk juga di dalamanya
cerita-cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai luhur yang bisa membentuk sikap
peserta didik. Cerita serupa ditemukan juga dalam lembaran-lembaran Kitab Suci
ataupun dalam pengalaman / sejarah gereja.
Selain cerita jenis itu, metode inipun mengangkat peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat sebagai tema pembahasan. Kisah peristiwa dibeberkan
secara utuh dan murid-murid dibiarfkan menarik kesimpulan untuk dirinya
sendiri(misalnya; tenggelamaanya KMP Gurita di Sabang/Aceh).Metode ini pada
dasarnya sangat menarik perhatian siswa / i dan memberi banyak hikmah dan kearifan.
Isi pewartaan gampang dihayati oleh siswa / i karena materi pelajaran diawali dengan
cerita. Strukturnya jelas dan gampang diikuti, hanya tetap perlu diperjuangkan agar
cerita sampai pada penghayatan iman kristiani.

5.6. POLA DIALOG PARTISIPATIF PEMAHAMAN IMAN

Pola ini mengutamakan proses komunikasi iman antara guru dan siswa, dan antara
siswa dengan siswa. Metode ini ingin menghindari indoktrinasi dari pihak guru, tetapi
lebih menomorsatukan gaya dialog antara semua pihak yang ikut dalam proses belajar.
Siswa dengan sendirinya bersifat aktif dan ditantang untuk bertanggungjawab dalam
mewujudkan tuntutan imannya.
Metode ini cocok untuk siswa / i di Sekolah Menengah, karena mereka sudah lebih
matang dan punya gagasan perihal hidup sehari-hari. Dialog terwujud antara lain lewat
tanya jawab, yang perlu dirumuskan dengan baik dan hendaknya bersifat menantang
agar siswa terpancing untuk mendialogkan materi pelajaran.

5.7 POLA EKPLORATIF

Pola ini mengutamakan proses belajar siswa aktif. Para peserta didik secara aktif
memberi reaksi pembelajaran, bukan hanya secara reproduktif, melainkan anak aktif
memproduksi dan formatif. Anak tidak hanya mengulang kata-kata guru dan buku
pegangan, melainkan diharap dapat menemukan/ menghasilkan sesuatu yang baru demi
perkembangan imannya.








38

BAB VI
LATIHAN-LATIHAN

IDIKATOR

1. Mampu menyusun program tahunan, semester, mingguan
2. Mampu menyusun silabus
3. Mampu menyusun RPP
4. Mampu menyusun KKM
5. Mampu menyusun evaluasi
6. Trampil mengelola proses pembelajaran.


URAIAN

6.1 LATIHAN MENYUSUN PERANGKAT MENGAJAR

6.1.1 Program Tahunan (Prota), Program Semester (Prosem) dan Program Mingguan
(Promi)

Program tahunan adalah perencanaan untuk kurun waktu satui tahun yang berisi
Standar Kompetensi / Kompetensi Dasar Dan alokasi waktu pembelajaran untuk setiap
Standar Kompetensi / Kompetensi Dasar.
Program semester adalah perencanaan untuk kurun waktu satu semester yang berisi
Standar Kompetensi / Kompetensi Dasar dan alokasi waktu pembelajaran untuk setiap
Standar Kompetensi / Kompetensi Dasar dan waktu pelaksanaan pembelajaran pada
setiap minggunya.
Program mingguan adalah perencanaan untuk kurun waktu satu minggu yang berisi
Standar Kompetensi / Kompetensi Dasar dan alokasi waktu pembelajaran.
Yang menjadi dasar penyusunan program tahuan dan program semester adalah Standar
Kompetensi, Kompetensi Dasar dan kalender pendidikan yang sudah dibuat oleh satuan
pendidikan.
Guna program tahunan dan semester adalah untuk menetapkan alokasi waktu setiap
kompetensi yang akan dibelajarkan selama satu tahun dan satu semester agar waktu
dapat digunakan secara efektif dan efisien.

6.1.2. Silabus

39

Silabus adalah penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi
pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi..
Silabus disusun oleh guru kelas/mata pelajaran atau kelompok guru kelas/mata
pelajaran, atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di bawah koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan.
Komponen-komponen silabus adalah :
a. Identitas
b. Standar Kompetensi
c. Kompetensi Dasar
d. Materi Pembelajaran
e. Kegiatan Pembelajaran
f. Indikator
g. Penilaian
h. Alokasi Waktu
i. Sumber Belajar
Komponen silabus yang dikembangkan oleh sekolah adalah identitas, materi
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber
belajar.
Silabus dapat disusun dalam beberapa format. Berikut adalah contoh-contoh format dan
contoh pengisiannya.

Format 1 : Vertikal

SILABUS

Nama Sekolah : SMA Negeri 2 Palangka Raya
Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Katolik
Kelas/Semester : X/I ( Satu)
I. Standar Kompetensi :Memahami nilai-nilai keteladanan Yesus Kristus sebagai landasan
mengembangkan diri sebagai perempuan atau laki-laki yang memiliki rupa-rupa
kemampuan dan keterbatasan sehingga dapat berelasi dengan sesama secara lebih baik.
II. Kompetensi Dasar :
1. Mengenal diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sehingga menerima
diri sebagaimana adanya.

40

III. Materi Pembelajaran : Saya pribadi yang unik

IV. Kegiatan Pembelajaran :

5. Doa pembukaan

6. Menunjukkan keunikan diri dengan cara mengisi Kartu Pengenal

7. Membandingkan antara ciri yang dimiliki dan ciri orang lain dengan cara saling
bertukar Kartu Pengenal

8. Merumuskan pengertian keunikan pribadi, melalui tanya jawab: dalam hal apa
mereka sama dengan orang lain, dalam hal apa berbeda dengan orang lain; lebih
banyak persamaan atau perbedaan, apa yang dimaksud pribadi seseorang
dikatakan unik.

9. Mengungkapkan keunikan diri dengan cara membuat gambar simbol diri.

10. Rangkuman dan informasi

11. Mmembaca Kitab Suci Kejadian 1 : 26 31

12. Mendiskusikan makna keunikan, dengan menyoroti: kalimat dalam kutipan Kitab
Suci yang mengungkapkan manusia itu istimewa dan unik.

13. Pleno dan rangkuman, dengan menekanakan bahwa manusia makhluk istimewa
karena secitra dengan Allah, Allah bekerja secara langsung dalam penciptaan
manusia, semua diserahkan bagi manusia.

14. Tugas: merenungkan dan merumuskan tanggapan atas artikel Jadiliah diri sendiri
yang terbaik

15. Doa penutup: Mendaraskan bersama Mazmur 139

V. Indikator:
1. Menyebutkan unsur-unsur yang menunjukkan keunikan seseoramg.
2. Menjelaskan pengertian manusia sebagai pribadi unik.
3. Merumuskan pesan Kitab Suci Kejadian 1: 26 31 tentang keunikan manusia
ciptaan Allah
4. Menggambar simbol diri.
VI. Penilaian
Tes lisan/tertulis
1. Sebutkan unsur-unsur yang menunjukkan keunikan seseorang!

41

2. Jelaskan pengertian manusia sebagai pribadi yang unik!
3. Rumuskan pesan Kitab Suci Kejadian 1: 26 31 tentang keunikan manusia
ciptaan Allah!
Unjuk karya:
- Membuat simbol gambar diri.
Tugas:
- Membuat tanggapan tertulis atas artikel Jadilah diri sendiri yang terbaik

VII. Alokasi Waktu : 2 x 45 menit

VIII. Sumber Belajar:
1. Lembar identitas diri

2. Puisi tentang symbol diri, misalnya puisi, misalnya puisi Bunga Liar

3. Artikel Jadilah diri sendiri yang terbaik

4. Teks Kitab Suci: Kejadian 1: 26 31; Mazmur 139

5. Komkat KWI,Seri Murid-Murid Yesus:Perutusan Murid-Murid Yesus,
Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/SMK, Buku Guru 1 dan Siswa 1A,
Kanisius, Yogyakarta, 2004


Format 2: Horizontal

Prinsip pengembangan silabus adalah :
1. Ilmiah yaitu keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus
benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
2. Relevan yaitu cakupan. Kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi
dalam silaabus sesuai dengan tingkat perkeembangan fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan spiritual peserta didik.
3. Sistematis yaitu komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional
dalam mencapai kompetensi.
4. Konsisten yaitu adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi
dasar, indikator, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar
dan sistem penilaian.

42

5. Memadai yaitu cakupan indikator, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi
dasar.
6. Aktual dan Kontekstual yaitu cakupan indikator, materi pokok/pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, sumber belajar , dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan
ilmu, teknologi dan seni mutahir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.
7. Fleksibel yaitu keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman
peserta didik, pendidik swerta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan
masyarakat.
8. Menyeluruh yaitu komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi
(kognitif,afektif,psikomotorik).

6.1.3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan
prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar
yang ditetapkan dalam standar isi dan telah dijabarkan dalam silabus. Lingkup Rencana
Pembelajaran paling luas mencakup 1(satu) atau beberapa indikator untuk 1 (satu) kali
pertemuan atau lebih.
Komponen RPP memuat :
a. Tujuan Pembelajaran
b. Metode Pembelajaran
c. Sumber Belajar
d. Penilaian Hasil Belajar
Model format RPP yang dapat dikembangkan antara lain sebagai berikut :

RENCANA PELAKSANAAN PEMBALAJARAN

Mata Pelajaran :
Kelas/Semester :
Pertemuan :
Alokasi Waktu :
Standar Kompetensi :
Kompetensi Dasar :

43

Indikator :
A. Tujuan Pembelajaran :
B. Materi Pembelajaran :
C. Metode Pembelajaran :
D. Langkah-langkah Pembelajaran :
1. Kegiatan pendahuluan :
2. Kegiatan inti :
3. Kegiatan akhir/penuitup :
E. Sumber Belajar :
F. Penilaian :

Keterangan :

1. Tujuan pembelajaran dalam RPP dirumuskan berdasarkan SK, KD, dan indikator
yang telah ditulis dalam silabus dan menggunakan kata kerja operasional yang dapat
diukur atau diamati.

2. Tujuan pembelajaran dapat ditulis dalam bentuk kalimat lengkap, menggunakan
rumusan ABCD
- A = Audienci - peserta didik,
- B = Behavior - perilaku yang rumusannya dalam bentuk kata kerja operasional,
- C = Condition, dan
- D = Degree.
Contoh :
Rumusan tujuan pembelajaran berdasarkan KD :
Kompetensi dasar : Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan
dengan menggunakan kata dan kalimat efektif.
Tujuan Pembelajaran : Peserta didik dapat menceritakan pengalaman yang paling
mengesankan dengan menggunakan kata yang tepat dan
kalimat yang efektif.
Rumusan tujuan pembelajaran berdasarkan indikator :
Kompetensi Dasar : Membuat kemasan benda kerajinan untuk fungsi pakai/hias
dengan sentuhan estetika sehingga siap dipamerkan atau
dujual.
Indikator : Membuat desain kemasan bentuk keraajinan.

44

Tujuan Pembelajaran : Peserta didik dapat membuat desain kemasan produk
dengan sentuhan estetika.
Materi Pembelajaran : adalah materi yang digunakan untuk mencapai tujuan
pembelajaran dan dikembangkan dengan mengacu pada
materi dalam silabus.
Metode pembelajaran : Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode tetapi
dapat pula diartikan sebagai model atau pendekatan
pembelajaran, bergantung pada karakteristik pendekatan dan
/ atau strategi yang dipilih, misalnya metode Tanya
jawab,diskusi ekperimen dan pendekatan beberapa model
pembelajaran lainnya.
Komponen yang terdapat pada langkah pembelajaran dalam RPP meliputi tiga tahapan,
yaitu:
a. Kegiatan Pendahuluan
- Motivasi
- Apersepsi
- Menyampaikan tujuan pembelajaran/ kompetensi

b. Kegiatan Inti
- Kegiatan pembelajaran dengan berbagai metode dan model pembelajaran
yang bervariasi
- Kegiatan pembelajaran dengan berbagai media yang dapat mengembangkan
pengalaman belajar menyenangkan
- Pengembangan kecakapan hidup melalui kegiatan pembelajaran peserta didik

c. Kegiatan penutup
- Refleksi
- Kesimpulan
- Evaluasi
- Penugasan

Prinsip-prinsip penyusunan RPP

1. Memperhatikan perbedaan individu peserta didik
2. Mendorong partisipasi aktif peserta didik
3. Mengembangkan budya membaca dan menulis proses pembelajaran
4. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut
5. Keterkaitan dan keterpaduan
6. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi

Langkah-langkah menyusun RPP

1. Mengisi kolom identitas
2. Menentukan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan yang telah ditetapkan

45

3. Menentukan SK, KD, dan indicator yang akan digunakan ( terdapat pada silabus
yang telah disusun).
4. Merumuskan tujuan pembelajaran berdasarkan SK, KD, dan indicator yang telah
ditentukan.
5. Mengidentifikasi materi ajar berdasarkan materi pokok/ pembelajaran yang terdapat
dalam silabus. Materi ajar merupakan uraian adari materi pokok/ pembelajaran
6. Menentukan metode pembelajaran yang akan digunakan
7. Merumuskan langkah-langkah pemebelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, inti
dan akhir
8. Menentukan alat/ bahan/ sumber belajar yang digunakan
9. Menyusun kriteria penilaian, lembar pengamatan, contoh soal, teknik penskoran, dll

Contoh RPP

Sekolah : SMA St. Maria
Mata pelajaran : Pendidikan Agama Katolik
Kelas/ Semester : X/ I
Standart Kompetensi : Memahami nilai-nilai keteladanan Yesus Kristus sebagai
landasan mengembangkan diri sebagai perempuan atau laki-laki
yang memiliki rupa-rupa kemmpuan dan keterbatasan sehingga
dapat berelasi dengan sesame secara lebih baik.
Kompetensi Dasar : 4. Mengenal suara hati, sehingga dapat bertindak secara bebar dn
tepat.
Indikator : 1. Peserta didik dapat menjelaskan arti hati nurani
2. Peserta didik dapat menjelaskan cara kerja dan fungsi hati
nurani.
3. Peserta didik dapat menjelaskan makna hati nurani sebagai
hukum Allah
4. Peserta didik membuat surat tanggapan dari ceritera Bill dsri
Los Angeles
Alokasi waktu : 2 X 45 menit
1. Tujuan Pembelajaran
1) Menjelaskan arti hati nurani
2) Menjelaskan cara kerja dan fungsi hati nurani
3) Menjelaskan makna hati nurani sebagai hukum Allah
4) Membuat surat tanggapan dari cerita Bill dari Los Angeles.

2. Materi pembelajaran
1) Arti hati nurani
2) Cara kerja dan fungsi hati nurani
3) Makna hati nurani sebagai hukum Allah
4) Surat tanggapan

3. Metode pembelajaran
1) Cerita
2) Tanya jawab

46

3) Diskusi
4) Sharing pengalaman

4. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran
A. Kegiatan awal
1) Doa pembukaan
2) Pre test pelajaran sebelumnya
3) Motivasi/ apresiasi ( Memberi bahasan tentang hati nurani)

B. Kegiatan Inti
1) Membaca artikel, misalnya pergumulan hati nurani seorang gadis
2) Tanya jawab seputar artikel.
3) Sharing pengalaman pergumulan hati nurani dalam kehidupan sehari-hari
4) Diskusi tentang arti hati nurani, makna, cara kerja, fungsi dan sikap
terhadap hati nurani.
5) Membaca Kitab Suci dan dokumen yang mendukung
6) Pleno

C. Kegiatan akhir
1) Rangkuman
2) Tugas rumah membuat surat tanggapan
3) Doa Penutup
4) Evaluasi

5. Sumber belajar
1) Pengalaman siswa
2) Cerita peergumulan hati nurani seorang gadis
3) Teks Kitab Suci dan dokumen Gereja
4) Cerita Bill dari Los Angeles
5) Buku guru dan murid IA Komkat KWI 2004

6. Penilaian
Tes lisan/ tertulis
1) Jelaskan arti hati nurani
2) Jelaskan bagaimana cara kerja dan fungsi hati nurani
3) Jelaskan apa makna hati nurani sebagai hukum Allah

7. Unjuk Karya
Membuat surat tanggapan.
Bogor, 20.

Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran,

..
NIP NIP

47


6.1.4 Kriteria Ketuntasan Miniml ( KKM )

1. Pengertian

a. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah ketuntasan belajar (KKB) yang
ditentukn oleh satuan pendidikan.
b. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untukkelompok mata pelajaran
selalin ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang
kompetensi
c. KKM ditetapkan oleh sekolah pada awal tahun pelajaran dengan
memperhatikan :
1) Intake ( kemampuan rata-rata peserta didik)
2) Kompleksitas (mengidentifikasi indicator sebagai penanda tercapainya
kompetensi dasar).
3) Kemampuan daya pendukung (berorientasi kepada sumber belajar)

2. Rambu-rambu

a. KKM ditetapkan pada awaltahun pelajaran oleh satuan pendidikan
berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di satuan pendidikan
b. Kektuntatsan belajar setiap indicator yang telah ditetapkan dalam satu
kompetensi dasar berkisar antara 0 100%
c. Nilai KKM dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat dengan rentang 0 100
d. Sekolah dapat menentukan KKM di bawah nilai ketuntasan belajar maksimal,
dan berusapaya secara bertahap meningkatkan untuk mencapai ketuntasan
maksimal
e. Nilai KKM harus dicantumkan dalam laporan hasil belajar peserta didik

3. Fungsi KKM

a. Sebagai acuan bagi pendidik dalam menilai kompetensi peserta didik sesuai
KD mata pelajaran yang diikuti
b. Sebagai acuan bagi peserta didik dalam menyiapkan diri mengikuti penilaian
mata pelajaran.
c. Dapat digunakan sebagai bagian komponen dalam melakukan evaluasi
program pembelajaran yang dilaksanakan dalamsekolah.
d. Merupakan kontrak paedagogik antara pendidik dengan peserta didik dan
satuan pendidikan dengan masyarakat
e. Merupakan target satuan pendidikan dalam pencapaian kompetensi tiap mata
pelajaran

4. Mekanisme penetapan KKM

a. Prinsip penetapan KKM

48

1) Dilakukan melalui analisis ketuntasan belajar minimal pada setiap
indicator dengan memperhatikan kompleksitas, daya dukung, intake
peserta didik.
2) KKM KD merupakan rata-rata dari KKM indicator yang terdapat dalam
KD tersebut.
3) KKM setiap SK merupakan rata-rata KKM KD yang terdapat dalam SK
tersebut
4) KKM mata pelajaran merupakan rata-rata dari semua KKM SK yang
terdapat dalam satu semester atau satu tahun pembelajaran, dan
dicantumkan dalam laporan hasil belajar (LBH/ rapor) peserta didik
5) Pada setiap indicator atau kompetensi dasar dimungkinkan adanya
perberdaan nilai ketuntasan minimal.

b. Langkah-langkah penetapan KKM

1) Guru atau kelompok guru menetapkan KKM mata pelajaran dengan
mempertimbangkan tiga aspek kriteria, yaitu : kompleksitas, daya dukung,
dan intake peserta didik dengan skema sebagai berikut:

KKM KKM
INDIKATOR MATA PELAJARAN


KKM KKM
KOMPETENSI DASAR STANDAR KOMPETENSI

2) Hasil penetapan KKM oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran
disahkan oleh kepala sekolah untuk dijadikan patokan guru dalam
penilaian.

3) KKM yang ditetapkan disosialisasikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan, yaitu peserta didik, orang tua dan dinas pendidikan

4) KKM dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB) pada saat hasil
penilaian dilaporkan kepada orang tua / wali peserta didik.

c. Penentuan KKM

1) Kompleksitas
Tingkat kompleksitas (kesulitan dan kerumitan) setiap KD atau indikator
yang harus dicapai oleh peserta didik. Kompeksitas tinggi, apabila dalam
mencapai kompetensi diperlukan :


49

a) Guru
Memahami kompetensi yang harus dicapai peserta didik
Kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pembelajaran
b) Waktu, cukup lama karena perlu pengulangan
c) Peserta didik penalaran dan kecermatan peserta didik yang tinggi.

2) Daya dukung
a) Ketersediaan tenaga
b) Sarana dan prasarana pendidikan yang diperlukan
c) Biaya operasional pendidikan
d) Managemen sekolah
e) Kepedulian stakeholders sekolah

3) Intake (tingkat kemampuan rata-rata peserta didik)

Kelas X dapat didasarkan pada hasil seleksi
penerimaan peserta didik baru (PPDB), nilai
ujian nasonal ( NUN ), Rapor kelas IX, tes
seleksi masuk atau psikhotes
Intake :



Kelas XI dan XII didasarkan pada tingkat
pencaaian KKM peserta didik pada semester atau
kelas sebeljmnya.

1. Format KKM

Kompetensi Dasar dan KKM
Indikator Kriteria Penetapan Ketuntasan
Komleksitas Daya
Dukung
Intake Nilai
KKM
















50


2. Menafsirkan criteria menjadi nilai

a. Dengan memberikan Poin :

NO KRITERIA NILAI
Tinggi Sedang Rendah
1 Kompelksitas 1 2 3
2 Daya Dukung 3 2 1
3 Intake 3 2 1

Jika indikator memiliki kriteria : kompleksitas rendah daya dukung tinggi dan
intake peserta didik sedang nilainya adalah
( 3 + 3 + 2 )
------------------- X 100 = 88,89 89
9

b. Dengan menggunakan rentang nilai :

Penentuan rentang nilai dan penetapan nilai dari setiap kreteria
merupakan kesepakatan forum MGMP sekolah, misalnya

NO KRITERIA NILAI
Tinggi Sedang Rendah
1 Kompelksitas - 64 65 - 80 81 - 100
2 Daya Dukung 81 - 100 64 - 80 50 - 64
3 Intake 81 - 100 65 - 80 50 - 64

Nilai KKM Indikator adalah rata-rata dari nilai ketiga kreteria yang ditentukan.
Contoh: Kompleksitas sedang ( 75 ), daya dukung tinggi (95), Intake sedang
(70), maka nilai KKM indicator = ( 75 + 95 + 70 ) : 3 = 80

c. Dengan memberikan pertimbangan profesional judgement pada setiap
kreteria untuk menetapkan nilai




51


Kompesitas Daya Dukung Intake

- Tinggi - Tinggi - Tinggi
- Sedang - Sedang - Sedang
- Rendah - Rendah - Rendah

Contoh :

Jika indicator memiliki kreteria kompleksitas rendah, daya dukung tinggi
dan intake peserta didik sedang maka terdapat dua komponen yang
memungkinkan untuk menetapkan nilai KKM 100 yaitu kompleksitas
rendah dan daya dukung tinggu. Karena intake peserta didk sedang, guru
dapat mengurangi nilai KKM, misalnya menjadi antara 80 - 90

Penetapan KKM

Contoh : Dengan memberi poin

Kompetensi Dasar dan KKM
Indikator Kriteria Penetapan Ketuntasan
Komleksitas Daya
Dukung
Intake Nilai
KKM
1.4 Mengenal suara hati,
sehingga dapat
bertindak secara benar
dan tepat.
* Menjelaskan arti hati
nurani
* Menjelaskan cara
kerja dan fungsi hati
nurani
* Menjelaskan hati
nurani sebagai
hukum Allah





Rendah
3
Tinggi
1

Sedang
2




Tinggi
3
Sedang
2

Tinggi
3




Sedang
2
Sedang
2

Sedang
2
75



89

60


70










52


Penetapan KKM

Contoh : Dengan memberi poin


Kompetensi Dasar dan KKM
Indikator Kriteria Penetapan Ketuntasan
Komleksitas Daya
Dukung
Intake Nilai
KKM
1.4 Mengenal suara hati,
sehingga dapat
bertindak secara benar
dan tepat.
* Menjelaskan arti hati
nurani
* Menjelaskan cara
kerja dan fungsi hati
nurani
* Menjelaskan hati
nurani sebagai
hukum Allah





sedang
75
Tinggi
55

Sedang
78




Tinggi
90
Sedang
80

Tinggi
85




Sedang
70
Sedang
70

Sedang
70
75



78

68


78


6.2 Latihan pengelolaan Kelas

- Mahasiswa dapat mengelola kelas dan mengelola murid berdasarkn metode yang
dipakai.

6.3 Latihan Menyusun Evaluasi

- Mahasiswa dapat menyusun bentuk-bentuk penilaian:
1) Kuis
2) Pertanyaan lisan di kelas
3) Ulangan harian
4) Tugas Individu
5) Tugas kelompok
6) Ulangan semester
7) Ulangan kenaikan kelas
8) Laporan kerja prakrek atau laporan praktikum
9) Responsi atau ujian praktek.

- Mahasiswa dapat menyusun alat-alat penilaian:
1) Penilaian tertulis obyektif

53

2) Penilaian tertulis subyektif
3) Penilaian Lisan
4) Penilaian unjuk kerja (performance)
5) Penilaian Produk
6) Penilaian Portofolio
7) Penilaian Tingkah laku









































54


DAFTAR PUSTAKA

1. AP Budiono HD, 1982. Katekese, Santi Sasana, Surakarta.
2. Dr. Piet Go, O.Carm, 2005. Katolisitas Sekolah Katolik, Penerbit Dioma Malang.
3. Komisi Kateketik KWI, 2003. Seri Murid-murid Yesus Pendidikan Agama Katolik
Untuk SD, Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, Kanisius Yogyakarta.
4. ------------------, 2007. Silabus Pendidikan Agama Katolik Untuk SD, Berdasarkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Kanisius Yogyakarta.
5. Maman Sutarman, Drs., Rm. Yos Lalu, Pr, 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi,
Pendidikan Agama Katolik
6. Papo Yakob, Drs., 1987. Memahami Katekese, Nusa Indah Arnoldus, Ende.
7. ---------------------, 1989. Pendidikan Hidup Beriman Dalam Lingkup Sekolah, Nusa
Indah Arnoldus, Ende.
8. Marinus Telaumbanua OFM, Dr, Ilmu kateketik, Hakekat, Metode dan peserta
Katekese Gerejawi, Obor 1999
9. Peraturan Pemerintah No. 55 2007, Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan
10. Sumardi Suryabrata, Drs, MA, Ed S, Ph D, Psikhologi Pendidikan, PT Raja Grafindo
Persada Jakarta, 1984
11. Dinas Pendidikan, Buku Saku Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Sekolah menengah Atas (SMA, Pemerintah Kota palangkaraya.
12. Diklat Bintek SNP/KTSPtahun 2009 Depdiknas


55

Anda mungkin juga menyukai