Anda di halaman 1dari 24

BAB I

ARTI DAN SIKAP-SIKAP DASAR


PEKERJAAN PASTORAL

A. ARTI DAN DEFENISI PEKERJAAN PASTORAL

1. Defenisi Pertama
Pekerjaan Pastoral adalah usaha mengembangkan persekutuan hidup menurut Injil.
Artinya: suatu pekerjaan membimbing perkembangan hidup manusia untuk
mewujudkan nilai-nilai Injili dalam persekutuan hidup (=hidup sesuai dengan nilai-nilai
Injili). Atau dengan perkataan lain Pekerjaan Pastoral adalah usaha untuk pengembangan
masyarakat agar hidup selaras dengan nilai-nilai Injili.
Bimbingan pada masyarakat ini dimaksud agar umat berkembang selaras dengan
kemajuan masyarakat = “memanusiakan manusia”.
Perkembangan yang diharapkan di sini bukan kemajuan yang diukur dengan materiil,
pembangunan besar-besaran, kenaikan pendapatan perkapita, dsb, melainkan
keselarasan, kerjasama yang saling menguntungkan antar manusia, serta kesejahteraan
bersama.

2. Defenisi Kedua
Pekerjaan pastoral adalah usaha menerjemahkan dan mewujudkan Injil dalam susunan
sosial yang sesuai dengan jaman dan tempat tertentu.
Dalam hal ini, pekerjaan pastoral berhubungan dengan perubahan-perubahan sosial
sesuai dengan perkembang-an jaman. Lalu, apa hubungan/peranan pekerjaan pastoral
dengan perubahan sosial ?
Perubahan sosial = proses yang bersifat sosiologis yang berlangsung menurut kaidah
sosiologis, terdorong oleh kekuatan-kekuatan intern masyarakat. Modernisasi merupakan
salah satu bentuk perubahan sosial. Sejalan dengan perkembangan jaman yang disertai
dengan perubahan sosial itu, kelompok dituntut untuk terlibat dalam perubahan itu. Kalau
tidak, maka kelompok akan kehilangan fungsinya.
Demikian halnya dengan Gereja. Ia harus berperan secara aktif dengan proses
perubahan sosial, dengan tidak lupa menerjemahkan Injil di dalamnya. Inilah yang disebut
dengan pastoral.
Beberapa jenis perubahan yang membutuhkan penyesuaian dan sekaligus
merupakan tantangan masyarakat pada umumnya :
a. Perubahan teknis: industrialisasi, keterbelakangan industri.
b. Perubahan ekonomi: kapitalis, investasi, pengkreditan.
c. Perubahan di bidang kesehatan dan perkembangan pendudukan: kurangnya tenaga
medis, perkembangan penduduk yang sangat cepat.
d. Perubahan di bidang pendidikan: Sistem pengajaran dan kurikulum yang lepas
sehingga kurang menjawabi tuntutan kemungkinan lapangan pekerjaan.
e. Perubahan di bidang HAM dan keadilan: pembunuhan, pemerasan, penindasan/
penganiayaan.
f. Perubahan di bidang komunikasi: radio, persaingan pers dan TV.
g. Perubahan di bidang tingkahlaku seksual: homoseks, lesbian, dll, yang dapat
mengganggu hubungan keluarga.
h. Perubahan ilmiah: Penerepan ilmu yang kurang dapat diterima masyarakat pada
umumnya/ajaran agama.
i. Perubahan di bidang pekerjaan dan produktivitas: Pengangguran, tenaga manusia
diganti dengan tenaga mesin, tenaga kerja yang kurang produktif.
j. Perubahan budaya/kebudayaan dan cara berpikir: gap antar agama, surutnya
keterikatan kaum muda terhadap kebudayaan daerah.
Post modern adalah pandangan atau penilaian orang terhadap perubahan-perubahan
(multi perubahan) karena dampak dari perkembangan jaman (jaman modern) lalu
orang mengambil sikap tertentu terhadap perubahan itu.

3. Defenisi ketiga
Pekerjaan pastoral adalah proses mempersatukan usaha hirarki dan pemimpin Gereja
dengan inisiatif dan kegiatan dari umat.
Dalam hal ini, usaha pastoral yaitu sebagai ‘mediator’ yang bisa menjembatani
antara program hirarki atau pemimpin Gereja dengan umat sehingga umat semakin aktif
untuk mengambil bagian dalam berbagai kegiatan yang sesuai dengan keadaan umat.
Bidang-bidang itu, misalnya; bidang sosial, budaya, dll yang menyangkut kehidupan umat
manusia pada umumnya.

B. SIKAP-SIKAP DASAR PEKERJAAN PASTORAL

Sikap dasar dari pekerjaan pastoral adalah kesanggupan untuk ikut membimbing
sesama manusia ke jalan kebahagiaan menurut ajaran-ajaran Injil.
Beberapa sikap dasar yang perlu diperhatikan untuk perencanaan dan pelaksanaan
pastoral modern, antara lain sebagai berikut :
1. Pengakuan dan penghormatan martabat manusia.
Ini merupakan sikap dasar dan sentral dari segenap kebijaksanaan pastoral modern yang
didasarkan pada suatu nilai kemanusiaan yang universal yaitu “martabat manusia”.
Sikap ini mengandung penolakkan tegas dari segala cara-cara dan kebijakan
pemerintah/swasta yang bertentangan dengan martabat manusia.

2. Kesadaran mengenai realita dalam arti seluas-luasnya, yang harus menjadi pangkalan
dan tujuan segenap usaha.
Sikap ini mengandung penolakkan segala bentuk romantisme murah dan palsu untuk
mengaburkan dan menutup segala kekurangan, kegagalan dan penyelewengan dalam
usaha membantu sesama manusia.
Kesadaran mengenai realita berarti juga membuka mata untuk realita sosial dan
kebudayaan yang berlainan dalam masyarakat/kelompok dalam masyarakat.
Kebijakan pastoral yang realistis bertolak dari kebutuhan yang dirasakan, akan tetapi
kebutuhan yang dirasakan belum tentu tergolong dalam kebutuhan yang riil (nyata).
Unsur yang penting dari kesadaran tentang realitas adalah pengetahuan tentang ‘obyek’
(orang yang dibimbing) dari segala aspek kehidupan mereka.

3. Kesadaran tentang proses perubahan sosial sebagai perubahan struktural yang


multidimensional dapat menuju ke arah perkembangan yang selaras demi kesejahteraan
manusia (sosiologis modern).
Struktur kelompok yaitu susunan intern yang terdiri atas hubungan
tertentu/penggolongan status para anggota yang berkaitan dengan peran sosialnya
masing-masing dan bersifat agak stabil. Struktur ini memungkinkan kelangsungan
kehidupan kelompok dan pelaksanaan fungsinya.
Proses perubahan struktural ini adalah multi-dimensional. Keseluruhannya mengingatkan
suatu reaksi berantai yang mulai pada beberapa tempat dan bergandengan dengan reaksi-
reaksi lain yang akhirnya meliputi seluruh struktur masyarakat.

4. Kesadaran bahwa perkembangan yang wajar tergantung pada auto-aktivitas manusia,


baik individu maupun kolektif.
Pandangan ini sesuai dengan pengakuan dan penghormatan martabat manusia yang bukan
merupakan mahkluk yang serba otomatis yang dapat diramalkan dan ditentukan lebih
dahulu, melainkan mahkluk dengan pikiran dan segala aktivitasnya yang dinamis dan tidak
dapat diketahui terlebih dahulu. Pikiran dan aktivitas ini dapat dibimbing karena manusia
adalah mahkluk sosial dan hidup berkelompok yang memiliki struktur dan pimpinan serta
fungsi-fungsinya.
Pastoral bertujuan menghilangkan unsur-unsur disfungsional dari proses perubahan sosial
yang struktural dan multi-dimensional guna membimbing ke arah keselarasan demi
kesejahteraan umat manusia.
5. Kesadaran tentang efesiensi yang terwujud dalam program yang terlaksana.
Orang dibantu untuk menjadi realistis dan menjadi aktif. Semuanya ini harus
diprogramkan dan dilaksanakan sehingga hasilnya dapat memupuk dan memperkuat auto-
aktivita umat.

Tujuan umum perencanaan dan pelaksanaan kebijakan modern adalah: untuk menjaga dan
memperbaiki kesejahteraan umat manusia dengan bimbingan auto aktivita manusia baik
secara individu maupun secara kolektif dalam usaha menyelaraskan proses perubahan
sosial yang multi-dimensional.
BAB II
PENDEKATAN-PENDEKATAN
DAN DIMENSI-DIMENSI DALAM PASTORAL

A. PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM PEKERJAAN PASTORAL

B. DIMENSI-DIMENSI PEKERJAAN PASTORAL

C. BIDANG-BIDANG PERHATIAN PENDEKATAN KOMPREHENSIF

D. CONTOH PENERAPAN PENDEKATAN KOMPREHENSIF


BAB II
PENDEKATAN-PENDEKATAN
DAN DIMENSI-DIMENSI DALAM PASTORAL

A. PENDEKATAN-PENDEKATAN
DALAM PEKERJAAN PASTORAL

1. Pendekatan Sektoral
Pendekatan sektoral ini dimaksudkan pengembangan pastoral yang ditujukan kepada satu
sektor yang dipandang terpenting. Misalnya: pada sektor katekese.

2. Pendekatan Multi Sektoral


Pengembangan yang ditujukan kepada bermacam-macam sektor setempat.
Misalnya: katekese, pendidikan, liturgi, keluarga, dll. Pendekatan ini kurang koordinasi.

3. Pendekatan Komprehensif
Pendekatan yang ditujukan kepada perkembangan dalam keseluruhannya, dimana sedapat
mungkin semua faktor yang berperan dalam pekerjaan pastoral dipelajari, diberi
perhatian, khususnya dalam hubungan satu sama lain dan dalam dimensi yang tepat.
Pendekatan ini menunjukan minat pada keseluruhan, antar hubungan dengan mencari dan
mempelajari semua dimensi yang berperan dalam sistem antar hubungan. Bila salah satu
dimensi diabaikan, maka keseluruhan perkembangan pastoral akan terabaikan.
Usaha pastoral adalah merubah susunan kehidupan dunia sedemikian rupa sehingga
memungkinkan masyarakat atau umat untuk menjalankan tugas dan kewajiban demi
perkembangan kemanusiaanya sesuai dengan kehendak Allah.

B. DIMENSI-DIMENSI PEKERJAAN PASTORAL

1. Dimensi Sosio-religius
Dimensi ini merupakan dimensi yang pertama. Dimensi ini dinyatakan dalam ibadat dan
dalam hidup religius. Pencerminan hidup religius terwujud dalam katekese. Sedangkan
hidup beribadat diperkembangkan dalam ekumene. Hal ini terwujud dalam kehidupan dan
kerjasama antar umat beragama.

2. Dimensi Sosio-edukatif
Kedewasaan hidup religius tercapai dengan baik dibutuhkan perpaduan antara kehidupan
sosio-religius dan sosio-edukatif, yang meliputi pendidikan formal dan informal.
3. Dimensi Sosio-psikologis
Pendidikan sangat tergantung dari faktor sosio - psikologis, lingkungan keluarga,
masyarakat, dsb. Pekerjaan pastoral akan terlaksana dengan baik dan tepat kalau
memperhatikan juga mentalitas dan dan sikap umat setempat.
Kurang adanya disiplin kerja, tidak adanya perhatian, kekuranglincahan dalam
penyesuaian cita-cita dan apatis terhadap perubahan-perubahan sosial dan lain-lain harus
diatasi dengan mengadakan perubahan-perubahan pastoral.

4. Dimensi Sosio-ekonomis
Perkembangan sosio-religius erat hubungannya dengan perkembangan wilayah dalam
bidang sosio-ekonomis.
5. Dimensi Sosio-politis
Dimensi sosio-politis seperti terbukti dalam sejarah erat hubungannya dengan
kemungkinan memperkem-bangkan kemanusiaan menuju Tuhan. Tanpa terjaminnya hak-
hak asasi manusia dan tertib hukum, tidak ada kemungkinan untuk perkembangan sosio-
religius yang wajar.

6. Dimensi Sosio-kultural atau sosio-budaya


Dalam dimensi ini, perkembangan umat Allah dapat dirintangi bermacam-macam lembaga,
aturan-aturan serta susunan adat yang seringkali tidak menguntungkan perkembangan
yang selaras dalam masyarakat. Pada dasarnya segala kelemahan dalam struktur dasar
masyarakat dan segala kemerosotan dalam kebudayaan mempengaruhi secara mendalam
perkembangan iman umat.

7. Dimensi Sosio-konjungtural
Yang dimaksudkan dengan dimensi ini adalah segala pengaruh yang timbul dari situasi
spesifik di sepanjang waktu berlangsung proses perkembangan pastoral. Faktor ini
seringkali kurang diperhitungkan dalam perencanaan pekerjaan pastoral. Berhasil atau
gagalnya program-program pastoral sangat dipengaruhi oleh dimensi ini.
Keadaan Gereja dan Umat Allah pada masa tertentu tergantung dari situasi setempat yang
terjadi disebabkan oleh sejumlah kejadian, faktor dalam hubungan yang tertentu yang
harus diperhitungkan dalam bimbingan perkembangan umat.
BAB III
TENAGA-TENAGA PASTORAL

A. UMAT DASAR
1. Tugas Sekulir
2. Tugas Subsidier
B. UMAT INTI
1. Komunitas Dasar
2. Karya Pelayanan
C. UMAT BERJABATAN
1. Pemimpin Formal
2. Melayani Penerimaan Sakramen-Sakramen
3. Sebagai Penjiwa
4. Penggali Potensi/Katalisator
5. Pembentuk Dan Pelatih
6. Koordinator
BAB III
TENAGA-TENAGA PASTORAL

Berdasarkan sakramen Babtis dan dikuatkan oleh pengurapan Roh Kudus, maka tugas pastoral
merupakan tugas semua umat. Berdasarkan kedudukan di dalam Gereja, umat Allah dapat
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: Umat Dasar, Umat Inti dan Umat Berjabatan.

A. UMAT DASAR

Orang Katolik yang tidak termasuk status tahbisan dan juga bukan biarawan/biarawati.
Kelompok ini sering disebut juga dengan kaum awam. Dalam Pastoral Umat, tugas umat dasar ialah:
1. Tugas Sekulir
Tugas pokok Umat Dasar terletak pada kedudukannya di dalam masyarakat. Ciri khas dan
keistimewaan dari kaum awam adalah sikap sekulirnya (bdk Lumen Gentium). Maka berdasarkan
kedudukan dan panggilannya tugas mereka adalah mencari kerajaan Allah dengan mengurus
barang-barang yang fana dan mengaturnya menurut kehendak Allah. Hidup mereka di dunia
artinya, di tengah-tengah keanekaragaman tugas dan pekerjaan serta dalam keadaan biasa, hidup
dalam keluarga dan masyarakat. Mereka dipanggil untuk memberikan sumbangan berdasarkan
kedudukannya demi pengudusan dunia.
Tugas-tugas itu dapat dirinci sebagai berikut:
- Menghidupkan dan melangsungkan komunitas kristiani dalam bentuk yang sesuai dengan
kebutuhan tempat dan jaman. Hal ini bisa dibuat dengan membentuk kelompok-kelompok doa,
misalnya, Legio Maria, Kharismatik, dsb. Juga membentuk keluarga sebagai komunias kristiani.
- Mengembangkan kharisma yang dimiliki. Semua umat diberikan anugerah-anugerah dari
Tuhan, maka sudah seharusnya potensi-potensi itu dikembangkan untuk membangunan
masyarakat dan dunia seutuhnya.
- Melaksanakan dan mewujudkan pelayanan kristiani.
- Membawa kehidupan kristiani dalam profesinya sendiri dan melalui profesinya ke dalam
perjalanan dunia. Kekhususan umat dasar adalah mereka hidup dalam profesi tertentu dan bahwa
mereka membawa ke-Katolikan ke dalam profesi itu.
2. Tugas Subsidier
Secara sekunder dan subsidier, umat dasar dapat menjalankan sesuatu yang diperlukan karena
kekurangan tenaga dalam jabatan Gereja. Umat dasar dapat diikutsertakan dalam tugas-tugas umat
berjabatan sejauh keadaan memungkinkan. Dalam hal ini perlu ada pembagian tugas dan
pelimpahan wewenang sehingga dalam pelaksanaan tidak terjadi pertentangan.

B. UMAT INTI

Mereka adalah umat Allah yang termasuk dalam status biarawan/wati. Dalam KHK mereka
disebut dengan golongan Hidup Bakti (suster, bruder, frater dan anggota institut sekulir, dsb). Dari
mereka ini mungkin ada yang berjabatan, tetapi kebanyakan mereka adalah inti dari umat Allah.
Dalam pastoral tidak terlalu dipersoalkan istilah yuridis (hukum) apakah mereka awam ataukah
bukan awam. Kendatipun dalam perspektif yuridis teologis mereka tergolong umat dasar.
Umat inti adalah umat yang menjadi tanda dari dalam, yang dapat mewujudkan pengaruhnya
yang bukan untuk memimpin tetapi lebih kepada tenaga penggerak dari dalam. Ada dua cara yang
hidup mereka yang dapat mempengaruhi atau menggerakkan umat dan masyarakat pada
umumnya yaitu melalui hidup berkomunitas dan melalui karya pelayanan mereka.
1. Komunitas Dasar
Hidup berkomunitas merupakan ciri khas umat inti. Bentuk dan cara hidup berdasarkan nasehat-
nasehat Injil yang dihayati dan dihidupi baik secara pribadi maupun dalam kebersamaan sebagai
komunitas menjadi suri teladan umat dan masyarakat sekitarnya. Biasanya mereka melaksanakan
karya pelayanan dalam suatu wilayah atau daerah tertentu sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
masyarakat sekitarnya.
2. Karya Pelayanan
Pelayanan yang dilaksanakan umat inti pada umumnya bersifat ‘tanpa bayar’ atau kerja dengan
tidak menuntut gaji. Motivasi mereka adalah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan umat Allah
dan demi Kerejaan Allah. Bidang pelayanan mereka itu seperti; bidang kesehatan, pendidikan, panti
asuhan dll. Prioritas pelayanan mereka adalah kaum miskin. Maka dalam pelayanan selain dengan
terbuka melayani orang-orang miskin yang datang kepada mereka, juga hendaknya mereka
“mencari” orang miskin, orang marginal yang berada di sekitarnya dan menolong mereka.
Sehubungan dengan bidang pelayanan ini, umat inti bertugas sebagai:
- Acceptor
Berdasarkan terang Injil dan relasi yang mendalam dengan Kristus, mereka diharapkan mampu
menangkap dan menghayati permasalahan yang ada di dunia dan masyarakat dalam terang iman
kristiani. Dengan perkataan lain, mereka tidak ‘ikut arus’ dalam perkembangan jaman.
- Transmissor
Cara mereka yang khas ini memungkinkan mereka untuk dengan mudah menemukan kekayaan-
kekayaan rohani atau warisan Gereja melalui: doa, meditasi, renungan Injil, dll. Mereka
diharapkan membawa kekayaan atau warisan Gereja ini kepada umat sesuai dengan situasi dan
daya tangkap umat.
- Stabilisator
Dengan kaul-kaul yang mereka ikrarkan membuat mereka cukup dipercaya di mata masyarakat.
Karena itu, mereka seringkali dipercayakan karya pastoral yang lebih bersifat tetap. Mereka
dianggap bisa menjamin kestabilan usaha-usaha Gereja terhadap masyarakat.
- Katalisator
Mereka menjadi pendorong yang dapat memotivasi sehingga umat dasar semakin bersemangat,
digairahkan kembali untuk melaksanakan pekerjaan atau dalam melaksanakan karya pastoral atau
bentuk-bentuk karya lainnya.
C. UMAT BERJABATAN

Mereka adalah bagian dari umat Allah yang mendapat kedudukan sebagai pemimpin umat
karena tahbisan. Misalnya, imam-imam. Mereka termasuk dalam hirarki gereja: Paus – uskup -
imam - diakon. Tugas-tugas mereka sebagai berikut:
1. Pemimpin Formal
Kalau Gereja dipahami sebagai suatu lembaga; institusi; organisasi yang memiliki pemimpin dan
umat/rakyat, maka mereka adalah penanggungjawab institusional Gereja. Misalnya menjadi
kepala/pemimpin umat di tingkat paroki.
2. Melayani Penerimaan Sakramen-Sakramen
Berdasarkan tahbisan yang diterimanya, maka mereka disebut imam, dan dengan sendirinya
karena fungsinya sebagai gembala atau pemimpin (pastor) mereka mempunyai tugas sakramental.
Inilah dua fungsi formal umat berjabatan. Prinsip penyertaan, maksudnya bahwa setiap anggota
terlibat dalam kegiatan Gereja karena terdorong oleh imannya, bukan karena paksaan atau aturan
dan bukan pula karana ada perintah dari atas. Gereja bersifat otonom dari dalam, artinya otonom
dari pribadi masing-masing anggota. Umat berjabatan berfungsi sebagai penggali dan pewarta
sabda dan sanggup membawanya kepada umat dasar.
3. Sebagai Penjiwa
Umat berjabatan hendaknya menjadi penjiwa bagi umat yang dipimpinya sehingga mereka dapat
menjalankan tugas-tugasnya secara ikhlas hati dan bersemangat. Untuk ia hendaknya ia menjadi
animator, yang dapat memberi kepercayaan kepada umat untuk menjalankan tugasnya demi
pengembangan Gereja.
4. Penggali Potensi/Katalisator
Umat berjabatan perlu mencari jalan untuk menggali potensi di dalam umat supaya mereka dapat
menjalankan tugasnya. Mereka adalah motivator dan katalisator yang dapat membantu komunitas
kristiani untuk semakin berkembang.
5. Pembentuk Dan Pelatih
Ia mampu memberdayakan umat untuk berkembang sedemikian rupa, dan mampu juga bersama
umat untuk terus memperkembangkan dan mempertahankan kemajuan-kemajuan yang sudah
diperoleh dalam suatu komunias kristiani.
6. Koordinator
Tim pastoral bisa mendelegasikan dan mengkoordoinir tugas-tugas yang dipercayakan kepada para
fungsionari (katekis, pengurus lingkungan, dll) baik yang ada di tingkat paroki maupun di tingkat
lingkungan/wilayah. Ia menjadi penjiwa dari satu tim kerja. ***)
BAB III
KEBUTUHAN AKAN LATIHAN PASTORAL

A. SYARAT-SYARAT PEKERJA PASTORAL


1. Memiliki Semangat
2. Penghormatan Terhadap Umat
3. Memiliki Keterampilan Khusus
4. Memiliki Kecakapan Teknis
5. Mahir Dalam Teknologi Sosial
B. BENTUK-BENTUK LATIHAN
1. Case Study (studi kasus)
2. Role Playing
BAB III
KEBUTUHAN AKAN LATIHAN PASTORAL

Latihan-latihan pastoral yang telah diuraikan di atas, dalam pelaksanaan bukanlah dikemas
dalam bentuk kuliah, melainkan berupa latihan-latihan praktis, dan tahap demi
tahap. Secara umum fase-fase/langkah pastoral dijalankan dalam 10 langkah. Masing-
masing langkah latihan memiliki tujuan/ciri tertentu, kendatipun seringkali beberapa
langkah harus dihubungkan bahkan disatukan sesuai dengan situasi. Kesepuluh langkah
dalam latihan pastoral dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Motivasi
2. Penggambaran Situasi
3. Feasibility Study
4. Penyusunan Program
5. Acara Latihan
6. Proyek Teladan
7. Community Organization
8. Pelaksanaan dan Pemeliharaan
9. Evaluasi

Penekanan dari latihan dalam pelaksanaan langkah-langkah tersebut terletak pada


pengetrapannya dalam praktek oleh pekerja pastoral di paroki-paroki. Para pembimbing
harus membimbing segenap proses latihan langkah demi langkah. Mereka berperan untuk
: mendukung, mengarahkan, meneliti dan menilai proses-proses yang terjadi

A. SYARAT-SYARAT PEKERJA PASTORAL

Menjadi seorang pekerja pastoral harus memenuhi sejumlah syarat yang dipandang layak.
Syarat-syarat itu seperti :
1. Memiliki semangat
Pekerja pastoral hendaknya memegang prinsip bahwa segala sesuatu bersifat dinamis,
artinya terus ‘berubah’ seiring dengan berkembang jaman, tidak terpaku di tempat saja.
Untuk itu hendaknya pula, ia beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut dan juga
dengan situasi daerah pastoralnya dengan tidak melupakan nilai-nilai Injili.
Konsekuensi dalam karya pastoralnya adalah terdapat adanya kemungkinan untuk
merancang cara/pendekatan pastoral yang baru bahkan bisa saja jenis karya yang baru
pula sehingga sungguh sesuai dengan keadaan umat setempat. Ia juga dituntut untuk
memiliki sikap empaty dengan keadaan umat yang dilayaninya.
2. Maksud baik dan penghormatan terhadap umat
Pekerja pastoral, bukanlah hidup seorang diri tetapi ia hidup di tengah-tengah umat
beriman/masyarakat pada umumnya. Untuk itu hendaknya ia memiliki maksud-maksud
baik untuk bersama-sama dengan umat mengembangkan hidup mereka sesuai dengan
situasi mereka menuju kegembiraan dan kesejahteraan bersama. Ia juga hendaknya
memiliki sikap hormat terhadap mereka, artinya menghargai dan menerima apa adanya
serta bersama mereka menggalakkan karya-karya pastoral.

3. Memiliki keterampilan khusus dan pengetahuan khas


Pada dasarnya pekerja pastoral bertugas membantu umat agar mereka lebih berkembang
dalam imannya. Untuk sampai pada tujuan ini, maka ia hendaknya memiliki keterampilan-
keterampilan dan pengetahuan yang memadai.
Selain itu, ia juga hendaknya mengetahui adat-istiadat/kebudayaan setempat, misalnya:
pola hidup bersama, kepercayaan, sistim otoritas, hubungan antar kelompok/individu,
dsb.
4. Memiliki kecakapan teknis dalam beberapa bidang
Pekerja pastoral harus mempunyai kecakapan teknis di beberapa bidang. Ia harus dapat
membantu orang-orang untuk memahami masalah-masalah mereka sendiri dan cara
menyimpulkannya. Ia harus tahu dan memahami fakta-fakta yang harus diajarkan kepada
umat agar mereka memahami dan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan mereka yang
terpenting.

5. Mahir dalam teknologi sosial


Pekerja pastoral juga dituntut untuk menguasai teknologi sosial, sosiologi, psikologi sosial
dan antropologi budaya dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dengan menguasai bidang-bidang
tersebut, akan mempermudah pekerjaan pastoral, dan terutama demi keberhasilan karya
pastoral.
Syarat-syarat pekerja pastoral di atas memang amat penting. Kendatipun demikian,
keberhasilan pekerjaan pastoral bukan semata-mata karena syarat-syarat di atas sudah
dimiliki oleh seorang pekerja pastoral, tetapi juga oleh program/kebijakan atasan Gereja;
hirarki Gereja. Dengan demikian, dalam pelaksanaa karya pastoral hendaknya juga
mengikuti program dari para hirarki.
B. BENTUK-BENTUK LATIHAN

Sebenarnya ada banyak bentuk latihan yang dapat dipakai. Di bawah ini hanya
disampaikan dua bentuk latihan sebagai contoh, yaitu :

1. Case study (studi kasus)


Studi kasus atau care study dipahami sebagai suatu cara untuk menganalisa suatu masalah.
Masalah itu dianalisa untuk menemukan faktor-faktor yang menyebabkan atau
mempengaruhi kegagalan serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau
menghindari atau memperkecil resiko kegagalan. Melalui latihan ini diharapkan agar
dapat membantu orang untuk mampu melihat masalah secara benar, menganalisa secara
kritis dan mengambil jalan keluar secara bijaksana.

Langkah-langkah studi kasus :


a. Menentukan masalah yang akan didiskusikan. Masalah itu sebaiknya diambil dari
masalah kehidupan sehari-hari.
b. Penjelasan seperlunya tentang cara kerja atau diskusi
c. Pembagian kelompok (@ klp. : 5-10 orang), jika pesertanya banyak
d. Pengajuan masalah
e. Diskusi dalam kelompok kecil
f. Pleno hasil diskusi kelompok pada forum
g. Penyimpulan dan penegasan serta penjelasan tentang kasus tersebut
h. Penutup

2. Role playing
Role playing adalah suatu cara untuk memecahkan suatu masalah dengan sarana
mengajukan suatu ceritera kehidupan sehari-hari. Ceritera itu diperagakan oleh
kelompok/tim. Setelah peragaan atau pementasan dibutuhkan tanggapan dari
anggota/pemain, termasuk penonton. Metode ini pertama-tama dikembangkan di Amerika
Serikat.

Langkah-langkah permainannya adalah:


a. Menentukan masalah
Pokok-pokok permasalahan digambarkanlah dalam situasi tertentu yang akan diperankan
sehingga peserta betul-betul mengetahui dan memahami betul permasalahan-nya. Untuk
itu pokok masalahnya ini dapat ditulis.
b. Memilih para pelaku
Jumlah para pemain tergantung pada permasalahannya. Para pemain tidak diajarkan
tentang apa yang harus dibuat ataupun kata-kata apa yang harus diucapkan (seperti
drama), tetapi pemain hanya diajarkan sikap-sikap yang perlu dan tujuan yang akan
dicapai.
c. Permainan dimulai
Berdasarkan penjelasan itu, permainan dimulai. Setiap pemain berusaha memberikan
reaksi yang sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Pada saat yang dipandang tepat,
pembimbing dapat menghentikan permainan dan kemudian mengajak peserta untuk
mendiskusikan apa yang telah diperankan itu. Apakah sudah berperan dengan baik artinya
bisa memperjelas masalah atau justru mempersulit masalah semula.

d. Pelaku mensharing peran yang sudah dimainkannya


Pelaku diberi kesempatan untuk sharing atau menjelaskan tentang peran yang
dimainkannya itu sesuai dengan pemikirannya atau tidak. Hal ini dapat dicocokkan dengan
pemain yang lain. Tiap pemain dapat mensharingkan manfaat dari peran mereka masing-
masing.
e. Anggota kelompok menyampaikan saran-sarannya
Berdasarkan masukan-masukan dari tiap anggota kelompok ini, lalu permainan diulang
lagi.
Apendix
PETUNJUK DIDAKTIS LATIHAN INTENSIF
DENGAN TEKNIK MASALAH

1. Persiapan
Tahap persiapan ini meliputi :
 Pembagian bahan
 Analisa bahan
 Membandingkan bahan yang dianalisa dengan pengalaman. Hal ini bisa dilakukan
dengan cara: memberikan kertas kerja (working papers) untuk dipelajari dan dianalisa
peserta. Waktu untuk menganalisa tergantung dari tingkat pendidikan peserta. Makin
tinggi tingkat pendidikan peserta, makin singkat waktu yang digunakan dan sebaliknya
makin rendah tingkat pendidikan maka waktu yang digunakan makin banyak/lama.

2. Kelompok peserta dikumpulkan dan diberi keterangan singkat


Bagian ini meliputi :
 Penjelasan singkat tentang bahan yang akan disajikan
 Bahan-bahan yang penting dicacat di kertas flap atau ditulis di papan tulis
 Penjelasan istilah-istilah yang dirasa sulit
 Menitikberatkan hal yang meminta perhatian khusus

3. Penyusunan masalah
a. Menentukan masalah
Peserta diminta melihat masalah yang berhubungan dengan pokok yang dibicarakan, yang
menurut pengalaman mereka paling penting, paling mendesak pemecahannya dan
membutuhkan perhatian khusus.
b. Uraian masalah
Masalah diuraikan ke dalam bentuk kejadian konkret, kalau dapat dari pengalaman sendiri
c. Perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan
Jika peserta sendiri sudah mempunyai gagasan mengenai pemecahannya supaya hal itu
dikemukakan dalam bentuk masalah secara singkat.

4. Diskusi kelompok
Diskusi kelompok meliputi :
a. Penyusunan skema diskusi berdasarkan masalah yang diajukan
 Peserta mengajukan masalah dan pendamping mengumpulkannya.
 Cara mengumpulkannya yaitu dengan menulis di papan tulis atau kerta flap.
 Masalah ditulis secara sistimatis.
 Setelah masalah terkumpul, peserta dibagi dalam kelompok untuk mendiskusikannya.
 Pembagian kelompok bisa memakai cara dengan mengikuti permasalah yang diajukan
oleh masing-masing peserta.
b. Pembicaraan dan musyawarah dalam kelompok diskusi
Yang harus diperhatikan dalam diskusi adalah :
 Formasi duduk dan suasana. Aspek ini diciptakan sedemikian rupa sehingga peserta
merasa leluasa
 Seorang sebagai ketua kelompok/pimpinan diskusi
 Seorang menjadi penulis
 Pada akhir diskusi; hasilnya dirumuskan sebaik mungkin. Permusan ini hendaknya
melibatkan semua anggota kelompok, tidak hanya beberapa orang saja.
c. Pengumpulan draf rumusan
 Draf rumusan dari tiap kelompok diplenokan.
 Pendamping dan peserta lain boleh menanggapi. Kalau perumusan sudah diterima oleh
pleno, maka tidak usah diberi banyak komentar lagi.
 Bila rumusan belum jelas maka dapat diberi komentar tambahan yang sesuai dengan
masalahnya dan tujuan yang mau dicapai.
d. Penyusunan rumusan tetap
 Berdasarkan masukan berupa komentar dan usul-saran dalam pleno.
 Kelompok memperbaiki yaitu merumuskan kembali rumusan-rumusan yang belum
lengkap.
 Hasil rumusan tetap ini hendaknya dsatukan/ dikumpulkan dan dibagikan kepada
setiap peserta.

5. Latihan antar peserta


Hal-hal yang perlu diperhatikan :
a. Penentuan skema latihan dengan bagian-bagiannya
Latihan merupakan suatu proses dari kegiatan, maka bagian-bagian harus diperhatian
dan dilatih tersendiri.
b. Pelaksanaan latihan secara bergilir
Dalam pelaksaan latihan ini hendaknya diperhatikan agar semua peserta mendapat
giliran. Untuk itu hendaknya pembagian kelompok tidak terlalu besar.
c. Evaluasi kelompok
Pada akhir bagian tertentu supaya diadakan koreksi dengan semangat persaudaraan
dan bersifat terbuka dan jujur (secara obyektif)

6. Latihan dengan permainan peranan


Latihan peranan dimulai dengan :
a. Penentuan masalah: yaitu masalah yang sudah dipilih. Masalah yang dipilih itu
merupakan masalah yang pokok, atau masalah yang banyak berhubungan dengan masalah
yang lain, atau masalah yang menarik perhatian banyak orang.
b. Penyajian masalah: Penyajian masalah disajikan dalam bentuk bermain peran, dengan
cara :
Audio-visual dengan memakai slide yang berisi permainan peran yang sudah direkam
lebih dahulu atau dengan cara laian yang sesuai situaasi.
Contoh pendamping. Pendamping memberikan contoh konkret tentang permainan
peran.
Permainan peran didramatisasikan oleh peserta sendiri
c. Dalam latihan ini, pertama-tama peserta diminta untuk mengemukakan masalahnya.
Tahap kedua; masalah ini divisualisasikan dengan kata-kata dan gerak-gerik.

7. Kerja lapangan dalam situasi yang telah disiapkan


Setelah menyelesaikan proses latihan role playing ini, kelompok dihantar kepada situasi
lapangan.
a. Persiapan situasi hidup yang mencerminkan kebutuhan praktek nyata yang diatur
sedemikian rupa sehingga pembentukan teknik yang telah dipersiapkan dapat
dipraktekkan.
b. Persiapan lapangan ini dibuat oleh pendamping, dan sedapat mungkin ada
supervisi/kunjungan dari pendamping. Kalau tidak mungkin, maka peserta diminta
membuat laporan tertulis setelah menyelesaikan praktek lapangan.

8. Tutorial
Bimbingan ini diberikan kepada peserta:
a. Usaha perbaikan kalau ada kekurangan dalam latihan, baik segi teknis maupun dalam
teoritis.
b. Diberikan latihan ekstra, jika ada kekurangan
c. Diberikan secara formil sesudah mereka kembali dari latihan lapangan

9. Pembicaraan dan evaluasi kerja lapangan


Hal-hal yang harus dibuat setelah praktek :
a. Mengemukakan kesulitan dalam kerja lapangan yang berhubungan dengan
pelaksanaan teknis
b. Pendamping memberikan solusi pemecahan kesulitan
Peserta juga dapat memberikan pendapatnya

10. Kerja lapangan yang sesungguhnya


a. Persiapan akhir. Setelah menyelesaikan latihan, peserta diberi latihan konkret dan
menyeluruh supaya apa yang sudah diperoleh selama latihan dapat dikuasai secara
maksimal
b. Pelaksanaan. Setelah semua pesiapan sudah dibuat maka peserta diminta untuk
praktek di lapangan yang sesungguhnya. Sesudahnya peserta membuat laporan secara
tertulis dan sistimatis berdasarkan skema yang diberikan.
c. Mempertanggungjawabkan laporan praktek lapangan. Hal ini dapat dibuat baik secara
lisan dengan melakukan kunjungan dan juga secara tertulis.
LATIHAN SURVEY PASTORAL

A. STRUKTUR PAROKI

1. Nama : Paroki, Dekenat, Keuskupan


2. Letak dan luasnya (batas-batas administratif)
3. Pembagian paroki dalam wilayah/stasi dan jumlah umat
4. Pembagian wilayah/stasi dalam lingkungan/basis dan jumlah penduduknya
5. Jumlah umat secara keseluruhan

B. SEJARAH PERKEMBANGAN PAROKI

C. PERSONALIA
1. Full time :
Siapa saja (misl. Pastor, frater TOP, sekretaris, koster, pegawai, dll), jumlah, usia,
pendidikan terakhir.
2. Part time :
Siapa saja (misl. Anggota DPP, ketua-ketua wilayah/stasi, lingkungan/basis, dsb), jumlah,
usia, pendidikan terakhir.
2. Dewan Paroki, wilayah/stasi, lingkungan/basis berfungsi baik ?
Faktor mana saja yang menunjang dan faktor mana saja yang menghambat ?
3. Guru-guru, peranannya ……… menunjang ?
Bagaimana usaha peningkatannya ?
4. Bagaimana perbandingan tenaga Pastoral dengan jumlah umat ?
a. Apakah umat dapat dijangkau seluruhnya dari segi luasnya paroki dan pola huni?
b. Dari segi alat transportasi
c. Dari segi susunan penduduk
d. Dari segi struktur sosial

D. KETERLIBATAN UMAT DALAM FUNGSI GEREJA

1. Religiositas
a. Luasnya kepercayaan tradisional dan bagaimana penjelasan historisnya ?
b. Bagaimana usaha untuk mengatasi pola hidup ganda ?
c. Apakah pengaruhnya atas orientasi umat terhadap sakramen-sakramen ?
d. Nilai-nilai kepercayaan tradisional umat mana yang harus dimurnikan, diluhurkan
dan disempurnakan ?

2. Partisipasi Umat dalam Gereja


a. Apakah konsep umat tentang partisipasi awam dalam Gereja dan perutusannya ?
b. Manakah bentuk-bentuk partisipasi awam, luas dan dampaknya ?
c. Bagaimana perbandingan antara partisipasi pria dan wanita ?
d. Berdasarkan pengamatan Anda/pendapat umat, apakah arti agama bagi umat ?

3. Keterlibatan dalam fungsi-fungsi liturgi dan perutusan Gereja


a. Apakah umat aktif atau pasif ?
b. Seberapa jauh keterlibatan uma ? (komentator, pemimpin ibadat, lektor, dirigen,
pewarta, dsb )
c. Bagaimana dengan persiapan? Usaha pendampingan ?
d. Sebagai petugas pastoral ; fasilitator KKS, pembina, dsb ?
e. Bagaimana dengan persiapan mereka ?
f. Sarana dan fasilitas memadai ? (buku doa, nyanyian, busana liturgi, dll)
g. Apakah umat memahami liturgi dan simbol-simbolnya ?
h. Apakah ada usaha-usaha untuk itu ?

E. KEUANGAN PAROKI/PASTORAN
1. Kekayaan uang Paroki/Pastoran
 Pos untuk Mudika: ( apakah ada, dari mana, cukup/kurang, dll)
 Untuk Gereja/pastoran: ( cukup … ?)
 Untuk pastoran : (dari mana …., cukup, dll ? )
 Pos Sosial: (dari mana , untuk apa saja ? … dll)
 Pos misdinar: (dari mana, cukup … ?), dsb
2. Pendapatan Gereja/Pastoran
* Kolekte Mingu : (berapa kali misa, rata -rata per minggu? dll)
* Persembahan sukarela : (dari siapa saja, .. ?
* Lain-lain : (dalam bentuk apa saja ?

F. PELAYANAN SAKRAMEN/TALI
1. Sakramen Ekaristi
a. Mingguan : berapa kali , rata-rata umat yang hadir
b. Harian: bagaimana itu dijalankan per minggu, rata-rata umat yang hadir, dsb)
c. Basis/gabungan: bagaiaman itu dijalankan?
2. Sakramen Tobat
Bagaimana dijalankan, berapa kali, umat yang hadir, anak-anak….
Bagaimana dengan kehadiran umat, … dll
3. Sakramen babtis
Bagaimana hal itu dijalankan, berapa kali dalam setahun, jumlah per tahun dll.
4. Komuni Pertama
Bagaimana hal itu dijalankan, berapa kali dalam setahun, jumlah per tahun dll.
5. Sakramen Krisma
Bagaimana hal itu dijalankan, berapa kali dalam setahun, jumlah per tahun dll.
6. KPP/perkawian
Bagaimana hal itu dijalankan, berapa kali dalam setahun, jumlah per tahun dll.

G. PELAYANAN SOSIAL (Misl. Kursus-kursus, kunjungan, dsb)


- Jenis pelayanan apa saja
- Siapa yang memberikan
- Peserta, kelompok sasaran
- Berapa kali
- Tanggapan umat, bagaimana .. ?, dll.

H. PEMBINAAN UMAT (Misl. Kunjungan umat, konsultasi pribadi, pendalaman iman baik
kelompok kategorial maupun komunitas basis, dsb)
- Jenis pelayanan Pembinaan
- Siapa yang memberikan
- Peserta, berapa kali
- Tanggapan umat, bagaimana… ?, dll.

I. KADERISASI (Misl. Pertemuan Mudika, Pertemuan Dewan Inti/Pleno paroki, pertemuan


Katekis, dsb)
- Jenis kaderisasi dan bagaimana dilaksanakan
- Bidang kaderisasi
- Siapa yang memberikan
- Peserta
- Berapa kali
- Antusias peserta, bagaimana ?, dll

K. GOLONGAN YANG BERKEPENTINGAN DAN HARAPAN MEREKA


(Bagian ini dapat ditanyakan kepada tokoh umat/masyarakat atau siapa saja tentang usaha
apa saja yang dapat dilaksanakan untuk pemberdayaan kehidupan umat) :
Golongan yang berkepentingan itu, misalnya:
a. Pastor paroki (Tim Pastoral)
b. Dewan Paroki (dewan inti)
c. Ketua-ketua Bidang :
d. Bidang Liturgi
o Bidang Pewartaan
o Ketua Lingkungan
o Umat lingkungan
o Umat Muda/Mudika, dsb
Tanyakan bidang usaha pokok apa saja yang menurut mereka sangat penting dan segera
dilaksanakan.
0DAFTAR PUSTAKA

1. Janssen CM. (1993). Pengantar Pekerjaan Pastoral. IPI Malang: Malang.


2. Janssen CM. (1994). Pastoral Umat. IPI Malang: Malang.
3. B.S. Mardiatmadja. (1987). Beriman dengan Tanggap. Kanisius: Jogyakarta.
4. Konsili Vatikan II. Gaudium Et Spes. Dokpen KWI; Jakarta.
5. Mgr. Darius Nggawa, SVD. Pedoman Menyelami Paroki. Manuskrip

Anda mungkin juga menyukai