Anda di halaman 1dari 6

ALUK RAMBU SOLO’, UPACARA PEMAKAMAN MENUJU PUYA

        Kebudayaan merupakan bagian yang terintegrasi dengan kehidupan


masyarakat. Tidak ada kehidupan masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan
sebagai bagian dari ciri khas mereka. Dari hal itulah mereka dikenal sebagai suatu
kelompok masyarakat yang berbeda dengan kelompok, suku, ataupun bangsa yang
lain. Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Darmansyah bahwa
‘Masayarakat dan kebudayaan, ibarat dua sisi mata uang, satu sama lain tidak
dapat dipisahkan. 
        Klukhohn mendefiniskan kebudayaan, sebagaimana dikutip oleh David J.
Hesselgrave dalam bukunya, communicating Christ Cross-Culturally:
Mengkomunikasikan Kristus Secara Lintas Budaya: Satu Pendahuluan ke
komunikasi Misionari, bahwa “Kebudayaan adalah cara berpikir, merasa, dan
meyakini. Oleh karena itu, secara subjektif, setiap individu tentunya berbeda satu
dengan yang lain. Namun jika individu-individu yang berbeda itu terikat dalam
sebuah pola budaya yang sama, maka mereka cenderung menjadi sama. Bahkan
budaya itulah yang akan membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lain
yang berkumpul ditempat yang lain.
        Suku Toraja juga memiliki kebudayaan yang menjadikannya unik ditengah-
tengah kemajemukan suku-suku bangsa di Indnoesia. Salah satu budaya yang
sangat terkenal di Tana Toraja, bahkan dikenal sampai di mancanegara, adalah
‘Rambu Solo’ atau Upacara Pemakaman.

Upacara kedukaan atau biasa disebut Rambu Solo’, merupakan salah satu


ritual upacara dari Aluk Todolo. Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup
yang telah dimiliki sejak dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan.
Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem
kemasyarakatan, dan sistem kepercayaan. Dalam hal keyakinan, penduduk Suku
Toraja percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut
dengan istilah Puang Matua (Tuhan yang maha mulia).
Menurut Aluk Todolo, mati adalah suatu proses perubahan status semata-
mata dari manusia fisik di dunia kepada manusia roh di alam gaib. Rambu Solo’
ibarat “pintu gerbang” bagi jenazah untuk memasuki alam yang baru. Semakin
banyak hewan yang dikurbankan maka semakin tinggi derajat jenazah ketika
berada di Puya. Rambu Solo’ sekaligus cara bagi anak keturunan untuk tetap
memuliakan orang tua. Anak keturunan akan berlomba-lomba mengurbankan
hewan sebanyak-banyaknya sehingga jenazah memperoleh tempat yang mulia.
Rambu Solo’ bagi masyarakat Toraja merupakan salah satu bentuk bakti seorang
anak kepada orang tua dan pengikat tali silaturahim dalam keluarga besar.
Upacara Rambu Solo’ meiliputi tujuh tahapan, yaitu: Rapasan, Barata Kendek,
Todi Balang, Todi Rondon, Todi Sangoloi, Di Silli, dan Todi Tanaan.
 Dalam upacara  Rambu Solo’ tidak hanya melibatkan rumpun keluarga,
tetapi juga melibatkan masyarakat sekitar dan handai tolan. Khusus Rambu Solo,
masyarakat Toraja percaya tanpa upacara penguburan ini maka arwah orang yang
meninggal tersebut akan memberikan kemalangan kepada orang-orang yang
ditinggalkannya. Orang yang meninggal hanya dianggap seperti orang sakit,
karenanya masih harus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan
menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian lainnya.
Puncak upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus.
Saat itu orang Toraja yang merantau di seluruh Indonesia akan pulang kampung
untuk ikut serta dalam rangkaian acara ini. Kedatangan orang Toraja tersebut
diikuti pula dengan kunjungan wisatawan mancanegara. 
Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk Todolo) terdapat prinsip,
semakin tinggi tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk
sampai menuju nirwana/puya. Jika ditinjau dari segi ekonomi, upacara  Rambu
Solo’ sepintas dapat dikatakan sebagai usaha pemborosan biaya/dana yang cukup
banyak. 
Namun kalau dipahami dari landasan keyakinan Aluk Todolo, maka upacara
ini bagi keluarga bukanlah pemborosan, tetapi terutama diyakini sebagai bekal bagi
si mati untuk masuk ke puya. 
Kepercayaan Aluk Todolo bukan hanya sistem keyakinan, tetapi juga
merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk Todolo mengatur
kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Aluk
Todolo pernah menjadi tali pengikat masyarakat toraja yang begitu kuat, bahkan
menjadi landasan kesatuan sang Torayan yang sangat kokoh sehingga kemanapun
orang toraja pergi akan selalu ingat kampung halaman, dan rindu untuk kembali
kesana. Ikatan batin yang Sangtorayan yang begitu kokoh tentu saja antara lain
adalah buah-buah dari tempaan Aluk Todolo itu.

SEJARAH MISIONARIS BELANDA MASUK DI TORAJA


Agama Kristen mulai diperkenalkan di Toraja oleh seorang misionaris
Belanda yang bernama A.A.van de Lostrect pada tahu 1913. Kegiatan penginjilan
terus dilakukan sampai berdirinya Gereja Toraja tahun 1947, dengan bentuk yang
amat diwarnai oleh Gereja Gerevomeerd di Belanda. Pandangan teologia yang
dibawa oleh misionaris ini sangat negatif terhadap etika maupun ritual dari budaya
nenek moyang yang dicap kafir . Berbagai larangan yang didasarkan pada dogma
Gereformeerd kemudian disusun. Kalupun ada etika dalam budaya yang
sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran gereja, hal itu tetap dianggap tidak
cukup. Apa yang diajarkan Gereja adalah segala-galanya. Kalaupun ada upacara-
upacara yang diijinkan, hal itu senantiasa diupayakan bersih dari nilai-nilai
kekafiran budaya nenek moyang. 
Jika kita menghubungkan kenyataan ini dengan analisis Richard Niegbuhr
tentang sikap terhadap budaya, maka sikap yang anut adalah “Kristus melawan
Kebudayaan”
Sekarang ini hampir semua orang Toraja memeluk agama Kristen. Tetapi
tampaknya etos dan pandangan dunia yang diharapkan Gereja dapat membentuk
struktur sosial dan pranata sosial masyarakat Toraja berdasarkan nilai-nilai
Kekristenan, tetap mengalami perlawanan dari budaya Toraja yang telah mengakar
dalam diri masyarakat Toraja. 
Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman. Tetapi pada sisi lain,
etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap berpengaruh,
walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi
masyarakat Toraja sering menampilkan sikap yang dualisme dan juga sering
dikotomis. 
a. Pada satu sisi, agama diakui. Namun pada sisi lain, petunjuk nenek moyang
tetap menjadi pegangan. Ironisnya, masyarakat lebih takut melanggar pamali
(pantangan yang diajarkan budaya) ketimbang larangan Alkitab. Mereka
lebih taat kepada pemuka adat daripada pemuka agama. Alasannya,
pelanggaran terhadap pamali akan langsung berhadapan dengan nasib buruk.
Tetapi jika melanggar perintah Tuhan, belum tentu dihukum. 
b. Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang
cukup menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong
puang (penguasa, tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial
Belanda hal itu dilarang. Tetapi dalam  prakteknya, masyarakat adat Toraja
tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat yang diurut dari yang
tertinggi yaitu tana’ Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas); tana’
bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana’ karurung (Bukan
bangsawan, tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis
kayu yang keras) dan yang terendah adalah tana’ kua-kua (kua-kua, sejenis
kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan upacara-upacara adat, dikenal
pula golongan imam (to minaa atau to parenge’) dan orang awam (to buda).
Dengan berkembangnya agama Kristen, orang Toraja Kristen menerima bahwa
semua manusia sama di hadapan Tuhan. Di dalam Tuhan tidak ada penggolongan
seperti itu. Namun dalam penerapannnya di masyarakat, pengakuan terhadap kasta
seseorang tetap ada. 
KEKUATAN SUPRANATURAL
Dalam tradisi rambu solo’ ada kekuatan supranatural yang dipercayai
menguasai ritual pelaksanaannya. Kekuatan itu disebut Puang Matua dan
Tomembali Puang. 
 Puang Matua (Tuhan).
Merupakan unsur kekuatan tertinggi sebagai pencipta bumi, langit dan
segala isinya
 Tomembali Puang (pengawas).
Merupakan arwah para leluhur yang menjelma menjadi dewa.
Kekuatan ini dipercayai sebagai penentu lancar tidaknya kegiatan rambu solo’ ini.
Artinya kekuatan ini menjadi tempat untuk meminta restu oleh masyarakat Toraja.

RITUAL YANG ADA DALAM TRADISI


Dalam pelaksanaan ajaran Aluk Todolo dikenal dua jenis ritual Pemujaan dan
Penyembahan yaitu: 
1. Ritual upacara Rambu Tuka’ yakni ritual upacara Pengucapan Syukur. 
2. Ritual upacara Rambu Solo’ yakni ritual upacara Kematian dan Penguburan
Jenazah.
Namun dalam hal ini, kelompok lebih memfokuskan pada pelaksanaan ritual
upacara Rambu Solo’. Dalam kepercayaan Aluk Todolo, semakin tinggi (gua
tebing batu) tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai
menuju nirwana/Puya, dunia arwah/akhirat yang berada di sebelah selatan wilayah
Tana Toraja. “Dunia tempat peristirahatan”, tempat keabadian dimana arwah para
leluhur berkumpul. Di tempat ini, ruh yang meninggal akan bertransformasi
menjadi arwah gentayangan (Bombo), arwah setingkat dewa (To Mebali Puang),
atau arwah pelindung (Deata). Wujud transformasi ter sebut tergantung dari
kesempurnaan prosesi Rambu Solo’. Masyarakat Toraja akan menyembelih
kerbau-kerbau dan babi dalam jumlah yang banyak. Mereka percaya bahwa
kerbau-kerbau (tedong) tersebut dapat dipergunakan oleh arwah orang yang sudah
meninggal tadi sebagai kendaraannya menuju nirwana/Puya. Sedangkan babi yang
dikurbankan pada upacara pemakaman, harta benda dan perhiasan-perhiasan
lainnya merupakan bekal dan perlengkapan utama yang akan dipergunakan di alam
gaib. Sebelum mayat dikuburkan, terlebih dahulu dilakukan pemberkatan jenazah
dan diiringi oleh nyanyian puji-pujian.
Terdapat pantangan terhadap upacara adat Rambu Solo’ yakni, selama upacara
berlangsung, seluruh peserta upacara dilarang membuat gaduh pada saat mantra
dibacakan. Dan untuk pihak keluarga tidak boleh membatalkan sesaji yang telah
disepakati. 
ATURAN YANG ADA DALAM RAMBU SOLO’.
Rambu Solo’/Aluk Rampe Matampu’ merupakan rangkaian upacara yang
menyangkut kematian dan pemakaman manusia. Upacara dilaksanakan setelah
lewat tengah hari, sinar matahari mulai terbenam menunjukkan kedukaan atas
kematian/pemakaman manusia. Ritual/kurban persembahan dari upacara ini
dilakukan di sebelah barat tongkonan. Rambu Solo’/Aluk Rampe Matampu’
dianggap sebagai upacara untuk menyempurnakan kematian seseorang. 

Selain itu dalam pelaksanaan ritual ini, rambu solo’ tidak boleh digabungkan
dengan ritual rambu tuka’ (syukuran). Sebab masyarakat Toraja mempercayai
bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung
dengan ritual kehidupan.
NILAI-NILAI DALAM ADAT RAMBU SOLO’.
Upacara adat rambu Solo’ memiliki nilai-nilai tertentu dalam kehidupan orang
Toraja, antara lain: 
a. Menghormati leluhur. Leluhur memiliki pengaruh yang kuat dalam
kehidupan orang Toraja, dan oleh karena itu leluhur harus dihormati. Salah
satuya dengan menggelar upacara aluk rambu solo’.
b. Nilai kekerabatan. Nilai ini tercermin dari ungkapan simpati kerabat yang
datang dengan membawa beragam bantuan. Hal ini tentu saja kian
menguatkan kekerabatan mereka. 
c. Pelestarian tradisi. Upacara aluk rambu solo’ merupakan warisan leluhur,
dan dengan menggelar upacara ini merupakan upaya peletarian tradisi. 
d. Menjaga semangat suku. Pelaksanaan upaccara adat aluk rambu solo’ juga
merupakan salah satu upaya untuk menjaga semangat kesatuan sukukarena
upacara ini menjadi perekat masyarakat Toraja.
e. Sakralitas dan spiritualitas. Nilai ini tercermin dari pelaksanaan upacara
yang kental dengan nuansa sakral karena arwah leluhur diyakini hadir dalam
acara ini.
f. Ditinjau dari segi ekonomi upacara Rambu Solo’ sepintas dapat dikatakan
sebagai usaha pemborosan biaya/dana yang cukup banyak. Namun kalau
dipahami dari landasan keyakinan Aluk Todolo, maka upcara ini bagi
keluarga bukanlah pemborosan, tetapi terutama diyakini sebagai bekal bagi
si mati untuk masuk ke puya. Dengan pengorbanan yang diberikan
diharapkan bahwa leluhurnya akan datang memberi berkat yang lebih baik/
banyak lagi. Oleh karena itu seseorang tidak segan-segan untuk berkorban
bagi orang yang meninggal. Seluruh biaya dalam upacara ditanggung
bersama oleh seluruh kaum keluarga, handau tolan dan kenalan.

DAFTAR PUSTAKA

Panggarra Robi, “Upacara Rambu Solo’ Di Tana Toraja’ Memahami Bentuk


Kerukunan Di Tengah Situasi Konflik”,  2015.
http://alexnova-alex.blogspot.co.id/2011/06/masuknya-misionaris-belanda-ke-
toraja.html
http://kahananingbudaya.blogspot.co.id/2015/01/normal-0-false-false-false-en-
us-x-none.html 
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/2234/upacara-adat-rambu-solo-
toraja
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2718/aluk-rambu-solo-upacara-
pemakaman-adat-melayu-toraja-sulawesi-selatan
http://sarahsungkar.blogspot.co.id/2014/03/upacara-rambu-solo-dan-ritual-
manene-di.html 

Anda mungkin juga menyukai