BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
BAB 2
ISI
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya
masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan
kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah
mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
"Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama
kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.
Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang
luarseperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar
dataran rendah di Sulawesidaripada dengan sesama suku di dataran tinggi.
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa
adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonanmemiliki nama yang dijadikan sebagai nama
desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu
keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku
Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk
bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara
timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi
dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian,
mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama
anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang
telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan
saudara kandung.
Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah
leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual.
Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi
juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak,
siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau
tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging
yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial.
Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan (Madika), orang biasa (To Makaka), dan budak
(Kaunan), perbudakandihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda. Kelas
sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang
lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini
bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari
Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat
keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan,
sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut
banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka.
Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan
dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang
mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan,
ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan
atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam
kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang
pendetaaluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari
hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian,
dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu
hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan.
Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya
digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para
misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau
menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual
kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang
dilaksanakan.
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja
sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa
resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua
sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan
Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasaAustronesia.
Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam
bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek
Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan
sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian.
Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan
perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja
mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan
mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan
pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk
mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang
dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan
pertambanganMultinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya
generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi
keKalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di
Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984.
Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di
hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik
dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi)
telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dikenal sebagai
tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati
sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan
panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan
menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut
disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara
pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk
memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian
dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen
lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi
menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa
melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian
Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan
almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan
perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama
musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan
tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada
beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan
kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan
dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa
dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka
agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling
berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan,
ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan
berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle
yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara
pembukaan rumah.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam
batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu
berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan.
Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota
keluarga. Patung kayu yang disebut tau taubiasanya diletakkan di gua dan menghadap ke
luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut
biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Selain rumah, Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual
yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual
suku Toraja. Oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena
melambangkan hubungan mereka dengan leluhur mereka.
Tongkonan Layuk.
Tongkonan ini dibangun untuk orang berkuasa dan sebagai pusat pemerintahan.
Ciri-ciri tongkonan ini adalah ukiran seperti hewan dan tumbuhan di dinding
rumah. Selain itu ada pula hiasan kepala kerbau dan deretan tanduk kerbau. Kepala
dan tanduk kerbau adalah penanda kemakmuran serta hidup berkelimpahan.
Tongkonan Pekamberan.
Ini tongkonan bagi keluarga yang dipandang hebat dalam adat. Ciritongkonan ini
sama dengan tongkonan layuk.
Tongkonan Batu.
Jenis ketiga ini adalah rumah bagi keluarga biasa. Tongkonan ini disebut banua
oleh masyarakat setempat. Selain minim ukiran, banua juga tidak punya hiasan
sehingga lebih mirip pondok bambu.
1. Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa semacam pondok yang
diberi nama Lantang Tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan
dua tiang + dinding tebing.
2. Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit
karena letak-nya yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4
pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat
ini mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas.
3. Perkembangan ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan.
Bentuk ini memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan.
Mungkin ini disebabkan oleh sukarnya mencari 4 buah pohon yang berdekatan.
Bentuk ini disebut Reneba Longtongapa.
6. Lama sesudah itu terjadi perubahan yang banyak. Perubahan itu sudah meliputi
atap, fungsi ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali dipasang
vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu dan
bentuknya mulai berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari atap
masih datar. Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang
penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi.
Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya
dibagi dua. Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan
adat, tetapi lebih banyak karena persoalan kebutuhan akan ruang dan konstruksi.
Begitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk mutakhir,
seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa
perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah adat
Toraja.
2.7.3.2 STRUKTUR RUMAH TONGKONAN
1
. Denah
Tandok
Tandok terletak di bagian depan rumah
tongkonan. Tandok digunakan sebagai
tempat ruang tidur keluarga.
Sali
Sali terletak di bagian tengah rumah
Tongkonan. Sali digunakan sebagai
tempat untuk berkumpul dengan
keluarga juga digunakan sebagai dapur
dan tempat untuk membuat kerajinan
tangan.
Sumbu
Sumbu terletak di bagian belakang
rumah Tongkonan. Biasanya Sumbu
digunakan sebagai tempat barang atau
sebagai kamar untuk orang tidur
(mayat). Dalam tradisi orang toraja, jika Orang tidur (mayat) yang telah
disimpan dibagian sumbu biasanya sudah mau di upacarakan.
2. Pondasi
Pada umumnya sistem struktur yang dipakai untuk bangunan Tongkonan adalah
sistem konstruksi pasak (knock down). Yaitu teknik konstruksi yang
menggunakan sistem sambungan tanpa paku dan alat penyambung selain kayu.
Bahan pondasi sendiri terbuat dari batu gunung
3. Kolom/Tiang Ariri
Terbuat dari kayu uru,bentuk kolom persegi empat. Selain itu, digunakan juga
kayu nibung agar tikus tidak dapat naik ke atas, karena serat dari kayu ini sangat
keras dan sapat sehingga terlihat licin. Kolom disisi barat dan timur jaraknya
rapat dan berjumlah banyak, agar kuat menampung orang-orang yang datang
saat upacara kematian.
4. Balok
Seperti sloof, yaitu
sebagai pengikat antara
kolom-kolom sehingga
tidak terjadi pergeseran
tiang dengan pondasi.
Hubungan balok dengan
kolom disambung dengan
pasak yang terbuat dari
kayu uru.
5. Lantai
Terbuat dari bahan papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai.
Disusun pada arah memanjang sejajar balok utama. Sedangkan untuk alang
terbuat dari kayu banga.
6. Dinding
Dinding disusun satu sama lain dengan sambungan pada sisi-sisi papan dengan
pengikat utama yang dinamakan Sambo Rinding. Fungsinya sebagai rangka
dinding yang memikul beban. Pada dinding dalam , tidak terdapat ornamen-
ornamen, hanya dibuat pada bagian luar bangunan.
7. Tangga
Tangga Rumah Tongkonan terletak dibagian samping
rumah, menuju pada pintu masuk atau terletak di
bagian tengah rumah menuju langsung ruang tengah
atau Sali. Tangga menggunakan kayu uru, yaitu
sejenis kayu lokal yang berasal dari Sulawesi.
8. Pintu
Pintu rumah Tongkonan nampak dihiasi dengan
beberapa motif ukiran. Salah satu motif pada
gambar pintu rumah tersebut adalah motif Pa
Tedong. Ukiran yang melambangkan
kemakmuran. Sebagai pegangan, di pintu
ditempatkan ekor kerbau yang dipotong hingga
pangkal ekor dan telah dikeringkan. Memasuki
rumah adat ini mempunyai cara tertentu yaitu
pintu masuk harus diketuk dengan membenturkan
kepala perlahan lahan.
9. Jendela
Jendela pada rumah Tongkonan umumnya terdapat 8 buah. Masing-masing di
setiap arah mata angin terdapat 2 jendela. Fungsinya adalah sebagai tempat
masuknya aliran angin dan cahaya matahari dari berbagai arah mata angin.
10. Atap
Atapnya melengkung
menyerupai perahu
(merupakan pengaruh budaya
Cina) terdiri atas susunan
bambu (saat ini sebagian
tongkonan menggunakan atap
seng) dan diatasnya dilapisi
ijuk hitam. Terbuat dari bambu
pilihan yang disusun tumpang
tindih dengan dikait oleh
beberapa reng bambu dan diikat oleh rotan/tali bambu.
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
https://fadiahnurannisa.wordpress.com/2014/01/22/struktur-rumah-tradisional-nusantara-
toraja/Tongkonan
https://id.wikipedia.org/wiki/Tongkonan
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
http://muchammadekodarwanto.blogspot.com/2012/11/rumah-adat-toraja-tongkonan.
http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?p=251