Anda di halaman 1dari 10

Rumah tradisional sulawesi tengah

- Rumah tambi

- Souraja (banua mbaso/banua oge)

- Rumah lobo
Tentang Rumah Adat Suku Kaili
(BARUGA)
BARUGA
Makna, Simbol, Daya dan Fungsi
Oleh: Moh. Nutfa, S.Sos

Sulawesi Tengah, adalah salah satu propinsi di Indonesia yang didiami berbagai macam suku

bangsa, antara lain suku Kaili, suku Kulawi, suku Lore, suku Pamona, suku Mori, suku tomini, suku

Bungku, suku Saluan, suku Banggai, suku Balantak, suku Buol, suku Toli-toli dan masih banyak lagi.

Disetiap etnis itu, masih ada lagi sub-etnis yang lain. Etnik Kaili, memiliki beberapa sub-etnisnya

seperti Kaili Ledo, Kaili Tara, Kaili Rai, Kaili Doi, Kaili Unde, Kaili Da'a, Kaili Ado, dan banyak masih

lagi sub-sub etnik yang lainnya.

Etnik/suku yang paling dikenal didaerah Sulawesi Tengah adalah etnik Kaili atau biasa

disebut to- Kaili.  Suku Kaili merupakan penduduk asli di Provinsi Sulawesi Tengah sebagai penduduk

asli. Sebagian besar dari suku Kaili telah berabad-abad menetap dan bermukim di daerah pedesaan

sedangkan sebagian dari mereka ada yang tinggal dan menetap di ibu kota propinsi. Bahasa yang

paling dikenal dari suku Kaili adalah bahasa ledo yang hingga kini masih digunakan oleh suku Kaili

dalam kesehariannya. Hal unik dari etnik Kaili, ialah bahwa etnik Kaili dikenal akan

keragaman  bahasanya. Keragaman bahasa itu disebabkan oleh banyaknya sub-sub etnik dari suku

Kaili itu sendiri.

Namun etnik Kaili tidak hanya memiliki keragaman bahasanya saja. Suku Kaili memiliki satu

hasil kebudayaan yang sangat fungsional bagi system sosial masyarakat Kaili itu sendiri yakni rumah

adat yang disebut Baruga. Baruga mungkin belum diketahui oleh beberapa kalangan masyarakat

Kaili, khususnya masyarakat Kaili yang hidup di era sekarang. Hanya saja Baruga tidak lagi

dilestarikan dengan baik oleh kalangan masyarakat Kaili. Hal ini juga disebabkan selain karena

perubahan atau pergeseran system pemerintahan yang mulanya dari system pemerintahan kerajaan

menuju system pemerintahan keadatan (adat) lalu kemudian system pemerintahan birokratif seperti

sekarang ini. Penyebab lain adalah karena kuatnya pengaruh globalisasi dan modernisasi terhadap

tatanan sosial sehingga mengubah cara pandang masyarakat dari tradisional ke modern sehingga

nilai-nilai budaya tradisional tergantikan oleh nilai-nilai budaya modern.

Baruga

Selain karena kaya dengan keragaman bahasanya, masyarakat suku Kaili juga memiliki rumah

adat yang di sebut Baruga. Baruga adalah rumah adat masyarakat Kaili yang bentuknya sejenis

rumah panggung. Baruga berbentuk persegi panjang yang terdiri dari empat sudut ruang.
Ruangannya terbuka tanpa kamar, punya satu pintu dan tangga di bagian depan. Dinding setinggi

lutut, lantainya rata karena terbuat dari papan yang tebal. Konstruksi bangunan sama saja dengan

rumah-rumah kampung yang ada sekarang tanpa dapur. Ditinjau dari segi bangunan, Baruga

sangatlah mencerminkan keadaan yang tradisional, selain kerena terbuat dari bahan kayu, Baruga

adalah tempat dilaksanakannya upacara adat oleh masyarakat Kaili dan digunakan untuk pertemuan

oleh para tokoh-tokoh adat.

Definisi sederhana Baruga adalah rumah adat tradisional berbentuk panggung persegi
panjang empat sudut dengan ruangan terbuka tanpa dapur dan kamar yang sebagai tempat
mengadakan musyawarah menyangkut keadatan dan digunakan sebagai tempat dalam
pelaksanaan upacara adat Vunja dan Pompahoya oleh masyarakat suku Kaili. Vunja artinya
Syukuran. Adalah upacara adat yang dilakukan oleh petani sawah saat penen tiba. Upacara
ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena diberikan hasil panen
yang berlimpah dan memuaskan. Sedangkan Pomphoya adalah upacara adat yang
dilakukan sejak awal masa penanaman benih padi di sawah. Dalam upacara ini, para tokoh-
tokoh adat meminta kesuburan tanaman mereka kepada Tuhan. Jadi pompahoya artinya
(meminta/memohon).

Baruga sangat pantas dijadikan sebagai identitas kultur masyarakat Kaili. Sebagai masyarakat

yang masih menyimpan indentitas kultural tersebut, maka masyarakat Kaili patut berbangga memiliki

Baruga sebagai warisan masa lalu leluhurnya. Baruga bila hanya dipandang sebagai sesuatu yang

berbentuk fisik semata, tentu hanya bisa dipahami dan diartikan sebatas fungsi saja. Baruga dalam

perspektif simbolisme dianggap memiliki makna yang tidak dapat ditangkap dengan indera, namun

hanya bisa diinterpretasikan melalui kesadaran subjektif dan menjadi refleksi tindakan sosial. Tidak

hanya sampai pada itu saja, Baruga bisa saja memiliki relasi dengan daya kohesi masyarakat

Kaili. Relasi demikian dapat dilihat pada ritual atau upacara adat Vunja dan Pompahoya oleh

masyarakat setempat. Selain itu Baruga juga digunakan sebagai tempat pertemuan dalam

musyawarah oleh para tokoh-tokoh adat desa atau para raja-raja di zaman dahulu.  

Makna

Baruga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kaili dapat dikatakan sebagai sesuatu yang

sentral karena Baruga ada pada struktur simbolik teratas dalam tubuh kelembagaan adat masyarakat

Kaili yang kompleks. Hal demikian adalah kenyataan sosial karena sebagai rumah adat, Baruga

memiliki makna signifikan dalam hubungan sosial masyarakat Kaili.

          Baruga secara simbolik memiliki makna persatuan dengan tujuan untuk menyatukan atau

mengikat masyarakat Kaili khususnya kedalam satu ranah adat. Makna Baruga sebagai wadah dan
simbol persatuan tersebut termanifestasi melalui fungsi dan nilai-nilai sosial budaya Baruga sebagai

wadah dalam pelaksanaan upacara adat, sebagai tempat musyawarah lembaga adat dalam

penyelesaian persoalan-persoalan keadatan dan bahkan menjadi tempat dalam membahas tentang

pembangunan desa.

   Baruga sebagai rumah adat masyarakat Kaili memiliki keterkaitan dengan unsur-unsur lain

seperti lembaga adat, perayaan adat, musyawarah adat, pemberian sanksi, dan lain sebagainya yang

membentuk serangkaian sistem makna. Baruga memiliki makna keadatan karena tidak lepas dari

unsur-unsur adat-istiadat masyarakat Kaili. Artinya bahwa tidak dapat dikatakan Baruga jika tidak ada

unsur-unsur lain yang membentuk serangkaian sistem makna sebagaimana telah dijelaskan diatas.

Baruga dimaknai sebagai wadah pemersatu karena dianggap sudah menjadi milik bersama

masyarakat Kaili.
Symbol

Meminjam pemikiran Max Weber sebagaimana yang disitir dalam Upe (2010: 204-205) tentang

tindakan sosial, terdapat dua alasan atau penyebab utama bahwa mengapa sampai saat ini Baruga

masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Kaili di beberapa tempat, yakni:

1.   Value rational. Yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai
penting seperti etika, estetika, agama, dan nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah
laku manusia dalam kehidupannya. Ritual keadatan pada rumah adat Baruga bagi
masyarakat Kaili merupakan sebuah tindakan sosial yang memiliki nilai esensial bagi
mereka berupa pelaksanaan upacara adat Vunjadan Pompahoya. Ini merupakan tindakan
yang diyakini kebenarannya (absolut) oleh masyarakat Kaili.
2.   Traditional action. Yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang telah
mendarah daging. Tindakan demikian ini lazimnya dilakukan atas dasar tradisi atau adat
istiadat secara turun-temurun. Upacara adat Vunja danPompahoya adalah tradisi turun-
temurun masyarakat Kaili, merupakan sebuah tindakan tradisional. Keinginan serta
ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan dikomunikasikan melalui ritual sakral tersebut
juga sebagai simbol bahwa mereka masih mempercayai keberadaan dan kekuatan
supranatural dan menghormati roh-roh para leluhurnya. 

Karena itu Baruga sangat pantas menjadi simbol pengingat bahwa betapa pentingnya rasa

persatuan antar umat manusia, lebih spesifik merujuk pada kesatuan dan kerjasama masyarakat Kaili

yang kian hari suasana sosialnya selalu diwarnai dengan konflik sosial mengakibatkan degradasi

daya kohesi sosial. Baruga sebagai bagian dari sistem simbol masyarakat Kaili diharapkan dapat pula

menjadi alat atau sarana dalam penataan hubungan sosial pada masyarakat pedesaan di lembah

Palu saat ini, dimana hubungan sosialnya mulai merenggang akibat dari konflik sosial yang marak
terjadi. Gagasan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Kaili secara menyeluruh

agar selalu menjalin kohesi serta senantiasa menjaga dan membudidayakan Baruga sebagai warisan

budaya nenek moyang masyarakat Kaili.

Daya

Daya yang dimaksud adalah daya yang tersimpan dibalik wujud fisik dari Baruga yang
mampu menjadi suatu kekuatan persatuan (integrasi) masyarakat Kaili. Secara sosiologis
bahwa kekuatan untuk menyatu dalam suatu kelompok sosial disebut kohesi sosial. Daya
kohesi sosial masyarakat Kaili tentu berkaitan erat dengan makna Baruga sebagai wadah
pemersatu, sehingga dalam hubungan sosial masyarakat Kaili, secara fisik Baruga tidak
hanya dipandang sebagai bangunan rumah tapi dipandang secara filosofi sebagai simbol
kohesi masyarakat Kaili.

Pembahasan mengenai Baruga ternyata tidak pernah lepas dari kehidupan nenek moyang

masyarakat Kaili dimasa lampau, masa kerajaan atau masa dimana sistem pemerintahan suatu desa

berada dibawah naungan adat sehingga pada saat itu manusia diatur oleh adat. Seiring berjalannya

waktu, disaat sekarang sistem pemerintahan atau kekuasaan disuatu wilayah seperti desa berubah

menjadi sistem pemerintahan dibawah naungan politik karenanya masyarakat mudah terkotak-kotak

dan agak sulit untuk disatukan. Yang terjadi bukannya tindakan kooperatif melainkan persaingan

sosial yang tidak sehat mengakibatkan menurunnya daya kohesi sosial pada masyarakat Kaili.

Baruga merupakan satu daya kohesi masiv baik bagi kehidupan masyarakat Kaili, tidak hanya

untuk masyarakat Kaili pada satu tempat atau desa saja, melainkan pada masyarakat Kaili di desa-

desa lainnya, karena tanpa adanya Baruga maka secara tidak langsung berarti telah menghilangkan

makna persatuan yang terpantul lewat Baruga. Maksudnya bahwa suatu daya kohesi tidak akan

terbentuk tanpa adanya suatu daya dorong dan daya tarik daripada unsur-unsur yang saling

berkaitan.

          Menurut A. Mattulada (1996:15-16), umumnya masyarakat suku Kaili merasa atau berpendapat

bahwa menurut kesadaran sosiokulturalnya, ia terhisab atau tergolong kedalam kelompok atau etnik

yang disebut To-Kaili dengan ciri-ciri pengelompokan:

1.   Adanya alat komunikasi antara sesama orang Kaili, yaitu bahasa/dialek yang memelihara
keakraban dan kebersamaan diantara mereka.
2.   Adanya pola-pola sosio-kultural yang menumbuhkan perilaku yang di nilai sebagai bahagian
dari kehidupan adat istiadat, (termasuk cita-cita dan ideologi) yang dihormati bersama
diantara mereka.
3.   Adanya perasaan keterikatan antara satu sama lainnya, sebagai satu yang menjadi perekat
kedalam kebersamaan di antara mereka.
4.   Adanya kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli terhadap orang dari
kelompok lain, dalam berbagai kejadian sosio-kultural, berupa sikap sekaum dalam
menghadapi orang luar.
5.   Adanya perasaan keterikatan ke dalam kelompok, karena hubungan kekerabatan
genealogis, dan atau adanya ikatan kesadaran territorial di antara mereka.
Namun tesis A. Mattulada tersebut runtuh dengan sendirinya jika dibandingkan dengan

keadaan sosial budaya dari masyarakat Kaili di saat sekarang. Bahasa Kaili misalnya, tidak lagi

menjadi pengikat sosial yang kuat, pola-pola sosio-kultural tidak lagi jelas terlihat karena ideology

untuk menyatu telah runtuh mengakibatkan konflik saudara dikalangan masyarakat Kaili. Dan

perasaan keterikatan antar masyarakat Kaili sudah tidak konsisten lagi sehingga masyarakat Kaili

tidak lagi menggolongkan dirinya kedalam satu etnik yang sama. Akibatnya adalah konflik atau

perang saudara seperti yang terjadi baru-baru ini dibeberapa tempat di lembah Palu.

Jika ditinjau lebih jauh, kohesi sosial masyarakat Kaili tidak lepas dari eksistensi Baruga

sebagai suatu daya yang mendorong lahirnya kesadaran dan tindakan warga masyarakat yang

bersandar pada budaya dan adat istiadat. Baruga seharusnya dianggap sebagai benda yang

bermakna persatuan, menjadi hal yang melekat pada pikiran anggota masyarakatnya,sehingga

sangat pantas menjadi suatu dambaan, menjadi pujaan, dan bahkan menjadi daya integrasi sosial

yang kuat bagi masyarakat Kaili.

          Baruga yang merupakan bagian (unsur) dari lembaga sosial tentunya sangat berperan penting

dalam kehidupan masyarakat Kaili untuk menjadi wujud kesatuan dan kesadaran kolektif manusia

yang saling membuka ruang interaksi antar satu dengan lainnya dan dari itu mereka akan memiliki

suatu ikantan yang khusus (solidaritas mekanis). Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis

mengatakan bahwa:
“Kesadaran kolektif tidak akan mungkin ada bila tanpa konsensus. Terdiri dari totalitas keyakinan dan
sentimen yang rata-rata ditemukan pada setiap warga suatu masyarakat, kesadaran kolektif adalah
sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama” (Saifuddin, 2006: 42).

          Sebagaimana dalam perspektif teori interaksi simbolik, budaya merupakan simbol yang berada

dalam kesatuannya. Baruga merupakan identitas bagi masyarakat adat suku Kaili terhadap kesatuan

kolektif untuk mempertahankan integrasi dan kohesi karenanya kearifan lokal tersebut harus

dipertahankan, dilestarikan serta dibudidayakan kepada masyarakat dan generasi muda mengingat

saat sekarang ini budaya lokal sudah banyak dipengaruhi oleh budaya barat (westernisasi) yang tidak

sesuai dengan standar budaya lokal.

Fungsi
Jika ditinjau dari segi fungsi bahwa Baruga sebagai tempat penyelenggaran rutinitas kultural,

sedangkan jika diinterpretasikan secara sosiologi bahwa dibalik wujud dan fungsi rumah adat Baruga

didalamnnya terkandung pesan akan pentingnya musyawarah dalam setiap penyelesaian masalah

sosial maupun persoalan adat.

Baruga sebagai rumah adat yang fungsional terhadap masyarakat Kaili, Baruga juga memiliki

kandungan makna bahwa jika didalam masyarakat terdapat masalah-masalah sosial maka tempat

penyelesaiannya secara spesifik dilakukan di rumah adat Baruga. Bentuk penyelesaian masalah

tentu tidak diambil dalam keputusan satu orang saja tetapi diambil dari keputusan bersama dengan

jalan musyawarah melalui lembaga adat. Begitu tingginya rasa persaudaraan masyarakat Kaili

sehingga bentuk penyelesaian masalah meski ditempuh dengan musyawarah bersama melalui

lembaga adat desa.

Namun hal itu hanyalah sekadar gambaran masa lalu saja. Dibandingkan dengan masa

sekarang bahwa masyarakat Kaili sendiri justru terjebak oleh keadaan ketidakharmonisan sosial.

Kelompok-kelompok sosial masyarakat Kaili telah melupakan identitas kulturalnya dan membangun

identitas sendiri yang pada akhirnya diwarnai konflik sosial di beberapa tempat terutama di Sigi.

Padahal kabupaten Sigi adalah daerah adat, yang kaya akan nilai-nilai keadatan serta budaya-

budaya lokal yang pada akhirnya justru terdapat kelompok-kelompok sosial yang tidak mampu

menyerap dan memaknai nilai-nilai keadatan serta budayanya.

Baruga menjadi wadah interaksi sosial melalu adat Povunja dan Pompahoya sebagai rutinitas

kultural masyarakat Kaili sejak dahulu kala. Povunja dan Pompahoya dapat dikategorikan sebagai

elemen budaya yang menjadi daya dukung bagi kelangsungan interaksi sosial dari Baruga sebaga

wadah interaksi baik antar individu maupun antar kelompok masyarakat Kaili. Oleh karena itu Baruga

sangat memiliki fungsi sosial budaya.

Baruga memiliki arti penting dalam kehidupan sosial masyarakat Kaili yang kaya
dengan sub etnik dan bahasanya. Urgensi keberadaan Baruga dapat dilihat dari perayaan
adat pompahoya (meminta) dan novunja (syukuran) yang biasanya digelar tiap tahun oleh
masyarakat setempat. Keberadaan dan fungsionalisasi Baruga memang sangat diperlukan
dalam kelangsungan sistem sosial budaya masyarakat Kaili.
Sebagai contoh pada masyarakat Kaili di Desa Pakuli Kecamatan Gumbasa bahwa
kegunaan Baruga pada dapat di lihat pada beberapa fungsi sebagai berikut:
a.   Fungsi Perayaan Adat
Fungsi dari Baruga sendiri tidak lepas dari peranan lembaga adat Kaili yang
menjalankan tupoksi sebagai pengelola keadatan pada masyarakat itu sendiri. Sebagai
masyarakat Kaili, dalam pengelolaan tersebut tidak terlepas dari aspek keyakinan akan
kekuasaan Sang Maha Pencipta dan ruh-ruh leluhur yang masih dipegang oleh tokoh-tokoh
adat dalam menjalankan tugas dan fungsi pokok dari lembaga adat tersebut. Mereka
berkeyakinan bahwa keadaan atau situasi masyarakat tergantung pada ketentuan atau
kehendak Tuhan dan menyangkut adat-istiadat yang dilaksanakan juga menjadi bagian dari
campur tangan ruh-ruh leluhur mereka.
Adat yang biasa dilakukan adalah

adat Pompahoya dan Povunja. Pompahoya atau nompahoya merupakan adat tahap pertama dimana

seluruh masyarakat yang diwakili oleh ketua atau tokoh adat yang dalam bahasa setempat

disebut totua ngata meminta kesuburan padi kepada Tuhan karena padi telah berisi setelah

sebelumnya melewati proses penanaman awal yang dipimpin oleh ketua adat. Penanaman dimaksud

adalah penghamburan padi pertama oleh ketua adat yang dalam bahasa lokal

disebut ulusaku.  Setelah serangkaian proses tersebut dijalankan barulah adat Pompahoya diadakan.

Setelah selasai dilaksanakannya adat Pompahoya maka pemangku-pemangku adat akan

memasang bambu-bambu kain bendera disawah sebagai simbol larangan pada warga untuk tidak

masuk ke tanah sawah.Tiga hari tidak boleh masuk disawah. Pompahoya  menyampaikan aturan

bahwa kalau padi sudah hijau tidak boleh lagi ada warga yang masuk dihutan, misalnya mengambil

rotan. Kemudian sewaktu Pompahoya  dilakukan  dihulu air maka diadakan ritual pemotongan

kambing. Jadi darah kambing tersebut mengalir dipintu air, dianggap untuk membasahi sawah dan

dalam masa sejak awal mora (pemotongan hewan), masyarakat tidak boleh melakukan hal-hal yang

negatif seperti berzinah, mencuri, dan lain sebagainya yang dapat merusak ketentraman masyarakat.

Sedangkan bagi warga yang melanggar aturan pasti akan dikenakan sanksi adat yang disebut  givu.

Dan pada saat musim padi (panen) telah tiba, masyarakat Desa Pakuli sangat dilarang untuk bongkar

(rehabilitas) rumah karena dianggap bertentangan dengan adat-istiadat tersebut sehingga hal-hal

demikian mesti dihindari.

Jika perayaan adat Pompahoya dimaksudkan sebagai permohonan kesuburan pada Tuhan,

maka perayaan adat tahap kedua disebut Povunja adalah adat syukuran panen bagi petani sawah.

Perayaan adat ini merupakan simbol kesyukuran atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan berupa hasil

panen yang melimpah ruah. Ungkapan rasa syukur adalah suatu damba nurara (rasa senang)

masyarakat Desa Pakuli karena doa diwaktu pelaksanaan nompahoya  telah dikabulkan oleh Sang

Pencipta, juga sebagai pesta (hiburan) bagi para petani setelah melakukan kerja keras. Karena itu

luapan kegembiraan dituangkan kedalam adat novunja  secara bersama dimana para tokoh-tokoh

atau pemangku adat menjadi penggerak pada kegiatan ini. Pada kegiatan ini peran lembaga adat

lebih dominan dibanding lembaga pemerintah sedangkan masyarakat merupakan suatu daya dukung

masiv bagi kelangsungan dalam upacara perayaan adat ini.


b.   Fungsi Musyawarah
Dibangunnya Baruga adalah sebuah tindakan sosial yang bertujuan untuk menjujung
tinggi nilai kekeluargaan dan kekerabatan masyarakat Desa Pakuli yang mayoritas sub
etnik Kaili Ado, dengan jalan musyawarah bersama di Baruga.
Secara sosiologis bahwa Baruga adalah media penyatuan pendapat melalui
serangkaian pertemuan dan sebagai media dalam penyelesaian masalah-masalah
keadatan. Makna pernyataan informan diatas bahwa Baruga sebagai tempat penyelesaian
masalah tidak boleh dipandang sebatas itu saja. Peristiwa apa saja yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat Desa Pakuli yang kemudian menjadi satu masalah baik secara
pribadi individu maupun secara kelompok (bersama), jika dimaksudkan ditangani dan
diselesaikan melalui keadatan maka peran lembaga adat tidak hanya sebatas lingkup
rutinitas budaya semata, melainkan dapat menyelesaikan masalah yang lebih dari rutinitas
tersebut. Dalam situasi demikian lembaga adat dapat mengambil peran pemerintah desa
untuk menangani situasi semacam itu.

Fungsi Baruga sebagai tempat musyawarah dimaknai sebagai bentuk penyatuan


pendapat dari orang-orang yang mempunyai beragam ide. Singkatnya bahwa antara fungsi
dan makna adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jadi hakekat Baruga adalah wadah
dan daya kohesi sosial masyarakat Kaili, karena semakin sering fungsi pokok Baruga
dijalankan, maka situasi sosial akan selalu terkendali dan menyebabkan semakin menguat
pula daya kohesi masyarakat Kaili.

          Baruga merupakan suatu amanat dari leluhur masyarakat Kaili bahwa masalah dalam

kehidupan masyarakatnya mutlak diselesaikan di Baruga sebagai satu-satunya tempat pengadilan

bagi siapa saja yang melanggar aturan adat. Baruga adalah tempat yang paling tepat untuk

membicarakan persoalan masyarakat dan keadatan karena Baruga bukan milik sekelompok orang

saja, melainkan milik bersama sehingga keputusan yang diambil oleh lembaga adat di Baruga adalah

keputusan yang dianggap benar dan mutlak.

Baruga sebagai alat pemersatu masyarakat Kaili memberikan konstribusi yang besar
terhadap kohesifitas sosial masyarakat Kaili yang semakin kompleks. Apa yang terjadi jika
nilai sosial yang demikian tidak lagi melekat pada masyarakat Kaili yang terpantul melalui
Baruga, dimana kenyataan saat ini masyarakat Kaili sudah terkotak-kotak oleh suasana
konflik sosial secara kontinue. Mengingat hal demikian berarti salah satu jalan yang hendak
dilakukan oleh pihak Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dan lembaga keadatan di lembah
Palu khususnya pemerintah-pemerintah desa agar menghidupkan kembali nilai-nilai sosial
kepada masyarakat melalui pembangunan rumah-rumah adat Baruga disetiap desa atau
kecamatan. Dengan cara demikian masyarakat dapat menyadari bahwa persatuan itu
penting dangan saling mempererat rasa peduli dan rasa solidaritas yang kuat.

Bantaya

Masyarakat Adat Vayanga juga menyatu dalam berbagai aktivitas dengan warga Salena yang
merupakan Masyarakat Adat Nggolo. Selain jarak tempuh tidak jauh, karena hanya di batasi
dengan sungai Nggolo dan secara asal-usul masih mempunyai hubungan keluarga Topoda’a
sub etnis kaili yang kental dengan budaya sehingga dalam kesehariannya masih terdapat
penyelesaian masalah dan musyawarah adat (Libu) di rumah adat (Bantaya).
Pada umumnya Topoda’a menjadikan Bantaya sebagai tempat penyelesaian masalah dan
sumber informasi terbaru, karena Bantaya juga menjadi tempat pelaksanaan kegiatan dan
kunjungan pemerintah. Kondisi Masyarakat Vayanga saat ini, membutuhkan perhatian
pemerintah di bidang pendidikan, infrastruktur, ekonomi dan sebagainya.
Masyarakat Adat Vayanga juga menyatu dalam berbagai aktivitas dengan warga Salena yang
merupakan Masyarakat Adat Nggolo. Selain jarak tempuh tidak jauh, karena hanya di batasi
dengan sungai Nggolo dan secara asal-usul masih mempunyai hubungan keluarga Topoda’a
sub etnis kaili yang kental dengan budaya sehingga dalam kesehariannya masih terdapat
penyelesaian masalah dan musyawarah adat (Libu) di rumah adat (Bantaya).
Pada umumnya Topoda’a menjadikan Bantaya sebagai tempat penyelesaian masalah dan
sumber informasi terbaru, karena Bantaya juga menjadi tempat pelaksanaan kegiatan dan
kunjungan pemerintah. Kondisi Masyarakat Vayanga saat ini, membutuhkan perhatian
pemerintah di bidang pendidikan, infrastruktur, ekonomi dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai