- Rumah tambi
- Rumah lobo
Tentang Rumah Adat Suku Kaili
(BARUGA)
BARUGA
Makna, Simbol, Daya dan Fungsi
Oleh: Moh. Nutfa, S.Sos
Sulawesi Tengah, adalah salah satu propinsi di Indonesia yang didiami berbagai macam suku
bangsa, antara lain suku Kaili, suku Kulawi, suku Lore, suku Pamona, suku Mori, suku tomini, suku
Bungku, suku Saluan, suku Banggai, suku Balantak, suku Buol, suku Toli-toli dan masih banyak lagi.
Disetiap etnis itu, masih ada lagi sub-etnis yang lain. Etnik Kaili, memiliki beberapa sub-etnisnya
seperti Kaili Ledo, Kaili Tara, Kaili Rai, Kaili Doi, Kaili Unde, Kaili Da'a, Kaili Ado, dan banyak masih
disebut to- Kaili. Suku Kaili merupakan penduduk asli di Provinsi Sulawesi Tengah sebagai penduduk
asli. Sebagian besar dari suku Kaili telah berabad-abad menetap dan bermukim di daerah pedesaan
sedangkan sebagian dari mereka ada yang tinggal dan menetap di ibu kota propinsi. Bahasa yang
paling dikenal dari suku Kaili adalah bahasa ledo yang hingga kini masih digunakan oleh suku Kaili
dalam kesehariannya. Hal unik dari etnik Kaili, ialah bahwa etnik Kaili dikenal akan
keragaman bahasanya. Keragaman bahasa itu disebabkan oleh banyaknya sub-sub etnik dari suku
Namun etnik Kaili tidak hanya memiliki keragaman bahasanya saja. Suku Kaili memiliki satu
hasil kebudayaan yang sangat fungsional bagi system sosial masyarakat Kaili itu sendiri yakni rumah
adat yang disebut Baruga. Baruga mungkin belum diketahui oleh beberapa kalangan masyarakat
Kaili, khususnya masyarakat Kaili yang hidup di era sekarang. Hanya saja Baruga tidak lagi
dilestarikan dengan baik oleh kalangan masyarakat Kaili. Hal ini juga disebabkan selain karena
perubahan atau pergeseran system pemerintahan yang mulanya dari system pemerintahan kerajaan
menuju system pemerintahan keadatan (adat) lalu kemudian system pemerintahan birokratif seperti
sekarang ini. Penyebab lain adalah karena kuatnya pengaruh globalisasi dan modernisasi terhadap
tatanan sosial sehingga mengubah cara pandang masyarakat dari tradisional ke modern sehingga
Baruga
Selain karena kaya dengan keragaman bahasanya, masyarakat suku Kaili juga memiliki rumah
adat yang di sebut Baruga. Baruga adalah rumah adat masyarakat Kaili yang bentuknya sejenis
rumah panggung. Baruga berbentuk persegi panjang yang terdiri dari empat sudut ruang.
Ruangannya terbuka tanpa kamar, punya satu pintu dan tangga di bagian depan. Dinding setinggi
lutut, lantainya rata karena terbuat dari papan yang tebal. Konstruksi bangunan sama saja dengan
rumah-rumah kampung yang ada sekarang tanpa dapur. Ditinjau dari segi bangunan, Baruga
sangatlah mencerminkan keadaan yang tradisional, selain kerena terbuat dari bahan kayu, Baruga
adalah tempat dilaksanakannya upacara adat oleh masyarakat Kaili dan digunakan untuk pertemuan
Definisi sederhana Baruga adalah rumah adat tradisional berbentuk panggung persegi
panjang empat sudut dengan ruangan terbuka tanpa dapur dan kamar yang sebagai tempat
mengadakan musyawarah menyangkut keadatan dan digunakan sebagai tempat dalam
pelaksanaan upacara adat Vunja dan Pompahoya oleh masyarakat suku Kaili. Vunja artinya
Syukuran. Adalah upacara adat yang dilakukan oleh petani sawah saat penen tiba. Upacara
ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena diberikan hasil panen
yang berlimpah dan memuaskan. Sedangkan Pomphoya adalah upacara adat yang
dilakukan sejak awal masa penanaman benih padi di sawah. Dalam upacara ini, para tokoh-
tokoh adat meminta kesuburan tanaman mereka kepada Tuhan. Jadi pompahoya artinya
(meminta/memohon).
Baruga sebagai warisan masa lalu leluhurnya. Baruga bila hanya dipandang sebagai sesuatu yang
berbentuk fisik semata, tentu hanya bisa dipahami dan diartikan sebatas fungsi saja. Baruga dalam
perspektif simbolisme dianggap memiliki makna yang tidak dapat ditangkap dengan indera, namun
hanya bisa diinterpretasikan melalui kesadaran subjektif dan menjadi refleksi tindakan sosial. Tidak
hanya sampai pada itu saja, Baruga bisa saja memiliki relasi dengan daya kohesi masyarakat
masyarakat setempat. Selain itu Baruga juga digunakan sebagai tempat pertemuan dalam
Makna
Baruga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kaili dapat dikatakan sebagai sesuatu yang
sentral karena Baruga ada pada struktur simbolik teratas dalam tubuh kelembagaan adat masyarakat
Kaili yang kompleks. Hal demikian adalah kenyataan sosial karena sebagai rumah adat, Baruga
Baruga secara simbolik memiliki makna persatuan dengan tujuan untuk menyatukan atau
mengikat masyarakat Kaili khususnya kedalam satu ranah adat. Makna Baruga sebagai wadah dan
simbol persatuan tersebut termanifestasi melalui fungsi dan nilai-nilai sosial budaya Baruga sebagai
wadah dalam pelaksanaan upacara adat, sebagai tempat musyawarah lembaga adat dalam
penyelesaian persoalan-persoalan keadatan dan bahkan menjadi tempat dalam membahas tentang
pembangunan desa.
Baruga sebagai rumah adat masyarakat Kaili memiliki keterkaitan dengan unsur-unsur lain
seperti lembaga adat, perayaan adat, musyawarah adat, pemberian sanksi, dan lain sebagainya yang
membentuk serangkaian sistem makna. Baruga memiliki makna keadatan karena tidak lepas dari
unsur-unsur adat-istiadat masyarakat Kaili. Artinya bahwa tidak dapat dikatakan Baruga jika tidak ada
unsur-unsur lain yang membentuk serangkaian sistem makna sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Baruga dimaknai sebagai wadah pemersatu karena dianggap sudah menjadi milik bersama
masyarakat Kaili.
Symbol
Meminjam pemikiran Max Weber sebagaimana yang disitir dalam Upe (2010: 204-205) tentang
tindakan sosial, terdapat dua alasan atau penyebab utama bahwa mengapa sampai saat ini Baruga
1. Value rational. Yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai
penting seperti etika, estetika, agama, dan nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah
laku manusia dalam kehidupannya. Ritual keadatan pada rumah adat Baruga bagi
masyarakat Kaili merupakan sebuah tindakan sosial yang memiliki nilai esensial bagi
mereka berupa pelaksanaan upacara adat Vunjadan Pompahoya. Ini merupakan tindakan
yang diyakini kebenarannya (absolut) oleh masyarakat Kaili.
2. Traditional action. Yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang telah
mendarah daging. Tindakan demikian ini lazimnya dilakukan atas dasar tradisi atau adat
istiadat secara turun-temurun. Upacara adat Vunja danPompahoya adalah tradisi turun-
temurun masyarakat Kaili, merupakan sebuah tindakan tradisional. Keinginan serta
ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan dikomunikasikan melalui ritual sakral tersebut
juga sebagai simbol bahwa mereka masih mempercayai keberadaan dan kekuatan
supranatural dan menghormati roh-roh para leluhurnya.
Karena itu Baruga sangat pantas menjadi simbol pengingat bahwa betapa pentingnya rasa
persatuan antar umat manusia, lebih spesifik merujuk pada kesatuan dan kerjasama masyarakat Kaili
yang kian hari suasana sosialnya selalu diwarnai dengan konflik sosial mengakibatkan degradasi
daya kohesi sosial. Baruga sebagai bagian dari sistem simbol masyarakat Kaili diharapkan dapat pula
menjadi alat atau sarana dalam penataan hubungan sosial pada masyarakat pedesaan di lembah
Palu saat ini, dimana hubungan sosialnya mulai merenggang akibat dari konflik sosial yang marak
terjadi. Gagasan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Kaili secara menyeluruh
agar selalu menjalin kohesi serta senantiasa menjaga dan membudidayakan Baruga sebagai warisan
Daya
Daya yang dimaksud adalah daya yang tersimpan dibalik wujud fisik dari Baruga yang
mampu menjadi suatu kekuatan persatuan (integrasi) masyarakat Kaili. Secara sosiologis
bahwa kekuatan untuk menyatu dalam suatu kelompok sosial disebut kohesi sosial. Daya
kohesi sosial masyarakat Kaili tentu berkaitan erat dengan makna Baruga sebagai wadah
pemersatu, sehingga dalam hubungan sosial masyarakat Kaili, secara fisik Baruga tidak
hanya dipandang sebagai bangunan rumah tapi dipandang secara filosofi sebagai simbol
kohesi masyarakat Kaili.
Pembahasan mengenai Baruga ternyata tidak pernah lepas dari kehidupan nenek moyang
masyarakat Kaili dimasa lampau, masa kerajaan atau masa dimana sistem pemerintahan suatu desa
berada dibawah naungan adat sehingga pada saat itu manusia diatur oleh adat. Seiring berjalannya
waktu, disaat sekarang sistem pemerintahan atau kekuasaan disuatu wilayah seperti desa berubah
menjadi sistem pemerintahan dibawah naungan politik karenanya masyarakat mudah terkotak-kotak
dan agak sulit untuk disatukan. Yang terjadi bukannya tindakan kooperatif melainkan persaingan
sosial yang tidak sehat mengakibatkan menurunnya daya kohesi sosial pada masyarakat Kaili.
Baruga merupakan satu daya kohesi masiv baik bagi kehidupan masyarakat Kaili, tidak hanya
untuk masyarakat Kaili pada satu tempat atau desa saja, melainkan pada masyarakat Kaili di desa-
desa lainnya, karena tanpa adanya Baruga maka secara tidak langsung berarti telah menghilangkan
makna persatuan yang terpantul lewat Baruga. Maksudnya bahwa suatu daya kohesi tidak akan
terbentuk tanpa adanya suatu daya dorong dan daya tarik daripada unsur-unsur yang saling
berkaitan.
bahwa menurut kesadaran sosiokulturalnya, ia terhisab atau tergolong kedalam kelompok atau etnik
1. Adanya alat komunikasi antara sesama orang Kaili, yaitu bahasa/dialek yang memelihara
keakraban dan kebersamaan diantara mereka.
2. Adanya pola-pola sosio-kultural yang menumbuhkan perilaku yang di nilai sebagai bahagian
dari kehidupan adat istiadat, (termasuk cita-cita dan ideologi) yang dihormati bersama
diantara mereka.
3. Adanya perasaan keterikatan antara satu sama lainnya, sebagai satu yang menjadi perekat
kedalam kebersamaan di antara mereka.
4. Adanya kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli terhadap orang dari
kelompok lain, dalam berbagai kejadian sosio-kultural, berupa sikap sekaum dalam
menghadapi orang luar.
5. Adanya perasaan keterikatan ke dalam kelompok, karena hubungan kekerabatan
genealogis, dan atau adanya ikatan kesadaran territorial di antara mereka.
Namun tesis A. Mattulada tersebut runtuh dengan sendirinya jika dibandingkan dengan
keadaan sosial budaya dari masyarakat Kaili di saat sekarang. Bahasa Kaili misalnya, tidak lagi
menjadi pengikat sosial yang kuat, pola-pola sosio-kultural tidak lagi jelas terlihat karena ideology
untuk menyatu telah runtuh mengakibatkan konflik saudara dikalangan masyarakat Kaili. Dan
perasaan keterikatan antar masyarakat Kaili sudah tidak konsisten lagi sehingga masyarakat Kaili
tidak lagi menggolongkan dirinya kedalam satu etnik yang sama. Akibatnya adalah konflik atau
perang saudara seperti yang terjadi baru-baru ini dibeberapa tempat di lembah Palu.
Jika ditinjau lebih jauh, kohesi sosial masyarakat Kaili tidak lepas dari eksistensi Baruga
sebagai suatu daya yang mendorong lahirnya kesadaran dan tindakan warga masyarakat yang
bersandar pada budaya dan adat istiadat. Baruga seharusnya dianggap sebagai benda yang
bermakna persatuan, menjadi hal yang melekat pada pikiran anggota masyarakatnya,sehingga
sangat pantas menjadi suatu dambaan, menjadi pujaan, dan bahkan menjadi daya integrasi sosial
Baruga yang merupakan bagian (unsur) dari lembaga sosial tentunya sangat berperan penting
dalam kehidupan masyarakat Kaili untuk menjadi wujud kesatuan dan kesadaran kolektif manusia
yang saling membuka ruang interaksi antar satu dengan lainnya dan dari itu mereka akan memiliki
suatu ikantan yang khusus (solidaritas mekanis). Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis
mengatakan bahwa:
“Kesadaran kolektif tidak akan mungkin ada bila tanpa konsensus. Terdiri dari totalitas keyakinan dan
sentimen yang rata-rata ditemukan pada setiap warga suatu masyarakat, kesadaran kolektif adalah
sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama” (Saifuddin, 2006: 42).
dalam kesatuannya. Baruga merupakan identitas bagi masyarakat adat suku Kaili terhadap kesatuan
kolektif untuk mempertahankan integrasi dan kohesi karenanya kearifan lokal tersebut harus
dipertahankan, dilestarikan serta dibudidayakan kepada masyarakat dan generasi muda mengingat
saat sekarang ini budaya lokal sudah banyak dipengaruhi oleh budaya barat (westernisasi) yang tidak
Fungsi
Jika ditinjau dari segi fungsi bahwa Baruga sebagai tempat penyelenggaran rutinitas kultural,
sedangkan jika diinterpretasikan secara sosiologi bahwa dibalik wujud dan fungsi rumah adat Baruga
didalamnnya terkandung pesan akan pentingnya musyawarah dalam setiap penyelesaian masalah
Baruga sebagai rumah adat yang fungsional terhadap masyarakat Kaili, Baruga juga memiliki
kandungan makna bahwa jika didalam masyarakat terdapat masalah-masalah sosial maka tempat
penyelesaiannya secara spesifik dilakukan di rumah adat Baruga. Bentuk penyelesaian masalah
tentu tidak diambil dalam keputusan satu orang saja tetapi diambil dari keputusan bersama dengan
jalan musyawarah melalui lembaga adat. Begitu tingginya rasa persaudaraan masyarakat Kaili
sehingga bentuk penyelesaian masalah meski ditempuh dengan musyawarah bersama melalui
Namun hal itu hanyalah sekadar gambaran masa lalu saja. Dibandingkan dengan masa
sekarang bahwa masyarakat Kaili sendiri justru terjebak oleh keadaan ketidakharmonisan sosial.
Kelompok-kelompok sosial masyarakat Kaili telah melupakan identitas kulturalnya dan membangun
identitas sendiri yang pada akhirnya diwarnai konflik sosial di beberapa tempat terutama di Sigi.
Padahal kabupaten Sigi adalah daerah adat, yang kaya akan nilai-nilai keadatan serta budaya-
budaya lokal yang pada akhirnya justru terdapat kelompok-kelompok sosial yang tidak mampu
elemen budaya yang menjadi daya dukung bagi kelangsungan interaksi sosial dari Baruga sebaga
wadah interaksi baik antar individu maupun antar kelompok masyarakat Kaili. Oleh karena itu Baruga
Baruga memiliki arti penting dalam kehidupan sosial masyarakat Kaili yang kaya
dengan sub etnik dan bahasanya. Urgensi keberadaan Baruga dapat dilihat dari perayaan
adat pompahoya (meminta) dan novunja (syukuran) yang biasanya digelar tiap tahun oleh
masyarakat setempat. Keberadaan dan fungsionalisasi Baruga memang sangat diperlukan
dalam kelangsungan sistem sosial budaya masyarakat Kaili.
Sebagai contoh pada masyarakat Kaili di Desa Pakuli Kecamatan Gumbasa bahwa
kegunaan Baruga pada dapat di lihat pada beberapa fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi Perayaan Adat
Fungsi dari Baruga sendiri tidak lepas dari peranan lembaga adat Kaili yang
menjalankan tupoksi sebagai pengelola keadatan pada masyarakat itu sendiri. Sebagai
masyarakat Kaili, dalam pengelolaan tersebut tidak terlepas dari aspek keyakinan akan
kekuasaan Sang Maha Pencipta dan ruh-ruh leluhur yang masih dipegang oleh tokoh-tokoh
adat dalam menjalankan tugas dan fungsi pokok dari lembaga adat tersebut. Mereka
berkeyakinan bahwa keadaan atau situasi masyarakat tergantung pada ketentuan atau
kehendak Tuhan dan menyangkut adat-istiadat yang dilaksanakan juga menjadi bagian dari
campur tangan ruh-ruh leluhur mereka.
Adat yang biasa dilakukan adalah
seluruh masyarakat yang diwakili oleh ketua atau tokoh adat yang dalam bahasa setempat
disebut totua ngata meminta kesuburan padi kepada Tuhan karena padi telah berisi setelah
sebelumnya melewati proses penanaman awal yang dipimpin oleh ketua adat. Penanaman dimaksud
adalah penghamburan padi pertama oleh ketua adat yang dalam bahasa lokal
memasang bambu-bambu kain bendera disawah sebagai simbol larangan pada warga untuk tidak
masuk ke tanah sawah.Tiga hari tidak boleh masuk disawah. Pompahoya menyampaikan aturan
bahwa kalau padi sudah hijau tidak boleh lagi ada warga yang masuk dihutan, misalnya mengambil
rotan. Kemudian sewaktu Pompahoya dilakukan dihulu air maka diadakan ritual pemotongan
kambing. Jadi darah kambing tersebut mengalir dipintu air, dianggap untuk membasahi sawah dan
dalam masa sejak awal mora (pemotongan hewan), masyarakat tidak boleh melakukan hal-hal yang
negatif seperti berzinah, mencuri, dan lain sebagainya yang dapat merusak ketentraman masyarakat.
Sedangkan bagi warga yang melanggar aturan pasti akan dikenakan sanksi adat yang disebut givu.
Dan pada saat musim padi (panen) telah tiba, masyarakat Desa Pakuli sangat dilarang untuk bongkar
(rehabilitas) rumah karena dianggap bertentangan dengan adat-istiadat tersebut sehingga hal-hal
maka perayaan adat tahap kedua disebut Povunja adalah adat syukuran panen bagi petani sawah.
Perayaan adat ini merupakan simbol kesyukuran atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan berupa hasil
panen yang melimpah ruah. Ungkapan rasa syukur adalah suatu damba nurara (rasa senang)
masyarakat Desa Pakuli karena doa diwaktu pelaksanaan nompahoya telah dikabulkan oleh Sang
Pencipta, juga sebagai pesta (hiburan) bagi para petani setelah melakukan kerja keras. Karena itu
luapan kegembiraan dituangkan kedalam adat novunja secara bersama dimana para tokoh-tokoh
atau pemangku adat menjadi penggerak pada kegiatan ini. Pada kegiatan ini peran lembaga adat
lebih dominan dibanding lembaga pemerintah sedangkan masyarakat merupakan suatu daya dukung
bagi siapa saja yang melanggar aturan adat. Baruga adalah tempat yang paling tepat untuk
membicarakan persoalan masyarakat dan keadatan karena Baruga bukan milik sekelompok orang
saja, melainkan milik bersama sehingga keputusan yang diambil oleh lembaga adat di Baruga adalah
Baruga sebagai alat pemersatu masyarakat Kaili memberikan konstribusi yang besar
terhadap kohesifitas sosial masyarakat Kaili yang semakin kompleks. Apa yang terjadi jika
nilai sosial yang demikian tidak lagi melekat pada masyarakat Kaili yang terpantul melalui
Baruga, dimana kenyataan saat ini masyarakat Kaili sudah terkotak-kotak oleh suasana
konflik sosial secara kontinue. Mengingat hal demikian berarti salah satu jalan yang hendak
dilakukan oleh pihak Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dan lembaga keadatan di lembah
Palu khususnya pemerintah-pemerintah desa agar menghidupkan kembali nilai-nilai sosial
kepada masyarakat melalui pembangunan rumah-rumah adat Baruga disetiap desa atau
kecamatan. Dengan cara demikian masyarakat dapat menyadari bahwa persatuan itu
penting dangan saling mempererat rasa peduli dan rasa solidaritas yang kuat.
Bantaya
Masyarakat Adat Vayanga juga menyatu dalam berbagai aktivitas dengan warga Salena yang
merupakan Masyarakat Adat Nggolo. Selain jarak tempuh tidak jauh, karena hanya di batasi
dengan sungai Nggolo dan secara asal-usul masih mempunyai hubungan keluarga Topoda’a
sub etnis kaili yang kental dengan budaya sehingga dalam kesehariannya masih terdapat
penyelesaian masalah dan musyawarah adat (Libu) di rumah adat (Bantaya).
Pada umumnya Topoda’a menjadikan Bantaya sebagai tempat penyelesaian masalah dan
sumber informasi terbaru, karena Bantaya juga menjadi tempat pelaksanaan kegiatan dan
kunjungan pemerintah. Kondisi Masyarakat Vayanga saat ini, membutuhkan perhatian
pemerintah di bidang pendidikan, infrastruktur, ekonomi dan sebagainya.
Masyarakat Adat Vayanga juga menyatu dalam berbagai aktivitas dengan warga Salena yang
merupakan Masyarakat Adat Nggolo. Selain jarak tempuh tidak jauh, karena hanya di batasi
dengan sungai Nggolo dan secara asal-usul masih mempunyai hubungan keluarga Topoda’a
sub etnis kaili yang kental dengan budaya sehingga dalam kesehariannya masih terdapat
penyelesaian masalah dan musyawarah adat (Libu) di rumah adat (Bantaya).
Pada umumnya Topoda’a menjadikan Bantaya sebagai tempat penyelesaian masalah dan
sumber informasi terbaru, karena Bantaya juga menjadi tempat pelaksanaan kegiatan dan
kunjungan pemerintah. Kondisi Masyarakat Vayanga saat ini, membutuhkan perhatian
pemerintah di bidang pendidikan, infrastruktur, ekonomi dan sebagainya.