Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 LATAR BELAKANG

Suku Lamaholot merupakan salah satu kelompok penduduk asal Flores Timur, yaitu
meliputi Tanjung Bunga , Adonara, Solor dan Lembata. Menurut cerita bahwa asal -usul
Suku Lamaholot yang mendiami Flores Timur dikatakan berawal dari perjalanan bangsa
-bangsa Hindu-Budha dari India belakang Gujarat dan Persia dengan arus
persinggahan ke India ke Malaka lalu melakukan persinggahan ke kepulauan Timor
termasuk ke Kepulauan Solor sebagai wilayah Lamaholot.

Pola perkampungan suku Lamaholot umumnya terpusat dan tidak menyebar ,


sehingga rumah adat Suku Lamaholot umumnya berkumpul pada satu tempat. Untuk
rumah adat Lamaholot sendiri umumnya berbentuk panggung dengan bentuk denah
yang berbentuk persegi dengan bentuk atap yang sesuai dengan bentuk denah yaitu
berbentuk limas segi empat pada atap yang menjadi ciri khas arsitektur Lamaholot.
Dengan bahan bangunan dari rumah adat Suku Lamaholot yang sampai saat ini masih
menggunakan bahan-bahan alami , dan juga struktur rumah adat Suku Lamaholot yang
masih sama sampai saat ini .

Secara tidak disengaja arsitektur Lamaholot juga menjadi simbol kebudayaan dari
Suku Lamaholot, disamping kekayaan arsitektur Lamaholot terdapat juga sistem
kepercayaan terkait dengan adat dan tradisi. Kebanyakan hal harus dilakukan dengan
serangkaian upacara adat, misalkan pada proses pembangunan rumah adat ,
pernikahan dan juga kematian .

Kondisi iklim dan bentuk bangunan yang tidak sesuai dimana beriklim tropis ,
sedangkan bentuk bangunan yang berbentuk panggung dan tidak ada pembatas
dinding sehingga menjadi masalah tersendiri pada arsitektur Lamaholot ketika adanya
musim hujan dan juga musim panas .

1
Bukan hanya masalah pada iklim, tetapi juga pengaruh globalisasi yang
memberikan perubahan pada budaya, pola perkampungan , dan material pada rumah
adat dimana pada mulanya masyarakat tinggal di Kampung Adat Lewohala tetapi
karena adanya pengaruh globalisasi masyarakat sudah tidak lagi tinggal di Kampung
Adat Lewohala begitupula dengan rumah adat yang mengalami perubahan material
yang tidak terlalu mencolok .

Ditinjau dari permasalahan diatas maka kami merasa perlu melakukan penelitian
tentang Arsitektur Lamaholot yang dilakukan penelitian bertempat di Kampung Adat
Lewohala terletak di Desa Jontona, Kabupaten Lembata, Kecamatan Ile Ape Timur,
tepatnya dilereng gunung Ile Ape, khususnya pada Rumah Adat Matarau, dipilih karena
Rumah Adat Matarau yang masih terjaga keasliannya sampai saat ini meskipun terdapat
beberapa perubahan yang tidak signifikan akibat pengaruh globalisasi.

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas perlu disadari masalah iklim juga
berpengaruh pada Arsitektural Rumah Adat Matarau . Oleh karena itu perlu mengkaji
masalah-masalah yang berkaitan dengan pengaruh ikli pada Arsitektur pada khususnya
Rumah Adat Matarau, antara lain :

1. Terbatasnya informasi mengenai arsitektur Lamaholot, sehingga mempengaruhi


tingkat pemahaman dan penegenalan terhadap konsep dan karakteristik
arsitektur tersebut.
2. Arsitektur nusantara pada umumnya dan arsitektur Lamaholot khususnya
memiliki kemampuan dan merespon iklim sesuai daya dukung lingkungan
setempat
3. Perkembangan teknologi, modernisasi dan globalisasi ditengarai mempengaruhi
arsitektur Lamaholot.

1.3 RUMUSAN MASALAH

Dari identifikasi masalah diatas ditemukan beberapa rumusan masalah sebagai


berikut :
2
1. Bagaimana konsep dan karakteristik arsitektur Lamaholot, khususnya
arsitektur rumah adat Matarau di kampung Lewohala, desa Jontona
kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata ?
2. Bagaimana respon atau tanggapan dari arsitektur Matarau terhadap iklim
setempat ( di desa Jontona ) ?
3. Bagaimana pengaruh teknologi, modernisasi dan globalisasi terhadap
perkembangan atau perubahan arsitektur Lamaholot khususnya rumah adat
Matarau.
1.4 TUJUAN

Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengidentifikasi konsep dan karakteristik arsitektur Lamaholot,


khususnya arsitrktur rumah adat Matarau.
2. Untuk mengidentifikasi kemampuan dari arsitektur Lamaholot, khususnya
arsitektur rumah adat Matarau dalam merespons iklim setempat.
3. Untuk mengidentifikasi pengaruh teknologi, modernisasi dan globalisasi
terhadap perkembangan arsitektur Lamaholot, khususnya arsitektur rumah
adat Matarau.
1.5 SASARAN
Sasaran yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Teridentifikasinya konsep dan karakteristik dari arsitektur Lamaholot,
khusunya arsitektur rumah adat Matarau.
2. Teridentifikasinya kemampuan dari arsitektur Lamaholot, khusunya arsitektur
rumah adat Matarau dalam merespons iklim setempat.
3. Teridentifikasinya pengaruh teknologi, modernisasi dan globalisasi terhadap
perkembangan arsitektur Lamaholot, khususnya arsitektur rumah adat
Matarau.
1.6 MANFAAT
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai maka penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat dalam pendidikan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
 Manfaat teoritis

3
Makalah ini dapat memberikan sumbangan untuk mata kuliah Arsitektur
Nusantara dan juga memberikan informasi faktual mengenai Arsitektur
Lamaholot khususnya pada rumah adat Matarau.

 Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :
a) Bagi peneliti
Semoga dengan adanya kegiatan studi arsitektur nusantara ini mampu
menambah wawasan mengenai rumah adat tradisional daerah khususnya
pada Arsitektur Lamaholot . Selain itu, penelitian mampu melatih kerja
sama tim dan meningkatakan rasa tanggung jawab.
b) Bagi pembaca
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan mengenai
arsitektur Lamaholot dan juga semoga penelitian ini, dapat berguna
sebagai referensi dalam penyelesaian tugas yang berhubungan dengan
arsitektur Lamaholot

1.7 RUANG LINGKUP


 Spasial
Ruang lingkup spasial dari penelitian ini adalah pemilihan Rumah Adat
Matarau yang berlokasi di Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape Timur,
Kabupaten Lembata . Lokasi ini dipilih karena rumah adat yang berada
Kampung Adat Lewohala yang masih dijaga dan dipelihara dengan baik.
 Substansial
Ruang lingkup substansial dari makalah ini adalah konsep arsitektur,
perubahan dan perkembangan yang terjadi dan dampak dari kondisi iklim
pada arsitektur Lamaholot khususnya pada rumah adat Matarau, serta
kebudayaan yang berkaitan dengan arsitektur Lamaholot.

1.8 METODOLOGI PENELITIAN


 Pengumpulan data
a) Servei data primer

4
Survei data primer yaitu dengan melakukan pengamatan/observasi
terhadap objek kajian Peneliti mengamati serta meneliti langsung keadaan
fisik bangunan rumah adat yang meliputi bentuk dan tampilan serta
struktur dan konstruksi maupun ragam hias dan juga mencatat
perubahan-perubahan pada rumah adat Matarau . Untuk melengkapi
data-data tersebut peneliti juga melakukan wawancara dengan penjaga
rumah adat Matarau dan mengambil foto serta sketsa terhadap arsitektur
Lamaholot khususnya rumah adat Matarau.
b) Metode pengumpulan Data Skunder
Data yang diperoleh dengan mencari sumber – sumber tertulis yang
berkaitan dengan Arsitektur nusantara dan arsitketur Lamaholot . Buku –
buku dan jurnal ini digunakan sebagai referensi untuk lebih memperkaya
penulisan karya ilmiah mengenai arsitektur Lamaholot khususnya pada rumah
adat Matarau

 Analisa
Setelah dilakukan pengumpulan data, maka dilakukan analisa data yang
terbagi atas dua yaitu :
a) Analisis deskritif
Melakukan analisa spesifik pada obyek penelitian secara jelas dan
terperinci terhadap arsitektur Lamaholot khsusnya pada rumah adat
Matarau yang mencakup hal-hal yang berhubungan dengan kondisi sosial
budaya, karateristik dan konsep arsitektur lamaholot , serta perubahan-
perubahan yang terjadi khususnya pada rumah adat Matarau

b) Analisis komperatif
Yaitu analis yang dilakukan dengan cara melakukan perbandingan antara
objek yang diteliti dengan objek lain yang serupa, yaitu dengan
membandingkan rumah adat Matarau dengan rumah adat Langotukan.

1.9 SISTEMATIKA PENULISAN

5
Secara garis besar sistematika makalah dibagi dalam beberapa tahapan, sebagai
berikut :

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat dari penelitian, serta metedologi penelitian serta sistematika
penulisan untuk menjelaskan pokok-pokok pembahasan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA / LANDASAN TEORI


bab ini mengandung teori yang menjadi dasar pembuatan makalah ini

BAB III TINJAUAN OBYEK STUDI


Bab ini berisi gambaran umum mengenai lokasi studi yaitu fisik dasar, sosial
budaya maupun arsitekturnya.

BAB IV ANALISIS
Bab ini berisi mengenai analisa arsitektur , iklim dan dinamika perkembangan
arsitektur

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


Bab ini berisi kesimpulan yang diberikan atas pembuatan makalah ini dan saran
yang diberikan setelah membuat makalah ini

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA/LANDASAN TEORI

2.1 Arsitektur Nusantara

2.1.1 Definisi Arsitektur Nusantara


Arsitektur nusantara merupakan arsitektur yang lahir dari berbagai bumi
nusatara terutama di indonesia ini ang mencerminkan suatu ciri arsitektur yang
dilihat dari keragamannya. Adapaun pengertian arsitektur nusantara menurut
beberapa peniliti , atara lain : Dalam penelitian yang pertama, Hidayatun
menjelaskan beberapa prinsip dasar arsitektur Nusantara, dengan uraian sebagai
berikut.

1. Maria I. Hidayatun.
 Pertama, Arsitektur Nusantara merupakan sebuah pernyataan yangmengandung
beribu gambaran dan persepsi. Belajar dari pengetahuan yang pernah dipelajari
sejak sekolah dasar Nusantara merupakan sebuah setting tempat yang luas,
terdiri dari beberapa pulau dan berisikan penduduk dengan latar belakang
budaya yang sangat beragam.
b) Kedua, belajar tentang Arsitektur Nusantara adalah bagaimana
mempelajarikebergaman atau ke-Bineka Tunggal Ika-andalam sebuah kacamata
atau dalamkebersatuan.
2. Galih Widjil

Dalam penelitian yang kedua, menjelaskan arti dari Nusantara bahwa Dari
kata Kawi “nuswa” atau “nusya” yang berarti pulau, dan “antara”: menunjuk area
berpulau-pulau mulai Semenanjung Malaka di Barat, Papua di Timur, Pulau Formosa
di Utara pada batas garis lintang 23½º LU, dan Pulau Rote yang terletak di batas
paling Selatan Indonesia. Itu serin dilihat sebagai wilayah dimana bahasa dan tradisi
Malayo-Melanesia-Polynesiancukup dominan. Pengarsa mencoba menampilkan ciri

7
utama dari arsitektur di wilayah Nusantara melalaui beberapa poin dengan uraian
sebagai berikut:

a. Pertama, Berdaun sepanjang tahun: arsitektur pernaungan. Ruang-luar


ArsitekturNusantara adalah ruang berkehidupanbersama. Itulah yang
menunjukkan bahwapernaungan adalah arsitektur bagi fitrahmanusia. Arsitektur
Nusantara bagai bayi didalam perlindungan rahim batas teritori yangkokoh,
meski sebenarnya. ia hanya bernaungsaja di dalamnya.
b. Kedua, Arsitektur Nusantaraberkembang dari tradisi berhuni dilingkungan
berpohon-pohon, bukan dilingkungan bergua-gua . dua tipologi tradisi berhuni
prasejarah itu sudah terbukti secaraar keologis.
Ketiga, Pulau-pulau Arsitektur Bahari Mentawai dan Nias berbeda ciri
meski letak geografisnya dekat; Madura dan Jawa Timur pedalaman pun tak
dapat dipersamakan. Keunikan lokalitas tak kenal jarak, tetapi ditentukan oleh
eksklusifitas jejaring peradaban yang di masa lalu, terbatasi oleh air laut.
(sumber : Bakhtiar,2014:37)
2.1.2 Perkembangan Arsitektur Nusantara
Arsitektur Nusantara berkembang dari tradisi berhuni di lingkungan
berpohon-pohon, bukan di lingkungan bergua-gua . dua tipologi tradisi berhuni
prasejarah itu sudah terbukti secara arkeologis. Arsitektur Nusantara yang
pernaungan ialah hasil kristalisasi pengalaman empirik selama ribuan tahun.
Hampir seluruh penelitian mutakhir tentang budaya bermukim di Asia tropis
lembab, menunjukkan bahwa ruang bersama tempat kehidupan sosial penuh
keakraban bagi masyarakat manusia tropis lembab adalah pada jalan
lingkungan, gang, halaman bersama, ruang-bersama desa, sekitar punden,
ruang antar-emperan rumah. Singkatnya: ruang-terbuka-bersama. Jika ada
atap, batang-kayu kolom strukturnya tetap memberi karakter terbuka dan dapat
menjalin pertautan spasio-visual dengan ruang lain. Kolom-kolom rumah
panggung berupa garis, esensinya tak mengkomsumsi ruang; lantai yang
didukung kolom-kolom itu justru memproduksi ruang.
Kini perkembangan yang terjadi arsitektur bangunan gedung di Indonesia
dapat digolongkan menjadi “AC Tektur’ dari golongan berpunya yang dari awal
memang sudah menolak berjendela, tertutup rapat serta menjadi benteng
8
perlindungan dari iklim-mikro kota yang makin panas-ganas dengan jalan pintas
untuk dirinya sendiri. Golongan kedua adalah “non AC-tektur” dari golongan tak
berpunya lemah-papa dalam segala pengertian: sumpek, sumuk, dan semrawut.
Nusantara sungguh beruntung (di masa lalu) dianugerahi alam ramah. ( sumber
: Bakhtiar,2014:38)

2.2 Perubahan/Perkembangan Arsitektur Vernakular

2.2.1 Pengertian arsitektur vernakular

Adapun beberapa pemahaman arsitektur menurut beberapa para ahli :

1. Paul Oliver, dalam “Encyclopedia of the Vernacular Architecture of the World"


Dalam pemahamannya, Oliver mengemukakan bahwa arsitektur vernakular
dapat saja berupa bangunan hunian (rumah tinggal) ataupun objek bangunan
fungsional lainnya. Dalam kaitannya dengan konteks lingkungan serta
keterbatasan sumberdaya, bangunan-bangunan vernakular ini biasanya
dibangun oleh pemiliknya sendiri atau komunitas setempat secara gotong
royong dengan memanfaatkan beragam teknologi tradisional. .(Sumber :
Jurnal Arsitektur , Vol.1 , No.2, “Menggali Makna Arsitektur Vernakular” ,2012 :
hal 68-82)

2. Menurut Menurut Salura (2010)


arsitektur vernakular yang selalu ada di seluruh belahan dunia relatif
memiliki tipe yang serupa dan tema-tema lokal yang sangat spesifik. ( sumber :
Bakhtiar,2014:70)
3. Menurut Papanek (1995)
arsitektur vernakular merupakan pengembangan dari arsitektur rakyat
yang memiliki nilai ekologis, arsitektonis dan alami karena mengacu pada
kondisi alam budaya dan masyarakat lingkungannya ( sumber :
Bakhtiar,2014:78)

2.2.2 Kerakteristik Arsitektur Vernakular


arsitektur vernakular memiliki karakteristik sebagai berikut :

9
1. Diciptakan masyarakat tanpa bantuan tenaga ahli / arsitek profesional
melainkan dengan tenaga ahli lokal / setempat.
2. Diyakini mampu beradaptasi terhadap kondisi fisik, sosial, budaya dan
lingkungan setempat.
3. . Dibangun dengan memanfaatkan sumber daya fisik, sosial, budaya,
religi, teknologi dan material setempat,
4. Memiliki tipologi bangunan awal dalam wujud hunian dan lainnya yang
berkembang di dalam masyarakat tradisional,
5. Dibangun untuk mewadahi kebutuhan khusus, mengakomodasi nilai-nilai
budaya masyarakat, ekonomi dan cara hidup masyarakat setempat.
6. Fungsi, makna dan tampilan arsitektur vernakular sangat dipengaruhi
oleh aspek struktur sosial, sistem kepercayaan dan pola perilaku
masyarakatnya.
Seluruh karakter ini selanjutnya akan sangat berpengaruh terhadap
pemikiran konseptual yang ada. . (sumber : Bakhtiar,2014:70-71)

2.2.3 Perubahan Arsitektur Vernakular


Dalam perkembangan formal ilmu arsitektur sendiri, vernakular masih
menjadi isu yang banyak dibicarakan. Kehadirannya masih dianggap sebagai
jembatan antara teori arsitektur dengan kehidupan sesungguhnya, sebuah
arsitektur yang humanis. Namun dalam perkembangan ini pulalah akhirnya
menemukan banyaknya kesimpang-siuran dialog teoritis yang ada. Buku-buku
khusus mengenai vernakular sendiri tidak banyak tersedia, sehingga artikelnya
ditemukan terpisah-pisah di beberapa buku lain. Buku-buku lain juga
menampilkan gambar2 contoh bangunan vernakular seolah identik sebangun
dengan bangunan tradisional. Dari sini muncul anggapan bahwa arsitektur
tradisional adalah arsitektur vernakular.

Alur pembahasan Perkembangan arsitektur vernakular dimulai dari definisi


teoritis dan praktis, hingga dikotomi yang muncul. .(Sumber : Bhaswara,2010 :
11-13)

10
Diagram hubungan definisi vernakular praktis dan teoritis

(Sumber :Bhaswara, 2010 : 11-13)

a. Definisi Praktis

Bagian ini merupakan pembahasan mengenai dialog antara definisi praktis


berikut ini akan dijabarkan lebih lanjut masing-masing aspek yang terlibat dalam
hubungan tersebut.

 Anonymity
Dalam praktek perkembangan dunia arsitektur, mulai hilang sejak era
Renaissance. Hal ini merupakan akibat logis dari perkembangan era ini dimana
basisnya adalah humanisme intelektual (rationalism) (dalam ”Architecture:
from pyramids to post modernism”). Secara umum era ini muncul sebagai
bagian dari usaha menentang doktrin mutlak gereja-gereja Eropa abad
pertengahan. Gerakan ini disinyalir berasal dari perguruan tinggi di Itali,
khususnya di Florence dan Rome, yang menawarkan ide-ide baru tentang
humanisme individu yang mandiri. Selain itu tentangan juga banyak muncul
dari kalangan seni, yang pada era pertengahan hanya dapat berkembang

11
terbatas di tempat-tempat tertentu, untuk tujuan tertentu pula. .(Sumber
:Bhaswara,2010 : 11-13)
 Self built
Dapat diterjemahkan melalui satu pernyataan Paul Oliver (1987) mengenai
arsitektur vernacular, yaitu “the architecture of the people, and by the people,
but not for the people”. Dengan demikian arsitektur vernakular merupakan
bentuk arsitektur rakyat (folk architecture), yang dibangun oleh rakyat
menggunakan pengetahuan lokal yang diketahui rakyat, tetapi bukan berarti
untuk rakyat karena tidak bersifat masal. Bukan untuk rakyat bila ditelaah lebih
lanjut bermakna bahwa produk arsitektur vernakular dimiliki oleh suatu
masyarakat dalam bentuk “mechanistic” versi Emile Durkheim; atau bentuk
“traditional” dan “affectual”, versi Max Weber, yaitu bentuk masyarakat dengan
ikatan sosial yang masih bekerja otomatis berdasarkan nilai tidak sadar
absolutnya, (dalam Philips & LeGates, 1981). Hal tersebut menjelaskan bahwa
produk arsitektur vernakular adalah untuk sistem masyarakatnya dimana
berada produk tersebut berada bukan atas kesadaran individu perorangnya.
(Sumber : Bhaswara, 2010 : 11-13)
 Sustainable resource

Dimaknai sebagai ketersediaan sumber material yang selalu ada, atau


terbaharukan, dalam konteksnya dengan lingkungan dimana produk vernakular
tersebut berada. Pada masa lalu, ketersediaan bahan yang ada di lingkungan
lokalnya merupakan satu-satunya sumber material untuk produk vernakularnya.
Perkembangan teknologi, produksi, informasi, transportasi dan industri
merupakan suatu rangkaian dimana pertukaran dan ketersediaan bahan di
seluruh dunia menjadi bukan masalah besar lagi. Isunya adalah local natural
resource vis a vis global resource. Pengiriman bahan material dari satu tempat
ke tempat yang lain tidak sulit sehingga makna sustainable resource saat ini
perlu didefinisikan kembali. Bila ketersediaan dan tingkat lokalitas penyediaan
bahan adalah pertimbangan utama, ada kemungkinan beton ( concrete) yang
dapat diproduksi secara lokal oleh masyarakatnya menggunakan bahan-bahan di
sekitarnya juga termasuk material vernakular. Namun bila pengetahuan lokal
terhadap material juga menjadi pertimbangan, maka pertukaran informasi
12
mengenai pengetahuan material di dunia menjadikan tidak satupun material
yang ada sebagai material vernakular.

Bila yang menjadi pertimbangan adalah sustainability, maka pertanyaannya


adalah Natural resource sustainability atau community resource sustainability .
Pilihan pertama melibatkan ketersediaannya di alam, dan yang kedua
melibatkan penggunaan energi secara minimal dalam sebuah masyarakat.
Konsekuensi pilihan ini adalah, dalam masyarakat kota saat ini kayu mungkin
tidak masuk dalam kategori material vernakular bila untuk memperolehnya
perlu menebang hutan dari pulau lain. .(Sumber : Bhaswara, ,2010 :11-13)
 Pragmatic of encountering environmental hindrances,
Yang diterjemahkan menjadi local environment perlu mendapat perhatian
serius karena pertanyaannya adalah lingkungan yang mana. Dalam
perkembangan teori saat ini dikenal ada 3(tiga) lingkungan, yaitu, natural
environment , built environment , dan social environment. Kota merupakan
contoh dimana ketiganya bertemu. Rapoport dalam tulisannya yang berjudul
“on cultural landscape” menjelaskan berbagai eksistensi keberadaan produk
vernakular di tengah lingkungan high-style; atau sebaliknya keberadaan
produk high-style di tengah lingkungan yang “vernakular”. Sehingga
pertanyaan berikutnya adalah apakah lingkungan kota, sebagai sebuah
gabungan natural, built, dan social environment, pada saat ini dapat
dianggapsebagairintanganlingkungan (environmental hindrance) yang harus
dihadapi. .(Sumber : Bhaswara,2010 :11-13)
b. Definisi Teoritis
Bagian ini merupakan pembahasan mengenai dialog antara definisi teoritis
berikut ini akan dijabarkan lebih lanjut masing-masing aspek yang terlibat
dalam hubungan tersebut.
 Definisi Teoritis: ”vernakular” dan ”non-vernakular”
Bagian ini khusus membahas perbedaan definisi teoritis antara yang
vernakular dan yang non-vernakular. Sebagaimana dijelaskan di atas
mengenai arsitektur vernakular, dibawah ini dilampirkan tabel komparasi
sederhana untuk membedakan yang vernakular dan yang bukan
vernakular.Rapoport cenderung meng-kontra-kan “vernakular” dengan istilah
13
“ High-style”, dalam tulisan-tulisannya. “ High-style” diterjemahkan sebagai
produk desain formal yang diasumsikan mandiri satu-dengan yang lainnya,
produk desain perancang. Sedangkan “ popular design” adalah produk-produk
kontemporer (dimensi waktu) yang terbentuk dengan berbagai tujuan sosial
sebagai latar belakangnya. (Sumber : Bhaswara,2010:11-13)

Tabel Komparasi teoritis vernakular dan non-vernakular

(Sumber : Bhaswara2010 : hal 11-13)

 Definisi Praktis: “produk” dan “proses”


Bagian ini membahas posisi vernakular sebagai “sebuah proses” atau sebagai
“sebuah produk”. Secara khusus mengacu pada tulisan Rapoport (1990)
mengenai table karakter proses dan produk sebuah vernacular built
environment. Dalam tulisan tersebut Rapoport juga menyebutkan bahwa
tabel tersebut efektif untuk melihat nilai vernakular sebuah desain. Terdapat
17 karakter proses dan 20 karakter produk yang dapat dinilai. (lihat tabel )

14
Karakter proses dan produk vernakular

(Sumber : Bhaswara, ,2010 : hal 11-13)

Material yang tersedia di sebuah masyarakat primitif terbatas pada


ketersediaan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya pada masyarakat maju (
advance), terdapat kebutuhan sekunder antara lain: estetika, eksistensi,
durabilitas, dan teritori. Kebutuhan-kebutuhan sekunder ini yang pada
akhirnya mengembangkan fungsi bangunan tidak hanya sebagai shelter,
namun juga sebagai home karena kelekatannya sebagai bagian dari sebuah
tindakan sosial seseorang.

Hubungan bangunan dan perkembangan masyarakat

(Sumber : Bhaswara,2010 : hal 11-13)

Pergeseran bentuk masyarakat ini dapat ditelaah melalui beberapa teori sosial
lain. Teori Tonnies, Durkheim dan Weber mendukung adanya pergeseran
sistem sosial tersebut. (Sumber : Bhaswara, ,2010:11-13)

2.3 IKLIM

2.3.1 PENGERTIAN IKLIM

Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca suatu wilayah yang lebih luas dan dalam waktu
yang lebih lama, paling tidak selama 30 tahun, jadi iklim bersifat lebih stabil. Iklim
dipengaruhi oleh letak geografi dan topografi (rupa bumi) suatu tempat. Indonesia
termasuk dalam Iklim tropis. Pembagian iklim berdasarkan letak geografi adalah: iklim
tropis untuk daerah katulistiwa antara 0° - 23,5°LU dan 0°- 23,5°LS, iklim subtropis
antara 23,5° - 40° LU dan 23,5° - 40° LS, iklim sedang °40 – 60,5°LU dan 40°-
60,5°LS dan iklim dingin (iklim kutub) antara °60,5 – 90°LU dan 60,5°- 90°LS
(Sumber : Hairiah, 2016 11 )
15
2.3.2 Unsur-Unsur Iklim di Indonesia

Ada tiga faktor penting yang mempengaruhi watak iklim Indonesia.


1. Pertama adalah kedudukan matahari yang berubah-ubah. Pada periode dimana
matahari berkedudukan di atas daratan Asia menyebabkan daratan Asia memiliki
temperatur udara yang lebih tinggi yang berakibat mempunyai tekanan yang
relatif lebih rendah. Sebaiknya pada periode yang bersamaan di atas daratan
Australia temperaturnya relatif lebih rendah yang berakibat tekanan udara relatif
tinggi. Sebagai akibatnya akan bertiup masa udara dari daratan Australia yang
relatif kering menuju daratan Asia, sehingga pada waktu melewati pulau-pulau di
Indonesia tidak banyak menimbulkan hujan kecuali di lereng-lereng gunung yang
tinggi yang menghadap ke tenggara dan wilayah yang sudah jauh dari Australia,
seperti Sumatera Utara dan Kalimantan bagian barat. Periode bertiupnya masa
udara dari Australia ini biasanya juga disebut dengan periode angin timur yang
bertepatan dengan musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia. Pada
periode kedudukan matahari di atas daratan Australia, daratan
Australiamempunyai temperature udara yang relatif tinggi sedangkan di Asia
relative rendah. Pada periode ini bertiup masa udara dari Asia ke Australia yang
bersifat relatif basah. Pada waktu melewati Indonesia banyak menimbulkan
hujan. Periode bertiupnya masa udara Asia ini disebut periode angin barat yang
bertepatan dengan musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.
2. kedua adalah adanya wilayah Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau.Hal ini
menyebabkan iklim Indonesia umumnya bersifat menengah atau moderat.ketiga,
di beberapa pulau di Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Iria Jaya
terdapt gunung-gunung yang tinggi. Gunung yang tinggi ini baik secara vertikal
maupun horizontal menyebabkan terjadinya perbedaan iklim yang jelas walaupun
tempatnya tidak berjauhan. Sebagai contoh temperature udara makin ke atas
makin rendah. Sampai batas tertentu makian ke atas curah hujan makin banyak.
Di beberapa tempat lereng gunung atau pegunungan yang menghadap ke
tenggara misalnya Jawa Timur dan JawaTengah mempunyai curah hujan lebih
banyak. (Sumber : Pratiwi,2013:41-42 )

2.3.3 Pengaruh Iklim Dalam Arsitektur


16
Fungsi utama dari arsitektur adalah harus mampu menciptakan lingkungan
hidup yang lebih baik dengan cara menentang dan menyesuaikan dengan kondisi iklim
yang ada. Guna mencapai kondisi keseimbangan antara iklim dan arsitektur sulit sekali
untuk diketengahkan, sebab dalam hal ini banyak sekali cabang ilmu yang
terkait.Keadaan ini telah dikemukakan oleh Richard Neutra dalam bukunya “Survival
Through Design”, Oxford University 1955:“................... Untuk perencanaan di masa
mendatang selain art dan sains masih banyak lagi hal-hal yang diperlukan guna
menyatukan semua hal yang membentuk lingkungan manusia tidak akan mungkin
berhasil dengan baik tanpa menggunakan sains yang ada............”.
Dalam proses perancangan arsitektur pengaruh iklim dipusatkan pada
aspek kenyamanan manusia pada suatu bangunan dimana aktifitasnya
terlaksana.Aspek-aspek tersebut adalah :
1. Radiasi matahari
2. Pergerakan udara
3. Kelembaban udara
4. Curah hujan
5.Suhu udara rata-rata
(Sumber :irfandi,2013 :12)

2.4 Arsitektur Vernakular Nusantara

Secara lebih spesifik, Indonesia dikaruniai budaya arsitektur khususnya arsitektur


vernakular yang telah ada selama berabad-abad yang lalu dan lestari hingga kini.
Dalam lintasan sejarahnya, kekayaan budaya arsitektur vernakular di Indonesia
mendesak untuk dilakukan. Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dari
kondisi alam setempat diciptakan oleh warga setempat berakar dalam keunikan
budayanya dalam upaya beradaptasi terhadap alam setempat melahirkan anekaragam
karya arsitektur unik-lokal. Sedangkan, Arsitektur Nusantara adalah harta karun bangsa
Indonesia, khususnya bagi kalangan arsitek dan dunia arsitektur di Indonesia, maka
upaya memahami seluruh kekayaan budaya tersebut sedalam-dalamnya harus
dilakukan dengan penuh antusiasme. Penelusuran kekayaan Arsitektur Nusantara wajib
dilakukan oleh kalangan arsitek di Indonesia bagaikan orang yang menerima warisan

17
dari nenek-moyang. Kekayaan arsitektur vernakular nusantara sangat beragam dan
mengagumkan
Karya arsitektur vernakular nusantara perlu digali aspek intelektualitasnya, agar
kita memahami bagaimana kecerdasan nenek-moyang menciptakan karya arsitektur
bagi dirinya. Upaya menelusuri dan memahami Arsitektur Nusantara merupakan satu
tahapan penting agar dapat dijumpai spirit dan intelektualitas di balik karya arsitektur
vernakular nusantara. Kalangan arsitek harus mampu menemukan dan memahami
secara sungguh-sungguh tentang arsitektur vernakular sebagai bagian dari pusaka
arsitektur di Indonesia. .( Sumber : Purbadi Djarot , 2015 )

18
BAB III

TINJAUAN ARSITEKTUR LEWOHALA

3.1 Lokasi Studi

Lokasi studi yag menjadi objek penelitian yaitu Kampung Adat Lewohala terletak
di Kabupaten Lembata , Kecamatan Ile Ape Timur, Desa Jontona, tepatnya dilereng
gunung Ile Ape, khususnya pada Rumah Adat Matarau

(sumber: google earth)

Batasan-batasan pada lokasi studi Kampung Adat Lewohala :


 Sebelah Utara berbatasan dengan Gunung Ile Ape
 Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lamawolo
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk waienga – Teluk Lewoleba
 Sebelah Barat dengan Desa Ama Kaka dan Desa Tagawiti

3.2 Fisik Dasar


 Iklim

Kondisi iklim di Kampung Adat Lewohala beriklim tropis, yaitu memiliki curah
hujan yang banyak dan juga panas, sedangkan musim dingin sangat sedikit. dengan
musim kemarau yang panjang rata-rata 8 – 9 bulan dan musim hujan yang relatif
singkat rata-rata 3-4 bulan. Bulan Januari sampai April, Juni, November dan
Desember adalah bulan-bulan hujan di Kabupaten Lembata sepanjang tahun,
19
dengan curah hujan terbanyak pada bulan Desember (±360,00 milimeter kubik) dan
hari hujan terbanyak di bulan Januari (±16 hari).
Suhu rata-rata di Lewohala adalah 23.9 C °. dengan suhu minimum dan
maksimum berkisar antara 23°C - 30°C. Sedangkan kecepatan angin tergolong
rendah rata-rata hanya 8,4 knot/jam.

 Topografi

Secara topografi Kampung Adat Lewohala merupakan wilayah yang berbukit


karna terletak dilereng gunung Ile Ape dengan memiliki kemiringan tanah yang
lebih dari 30º dan memiliki tekstur tanah pada umumnya sedang hingga agak
kasar dengan kedalaman efektif sangat dangkal (30-50 cm) dan dangkal (50-60
cm) berbatu dengan erosi ringan.

 Hidrologi

Dilihat dari aspek hidrologi ketersediaan air baik air permukaan maupun air
tanah di Kabupaten Lembata umumnya sangat terbatas akibat rendahnya curah
hujan dan hari hujan yang mempengaruhi air tanah dan debit air sungai. Di wilayah
Kabupaten Lembata, air permukaan sebagian besar berasal dari sungai-sungai
tersebut dalam skala sedang dan kecil. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
diharapkan menampung air pada musim penghujan tidak mampu mempertahankan
air karena penutup tanah (land cover) yang semakin tipis dan terbuka akibat
pembukaan lahan pertanian pada daerah kemiringan oleh masyarakat yang berada
didalam kawasan hutan terutama pada daerah sekitar mata air.

3.3 Sosial Budaya

3.3.1 Asal-usul Rumah Adat Matarau

Masayarakat Kampung Adat Lewohala pada berasal dari kepulauan


Maluku ( Serang Gorang Abo Moar ). Pada tahun 1000 SM, nenek Moyang
mereka berangkat meninggalkan tempat asalnya mencari tempat baru untuk
didiami. Mereka kemudian berlayar kea rah barat nusantara ( seba nuho gena
katan), karna adanya beberapa alasan :

 Sangketa kaka beradik ( puke kawi usi lei,geni kawa magarai)


20
 Perang antarkampung yang tidak berkesudahan
 Terdesak oleh pendatang-pendatang baru

Setelah beberapa lama berlayar , tibalah mereka di suatu tempat yang dikeal
dengan nama pulau Lepan Batan-Keroko Puken (uli tagasau songe-kebo tena lulu
laya), cukup lama mereka tinggal disana akan tetapi karna terjadinya gempa bumi
da juga laut pasang akhirnya merek ameyelamatkan diri.

Masing-masing mereka kemudian menyelamatkan diri, ada yangke utara,


selatan , timur da barat. Nenek moyang cukup lama mendiami kedang, tidak lama
nenek moyang tinggal di waiwuring dan sagu arang, karena terjadi semacam
penyakit aneh, mereka akhirnya mereka mengambil keputusan agar mencari
tempat baru.

Dan tibalah mereka di bui baran dan melabuhkan perahunya , mereka kemudian
memutuskan untuk tinggal, setelah sebulan mereka tinggal terjadi perundingan
diantara mereka untuk membagi tugas dan tempat tinggal :

 Kaka lewo bolo

Tinggal dilereng gunung Ile Ape dengan tugas : tanaman kelapa, pisang
pinang dan siri.

 Arin lewo lere

Tinggal diantara pantai dan gunung yakni : kewatu moting dan sekaligus
bertugas mencari ikan (nelayan), masak garam. Bakar kapur untuk dibarter
antara mereka.

kaka lewo bolo kemudian menetap disebuah tempat bernama mita rota
guma gole. Ditempat tersebut sudah ada penghuninya yakni tede tawa tanah,
disana mereka hidup bersama. Kedatangan mereka atas undangan tede tawa
tanah untuk membantu melawan musuhnya yang bernama sadu rupa lima letu
dan ekan watan lolon.

Setelah saling mengenal mereka kemudian berunding untuk membangun


kekuatan bersama menyerang musuh sadu rupa lima letu dan ekan watan

21
lolon. Perang cukup banyak memakan korban, baik korban jiwa maupun harta
beda. Namun demikian musuh besar belum berhasil ditumpas. Karena terus
saja mengalami kekalahan mereka kemudian meminta bantuan dari saudara-
saudara mereka yang tinggal di kedang tepatnya yang tinggal di meru watan
tuka para wailolon dibawah pimpinan ola baga tugu wulan dan pati usen kei
lera.

Beberapa delegasi diutus untuk menemui ola baga tugu wulan dan pati usen
kei lera. Ola baga tugu wulan dan pati usen kei lera, kemudian menyetujui
permintaan dan akhirya berangkat bersama. Dalam perjalanan pulang mereka
sempat melabuhkan perahunya di wai bao hadakewa. Dari situ mereka berlayar
lagi menuju okang paga wewa matan. Adapun barang yang dibawah oleh ola
baga tugu wulan dan pati usen kei lera adalah:

1. Wuhu pito labi lema (senjata kuno)

2. Sedo wu nake lolong (ritual pesta kacang)

3. Api lera ku keneheng (alat pembuat api dari bambu)


Di okang paga wewan matan telah mereka berjumpa dengan para
pembesar kakan lewo bolo dan arin lewo lere, juga pembesar tana tawa,
perjumpaan diwarnai isak tangis.
Mereka kemudian berunding untuk membangun strategi perang melawan
musuh. Perang demi perang dilalui namun musuh belum juga berhasil ditumpas.
Oleh karena sering mengalami kekalahan, mereka kemudian mengutus
delegasi menemui sadu rupa lima letu untuk berunding. Strategi ini boleh dibilang
berhasil, putri kesayangan sadu rupa lima letu somi solang gewo (kewa kala nidi)
dinikahkan dengan a’wote abo ama (soge laka rowe) dari suku serang gorang.
Perkawinan dimaksud untuk mencari tahu rahasia perang dan kekuatan
sadu rupa lima letu serta benteng pertahanan sadu rupa lima letu. Somi salang
gowa akhirnya membeberkan seluruh rahasia kekuatan ayahnya sadu rupa lima
letu kepada suaminya a’ wote abo ama (soge laka rowe).

22
Berbekal ceritra dari somi solang gewo, nenek moyang kemudian mulai
berundig dan membangun strategi baru.
Diceritrakan bahwa: sadu rupa lima letu dan ekan watan lolon bertempat
tinggal di atas pohon (lewwa). Salah satu kebiasaan sadu rupa lima letu adalah
membuang air kencing melalui saluran yang terbuat dari sebatang bambu bulu.
Suatu malam di kediaman sadu rupa lima letu sedang berlangsung pesta
pernikahan yang meriah, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Panglima a’ wote
abo ama (soge laka rowe) bergerak menuju kediaman sadu rupa lima letu dan
menunggu persis didekat saluran bambu. Tak lama berselang, terdengar derap
langkah sadu rupa lima letu.
A’ wote abo ama dengan segera memasukan panahnya kedalam lubang
saluran, setelah terlihat air seni menetes panah pun dilepas. Sadu rupa ima letu
tewas seketika dan jatuh dari atas pohon lewwa. A’ wote abo ama lalu memotong
kaki dan tangan sadu rupa lima letu dan kemudian dibawanya menuju namang
(tempat hiburan) dimana seluruh masyarakat sadu rupa lima letu sedang
berpesta. Ia lalu membuangkaki dan tangan sadu rupa lima letu ketengah
kerumunan. Melihat itu masyarakat menjadi panik, ditengah kepanikan seorang
tukang sole masih sempat lagukan solenya yang berbunyi: “ sedan aku digelema,
pelali lei ge sadu rupa lima letu lei hae. Tutu padu solang dama dai hotoro uhe “
obor kemudian dinyalakan untuk memastika kaki dan tangan siapa yang dibuang
itu. Masyarakat terkejut dan semakin panik ketika mengetahui bahwa kaki dan
tangan tersebt milik panglima besar mereka sadu rupa lima letu. Karena ketakutan
mereka kemudian melarikan diri untuk bersembunyi. Ketika pagi menjelang, ekan
watan lolon membunyikan nafiri untuk memanggil masyarakatnya berkumpul dan
menguburkan mayat panglima besar mereka.
Suasana haru menyelimuti masyarakat sadu rupa lima letu. Kesedihan itu
semakin menjadi ketika kemudian diketahui bahwa orang yang menbunuh sadu
rupa lima letu adalah suami dari somi solang gewo- a’ wote abo ama. Akibat
kejadian ini perang sempa terhenti untuk beberapa saat.
Namun setelah itu, ekan watan lolon membangun lagi kekuatan untuk
melancarkan serangan kepada suku serang gorang dan tanah tawa. Lagi-lagi
korban berjatuhan terlebih pada suku serang gorang dan suku tanah tawa.

23
Dituturkan pula bahwa, perang saat itu menyebar sampai ke lewotolok. Ekan
watan lolon dan pasukannya selalu menang dalam pertempuran itu. Oleh karena
kemenangan dalam peperangan, ekan watan lolon kemudian melagukan sebuah
sole sebagai berikut: “ jadi hala, hala lawa jadi hala, tolok ile ale gole, lawa jadi
hala”. Sole sindiran ini menyebabkan kemarahan besar pihak serang gorang dan
tanah tawa. Strategi perang baru pun mulai disusun. Para prajurit serang gorang
pun diperintahkan panglimanya untuk menggali lubang jebakan dan memasang
ranjau pada tempat yang biasa dilalui ekan watan lolon musuh besar mereka.
Strategi ini berhasil menangkap ekan watan lolon. Tubuh ekan watan lolon
kemudian ditarik ke kampung serang gorang oleh panglima hala tede dan
prajuritnya. Rakyat serang gorang yang selama ini memendam kemarahan
berbondong-bondong datang menyaksikan musuh besar mereka yang berhasil
ditangkap. Tak ketinggalan kaum ibu, yangdatang dengan membawa pisau dan
mengiris sedikit demi sedikit tubuh ekan watan lolon. Luka yang mengangah
kemudian disirami garam bercampur Lombok dan cuka. Tidak puas dengan
perlakuan itu, ekan watan lolon kemudian diseret ke lewotolok untuk didera.
Dalam perjalanan pulang ekan watan lolon meratapi nasibnya sebagai berikut: “
kaka sadu take kae, nong go ekan watan lolon gali hae, pana-pana kai mataj lali
kepa bunu tali, gawi-gawi kai lola weli wulo dopi lara. Tanah sira paji ike ekan laga
doni pama buto bote nai doan kuma doro nai lela”. Pada akhirnya ekan watan
lolon meninggal dan dimakamkan disebuah tempat yang bernama “kepa tawa”
Meninggalnya dua panglima perang ini membuat rakyat watowita dan kumata
bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Dibawah pimpinan anak kandung
sadu rupa lima letu yang bernama leba letu, mereka kemudian pergi mencari
tempat hunian baru. (sumber: hasil dengan wawancara bapak Gabriel Emi
Purek,jumat 10 agustus 2018)

 Terbentuknya Kampung Adat Lewohala dan Rumah Adat Matarau

Berdirinya Kampung Adat Lewohala ditandai dengan upacara sejuk dingin yang
disebut dengan “tewu tanah sira paji,wullu bure bala kanera, hodi ekan lagadoni
lodan sode naming gole” (upacara menebus tanah dengan sebatang gading-moko
24
dan kalungemas/lodan). Setelah penyerahan benda-benda adat tersebut,
masyarakat Serang Gorang dan masyarakat Tanah Tawa dibawa pimpinan
pembesarnya masing-masing membangun lewotanah atau lewohala mereka
membangun rumah untuk dihuni sebanyak 77 buah rumah yang kemudian
berkembangbang menjadi 77 suku salah satunya adalah Rumah Adat Matarau.
(sumber: hasil dengan wawancara bapak Gabriel Emi Purek,jumat 10 agustus
2018 )

3.3.2 Adat Istiadat

Rumah adat Matarau masayarakat memegang teguh adat istiadat sehingga


rumah adat ini masih terjaga sampai saat ini untuk genarasi sekarang dan yang
akan datang. Selain rumah adat, ada pula upacara-upacara adat yang masih
dilestarikan sampai saat ini yaitu upacara adat perkawinan, acara adat pesta
kacang yang terjadi pada bulan September - oktober , upacara adat “soro laku”
atau upacara adat bagi pasangan yang memperoleh keturunan pertama dan juga
upacara mendirikan rumah adat.

3.3.3 Kesenian
A. Tarian Adat

Tarian adat yang ada di kampung adat Lewohala biasanya dilakukan jika adanya
acara adat yang dilakukan dikampung adat Lewohala. Berikut ini adalah macam-
macam tarian yang ada di kampung adat Lewohala.

1. Hedung/ tari perang

Hedung / tari perang


(sumber : Google)

25
2.      Tari rotan

3.      Tari neba

4.      Tari tambang

5.      Tari bamboo

(sumber: hasil wawancara dengan bapak Gabriel Emi Purek,jumat 10 agustus


2018 )

3.3.4 Pakian Adat dan Fungsinya


a) Wate hebe, topo, kerokong: pakian harian/pesta dan dapat digunakan untuk
hadiah bagi anak-anak pada saat pernikahan

(sumber : Google)

b) Wate mea: digunakan untuk balas gading dan juga hadiah buat anak gadis
pada saat pernikahan.
c) Senai/kewodu/senawe: pakian harian buat pria

Senai/kewodu/senawe (pakian adat pria

(Sumber : google)

26
(sumber: hasil wawancara dengan bapak Gabriel Emi Purek,jumat 10 agustus
2018 )

3.3.5 Proses pembuatan rumah adat

a.       Proses pembuatan rumah adat

Pembuatan Dena (Dolu Alang) / Boti Atu – Borang Kota

b.      Pengadaan bahan-bahan local :

 Pengadaan tiang
 Pengadan palang (munung-mape)
 Pengadaan kuda-kuda dan tongkat kuda-uda (nu lake-wola wae)
 Palang atas, bawah, muka dan belakang (nore-kawang-blope)
 Pengadaan bahan-bahan penangkis bala/penyakit (kotemane)
 Pengadaan atap dan tali pengikat setelah semua bahan siap, membangun
rumah sampai selesai.

(sumber: hasil wawancara dengan bapak Gabriel Emi Purek,jumat 10 agustus


2018 )

3.3. Tapak
 Pola tapak pemukiman Kampung Adat Lewohala
Permukiman adat lewohala berbentuk mengelompok/tanean (cluster) dan sebagian
besar bentuk rumahnya masih merupakan bentuk rumah asli dari jaman nenek
moyang masyarakat Nggela yang dipertahankan

Namang Dan Lewu


Kepuhur

27
 Elemen- elemen tapak
 Lewo kepuhur
Lewu kepuhur bisa diartikan sebagai sarang kampung atau inti kampung, fungsi
Lewu Kepuhur ini adalah alat untuk berkomunikasi antara masyarakat Kampung
Adat lewohala dengan para nenek moyang Kampung Adat Lewohala.

(Sumber : foto Lewu Kepuhur, hasil studi lapangan 09 agustus 2018)

 Namang
Namang merupakan ruang terbuka publik sebagai tempat untuk melakukan
upacara adat, berkumpul bersama masyarakat dan lain-lain, letak namang
sendiri terletak di dekat Lewu Kepuhur.

(Sumber : Namang, hasil studi lapangan 09 agustus 2018)

 Zona peruntukan bagi rumah-rumah adat yang dibagi dalam beberapa petak
atau pematang.
28
Fungsi ini adalah pembagi kampung menjadi beberapa petak, sebab
kondisi geografis pada Kampung Adat Lewohala adalah berupa tanah miring
dengan kemiringan diata 30º. Strategi ini adalah memungkinkan adanya
permukaan datar yang bisa dijadikan wadah untuk membangun rumah masing-
masing suku.
 Koke
Fungsi koke adalah sebagai fungsi tempat perjamuan bersama suku-suku
yang selain memiliki lokasi rumah berdekatan juga berdasarkan sejarah suku
yang masing-masing memiliki hubungan erat. Jumlah koke pada Kampung Adat
Lewohala terdapat 5 buah diantaranya Koke Leuwalang leragere yang
mengakomdir 5 suku, Koke Wangubelen mengakomodir 42 jenis suku, Koke
Pureklolon Balawangak yang mengakomodir 19 suku, Koke Dulimaking yang
mengakomodir 13 suku. (sumber : Yohanes Langotukan,Hasil penelitian dan
disertasi,2014)
 Bale Bu Patih Arakian
Fungsi Bale Bu Patih Arakian adalah salah satu fungsi khusus bagi Raja
Adonara yang memiliki wilayah kekuasaan hingga wilayah Ile Lewolotok secara
keseluruhan. Lokasi Bale Bu Patih Arakian ini berada do sebelah barat Namang
atauberada dalam satu kesatuan fungsi Namang atau ruang tebuka publik.
(sumber : Yohanes Langotukan,Hasil penelitian dan disertasi,2014)
 Wule
Fungsi Wule adalah bisa disebut sebagai pasar tradisional. Dalam
penelitian ini ditemukan lokasi yang dahulunya dijadikan sebagai tempat
terjadinya aktivitas jual beliyang ada pada saat itu dilakukan dalam bentuk
barter. Lokasi Wule ini disudut kanan depan rumah adat suku Benimaking
Watukepeti. (sumber : Yohanes Langotukan,Hasil penelitian dan disertasi,2014)
 Akses Jalan
Akses jalan dalam dinamika kehidupan Kampung Adat Lewohala adalah
dicluster mejadi tiga bagian besar, yakni akses jalan penghubung vertikal, akses
jalan penghubung horizontal dan Bero Laran.
Aksen vertikal adalah penghubung antar rumah-rumah yang berbeda
petak, dan aksesn horizontal merupakan penghubung antar rumah-rumah adat

29
yang berada dalam satu petak. Akses vertikal tidak memiliki pola yang konsisten
dan berkembang sesuai dengan kemudahan daya jangkau, sedangkan akses
horizontal megintari depan rumah masing-masing suku.
Fungsi Bero Laran merupakan salah satu fungsi penting yang ada
dikampung Adat Lewohala, ebab saat ini hanya dimanfaatkan sebagai fungsi
adat. Fungsi utama Bero Laran adalah sebagai jalur Ama Opo Koda Kewokot
(arwah leluhur yang sudah meninggal). (sumber : Yohanes Langotukan,Hasil
penelitian dan disertasi,2014)
 Vegetasi
Di Kampung Adat Lewohala sendiri memiliki bebrapa vegetasi atau tumbuhan ,
seperti : pohon lamtoro (sebagai pengarah jalan menuju kampung adat), pohon
tuak/koli, pohon pisang, pohon gamal dan pohon asam.

3.5 Arsitektur

3.5.1 Tipologi Arsitektur


Tipologi arsitektur Lamholot khususnya rumah adat Matarau :
a) Fungsi
Pada awalnya rumah adat Matarau merupakan rumah suku pendatang
yaitu suku Matarau, yang datang dan menetap di Kampung Adat Lewohala,
nama Matarau sendiri dipilih karna sesuai dengan nama suku yang
tinggal/menetap di rumah adat Matarau.
Seiring dengan berjalannya waktu , untuk saat ini rumah adat Matarau
memiliki fungsi sebagai tempat untuk berkumpul dan sebagai tempat
pelaksanaan acara adat bagi suku Matarau.
b) Bentuk
Jika dilihat bentuk rumah adat Matarau sendiri memiliki bentuk hampir
seperti rumah panggung dimana pada bagian dalam rumah adat Matarau
menggunakan bale-bale sebagai tempat istirahat, tempat penyimpanan makan
dan aktivitas lainnya, serta bentuk denah persegi yang disesuaikan dengan atap
yang berbentuk limas seperti kapal terbalik .

30
(Sumber : foto tampak depan rumah adat, hasil studi lapangan 09 agustus 2018)

c) Langgam
Tipologi langgam pada arsitektur ini merupakan sebuah gaya arsitektur
yang merupakan ciri khas dari sebuah bangunan yang berada pada wilayah
tertentu yang tidak dimiliki oleh arsitektur lain.
Bisa dilihat ciri langgam yang ada dimana pada bagian atas atap yang
terdapat ragam hias berupa tepurung kelapa, dll dan juga atap dari rumah adat
yang berbentuk limas segi empat yang terdapat pada masing-masing rumah
adat.
Tipologi langgam ini terlihat pada arsitektur Lamaholot yang secara
keseluruhan bangunanya sama, baik bentuk ataupun tampilanya sedangkan
bentuk secara keseluruhan didominasi bentuk persegi. Arsitektur lamaholot
khususnya rumah adat Matarau menggunakan material-material lokal seperti:
alang-alang sebagai bahan penutup atap, bambu, kayu , serta tali gewang
sebagai bahan pengikat atap.

3.5.2 Struktur Bangunan


Secara umum struktur bangunan masih sama seperti sedia kala. Misalnya :
1. Sub struktur :
Pondasi pada rumah adat Matarau merupakan 9 tiang utama (liri) ( No 1-9 )
yang ditanam langsung ke tanah dengan kedalaman disesuaikan dengan
keadaan kontur di rumah adat dengan perkiraan 50 cm, dengan ukuran
tiang-tiang utama (liri) dengan ukuran 15 x 15 cm yang ditanam langsung
kedalam tanah.

1 2 3

4 5 6

7 8 9

(Sumber : denah rumah adat Matarau , hasil studi lapangan (Sumber tiang utama , hasil studi lapangan 09 agustus 2018)
09 agustus 2018) 31
2. Super struktur
Terdapat 9 tiang utama (liri) (no 1-9) pada Rumah Adat Matarau selain
digunakan sebagai pondasi tiang utama ini juga berfungsi sebagai penyangga
untuk seluruh bangunan, dengan ukuran tiang utama (liri) 15 x 15 cm yang
menggunakan kayu jati dan juga terdapat 4 tiang teras (tiang mada) (a,b,c
dan d) pada bagian depan untuk menopang bangunan dengan ukuran 6 x 15
cm yang menggunakan kayu jati.
Tiang utama (liri) tidak sejajar dengan tiang teras atau (tiang mada)
tujuannya agar menahan kaso bambu (nore begene)

1 2 3

4 5 6

7 8 9

A B C D

(Sumber : foto tiang utama, hasil studi lapangan 09 agustus 2018)

3. Upper struktur
Untuk atap pada Rumah Adat Matarau sendiri berbentuk limas dengan
dengan penutup menggunakan daun kelapa yang diikat menggunakan tali
gewang (lepa) . Dan kuda- kuda (nu) yang menggunakan material kayu
kelapa dan kaki kuda-kuda (leke wae) yang biasa disebut masyarakat
setempat sebagai suami – istri karena saling terikat dan menggunakan
material kayu kelapa fungsi dari kuda-kuda (nu) dan kaki kuda-kuda (leke
wae) adalah menahan bubungan (wola), bubungan (wola) sendiri
menggunakan material kayu pinang .
Setelah kuda-kuda (nu) dan kaki kuda-kuda (leke wae) didirikan
selanjutnya memasang usuk( nore begene) dengan jarak ditentukan dengan
kondisi bangunan setelah itu memasang balok gantung (mape) dengan
material kayu kelapa yang berfungsi untuk menahan usuk (kea wea one),
gording (kea wea one) menggunakan material bambu dengan jarak yang
disesuaikan, setelah dipasang balok gantung (mape) lalu dipasang gording
(kea wea one) yang menggunakan material bambu (ou) dan berfungsi
sebagai penahan dan juga pembagi jarak usuk (nore begene) seluruhnya
menggunakan sistem ikat dengan menggunakan tali gewang (lepa).
Setelah semuanya dipasang , dianjutkan dengan menutung atap
dengan menggunakan material daun kelapa, semuanya diikat dengan
32
menggunakan tali gewang (lepa) dan terdapat penahan atap bagian bawah
( kea wea woho) dengan menggunakan material bambu (ou).yang digunakan
juga sebagai pengikat gording (kea wea one), bilah bambu sebagai rangka
atap dan pada struktur atap di Rumah Adat Matarau menggunakan sistem
pasak dan ikat.

Potongan Memanjang

(Sumber : foto potongan rumah adat Matarau, hasil studi lapangan 09 agustus 2018)

3.5.3 Ragam Hias

Ragam hias pada rumah adat Matarau terdapat di bagian atas atap , ragam
hias tersebut menggunakan material tempurung kelapa dengan bambu serta
pada bagian atas menggunakan bakal buah kelapa yang Potongan
terdapat 6 buah.Ragam
Melintang
hias ini tidak memiliki arti tersendiri pada rumah adat Matarau , akan tetapi
sebagai aksen pada rumah adat Matarau.

(Sumber : foto ragam hias pada atap, hasil studi lapangan 09 agustus 2018)

3.5.4 Tangga ( Dah)

Tangga pada rumah adat Matarau terletak di Kenata Bale dan juga sebagai
penghubung ke lantai 2, dengan jumlah 3 buah anak tangga dengan lebar anak
33
tangga 60 cm . Material tangga sendiri pada pegangan tangga menggunakan
material bambu (ou) dan pada anak tangga menggunakan kayu jati.

Tangga (Dah)

(Sumber : foto denah , hasil studi


lapangan 09 agustus 2018) (Sumber : foto tangga, hasil studi lapangan 10 agustus 2018)

3.5.5 Lantai
a) Lantai 1
Pada rumah adat Matarau lantai 1 , material lantai menggunakan tanah
yang dipadatkan dan pada lantai 1 digunakan sebagai tempat untuk
melakukan segala aktivitas sehari-hari.

(Sumber : foto lantai, hasil studi lapangan 10 agustus 2018)

b) Lantai 2
Pada lantai 2 digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian dan
alat- alat masak. Pada lantai 2 menggunakan material bambu (ou). Teknik
konstruksinya menggunakan sistem ikat, dimana bambu (ou) diikat pada
balok utama.

34
BAB IV

ANALISA
4.1 Analisa Tapak

4.1.1 Struktur atau pola ruang

Namang Dan Lewu


Kepuhur

Konsep pemukiman pada Kampung Adat Lewohala yaitu mengelompok (cluster)


hal ini dibuktika dengan adanya arah bangunan Rumah Adat Lewohala yang
berorientasi ke arah laut karena nene moyang pada Kampung Adat Lewohala pecarian
utama adalah sebagai nelayan. Konsep penataan pada kampung adat Lewohala adalah
rumah adat pada Kampung Adat Lewohala dibagi menjadi beberapa petak atau
pematang karena kondisi geografis pada Kampung adat Lewohala yang miring.

Pemukiman ini terdapat 2 ruang luar, zona inti dimana terdapat ruang untuk
melakukan komunikasi dengan para leluhur (lewu kepuhur), tempat perjamuan para
suku (koke),dan zona publik yaitu Ruang terbuka publik bagi masyarakat (Namang)
kedua zona ini berada di satu tempat yang sama.

 Zona inti
Zona ini terdapat tempat untuk melaksanakan kegiatan yang sakral, zona
ini disakralkan karena merupakan kuburan para leluhur dan merupakan tempat
35
untuk melakukan komunikasi dengan para leluhur yang biasanya disebut Lewu
Kepuhur dan juga terdapat tempat untuk melakukan perjamuan atar suku yang
biasa disebut Koke. (sumber : Yohanes Langotukan,Hasil penelitian dan
disertasi,2014)
Keyakinan akan kesakralan Lewu Kepuhur ini ditunjukan misalnya ketika
ingin melakukan setiap kegiatan yang dilakukan untuk kebaikan seluruh warga
Kampung Adat Lewohala, bisa didapatkan melalui Lewu kepuhur ini.
 Zona publik
Zona ini merupakan tempat berkumpulnya masyarakat dalam
permukiman adat ini untuk bersosialisasi. Dan merupakan konsep ruang terbuka
publik yang digunakan sebagai tempat bersosialisasi, rekreasi dan sebagai
tempat pertemuan masyarakat Kampung Adat Lewohala , tempat ini biasanya
disebut Namang.

4.2 Arsitektur

4.2.1 Pola ruang

Pola ruang pada Rumah adat suku Lamaholot, khususnya pada Rumah
adat Matarau memiliki konsep ruang semi terbuka yaitu pada lantai 1 tidak
memiliki dinding dan pada lantai 2 yang tertutup dan tidak memiliki
bukaan.Pada lantai 1 merupakan ruang sebagai tempat melakukan segala
aktivitas sehari-hari dan lantai 2 yang merupakan ruang untuk menyimpan hasil
tani dan alat masak.

Untuk pola ruang pada Rumah Adat Matarau dibagi atas pola ruang
horizontal dan pola ruang vertikal .

1. Pola ruang horizontal


pola ruang horizontal pada umumnya digunakan untuk aktivitas sehari-
hari dan hanya terdapat 1 ruang yang digabungkan untuk melakukan
segala aktivitas didalam ruang tersebut ketika semakin kebelakang
semakin penting/sakral ruangan tersebut yang ditandai dengan bale-
bale yang terdapat dibagian belakang yaitu kenata bale (tempat untuk
melaksanakan serimonial) sehingga pada ruangan ini , semakin
36
kebelakang semakin penting/sakral ruangan tersebut. Adapun yang
terdapat pada Ruangan tersebut :
 Kenata Mada (teras)
 Uli Ana Belake (tempat untuk pria)
 Uli ana Berwahe ( tempat untuk membagi makanan)
 Kenata Bale (tempat untuk kelengkapan adat dan serimonial)
 Tungku

(Sumber : foto denah lantai 1, hasil studi lapangan 10 agustus 2018)

2. Pola ruang Vertikal

Ruang atas

Ruang Bawah

(Sumber : potongan memanjang, hasil studi lapangan 10 agustus 2018)

 Ruang bawah

37
Merupakan ruang yang digunakan sebagai tempat tinggal dan juga
dipergunakan untuk aktivitas sehari-hari bagi penghuni rumah adat
Matarau .

 Ruang Atas
Ruang atas merupakan ruang yang digunakan sebagai tempat untuk
menyimpanan hasil tani dan peralatan masak dan tempat dimana
struktur atap ditempatkan.
4.2.1 Bentuk dan Tampilan

Bentuk dan tampilan dari rumah adat Matarau secara keseluruhan tidak jauh
berbeda dengan bentuk dan tampilan dari rumah adat yang lain pada umumnya yang
berada di kampung adat Lewohala. Secara keseluruhan atap rumah adat lamaholot
berbentuk limas seperti kapal terbalik . Rumah adat matarau memiliki proporsi bentuk
atap yang tidak simetris ketika dilihat dari samping maka atap akan terlihat tidak
simetris. Jika dilihat dari tampilan pada rumah adat Matarau merupakan rumah yang
hampir mirip dengan rumah panggung, terbuka dan tidak terdapat dinding , sehingga
hanya menggunakan tirai penutup sebagai pengganti dinding, akan tetapi seiring
waktu berjalan masyarakat tidak lagi menempati rumah adat Matarau maka tidak lagi
menggunakan tirai sebagai pengganti dinding sehingga dibiarkan terbuka dan juga
terdapat aksen pada bagian atas atap Rumah adat Matarau .

(Sumber : foto tampak depan rumah Adat Matarau, hasil studi lapangan 10 agustus 2018)

4.3 Struktur dan Konsturksi

Pada rumah adat Matarau menggunakan konsep struktur dilatasi yaitu sebuah
sambungan atau pemisahan pada bangunan karena memiliki sistem struktur berbeda.
Dilihat dari struktur dan konstruksi rumah adat Matarau, terdapat pemisahan struktur
yaitu pada tiang utama (liri) dan tiang bale-bale, dimana tiang utama (liri) khusus
untuk memikul beban bangunan dan tiang bale-bale yang khusus untuk menahan bale-
38
bale sehingga ada pemisahan struktur pada rumah adat Matarau. Sehingga bangunan
ini cukup untuk menahan gempa.

Jika dilihat dari sistem konstruksi , pada bagian pondasi dan tiang utama
menggunakan jenis kayu kelas 1 yaitu kayu jati yang kuat,tidak mudah rusak, lapuk
dan anti rayap sehingga menggunakan kayu jati karena kondisi iklim yang cukup panas
dan tiang utama yang ditanam kedalam tanah. Untuk dinding , rumah adat Matarau
pada awalnya menggunakan tirai sebagai pengganti dinding , akan tetapi seiring
berjalannya waktu dan masayarakat tidak lagi menghuni kampung adat Lewohala ,
sehingga rumah adat Matarau tidak lagi menggunakan tirai dan dibiarkan terbuka, akan
tetapi cukup untuk mengatasi kondisi iklim di kampung adat Lewohala. Dan untuk
material yang digunakan pada rumah adat Matarau menggunakan material-material
lokal yang ada disekitar kampung adat lewohala yaitu alang-alang sebagai bahan
penutup atap , kayu pinang dan bambu sebagai struktur atap dan kayu jati sebagai
tiang utama.Tidak ada perubahan yang signifikan struktur dan konstruksi dari rumah
adat Matarau, karena masih terjaga sampai dengan saat ini.

4.4 Ragam Hias

Ragam hias pada rumah adat Matarau terdapat di bagian atas atap , ragam hias
tersebut menggunakan material tempurung kelapa dengan bambu serta pada bagian
atas menggunakan bakal buah kelapa.Ragam hias ini tidak memiliki arti tersendiri pada
rumah adat Matarau , akan tetapi sebagai aksen pada rumah adat Matarau dan
terdapat 6 buah.

(Sumber : foto ragam hias pada atap, hasil studi lapangan 09 agustus 2018)

4.5 Analisa Iklim

39
Pada dasarnya iklim dipengaruhi oleh matahari, dan hujan hal ini menyebabkan
atau mempengaruhi bentuk-bentuk dari arsitektur salah satunya adalah arsitektur
tradisonal Lamaholot khususnya rumah adat Matarau. Rumah adat Matarau merupakan
jenis rumah adat yang menggunakan panggung dan tidak adanya dinding. Terdapat
juga bebrapa permasalahan pada arsitektur Lamaholot yang diakibatkan oleh kondisi
iklim.

1. Terhadap Hujan

Rumah adat Lamaholot khususnya rumah adat Matarau menggunakan


bahan penutup atap yang terbuat dari alang-alang hal tersebut sudah cukup
efektif untuk menyelesaikan permasalahan terhadap hujan, oleh karena itu untuk
menghidari terjadinya kebocoran pada rumah adat ini maka atap yang dibuat
cukup curam sehingga bila terjadi hujan air hujan langsung turun dan tidak
tergenang pada atap. Dan untuk kelembapan pada rumah adat Matarau rumah
ini dibuat dengan konstruksi rumah panggung dan juga rumah adat Matarau dan
tidak memiliki dinding, sehingga dapat mengatasi kelembapan yang ada.

(Sumber : foto bale-bale, hasil studi lapangan


(Sumber : foto hasil studi lapangan 09 agustus
09 agustus 2018)
2018)
2. Terhadap Matahari

Persoalan terhadap matahari pada rumah adat Matarau yang dapat


diselesaikan dengan baik, dilihat dari bentuk atap yang curam dan cukup besar
dan jurai atap yang hampir mendekati tanah sehingga dapat menghalangi sinar
matahari langsung ke dalam bangunan. Selain itu penggunaan bahan penutup
40
atap pada rumah adat Matarau dari alang-alang yang cukup bagus dimana alang-
alang ini tidak menerima panas sehingga ruangan didalamya tidak panas
melainkan terasa sejuk. Penggunaan material alang-alang ini bila dibandingkan
dengan material penutup atap lainnya seperti seng maka ruangan didalamnya
akan terasa panas karena seng bersifat menerima panas.

(Sumber : foto atap rumah adat Matarau, hasil


studi lapangan 09 agustus 2018)

3. Terhadap Suhu dan Penghawaan

Terhadap suhu dan penghawaan pada rumah adat Matarau sudah dapat
juga diatasi dengan baik , hal ini dilihat dari rumah adat Matarau yang tidak
memiliki dinding sehingga aliran udara pada rumah adat Matarau cukup baik.
Sedangkan pada lantai 2, aliran udara yang ada kurang baik karena pada latai 2
tidak adanya bukaan, sehingga aliran udara pada lantai 2 kurang baik.

(Sumber : Aliran udara rumah adat Matarau ,


hasil analisa 10 januari 2019)

4. Terhadap Pencahayaan

Pencahayaan alami pada rumah adat Matarau adalah belum dapat


memaksimalkan atau meminimalkan cahaya dengan baik, dimana pada lantai 1

41
rumah adat Matarau memiliki pencahayaan yang baik karena pada lantai 1 tidak
memiliki dinding, sedangkan pada lantai 2 kurangnya pencahayaan sehingga pada
lantai 2 cukup gelap karna tidak adanya bukaan pada lantai 2 akan tetapi itu tidak
menjadi permasalahan yang cukup mengganggu karena pada lantai 2 hanya
digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil tani. Sedangkan untuk pencahayaan
buatan pada rumah adat matarau belum ada karena aliran listrik yang belum ada
pada kampung adat Lewohala.

4.6 Dinamika Perkembangan Arsitektur

Pada umumya dinamika perkembangan di kampung adat Lewohala dapat dilihat


melalui perkembangan pada elemen tapak. Dinamika perkembangan arsitektur yang
terjadi pada kampung adat Lewohala dari segi arsitektur tidak mengalami perubahan
secara signifikan. Perubahan yang terjadi pada elemen tapak yaitu dengan adanya wc
umum dan juga terdapat bak penampung yang sudah tersedia hal ini didasari karena
sumber air yang terdapat pada kampung adat Lewohala yang susah.

Perkembangan arsitektur Lamaholot juga bisa dilihat pada bangunan dengan


konsep arsitektur Lamaholot misalnya pada kantor DPRD Lembata yaitu pada bagian
atap yang menggunakan konsep arsitektur Lamaholot pada bagian atap.

Atap dari arsitektur


Tempat Lamaholot
penampungan air

Kantor DPRD Lembata


(Sumber : foto hasil studi lapangan 10
agustus 2018) (Sumber : Google)

42
BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan tentang Arsitektur Lamaholot khususnya pada rumah


adat Matarau, maka diambil kesimpulan :

1. Konsep pada Asitektur Lamaholot khususnya pada rumah adat matarau adalah
Konsep struktur dan konstruksi yang menggunakan konsep dilatasi dan konsep
pola ruang yang semi terbuka agar dapat mengatasi iklim yang ada pada
Kampung Adat Lewohala begitupun dengan karakteristik arsitektur Lamaholot
khususnya pada rumah adat matarau dilihat dari bentuk atap yang berbentuk
limas seperti kapal terbalik dan rumah yang hampir seperti rumah panggung.
2. Arsitektur Lamaholot khususnya rumah adat Matarau dapat mengatasi iklim
dengan cukup baik dilihat dari bentuk atap yang curam, bahan atap yang terbuat
dari alang-alang dan tidak memiliki dinding sehingga dapat mengatasi iklim yang
ada di kampung adat Lewohala dengan baik.
3. Perkembangan arsitektur Lamaholot khususnya arsitektur rumah adat Matarau
dilihat dari gedung yang saat ini sudah menerapkan arsitektur Lamaholot yaitu
Kantor DPRD Lembata yang menerapkan arsitektur Lamaholot yaitu pada bagian
atap yang menggunakan atap arsitektur Lamaholot.

5.2 SARAN

Untuk pengembangan lebih lanjut, penulis memberikan beberapa saran yaitu :

1. Arsitektur Lamaholot perlu dijaga kelestariannya agar dapat dinikmati untuk


generasi penerus yang akan datang sehingga dapat mengetahui bagaimana
arsitektur Lamaholot.

43
2. Harus adanya informasi yang lebih jelas mengenai arsitektur Lamaholot agar
dapat menambah tingkat pemahaman mengenai Arsitektur Lamaholot khususnya
rumah adat Matarau.

44
DAFTAR PUSTAKA

Baswara. 2010. Jurnal Arsitektur: (re)interpretasi arsitektur vernakular: humanis,


progresif, dan kontekstual dalam peradaban manusia.

Irfandi. 2013. Jurnal Arsitektur : Pengaruh iklim dalam perancangan arsitektur.

Bakhtiar. 2014. Tipe teori pada arsitektur nusantara menurut Josef Prijotomo.

Hairiah. 2014. perubahan iklim: sebab dan dampaknya terhadap kehidupan

45

Anda mungkin juga menyukai