Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

INTERIOR NUSANTARA

“Merumuskan dan Menganalisa Pengadopsian Konsep,Tipologi dan Morfologi


Ruang Bentuk Arsitektur dan Interior Padang, Dayak, Batak”

DOSEN PEMBIMBING
Putri Sekar Hapsari , S. Sn., M. Sn

DISUSUN OLEH
Hanifah Laili Muntaha Putri
NIM. 211501064

DESAIN INTERIOR
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Merumuskan dan Menganalisa
Pengadopsian Konsep,Tipologi dan Morfologi Ruang Bentuk Arsitektur dan Interior Padang,
Dayak, Batak” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah Interiro Nusantara. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Konsep,Tipologi dan Morfologi Ruang Bentuk Arsitektur dan Interior
Padang, Dayak, Batak bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Putri Sekar Hapsari , S. Sn., M. Sn

selaku dosen mata kuliah Interior Nusantara yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan demi kesempurnaan makalah ini.

Tuban, 26 September 2021

Penulis

Hanifah Laili Muntaha Putri


Daftar Isi
Kata Pengantar.....................................................................................................................2
BAB I.....................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG............................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................................5
C. TUJUAN MASALAH...............................................................................................5
D. MANFAAT PENULIS..............................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................6
A. SUKU MINANGKABAU.......................................................................................6
B. RUMAH ADAT SUKU MINANG (RUMAH GADANG)....................................6
C. KONSEP DAN PANDANGAN TERWUJUDNYA ARSITEKTUR DAN
INTERIOR RUMAH GADANG.......................................................................................7
D. TIPOLOGI DAN MORFOLOGI BANGUNAN RUMAH GADANG..................8
F. Pola Pemukiman....................................................................................................12
G. KARAKTERISTIK RUMAH TRADISIONAL MINANGKABAU....................13
H. SUKU BATAK TOBA..........................................................................................14
J. LOKASI,TOPOGRAFI DAN IKLIM WILAYAH BATAK TOBA........................16
K. BENTUK BANGUNAN RUMAH ADAT SUKU BATAK TOBA.....................17
L. MAKNA BAGIAN- BAGIAN RUMAH..............................................................21
M. TIPOLOGI BENTUK DAN STRUKTUR RUMAH ADAT BATAK TOBA.....25
N. SUKU DAYAK.....................................................................................................26
O. RUMAH ADAT DAYAK.....................................................................................27
P. TIPOLOGI RUMAH ADAT DAYAK..................................................................27
BAB III................................................................................................................................29
PENUTUP...........................................................................................................................29
KESIMPULAN...................................................................................................................29
Daftar Pustaka................................................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Keindahan arsitektur nusantara telah dikenal luas dan banyak dieksplorasi sejak
masa Kolonial atau penjajahan bangsa asing di kepulauan nusantara. Arsitektur
nusantara sebagian besar merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun
berdasarkan adat dan tradisi setempat. Proses pendirian rumah tradisional sejak awal
penentuan lokasi hingga didirikan dan dihuni, tidak pernah lepas dari pengaruh adat,
kepercayaan dan tradisi. Oleh karena itu, arsitektur nusantara seringkali disebut juga
sebagai Arsitektur Tradisional atau Rumah Tradisional.
Pengertian atau konsep rumah bagi penduduk asli kepulauan Nusantara berbeda
dengan konsep rumah bagi bangsa Barat atau Eropa. Bagi bangsa Barat atau Eropa,
rumah merupakan tempat tinggal, istirahat dan berteduh. Akan tetapi bagi penduduk
asli, rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, namun juga sebagai
penggambaran dunia secara mikro (mikrokosmos) dari dunia tempat hidup manusia
(makrokosmos). Dengan demikian rumah tidak hanya sekedar tempat atau ruang
dibawah naungan namun juga bagian dari dunia. Konsep rumah yang demikian
ditemukan pada hampir di seluruh Rumah Tradisional di penjuru nusantara.
Arsitektur tradisional merupakan hasil dari lingkungannya sehingga tiap
daerah memiliki berbagai varian yang dibangun sebagai respon dari kondisi alam,
ketersediaan material, iklim dan vegetasinya (Dawson & Gillow, 1994). Selain
itu, pembangunan Rumah Tradisional selalu melibatkan tidak hanya pemilik
rumah namun juga seluruh masyarakat setempat atau komunitas. Tahapan
pembangunan rumah, dari pemilihan tapak dan bahan, mempertimbangkan adat
dan kondisi lingkungan. Teknik pembangunan diturunkan dari generasi ke
generasi baik melalui legenda, pantun, cerita ataupun melalui proses magang.
Pemilihan material bangunan menggunakan material lokal yang ditemui di sekitar
pemukiman. Sistem struktur dan konstruksi disusun bukan dari hasil perhitungan
mekanika namun berdasarkan uji coba (trial and error) yang berlangsung selama
bertahun-tahun. Karena itu, Rumah Tradisional mampu bertahan hingga puluhan
bahkan ratusan tahun dan sangat sesuai dengan kondisi iklim, cara hidup dan kondisi
geografis nusantara yang termasuk dalam garis patahan lempeng bumi yang rawan
gempa.
Rumah Adat merupakan ciri khas bangunan suatu etnik di suatu wilayah tertentu.
Masing-masing daerah (wilayah) tersebut yang memiliki keragaman dan kekayaan
budaya. Termasuk pula rumah adat Padang,Dayak dan Batak yang akan kita bahas pada
penulisan makalah kali ini. Salah satunya Rumah adat Padang yaitu rumah adat suku
minangkabau. Rumah Tradisional suku Batak Toba dan Minangkabau memiliki
kesamaan dalam hal bentuk atap dan konstruksi rumah panggung. Rumah Tradisional
kedua suku tersebut terkenal dengan lengkungan atap yang menjulang tinggi. Bagi
kedua suku tersebut, makna lengkungan atap menggambarkan tanduk kerbau. Namun
beberapa penelitian terdahulu oleh para antropolog (Waterson 1980; Dawson & Gillow,
1994) menyebutkan adanya kesamaan dengan bentuk atap suku-suku lain di penjuru
nusantara yang menyerupai bentukan perahu.
Bentuk geometri Rumah Tradisional Batak Toba dan Minangkabau dan
menggambarkan keindahan arsitektur kayu nusantara. Akan tetapi, perkembangan
arsitektur di Indonesia masa kini lebih mengacu pada arsitektur dari Barat. Unsur-unsur
lokal dianggap telah kuno dan tidak menarik. Kearifan lokal dan tradisi ikut tergerus
perkembangan jaman. Di sisi lain, Arsitektur nusantara yang dianggap kuno tersebut
telah terbukti mampu bertahan melewati waktu yang panjang. Oleh karena itu,
kesadaran akan pentingnya belajar kembali kearifan arsitektur nusantara kini mulai
berkembang seiring dengan berbagai bencana yang terjadi. Gempa yang menimpa
daerah Aceh, Nias, Padang dan daerah-daerah lain di nusantara telah merenggut banyak
korban jiwa. Yang sangat disayangkan, banyaknya korban jiwa diakibatkan oleh
konstruksi bangunan yang tidak tahan gempa. Untuk mendirikan bangunan masa kini
dengan bentuk dan sistem yang sama persis dengan Rumah Tradisional sangat sulit
dilakukan. Telah terjadi pergeseran cara hidup warga yang semula didominasi petani
menjadi masyarakat perkotaan atau urban. Selain itu, material Rumah Tradisional yang
semula banyak ditemukan, kini menjadi langka akibat eksploitasi hutan dan perubahan
pola pemukiman. Akan tetapi, mempelajari arsitektur Rumah Tradisional dapat
memberikan landasan pijak yang baik bagi arsitek-arsitek muda bagi perkembangan
Arsitektur di Indonesia masa kini.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana konsep pandangan terwujudnya arsitektur dan interior rumah adat


Padang,Dayak dan Batak?
2. Bagaimana Tipologi dan morfologi rumah adat Padang,Dayak dan Batak?
3. Bagaimana bentuk arsitektur dan interior rumah adat Padang,Dayak dan Batak?

C. TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui bagaimana konsep pandang terwujudnya arsitektur dan interior


rumah adat Padang,Dayak dan Batak.
2. Untuk mengetahui Tipologi dan morfologi rumah adat Padang,Dayak dan Batak.
3. Untuk mengetahui bentuk arsitektur dan interior rumah adat Padang,Dayak dan Batak.

D. MANFAAT PENULIS

Diharapkan hasil penulisan dapat memperluas wawasan pembaca mengenai


Konsep,Tipologi dan Morfologi Ruang Bentuk Arsitektur dan Interior Padang, Dayak,
Batak.
BAB II
PEMBAHASAN

A. SUKU MINANGKABAU

Suku Minangkabau merupakan sekelompok suku bangsa yang mendiami daerah


propinsi Sumatera Barat. Sejarah kebudayaan Minangkabau diperkirakan berawal
sekitar 500 tahun SM, ketika rumpun bangsa Melayu Muda masuk ke tanah Minang.
Pembauran bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda menurunkan leluhur suku
Minangkabau sebagai pendukung kebudayaan Perunggu dan Megalithikum. Sejarah ini
tidak jauh berbeda dengan sejarah tentang asal usul suku Batak Toba. Sejarah suku
Minangkabau banyak diceritakan dalam budaya lisan (oral), yaitu melalui pantun,
cerita atau yang yang disebut sebagai tambo. Salah satu versi sejarah Minangkabau
menyebutkan suku Minang mempercayai nenek moyang mereka adalah salah seorang
panglima perang Iskandar Zulkarnaen (sebutan bangsa Melayu untuk Alexander the
great). Disebutkan bahwa panglima perang Iskandar Zulkarnaen diusir dari Punjab,
India setelah wafatnya Iskandar Zulkarnaen. Mereka berlayar ke Asia Tenggara dan
mendarat di Minangkabau.

B. RUMAH ADAT SUKU MINANG (RUMAH GADANG)

Gambar Rumah Gadang

Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah


tradisional dan banyak di jumpai di Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Rumah ini juga
disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau
ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Sumatra Barat, Namun tidak
semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya
pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini
boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat
ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.

C. KONSEP DAN PANDANGAN TERWUJUDNYA ARSITEKTUR DAN INTERIOR


RUMAH GADANG

Sebagai karya arsitektur yang merupakan representasi dari kehidupan budaya,


rumah gadang tidak hanya dilihat sebagai sebuah obyek melainkan juga sebagai suatu
produk dari proses berbudaya yang telah mengalami banyak penyesuaian terhadap
kondisi masyarakat dan kondisialam. Dengan mempelajari rumah gadang, secara tidak
langsung kita akan memahami bagaimana masyarakat Minangkabau membentuk jati
diri sesuai dengan pandangan hidup mereka danmengekspresikannya ke dalam wujud
arsitektural.Secara sederhana, rumah gadang sebagai rumah tradisional Minangkabau
adalah rumah tinggal yang dimiliki oleh keluarga besar segaris keturunan ibu atau
menurut sistem matrilineal dan digunakan untuk kepentingan bersama. Lebih luas
lagi, rumah gadang merupakan representasi dari pola dan cara hidup masyarakat
Minangkabau yang juga sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai danpandangan hidup
yang dianut oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri.Rumah gadang sebagai tempat
tinggal keluarga segaris keturunan ibu sangat jelas dipengaruhi oleh sistem genealogis
matrilineal yang dianut masyarakat Minangkabau. Meskipun demiliki oleh kaum,
namun yang berhak tinggal di rumah gadang hanyalah anggota kaum yangperempuan
beserta keluarga intinya termasuk anak dan suaminya. Sedangkan sebagai sebuah
institusi, kenyataannya rumah gadang tidak hanya berperan sebagai tempat tinggal
namun juga merupakan bagian dari unsur kelengkapan adat.Umumnya, rumah gadang
yang terdapat pada tiap daerah di kawasan Minangkabau tidak mempunyai perbedaan
yang mendasar. Namun secara khusus, setiap luhak memang mempunyai ciri khas
tertentu dalam arsitektur rumah gadangnya seperti perbedaan detail elemen
arsitektural.Meskipun demikian, hal ini tidak menjadikan esensi dari rumah gadang
sebagai rumah tradisionalMinangkabau di tiap daerah tersebut menjadi berbeda pula.
Arsitek yang membangun Rumah Gadang yang pertama adalah seorang Cerdik
Pandai Minangkabau yang bernama : Datuk Tan Tejo Gerhano, yang dimakamkan di
Pariangan KabupatenTanah Datar dan makam tersebut dikenal dengan kuburan
panjang yang punya keunikan tersendiri bahwa setiap kali diukur akan berbeda
panjangnya.Rumah Gadang sudah ada atau dikenal di Ranah Minang sebelum Islam
masuk ke Minangkabau secara merata pada abad ke-16. Pada masa sebelum Islam
masuk ke Minangkabau,adat sudah berdiri dan dirumuskan beserta dengan segala
sesuatu kelengkapan adatnya. Dengan kata lain, rumah gadang sebagai salah satu
kelengkapan adat pun sudah ada dan menjadi bagian darikehidupan masyarakat
Minangkabau. Setelah Islam masuk, tidak ada perubahan yang mencolok daribentuk
dan struktur rumah gadang karena nilai-nilai yang diterapkan pada rumah gadang
sebelumnya ternyata cocok dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama
Islam.Pada abad ke-18an masuk pengaruh Aceh ke Minangkabau yang dibawa oleh
saudagar-saudagar Aceh yang berdagang di Minangkabau pada masa itu. Pengaruh
yang terlihat padabangunan rumah gadang adalah adanya tambahan beranda pada
bagian tengah depan rumah gadang yang disebut dengan serambi Aceh. Daerah yang
paling mendapat pengaruh Aceh adalah kawasan pasisia (pesisir) yang merupakan
daerah perluasan dari luhak nan tigodimana pengaruh yang paling mencolok adalah
bagian atap yang umumnya tidak bagonjong.Di MinangKabau, pengaruh Aceh yang
terlihat hanyalah penambahan serambi padabagian depan rumah gadang. Serambi
Aceh ini dijadikan sebagai ruang tamu namunbiasanya hanya diperuntukkan bagi
tamu jauh atau bukan keluarga dekat. Dengan adanya serambi Aceh, akses keluar
masuk rumah gadang pun berubah.

D. TIPOLOGI DAN MORFOLOGI BANGUNAN RUMAH GADANG

Tipologi bangunan rumah tradisional Minangkabau yang di temukan di


lapangan cukup beragam/ bervariasi, yang cenderung dipengaruhi oleh sebaran lokasi
di daerah inti (luhak) dan daerah rantau. Pada daerah ini, perbedaan paling tampak
terdapat pada akses pintu masuk kedalam bangunan, dimana pada Luhak Lima Puluh
Koto dari samping, Luhak Agam dari belakang, dan Luhak Tanah Datar dari depan
bangunan. Bila dibandingkan, variasi pada bangunan rumah gadang di daerah rantau
cenderung lebih banyak /lebih beragam disbanding di daerah luhak. Secara umum,
antara rumah gadang tipe Koto Pilliang dan bodi Chaniago tidak memiliki perbedaan
yang signifikan secara konstruksi bangunan (sustem struktur dan bahan bangunan ),
dimana perbedaan hanya terletak pada keberadaan anjung. Krakteristik utama dari
rumah gadang adalah rumah panggung dengan material dominan kayu, atap
bergonjong dan menggunakan anyaman bambu di bagian samping dan belakang
bangunan.
a. Definisi Morfologi Bangunan
Bangunan arsitektur tentunya tidak aka nada tanpa adanya kehidupan di
dalamnya. Morfologi atau bentuk kulit luar bangunan,ornameenya, dan
perbendaharaan arsitektur yang lain adalah bagian dari kebudayaan manusia dalam
menciptakan ruang. Bangunan arsitektur bukan hanya berupa ruang dan bentuk, tetapi
juga merupakan bahasa yang mencerminkan makna dibalik bentuk dan tujuan dari
pembangunan struktur itu sendiri. Secara sederhana, morfologi merupakan ilmu yan
mempelajari bentuk fisik secara logis. Secara harafiah, morfologi berarti pengetahuan
tentang bentuk.
Aspek morfologi merupakan identifikasi karakter lingkungan yang
diwujudkan melalui bentuk bangunan dimana kualitas figurnya dapat dibaca melalui
pola, hirarki dan hubungan antar ruang. Tiap bagian pada sebuah bangunan arsitektur
nyatanya juga memiliki fungsi simbolis selain fungsi fisik. Bagian- bagian dalam
bangunan arsitektur tradisional memiliki makna yang sangat mendalam bagi
masyarakat setempat yang berkaitan pula dengan falsafah hidupnya.
b. Bangunan Arsitektur Tradisional Rumah Gadang
Pertama kali rumah Minangkabau yang memiliki atap bergonjong dibuat oleh
Datuk Tantejo Gurhano di daerah Padang Panjang, Tanah Datar, hingga pada
akhirnya bentuk rumah gadang ini berkembang mengikuti adat , falsafah, dan
kebudayaan di masing- masing luhak dan aturan pemerintah menurut keselarasan
yang dipakai oleh masing-masing luhak. Susunan dan bentuk rumah gadang
dipengaruhi oleh alam lingkungan , sedangkan adat dan kebiasaan masyarakat
melatar belakanginya. Dengan demikian, lingkungan alam dan social berpengaruh
terhadap bentuk dan susunan rumah gadang Minangkabau tersebut.
E. RAGAM JENIS BENTUK ARSITEKTUR DAN INTERIOR RUMAH GADANG

Perkembangan bentuk rumah gadang mengakibatkan beragamnya bentuk


rumah gadang. Menurut ukurannya, bangunan rumah gadang tergantung pada jumlah
lanjarnya. Lanjar ialah ruangan dari depan ke belakang, sedangkan yang berjajar dari
kiri ke kanan disebut ruang.

Rumah Gadang menurut ukuranya akan diuraikan sebagai berikut :


a. Ruang dengan lanjar dua disebut Rumah Gadang ‘ Lipek Pandan’ yang umumnya
bergonjong 2 buah
b. Ruang dengan lanjar tiga disebut Rumah Gadang ‘ Balah Bubuang’ yang
umumnya memakai 4 gonjong.
c. Ruang dengan lanjar empat disebut Rumah Gadang ‘Gajah Muharam’ yang
umumnya memakai empat gonjong atau lebih.
Beberapa jenis Rumah Gadang yang terdapat di kawasan Alam Minangkabau adalah sebagai
berikut:
1. Gajah Maharam Model bangunan Gajah Maharam bergonjong empat yang ada
di Sehiliran Batang Bengkaweh atau kawasan Lareh Nan Panjang, dianggap
bentuk asal bangunan tradisi Minangkabau. Bangunan ini ada di Pariangan
Padang Panjang, Kab. Tanah Datar dan kawasan lainnya. Ciri bangunan ini adalah
pengakhiran pada kiri dan kanan bangunan yang lurus dan tidak diakhiri dengan
anjung (anjuang) .

2. Gonjong Ampek Sibak Baju Gonjong Ampek Sibak Baju RA suku Koto,
Dt.Tampang, di Koto Pisang (koto Kaciak), desa Pariangan, 5 ruang. Perhatikan
dua gonjong yang ditengah, pengakhiran pada dua gonjong bagian tengah
adalah dalam bentuk garis sibak baju, bentuk dasarnya adalah bangunan Gajah
Maharam .
3. Surambi Aceh Bagonjong Ciek dan Duo Asal bangunan serambi ini muncul dari
kebutuhan penerima tamu yang bukan orang minang (kolonial) yg tidak
diperbolehkan (tabu) masuk ke dalam rumah adat/gadang (Gambar4). Bangunan
Istano Rajo Balun memiliki serambi depan dengan dua gonjong, sejajar dengan
bangunan

rumah gadang Bagonjong Ciek rumah gadang Bagonjong Duo

F. Pola Pemukiman

Di tanah Minang terdapat beberapa pedesaan yang tergabung dalam luhak


luhak. Hingga saat ini masih terdapat desa-desa dengan rumah tradisional dan
pola tatanan yang masih utuh dan terawat. Dalam sebuah pedesaan terdapat balai
adat, masjid, dan rumah tradisional lengkap dengan rangkiang (lumbung padi).
Rumah tradisional Minangkabau dikenal luas dengan sebutan rumah gadang.
Menurut Soeroto (Minangkabau, 2005), sejak zaman kerajaan Dusun Tuo
telah disepakati berdirinya nagari dalam Luhak harus memiliki sejumlah sarana
dan prasarana pokok sebagai persyaratan, meliputi:
 Bakorong bakampung (dusun dan kampung)
 Babalai adat (balai adat)
 Basawah-ladang (sawah-ladang)
 Balabuah (jalan)
 Batapian (sungai tempat mandi), dan
 Bamasajik (masjid – tambahan sejak masuknya agama Islam abad ke-16)
Gambar Prototipe susunan rumah gadang dan rangkiang keluarga sa-kaum.
Sumber: Soeroto (Minangkabau, 2005, p.74)
Rumah gadang biasanya dibangun berdekatan dengan rumah keluarga
sebelumnya sehingga dalam suatu area, biasanya masih ada hubungan
kekerabatan . Pola tatanan massa memusat di tengah, yaitu pada
jajaran rangkiang sedangkan jalan kampung berada di belakang rumah. Jalan masuk
berada di tengah jajaran rumah gadang.

G. KARAKTERISTIK RUMAH TRADISIONAL MINANGKABAU

Karakteristik rumah tradisional Minangkabau terdiri atas 2 keselarasan yaitu sebagai


berikut:

Laras Koto Piliang


Mempunyai jalan masuk dibagian tengah badan bangunan pada sisi yang
terpanjang. Memiliki ruang tambahan yaitu anjung di tempat bermain
putri-putri. Anjung ini terletak dikedua ujung bangunan dan mempunyai
gonjong tersendiri. Pada anjung deretan tiang paling ujung hanya sebuah
yang sampai ke tanah yaitu bagian tengah dalam deretan tersebut. Kamar
terhormat di ujung sebelah kiri pintu masuk.

Sketsa rumah gadang laras Koto Piliang Gajah Maharam


Laras Bodi Caniago
Pintu masuk rumah gadang laras ini terletak di sisi pendek bangunan. Pada
type „sitinjau lauik‟, kedua ujung rumah diberi pengakhiran atap berbentuk
setengah perisai untuk penjorokan atap atau overstek. Sedangkan type
„gajah maharam‟ pengakhiran ujung bangunan berupa bidang dinding
yang diawali dari ujung gonjong sampai ke tanah yang berbentuk bidang
segitiga diatas sebuah segi empat. Kamar yang terhormat di sisi paling
jauh dari pintu.

Sketsa rumah gadang laras Bodi Caniago

H. SUKU BATAK TOBA

Suku Batak Toba termasuk dalam Suku Bangsa Batak. Suku Batak secara
umum dibedakan menjadi 6 etnik grup, yaitu Toba, Karo, Angkola, Mandailing,
Pakpak atau Dairi dan Simalungun. Kelompok suku Batak berdiam di Propinsi
Sumatera Utara. Menurut pendapat para antropolog dan sejarah, asal usul suku
batak Toba tidak jauh berbeda dengan suku-suku lain di Kepulauan Nusantara
yaitu berasal dari migrasi zaman Neolithikum dan Megalithikum.
Secara khusus, sejarah Suku Batak dapat dibagi menjadi 3 periode yaitu
pre-contact isolation yaitu masa dimana Suku Batak masih hidup terisolasi pada
tahun 2000 – 1600 SM; pre-western contact yaitu masa sebelum terjadi kontak
dengan Bangsa Barat pada tahun sebelum 1600 M; dan post-western contact,
yaitu masa setelah terjadi kontak dengan Bangsa Barat hingga terbentuknya
pemerintahan Indonesia (Cunningham, 1958 dalam Fitri, 2004, p.21). Periode
tersebut membawa perubahan pada cara hidup dan rumah tinggal suku Batak.
Sebelum masa kolonial di kepulauan Nusantara, kehidupan suku Batak Toba
masih bersifat kesukuan dan bercocok tanam. Setelah masa kolonial dan
pemerintahan Indonesia terbentuk, terjadi pergeseran dalam bidang ekonomi dan
budaya. Perekonomian tidak lagi didasari kehidupan agraris dan tergantung pada
hasil bumi. Lahan pertanian pun mulai beralih fungsi. Pada akhirnya suku Batak
tidak lagi tinggal di desa-desa adat dan lebih menyukai rumah tinggal seperti gaya
yang dibawa oleh pemerintahan kolonial. Akibatnya, banyak desa-desa batak
yang sepi bahkan hilang, rumah-rumah tradisional yang tidak lagi dihuni dan rusak.

I. RUMAH ADAT BATAK TOBA

Rumah adat Batak adalah salah satu bukti kekayaan budaya dan
peninggalan sejarah di Indonesia, tepatnya di Provinsi Sumatera Utara. Hal
semacam ini memang kerap menjadi perhatian para pengunjung untuk datang
berkunjung. Terlebih lagi bagi mereka yang belum pernah melihatnya, dan punya
antusias yang tinggi terhadap peninggalan sejarah kebudayaan di suatu daerah.
Untuk Sumatera Utara sendiri, dengan adanya beragam jenis rumah Adat
Batak ini, memang kerap kali dijadikan daya tarik dan ikon terpenting untuk sebuah
perjalanan wisata. Para pengunjung dengan tujuan wisata ke Sumatera Utara akan
selalu mengincar tempat dimana terdapat rumah adat Suku Batak. Hal ini tentu
dikarenakan ciri khas yang melekat pada daerah tersebut, sehingga tidak akan
lengkap rasanya berwisata ke Sumatera utara jika belum menginjakkan kaki di
rumah adat batak yang menyimpan cerita sejarah dan keunikan bentuk
bangunannya. Namun, hal terpenting yang harus diketahui adalah nama rumah adat
batak yang tentunya bukan hanya satu. Jika ingin memperkaya pengetahuan lebih
mendalam mengenai hal ini, maka setidaknya mengetahui apa-apa saja nama rumah
tersebut. Meskipun demikian, rumah adat suku batak sendiri masih terbagi-bagi
lagi. Sebagaimana sejarahnya, Batak sendiri terbagi lima yaitu Batak Toba, Batak
Simalungun Batak angkola,Batak Pakpak dan Batak Karo. Meski sama-sama
berasal dari suku Batak, secara spesifik daerahnya masih berbeda. Perbedaan inilah
yang kemudian memunculkan keberagaman bentuk rumah baik dari segi struktur
dan filosofi.
Masing-masing suku di Indonesia memiliki minimal satu jenis bangunan
seperti rumah tinggal yang disebut dengan rumah adat/rumah tradisional.
Suku Batak Toba juga terdiri dari bermacam-macam kelompok yang dapat
dipengaruhi oleh lingkungan wilayah tempat dimana kelompok tersebut membangun
kegiatan kehidupan seperti kegiatan perekonomian, sosial dan budaya. Beberapa
etnis Batak Toba yang ada khusunya di wilayah Sumatera Utara ialah di daerah
Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, dan Samosir. Pada umumnya
masyarakat Batak toba memiliki rumah tradisional dengan bentuk khas.
Rumah tradisional Batak Toba telah diwarisi ratusan tahun yang lalu. Gaya
dan bentuknya dipengaruhi oleh tatanan hidup, ekonomi, alam sekitar dan iklim.
Iklim adalah masalah yang penting yang dapat mempengaruhi bentuk bangunan,
khusunya dalam hal ini adalah rumah tradisional Batak Toba. Rumah tradisional
Batak Toba secara umum merupakan rumah panggung. Tetapi keberadaanya di
Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Samosir sudah banyak dipengaruhi oleh
beberapa etnis lain seperti karo, mandailing, simalungun dan lain sebagainya.
Sehingga rumah tradisional Batak Toba di Kabupaten Toba Samosir dan Samosir
lebih beragam lagi dengan pengaruh beberapa etnis tersebut.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami tipologi, bentuk
dan struktur dari rumah adat Batak Toba diwilayah Samosir dan Toba Samosir.

J. LOKASI,TOPOGRAFI DAN IKLIM WILAYAH BATAK TOBA

Suku Batak Toba berdiam di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir,
meliputi Kabupaten Toba Samosir sekarang yang wilayahnya meliputi Balige,
Laguboti, Parsoburan, dan sekitarnya. Menurut Fitri (2004), Berdasarkan informasi
yang lebih kuno, wilayah Batak Toba dapat disebut juga sebagai Batak
pusat, hal ini karena lokasinya yang berada di tengah-tengah sub-etnis suku Batak
yang lainnya
Gambar peta daerah batak Toba

Kondisi topografi wilayah sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir


sebagian merupakan dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 300-1500 meter
diatas permukaan air laut. Kondisi iklim merupakan iklim tropis lembab dengan
curah hujan yang tinggi.

K. BENTUK BANGUNAN RUMAH ADAT SUKU BATAK TOBA

Pada Bangunan ini, Seperti halnya bangunan-bangunan bersejarah yang


lain. bentuk fasadenya memakai Konsep Simetris.yang cenderung mengarah ke utara
atau selatan yang berdampingan dengan ruang tengah sebagai halaman rumah.
Bentuk bangunan yang sama namun memiliki ornamen dan besaran berbeda. Rumah
adat Batak Toba berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi dua yaitu, rumah
yang digunakan sebagai tempat tinggal (ruma) dan sebagai tempat penyimpanan
(sopo). Waktu mendirikan rumah memerlukan tenaga, biaya yang besar dan
memakan waktu yang cukup lama. Sehingga banyak rumah yang seharusnya belum
selesai pembangngunanya namun rumah tersebut sudah ditempati. Rumah tersebut
diberi nama Jabu Bontean. “Jabu Ereng” yaitu sejenis rumah tempat tinggal yang
tidak berukiran. Tetapi dingdingnya terbuat dari papan yang sudah diketam halus
dan dipasang rapi juga termasuk “Jabu Batarasiang”atau ada juga yang
menyebutnya “sibabani amporik” khusus di wilayah samosir. Dari segi besar dan
kecil, rumah yang ukurannya besar disebut ruma parbalebalean dan yang besar
dengan ruma bolon. Rumah yang memiliki hiasan gorga disebut dengan istilah
“jabu batara guru atau jabu sibaganding tua (rumah gorga). Istilah ini sering
terdengar dalam acara menempati rumah baru di acara adat di dalam rumah antara
lain “jabu sibaganding tua namrampang namarjual, namarsangap namartua,
hasorangan ni boru sigomgom nasa isina. Ada juga yang menyebut ruma gorga
sarimunggu yaitu rumah gorga yang memiliki hiasan yang mencerminkanfilsafah
ataupun pandangan orang hidup orang batak yang suka musyawarah, gotong royong,
suka berterus terang, sifat terbuka, dinamis dan kreatif. Selain jenis rumah diatas
tersebut, masih ada lagi jenis rumah lain yang disebut dengan Ruma Parsattian,
rumah ini yang sudah berdiri sejak lama hingga keturunan dari yang punya rumah
sudah berkeluarga dan memiliki rumah masing-masing tetapi jika anak yang punya
rumah ingin tinggal dirumah tersebut untuk sementara masih diperbolehkan, bahkan
dalam melakukan upacara adat semua anak yang punya rumah tersebut dapat
melakukanya dirumah tersebut, kecuali untuk anak perempuan. Dari ornamen yang
terdapat pada rumah juga memiliki makna yang dalam setiap motif yaitu :
1. Gorga Suhi Ni Ampang Naopat memiliki makna sebagai penghormatan kepada
masyarakyat sekitar baik hula hula, boru, dongan tubu dan raja kampong

Gambar Gorga Suhi Ni Ampang Na Opat


Sumber : http//.gorga batak toba.wordpress tano batak.com
2. Gorga sitagan memiliki makna sebagai ikatan persaudaraan dan siap untuk
bergotong royong baik pemilik rumah dengan sesama pemilik rumah dan pemilik
rumah dengan orang lain.

Gambar Gorga Sitagan


Sumber : http//.gorga batak toba.wordpress tano batak.com
3. Gorga simarogung ogung bermakna sebagai menjalin kebersamaan

Gambar Gorga Simarogung Ogung

4. Gorga desanaualu memiliki makna bahwa pengisi rumah yang sudah


banyak yang merantau yang melambangkan arah mata angin.

Gambar Gorga desa na ualu


5. Gorga simeoleol melambangkan kehidupan pengisi rumah yang selalu
mencari nafkah kehidupan baik posisi diatas (kaya) atau pun yang masih
kekurangan dan tetap saling menghargai

Gambar Gorga Simeoleol

6. Gorga singa singa yang bermakna sebagai pelidung dan penjaga setiap
orang yang masuk kedalam rumah agar selalu berniat baik

Gambar Gorga singa singa

7. Gorga jenggar-jenggar memiliki makna pelindung pengisi rumah agar


selalu dalam keadaan nyaman dalam rumah tersebut.
8. Gorga naganaga memili makna sebagai pelindung pengisi rumah dalam
jangkauan yang lebih luas dari singa singa
9. Gorga sitompi memiliki makna ikatan yang tidak terputus dan selalu dalam
keadaan rukun pengisi rumah tersebut
10. Gorga ulu paung adalah gorga yang berfungsi sebagai pengamat secara
jarak jauh agar pemilik rumah jauh dari bahaya yang akan terjadi baik secara
hukum alam atau ulah manusia yang berniat jahat.
L. MAKNA BAGIAN- BAGIAN RUMAH

Pembangunan rumah adat ini dilakukan dengan gotong royong. Bahan yang
digunakan adalah dengan kayu pilihan terbaik. Para tukang kayu saat memilih kayu
adalah dengan mengetuknya, dipercaya kayu yang berbunyi nyaring itulah kayu
yang baik. Pondasi yang digunakan adalah berbentuk segi empat dengan dipadukan
dinding dan tiang yang kuat. Maknanya adalah kerja sama atau gotong royong saat
memikul beban yang berat. Bagian atas rumah adat ini ditopang dengan tiang yang
sering disebut ninggor. Ninggor ini berbentuk lurus tan tinggi yang bermakna
kejujuran.
Pada bagian depan terdapat arop-aropan yang memiliki makna sebagai
harapan dapat hidup layak. kemudian yang berfungsi untuk menahan atap atau
disebut songsong boltak mempunyai makna jika ada tuan rumah yang dirasa tidak
baik maka hendaknya dipendam di hati saja. Masyarakat biasanya membersihkan
rumah dengan menyapu seluruh kotoran dan membuangnya ke lubang yang disebut
“talaga” yang berada di dekat dapur masak. Hal ini dihubungkan mempunyai
makna untuk membuang jauh-jauh segala keburukan dan kesalahan dari dalam
rumah.
Di rumah adat batak tersebut terdapat semacam panggung kecil yang berfungsi
sebagai tempat menyimpan padi yang mempunyai makna sebagai harapan untuk kelancaran.
Panggung kecil ini berbentuk menyerupai balkon. Selain memiliki makna yang kental,
Rumah Adat Batak juga memiliki 3 bagian rumah adat batak, yaitu: Bagian-Bagian Rumah
Adat Batak Menurut tingkatannya, rumah adat batak dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian
bawah, bagian tengah, dan bagian atas. Semua bagian memiliki anggota sendiri-sendiri. Pada
bagian bawah atau sering disebut Tombara terdiri dari batu pondasi, pasak yang menusuk
riang serta tangga atau balatuk. Pada bagian tengah atau sering disebut Tonga yang terdiri
dari dinding depan, samping dan belakang. Sedangkan pada bagian atas atau biasa disebut
Ginjang terdiri dari atap. Di bawah atap adalah urur dan di atas urur membentang lais. Bagian
bawah rumah adat ini memiliki fungsi sebagai tempat hewan ternak seperti kerbau, dll.
bagian tengah adalah hunian manusia dan pada bagian atas sebagai penyimpanan benda-
benda keramat. Berikut adalah bagian lengkap dari rumah adat batak
1. Bagian Atap

Gambar Bagian atap rumah

Bagian atap rumah ini mengambil ide dari punggung kerbau yang bentuknya
melengkung. Dengan mengambil konsep ini, rumah adat batak terlihat aerodinamis
dalam melawan angin kencang dari danau. Atap rumah terbuat dari ijuk. Ijuk ini
adalah bahan yang mudah untuk didapatkan di daerah tersebut, maka orang batak
menggunakannya sebagai bahan atap. Suku Batak menganggap atap adalah sesuatu
yang suci, maka dari itu mereka membuat atap digunakan untuk menyimpan benda
benda keramat atau pusaka mereka.

2. Badan Rumah

Gambar sketsa badan rumah

Sesuai dengan namanya, badan rumah berarti badan dan terletak di bagian
tengah. Dalam mitologi batak menyebutnya dunia tengah. Dunia tengah ini
memiliki makna sebagai tempat aktivitas manusia seperti bersenda gurau, tidur,
masak, dll. Badan rumah ini dilengkapi suku adat dengan hiasan berupa ipon-ipon.

3. Pondasi Rumah

Pondasi yang digunakan rumah adat ini menggunakan pondasi tipe cincin.
Artinya batu sebagai tumpuan dari kolom kayu yang ada di atasnya. Tiang yang
berdiameter sekitar 42-50 cm berdiri diatas batu ojahan yang strukturnya fleksibel.
Sehingga rumah adat batak dapat tahan terhadap gempa
Tiang pada rumah adat batak berukuran kurang lebih 35-55 cm. memiliki
filosofi kebersamaan dan kekokohan. Pondasi tipe umpak digunakan Suku
Batak karena pada waktu tersebut masih banyaknya jumlah batu ojahan dan kayu
gelonggong dalam skala besar. Pada waktu itu juga belum ditemukannya bahan
perekat seperti semen.
4. Dinding Rumah

Gambar dinding rumah


Suku batak membuat rumah adat ini penuh dengan perhitungan. Rumah adat
batak dibuat dinding miring agar angin dari luar mudah masuk ke dalam. Tali yang
digunakan untuk mengikat dinding disebut ret-ret yang terbuat dari bahan ijuk dan
rotan. Tali pengikat tadi berbentuk pola seperti cicak yang memiliki 2 kepada dan
saling bertolak belakang.
Suku Batak menggunakan pola ini bukan tanpa makna, tetapi pola yang berbentuk
cicak memiliki makna dikiaskan sebagai penjaga rumah dan dua kepalang saling
bertolak belakang ini memiliki makna semua penghuni rumah memiliki peran yang
sama dan harus menghormati.

5. Pintu Masuk Rumah

Gambar pintu masuk rumah

Tidak ketinggalan bagian dari rumah adat batak ini adalah bagian pintu. Suku batak
membuat pintu ini terlihat lebih menarik dengan dikelilingi ukiran, lukisan dan
tulisan. Pintu utama rumah adat ini menjorok ke dalam dengan lebar 80 cm dan
tinggi kurang lebih 1,5 m.
Rumah Adat batak juga memiliki keindahan yang khas, terletak pada atap rumah
yang berbentuk lancip di bagian depan maupun belakang. Bagian depan rumah ini
sengaja dibuat lebih panjang daripada bagian belakang bukan tanpa makna.
Mereka mempunyai kepercayaan bahwa dengan bentuk atap yang lancip serta
memanjang memiliki arti turut mendoakan keturunan dari pemilik rumah agar
memiliki masa depan yang lebih baik.
M. TIPOLOGI BENTUK DAN STRUKTUR RUMAH ADAT BATAK TOBA

1. Rumah bolon

a. Diameter tiang yang berdiri tegap sekitar 25-30 pada


rumah bolon,
b. Memiliki kemiringan dingding kurang dari 60 derajat
c. Memiliki sekitar 30an-40an tiang untuk satu rumah
d. Memiliki ketinggian atap pada bagian depan sekitar 7-8,5
m dan 7,5-9 m dan dipengaruhi oleh ukuran rumah
tersebut sehingga tidak ada ketetapan.
e. Pembagian ruang di bagi menjadi empat jenis yaitu jabu
bona, jabu soding, jabu suhat, dan jabu tampar piring
dimana jabu bona berada di sebelah kanan paling
belakang dan berseberangan dengan jabu sitampar piring
dan jabu soding berada pada sudut bagian depan
disebelah kanan dan berseberangan dengan jabu suhat,
dengan catatan tidak pernah ada ditemukan tungku
masak (tataring) di sebelah kanan rumah.
f. Rumah gorga adalah rumah parsattian yang sudah
matang dalam keluarga dan memiliki anak cucu bahkan
cicit sehingga jika sudah ada ornamen gorga sudah
dipastikan yang memiliki rumah tersebut adalalah orang
yang sudah jaya.
g. Cenderung menghadap ke barat dimana matahari
terbenam.
h. Setiap konstruksi pada bagian depan lurus dan horizontal
kecuali pada bentukan ornamen seperti patung
(singasinga)

2. Rumah sibabani apporik

a. Memiliki tiang yang berjumlah sekitar 30an hingga 40an


b. Cenderung memiliki ukuran lebih kecil dari rumah bolon
c. Tidak memiliki ornamen gorga
d. Memiliki kemiringan dingding dibawah dari 60 derajat
e. Memiliki fungsi dan bagian ruang yang sama dengan ruma bolon
f. Cenderung tidak memiliki ornamen gorga
g. Tangga tidak melalui tahap konstruksi bagian depan namun langsung menuju
dingding yang pintunya tersebut dibuat kelihatan di depan rumah tersebut.

N. SUKU DAYAK

Masyarakat Dayak pada masalalu hidup berkelompok-kelompok, keadaan


lingkungan yang ganas mengharuskan mereka tinggal bersama-sama dalam satu
rumah besar Betang ataupun Lamin (rumah panjang) untuk memudahkan
menghimpun kekuatan dalam menghadapi segala tantangan. Keadaanalam dan
lingkungan merupakan salah satu faktor penting pembentuk fisik bangunan rumah
adat Dayak, dengan pola hidup sebagai peladang berpindah, berburu, dan pencari ikan
menuntut mereka untuk memilih tempat tinggal di lingkungan yang paling mudah
untuk aksesibilitas, pinggiran sungai. Masyarakat Dayak terbagi dalam beberapa
kelompok suku yang dapat dibedakan dengan melihat bentuk dan pola rumahnya, ada
yang bentuknya sederhana, dan ada juga beberapa penambahan dan pengurangan dari
tiap-tiap sisi bangunan.
O. RUMAH ADAT DAYAK

Rumah adat Dayak yang dianalisis sebanyak 10 tipe rumah dari beberapa tipe yang ada,
karena satu tipe bisa berubah dari bentukan awalnya. Hal tersebut seiring berjalannya waktu
pasti akan terjadi, sesuai dengan kebutuhan ruang yang diinginkan penghuni rumah adat
Dayak karena pertambahan jumlah penghuni maupun karena faktor lain.
Awalnya rumah adat Dayak berbentuk huma yaitu rumah yang menyentuh tanah sebagai
hunian yang dibangun berpindah-pindah mengikuti lokasi ladang menggambarkan rumah
yang menyatu dengan alam, adanya keharmonisan, belum adanya ancaman dari binatang
buas atau gangguan dari sesama suku maupun lintas suku sehingga karakter bangunannya
terkesan masih natural. Huma, hampir sama dengan rumah tingkap yang sama-sama lantainya
menyentuh tanah namun perbedaan terdapat pada penambahan material dinding. Kemiripan
bangunan juga terdapat pada rumah panjang dengan rumah lamin atau betang, perbedaan
terdapat pada penggunaan material dan penambahan ruang.

P. TIPOLOGI RUMAH ADAT DAYAK

1. Huma

Lantai menyentuh tanah, dua sisi tegaknya segitiga dan dua sisi lainya miring. Kawasan
permukiman di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan Tidak terdapat material dinding,
atap terbuat daun rumbia.

2. Rumah Panjang

Dihuni satu generasi dengan jumlah keluarga, panjang 250 meter, tiggi tiang 6 meter,
panjang rumah sejajar dengan sungai. Di Sarawak, Kalimantan Barat, Brunei, Sabah dan
Johor. Kab. Kapuas Hulu, Kabupaten Pontianak, Desa Saham, Kec. Batang Lupar dan Kec.
3. Betang Lamin Balai

Dihuni satu generasi dengan jumlah keluarga, jumlah penghuni 100-200


jiwa, panjang 30-150 m dan lebar 10-30 m, tinggi tiang 1-5 m, panjang rumah sejajar
dengan
sunga. Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Tersebar di
hulu sungai mahakam, berau, apokayan, pojongan, dan lempumaut.Bentuknya
panggung, tidak memiliki jendela namun terdapat lubang pada atap sebagai pengganti
jendela.

4. Kota Bakota

Berpagar keliling/berbenteng, lebih dari satu massa bangunan, tinggi tiang 6 meter,
panjang rumah sekitar 20 m, lebar sekitar 6 meter Kalimantan Tengah Dayak Ngaju
Bentuk kotabakota seperti pondok yang dibangun di tengah hutan, dengan menancap
kayu sebesar betis untuk kotan (pagar/benteng) sekeliling pondok. Tangga masuk
pondok bisa di tarik ke atas.

5. Huma Gantung/ Huma Hai

Dihuni satu keluarga, tinggi tiang sekitar 4 meter, panjang rumah sekitar 12-15 depa,
lebar rumah sekitar 8-10 depa, panjang rumah sejajar dengan sungai. Kalimantan
Tengah Di Kabupaten Pulang Pisau dan menyebar di sekitarnya Tampak visual
bangunan
didominasi oleh garis-garis vertikal dinding yang terbuat dari papan kayu. Atap
memiliki bentuk pelana yang dikombinasi dengan atap miring. Penutup atap terbuat
dari bahan sirap berwarna.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Dari penulisan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa setiap rumah adat
memiliki ciri dan karakteristik dari daerahnya masing-masing. Seperti rumah adat
Padang Dan Batak yang memiliki beberapa kemiripan. Bukan hanya dari segi bentuk
namun juga dari segi sistem struktur dan detail sistem konstruksinya. Dari hasil
literatur dan studi sistem konstruksi pada kedua rumah tersebut, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:

 Sistem pondasi menggunakan batu sebagai base isolator untuk menahan


getaran tanah. Sifatnya yang berupa sendi terbatas memungkin tiang dapat menahan
gaya tekan dan horisontal.

 Dinding pada rumah tradisional Batak Toba dan Minangkabay lebih


berfungsi sebagai dinding pengisi untuk melingkupi ruang interior
sedangkan dinding pada rumah tradisional Dayak perbedaannya hanya pada material
dan penambahan ruang

 Konstruksi atap lengkung diperoleh dengan menggunakan bahan-bahan


yang fleksibel. Bagian yang berperan dalam lengkungan atap pada rumah
tradisional Batak Toba dan Minangkabau adalah bubungan dan panil
segitiga.

Dari hasil penulisan ini dapat diperoleh pemahaman tentang


sistem struktur dan bangunan tradisional berbentuk panggung dan beratap
lengkung. Bila sistem ini dapat dipelajari lebih lanjut dapat digunakan sebagai
prinsip penyusunan struktur bangunan masa kini. Proses uji coba yang dilakukan
oleh nenek moyang pada bangunan tradisional telah memberikan suatu warisan
pengetahuan yang patut digali lebih lanjut.
penting untuk kekuatannya.
Daftar Pustaka

Agus, E. (2006). Kajian Topologi, Morfologi dan Tipologi pada Rumah Gadang
Minangkabau. International Conference on Construction Industry, 21-24 Juni 2006
(hal. 552-557). Padang: Universitas Bung Hatta.

De Boer, D. W. (1920). Het Toba Bataksche Huis. Dalam G. Sargeant, & R.


Saleh, Traditional Buildings of Indonesia Vol.1: Batak Toba (hal. 31-41). Bandung:
Regional House Centre.

Kis-Jovak, J. I. (1988). Banua Toraja: changing patterns in architecture and


symbolism among the Sa'dan Toraja, Sulawesi, Indonesia. Amsterdam: Royal
Tropical Institute.

Loebis, M. N. (2000). Architecture in Transformation: Past Culture and


Arcitecture (The Case of Batak Toba). Malaysia: Universiti Sains Malaysia.

Soeroto, M. (2005). Pustaka Budaya & Arsitektur: Minangkabau. Jakarta: Myrtle


Publishing

Couto, N. 1998. Makna dan Unsur-Unsur Visual pada Bangunan Rumah Gadang.
(Tesis Pasca Sarjana tidak diterbitkan). Jurusan Seni Murni. Fakultas Seni Rupa dan
Desain ITB: Bandung.

Usop, T. B. (2014). “Pelestarian Arsitektur Tradisional Dayak pada Pengenalan


Ragam Bentuk Konstruksi dan Teknologi Tradisional Dayak Di Kalimantan Tengah”.
Jurnal Perspektif Arsitektur, Vol.9, No. 2, hal. 24-46[ CITATION Rez \l 1033 ]

Damayanti, R. A. (n.d.). Morfologi Bangunan Arsitektur Rumah Gadang Dalam


Konteks Kebudayaan Minangkabau. Dimensi Seni Rupa dan Desain, 17.

Anda mungkin juga menyukai