Anda di halaman 1dari 11

Rumah lontik yang dapat juga disebut rumah lancang karena rumah ini bentuk atapnya

melengkung keatas dan agak runcing tanduk kerbau, sedangkan dindingnya miring keluar
dengan hiasankaki dinding mirip perahu atau lancang.

Hal ini melambangkan penghormatan kepada Tuhandan terhadap sesama. Rumah lontik
diperkirakan dapat pengaruh dari kebudayaanMinangkabau karena kabanyakan terdapat di
daerah yang berbatasan dengan Sumatera Barat.

Tangga rumah biasanya ganjil, bahkan rumah lontik beranak tangga lima, Hal ini
adakaitannya dengan ajaran islam yakni rukun islam lima.

Asal Usul.
Rumah Lancang atau Pencalang merupakan nama salah satu Rumah tradisional masyarakat
Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Selain nama Rumah Lancang atau Pencalang,
Rumah ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Lontik.

Disebut Lancang atau Pencalang karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu,
bentuk dinding Rumah yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka,
dan jika dilihat dari jauh bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon)
yang biasa dibuat penduduk.

Sedangkan nama Lontik dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke
atas. Rumah Lancang merupakan Rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk
menghindari bahaya serangan binatang buas dan terjangan banjir.

Di samping itu, ada kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kolong rumah sebagai
kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain,
dan gudang kayu, sebagai persiapan menyambut bulan puasa.

Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk panggung sehingga untuk memasukinya harus
menggunakan tangga yang mempunyai anak tangga berjumlah ganjil, lima, merupakan
bentuk ekspresi keyakinan masyarakat.

Dinding luar Rumah Lancang seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang
tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang,
disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu.

Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan.
Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi
hiasan yang disebut sulo bayung.

Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk
hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya.
Keberadaan Rumah Lancang, nampaknya, merupakan hasil dari proses akulturasi arsitektur
asli masyarakat Kampar dan Minangkabau.
Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan ciri khas masyarakat
Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontik) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau.
Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai
Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau.

Daerah Lima Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan
Kuok. Oleh karena Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas masyarakat, maka proses
akulturasi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi.

Hasil dari proses akulturasi tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit
banyak berbeda dengan arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.

1. Bahan dan Tenaga


a. Bahan-Bahan
Agar proses pembangunan rumah berjalan lancar dan hasilnya sesuai dengan yang
diharapkan, maka bahan-bahannya dipilih dan dipersiapkan terlebih dahulu. Jika bahan-
bahan yang dibutuhkan belum terkumpul semua, maka pembangunan rumah tidak akan
dimulai karena dikhawatirkan mengganggu proses pembangunan.

Di sampaing itu, jika pembangunan rumah sampai berhenti karena kekurangan bahan, maka
hal tersebut dianggap hal yang sangat memalukan. Oleh karena itu, biasanya, proses
pengumpulan bahan berlangsung berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Adapun bahan-
bahan yang diperlukan di antaranya adalah:
* Kayu Tembesu
digunakan untuk membuat tiang dan ukiran.

* Kayu Kulim
digunakan untuk kusen-kusen.

* Kayu Resak
digunakan untuk bendul dan rasuk.

* Kayu Punak
digunakan untuk papan lantai dan dinding.

* Alat untuk meramu kayu


(parang, beliung, kapak, gergaji, dan lain sebagainya) dan alat pertukangan (ketam, pahat,
pepatil, dan lain sebagainya).

* Tali dari kulit kayu


digunakan untuk menyatukan bagian-bagian yang distel.

* Tali arang atau benang arang


Alat ini dibuat dari tali yang diberi cairan yang merupakan campuran dari arang dan minyak
makan dan digunakan untuk membuat garis lurus pada saat mengolah kayu.

* Ijuk, Rumbia, Nipah, Sikai, dan Bengkang.


Bahan-bahan tersebut dipergunakan untuk membuat atap Rumah.

* Seng
Akhir-akhir ini, penggunaan daun-daunan untuk membuat atap rumah sudah banyak
menggunakan seng.

b. Tenaga
Dalam membuat bangunan rumah, dan juga bangunan-bangunan lainnya, para pekerjanya
diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu:

• Tukang Tuo
Tukang Tuo adalah tukang yang keahliannya sudah diakui oleh semua penduduk desa dan
telah berumur lanjut. Keahlian Tukang Tuo tidak saja berkaitan dengan arsitektur bangunan
tetapi juga mengerti tentang rasi Rumah, jujur, dan berpengalaman.

Dengan kata lain, Tukang Tuo tidak hanya bertanggung jawab untuk membuat bangunan
yang kokoh sehingga dapat menjadi tempat berlindung secara jasmani tetapi juga dapat
memberikan ketenangan dan keamanan secara rohani.

• Tukang
Tukang yang mempunyai keahlian dalam soal bangunan, tetapi tidak terlalu menguasai rasi
Rumah. Jadi kalau Tukang Tuo bertanggung jawab pada aspek fisik dan psikis bangunan,
maka tukang biasanya membantu Tukang Tuo untuk membuat bangunan yang kokoh secara
fisik belaka.

• Tukang Pak Sondul


Yang dimaksud Tukang Pak Sondul adalah tukang-tukang yang pekerjaannya membantu
tukang untuk mengerjakan pekerjaan kasar.

• Tenaga Umum
Walaupun tidak bertanggung jawab terhadap keberadaan bangunan, keberadaan tenaga
umum sangat dibutuhkan, misalnya untuk menegakkan tiang dan memasang atap.
Keberadaan tenaga umum hanya bersifat tentatif (jika diperlukan).

2. Pemilihan Tempat
Rumah merupakan tempat berlindung baik secara jasmani ataupun rohani. Oleh karena itu,
tempat untuk mendirikan Rumah harus dipilih dengan cermat dan teliti. Kesalahan memilih
tempat untuk mendirikan bangunan dapat menimbulkan mala-petaka bagi penghuninya.
Secara umum, ada dua macam tempat untuk mendirikan bangunan, yaitu tempat yang baik
dan tempat yang buruk.

a. Tempat yang dianggap baik di antaranya :


• Tanah datar dan banyak tanah liatnya.

• Tanah yang letaknya tidak membelakangi atau melangkahi tanah perumahan orang yang
lebih tua.

• Tanah milik pribadi atau tanah adat yang telah dibagikan.

• Tanah yang dekat sumber mata air atau sungai.

• Tanah yang tidak berbatu.

b. Tempat yang dianggap tidak baik :


• Tanah yang tidak jelas siapa pemiliknya.

• Tanah kuburan atau bekas kuburan.

• Tanah yang rata dan berbusuk-busuk.

• Tanah yang banyak gambut atau pasir saja, karena tanah ini dianggap tidak kuat untuk
mendirikan bangunan, dan kalau pun terpaksa harus mendirikan bangunan di sana,
bangunan itu tidak akan tahan lama.

• Tanah yang mengganggu jalan umum. Tanah ini dilarang, karena dianggap tidak tahu adat.

• Tanah bekas Rumah atau bangunan yang terbakar, atau penghuninya meninggal karena
penyakit menular.

• Tanah bekas orang mati berdarah, baik oleh binatang buas maupun oleh manusia.

3. Tahapan Pembangunan Rumah Rakit


a. Persiapan
1) Musyawarah
Seseorang yang hendak mendirikan rumah harus memusyawarahkan rencana pendiriannya
tersebut. Dalam musyawarah pesertanya terdiri dari Ninik Mamak dan orang laki-laki
dewasa. Musyawatah tersebut diadakan di rumah sompu dan dipimpin oleh Kepala Suku
atau oleh Datuk nan Limo.

Dalam forum ini, disampaikan tentang aturan adat untuk mendirikan bangunan dan
tanggung jawab masyarakat untuk menaatinya. Selain itu, dalam forum ini juga dibahas
antara lain tentang: jenis dan tujuan bangunan didirikan, bahan-bahan yang diperlukan,
tempat untuk mendirikan, bagaimana pengadaan bahannya, siapa tukangnya, dan kapan
bangunan akan dimulai pendiriannya.

Keputusan musyawarah harus ditaati tidak saja oleh orang yang hendak mendirikan
bangunan, tetapi juga oleh semua peserta musyawarah. Kalau ternyata kesepkatan tersebut
dilanggar, maka orang yang melanggar akan mendapatkan sangsi adat, misalnya:

 Dianggap tidak tahu adat.


 Dianggap tidak menghormati orang tua.

 Penghuni Rumah akan selalu dalam pergunjingan.

Pelanggar dikenakan sanksi berupa denda dengan memotong seekor kerbau, dibongkar
bangunannya atau dikucilkan dari kampung.

2) Mempersiapkan Tempat
Setelah mendapat masukan dari peserta musyawarah, maka secara adat pembangunan
rumah dapat segera dimulai. Namun, sebelum pembangunan rumah dimulai, tanah untuk
tempat bangunan tersebut terlebih dahulu harus dimatikan, yaitu dengan menyelenggarakan
upacara menogakkan Rumah.

Di samping itu, penentuan tempat pembangunan Rumah harus memperhatikan adat,


misalnya:

• Anak lelaki tertua jika hendak membangun rumah, maka ia harus membangun rumahnya di
samping kanan rumah ayahnya, sedangkan adik-adiknya di bagian belakang secara
berurutan menurut urutan usianya. Tetapi jika anak tertuanya adalah perempuan, maka ia
harus mendirikan rumah di samping kiri rumah ayahnya dan adik-adiknya secara berurutan
di belakang rumahnya.

• Anak perempuan bungsu dari Kepala Adat, tidak boleh membuat rumah sendiri, karena ia
harus tinggal di rumah sompu.

• Jika dalam keluarga itu hanya ada anak lelaki atau perempuan saja, maka yang ditentukan
adalah lokasi anaknya yang tertua, sedangkan adik-adiknya dapat membuat rumah di kanan-
kiri rumah ayahnya.

• Jika ketersediaan tanah keluarga tidak cukup, misalnya karena keluarganya banyak, maka
dapat mencari tanah lain, namun harus dengan persetujuan ayahnya. Jika ayahnya tidak
setuju, maka anak-anaknya tidak dapat mendirikan Rumah dan harus tetap tinggal di rumah
ayahnya sampai ayahnya meninggal. Pembangunan rumah di tempat baru juga harus
berdasarkan urutan yang tua di depan diikuti oleh adik-adiknya di belakang.

3) Pengumpulan Bahan
Oleh karena rumah tidak sekedar tempat berlindung dari hujan dan terik matahari, tetapi
juga merefleksikan keyakinan dan identitas sosial, maka pengadaan bahan harus dilakukan
secara cermat dan teliti dengan tetap berpedoman pada hasil musyawarah yang telah
dilakukan.

Untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan, orang yang hendak membangun


rumah dapat mencarinya sendiri atau memesan kepada tukang yang telah ditentukan pada
saat musyawarah. Namun demikian, pengadaan bahan baik dengan cara memesan atau
dengan mencari sendiri harus tetap belandaskan pada adat.

Dalam mencari kayu (beramu atau pekayuan), ada hal-hal yang harus dipertimbangkan di
antaranya:

 Meramu kayu sebaiknya dilakukan pada musim malam gelap (ketika bulan tidak
nampak).
 Waktu yang baik untuk pergi meramu adalah di waktu subuh.

 Kayu yang dipilih adalah kayu tertentu sesuai dengan penggunaannya. Jadi, dalam
meramu kayu harus benar-benar selektif, apakah kayu-kayu tersebut benar-benar
dibutuhkan atau tidak.

Namun demikian, tidak semua kayu yang jenisnya cocok untuk bahan bangunan dapat
digunakan. Adapun kayu yang tidak dapat digunakan, walaupun jenisnya bagus, di antaranya
adalah: kayu yang akarnya menjulur ke air; kayu bekas tebangan; kayu yang waktu ditebang
tumbangnya tidak lansung jatuh ke tanah; kayu berlobang; dan kayu bekas terbakar.

Setelah bahan-bahan terkumpul, kemudian dipisah-pisahkan sesuai dengan kegunaan


masing-masing kayu dan disimpan di tempat yang kering. Lama penyimpanan sekitar 3
bulan sampai 6 bulan. setelah masa penyimpanan dianggap cukup, kayu-kayu tersebut
diolah sesuai dengan kegunaannya (gelegar, rasuk, bendul, dan sebagainya) dan kemudian
dikeringkan, baik dengan cara dijemur atau dipanggang menggunakan api.

b. Tahap Pembangunan
Setelah tahap persiapan selesai, maka pembangunan Rumah Lancang dapat segera
dilakukan. Secara garis besar, pembangunan Rumah Lancang terdiri dari tiga tahap yaitu :

• Mendirikan kerangka bangunan dan memasang bagian bawah (lantai) rumah. Pembuatan
kerangka rumah diawali dengan menegakkan tiang Tuo dan dilanjutkan dengan tiang-tiang
lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan pemasangan rasuk, gelagar, dan bandul. Kerangka
rumah yang belum beratap, berlantai, dan berdinding disebut Rumah Lako.

• Mendirikan kerangka bangunan dan memasang bagian bawah (lantai) rumah. Pembuatan
kerangka rumah diawali dengan menegakkan tiang Tuo dan dilanjutkan dengan tiang-tiang
lainnya.
Kemudian dilanjutkan dengan pemasangan rasuk, gelagar, dan bandul. Kerangka rumah
yang belum beratap, berlantai, dan berdinding disebut Rumah Lako.

• Memasang hiasan dan penyelesaian akhir. Pada tahap ini, ditandai dengan pemasangan
dinding, loteng, pintu, jendela, dan memasang hiasan serta menghaluskan bagian-bagian
yang belum sempurna. Pada kondisi ini, ketika rumah sudah selesai dibangun lengkap
dengan ragam hiasnya, maka rumah disebut sebagai Rumah Didandani atau Rumah
Lengkap. (Proses pendirian rumah secara lengkap sedang dalam proses pengumpulan data)

5. Bagian-Bagian Rumah Lancang


Rumah Lancang secara garis besar terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu ruang bawah, ruang
tengah dan ruang belakang. Pembagian ruang rumah tersebut merupakan refleksi
pemahaman masyarakat Kampar terhadap tata pergaulan dalam kehidupan masyarakat.
Ketiga pembagian ruang tersebut terejewantahkan dalam konsep alam nan tigo, yaitu alam
berkawan, bersamak, dan semalu.

• Alam berkawa
merupakan bagian rumah untuk tempat bergaul (berkawan) sesama warga kampung. Yang
termasuk ruangan ini adalah ruang bawah. Ruang bawah terbagi menjadi dua bagian, yaitu
ujung bawah dan pangkal rumah.

Ujung bawah berfungsi sebagai ruang duduk Ninik Mamak, tempat sembahyang dan
undangan (jika mengadakan upacara). Pangkal Rumah merupakan tempat tidur dan ruang
duduk Ninik Mamak pemilik rumah (Ninik Mamak nan punyo soko).

• Alam bersamak (kaum kerabat dan keluarga)


Dilambangkan dengan ruang tengah. Ruang ini juga terbagi dua, yaitu poserek dan ujung
tengah. Poserek digunakan sebagai tempat berkumpul orang tua perempuan dan anak-anak,
dan terkadang sebagai tempat tidur keluarga wanita dan anak.

Ujung tengah sehari-hari dipakai sebagai ruang tidur pemilik rumah dan tempat meletakkan
gerai pelaminan dalam upacara perkawinan.

• Alam semalu
merupakan ruangan untuk kehidupan pribadi dan rumah tangga, dan tempat menyimpan
segala barang-barang rahasia. Ruangan ini terdiri dari sulo pandan dan pedapuan. Sulo
pandan digunakan sebagai tempat untuk menyimpan barang-barang keperluan sehari-hari
dan peralatan dapur. Sedangkan pedapuan berfungsi sebagai dapur, ruang makan keluarga,
dan tempat kaum ibu bertamu. Kadang dipakai pula sebagai ruang tidur anak gadis.

6. Ragam Hias
Rumah Lancang pada umumnya diberi aneka ragam hiasan, mulai dari tangga, dinding, pintu
sampai puncak atapnya. Ragam hias yang digunakan diantaranya adalah:

1) Flora
Hiasan yang merupakan stilirisasi tumbuh-tumbuhan merupakan hiasan yang paling banyak
digunakan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ada dua macam, yaitu:

• Akar Paku atau Kaluk Paku. Yang termasuk kelompok ini adalah: Kaluk Mandaki, Kaluk
Turun, dan Kaluk Berpilin. Kaluk Mandaki adalah bentuk ukiran yang garis dasar tulang
daun dan lengkung daunnya menghadap ke atas. Kaluk Turun adalah bentuk ukiran yang
garis dasar tulang daun dan lengkung daunnya menghadap ke bawah. Sedangkan Kaluk
Berpilin merupakan jalinan (kombinasi) dari kedua jenis ukiran tersebut.

kaluk pakis pial ayam

• Bungo Sakaki (bunga setangkai). Adalah ukiran yang menstilir bentuk bunga.
Bunga Kuntum Setangkai
• Warna yang paling sering digunakan untuk mewarnai motif flora adalah warna hijau,
sebagai lambang kesuburan. Warna lain yang juga digunakan adalah: kuning, putih, merah,
biru, hitam, dan keemasan.

2) Fauna
Ukiran yang menggunakan bentuk hewan dalam Rumah Lancang sangat sedikit
jumlahnya. Di antara yang masih digunakan adalah: itik pulang petang, semut
beriring, dan ular-ular. Adapun warna yang digunakan untuk mewarnai ukiran ini
adalah warna merah, keemasan, kuning, putih, dan hitam.

3) Alam
Motif alam yang sering digunakan adalah motif tanduk buang dan ukiran larik.
Warna yang digunakan untuk mewarnai ukiran tanduk buang adalah putih dan
kuning, sedangkan warna untuk ukiran larik disesuaikan dengan warna di
sekelilingnya.

4) Kaligrafi atau Kalimah.


Motif kaligrafi atau kalimah merupakan bentuk ukiran yang berasal dari ayat-
ayat al-Quran. Warna yang digunakan untuk mewarnai ukiran kaligrafi atau
kalimah adalah warna putih, hijau, kuning, dan keemasan.

7. Nilai-Nilai
Dalam arsitektur Rumah Lancang, terkandung banyak nilai budaya bermutu tinggi yang
merupakan bentuk pengejawantahan dari keyakinan, kearifan dan adaptasi masyarakat, dan
akulturasi budaya masyarakat Kampar, Provinsi Riau.
Keberadaan Rumah Lancang, dengan demikian, berkait erat dengan pembentukan watak
dan sikap hidup masyarakatnya. Musyawarah, sebagai proses paling awal dalam rangkaian
pembangunan sebuah rumah, mencermikan sikap demokratis dan saling menghargai.

Dalam musyawarah, semua orang yang yang hadir mempunyai kesempatan yang sama
untuk mengajukan pendapat. Oleh karena itu, walaupun yang memimpin musyawarah
adalah Datuk atau para Ninik Mamak, tetapi mereka hanya bersifat mengarahkan saja.

Selain itu, hasil musyawarah, sebagai konsekuensinya, harus ditaati atau mengikat semua
peserta musyawarah tersebut. Dengan demikian, musyawarah tidak saja merupakan upaya
untuk memupuk rasa tanggung jawab setiap individu dalam masyarakat, tetapi juga
merupakan ketundukan kepada etika bermasyarakat.

Pemilihan tukang melalui musyawarah, pemilihan tempat dan dan pengadaan bahan-bahan
untuk membuat rumah yang dilakukan secara cermat dan teliti dengan senantiasa
berpatokan pada adat masyarakat yang diwariskan secara turun temurun, merupakan bentuk
dan manifestasi dari sikap hati-hati.

Hal tersebut, merupakan usaha untuk membuat sebuah rumah yang dapat menjadi tempat
berlindung secara jasmani, memberikan ketentraman secara rohani, dan suasana harmonis
dengan para tetangga dapat terjaga.

Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang
taat pada aturan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat dalam
konsep alam semalu, dan ruang publik, seperti konsep alam berkawan dan alam bersamak,
merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan, etika bermasyarakat.

Bentuk dasar rumah sehingga disebut Rumah Lancang atau Pencalang mengandung nilai
kesejahteraan bagi mereka yang hidup di laut. Bentuk atap lentik (Lontik) pada kedua ujung
parabungnya mengandung nilai cita-cita dan religius.

Satu ujungnya merupakan cita-cita untuk mencapai kehidupan mulia, tinggi, di dunia, dan
satu ujungnya lagi merupakan upaya untuk mendapatkan posisi tinggi di sisi Tuhan. Nilai
religius juga dapat dilihat pada pelaksanaan upacara baik ketika hendak mendirikan rumah,
sedang mendirikan, maupun setelah mendirikan Rumah.

Nilai ini juga dapat dilihat pada bentuk anak tangga yang terdiri dari lima tingkat. Anak
tangga berjumlah lima merupakan simbol dari rukun Islam. Dengan melewati anak tangga
(rukun Islam) yang lima, maka mereka akan mencapai kehidupan yang baik, yaitu berkumpul
bersama keluarga.

Anda mungkin juga menyukai