Anda di halaman 1dari 58

ARSITEKTUR TRADISIONAL

SUKU BATAK (SUMATERA UTARA)

I. SUKU BATAK
Mitologi Batak adalah kepercayaan tradisional akan dewa-dewi yang dianut oleh orang Batak.
Agama Batak tradisional sudah hampir menghilang pada saat ini, begitu juga dengan mitologi Batak.
Kepercayaan Batak tradisional terbentuk sebelum datangnya agama Islam dan Kristen oleh dua unsur yaitu
megalitik kuno dan unsur Hindu yang membentuk kebudayaan Batak[1].

Pengaruh dari India dapat terlihat dari elemen-elemen kepercayaan seperti asal-usul dunia, mitos
penciptaan, keberadaan jiwa serta bahwa jiwa tetap ada meskipun orang telah meninggal dan sebagainya.
Suku Batak sendiri terbagi dari:
1. Batak Toba (Tapanuli) : mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah
mengunakan bahasa Batak Toba.
2. Batak Simalungun : mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan menggunakan
bahasa Batak Simalungun.
3. Batak Karo : mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan bahasa Batak
Karo.
4. Batak Mandailing : mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi dan
menggunakan bahasa Batak Mandailing.
5. Batak Pakpak : mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan bahasa Pakpak. Toba
PUSUK BUHIT Simalungun Karo Pakpak Mandailing Angkola.[2]

Orang Batak terdiri dari 5 sub etnis yang secara geografis dibagi sbb: Suku Nias yang mendiami
Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak karena nenek moyang
mereka bukan berasal dari Tanah Batak.
Namun demikian, Ada yang berpendapat dan berkeyakinan bahwa etnis Batak bukan hanya 5, akan
tetapi sesungguhnya ada 11 [sebelas], ke 6 etnis batak tersebut adalah :
1. Batak Pesisir,[3]
2. Batak Angkola,
3. Batak Padang lawas,
4. Batak Melayu,
5. Batak Nias,
6. Batak Alas Gayo.
Sebelas dari sub etnis Batak adalah:
1. Batak TOBA ,di Kab.Tapanuli Utara, Tengah, Selatan
2. Batak SIMALUNGUN, di Kab.Simalungun, sebelah Timur danau Toba
3. Batak KARO,di Kab Karo, Langkat dan sebagian Aceh
4. Batak PAKPAK [Dairi],di Kab Dairi dan Aceh Selatan
5. Batak MANDAILING,di Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi
6. Batak PASISIR,di Pantai Barat antara Natal dan Singkil
7. Batak ANGKOLA,di Wilayah Sipirok dan P. Sidempuan\
8. Batak PADANGLAWAS ,di Wil. Sibuhuan, A.Godang, Rambe, Harahap
9. Batak MELAYU,di WiL Pesisir Timur Melayu
10. Batak NIAS,di Kab Pulau Nias dan sekitarnya
11. Batak ALAS GAYO,di Aceh Selatan,Tenggara, Tengah Yang disebut wilayah Tanah Batak atau Tano
Batak ialah daerah hunian sekeliling Danau Toba, Sumatera Utara.

Seandainya tidak mengikuti pembagian daerah oleh Belanda (politik devide et impera) seperti sekarang,
Tanah Batak konon masih sampai di Aceh Selatan.[4]

Gambar 1. PETA ETNIS BATAK


I. AGAMA DAN KEPERCAYAAN

1.1. AGAMA PARMALIM


Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada
mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah
kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati
dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan
tempat yang sakral (tempat sembahan). [1]

Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau
malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan
mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah
yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas
manusia.

Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah “Debata”, sombaon yang paling
besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu Na Bolon” (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon
(pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai
nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi
manusia.
Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan
dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaanNya
terwujud dalam Debata Natolu. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu :
• TONDI
Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi
nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan
seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput)
tondi dari sombaon yang menawannya[1].
• SAHALA
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi
tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para
raja atau hula-hula.
• BEGU
Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia,
hanya muncul pada waktu malam.[2]
I. ARSITEKTUR RUMAH ADAT BATAK
Selama suku Batak tinggal di pesisir danau toba, mereka membentuk suatu daerah perkampungan
yang cukup unik, dimana mereka memiliki 2 rumah, yaitu rumah jantan dan rumah betina. Rumah jantan
terletak disebelah selatan, fungsinya sebagai rumah tinggal, sedangkan rumah betina terletak di sebelah
utara, fungsinya sebagai tempat menyimpan padi..[3]
Nenek moyang bangsa Batak (Bangso Batak) menyebut Rumah Batak yaitu “jabu na marampang
na marjual”. Ampang dan Jual adalah tempat mengukur padi atau biji bijian seperti beras/kacang dll. Jadi
Ampang dan Jual adalah alat pengukur, makanya Rumah Gorga, Rumah Adat itu ada ukurannya, memiliki
hukum hukum, aturan aturan, kriteria kriteria serta batas batas.

Biarpun Rumah Batak itu tidak memiliki kamar/dinding pembatas tetapi ada wilayah (daerah) yang di atur
oleh hukum - hukum. Ruangan Ruma Batak itu biasanya di bagi atas 4 wilayah (bagian) yaitu:

1. Jabu Bona ialah daerah sudut kanan di sebelah belakang dari pintu masuk rumah, daerah ini biasa di
tempati oleh keluarga tuan rumah.
2. Jabu Soding ialah daerah sudut kiri di belakang pintu rumah. Bahagian ini di tempati oleh anak anak yang
belum akil balik (gadis)
3. Jabu Suhat ialah daerah sudut kiri dibahagian depan dekat pintu masuk. Daerah ini di tempati oleh anak
tertua yang sudah berkeluarga, karena zaman dahulu belum ada rumah yang di ongkos (kontrak) makanya
anak tertua yang belum memiliki rumah menempati jabu suhat.[4]
4. Jabu Tampar Piring ialah daerah sudut kanan di bahagian depan dekat dengan pintu masuk. Daerah ini
biasa disiapkan untuk para tamu, juga daerah ini sering di sebut jabu tampar piring atau jabu soding jolo-
jolo. [5]

Disamping tempat keempat sudut utaman tadi masih ada daerah antara Jabu Bona dan Jabu Tampar
Piring, inilah yang dinamai Jabu Tongatonga Ni Jabu Bona. Dan wilayah antara Jabu Soding dan Jabu
Suhat disebut Jabu Tongatonga Ni Jabu Soding. Disebut Rumah Bolon karena suku batak toba sangat
percaya akan Tuhan mereka yaitu MULA JADI NA BOLON, jadi rumah bolon berarti rumah Tuhan.

Itulah sebabnya ruangan Ruma Batak itu boleh dibagi 4 (empat) atau 6 (enam), makanya
ketika orang batak mengadakan pertemuan (rapat) atau RIA di dalam rumah sering mengatakan
sampai pada saat ini; Marpungu hita di jabunta na mar Ampang na Marjual on, jabu na marsangap
na martua on.[6]
Aspek-aspek Metafisik atau Spiritual yang menjadi Norma Utama
Begitu banyak aspek-spek spiritual yang menjadi norma utama dalam bangunan adat batak Toba
ini. Salah satu contohnya adlah mengenai keharusan jumlah anak tangga yang berjumlah ganjil. Jika
berjumlah genap, maka akan membawa kesialan bagi keluarga penghuni rumah tersebut.
Bagian dari bangunan ini yang terdiri dari bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah juga
menandakan bahwa adanya ketiga jenis kehidupan yang dipercayai.
Bentuk-Bentuk Simbolik atau Lambang Kebudayaan atau Ide untuk Mengekspresikan Makna pada
Denah Anatomi dan Tampak
Rumah batak toba dihiasi dengan symbol – symbol yang diukir di hampir seluruh bangunan rumah
bolon. Gorga gorga tersebut memiliki arti dan maknanya tersendiri. Dan teknik ragam hias untuk mebuat
gorga tersebut terdiri dari cara, yaitu dengan teknik ukir teknik lukis. Untuk mengukir digunakan pisau
tajam dengan alat pemukulnya (pasak-pasak) dari kayu. Sedangkan teknik lukis bahannya diolah sendiri
dari batu-batuan atau pun tanaga yang keras dan arang. Tiang yang berjumlah banyak mengandung filosofi
kebersamaan dan kekokohan.[1]

Ornamentasi dan dekorasi dari rumah adat Batak Toba mengandung nilai filosofi bagi keselamatan
penghuni. Lokasi elemen rumah yang dihias berada pada gevel, pintu masuk, sudut-sudut rumah, bahkan
ada yang sampai berada di keseluruhan dinding. Hiasan ini dapat berupa ukiran, dapat diberi warna, atau
hanya berupa gambar saja. Tiga elemen warna yang penting adalah merah, putih dan hitam. Merah
melambangkan pengetahuan/kecerdasan, putih melambangkan kejujuran/kesucian dan hitam
melambangkan kewibawaan / kepemimpinan.
Bagian – bagian Rumah Batak
Menurut tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1. Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-tiang pendek, pasak (rancang)
yang menusuk tiang, tangga (balatuk)
2. Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding samping, dan belakang
3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur diatas urur membentang lais, ruma
yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari pohon enau).

Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll. Bagian tengah adalah
ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-benda keramat
(ugasan homitan).

Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920 berkebangsaan
Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het Toba Batak Huis, ketiga benua itu adalah [1]:
1. Banua toru (bawah)
2. Banua tonga (tengah)
3. Banua ginjang (atas)
Selanjutnya suku Batak Toba yang lama telah berkeyakinan bahwa ketiga dunia (banua) itu
diciptakan oleh Maha Dewa yang disebut dengan perkataan Mula Jadi Na Bolon. Seiring dengan pembagian
alam semesta (jagad raya) tadi yang terdiri dari 3 bagian, maka orang Batak Toba pun membagi/
merencanakan ruma tradisi mereka menjadi 3 bagian.

ATAP
Atap Rumah Bolon mengambil ide dasar dari punggung kerbau, bentuknya yang melengkung
menambah nilai keaerodinamisannya dalam melawan angin danau yang kencang.

Atap terbuat dari ijuk, yaitu bahan yang mudah didapat didaerah setempat. Suku batak menganggap
Atap sebagai sesuatu yang suci, sehingga digunakan untuk menyimpan pusaka mereka.[1]

BADAN RUMAH
Badan rumah terletak dibagian tengah atau dalam mitologi batak disebut dunia tengah, dunia tengah
melambangkan tempat aktivitas manusia seperti masak, tidur, bersenda gurau. Bagian badan rumah
dilengkapi hiasan berupa ipon ipon untuk menolak bala[2].
PONDASI
• Pondasi rumah batak toba menggunakan jenis pondasi cincin, dimana batu sebagai tumpuan dari kolom
kayu yang berdiri diatasnya.
• Tiang-tiang berdiameter 42 - 50 cm, berdiri diatas batu ojahan struktur yang fleksibel, sehingga tahan
terhadap gempa
• Tiang yang berjumlah 18 mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan
• Mengapa memakai pondasi umpak?, karena pada waktu tersebut masih banyaknya batu ojahan dan kayu
gelonggong dalam jumlah yang besar. Dan belum ditemukannya alat perekat seperti semen

DINDING
• Dinding pada rumah batak toba miring, agar angin mudah masuk
• Tali-tali pengikat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali pengikat ini
membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak
dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni
rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.[3]
ORGANISASI RUANG
Bentuk-bentuk ruang ruang dimana posisinya dalam ruang diatur oleh pola grid, hal ini dapat dilihat
dari kolom-kolom yang tersusun secara modular pada denah.[4]

KESEIMBANGAN
Keseimbangan pada rumah batak toba adalah simetris, baik pada denah maupun fasade bangunan,
hal ini dapat dilihat jika kita menarik garis lurus tepat pada as gambar denah dan fasade[5]

SIRKULASI RUANG
Sirkulasi Ruang pada rumah batak toba adalah tersamar, karena harus melewati jalan lurus sebelum
berbelok ke bangunan utamanya

PINTU MASUK BANGUNAN


Pintu Utama Menjorok kedalam dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan ukiran,
lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.

ORNAMENT (GORGA BATAK)


Gorga Batak adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di dinding rumah
bahagian luar dan bagian depan dari rumah-rumah adat Batak. Gorga ada dekorasi atau hiasan yang dibuat
dengan cara memahat kayu (papan) dan kemudian mencatnya dengan tiga (3) macam warna yaitu : merah-
hitam-putih. Warna yang tiga macam ini disebut tiga bolit.

Bahan-bahan untuk Gorga ini biasanya kayu lunak yaitu yang mudah dikorek/dipahat. Biasanya
nenek-nenek orang Batak memilih kayu ungil atau ada juga orang menyebutnya kayu ingul. Kayu Ungil ini
mempunyai sifat tertentu yaitu antara lain tahan terhadap sinar matahari langsung, begitu juga terhadap
terpaan air hujan, yang berarti tidak cepat rusak/lapuk akibat kena sengatan terik matahari dan terpaan air
hujan. Kayu Ungil ini juga biasa dipakai untuk pembuatan bahan-bahan kapal/ perahu di Danau Toba.[6]
Bahan-bahan Cat (Pewarna)

Pada zaman dahulu Nenek orang Batak Toba menciptakan catnya sendiri secara alamiah misalnya :
Cat Warna Merah diambil dari batu hula, sejenis batu alam yang berwarna merah yang tidak dapat
ditemukan disemua daerah. Cara untuk mencarinya pun mempunyai keahlian khusus. Batu inilah ditumbuk
menjadi halus seperti tepung dan dicampur dengan sedikit air, lalu dioleskan ke ukiran itu.
Cat Warna Putih diambil dari tanah yang berwarna Putih, tanah yang halus dan lunak dalam bahasa
Batak disebut Tano Buro. Tano Buro ini digiling sampai halus serta dicampur dengan sedikit air, sehingga
tampak seperti cat tembok pada masa kini.
Cat Warna Hitam diperbuat dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang ditumbuk sampai halus serta dicampur
dengan abu periuk atau kuali. Abu itu dikikis dari periuk atau belanga dan dimasukkan ke daun-daunan
yang ditumbuk tadi, kemudian digongseng terus menerus sampai menghasilkan seperti cat tembok hitam
pada zaman sekarang.

Jenis/ Macamnya Gorga Batak

Menurut cara pengerjaannya ada 2 jenis :


1. Gorga Uhir yaitu Gorga yang dipahatkan dengan memakai alat pahat dan setelah siap dipahat baru diwarnai
2. Gorga Dais yaitu Gorga yang dilukiskan dengan cat warna tiga bolit. Gorga dais ini merupakan pelengkap
pada rumah adat Batak Toba. Yang terdapat pada bahagian samping rumah, dan dibahagian dalam.[7]

Menurut bentuknya
Dilihat dari ornament dan gambar-gambarnya dapat pula Gorga itu mempunyai nama-namanya tersendiri,
antara lain [8];

• Gorga Ipon-Ipon, Terdapat dibahagian tepi dari Gorga; ipon-ipon dalam Bahasa Indonesia adalah Gigi.
Manusia tanpa gigi sangat kurang menarik, begitulah ukiran Batak, tanpa adanya ipon-ipon sangat kurang
keindahan dan keharmonisannya. Ipon-ipon ada beraneka ragam, tergantung dari kemampuan para
pengukir untuk menciptakannya. Biasanya Gorga ipon-ipon ini lebarnya antara dua sampai tiga sentimeter
dipinggir papan dengan kata lain sebagai hiasan tepi yang cukup menarik.

• Gorga Sitompi, Sitompi berasal dari kata tompi, salah satu perkakas Petani yang disangkutkan dileher
kerbau pada waktu membajak sawah. Gorga Sitompi termasuk jenis yang indah di dalam kumpulan Gorga
Batak. Disamping keindahannya, kemungkinan sipemilik rumah sengaja memesankannya kepada tukang
Uhir (Pande) mengingat akan jasa alat tersebut (Tompi) itu kepada kerbau dan kepada manusia.
• Gorga Simataniari (Matahari), Gorga yang menggambarkan matahari, terdapat disudut kiri dan kanan
rumah. Gorga ini diperbuat tukang ukir (Pande) mengingat jasa matahari yang menerangi dunia ini, karena
matahari juga termasuk sumber segala kehidupan, tanpa matahari takkan ada yang dapat hidup.

• Gorga Desa Naualu (Delapan Penjuru Mata Angin), Gorga ini menggambarkan gambar mata angin
yang ditambah hiasan-hiasannya. Orang Batak dahulu sudah mengetahui/kenal dengan mata angin. Mata
angin ini pun sudah mempunyai kaitan-kaitan erat dengan aktivitas-aktivitas ritual ataupun digunakan di
dalam pembuatan horoscope seseorang/sekeluarga. Sebagai pencerminan perasaan akan pentingnya mata
angina pada suku Batak maka diperbuatlah dan diwujudkan dalam bentuk Gorga.

• Gorga Si Marogung-ogung (Gong), Pada zaman dahulu Ogung (gong) merupakan sesuatu benda yang
sangat berharga. Ogung tidak ada dibuat di dalam negeri, kabarnya Ogung didatangkan dari India.
Sedangkan pemakaiannya sangat diperlukan pada pesta-pesta adat dan bahkan kepada pemakaian pada
upacara-upacara ritual, seperti untuk mengadakan Gondang Malim (Upacara kesucian). Dengan memiliki
seperangkat Ogung pertanda bahwa keluarga tersebut merupakan keluarga terpandang. Sebagai kenangan
akan kebesaran dan nilai Ogung itu sebagai gambaran/ keadaan pemilik rumah maka dibuatlah Gorga
Marogung-ogung.[9]

• Gorga Singa Singa, Dengan mendengar ataupun membaca perkataan Singa maka akan terlintas dalam
hati dan pikiran kita akan perkataan: Raja Hutan, kuat, jago, kokoh, mampu, berwibawa. Tidak semua orang
dapat mendirikan rumah Gorga disebabkan oleh berbagai faktor termasuk factor social ekonomi dan lain-
lain. Orang yang mampu mendirikan rumah Gorga Batak jelaslah orang yang mampu dan berwibawa di
kampungnya. Itulah sebabnya Gorga Singa dicantumkan di dalam kumpulan Gorga Batak

• Gorga Jorgom, Ada juga orang menyebutnya Gorga Jorgom atau ada pula menyebutnya Gorga Ulu Singa.
Biasa ditempatkan di atas pintu masuk ke rumah, bentuknya mirip binatang dan manusia.

• Gorga Boras Pati dan Adop Adop (Tetek ), Boras Pati sejenis mahluk yang menyerupai kadal atau cicak.
Boras Pati jarang kelihatan atau menampakkan diri, biasanya kalau Boras Pati sering nampak, itu
menandakan tanam-tanaman menjadi subur dan panen berhasil baik yang menuju kekayaan (hamoraon).
Gorga Boras Pati dikombinasikan dengan tetek (susu, tarus). Bagi orang Batak pandangan terhadap susu
(tetek) mempunyai arti khusus dimana tetek yang besar dan deras airnya pertanda anaknya sehat dan banyak
atau punya keturunan banyak (gabe). Jadi kombinasi Boras Pati susu (tetek) adalah perlambang Hagabeon,
Hamoraon sebagai idaman orang Batak.[10]

• Gorga Ulu Paung, Ulu Paung terdapat di puncak rumah Gorga Batak. Tanpa Ulu Paung rumah Gorga
Batak menjadi kurang gagah. Pada zaman dahulu Ulu Paung dibekali (isi) dengan kekuatan metafisik
bersifat gaib. Disamping sebagai memperindah rumah, Ulu Paung juga berfungsi untuk melawan begu
ladang (setan) yang datang dari luar kampung. Zaman dahulu orang Batak sering mendapat serangan
kekuatan hitam dari luar rumah untuk membuat perselisihan di dalam rumah (keluarga) sehingga tidak akur
antara suami dan isteri. Atau membuat penghuni rumah susah tidur atau rasa takut juga sakit fisik dan
berbagai macam ketidak harmonisan.

Masih banyak lagi gambar-gambar yang terdapat pada dinding atau bahagian muka dari rumah Batak yang
sangat erat hubungannya dengan sejarah kepribadian si pemilik rumah. Ada juga gambar lembu jantan,
pohon cemara, orang sedang menunggang kuda, orang sedang mengikat kerbau. Gambar Manuk-Manuk
(burung) dan hiasan burung Patia Raja perlambang ilmu pengetahuan dan lain-lain.[11]

Pemanfaatan Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian Batak disebut “papan”.
Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yang disebut dengan
“gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yang
mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”[1]
Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku tempat bertanak
ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”. Semua yang kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu
keluar melalui lobang tersebut. Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Talaga panduduran, lubang-
lubang panompasan” yang dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan
yang dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang kegunaannya untuk
menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para-para dibuat “parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-
alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang
mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu
pargadisan” yang artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh
dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yang adil dan selalu diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di sebelah depan rumah
dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma” dulu kala berada di
“tampunak”. Karena itu ada falsafah yang berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni
pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.
Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga yang cepat
aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yang punya rumah adalah
orang yang senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tersebut ramah. Tangga
tersebut dinamai dengan “Tangga rege-rege”.[2]

• Perabot Penting
Berbagai bentuk dan perabotan yang bernilai bagi orang Batak antara lain adalah “ampang” yang
berguna sebagai alat takaran (pengukur) untuk padi dan beras. Karena itu ada falsafah yang mengatakan
“Ampang di jolo-jolo, panguhatan di pudi-pudi. Adat na hot pinungka ni na parjolo, ihuthononton sian
pudi”. Pengertian yang dikandungnya adalah bahwa apa bentuk adat yang telah lazim dilaksanakan oleh
para leluhur hendaknya dapat dilestarikan oleh generasi penerus. Perlu ditambahkan bahwa “panguhatan”
adalah sebagai tempat air untuk keperluan memasak.[1]
Di sebelah bagian atas kiri dan kanan yang letaknya berada di atas pandingdingan dibuat
“pangumbari” yang gunanya sebagai tempat meletakkan barang-barang yang diperlukan sehari-hari seperti
kain, tikar dan lain-lain. Falsafah hidup yang disuarakannya adalah “Ni buat silinjuang ampe tu
pangumbari. Jagar do simanjujung molo ni ampehon tali-tali”.
Untuk menyimpan barang-barang yang bernilai tinggi dan mempunyai harga yang mahal biasanya
disimpan dalam “hombung”, seperti sere (emas), perak, ringgit (mata uang sebagai alat penukar), ogung,
dan ragam ulos seperti ragi hotang, ragi idup, ragi pangko, ragi harangan, ragi huting, marmjam sisi, runjat,
pinunsaan, jugia so pipot dan beraneka ragam jenis tati-tali seperti tutur-tutur, padang ursa, tumtuman dan
piso halasan, tombuk lada, tutu pege dan lain sebagainya.
Karena orang Batak mempunyai karakter yang mengagungkan keterbukaan maka di kala penghuni
rumah meninggal dunia dalam usia lanjut dan telah mempunyai cucu maka ada acara yang bersifat
kekeluargaan untuk memeriksa isi hombung. Ini disebut dengan “ungkap hombung” yang disaksikan oleh
pihak hula-hula.
Untuk keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana, ada tempat menyimpan barang-barang yang
disebut dengan “rumbi” yang fungsinya hampir sama dengan hombung hanya saja ukurannya lebih kecil
dan tidak semewah hombung.
Sebagai tungku memasak biasanya terdiri dari beberapa buah batu yang disebut “dalihan”.
Biasanya ini terdiri dari 5 (lima) buah sehingga tungku tempat memasak menjadi dua, sehingga dapat
menanak nasi dan lauk pauk sekaligus.
Banyak julukan yang ditujukan kepada orang yang empunya rumah tentang kesudiannya untuk
menerima tamu dengan hati yang senang yaitu “paramak so balunon” yang berarti bahwa “amak” (tikar)
yang berfungsi sebagai tempat duduk bagi tamu terhormat jarang digulung, karena baru saja tikar tersebut
digunakan sudah datang tamu yang lain lagi.
“Partataring so ra mintop” menandakan bahwa tungku tempat menanak nasi selalu mempunyai
bara api tidak pernah padam. Menandakan bahwa yang empunya rumah selalu gesit dan siap sedia dalam
menyuguhkan sajian yang perlu untuk tamu.
“Parsangkalan so mahiang” menandakan bahwa orang Batak akan berupaya semaksimal mungkin
untuk memikirkan dan memberikan hidangan yang bernilai dan cukup enak yang biasanya dari daging
ternak.
Untuk itu semua maka orang Batak selalu menginginkan penghasilan mencukupi untuk dapat hidup
sejahtera dan kiranya murah rejeki, mempunyai mata pencaharian yang memadai, sehingga disebut
“Parrambuan so ra marsik”.
Tikar yang disebut “amak” adalah benda yang penting bagi orang Batak. Berfungsi untuk alas tidur dan
sebagai penghangat badan yang dinamai bulusan. Oleh karena itu ada falsafah yang mengatakan “Amak do
bulusan bahul-bahul inganan ni eme. Horas uhum martulang gabe uhum marbere”.[2]
Sumatera memiliki keistimewaan berbagai karya kain yang biasanya digunakan dalam acara-acara adat.
Berbagai kain tradisional memiliki ciri dan fungsinya masing-masing. Setiap daerah di Sumatra pun
memiliki kain yang menjadi ikon daerah asalnya. Diantara kain yang menjadi ikon daerah antara lain,
kain songket, kain ulos, kain batik dan tenun.
Perbedaan kesemua kain ini terdapat pada proses pembuatannya. Kain yang menjadi ikon daerah ini
menjadi salah satu kekayaan daerah. Tak sekadar karya seni, tiap helai kain menyiratkan filosofi dan
tradisi berusia ratusan tahun.

Kain Songket
Asal kata Songket berasal dari kata ‘tusuk’ dan ‘cukit’ yang disingkat menjadi Suk dan Kit. Awalnya kain
ini disebut dengan Sungkit, namun kemudian mengalami perubahan kata menjadi Songket. Selain itu,
kata songket juga mungkin berasal dari kata songka, songkok khas Palembang yang dipercaya pertama
kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai.

Kain berbahan benang emas ini tidak semata-mata dibuat sebagai kain belaka. Songket sudah dikenal
sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam. Kedua kerajaan ini dikenal akan
kekayaan emasnya yang berlimpah. Sehingga kain Songket pun berbahan dasar dari benang emas.

Songket ditenun dengan tangan dengan benang emas dan perak dan pada umumnya dikenakan pada
acara-acara resmi. Benang logam metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau
cemerlang.

Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun secara
tradisional. Beberapa pusat kerajinan tangan tenun songket dapat ditemukan di Sumatera, pusat kerajinan
songket yang termahsyur dan unggul adalah di daerah Pandai Sikek dan Silungkang, Minangkabau,
Sumatera Barat, serta di Palembang, Sumatera Selatan.
Ulos
Kain tradisional Batak yang biasanya dalam bentuk selendang untuk melengkapi tampilan baju
tradisional. Dari cara pembuatannya, ulos termasuk kain tenun halus yang tidak menggunakan mesin.
Warna yang banyak dipakai untuk membuat kain jenis ini adalah merah, hitam dan putih. Simpel dan
tegas.

Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera Utara. Dari bahasa asalnya,
ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu
menggunakan alat tenun bukan mesin.

Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan
resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung
bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.

Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos
Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.

Tapis
Kain asal Lampung dengan berbagai motif lokal yang khas. Kain tapis adalah pakaian wanita suku
Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan
sugi, benang perak atau benang emas dengan sistem sulam.

Kain adat ini hanya dipakai pada momen-momen tertentu dan harganya sangat mahal. Kain ini
merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional Lampung yang menyelaraskan kehidupannya baik
terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta.

Munculnya kain tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan
teknik tenun, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat.

Jenis tenun ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke bawah berbentuk sarung yang terbuat dari
benang kapas dengan motif seperti motif alam, flora dan fauna yang disulam dengan benang emas dan
benang perak.
ARSITEKTUR TRADISIONAL KALIMANTAN
Arsitektur Dayak
merupakan seni arsitektur yang berkembang pada masyarakat Dayak di kalimantan yang pada umumnya
memiliki kemiripan satu sama lain di antara sub-sub Rumpun Dayak, umumnya berupa rumah panjang
yang disebut dalam berbagai istilah seperti rumah panjai (Dayuk Iban Sarawak), rumah radank (Dayak
Kanayatn), huma betang (Dayak Ngaju), Rumah Balay (Dayak Meratus), rumah Baloy (Dayak Tidung).
Di kalimantan Timur terdapat Rumah Lamin, namun setiap sub etnis sebenarnya mempunyai sebutan
sendiri untuk rumah lain tersebut. Orang Tonyooi (Tunjung) menyebutnya Luuq, orang Benuaq
menyebutnya dengan Lou, orang Bahau menyebutnya sebagai Amin, orang Kenyah menyebutnya dengan
nama Amin Bioq dan orang Aoheng menyebutkannya Baang Adet serta orang Melayu (Kutai)
menyebutkannya dengan nama Lamin.
A.

Rumah Tradisional
1.

Rumah Panjang
Rumah Panjang
adalah salah satu rumah adat dari daerah Kalimantan Barat. Rumah Panjang adalah ciri khas dari
masyarakat Dayak yang tinggal di daerah Kalimantan Barat. Hal ini dikarenakan rumah panjang adalah
gambaran sosial kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Rumah panjang juga merupakan
pusat kehidupan dari masyarakat Dayak. Rumah panjang di daerah Kalimantan Barat identik dengan
rumah panjang yang ada di Kalimantan Tengah. Hal ini dikarenakan letak geografi Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah yang sangat berdekatan. Keduanya sama-sama dikenal dengan nama Rumah Betang.
Fungsi Rumah Panjang :
Pada umumnya, rumah panjang digunakan untuk tempat tinggal beberapa keluarga. Akan tetapi, rumah
panjang tidak hanya digunakan sebagai tempat tinggal saja.

Rumah panjang dibangun tinggi karena berfungsi untuk menghindari serangan binatang buas. Tinggi
rumah panjang juga berperan untuk menjaga keselamatan keluarga dari serangan suku-suku lain dalam
masyarakat Dayak. Rumah panjang juga seringkali digunakan untuk kegiatan-kegiatan masyarakat seperti
rapat atau pertemuan-pertemuan. Tidak hanya pertemuan-pertemuan masyarakat, rumah panjang juga

dipakai untuk upacara-upacara adat atau ritus-ritus yang ada dalam masyarakat Dayak. Oleh Karena itu,
rumah panjang bukan hanya milik pribadi tetapi juga milik masyarakat Dayak.
Ciri Khas Rumah Panjang :
Dahulu kala, rumah Panjang dari Kalimantan Barat terbuat dari kayu. Rumah panjang dari Kalimantan
Barat mempunyai tinggi 5 sampai 8 meter. Tinggi rumah tergantung dari tinggi tiang yang menopang
rumah tersebut. Rumah panjang dari Kalimantan barat mempunyai panjang sekitar 180 meter dan lebar 6
meter. Rumah panjang memiliki sekita 50 ruangan. Ruangan-ruangan ini umumnya dihuni oleh banyak
keluarga yang di dalamnya juga termasuk keluarga inti. Untuk masuk ke rumah panjang, keluarga
mengunnakan
tangka
atau anak tangga. Rumah panjang di Kalimantan Barat mempunyai bentuk yang sempit tetapi dengan
ukuran panjang yang ekstrem. Rumah ini hanya terdiri dari satu kamar. Rumah panjang terdiri dari
beberapa bagian yaitu teras atau biasa disebut dengan
pante
, ruang tamu yang biasa disebut dengan
samik
, dan ruang keluarga. Dalam ruang tamu terdapat sebuah meja yang disebut
pene
yang berfungsi sebagai tempat berbicara atau menerima tamu.
Pene
berbentuk lingkarang dan digunakan untuk meletakkan makanan atau minuman untuk menyambut tamu.
Ruang keluarga adalah ruang sederhana yang mempunyai panjang 6 meter dan lebar 6 meter. Bagian
belakang rumah panjang digunakan sebagai dapur untuk keluarga. Umumnya, setiap keluarga mempunyai
dapur masing-masing.
Penempatan Ruang Rumah Panjang :
1. Teras rumah atau Pante
Pante merupakan teras rumah yang ada di depan Rumah Panjang. Atapnya dibuat dengan desain yang
menjorok ke bagian luar rumah. Upacara adat dilakukan di teras ini. Selain itu juga sering digunakan
sebagai tempat menjemur hasil panen.
2. Ruang tamu atau samik
Yang khas dari ruang tamu pada Rumah Panjang adalah meja dengan bentuk lingkaran yang disebut
dengan Pane. Meja ini digunakan untuk menempatkan beberapa hidangan ketika ada tamu yang datang
berkunjung.

RUMAH BETANG
Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan,
terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai
merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan
sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman
penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan
menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).

Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai
panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk
panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini
saya perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-
daerah di hulu sungai di Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari
satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah
tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut,
di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara
waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang
dengan tempat pemukiman penduduk.

ARSITEKTUR RUMAH BETANG

Arsitektur Dayak tidak bisa dilepaskan dari konsep hidup dan kebudayaan sehari-hari mereka. Konsep
hidup dan budaya ini dapat dilihat dari bentuk rumah tinggal yang secara arsitektural memiliki ciri fisik
berbentuk rumah yang memanjang dengan tiang (kolong) tinggi yang mereka sebut sebagai rumah Betang
atau Rumah Panjang atau Lamin atau juga lebih kerennya disebut Long House.
Selain dari bentuk fisik, rumah Betang secara arsitektural menggambarkan konsep hidup dan kebudayaan
Dayak. Hal ini dapat terlihat pada tata ruang, bentuk bangunan, asesoris seperti patung, ukiran, pernak
pernik, dan pola penataannya. Dengan melihat tata ruang rumah, bentuk, dan susunannya dapat diketahui
bagaimana pola hidup, pola pikir, pilosofi serta kebudayaan yang terjadi dalam masyarakatnya.

KEUNIKAN RUMAH BETANG

Betang memiliki keunikan tersendiri dapat diamati dari bentuknya yang memanjang serta terdapat hanya
terdapat sebuah tangga dan pintu masuk ke dalam Betang. Tangga sebagai alat penghubung pada Betang
dinamakan hejot. Betang yang dibangun tinggi dari permukaan tanah dimaksudkan untuk menghindari
hal-hal yang meresahkan para penghuni Betang, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba,
binatang buas, ataupun banjir yang terkadang melanda Betang. Hampir semua Betang dapat ditemui di
pinggiran sungai-sungai besar yang ada di Kalimantan.

Betang dibangun biasanya berukuran besar, panjangnya dapat mencapai 30-150 meter serta lebarnya
dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Betang di bangun
menggunakan bahan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu ulin (Eusideroxylon zwageri T et B), selain
memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai dengan ratusan tahun serta anti rayap.
Salah satu kebiasaan suku Dayak adalah memelihara hewan, seperti anjing, burung, kucing, babi, atau
sapi. Selain karena ingin merawat anjing, suku Dayak juga sangat membutuhkan peran anjing sebagai
'teman' yang setia pada saat berburu di hutan belanntara. Pada zaman yang telah lalu suku Dayak tidak
pernah mau memakan daging anjing, karena suku Dayak sudah menganggap anjing sebagai pendamping
setia yang selalu menemani khususnya ketika berada di hutan. Karena sudah menganggap anjing sebagai
bagian dari suku Dayak, anjing juga diberi nama layaknya manusia.
Ciri-ciri bentuk rumah suku-suku Dayak secara universal dapat dilihat dari:

Bentuk Bangunan:
Bentuk bangunan panjang dan hanya beberapa unit saja dalam satu kampung. Biasanya tidak lebih dari 5
unit. Satu unit bisa digunakan oleh 5-10 anggota keluarga. Bahkan ada yang digunakan secara komunal
oleh lebih dari 30 anggota keluarga. Bentuk rumah berkolong tinggi, dengan ketinggian sampai dengan 4
meter dari permukaan tanah. Badan rumah (dinding) terkadang berarsitektur jengki dengan atap pelana
memanjang.

Tata Ruang :
Ruang-ruang yang ada dalam Rumah Betang biasanya terdiri dari sado', padongk, bilik, dan dapur.

1. Sado' (dalam bahasa Dayak Simpangk) adalah pelantaran tingkat bawah yang biasanya merupakan
jalur lalu lalang penghuni rumah Betang. Sado' juga biasanya digunakan sebagai tempat untuk melakukan
aktivitas umum seperti menganyam, menumbuk padi, berdiskusi adat secara massal, dan lain sebagainya.

2. Padongk dapat diterjemahkan sebagai ruang keluarga, letaknya lebih dalam dan lebih tinggi dari pada
sado'. Ruangan ini biasanya tidak luas, mungkin berkisar antara 4x6m saja. Padongk lebih umum
dimanfaatkan oleh pemilik Rumah Betang sebagai ruang kumpul keluarga, ngobrol, makan minum,
menerima tamu dan aktivitas yang lebih personal.

3. Bilik adalah ruang tidur. Bilik tentu saja digunakan untuk tidur. zaman dahulu, satu bilik bisa dipakai
oleh 3-5 anggota keluarga. mereka tidur dalam satu ruangan dan hanya dibatasi oleh kelambu. Kelambu
utama untuk ayah dan ibu, kelambu kedua dan ketiga untuk anak-anak. tentu kelambu anak laki-laki dan
perempuan akan dipisahkan.
4. Ruang yang terakhir didalam Rumah Betang adalah Dapur. Ruang ini terbuka dan memiliki view yang
langsung berhadapan dengan ruang padongk. Umumnya dapur hanya berukuran 1x2m dan hanya untuk
menempatkan tungku perapian untuk memasak. Di atas perapian biasanya ada tempara untuk menyimpan
persediaan kayu bakar. Dapur di rumah Betang amat sederhana dan hanya berfungsi untuk kegiatan
masak memasak saja.

Ukiran rumah adat suku daya

Warga Dayak belajar berbagai seni ukir dan patung. Masyarakat Dayak memiliki kekayaan seni ukir yang
dekat dengan alam, seperti tumbuhan dan satwa, serta berbagai simbol kepercayaan mereka. Itu terlihat
mulai dari arsitek bangunan rumah, peralatan rumah tangga, sampai perangkat kesenian.

Nilai Estetika dan Etika

selain pada tampilan dari luar, juga pada ukiran-ukiran yang ada pada setiap bangunan. Ukiran-ukiran ini
diletakkan pada tempat-tempat yang dilihat seperti pada bubungan rumah, depan rumah, di atas jendela,
di daun pintu, di ruang tamu dan lain-lain. Selain itu, nilai estetika juga dapat dengan mudah dilihat pada
sapundu dan sandung yang biasanya terdapat di halaman depan rumah.
dilihat dari bahan-bahan tertentu yang digunakan dalam membuat bangunan. Untuk membangun tiang,
sedapat-dapatnya dicari pohon kayu ulin yang telah berumur tua. Hal ini melambangkan kekuatan dan
kesehatan sehingga diharapkan bangunan dapat bertahan lama dan jika sudah ditempati, penghuninya
diharapkan senantiasa mendapat kesehatan baik. Ukiran pada bangunan umumnya melambangkan
penguasa bumi, penguasa dunia atas dan dunia bawah, yang dilambang dengan ukiran burung tingang dan
ukiran naga.
Budaya menenun benang menjadi selembar kain diperkirakan usianya sama dengan sejarah peradaban
manusia. Tenun ikat berasal dari bahasa Melayu yang berarti mengikat atau membalut. Kain tradisonal ini
memang memiliki simbol-simbol tertentu untuk menggambarkan status, kekayaan, dan kehormatan. Di
beberapa kebudayaan dunia, suku-suku tertentu percaya bahwa kain tersebut me-nyimpan kekuatan
magis.

Konon, menenun yang telah dilakukan sejak masa purba terinspirasi dari pengamatan pada jaring laba-
laba atau sarang burung. Akti-vitas menenun kemudian tersebar ke berbagai tempat di dunia, termasuk ke
pelosok wilayah Indonesia. Salah satu ‘surga’ keindahan motif kain tenun ada di Kalimantan. Memiliki
motif unik dan sangat khas bahan material pembuatnya.

Banyaknya pengrajin tenun di Pulau Kalimantan, membuatnya menjadi salah satu produsen tenun yang
diperhitungkan di tanah air. Hampir di setiap daerah terdapat pengrajin tenun dengan kualitas apik. Belum
lagi jika berbicara tentang corak, sudah pasti tidak kalah beragamnya dengan tenun ikat pulau lain.

Beberapa contoh produksi tenun Kalimantan yang sudah diakui oleh mancanegara antara lain; tenun
Sambas dan Sintang dari Kalimantan Barat, tenun Doyo dari Kalimantan Timur, tenun Pagatan dari
Kalimantan Selatan dan masih banyak yang lain. Bahkan tenun Sambas, sempat mendapat klaim dari
Malaysia. Hal ini membuktikan bahwa kain tenun asal Kalimantan sangat layak dijadikan harta budaya
yang patut untuk dilestarikan.

Kain Tenun Ikat Doyo


Kain dari serat daun doyo ini merupakan hasil kerajinan yang hanya dibuat oleh wanita-wanita suku
Dayak Benuaq yang tinggal di Tanjung Isuy, Kali-mantan Timur. Biasanya motif ikat Doyo berbentuk
bunga, daun serta hewan yang hidup di alam sekitar Tanjung Isuy. Warna kain sangat khas, yakni merah,
kuning, coklat dan kehijauan, kesemuanya dibuat dari pewarna alam.

Tenun Ikat Sintang


Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, memiliki karya tenun ikat unik sebagai kain adat tradisional. Kain
ini kerap dipergunakan untuk upa-cara adat, upacara panen, dan sebagainya. Pola-pola yang sangat
menarik dan merupakan ciri khas tenun daerah Sintang adalah Nabau, Naga, Buaya, Pucuk Rebung,
Naga, dan beberapa motif orang-orangan hingga motif pepohonan. Kain tenun ikat dibuat masih dalam
skala sebagai pengisi waktu luang –terutama para wanita Dayak dalam kesehariannya.

Rumah tradisional Jawa, atau biasa disebut sebagai omah adat Jawa, mengacu pada rumah-rumah
tradisional di pulau Jawa, Indonesia. Arsitektur rumah Jawa ditandai dengan adanya aturan hierarki yang
dominan seperti yang tercermin pada bentuk atap rumah. Rumah tradisional Jawa memiliki tata letak
yang sangat mirip antara satu dengan lainnya, tetapi bentuk atap ditentukan pada status sosial dan
ekonomi dari pemilik rumah.

Arsitektur tradisional rumah Jawa banyak dipengaruhi oleh arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dan
juga sangat berkontribusi pada perkembangan arsitektur modern di Indonesia pada abad ke-20.
Rumah Joglo (Sumber: www.wovgo.com)

Sejarah

Orang jawa memiliki kekerabatan yang dekat dengan bangsa Austronesia. Relief di Candi Borobudur
yang dibangun pada abad ke-9 juga menunjukkan bahwa rumah Jawa merupakan pola dasar dari rumah
Austronesia. Kedatangan orang Eropa pada abad 16 dan 17 memperkenalkan batu dan batu bata dalam
konstruksi rumah, yang banyak digunakan oleh orang-orang kaya. Bentuk rumah tradisional Jawa juga
mulai mempengaruhi perkembangan arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Pada awal abad ke 19,
rumah Hindia Belanda dibuat menyerupai rumah Jawa karena bentuk rumah yang mampu melawan panas
tropis dan hujan lebat, namun tetap mampu mengalirkan udara di bagian dalam rumah.

Rumah Limasan dengan gaya Kontemporer (Sumber:


pinterest.com)

Hierarki Atap Rumah

Sesuai dengan struktur masyarakat Jawa dan tradisinya, rumah-rumah tradisional Jawa diklasifikasikan
menurut bentuk atap mereka dari yang terendah ke tertinggi, yaitu Kampung, Limasan, dan Joglo.

Contoh model rumah kampung (Sumber:


gambarrumahideal.blogspot.co.id)
Rumah Kampung. Atap rumah Kampung diidentifikasikan sebagai rumah dari rakyat biasa. Secara
struktural, atap Kampung adalah atap yang paling sederhana. Atap puncak rumah Kampung bersandar
pada empat tiang tengah dan ditunjang oleh dua lapis tiang pengikat. Bubungan atap didukung penyangga
dengan sumbu Utara-Selatan yang khas. Struktur ini dapat diperbesar dengan melebarkan atap dari bagian
atap yang ada.

Rumah Limasan (Sumber: www.jualrumahlimasan.com)

Rumah Limasan. Atap Limasan digunakan untuk rumah-rumah keluarga Jawa yang memiliki status
lebih tinggi. Jenis rumah ini adalah jenis yang paling umum untuk rumah Jawa. Denah dasar empat tiang
rumah diperluas dengan menambah sepasang tiang di salah satu ujung atap.

Rumah Joglo (Sumber: purevillatravel.com)

Rumah Joglo. Atap Joglo adalah bentuk atap yang paling khas dan paling rumit. Atap joglo dikaitkan
dengan tempat tinggal bangsawan (Keraton, kediaman resmi, bangunan pemerintah, dan rumah
bangsawan Jawa atau nigrat). Saat ini pemiliknya tidak lagi terbatas pada keluarga bangsawan, tetapi
siapa saja yang memiliki cukup dana untuk membangunnya. Sebab, untuk membangun rumah Joglo
dibutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan lebih mahal.

Atap Joglo memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari 2 jenis atap sebelumnya. Atap utama
lebih curam, sementara bubungan atap tidak sepanjang rumah Limasan. Di empat tiang utama yang
mendukung atap di atasnya terdapat susunan khas berupa tiang-tiang berlapis yang diartikan sebagai
tumpang sari. Selain itu, jika rumah Joglo terjadi kerusakan, proses perbaikan tidak boleh
mengubah bentuk semula. Orang Jawa percaya, melanggar aturan ini akan menimbulkan pengaruh yang
kurang baik pada penghuni rumah.
Layout dari kompleks rumah
tradisional Jawa. Ket: 1. lawang pintu 2. pendopo 3. peringgitan 4. emperan 5. dalem 6. senthong 7.
gandok 8. dapur (Sumber: www.wikiwand.com)

Bangunan rumah

Tidak berbeda dengan rumah tradisional Bali, rumah Jawa biasanya dibangun dalam suatu kompleks
berdinding. Bahan untuk dinding pelindung kompleks rumah dibuat dari batu untuk rumah orang kaya,
atau terbuat dari bambu dan kayu.

Rumah tradisional orang Jawa yang ideal terdiri atas tiga bangunan utama, yaitu omah, pendapa, dan
peringgitan.
Pendopo rumah Joglo (Sumber: www.boombastis.com)

Pendopo. Pendopo atau pendapa adalah sebuah paviliun yang terletak di bagian depan kompleks. Tempat
ini digunakan untuk menerima tamu, pertemuan sosial, atau pertunjukan ritual. Pendopo menggunakan
atap joglo dan hanya terdapat di kompleks rumah orang kaya. Di beberapa daerah perkotaan yang padat,
dinding batu biasanya akan didirikan di sekitar pendopo.

Pringgitan (Sumber: jejakbocahilang.wordpress.com)

Pringgitan. Pringgitan adalah ruang yang menghubungkan antara pendopo dengan omah. Peringitan
merupakan tempat untuk ringgit, yang memiliki arti wayang atau bermain wayang. Pringgitan memiliki
bentuk atap kampung atau limasan.

Teras di Omah Adat Jawa (Sumber: i0.wp.com)

Omah. Omah adalah rumah utama. Kata omah berasal dari Austronesia yang berarti “rumah”. Omah
biasanya memiliki tata letak persegi atau persegi panjang dengan lantai yang ditinggikan. Bagian tengah
omah menggunakan bentuk atap limasan atau joglo. Daerah di bawah atap dibagi oleh bilah-bilah dinding
menjadi daerah dalam dan luar.
Interior rumah joglo (Sumber: pinterest.com)

Dalem.Dalem adalah bangunan tertutup dan dibagi lagi sepanjang poros Utara dan Selatan menjadi
daerah-daerah yang berbeda. Pada model rumah kampung dan limasan, pembagian ini digunakan untuk
membedakan antara bagian depan dan belakang. Namun, pada rumah joglo terdapat tiga pembagian yang
lebih rumit, antara depan, tengah, dan belakang.

Bagian Timur depan dalem adalah tempat berlangsungnya kegiatan semua anggota keluarga dan tempat
semua anggota keluarga tidur pada sebuah ranjang bambu, sebelum pubertas anak-anak. Bagian tengah
dalem rumah joglo ditegaskan oleh empat tiang pokok. Saat ini, bagian itu tidak lagi memiliki kegunaan
khusus. Namun, secara tradisional daerah ini merupakan tempat pedupaan yang dibakar sekali seminggu
untuk menghormati Dewi Sri (dewi padi), juga merupakan tempat pengantin pria dan wanita duduk pada
upacara pernikahan.

Senthong Tengah (Sumber: popyaly.blogspot.co.id)

Senthong. Senthong merupakan bagian belakang omah yang terdiri dari tiga ruangan tertutup. Senthong
Barat merupakan tempat menyimpan beras dan hasil pertanian lain, sementara peralatan bertani disimpan
di sisi Timur. Senthong secara tradisional merupakan ruangan yang dihias semewah mungkin dan dikenal
sebagai tempat tinggal tetap Dewi Sri. Pasangan pengantin baru terkadang tidur di senthong tengah.

Di bagian luar atau belakang kompleks terdapat beberapa bangunan lain seperti dapur dan kamar mandi.
Sebuah sumur biasanya ditempatkan di sisi Timur. Sumur sebagai penyedia air dianggap sebagai sumber
kehidupan dan selalu menjadi hal pertama yang diselesaikan ketika membangun sebuah kompleks rumah
baru. Jika jumlah anggota keluarga atau kekayaan keluarga bertambah, bangunan-bangunan tambahan
(gandhok) dapat ditambahkan.

Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus identik dengan kehadiran nasi
tumpeng. Tahukah Ibu, bahwa kini sebenarnya nasi tumpeng beralih fungsi menjadi simbol suatu
perayan, baik itu perayaan keagamaan, adat, ulang tahun, hingga menyambut musim, kehadiran nasi
tumpeng tidak pernah absen.

Padahal awalnya, nasi tumpeng dibuat untuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para arwah
leluhur (nenek moyang). Sebab tumpeng erat kaitannya dengan keadaan alam Indonesia yang banyak
dipenuhi gunung berapi. Meski begitu, dahulu dan sekarang kehadiran nasi tumpeng tetap sama, yakni
sebagai perwujudan rasa terimakasih pada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Nasi tumpeng bukan hanya sekadar makanan dengan tampilan yang menarik dan rasa yang lezat.
Kehadiran nasi berbentuk kerucut yang disertai lauk pauk pilihan ini, begitu sarat makna filosofis yang
indah. Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Ari Presetiyo, SS,MSi, dosen Sastra Jawa di Universitas
Indonesia, menurutnya nasi tumpeng merupakan bentuk representasi hubungan antara Tuhan dengan
manusia dan manusia dengan sesamanya.

Secara etimologi dalam masyarakat Jawa, ditemukan bahwa kata 'tumpeng' merupakan akronim dari
kalimat 'yen meTu kudu meMPENG'," yang berarti "ketika keluar harus sungguh-sungguh semangat".

"Mungkin maksudnya adalah manusia ketika terlahir harus menjalani kehidupan di jalan Tuhan dengan
semangat, yakin, fokus, tidak mudah putus asa. Juga dalam proses itu semua, percayalah bahwa Tuhan
ada bersama kita," jelas Dr. Ari.

Maka tak heran jika nasi tumpeng memiliki bentuk kerucut yang merepresentasi konsep ketuhanan
dengan sesuatu yang besar dan tinggi, dan berada di puncak. Selain itu, bentuk yang menjulang ke atas
juga menyimbolkan harapan agar tingkat kehidupan manusia semakin ‘tinggi’ alias sejahtera.

Nasi kerucut ini ditata di atas tampah yang beralaskan daun pisang. Di sekelilingnya tersaji lauk-pauk
berjumlah 7 macam. Angka 7 dalam bahasa Jawa berarti pitu. Angka pitu ini
artinyapitulungan (pertolongan). Tak hanya bentuk saja, penyajian nasi tumpeng beserta lauk
pelengkapnya juga memiliki filosofi dan makna tertentu. Berikut ini makna dari setiap lauk pauk yang ada
dalam setiap hidangan nasi tumpeng.

1. Nasi putih

Dahulu, nasi tumpeng biasanya dibuat dari nasi putih. Meski saat ini tumpeng sudah memiliki variasi
tertentu, mulai dari nasi uduk hingga nasi kuning. Nasi putih yang berbentuk kerucut melambangkan
sesuatu yang kita makan harusnya berasal dari sumber yang bersih dan halal.

2. Ayam

Ayam yang biasa digunakan pada nasi tumpeng adalah ayam jantan atau ayam jago. Pemilihan ayam jago
juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk ayam jago, seperti sombong, congkak, selalu
menyela ketika berbicara, dan selalu merasa benar sendiri.

3. Ikan Lele

Tak hanya ayam, sebenarnya nasi tumpeng juga dilengkapi dengan ikan lele. Meski kini kebanyakan
orang memilih jenis ikan lain sebagai lauk nasi tumpeng, karena bentuk ikan lele yang kurang begitu
menarik. Ikan lele menjadi simbol dari ketabahan dan keuletan dalam hidup. Sebab ikan lele mampu
bertahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai.

4. Ikan teri

Ikan teri juga biasa disajikan dalam hidangan nasi tumpeng. Ikan teri dalam nasi tumpeng memiliki
makna kebersamaan dan kerukunan, sebab ikan teri selalu hidup bergerombol di dalam laut.

5. Telur

Telur juga menjadi lauk pauk penting dan memiliki makna yang dalam pada nasi tumpeng. Telur juga
menjadi perlambang jika manusia diciptakan dengan fitrah yang sama. Telur yang biasa digunakan
biasanya telur rebus yang dipindang dan disajikan utuh dengan kulitnya. Sehingga untuk memakannya,
Ibu harus mengupas telur terlebih dahulu. Hal ini melambangkan, bahwa semua tindakan harus
direncanakan terlebih dahulu (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi untuk mendapatkan
hasil yang sempurna.

6. Sayur Urab

Selain lauk pauk, pelengkap lainnya yang tidak boleh tertinggal adalah sayur urab. Biasanya terdiri dari
kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, dengan bumbu urab yang terbuat dari sambal parutan kelapa.

Sayuran ini melambangkan banyak makna, Kangkung berarti jinangkung yang berarti melindungi. Bayam
dapat diartikan dengan ayem tentrem. Taoge atau kecambah berarti tumbuh. Kacang panjang dapat
diartikan sebagai pemikiran yang jauh ke depan. Sedangkan bawang merah diartikan mempertimbangan
segala sesuatu dengan matang baik buruknya. Dan yang terakhir adalah bumbu urap berarti urip atau
hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga

7. Cabe Merah

Hiasan cabe merah yang berbentuk kelopak bunga ini biasanya diletakkan di bagian atas nasi tumpeng.
Hiasan cabe ini melembangkan api yang memberikan penerangan yang bermanfaat bagi orang lain.

ISTIMEWA! RUMAH TRADISIONAL SUKU BAJO


Indonesia, merupakan negara dengan ribuan pulau didalamnya. Memiliki sejuta pesona yang mampu
menghipnotis mata wisatawan dari segala penjuru dunia. Mampu memukau dengan keindahan dari
keberagaman yang terdapat di dalamnya. Untuk kritik arsitektur terhadap bangunan pesisir maka saya akan
membahas mengenai rumah tradisional dari suku Bajo.

Sebuah suku yang terdapat di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Menetap di wilayah ini semenjak
abad ke XVI. Mereka termasuk suku bangsa Proto Malayan yang datang ke wilayah Asia Tenggara ini sejak
2000 tahun Sebelum Masehi. Berasal dari daerah China Selatan, mereka sempat bermukim di daratan
Indochina dan bermigrasi ke daerah Semenanjung Malaysia dan akhirnya menyebar ke seluruh wilayah
Asia Tenggara, termasuk ke wilayah mereka sekarang ini di Sulawesi Tenggara. Selain di Sulawesi
Tenggara, pemukiman orang Bajo juga banyak di daerah-daerah lain di Sulawesi.

Suku Bajo disebut sebagai pelaut ulung sebab masyarakat suku Bajo gemar mengarungi laut nusantara.
Nama Bajo diambil dari leluhur mereka yang pandai melaut dan bercocok tanam. Mereka hidup
berdampingan dan tak terpisahkan dengan laut. Nama Bajo dikenal dengan air laut, perahu dan hidup diatas
permukaan air laut.
Masyarakat suku Bajo terbagi dua yakni Bajo daratan dengan rumah- rumah yang didirikan diatas karang
yang telah mati dan disusun menjadi seperti daratan dan Bajo laut yang mendirikan rumahnya diatas
permukaan air laut.

Karakteristik dari rumah Bajo


Tipologi rumah tradisional suku bajo berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang. Kemudian atap
berbentuk limasan atau pelana yang umumnya menggunakan atap rumbia atau seng.

Dinding dan lantai rumah terbuat dari papan kayu namun masih banyak rumah suku Bajo yang
menggunakan daun silar, pelepah sagu nan enau sebagai dinding.

Rumah masyarakat suku Bajo berbentuk panggung yang terbuat dari kayu baik sebagai pondasi hingga
badan rumah tadisional suku Bajo. Mereka menggunakan kayu lokal sebagai bahannya seperti kayu
pingsan, besi, kerikis, togoulu, kalakka dan manjarite dengan pemakaian berbentuk kayu bulat yang masih
mempunyai kulit dengan ukuran berdiameter antara 15 sampai dengan 25 cm.

Terciptanya bentuk arsitektur rumah Bajo dilatarbelakangi oleh suatu budaya, yaitu Budaya Appabolang.
Dimana dalam budaya ini, terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pembuatan rumah Bajo.
• Ulu ( Kepala )
Sebagai tempat yang teratas karena melambangkan kesucian.
• Watang ( Badan )
Melambangkan suatu penghidupan sejati yang harus dilindungi.
• Aje ( Kaki )
Merupakan tempat kotor yang dipenuhi oleh roh jahat yang berfungsi untuk melindungi watang.

Didalam rumah Bajo dibagi menjadi tiga ruang, yakni ruang Lego-lego sebagai teras, Watangpola yaitu
badan rumah dengan Pocci Bola sebagai pusat rumah untuk berkumpul dan mengadakan upacara serta
Dapureng sebagai dapur. Mereka juga percaya arah barat sebagi kiblat dan suci tidak boleh digunakan
sebagai tempat yang kotor seperti toilet. Anak tangga juga harus berjumlah ganjil, bila syarat ini tidak
dipenuhi maka akan menyurutkan rezeki masuk kedalam rumah.

Dalam pembuatan rumah tradisional Bajo, masyarakat suku Bajo masih memegang teguh pakem dan
mengadakan upacara adat setiap kali mendirikan rumah. Karena dalam kepercayaannya ada hari baik dalam
mendirikan sebuah rumah.

Rumah tradisional suku bajo dibagi menjadi tiga tipe dengan berbagai ukuran. Mulai dari tipe kecil dengan
2 – 3 ruang didalamnya dengan bahan bangunan dari atap rumbia dan dinnding dari daun silar. Kemudian
tipe sedang dengan 3-4 ruang didalamnya dengan atap dari rumbia dan dinding kayu, serta tipe besar dengan
ruang lebih dari empat dengan atap seng dan dinding terbuat dari kayu olahan.

Disinilah bagaimana kebudayaan dan penyesuaian terhadap lingkungan berpengaruh terhadap arsitektur.
Awalnya masyarakat suku Bajo datang dari bagian China Selatan, kemudian menyebar di beberapa
kepulauan baik di Indonesia, Malaysia, hingga Filipina. Mereka pun mendiami pulau pulau tersebut dan
membangun pemukiman baik dipesisir maupun di daratan. Kemudian masyarakat suku Bajo mendirikan
hunian di pesisir atau di atas permukaan air laut. Rumah suku Bajo dibuat terapung dengan dasar batu
karang yang telah mati dan pondasi terbuat dari kayu berdiameter 15cm hingga 25 cm.
Hunian masyarakat suku Bajo menyesuaikan landskap pantai yang ditinggali. Hidup berdampingan dengan
laut dan menggunakan bahan material dari alam memberikan kesan yang menyatu dengan alam.
Penggunaan orientasi yang tepat serta penyususan ruang yang baik membuat dampak positif kepada
penghuni terutama pada bagian teras dengan view hamaran laut lepas yang biru. Semoga desain rumah suku
Bajo ini dapat menginspirasi. Terima kasih.

Ini Alat Tradisional Suku Bajo Untuk Tangkap Ikan

Rumpon yang dipakai untuk menangkap ikan (Melissa Bonauli/detikTravel)


Wangi-wangi - Suku Bajo memang istimewa karena keahliannya melaut. Mereka punya alat menangkap
ikan yang agak berbeda, namanya rumpon.

Kepiawaian Suku Bajo saat melaut tidak perlu diragukan lagi. Cara mereka menangkap ikan pun berbeda.

Bukan dengan jala tapi dengan rumpon. Rumpon merupakan tumpukan bambu yang diikat menjadi satu.

"Kenapa bambu? Karena tidak tenggelam," kata Derdi, tur guide Bajo Mola Bahari kepada detikTravel
pekan lalu.

Rumpon berfungsi sebagai tempat berkumpulnya ikan-ikan kecil yang menjadi makanan ikan tuna.
Karena bentuknya yang mengambang maka rumpon diikat dengan tali yang diberikan pemberat sampai
ke dasar laut.

"Rumpon jadi pengganti lumba-lumba. Karena ikan yang ada di bawah rumpon biasanya mengikuti
lumba-lumba," jelas Derdi.

Di atas rumpon dibangun rumah sebagai tempat peristirahatan bagi para nelayan. Karena para nelayan
akan melaut pada pukul 17.00 WITA, sehingga mereka menginap di laut.

Saat malam tiba, nelayan yang berada di atas rumpon akan menyalakan lampu minyak. Ikan-ikan akan
datang berkumpul di bawah rumpon karena tertarik dengan cahaya lampu.

Setelah ikan berkumpul, nelayan Bajo akan memancing dengan menggunakan ririnta'. Ririnta' merukapan
bahasa Bajo yang artinya alat pancing.
Ririnta' bukan hanya menangkap satu ikan. Alat tersebut bisa memancing 10 ikan sekaligus. Hal ini
dikarenakan mata pancingnya yang bercabang. Ikan ini juga tidak mengenal musim, jadi selalu ada
sepanjang tahun.

"Nantinya ikan-ikan ini akan dijual kepada nelayan tuna sebagai umpan," tutup
RUMAH TENUN SUMBA

Dua Jam Mengelilingi Rumah Budaya Sumba Kontributor Manggarai, Markus Makur Kompas.com -
28/08/2018, 11:54 WIB Rumah Budaya Sumba mengoleksi berbagai kain tenun bermotif Sumba, Kamis
(9/8/2018). Rumah Budaya Sumba mengoleksi berbagai kain tenun bermotif Sumba, Kamis
(9/8/2018).(KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) TAMBOLAKA, KOMPAS.com — Kerinduan untuk
berjumpa dengan Pastor Robert Romane, C.Ss.R di Kompleks ordo Redemptoris di Tambolaka, ibukota
Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT akhirnya terwujud. KompasTravel sudah lama memiliki niat untuk
melihat sosok dan berdiskusi dengan budayawan Sumba itu karena karya gemilangnya membangun
Rumah Budaya Sumba sebagai pusat budaya, studi dan penelitian tentang budaya Sumba. Awal
ketertarikan KompasTravel mengunjungi museum dan Rumah Budaya Sumba itu dari promosi buku yang
dipublikasikan media massa dengan judul “Sumba Forgotten Island, Pulau yang Dilupakan”. Baca juga:
Pulang dari Sumba, Ini 5 Pilihan Oleh-olehnya Buku itu menceritakan budaya, rumah adat, ritual adat
serta keunikan-keunikan alam Pulau Sumba, cerita-cerita mistis dan magis melalui karya fotografi yang
apik dan profesional. Publikasi media massa tentang imam yang tertarik di dunia fotografi membuat
KompasTravel terus menerus ingin berkunjung dan mengenal lebih dekat sosok di balik buku tersebut.
Menjelajahi Pulau Sumba dua tahun lalu belum terwujud untuk mengunjungi rumah budaya yang sudah
semakin terkenal di seluruh dunia. Gerbang masuk ke Rumah Budaya Sumba, Kabupaten Sumba Barat
Daya, Pulau Sumba, NTT, Kamis (9/8/2018). Gerbang masuk ke Rumah Budaya Sumba, Kabupaten
Sumba Barat Daya, Pulau Sumba, NTT, Kamis (9/8/2018).(KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Waktu
itu rute penerbangan saya, Waelengga-Labuan Bajo-Bali dan Tambolaka. Saat itu saya diundang Kepala
Balai Taman Nasional MataLawa Sumba, Maman Surahman untuk mengabadikan dan mempromosikan
keunikan alam, kampung tradisional Sumba, padang savana sumba serta bunga edelweis di Pegunungan
Wanggameti. Baca juga: Keunikan Julang Sumba di TN MataLawa Memukau Wisatawan Waktu itu
rencana mengunjungi Museum Budaya Sumba belum terwujud karena agenda-agenda yang sudah
dijadwalkan sangat padat. Saat itu KompasTravel menjelajahi Pulau Sumba dari Barat ke Timur. Dari
Tambolaka menuju ke Waikabubak. Dari Tambolaka ke Waikabubak ditempuh kendaraan roda empat
selama kurang lebih tiga jam. Selanjutnya menginap di salah satu hotel di Kota Waikabubak, ibukota
Kabupaten Sumba Barat. Keesokan harinya KompasTravel mengunjungi kampung tradisional Praijing
untuk melihat rumah adat Sumba, tenun sumba serta kebiasaan orang Sumba di Kampung Praijing saat
menyambut tamu. Baca juga: Menerobos Rimba Manurara Pulau Sumba Mencari Air Terjun Matayangu
Beruntung saat itu ada sejumlah rombongan dari berbagai kota di Indonesia yang mengunjungi
perkampungan tradisional tersebut. Museum Tenun Sumba yang siap diresmikan 29 Agustus 2018,
Kamis (9/8/2018). Museum Tenun Sumba yang siap diresmikan 29 Agustus 2018, Kamis (9/8/2018).
(KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Saat itu kaum perempuan di Kampung Praijing menampilkan
tarian khas Sumba untuk menyambut tamu. Selanjutnya hari itu menuju ke Air Terjun Lapopu dan
menempuh perjalanan darat menuju ke Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur. Baca juga: Kapan
Waktu Terbaik Mengunjungi Sumba? Kesempatan kedua pada Agustus 2018 KompasTravel diundang
lagi oleh Balai Taman Nasional MataLawa Sumba untuk meliput kompetisi lomba foto burung dan
birdrace di lokasi pengamatan burung di Manurara, Desa Manurara, Kecamatan Katikutana, Kabupaten
Sumba Tengah. Kali ini rute penerbangan yang diambil Waelengga-Soa-Kupang-Waengapu. Saya tiba di
Bandara Umbu Mehang Kunda Waengapu, Sabtu (4/8/2018). Hari itu menempuh kendaraan roda empat
yang disiapkan panitia menuju ke Waikabubak, ibukota Sumba Barat dengan menempuh perjalanan
selama empat jam lebih. Baca juga: Kapan Waktu Terbaik Mengunjungi Sumba? Kesempatan kedua ini
KompasTravel sisihkan waktu di sela-sela liputan lomba foto burung dan birdrace. Pertama fokus untuk
meliputi lomba bersama keunikan alam yang sudah dijadwalkan oleh panitia dari Balai Taman Nasional
MataLawa Sumba. Gendang sakral di dalam Rumah Budaya Sumba, Kamis (9/8/2018). Gendang sakral
di dalam Rumah Budaya Sumba, Kamis (9/8/2018). (KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Dari Sabtu
(4/8/2018) sampai Rabu (8/8/2018), KompasTravel konsentrasi untuk meliput berbagai kegiatan lomba
foto burung dan birdrace yang diikuti 61 peserta dari berbagai Kota, dan Perguruan Tinggi di Indonesia.
Minggu (5/8/2018), saya sempat mengelilingi Waebakul-Tambokala untuk berjumpa dengan peserta
lomba yangmendarat di Bandara Tambolaka. Hari itu juga saya mencari informasi tentang Rumah Budaya
Sumba. Saat menunggu di Bandara Tambolaka, saya mencari nomor kontak Pastor Robert, C.Ss.R di
handphone. Beruntung nomor kontak masih tersimpan dan saat itu saya mengabarkan melalui pesan
whatsapp tentang rencana ke Rumah Budaya Sumba. Namun rencana hari tidak terwujud karena padatnya
kegiatan sepanjang hari hingga kembali ke penginapan Puspas Keuskupan Sumba di Waibakul, Sumba
Tengah bersama seluruh peserta lomba, tim juri dan panitia setempat. Rumah Budaya Sumba mengoleksi
berbagai jenis patung khas Sumba yang di pahat orang Sumba sendiri, Kamis (9/8/2018). Rumah Budaya
Sumba mengoleksi berbagai jenis patung khas Sumba yang di pahat orang Sumba sendiri, Kamis
(9/8/2018).(KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Minggu malam (5/8/2018) peserta lomba dan jurnalis
KompasTravel memperoleh arahan dari Panitia tentang lokasi lomba serta gambaran-gambaran tentang
keunikan burung endemik Sumba dan alam serta budaya setempat. Selanjutnya Senin (6/8/2018)-Rabu
(8/8/2018) berada di spot pengamatan burung Manurara di dalam kawasan Taman Nasional MataLawa
Sumba. Saat itu fokus untuk mengumpulkan bahan liputan serta mengunjungi obyek wisata di dalam
kawasan tersebut. Bertemu Fotografer Sumba Kamis (9/8/2018), penerbangan Kompas Travel untuk
kembali ke Flores, Nusa Tenggara Timur dengan pesawat Nam Air pukul 16.00 Wita menuju ke Bandara
Eltari Internasional Kupang. Malamnya saya putuskan untuk berangkat pagi dari Penginapan Puspas
Keuskupan Sumba di Waibakul bersama dengan rombongan peserta lomba yang bali ke Kota masing-
masing melalui Bandara Tambolaka. Pastor Robert Romane, C.Ss.R sedang menjelaskan kepada
pengunjung tentang motif tenun Sumba di Rumah Budaya Sumba, Kamis (9/8/2018). Pastor Robert
Romane, C.Ss.R sedang menjelaskan kepada pengunjung tentang motif tenun Sumba di Rumah Budaya
Sumba, Kamis (9/8/2018). (KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Semua rombongan peserta dihantar
dengan bis dan mobil operasional dari TN MataLawa Sumba dari tempat penginapan menuju ke Bandara
Tambolak sekitar jam 06.30 wita. Sebagian peserta dan tim juri terbang pagi sesuai dengan tiket masing-
masing dan ada juga penerbangan siang. Dalam tiket saya terbang sore. Minum Kopi Sumba Setiba di
Bandara Tambolaka, saya dan sejumlah peserta memesan kopi rasa Sumba yang dijual di kedai bandara
oleh pedagang lokal setempat. Rasa kopi sumba sangat berbeda dengan rasa kopi khas Manggarai,
Manggarai Barat dan Manggarai Timur maupun Flores pada umumnya. Rumah Budaya Sumba
mengoleksi berbagai jenis patung khas Sumba yang dipahat orang Sumba sendiri, Kamis (9/8/2018).
Rumah Budaya Sumba mengoleksi berbagai jenis patung khas Sumba yang dipahat orang Sumba sendiri,
Kamis (9/8/2018). (KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Sambil minum kopi yang sudah dipesan, saya
menggali informasi tentang alamat Rumah Budaya Sumba yang didirikan imam setempat, Pastor Robert
Romane, C.Ss.R. Semua orang di bandara mengetahui Rumah Budaya Sumba tersebut dan selanjutnya
mencari informasi tentang sewa travel dalam sehari dari Bandara Tambolaka menuju ke Rumah Budaya
Sumba. Tak lama kemudian, muncul sopir travel bandara menginformasi harga per hari dalam menyewa
travel. Negosiasi harga terjadi, namun karena harganya cukup mahal akhirnya saya memutuskan untuk
tidak menyewa mobil travel dan berada di Bandara Tambolaka sambil menunggu penerbangan sore hari
ke Bandara Eltari di Kupang. Ketika sedang menikmati kopi rasa sumba, saya melihat bus travel milik
Rumah Budaya Sumba yang mengantar tamu ke Bandara Tambolaka. Seketika itu saya mengontak Pastor
Robert bahwa saya ingin ke Rumah Budaya Sumba. Dua mahasiswi sedang mengunjungi Rumah Budaya
Sumba untuk mengisi waktu liburan di Pulau Sumba, Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (9/8/2018). Dua
mahasiswi sedang mengunjungi Rumah Budaya Sumba untuk mengisi waktu liburan di Pulau Sumba,
Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (9/8/2018).(KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Harapan saya
terwujud di mana Pastor Robert mengontak sopir bus untuk menjemput saya di pelataran Bandara
Tambolaka. Saat itu juga saya naik kendaraan milik Rumah Budaya Sumba menuju ke museum tersebut.
Tiba di Restoran Rumah Budaya Sumba Saya turun dari bus itu menuju ke sebuah gedung megah
bermotif Rumah Adat Sumba. Gedung itu adalah restoran Rumah Budaya Sumba. Sebelumnya saya
melihat sosok Pastor Robert di media massa, lalu hari itu terwujud untuk bertemu langsung dengan sosok
tersebut. Saat itu Pastor Robert duduk didampingi seorang wisatawan asal Kenya, Len Ogembo yang
menginap di Rumah Budaya Sumba tersebut. Selanjutnya Pastor Robert menyapa selamat datang di
Rumah Budaya Sumba serta menyapa wisatawan asal Kenya tersebut. Selanjutnya Pastor Robert
menawarkan jasa baiknya dengan bertanya, mau minum apa? Rumah Budaya Sumba di Pulau Sumba ,
NTT, mengoleksi berbagai jenis peralatan untuk menyimpan air minum di masyarakat Sumba, Kamis
(9/8/2018). Rumah Budaya Sumba di Pulau Sumba , NTT, mengoleksi berbagai jenis peralatan untuk
menyimpan air minum di masyarakat Sumba, Kamis (9/8/2018). (KOMPAS.com/MARKUS MAKUR)
Saat itu saya memutuskan minum kopi Pastor. Seketika itu Pastor minta karyawannya untuk
menyuguhkan kopi. "Silakan ngobrol dengan tamu saya ini. Saya sedang mengurus persiapan peresmian
Museum Tenun Sumba untuk diresmikan 29 Agustus 2018," katanya. Sambil minum kopi saya
berbincang-bincang dengan tamu asal Kenya itu. Selanjutnya tamu itu hendak ke Bandara Tambolaka
untuk balik ke Jakarta. Selanjutnya saya berbincang-bincang dengan pengelola Rumah Budaya Sumba itu.
Pertama, Pastor Robert bertanya kapan kita bertemu pertama kali. Saat itu saya menjawab saya belum
bertemu Pastor sebelumnya. "Hari ini saya pertama kali bertemu Pastor. Saya mengenal Pastor dari buku
yang dipublikasikan tentang Budaya Sumba melalui foto-foto yang dikumpulkan dalam sebuah buku
tersebut," jawab saya. Mahasiswi Undana Kupang sedang mengunjungi Rumah Budaya Sumba di
Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (9/8/2018). Mahasiswi Undana Kupang sedang
mengunjungi Rumah Budaya Sumba di Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Kamis
(9/8/2018). (KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Pastor Robert Romane, C.Ss.R kepada KompasTravel,
Kamis (9/8/2018) menjelaskan, selama 25 tahun bergelut di dunia fotografi. Berawal dari senang
memotret alam, budaya dan rumah adat di Pulau Sumba. "Saya cetak dalam bentuk post card dan
mengirim ke relasi dan teman-teman di luar negeri dan Indonesia," katanya. Romane menjelaskan, tahun
2004, dirinya menggagas mendirikan Rumah Budaya Sumba dan mengusulkan gagasan itu kepada
pembesar Ordo Redemptoris dan mendapatkan persetujuan untuk memulai mendidikan Rumah Budaya
Sumba tersebut. Gagasan itu disetujui untuk mengelola di lahan seluas 50 hektar. Tetapi gagasan itu harus
memiliki modal untuk memulai merancang bangunannya. Lalu uang tidak ada. Romane menjelaskan,
gagasan itu ternyata ada jalan keluarnya di mana Yayasan Tirta Utomo membantu sebagai donatur dengan
nilai Rp 2,5 miliar untuk memulai membangun gedung Rumah Budaya Sumba hingga berdiri hari ini.
Perlahan tapi pasti. Perjuangan itu tahap demi tahap dengan kemampuan apa adanya. Rumah Budaya
Sumba memiliki lambang Cinta dengan huruf C di tengah-tengah rumah budaya tersebut, Weetabula,
Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (9/8/2018). Rumah Budaya Sumba memiliki lambang Cinta
dengan huruf C di tengah-tengah rumah budaya tersebut, Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya,
NTT, Kamis (9/8/2018). (KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Lalu, Maret 2010, mulai membangun
Rumah Budaya Sumba dengan bantuan donatur Yayasan Tirta Utomo. Dan peresmiannya Rumah Budaya
Sumba, 22 Oktober 2011. Mengelola Rumah Budaya Sumba tidaklah gampang. Pasalnya perawatan
gedung, serta gaji karyawan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Lalu, pengelola membangun vila bagi
wisatawan yang berkunjung dan belajar serta meneliti Budaya Sumba. “Penantian selama tujuh tahun
terwujud dengan bangunan Rumah Budaya Sumba dengan berbagai koleksi budaya setempat. Saya sangat
mencintai Pulau Sumba. Pulau Sumba sangat indah untuk dijelajahi. Keunikan rumah adat, tradisi Pasola,
tarik batu kubur raksasa dari hutan, Kampung Ratenggarong, kampung berada di bibir pantai Samudera
Hindia, nilai-nilai budaya Sumba dilestarikan,” katanya. Romane menjelaskan, sejumlah mahasiswa asal
Jerman belajar budaya Sumba di museum Rumah Sumba dan banyak peneliti Indonesia dan asing yang
belajar tentang budaya Sumba menginap di Vila Rumah Budaya Sumba. Pengelola Rumah Budaya
Sumba, Pastor Robert Romane, C.Ss.R sedang berjalan di gedung itu, Kamis (9/8/2018). Pengelola
Rumah Budaya Sumba, Pastor Robert Romane, C.Ss.R sedang berjalan di gedung itu, Kamis (9/8/2018).
(KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) “Rumah Budaya Sumba mengoleksi kain-kain tua di Pulau Sumba.
Pulau Sumba sangat kaya akan budaya, alam serta obyek wisata yang tersebar dari Kabupaten Sumba
Barat Daya sampai di Kabupaten Sumba Timur,” jelasnya. Wisatawan asal Kenya, Len Ogembo kepada
KompasTravel menjelaskan, budaya Pulau Sumba sangat unik, sistem agrikulturnya, serta pulaunya yang
indah. “Saya sudah beberapa kali ke Pulau Sumba untuk berwisata. Saya sedang menggali informasi
tentang hasil bumi di Pulau Sumba,” katanya.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI


Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang yang mewadahi kehidupan masyarakat Bali
yang telah berkembang secara turun menurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman
dahulu hingga sekarang. Arsitektur Bali adalah gaya arsitektur vernacular yang didesain menggunakan
bahan-bahan lokal untuk membangun bangunan, struktur, dan rumah-rumah, serta mencerminkan tradisi
lokal.

Arsitektur Bali sangat dipengaruhi oleh tradisi Hindu Bali, serta unsur Jawa kuno. Bahan yang biasa
digunakan di rumah-rumah dan bangunan Bali antara lain atap jerami, kayu kelapa, bambu, kayu jati,
batu, dan batu bata. Arsitektur Bali memiliki karakteristik menggunakan budaya kuno dan kesenian di
setiap elemen desain.

Cara peribadatan masyarakat Bali (Sumber:


matthewwilliamsellis.photoshelter.com)

Masyarakat Bali sangat percaya bahwa dirinya hidup di dunia membawa misi hidup untuk membuat
kebaikan di bumi, dan bila kebaikannya diterima oleh Sang Hyang Widi maka dirinya dapat menyatu
dengan alam semesta dan meninggalkan dunia yang fana untuk moksa menuju nirwana, kemudian bersatu
dengan dewanya untuk selamanya. Itulah yang disebut sebagai dharma.

Namun, bila masyarakat Bali membuat suatu kesalahan, ketika mati dia akan melakukan reinkarnasi
untuk membersihkan dosanya kembali sampai kemudian diterima oleh Tuhannya. Inilah konsep
kosmologi Bali yang juga dianut dalam arsitektur Bali. Hal inilah yang mendasarkan arsitektur Bali pada
harmoni dan keselarasan kehidupan.

Tari Kecak, tarian tradisional Bali (Sumber:


www.luxuryaccommodationsblog.com)

Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan manuskrip Hindu bernama “Lontar Asta Kosala
Kosali” yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan
ibadah atau pura. Dalam Asta Kosala Kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah
harus mengikuti aturan-aturan anatomi tubuh pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedande
atau orang suci yang mempunyai wewenang membantu pembangunan rumah atau pura.
Pura Penataran Agung Lempuyang (Sumber: tumblr.com)

Filosofi dari desain arsitektur Bali berpusat pada agama Hindu, organisasi ruang, dan hubungan sosial
yang bersifat komunal. Sebuah rumah atau villa di Bali dibangun dan dirancang dengan 7 filosofi berikut:

1. Tri Hata Karana - Menciptakan harmoni dan keseimbangan antara 3 unsur kehidupan - atma atau
manusia, angga atau alam, dan khaya atau dewa-dewa.
2. Tri Mandala - aturan pembagian ruang dan zonasi
3. Sanga Mandala - seperangkat aturan pembagian ruang dan zonasi berdasarkan arah
4. Tri Angga - konsep atau hierarki antara alam yang berbeda
5. Tri Loka - mirip dengan Tri Angga tetapi dengan alam yang berbeda
6. Asta Kosala Kosali - 8 pedoman desain arsitektur tentang simbol, kuil, tahapan, dan satuan
pengukuran
7. Arga Segara - axis suci antara gunung dan laut

Kompleks rumah tradisional Bali (Sumber: www.kashgar.com.au)

Berdasarkan filosofi tersebut, arsitektur Bali berfokus pada 4 aspek, yaitu:

Sistem ventilasi yang baik. Pada rumah Bali ataupun villa, jendela besar selalu digunakan untuk
sirkulasi udara dan sering dibuat pula ruang di antara atap dan dinding bangunan.

Fondasi yang kokoh. Berdasarkan pada filosofi Tri Loka, tubuh manusia mirip dengan rumah, maka
dibuatlah fondasi dengan dasar yang kuat, seperti kaki bagi manusia, fondasi yang kuat pada sebuah
rumah akan memberikan kekuatan.
Sebuah halaman besar. Berdasarkan konsep yang selaras dengan alam, rumah khas Bali harus memiliki
halaman yang luas untuk berkomunikasi dengan alam sekitarnya.

Tembok penjaga. Tembok tinggi yang melindungi rumah dari pandangan orang luar, memberikan
privasi dan perlindungan dari orang lain, serta untuk menangkal ilmu hitam dan roh-roh jahat agar tidak
masuk ke dalam rumah.

Bali memiliki suatu ciri khas yang berbeda dan kuat. Arsitektur Bali sangat digemari dimana-mana,
hingga ke mancanegara. Walaupun pada beberapa bagian masih terdapat unsur-unsur Hindu Jawa Kuno,
Bali tetap memiliki ciri khasnya tersendiri. Berikut adalah unsur-unsur yang menjadi ciri khas arsitektur
Bali:

Pura Besakih (Sumber: rumah.mylandsshore.com)

Adanya pura atau kuil umat Hindu. Masuknya agama Hindu di pulau Bali memberikan dampak yang
cukup signifikan, terutama pada gaya arsitekturnya. Arsitektur Bali secara umum didominasi oleh
pengaruh Hindu sejak kedatangan Majapahit ke pulau ini pada abad 15. Kedatangan Majapahit ini juga
meninggalkan kebudayaan berupa teknik pahatan pada batu yang kemudian difungsikan sebagai patung
atau Pura. Seiring dengan perkembangan zaman, kehadiran patung dan pura kecil begitu melekat dan
identik dengan gaya arsitektur Bali.

Pura Taman Ayun (Sumber: expedia.com.au)

Pada agama Hindu sendiri terdapat konsep Tri loka, yakni pemisahan eksistensi antara alam para Dewa,
alam manusia, dan alam iblis atau roh jahat. Konsep ini kemudian direfleksikan dari bentuk pura Bali dan
menjadikan pura ini sedikit berbeda dengan pura yang ada di India, negara asal agama Hindu. Mayoritas
pura di Bali didesain dengan 3 tingkatan, dimana tingkat tertinggi merepresentasikan tingkat kesakralan
dan pemujaan untuk Dewa-Dewa atau Sang Hyang Widi.
Pura Luhur Batukaru (Sumber: bali.panduanwisata.id)

Adanya pengaruh dari kepercayaan Polytheisme. Polytheisme atau pemujaan kepada banyak dewa
merupakan kebudayaan awal yang eksis di pulau Bali sebelum kedatangan Hindu ke pulau tersebut. Maka
dari itu, di beberapa gaya arsitekturnya masih dapat kita temui unsur-unsur kebudayaan ini. Orang-orang
Bali kerap membangun pura atau rumah mereka dengan konsep terbuka, terutama untuk hal-hal yang
bersifat peribadatan atau pemujaan kepada dewa-dewa. Bahkan, kita sering melihat dalam satu kompleks
pura terdapat lebih dari satu pura di mana masing-masing pura digunakan untuk memuja Dewa yang
berbeda.

Suasana di kompleks rumah tradisional Bali


(Sumber: www.gusdehousevilla.com)

Untuk bangunan-bangunan yang tidak didesain untuk kegiatan pemujaan, bangunan tersebut kebanyakan
dibuat dari bambu dan material lain yang kental akan nuansa alaminya, seperti batuan-batuan alam. Hal
ini juga dapat dilatar belakangi oleh budaya mereka yang mengharuskan membangun pura lebih bagus
daripada rumah mereka sendiri.
Pura Besakih (Sumber: www.youtube.com)

Orientasi kepada hal sakral. Gaya arsitektur Bali yang asli tidak dibuat dengan sembarangan,
melainkan dengan konsep dan perhitungan yang matang dan merepresentasikan kesakralan. Tidak hanya
pada bangunan pura atau rumah pribadi, bangunan-bangunan kecil lainnya juga didesain dengan
mempertimbangkan konsep ini.

Peta kompleks rumah tradisional Bali (Sumber: nurvata.wordpress.com)

Struktur rumah tradisional yang kompleks. Rumah-rumah di Bali cenderung memiliki struktur yang
kompleks namun tertata rapi. Rumah-rumah berasitektur tradisional Bali tidak hanya terdiri atas satu unit
stuktur, tapi memiliki sekumpulan bangunan-bangunan. Tiap bangunan dihuni satu kepala keluarga.
Biasanya, mereka yang tinggal di kompleks ini merupakan keluarga besar dan berasal dari keturunan
yang sama. Di sekeliling kompleks bangunan ini dibangun tembok yang tidak terlalu tinggi, namun cukup
memisahkannya dengan dunia luar.
Peta kompleks rumah tradisional Bali (Sumber:
www.crazylittlefamilyadventure.com)

Pada kompleks bangunan ini terdapat satu pura untuk sembahyang, dapur yang digunakan untuk bersama,
area untuk tidur, serta area untuk pertemuan penting atau perjamuan. Untuk tujuan itu, biasanya pada
kompleks bangunan dibangun 2 macam paviliun, yaitu paviliun untuk menerima tamu serta paviliun
khusus untuk upacara adat dan ritual keagamaan.

Suasana di kompleks rumah tradisional Bali (Sumber:


www.gusdehousevilla.com)

Mirip seperti rumah-rumah tradisional di pulau Jawa, rumah khas Bali dibangun di dalam kompleks yang
dikelilingi oleh dinding lumpur bercat putih atau batu bata, bergantung pada kekayaan dari pemilik
rumah. Kompleks rumah tradisional Bali didominasi oleh paviliun (bale) yang mengelilingi halaman
tengah (natah). Elemen arsitektur lainnya yang ada dalam kompleks rumah ditata sesuai dengan konsep
kesakralan yang ada di Bali dan mata angin.

Pura dalam kompleks rumah (Sumber: commons.wikimedia.org)

Kuil keluarga merupakan area yang paling suci dari keseluruhan kompleks rumah, dan terletak di Timur
Laut (Kaja-Kangin) yang diidentifikasikan sebagai kepala dari kompleks rumah. Kuil keluarga ini selalu
dikurung di dalam tempat suci (Pamerajan). Kuil yang paling penting adalah Kamulan Sanggah, sebuah
kuil yang berisi tiga kompartemen yang didedikasikan untuk trimurti Hindu Brahma, Wisnu dan Siwa.

Asta Kosala Kosali Arsitektur Bali

Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan
untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan
Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik
(dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.

Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran
beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup
pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan
pembanguna arsitektur Bali.

Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke
Bali abad 14, juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta
kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur.

Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh dikemukakan,Bhagawan
Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang
dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya
Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan
untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur.
Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan
Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai
bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup
dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali,
bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan
adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos).Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati
harus harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat
bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai
fengsui Hindu Bali.

Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci.
Penataan bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih
menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi
menggunakan seperti:

 Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke
atas),
 Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung
jari tengah yang terbuka)
 Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)

Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang empunya rumah.

Di atas telah dijelaskan mengenai Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Nah,
kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti :
1. Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang
berhubungan dengan materialisme
3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda
manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.

Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga). Setiap
bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya:

 Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan,


 Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat
matahari Terbit.
 Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada begitu
seterusnya.

Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. Jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau Jeroan,
biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena sekarang banyak yang sudah kaya diBali, jadi
siapapun boleh membuat yang seperti ini. Namun mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di
Dalamnya saja.

Warna itu merupakan sistem hirarki, di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan
rumahnya. Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi:

 jaba untuk bagian paling luar bangunan


 jaba jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah

Jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang
paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal.

Di konsep ini juga disebutkan tentang teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya Tri Angga, yang
terdiri dari:

 Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi
rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari Batu bata
atau Batu gunung.
 Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan
pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia
 Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini
juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau
leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur
tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
Berikut bagian-bagian dari rumah Bali:

1. Pamerajan adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan
tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada
sembilan petak pola ruang
2. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus
cukup terhormat
3. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anakanak atau anggota keluarga lain
yang masih junior.
4. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu
5. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau merajut pakaian
bagi anak dan suaminya.
6. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
7. Paon (Dapur) yaitu tempat memasak bagi keluarga.
8. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan
masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak
langsung lurus ke dalam.
9. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura
jalan masuk.

Arsitektur bali atau yang buat rumah dibali disebut juga Undagi. Begitulah tradisi pembuatan rumah di Bali.

Landasan filosofis Asta Kosala Kosali

 Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung. Pembangunan perumahan adalah


berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha
Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana
Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan
antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan
perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
 Unsur- unsur pembentuk. Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri
Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa
adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur
alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan
yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.

Landasan Etis

 Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada
di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih
pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya
Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala.
 Pembinaan hubungan dengan lingkungan. Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan
didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha

Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang
mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon
perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.
Konsepsi perwujudan
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak
dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :

1. Keseimbangan Alam: Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara
alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan
terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang
dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
2. Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana. Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu
teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan
raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk
penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
3. Tri Angga dan Tri Mandala. Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi
3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama
(seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya
(tempat tinggal penghuni) dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista
(misalnya: kandang). Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri
Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari
tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
4. Harmonisasi dengan potensi lingkungan. Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan
memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.

Pemilihan Tanah Pekarangan.


Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring
ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas).

Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :

1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),


2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
7. karang tenget,
8. karang buta salah wetu,
9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)

Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan
jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi
dengan upacara/ upakara pamarisuda. Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah
Susun.

Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan.
Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan
perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta). Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur
sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma,
Penunggun Karang dan Natar.

Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah
boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.

Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat
pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

Dewasa Membangun Rumah.

 Dewasa Ngeruwak. Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.Sasih: Kasa,
Ketiga, Kapat, Kedasa.
 Nasarin. Watek: Watu. Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi. Sasih:
Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
 Nguwangun. Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
 Mengatapi. Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.Dewasa ala : geni
Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
 Memakuh/ Melaspas. Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.Sasih : Kasa,
Katiga, Kapat, Kadasa.

Upacara Membangun Rumah.

 Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat
tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat
kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap
dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan,
peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
 Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya
ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar:
pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede,
ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
 Upakara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih
siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati,
ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng,
jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi
dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara.

Upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat.

Dalam melihat tata budaya dari berbagai suku di Indonesia, bentuk budaya Bali telah berkembang dengan
ciri dan kepribadian tersendiri.

Dari sudut arsitektur tradisional , peranan agama dan kebudayaan dipengaruhi kebudayaan Cina dan India
yang melebur ke dalam ajaran agama mereka yaitu Hindu-Budha, sehingga peranannya sangat mendalam
dan dijadikan pangkal untuk mencipta, petunjuk petunjuk ini dikenal dengan nama Hasta Bumi,Hasta
Kosala Kosali,Hasta Patali, sikuting umah, dan lain-lain yang berisikan berbagai petunjuk , pantangan, tata
cara perencanaan, pelaksanaan dan lain-lain dalam mendirikan suatu bangunan . Pengaruhnya terlihat pada:
Bentuk
Dari segi perbandingan ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada ukuran kepala
dan badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya rumah) secara fisik dan tingkat
kastanya.

Bentuk rumah Bali, pada dasarnya bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah satu atap , tetapi
beberapa bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di dalam satu lingkungan atau satu
tembok.

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai
ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

1. Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga


2. Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
3. Konsep keseimbangan kosmologi
4. Konsep proporsi dan skala manusia
5. Konsep court, Open air
6. Konsep kejujuran bahan bangunan

Adapula beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali:

1. Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.


2. Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali.
3. Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali, seperti :
kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya

Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci.
penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya rumah. Pengukurannya pun
tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:

Mata Pencaharian dan Pengaruh Lingkungan


Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan geografis dan
ekonomi masyarakat. Ditinjau dari aspek geografi terdapatlah Arsitektur Tradisional Bali dataran tinggi
(daerah pegunungan) dan Arsitektur Tradisional Bali dataran rendah. Untuk daerah dataran tinggi yang
penduduknya berkebun, pada umunya bangunannya kecil-kecil dan tertutup untuk menyesuaikan keadaan
lingkungannya yang cenderung dingin. Tinggi dinding relatif pendek untuk menghindari sirkulasi udara
yang terlalu sering. Satu bangunan bisa digunakan untuk berbagai aktifitas mulai aktifitas sehari-hari seperti
tidur, memasak dan untuk hari-hari tertentu juga digunakan untuk upacara. Luas dan bentuk pekarangan
relatif sempit dan tidak beraturan disesuaikan dengan topografi tempat tinggalnya.

Untuk daerah dataran rendah,yang penduduknya bertani, pekarangannya relatif luas dan datar sehingga bisa
menampung beberapa massa dengan pola komunikatif, umumnya berdinding terbuka, yang masing-masing
mempunyai fungsi tersendiri. Seperti bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh
untuk ruang tidur dan menerima tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk
memasak, jineng untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Untuk keluarga raja dan brahmana
pekarangnnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu jaba sisi (pekarangan depan), jaba tengah (pekarangan
tengah) dan jero (pekarangan untuk tempat tinggal. Adapun pertimbangan dalam membangun tempat
tinggal diantaranya:
Tanah
Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi rohaniwan dari Banjar
Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan lokasi (tanah) yang pas.Lokasi yang
bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih rendah (miring) ke timur (sebelum direklamasi).
Namun di luar lahan bukan milik kita,posisinya lebih tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga
harus lebih tinggi.Bila tanah di pinggir jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada
air di arah selatan tetapi bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi sungai
juga harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran air yang lambat
membuat Dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras.

Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik. Tanah berwarna kemerahan
dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat tinggal.Untuk menguji tekstur
tanah,cobalah genggam tanah tersebut.Jika setelah lepas dari genggaman tanah itu terurai lagi,berarti
kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi perumahan.Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang
baik adalah dengan cara melubangi tanah tersebut sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug
(ditimbun) lagi dengan tanah galian tadi.

Jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu, berati tanah itu bagus untuk
rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi (jumlahnya kurang) berati tanah
tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong tanah anggker.Akan lebih baik memilih
tanah yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk melakukan penataan bangunan menurut konsep
Asta kosala-kosali.Misalnya membuat pintu masuk rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga
(merajan/sanggah).Lokasi seperti ini memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan.Tata
letak pintu masuk yang sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki.

Kurang Bagus
Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar (balai masyarakat),
bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara ngaben massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria
(tempat tinggal pedande/pendeta) dan tanah bekas kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi
(tanah)bersudut tiga atau lebih dari bersudut empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan
juga kurang bagus untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit –
sakitan.Demikian juga tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang jalan) tidak bagus
untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker karena
merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka.

Tata Letak Bangunan


Setelah direklamasi (ditata) diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih tinggi sebab munurut
masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan
menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan
air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci
keluarga yg disebut merajan atau sanggah.Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari tempat
yang di anggap sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena menurut
konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api.

Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah timur atau utara
dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi Dewa Air.

Bangunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah utara,sedangkan balai adat atau balai gede
ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.Bangunan penunjang lainnya diletakkan di
sebelah selatan balai adat.
PintuMasuk
Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki ukuran pintu
masuk juga harus diatur. Jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar pintu masuk utama dan lainya
tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama. Lantai pintu masuk utama (dibali
berbentuk gapura/angkul – angkul) harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.jika
dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-
sakitan.Akan sangat bagus bila di sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur
jambangan air (pot air) yang disi ikan

Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak menempatkan benda –
benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah seperti penempatan meriam kuno,tiang
bendera,listrik dan tiang telepon atau tataman yang berbatang tinggi seperti pohon palm,karena membuat
penghuninya sakit sakitan akibat tertusuk.Got dan tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di
posisi hilir dan lebih rendah dari pintu masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya
dibuat di atas permukaan tanah(bukan lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi
memelu rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan mempengaruhi
kesehatan penghuni rumah.

Ciri Khas Motif Batik Bali

Via blog.com

Dengan melihat ulasan singkat yang ada di atas. Bagaimana kita tahu bahwa yang akan kita beli adalah
kain dengan motif batik bali yang asli?

Nah, berikut ini saya sertakan ciri-ciri yang menjadi khas batik bali untuk mempermudah kita dalam
memilihnya. Diantaranya adalah :

1. Aksen Batik Bali

Aksen yang diberikan pada setiap motif batik Bali tidak sama besar satu sama lain.

2. Jenis Kain Batik Bali

Motif batik Bali memakai kain mori yang berbeda dengan motif batik dari daerah lainnya. Yaitu bobot
dari kain batiknya terasa lebih berat dari kain batik yang lain.
3. Perpaduan Motif Tradisional dan Modern menjadi Satu

Ciri khas pertama dari kain batik Bali adalah pada motifnya yang telah terpadu antara motif batik
tradisional dan juga motif batik modern. Contohnya adalah dengan motif daerah khas Bali seperti naga,
kura-kura, burung bangau, dan rusa.

Lalu dimasukkan sentuhan modern di dalam motif batik tersebut seperti warna kain yang cerah sehingga
terlihat menonjol. Dan juga dipadu dengan corak bergelombang yang dipakai. Dengan demikian
menandakan pengrajin batik Bali mempunyai kebebasan berekspresi daripada pengrajin batik di pulau
lainnya.

4. Aroma Khas Batik Bali

Yang menjadi Batik Bali asli berbeda dengan yang lainnya adalah aroma yang khas yang dimilikinya.
Aroma ini berasa dari bahan-bahan pewarna alami pembuatan batik diantaranya adalah kulit-kulit kayu
dan bahan yang lainnya.

5. Bentuk Tak Sama Persis

Sudah menjadi hal umum bahwa keseimbangan pola motif batik dapat meningkatkan esensi dari batik itu
sendiri. Tetapi khusus untuk batik bali berbeda. Walau polanya cenderung sama, tetapi bentuk antar motif
satu dengan yang lainnya tidak selalu sama persis atau asimetris.

Ada bagian yang sengaja dibentuk lebih besar atau lebih kecil dari bentuk motif yang lainnya sebagai
penanda motif utama di batik tersebut.

6. Perpaduan Budaya Bali Asli dengan Budaya dari Luar Pulau Bali

Perkembangan Batik di Bali sungguh sangat cepat dan juga rumit. Hal ini membuat motif batik Bali
sendiri menjadi sangat sulit untuk dikenali.

Hal ini terjadi dikarenakan banyaknya industri Batik Bali yang mulai berdiri dan memberikan motif
dengan memadukan corak khas Bali dengan corak khas pulau lainnya. Seperti misalnya kain Batik-
Pekalongan, kain Batik-Papua, dan masih banyak lagi yang lainnya.

7. Inspirasi para Dewa

Bali dikenal sebagai pulau Dewata. Kebudayaan dan agama Hindu adalah hal yang paling dominan di
pulau ini. Begitu pula motif batik yang diterapkan pada motif batik Bali. Kebanyakan motif yang ada
pada motif batik Bali menceritakan kisah-kisah para Dewa yang di dalam kehidupan masyarakat Bali
selalu menjaga kehidupan harmonis masyarakat Bali

Patra Punggel

Patra Punggel merupakan salah satu kesenian dalam bentuk ukiran yang sudah lama melekat di Bali. Patra
Punggel adalah sebuah ukiran yang biasanya terdapat di Pura. Asal mula dari Patra Punggel ini tidak
diketahui karena konon katanya sudah berada di Bali dari jaman kuno. Bentuk ukiran dari Patra Punggel
ini mayoritas menggunakan bentuk yang terinspirasi dari bentuk tanaman. Penggunaan tanaman sebagai
dasar bentuknya adalah dikarenakan tumbuhan merupakan lambang kehidupan dimana nilai tersebutlah
yang ingin ditanamkan pada setiap ukiran ukiran pada Patra Punggel. Adapun beberapa bentuk yang
terdapat dalam Patra Punggel

1. Batun Poh. Merupakan bentuk yang diambil dari bentuk buah mangga, lebih tepatnya mangga
golek.
2. Jengger Siap. Merupakan bentuk yang diambil dari bentuk jengger ayam jago.
3. Kepitan. Merupakan bentuk yang diambil dari bentuk kelopak bunga nangka.
4. Util. Merupakan bentuk yang diambil dari pohon pakis yang masih kecil.

Pada awalnya, penggunaan Patra Punggel ini hanya pada desain arsitektur dari sebuah pura, dimana
biasanya pada bagian atas suatu tembok dari Pura akan berisi ukir-ukiran tersebut. Namun, seiring
perkembangan jaman ke arah yang lebih modern, para seniman kini membuat berbagai bentuk ukiran
pada perabotan rumah tangga seperti pintu, kursi, lemari, meja, ataupun ventilasi pada rumah, dan banyak
juga model model lainnya yang menggunakan ukiran Patra Punggel.

Patra Punggel hingga sekarang ini masih dianggap sebagai ciri khas kebudayaan Bali turun temurun.
Dapat dilihat dari hampir seluruh rumah yang ada di Bali memiliki ukiran Patra Punggel, baik di pintu,
ventilasi, ataupun hiasan hiasan dirumahnya. Oleh karena itu, hingga sekarang masih banyak seniman
yang bergelut pada pembuatan ukiran ukiran Patra Punggel. Selain dinikmati oleh orang-orang Bali asli,
ukiran Patra Punggel juga dinikmati oleh para pendatang dari luar Bali. Hal tersebut dikarenakan nilai
estetika yang tinggi dari ukiran patra punggel dan juga bentuk yang unik serta memiliki makna di setiap
ukirannya.

RUMAH HOONAI PAPUA

Arsitektur masa kini memang identik dengan kesederhanaan, baik dalam konsep maupun wujudnya. Namun
jauh sebelum itu, di Indonesia telah berkembang arsitektur dengan kesederhanaan dan kejujuran material
yang digunakan.

Hampir di setiap suku di Indonesia memiliki kekayaan arsitektur lokal. Salah satu yang akan saya bahas
kali ini adalah Rumah Honai sebagai salah satu kekayaan Arsitektur Papua yang masih tergolong jarag
diangkat media.
LOKASI
Papua adalah daerah paling timur Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri. Kekayaan alam yang
berlimpah menyediakan bahan-bahan bangunan alami yang berkualitas dan siap pakai. Walaupun
demikian, Papua saat ini belum sepadat jawa, arsitektur yang berkembang cenderung pada arsitektur
vernakular.

Honai, merupakan sebutan untuk rumah adat suku Dani yang tinggal di Lembah Baliem, Kabupaten
Jayawijaya, Papua. Rumah Honai adalah rumah adat tradisional dengan kesederhanaan arsitektur yang
dapat ditemukan di lembah-lembah dan pegunungan di tengah pulau Papua terutama di ketinggian 2500
meter di atas permukaan air laut.

Rumah adat di Papua atau yang disebut Honai merupakan salah satu adaptasi arsitektur di daerah hutan
tropis yang memiliki fungsi melindungi penghuni dari kondisi alam di daerah tersebut. Berikut akan dibahas
satu persatu elemen arsitektur pada Honai.

BENTUK

Honai memiliki bentuk seperti jamur, memiliki bentuk dasar lingkaran dengan rangka kayu berdinding
anyaman dengan atap kerucut yang terbuat dari jerami. Ukurannya relatif kecil dan sempit, hal ini bertujuan
untuk mencegah udara dingin masuk ke tubuh penghuni.

Tingginya hanya 2,5 meter saja dan di tengah-tengah terdapat tempat untuk membuat perapian sebagai
penghangat dikala malam. Tidak ada elemen jendela, karena dengan kondisi udara yang demikian tidak
efisien untuk membuat jendela. Biasanya terdapat satu pintu untuk akses masuk dengan ventilasi kecil yang
masih aman dari masuknya binatang liar.

JENIS
Honai diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu honai untuk laki-laki (honai), untuk wanita (Ebei), dan
babi (Wamai). Honai biasanya memiliki dua tingkatan lantai yang dihubungkan dengan tangga.
FUNGSI

Selain sebagai tempat tinggal, honai juga digunakan sebagai tempat untuk menyimpan alat-alat perang,
mendidik dan mengajarkan anak-anak untuk menjadi orang yang berguna di masa depan, merencanakan
atau mengatur strategi perang dan tempat untuk menyimpan alat atau simbol masyarakat adat yang disegani.

MATERIAL

Material yang digunakan dalam membuat Honai 100% berasal dari bahan alami yang dapat diperbaharui.
Lantai tanah, dinding anyaman dan atap jerami merupakan bahan yang sangat ramah lingkungan. Hal ini
menjadi contoh bagi arsitektur generasi sekarang bahwa jauh sebelum dikenalnya ilmu arsitektur hijau,
nenek moyang kita di Indonesia sudah menerapkannya.

Demikianlah penjelasan Rumah Honai yang dikutip dari berbagai sumber, bila ada penulisan yang keliru
mohon maaf, dan bila ada informasi tambahan mohon dikomentari, terima kasih.

KEBUDAYAANNYA

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia
dengan berbagai macam suku bangsa yang ada didalamnya. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah suku
bangsa pada sensus tahun 2010 sebanyak 1340. Berbagai macam suku bangsa tersebut menghasilkan
bermacam macam peradaban yang berbeda dan menjadikan Indonesia salah satu negara paling beragam
di dunia ini.

ads
Keragaman yang timbul dari banyaknya suku bangsa tersebut juga memunculkan beraneka ragam
kebudayaan yang berbeda beda serta menjadi ciri khas pada masing masing daerah di Indonesia.
Kebudayaan suku betawi akan berbeda dan sangat khas dibandingkan dengan kebudayaan dari suku lain
seperti suku jawa, suku asmat, suku tengger, suku bali, dan suku suku lainnya. Dalam artikel ini akan
dibahas mengenai salah satu kebudayaan dari suku dani yang merupakan contoh seni budaya indonesia.

Suku dani menurut wikipedia merupakan salah satu dari sekian banyak suku bangsa yang terdapat atau
bermukim atau mendiami wilayah Pegunungan Tengah, Papua, Indonesia dan mendiami keseluruhan
Kabupaten Jaya Wijaya serta sebagian kabupaten Puncak Jaya. Suku dani ditemukan pertama kali di
lembah baliem dalam ekspedisi lorentz dari belanda pada tahun 1909 – 1910. Namun kontak pertama
dengan suku ini dilakukan oleh penyidik dari Amerika yang bernama Richard Archold pada tahun 1935.

Berbeda dengan kebudayaan suku asmat yang sama sama tinggal di tanah papua, suku dani dikenal
sebagai seorang petani handal yang sangat ahli dalam penggunaan alat alat seperti kapak batu, alat
pengikis, pisau dari tulang binatang, tongkat galian, dan tombak kayu. Suku dani juga memiliki beberapa
kebudayaan yang masih sangat dipertahankan sampai sekarang. Beberapa kebudayaan suku dani
diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Bahasa yang digunakan.

Sama halnya dengan kebudayaan suku nias dan suku bangsa lainnya yang menjadikan bahasa sebagai
salah satu bentuk budaya yang masih dipertahankan sampai saat ini, suku dani juga memiliki bentuk
bahasa daerah yang berbeda serta tetap bertahan hingga beratus ratus tahun lamanya. Bahaya pada suku
dani dibagi menjadi 3 sub keluarga bahasa yakni sub keluarga wano di bokondini, sub keluarga dani pusat
yang terdiri dari logat Dani Barat dan logat lembah Besar Dugawa, sub keluarga nggalik dan ndash.

2. Kepercayaan

Kepercayaan suku dani memiliki dasar religi berupa penghormatan terhadap roh nenek moyang yang
dilakukan dalam bentuk penyelengaraan upacara adat dan dipusatkan pada pesta babi. Konsep
kepercayaan yang dipercayai oleh suku dani yang terpenting adalah atou. Atou merupakan kekuatan sakti
nenek moyang yang diturukan kepada keturunan laki laki yang diantaranya adalah :

 Kekuatan sakti untuk menjaga alam disekitar lingkungan tempat tinggal suku dani.
 Kekuatan untuk menyembuhkan penyakit dan menolak bala.
 Kekuatan menyuburkan tanah sebagai bentuk dukungan untuk dalam proses pertanian yang
dilakukan oleh suku dani.

3. Tradisi potong jari.

Salah satu tradisi atau kebudayaan suku dani yang sangat terkenal adalah tradisi potong jari. Tradisi ini
dilakukan sebagai bentuk rasa duka dan menunjukkan rasa sedih akibat ditinggal oleh keluarga serta
sanak saudara. Bila ada keluarga dekat yang meninggal, suku dani diwajibkan memotong jarinya. Tradisi
potong jari ini dilakukan bukan hanya sebagai bentuk ungkapan rasa sedih namun juga sebagai upaya
untuk mencegah terulang kembalinya malapetaka yang telah merengut nyawa seseorang didalam keluarga
yang sedang berduka tersebut. Pemilihan jari sebagai anggota tubuh yang dikorbankan dikarenakan jari
bagi suku dani merupakan simbol kesatuan, kerukunan, dan kekuatan keluarga dan diri manusia.
4. Rumah adat.

Seperti juga yang dimiliki dalam kebudayaan suku nias dan suku bangsa lainnya, Suku dani juga
memiliki rumah adat yang menjadi ciri khas dari kebudayaan suku dani. Rumah adat suku dani disebut
sebagai honai yang memiliki bentuk bundar dengan ukuran yang mungil dan berdinding kayu serta
beratap jerami. Selain bundar, ternyata ada rumah adat khusu untuk perempuan yang diberi nama Ebe’ai.
Rumah adat ini masih dipertahankan dalam kehidupan suku dani.

5. Kesenian

Kesenian suku dani lebih banyak terlihan sebagai bentuk seni rupa yang hasilnya seperti hanoi atau rumah
adat serta beberapa karya seni fungsional lainnya. Suku dani sangat pandai dalam pembuatan alat alat
berbahan dasar batu bata seperti Moliage, Valuk, Sege, Wim, Kurok, dan Panah sege. Selain alat yang
terbuat dari batu bata, suku dani juga pandai dalam pembuatan seni kerajinan khas anyaman.

Adat Istiadat

Kebudayaan suku dani juga mengenal berbagai macam aktivitas yang sangat erat kaitannya dengan adat
istiadat. Hal tersebut dapat terlihat pada beberapa hal seperti pernikahan, pendidikan, sistem kekerabatan,
pernikahan, politik, dan perekonomian. Berbagai macam bentuk adat istiadat yang dulunya berkembang
masih tetap dipertahankan hingga sekarang ini. Sistem kekerabatan dalam suku dani dibagi menjadi 3
yaitu kelompok kekerabatan, paroh masyarakat, dan kelompok teritorial.

Beberapa macam bentuk kebudayaan yang terdapat pada suku dani tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
salah satu bentuk pengetahuan mengenai keberagaman suku bangsa yang ada di Indonesia ini. Meskipun
sama sama tinggal di papua, kebudayaan suku asmat akan berbeda dengan kebudayaan suku dani.

Anda mungkin juga menyukai