Anda di halaman 1dari 34

ARSITEKTUR TRADISIONAL

SUKU BATAK (SUMATERA UTARA)

I. SUKU BATAK

Mitologi Batak adalah kepercayaan tradisional akan dewa-dewi yang dianut oleh orang
Batak. Agama Batak tradisional sudah hampir menghilang pada saat ini, begitu juga dengan
mitologi Batak. Kepercayaan Batak tradisional terbentuk sebelum datangnya agama Islam dan
Kristen oleh dua unsur yaitu megalitik kuno dan unsur Hindu yang membentuk kebudayaan
Batak

Pengaruh dari India dapat terlihat dari elemen-elemen kepercayaan seperti asal-usul
dunia, mitos penciptaan, keberadaan jiwa serta bahwa jiwa tetap ada meskipun orang telah
meninggal dan sebagainya.
Suku Batak sendiri terbagi dari:
1. Batak Toba (Tapanuli) : mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli
Tengah mengunakan bahasa Batak Toba.
2. Batak Simalungun : mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan
menggunakan bahasa Batak Simalungun.
3. Batak Karo : mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan
bahasa Batak Karo.
4. Batak Mandailing : mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan Muara
Sipongi dan menggunakan bahasa Batak Mandailing.
5. Batak Pakpak : mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan bahasa

1
Pakpak. Toba PUSUK BUHIT Simalungun Karo Pakpak Mandailing Angkola.

Orang Batak terdiri dari 5 sub etnis yang secara geografis dibagi sbb: Suku Nias yang
mendiami Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak
karena nenek moyang mereka bukan berasal dari Tanah Batak.
Namun demikian, Ada yang berpendapat dan berkeyakinan bahwa etnis Batak bukan
hanya 5, akan tetapi sesungguhnya ada 11 [sebelas], ke 6 etnis batak tersebut adalah :

1. Batak Pesisir,
2. Batak Angkola,
3. Batak Padang lawas,
4. Batak Melayu,
5. Batak Nias,
6. Batak Alas Gayo.
Sebelas dari sub etnis Batak adalah:
1. Batak TOBA ,di Kab.Tapanuli Utara, Tengah, Selatan
2. Batak SIMALUNGUN, di Kab.Simalungun, sebelah Timur danau Toba
3. Batak KARO,di Kab Karo, Langkat dan sebagian Aceh
4. Batak PAKPAK [Dairi],di Kab Dairi dan Aceh Selatan
5. Batak MANDAILING,di Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi
6. Batak PASISIR,di Pantai Barat antara Natal dan Singkil
7. Batak ANGKOLA,di Wilayah Sipirok dan P. Sidempuan\
8. Batak PADANGLAWAS ,di Wil. Sibuhuan, A.Godang, Rambe, Harahap
9. Batak MELAYU,di WiL Pesisir Timur Melayu
10. Batak NIAS,di Kab Pulau Nias dan sekitarnya
11 . Batak ALAS GAYO,di Aceh Selatan,Tenggara, Tengah Yang disebut wilayah Tanah Batak
atau Tano Batak ialah daerah hunian sekeliling Danau Toba, Sumatera Utara.

Seandainya tidak mengikuti pembagian daerah oleh Belanda (politik devide et impera) seperti
sekarang, Tanah Batak konon masih sampai di Aceh Selatan.

Gambar 1. PETA ETNIS BATAK

http://id.wikipedia.org/wiki/Mitologi_Batak

2
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak
www.sihotang.s5.com/adat.html

I. AGAMA DAN KEPERCAYAAN

1.1. AGAMA PARMALIM


Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang
Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”. Kepercayaan orang Batak
dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda
mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang
kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan). [1]

Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit
atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah
leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada
keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini
dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.

Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah “Debata”, sombaon
yang paling besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu Na Bolon” (Kakek/Nenek Yang Maha
Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang
telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa
dan juga menciptakan adat bagi manusia.

Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem
kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan
pancaran kekuasaanNya terwujud dalam Debata Natolu. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak
mengenal tiga konsep, yaitu :
• TONDI
Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi
memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi
meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan
upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya[1].
• SAHALA
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki
tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau
kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
• BEGU
Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah
laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.[2]

3
I. ARSITEKTUR RUMAH ADAT BATAK
Selama suku Batak tinggal di pesisir danau toba, mereka membentuk suatu daerah
perkampungan yang cukup unik, dimana mereka memiliki 2 rumah, yaitu rumah jantan dan
rumah betina. Rumah jantan terletak disebelah selatan, fungsinya sebagai rumah tinggal,
sedangkan rumah betina terletak di sebelah utara, fungsinya sebagai tempat menyimpan padi..[3]
Nenek moyang bangsa Batak (Bangso Batak) menyebut Rumah Batak yaitu “jabu na
marampang na marjual”. Ampang dan Jual adalah tempat mengukur padi atau biji bijian seperti
beras/kacang dll. Jadi Ampang dan Jual adalah alat pengukur, makanya Rumah Gorga, Rumah
Adat itu ada ukurannya, memiliki hukum hukum, aturan aturan, kriteria kriteria serta batas batas.

Biarpun Rumah Batak itu tidak memiliki kamar/dinding pembatas tetapi ada wilayah
(daerah) yang di atur oleh hukum - hukum. Ruangan Ruma Batak itu biasanya di bagi atas 4
wilayah (bagian) yaitu:

1. Jabu Bona ialah daerah sudut kanan di sebelah belakang dari pintu masuk rumah, daerah ini
biasa di tempati oleh keluarga tuan rumah.
2. Jabu Soding ialah daerah sudut kiri di belakang pintu rumah. Bahagian ini di tempati oleh anak
anak yang belum akil balik (gadis)
3. Jabu Suhat ialah daerah sudut kiri dibahagian depan dekat pintu masuk. Daerah ini di tempati
oleh anak tertua yang sudah berkeluarga, karena zaman dahulu belum ada rumah yang di ongkos
(kontrak) makanya anak tertua yang belum memiliki rumah menempati jabu suhat.[4]
4. Jabu Tampar Piring ialah daerah sudut kanan di bahagian depan dekat dengan pintu masuk.
Daerah ini biasa disiapkan untuk para tamu, juga daerah ini sering di sebut jabu tampar piring
atau jabu soding jolo-jolo.

Disamping tempat keempat sudut utaman tadi masih ada daerah antara Jabu Bona dan
4
Jabu Tampar Piring, inilah yang dinamai Jabu Tongatonga Ni Jabu Bona. Dan wilayah antara
Jabu Soding dan Jabu Suhat disebut Jabu Tongatonga Ni Jabu Soding. Disebut Rumah Bolon
karena suku batak toba sangat percaya akan Tuhan mereka yaitu MULA JADI NA BOLON, jadi
rumah bolon berarti rumah Tuhan.
Itulah sebabnya ruangan Ruma Batak itu boleh dibagi 4 (empat) atau 6 (enam), makanya
ketika orang batak mengadakan pertemuan (rapat) atau RIA di dalam rumah sering mengatakan
sampai pada saat ini; Marpungu hita di jabunta na mar Ampang na Marjual on, jabu na
marsangap na martua on.

Aspek-aspek Metafisik atau Spiritual yang menjadi Norma Utama


Begitu banyak aspek-spek spiritual yang menjadi norma utama dalam bangunan adat
batak Toba ini. Salah satu contohnya adlah mengenai keharusan jumlah anak tangga yang
berjumlah ganjil. Jika berjumlah genap, maka akan membawa kesialan bagi keluarga penghuni
rumah tersebut.
Bagian dari bangunan ini yang terdiri dari bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah
juga menandakan bahwa adanya ketiga jenis kehidupan yang dipercayai.
Bentuk-Bentuk Simbolik atau Lambang Kebudayaan atau Ide untuk Mengekspresikan
Makna pada Denah Anatomi dan Tampak
Rumah batak toba dihiasi dengan symbol – symbol yang diukir di hampir seluruh
bangunan rumah bolon. Gorga gorga tersebut memiliki arti dan maknanya tersendiri. Dan teknik
ragam hias untuk mebuat gorga tersebut terdiri dari cara, yaitu dengan teknik ukir teknik lukis.
Untuk mengukir digunakan pisau tajam dengan alat pemukulnya (pasak-pasak) dari kayu.
Sedangkan teknik lukis bahannya diolah sendiri dari batu-batuan atau pun tanaga yang keras dan
arang. Tiang yang berjumlah banyak mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan.

Ornamentasi dan dekorasi dari rumah adat Batak Toba mengandung nilai filosofi bagi
keselamatan penghuni. Lokasi elemen rumah yang dihias berada pada gevel, pintu masuk, sudut-
sudut rumah, bahkan ada yang sampai berada di keseluruhan dinding. Hiasan ini dapat berupa
ukiran, dapat diberi warna, atau hanya berupa gambar saja. Tiga elemen warna yang penting
adalah merah, putih dan hitam. Merah melambangkan pengetahuan/kecerdasan, putih
melambangkan kejujuran/kesucian dan hitam melambangkan kewibawaan / kepemimpinan.

Bagian – bagian Rumah Batak


Menurut tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1. Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-tiang pendek, pasak
(rancang) yang menusuk tiang, tangga (balatuk)
2. Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding samping, dan belakang
3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur diatas urur
membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari pohon enau).

5
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll. Bagian tengah
adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-
benda keramat (ugasan homitan).

Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920
berkebangsaan Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het Toba Batak Huis,
ketiga benua itu adalah
1. Banua toru (bawah)
2. Banua tonga (tengah)
3. Banua ginjang (atas)

Selanjutnya suku Batak Toba yang lama telah berkeyakinan bahwa ketiga dunia (banua)
itu diciptakan oleh Maha Dewa yang disebut dengan perkataan Mula Jadi Na Bolon. Seiring
dengan pembagian alam semesta (jagad raya) tadi yang terdiri dari 3 bagian, maka orang Batak
Toba pun membagi/ merencanakan ruma tradisi mereka menjadi 3 bagian.

ATAP
Atap Rumah Bolon mengambil ide dasar dari punggung kerbau, bentuknya yang
melengkung menambah nilai keaerodinamisannya dalam melawan angin danau yang kencang.

6
Atap terbuat dari ijuk, yaitu bahan yang mudah didapat didaerah setempat. Suku batak
menganggap Atap sebagai sesuatu yang suci, sehingga digunakan untuk menyimpan pusaka
mereka.

BADAN RUMAH
Badan rumah terletak dibagian tengah atau dalam mitologi batak disebut dunia tengah,
dunia tengah melambangkan tempat aktivitas manusia seperti masak, tidur, bersenda gurau.
Bagian badan rumah dilengkapi hiasan berupa ipon ipon untuk menolak bala[2].

PONDASI
Pondasi rumah batak toba menggunakan jenis pondasi cincin, dimana batu sebagai
tumpuan dari kolom kayu yang berdiri diatasnya.
Tiang-tiang berdiameter 42 - 50 cm, berdiri diatas batu ojahan struktur yang fleksibel,
sehingga tahan terhadap gempa
Tiang yang berjumlah 18 mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan

7
Mengapa memakai pondasi umpak?, karena pada waktu tersebut masih banyaknya batu
ojahan dan kayu gelonggong dalam jumlah yang besar. Dan belum ditemukannya alat
perekat seperti semen

DINDING
Dinding pada rumah batak toba miring, agar angin mudah masuk
Tali-tali pengikat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali
pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak
belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling
bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama
dan saling menghormati.

ORGANISASI RUANG
Bentuk-bentuk ruang ruang dimana posisinya dalam ruang diatur oleh pola grid, hal ini
dapat dilihat dari kolom-kolom yang tersusun secara modular pada denah.[4]

8
KESEIMBANGAN
Keseimbangan pada rumah batak toba adalah simetris, baik pada denah maupun fasade
bangunan, hal ini dapat dilihat jika kita menarik garis lurus tepat pada as gambar denah dan
fasade

SIRKULASI RUANG

9
Sirkulasi Ruang pada rumah batak toba adalah tersamar, karena harus melewati jalan
lurus sebelum berbelok ke bangunan utamanya

PINTU MASUK BANGUNAN


Pintu Utama Menjorok kedalam dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi
dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.

ORNAMENT (GORGA BATAK)


Gorga Batak adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di dinding
rumah bahagian luar dan bagian depan dari rumah-rumah adat Batak. Gorga ada dekorasi atau
hiasan yang dibuat dengan cara memahat kayu (papan) dan kemudian mencatnya dengan tiga (3)
macam warna yaitu : merah-hitam-putih. Warna yang tiga macam ini disebut tiga bolit.

Bahan-bahan untuk Gorga ini biasanya kayu lunak yaitu yang mudah dikorek/dipahat.
Biasanya nenek-nenek orang Batak memilih kayu ungil atau ada juga orang menyebutnya kayu
ingul. Kayu Ungil ini mempunyai sifat tertentu yaitu antara lain tahan terhadap sinar matahari
langsung, begitu juga terhadap terpaan air hujan, yang berarti tidak cepat rusak/lapuk akibat kena
sengatan terik matahari dan terpaan air hujan. Kayu Ungil ini juga biasa dipakai untuk
pembuatan bahan-bahan kapal/ perahu di Danau Toba.

Bahan-bahan Cat (Pewarna)

Pada zaman dahulu Nenek orang Batak Toba menciptakan catnya sendiri secara alamiah
misalnya :
Cat Warna Merah diambil dari batu hula, sejenis batu alam yang berwarna merah yang tidak
dapat ditemukan disemua daerah. Cara untuk mencarinya pun mempunyai keahlian khusus. Batu
inilah ditumbuk menjadi halus seperti tepung dan dicampur dengan sedikit air, lalu dioleskan ke
ukiran itu.
Cat Warna Putih diambil dari tanah yang berwarna Putih, tanah yang halus dan lunak
dalam bahasa Batak disebut Tano Buro. Tano Buro ini digiling sampai halus serta dicampur
dengan sedikit air, sehingga tampak seperti cat tembok pada masa kini.
Cat Warna Hitam diperbuat dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang ditumbuk sampai halus serta
dicampur dengan abu periuk atau kuali. Abu itu dikikis dari periuk atau belanga dan dimasukkan

10
ke daun-daunan yang ditumbuk tadi, kemudian digongseng terus menerus sampai menghasilkan
seperti cat tembok hitam pada zaman sekarang.

Jenis/ Macamnya Gorga Batak

Menurut cara pengerjaannya ada 2 jenis :


1. Gorga Uhir yaitu Gorga yang dipahatkan dengan memakai alat pahat dan setelah siap dipahat
baru diwarnai
2. Gorga Dais yaitu Gorga yang dilukiskan dengan cat warna tiga bolit. Gorga dais ini merupakan
pelengkap pada rumah adat Batak Toba. Yang terdapat pada bahagian samping rumah, dan
dibahagian dalam.

Menurut bentuknya
Dilihat dari ornament dan gambar-gambarnya dapat pula Gorga itu mempunyai nama-namanya
tersendiri, antara lain

• Gorga Ipon-Ipon, Terdapat dibahagian tepi dari Gorga; ipon-ipon dalam Bahasa Indonesia
adalah Gigi. Manusia tanpa gigi sangat kurang menarik, begitulah ukiran Batak, tanpa adanya
ipon-ipon sangat kurang keindahan dan keharmonisannya. Ipon-ipon ada beraneka ragam,
tergantung dari kemampuan para pengukir untuk menciptakannya. Biasanya Gorga ipon-ipon ini
lebarnya antara dua sampai tiga sentimeter dipinggir papan dengan kata lain sebagai hiasan tepi
yang cukup menarik.

• Gorga Sitompi, Sitompi berasal dari kata tompi, salah satu perkakas Petani yang disangkutkan
dileher kerbau pada waktu membajak sawah. Gorga Sitompi termasuk jenis yang indah di dalam
kumpulan Gorga Batak. Disamping keindahannya, kemungkinan sipemilik rumah sengaja
memesankannya kepada tukang Uhir (Pande) mengingat akan jasa alat tersebut (Tompi) itu
kepada kerbau dan kepada manusia.

• Gorga Simataniari (Matahari), Gorga yang menggambarkan matahari, terdapat disudut kiri
dan kanan rumah. Gorga ini diperbuat tukang ukir (Pande) mengingat jasa matahari yang
menerangi dunia ini, karena matahari juga termasuk sumber segala kehidupan, tanpa matahari
takkan ada yang dapat hidup.

• Gorga Desa Naualu (Delapan Penjuru Mata Angin), Gorga ini menggambarkan gambar mata
angin yang ditambah hiasan-hiasannya. Orang Batak dahulu sudah mengetahui/kenal dengan
mata angin. Mata angin ini pun sudah mempunyai kaitan-kaitan erat dengan aktivitas-aktivitas
ritual ataupun digunakan di dalam pembuatan horoscope seseorang/sekeluarga. Sebagai
pencerminan perasaan akan pentingnya mata angina pada suku Batak maka diperbuatlah dan
diwujudkan dalam bentuk Gorga.

• Gorga Si Marogung-ogung (Gong), Pada zaman dahulu Ogung (gong) merupakan sesuatu
benda yang sangat berharga. Ogung tidak ada dibuat di dalam negeri, kabarnya Ogung
didatangkan dari India. Sedangkan pemakaiannya sangat diperlukan pada pesta-pesta adat dan
bahkan kepada pemakaian pada upacara-upacara ritual, seperti untuk mengadakan Gondang
Malim (Upacara kesucian). Dengan memiliki seperangkat Ogung pertanda bahwa keluarga

11
tersebut merupakan keluarga terpandang. Sebagai kenangan akan kebesaran dan nilai Ogung itu
sebagai gambaran/ keadaan pemilik rumah maka dibuatlah Gorga Marogung-ogung.

• Gorga Singa Singa, Dengan mendengar ataupun membaca perkataan Singa maka akan terlintas
dalam hati dan pikiran kita akan perkataan: Raja Hutan, kuat, jago, kokoh, mampu, berwibawa.
Tidak semua orang dapat mendirikan rumah Gorga disebabkan oleh berbagai faktor termasuk
factor social ekonomi dan lain-lain. Orang yang mampu mendirikan rumah Gorga Batak jelaslah
orang yang mampu dan berwibawa di kampungnya. Itulah sebabnya Gorga Singa dicantumkan
di dalam kumpulan Gorga Batak

• Gorga Jorgom, Ada juga orang menyebutnya Gorga Jorgom atau ada pula menyebutnya Gorga
Ulu Singa. Biasa ditempatkan di atas pintu masuk ke rumah, bentuknya mirip binatang dan
manusia.

12
• Gorga Boras Pati dan Adop Adop (Tetek ), Boras Pati sejenis mahluk yang menyerupai kadal
atau cicak. Boras Pati jarang kelihatan atau menampakkan diri, biasanya kalau Boras Pati sering
nampak, itu menandakan tanam-tanaman menjadi subur dan panen berhasil baik yang menuju
kekayaan (hamoraon). Gorga Boras Pati dikombinasikan dengan tetek (susu, tarus). Bagi orang
Batak pandangan terhadap susu (tetek) mempunyai arti khusus dimana tetek yang besar dan
deras airnya pertanda anaknya sehat dan banyak atau punya keturunan banyak (gabe). Jadi
kombinasi Boras Pati susu (tetek) adalah perlambang Hagabeon, Hamoraon sebagai idaman
orang Batak.[10]

• Gorga Ulu Paung, Ulu Paung terdapat di puncak rumah Gorga Batak. Tanpa Ulu Paung rumah
Gorga Batak menjadi kurang gagah. Pada zaman dahulu Ulu Paung dibekali (isi) dengan
kekuatan metafisik bersifat gaib. Disamping sebagai memperindah rumah, Ulu Paung juga
berfungsi untuk melawan begu ladang (setan) yang datang dari luar kampung. Zaman dahulu
orang Batak sering mendapat serangan kekuatan hitam dari luar rumah untuk membuat
perselisihan di dalam rumah (keluarga) sehingga tidak akur antara suami dan isteri. Atau
membuat penghuni rumah susah tidur atau rasa takut juga sakit fisik dan berbagai macam ketidak
harmonisan.

Masih banyak lagi gambar-gambar yang terdapat pada dinding atau bahagian muka dari rumah
Batak yang sangat erat hubungannya dengan sejarah kepribadian si pemilik rumah. Ada juga
gambar lembu jantan, pohon cemara, orang sedang menunggang kuda, orang sedang mengikat
kerbau. Gambar Manuk-Manuk (burung) dan hiasan burung Patia Raja perlambang ilmu
pengetahuan dan lain-lain.

Pemanfaatan Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian Batak disebut
“papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan)
yang disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan
rumah sehingga ada ungkapan yang mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni
ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”

13
Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku
tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”. Semua yang kotor seperti
debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tersebut. Karena itu ada falsafah yang
mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan” yang dapat mengartikan bahwa
segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang dapat membuat orang tersinggung
harus dapat dilupakan.
Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang kegunaannya
untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para-para dibuat “parlabian” digunakan tempat
rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena
itu ada fatsafah yang mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe
raja ndang adong be na oto tu pargadisan” yang artinya kira-kira jika manusia yang bijak
bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah
mendapat perlakuan yang adil dan selalu diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di sebelah depan
rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma” dulu kala
berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yang berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding,
di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.
Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga
yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yang
punya rumah adalah orang yang senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena
orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai dengan “Tangga rege-rege”.

• Perabot Penting
Berbagai bentuk dan perabotan yang bernilai bagi orang Batak antara lain adalah
“ampang” yang berguna sebagai alat takaran (pengukur) untuk padi dan beras. Karena itu ada
falsafah yang mengatakan “Ampang di jolo-jolo, panguhatan di pudi-pudi. Adat na hot pinungka
ni na parjolo, ihuthononton sian pudi”. Pengertian yang dikandungnya adalah bahwa apa bentuk
adat yang telah lazim dilaksanakan oleh para leluhur hendaknya dapat dilestarikan oleh generasi
penerus. Perlu ditambahkan bahwa “panguhatan” adalah sebagai tempat air untuk keperluan
memasak.[1]
Di sebelah bagian atas kiri dan kanan yang letaknya berada di atas pandingdingan dibuat
“pangumbari” yang gunanya sebagai tempat meletakkan barang-barang yang diperlukan sehari-
hari seperti kain, tikar dan lain-lain. Falsafah hidup yang disuarakannya adalah “Ni buat
silinjuang ampe tu pangumbari. Jagar do simanjujung molo ni ampehon tali-tali”.
Untuk menyimpan barang-barang yang bernilai tinggi dan mempunyai harga yang mahal
biasanya disimpan dalam “hombung”, seperti sere (emas), perak, ringgit (mata uang sebagai alat
penukar), ogung, dan ragam ulos seperti ragi hotang, ragi idup, ragi pangko, ragi harangan, ragi
huting, marmjam sisi, runjat, pinunsaan, jugia so pipot dan beraneka ragam jenis tati-tali seperti
tutur-tutur, padang ursa, tumtuman dan piso halasan, tombuk lada, tutu pege dan lain sebagainya.
Karena orang Batak mempunyai karakter yang mengagungkan keterbukaan maka di kala
penghuni rumah meninggal dunia dalam usia lanjut dan telah mempunyai cucu maka ada acara
yang bersifat kekeluargaan untuk memeriksa isi hombung. Ini disebut dengan “ungkap
hombung” yang disaksikan oleh pihak hula-hula.
Untuk keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana, ada tempat menyimpan barang-
barang yang disebut dengan “rumbi” yang fungsinya hampir sama dengan hombung hanya saja
ukurannya lebih kecil dan tidak semewah hombung.

14
Sebagai tungku memasak biasanya terdiri dari beberapa buah batu yang disebut
“dalihan”. Biasanya ini terdiri dari 5 (lima) buah sehingga tungku tempat memasak menjadi dua,
sehingga dapat menanak nasi dan lauk pauk sekaligus.
Banyak julukan yang ditujukan kepada orang yang empunya rumah tentang kesudiannya
untuk menerima tamu dengan hati yang senang yaitu “paramak so balunon” yang berarti bahwa
“amak” (tikar) yang berfungsi sebagai tempat duduk bagi tamu terhormat jarang digulung,
karena baru saja tikar tersebut digunakan sudah datang tamu yang lain lagi.
“Partataring so ra mintop” menandakan bahwa tungku tempat menanak nasi selalu
mempunyai bara api tidak pernah padam. Menandakan bahwa yang empunya rumah selalu gesit
dan siap sedia dalam menyuguhkan sajian yang perlu untuk tamu.
“Parsangkalan so mahiang” menandakan bahwa orang Batak akan berupaya semaksimal
mungkin untuk memikirkan dan memberikan hidangan yang bernilai dan cukup enak yang
biasanya dari daging ternak.
Untuk itu semua maka orang Batak selalu menginginkan penghasilan mencukupi untuk
dapat hidup sejahtera dan kiranya murah rejeki, mempunyai mata pencaharian yang memadai,
sehingga disebut “Parrambuan so ra marsik”.
Tikar yang disebut “amak” adalah benda yang penting bagi orang Batak. Berfungsi untuk alas
tidur dan sebagai penghangat badan yang dinamai bulusan. Oleh karena itu ada falsafah yang
mengatakan “Amak do bulusan bahul-bahul inganan ni eme. Horas uhum martulang gabe uhum
marbere”.

15
Omo Sebua dan Omo Hada, Rumah Tradisional Nias yang Tahan Gempa

Omo Sebua adalah gaya rumah tradisional masyarakat Nias dari kepulauan Nias, Indonesia.
Rumah ini hanya dibangun untuk kepala desa dan biasanya terletak di pusat desa. Omo
Sebua dibangun di atas tumpukan kayu ulin besar dan memiliki atap yang menjulang.
Budaya Nias, yang dulunya sering terjadi perang antar desa, membuat desain Omo Sebua
dibuat untuk tahan terhadap serangan. Satu-satunya akses masuk ke dalam rumah adalah
melalui tangga sempit dengan pintu kecil di atasnya. Bentuk atapnya yang curam dapat
mencapai ketinggian hingga 16 meter. Selain memiliki pertahanan yang kuat, Omo Sebua
telah terbukti tahan terhadap gempa.

Bangunan ini memiliki pondasi yang berdiri di atas lempengan batu besar dan balok
diagonal yang juga berukuran besar serta bahan-bahan lainnya yang dapat meningkatkan
fleksibilitas dan stabilitas terhadap gempa bumi. Atap pelana di bagian depan dan belakang
juga memberikan perlindungan yang sangat baik terhadap hujan.

16
Omo Hada, sama seperti Omo Sebua, merupakan rumah rakyat jelata yang berbentuk
persegi. Untuk tindakan perlindungan, pintu dibuat untuk menghubungkan setiap rumah,
yang memungkinkan warga desa untuk berjalan di sepanjang teras tanpa harus
menginjakkan kaki di tanah.

7000 tahun yang lalu, Imigran yang berasal dari Asia Tenggara mulai menghuni bagian
tengah Pulau Nias dan mulai mengembara serta mendirikan hunian di daerah pedalaman.
Namun, mereka tidak dapat bersatu lagi karena tidak memahami perpet aan hingga akhirnya
mereka terpecah menjadi 3 bagian, yaitu wilayah tengah, Selatan dan Utara. Di antara
masing-masing wilayah ini, terdapat perbedaan bahasa, kelompok masyarakat, dan budaya.
Demikian pula ada perbedaan pada arsitektur bangunannya.

 NIAS UTARA
Lantai utama dibagi menjadi ruang pertemuan, Talu Salo, dan kamar tidur. Dapur dan
kamar mandi berada di paviliun di bagian belakang rumah. Mereka hanya memiliki sedikit
perabotan. Barang-barang mereka kebanyakan diletakkan di dalam lemari atau peti. Furnitur
yang penting diletakkan di sepanjang kisi-kisi jendela yang biasanya digunakan sebagai
kursi.

Untuk memaksimalkan elastisitas konstruksi bangunan, pilar-pilar tidak didirikan di atas


tanah, melainkan di atas pondasi batu. Hal ini merupakan teknik perlindungan untuk
menghindari kontak langsung antara tanah dengan kayu agar konstruksinya dapat tahan
lebih lama.

17
 Nias Tengah

Sebenarnya sejarah dari pemukiman Nias berawal dari Nias Tengah, tetapi semakin ke sini
arsitektur bangunan tampak seperti Peranakan dari gaya bangunan di Nias Utara dan Nias
Selatan. Keistimewaan dari ciri arsitektur Nias Tengah terletak pada dekorasi dan seni
hiasnya. Pada bagian depan terdapat replika binatang yang dibuat sebagai perlindungan
untuk penghuni rumah.

Rumah di Nias Utara memiliki atap loteng yang lebar dan kisi-kisi jendela yang besar
sehingga

dapat memberikan penerangan yang maksimal di siang hari dan juga ventilasi yang baik.
Kisi-kisi jendela serta ruang pada bagian atap yang luas membuat sirkulasi udara dapat
masuk ke dalam rumah dan menciptakan suhu yang sejuk di dalam rumah.

18
 Nias Selatan

Perkampungan di Nias Selatan terletak di atas perbukitan. Pada zaman dahulu, ketika
serangan perang dan perburuan kepala muncul di wilayah ini, warga membangun parit yang
dalam tepat di belakang pagar bambu runcing sebagai benteng pertahanan kampung.

Pada setiap permukiman terdiri dari beberapa ratus tempat tinggal yang terletak di kedua
belah sisi jalan yang memanjang hingga 100 meter. Daerah pemukiman yang tinggi
mengharuskan mereka untuk menempuh anak tangga panjang yang terbuat dari batu. Pola
jalan dari perkampungan ini bisa bertambah sesuai dengan pertambahan penduduknya
hingga membentuk pola “T” atau “L”.

19
Pada setiap pemukiman terdapat halaman yang cukup luas. Di bagian depan halaman yang
menuju ke arah jalan kampung, terdapat tempat untuk meletakan batu-batu megalit yang
disebut Öli Batu (dinding batu) dan menjadi lambang dari kedudukan sang pemilik rumah.
Batu-batu tersebut memiliki berbagai macam bentuk, salah satunya Menhir (batu megalit
yang berbentuk tegak tinggi), bangku, dan tempat duduk melingkar.

Bentuk dasar dari bangunan di Nias Selatan adalah persegi panjang dengan konstruksi tinggi
dan ujung atap yang mengarah ke jalan. Struktur bangunan dibuat dari 4 barisan pilar
(Ehomo), yang berbentuk tegak lurus dari dasar hingga lantai pertama. Tiang yang saling
silang dijadikan sebagai penopang, sama seperti pemukiman di Nias Utara, tetapi yang
membedakan adalah tiang berbentuk “V” yang terletak di bagian paling depan rumah.

Sama seperti rumah di Nias Utara dan Tengah, tiang-tiang di rumah Nias Selatan tidak
bertumpu pada tanah melainkan di atas pondasi batu untuk mencegah pelapukan dan
membuat konstruksinya semakin fleksibel. Ruangan di bawah rumah digunakan sebagai
tempat penyimpanan barang atau kandang ternak pemilik rumah.

20
Karakteristik Arsitektur Bali – Sebuah Desain Arsitektur yang Merefleksikan Konsep Tri
Loka
Posted on May 21, 2013 by Admin in Architectaria, Architectural
Elements, Architecture, Desain Villa, Home Design

Mengenal konsep yang diadaptasi oleh arsitektur Bali serta unsur-unsur sakral yang selalu
hadir dan menjadi karakter dari gaya arsitektur ini.
Bali, nampaknya pesona dari pulau ini masih tetap menyita perhatian orang-orang. Tak hanya
dikagumi karena kecantikan pulau dan pantainya, Bali juga disukai para pelancong baik lokal
maupun internasional karena seni dan tradisi yang sangat menonjol pada segala bidang. Hampir
di setiap aspek kehidupan masyarakat dan tatanan sosial Bali, unsur seni dan tradisi ini selalu
melekat. Mulai dari upacara, perayaan keagamaan, pakain-pakaian yang dikenakan, hingga gaya
dan desain arsitektur di rumah dimana mereka tinggal. Semua aspek kehidupan bermasyarakat
tersebut sangat kental dengan nuansa seni dan tradisi Bali.
Pada segi arsitekturnya, Bali memiliki suatu ciri khas yang berbeda dan kuat. Arsitektur Bali
sangat digemari dimana-mana, hingga di mancanegara. Meskipun pada beberapa bagian masih
terdapat unsur-unsur Hindu Jawa kuno, Bali tetap memiliki ciri khasnya tersendiri. Adapun
contoh dari sebuah bangunan beraksitektur Bali ini bisa kita lihat pada artikel review beberapa
waktu yang lalu tentang Villa Ashoka Canggu milik seorang wisatawan asal Hongkong yang
didirikan di Bali. Unsur-unsur Bali yang sangat kental terlihat disitu adalah keberadaan patung
Bali. Unsur-unsur seperti inilah yang membedakan gaya arsitektur Bali dengan pulau-pulau lain
di Indonesia. Ingin tahu unsur-unsur apa sajakah itu yang menjadikan ciri khas arsitektur Bali?
simak penjelasan di bawah ini
.
1. Adanya Pura / kuil umat Hindu
Kedatangan agama Hindu di pulau Bali memberikan dampak yang cukup signifikan, terutama
pada gaya arsitekturnya. Arsitektur Bali secara umum didominasi pengaruh dari Hindu sejak
kedatangan Majapahit ke pulau ini pada sekitar abad 15. Kedatangan Majapahit ini juga
meninggalkan kebudayaan berupa teknik pahatan untuk batu yang kemudian difungsikan sebagai
patung atau Pura. Karya-karya pahatan dari batu tersebut kemudian menjadi salah satu benda
yang diletakkan di luar rumah. Seiring dengan berkembangnya jaman, kehadiran patung dan
Pura kecil begitu melekat dan identik dengan gaya arsitektur Bali, sehingga tak lengkap rasanya
bila kita ingin mendesain rumah kita dengan arsitektur Bali tanpa kehadiran salah satu dari 2 hal
tersebut.
Pada agama Hindu sendiri terdapat konsep “Tri loka”, yakni pemisahan eksistensi antara alam
para Dewa, alam manusia, dan alam iblis/roh jahat. Konsep ini kemudian direfleksikan dari
bentuk Pura Balinya dan menjadikan Pura ini sedikit berbeda dengan Pura yang ada di India,
negara dimana agama ini berasal. Mayoritas Pura di Bali didesain dengan 3 tingkatan, dimana

21
tingkat tertinggi merepresentasikan tingkat kesakralan dan pemujaan untuk Dewa-Dewa atau
Sang Hyang Widi.

Desain Arsitektur Bergaya Bali – Pura

2. Mendapat pengaruh dari Unsur-Unsur Kebudayaan Polinesia


Polinesia atau pemujaan kepada banyak dewa merupakan kebudayaan awal yang yang eksis di
pulai Bali sebelum kedatangan Hindu ke pulau tersebut. Maka dari itu, di beberapa gaya
arsitekturnya masih dapat kita temui unsur-unsur kebudayaan ini. Orang-orang Bali kerap
membangun Pura atau rumah mereka dengan konsep terbuka, terutama untuk hal-hal yang
bersifat peribadatan/pemujaan kepada dewa-dewa. Bahkan, kita sering meilhat dalam satu
kompleks Pura terdapat lebih dari satu Pura dimana masing-masing Pura digunakan untuk
memuja Dewa yang berbeda.
Untuk bangunan-bangunan yang tidak didesain untuk kegiatan pemujaan, bangunan tersebut
kebanyakan dibuat dari bambu dan material lain yang kental akan nuansa alaminya, seperti
batuan-batuan alam.

3. Berorientasi pada hal-hal yang bernuansa sakral


Gaya arsitektur Bali yang asli tidak dibuat dengan sembarangan, melainkan dengan konsep dan
perhitungan yang matang dan merepresentasikan kesakralan. Tak hanya pada bangunan Pura
atau rumah-rumah pribadi, bangunan-bangunan kecil juga kerap didesain dengan
mempertimbangkan konsep ini. Bahkan, terdapat salah satu manuskrip Hindu yang dijadikan
pedoman dalam membangun rumah. Manuskrip tersebut berjudul “Lontar Asta Kosala Kosali”,
disini terdapat gambaran mengenai orientasi dan lay out dari sebuah bangunan yang ideal.
Manuskrip lain yang juga banyak memberikan pengaruh pada arsitektur Bali adalah Lontar Asta
Bumi, Lontar Asta Dewa, Lontar Wisma Karma dan Lontar Dewa Tattwa. Meskipun terdapat
banyak sumber, secara umum arsitektur Bali masih tetap mengadopsi konsep Tri loka, dimana
alam manusia berada di tengah antara alam Dewa – Dewa dengan alam iblis atau roh jahat.

22
Desain Arsitektur Bergaya Bali – Villa

4. Struktur Rumah Tradisional Bali


Seperti yang sering kita lihat di beberapa media, rumah-rumah di Bali cenderung memiliki
struktur yang kompleks namun tertata rapi. Rumah-rumah beraksitektur tradisional Bali tak
hanya terdiri atas satu unit stuktur, tapi lebih mengarah ke sekumpulan bangunan-bangunan
dimana setiap bangunan dihuni satu kepala keluarga. Biasanya, mereka yang tinggal di kompleks
ini merupakan keluarga besar dan berasal dari keturunan yang sama. Di sekeliling kompleks
bangunan ini dibangun tembok yang tak terlalu tinggi, namun cukup memisahkannya dengan
dunia luar.
Pada komplek bangunan ini terdapat satu Pura untuk sembahyang, dapur yang digunakan untuk
bersama, area untuk tidur, serta area untuk pertemuan penting/perjamuan. Untuk tujuan itu,
biasanya pada kompleks bangunan ini dibangun 2 macam, yakni paviliun untuk menerima tamu
serta paviliun khusus untuk upacara adat dan ritual keagamaan

 MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI


Dalam pemahaman Arsitektur Tradisional Bali, bangunan dianggap memilki kesetaraan dengan
manusia, oleh karena itu bangunan terdiri dari jiwa dan badan fisik. Jiwa yang menghidupkan
dianalogikan sebagai maknanya, sedangkan bentuk badan fisiknya merupakan ekspresinya.
Makna sebagai jiwa dari arsitektur memiliki posisi yang sangat penting dan menjadi landasan
filosofis untuk menciptakan sebuah bentuk atau image arsitektur (Siwalatri, 2015). Bangunan
mengikuti siklus Tri Kona : Utpeti/ penciptaaan, Sthiti/ pemanfaatan, dan Pralina/ penghancuran,
sebagaimana halnya manusia yang mengalami lahir, hidup dan mati. Arsitektur Tradisonal Bali
dijiwai dan dilandasi oleh ajaran Agama Hindu. Penjiwaan ini tercermin tiga hal. (a) Dalam
proses pembangunan tradisional : upacara keagamaan (sarana, mantera, rajah), penentuan
dimensi dan jarak (dewa-dewa Hindu), penentuan hari baik/dewasa ayu (Jyotisa): (b) Dalam tata
ruang dan tata letak bangunan : pola tri mandala dan sanga mandala (konsep Tri Loka dan
dewata nawa sanga), pola Natah (perpaduan akasa dan pretiwi), orientasi hulu - teben ; (c)
Dalam wujud bangunan : nama-nama ukuran yang dipilih (bhatara asih, prabu anyakra negara,
sanga padu laksmi), simbol dan corak ragam hias (Acintya, Kala, Boma, garuda-wisnu, angsa,
dll), Arsitektur Tradisional Bali sebagai perwujudan ruang secara turun temurun dapat
meneruskan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam masyarakat sesuai dengan pandangan dan
idealismenya. Karya arsitektur tradisonal Bali mencerminkan aktivitas pemiliknya, dengan
demikian maka modul ruang dan bentuk yang diambil dari ukuran tubuh manusia dan aktivitas
pemiliknya. Di dalam Arsitektur Tradisonal Bali terkandung unsur-unsur : Peraturan tradisonal
baik yang tertulis maupun lisan, ahli bangunan tradisional seperti undagi, sangging, tukang,
pelukis serta sulinggih/pendeta. Ini mencerminkan kompleksitas rancangan arsitektur, kedalaman

23
dan totalitas integrative. Suartika (2010 : 24-70) menjabarkan makna arsitektur ruamah menjadi
delapan, antara lain : (a) rumah berhubungan erat dengan alam, (b) rumah sebagai sebuah sistem
keamanan, (c) rumah sebagai sebuah perjalanan, (d) sebagai seni, (e) sebagai cloister, (f) sebagai
bagian dari kegiatan spiritual dan (f) sebagai fasade. Makna bukan sesuatu yang sederhana, tetapi
makna bersifat luas dan beragam. Makna arsitektur dapat berupa gagasan, pikiran atau konsep
yang ingin disampaikan pada pengamatnya. Makna dapat terpragmentasi, dan dapat diamati serta
diinterpretasikan baik secara sinkronik maupun diakronik. Pragmentasi makna mengakibatkan
lapisan dan hirarki makna. Pada Arsitektur Tradisional Bali terdapat tiga klasifikasi fungsi
bangunan yang masing-masing memiliki hirarki makna sebagai berikut, yaitu (Goris, R. 2012 :
1- 18) : (a) Hirarki makna utama bangunan yang berfungsi peribadatan pada dasarnya sebagai
tempat pemujaan dan berbakti kepada Tuhan dan leluhur dalam rangka menguatkan dan
memberdayakan hidup ini agar manusia dalam hidup ini menjadi lebih baik dan lebih berguna.
Tempat pemujaan ini terdiri dari :
 Pura Kawitan dan Sanggah sebagai media mengembangkan kerukunan dalam keluarga.
 Pura Kahyangan Desa sebagai media untuk mengembangkan kerukunan dalam stau territorial
desa.
 Pura Swagina sebagai media untuk mengembangkan kerukunan profesi.
 Pura Kahyangan Jagat sebagai media untuk mengembangnkan kerukunan regional dan
universal. (b) Hirarki makna madya bangunan yang berfungsi perumahan untuk tempat hunian
dengan segala aktivitas dan interaksinya agar manusia dapat mengembangkan Workshop
‘Arsitektur Etnik Dan Aplikasinya Dalam Arsitektur Kekinian’ 19 April 2016 4 Makna Dan
Konsep Arsitektur Tradisional Bali Serta Aplikasinya Dalam Arsitektur Bali potensi dan
profesinya secara profesional dan optimal secara serasi, selaras dan seimbang. Hunian ini terdiri
dari :
 Griya sebagai wadah hunian untuk profesi rohaniawan/sulinggih/pendeta
 Puri sebagai wadah hunian untuk pemimpin/penguasa pemerintahan
 Jero sebagai wadah hunian untuk pembantu/pejabat pemerintahan
 Umah sebagai wadah hunian untuk masyarakat umum seperti penggerak pertanian dan
perdagangan. (c) Hirarki makna nista bangunan yang berfungsi sosial sebagai wadah untuk
melakukan aktivitas secara berkelompok/bersama dalam suatu territorial tertentu baik di tingkat
lingkungan maupun desa. Bangunan ini akan lebih berfungsi sebagai fasilitas umum dan fasilitas
sosial budaya bagi anggota masyarakat, jenisnya antara lain sebagai berikut :
 Bale desa berfungsi sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan
dalam rangka mengembangkan kerukunan di tingkat teritorial desa.
 Bale banjar berfungsi sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan
dalam rangka mengembangkan kerukunan di tingkat lingkungan banjar.
 Bale teruna-teruni sebagai wadah aktivitas, kreativitas dan interaksi sosial budaya dan
kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan pembinaan generasi muda.
 Bale subak sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam
rangka mengembangkan kerukunan dan kesejahtraan dibidang pertanian.
 Pasar sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan ekonomi kemasyarakatan dalam
rangka mengembangkan kesejahtraan desa.
 Beji sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka
mengembangkan kerukunan dan sanitasi desa.

24
 Bale bendega sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan dalam
rangka mengembangkan kerukunan dan kesejahtraan oleh nelayan
 Bale sekee difungsikan oleh perkumpulan profesi non formal
 Dan lain-lain Arsitektur tradisional di Indonesia merupakan bagian dari arsitektur vernakuler
yang secara turun temurun terikat pada tradisi. Secara umum arsitektur tradisional ditentukan
oleh kosmologi, mengutamakan nilai relegi dan ritual, kurang menghargai kebutuhan badaniah,
terikat pada struktur social dan kekerabatan, adaptif terhadap kondisi alam/lingkungan (Rahayu,
2010 : 51; Rahayu & Nuryanto, 2010 : 72). 3. KONSEP ARSTEKTUR TRADISIONAL BALI
Konsep Arsitektur Tradisional Bali dijiwai oleh Agama Hindu dan dilandasi oleh beberapa
filosofis. Makna menjadi landasan filosofis untuk menciptakan sebuah bentuk. Dalam Arsitektur
Tradisional Bali terdapat empat landasan yang mendasari suatu konsep yaitu : (a) Landasan
keagamaan : pustaka suci Agama Hindu, penjiwaan agama dalam ATB, hubungan ATB dengan
tujuan hidup, hubunngan ATB dengan perkembangan Agama Hindu ; (b) Landasan filosofis :
filsafat manik ring cecupu, filsafat Tri Hita Karana, filsafat Undagi, filsafat bahan bangunan ; (c)
Landasan etik : menjaga dasar-dasar hubungan manusia-arsitektur-alam, landasan berpikir dan
bersikap dalam proses pembangunan tradisional ; (d) Landasan ritual : penggunaan unsur-unsur
ritual dalam ATB, menyesuaikan Jenis dan Makna Ritual dalam ATB, memilih pedewasan
dalam proses pembangunan secara tradisional Bali. Workshop ‘Arsitektur Etnik Dan Aplikasinya
Dalam Arsitektur Kekinian’ 19 April 2016 5 Makna Dan Konsep Arsitektur Tradisional Bali
Serta Aplikasinya Dalam Arsitektur Bali Penjiwaan Agama Hindu yang dijabarkan dalam
filsafat-filsafat untuk ditransformasikan ke dalam konsep. Terdapat beberapa konsep dalam
Arsitektur Tradisional Bali, yaitu : (a) Konsep keseimbangan kosmos ; (b) Konsep Rwabhineda ;
(c) Konsep Tribhuana-Triangga ; (d) Konsep keserasian dengan lingkungan ; (e) Dan lain-lain.
Konsep ini menjadi dasar dan pedoman dalam perencanaan dan perancangan Arsitektur
Tradisional Bali, di tataran wilayah Bali, tataran lingkungan teritoral desa, di lingkungan rumah
tinggal maupun pada unitunit bangunan. . 3.1. Konsep Keseimbangan Kosmos Konsep
keseimbangan kosmos merupakan suatu konsep yang didasarkan atas kondisi geografi alam Bali
dengan dua sumbunya yaitu sumbu kosmos dan sumbu ritual/prosesi. Sumbu kosmos berupa
gunung yang terletak di tengah-tengah Pulau Bali, sehingga akan membentuk sumbu dengan dua
arah yaitu menuju=ka gunung=ja dan menuju=ka laut=lod, dengan demikian akan terbentuk arah
kajakalod. Orientasi kearah gunung (kaja) memiliki nilai utama, daerah dataran (tengah)
memiliki nilai madya, kearah laut (kalod) memiliki nilai nista. Secara hirarkis membentuk
segmen : utama, madya, nista. Sumbu ritual/prosesi terbit-terbenam matahari yang berulang yaitu
: endag (terbit) surya di Timur - tajeg (tengah hari) surya di tengah - engseb (terbenam) surya di
Barat, sehingga terbentuk arah Timur (kangin)-Barat (kauh). Orientasi kearah Timur (kangin)
memiliki nilai utama, bagian tengah bernilai madya dan kearah Barat (kauh) memiliki nilai nista.
Secara hirarkis membentuk segmen : utama, madya, nista. Kombinasi susunan segmen utama,
madya, nista pada arah utara-selatan (kaja-kalod) dengan arah timur-barat (kangin-kauh). Akan
memmbetuk pola papan catur yang terdiri dari sembilan petak. Eksistensi ini akan mendasari dan
membentuk konsepsi keseimbngan kosmos Bali yang dapat dibedakan menjadi dua bagian dasar
yaitu : (a) Keseimbangan alam dewa, alam manusia dan alam butha ; (b) Keseimbangan
horizontal : catur lokapala, sad winayaka dan dewata nawa sanga. Konsep keseimbangan alam
dewa, alam manusia dan alam butha, didasarkan atas filosofi Tri Hita Karana melalui penciptaan
hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dangan Tuhan, antara sesama manusia
dan antara manusia dengan lingkungannya. Sikap manusia berbakti kepada Tuhan diwujudkan
dengan bagaimana manusia berprilaku baik kepada sesama dan menghormati seluruh ciptaan

25
Tuhan melalui sikap kasih dan menjaga lingkungan. Transformasi ini menyebabkan setiap
Arsitektur Tradisional Bali akan memiliki ruang dan bagian yang merupakan manifestasi dari
konsep tersebut.
ALAM DEWA

ALAM MANUSIA
ALAM BUTHA

Gambar 1. Konsep keseimbangan tiga alam : dewa-manusia-butha


Sumber : Modifikasi penulis dari Putra 2009

Konsep catur lokapala : merupakan konsep dengan membentuk empat titik


penyeimbang alam dengan pendirian pura di keempat penjuru Bali yang posisinya
di gunung. Keempat pura itu adalah : (a) Pura Lempuyang Luhur, arah Timur, di
Kabupaten Karangasem ; (b) Pura Andakasa, arah Selatan, di Kabupaten
Karangasem ; (c) Pura Batukaru, arah Barat, di Kabupaten Tabanan ; (d) Pura
Pucak Mangu, arah Utara, di Kabupaten Badung (Budaarsa, dkk. 2012 : 5). Konsep

ini dapat diterapkan pada tataran regional, wilayah lingkungan, desa dan rumah
tinggal. Sumbu kosmis Kaja-Pelod dan Kangin-Kauh merupakan arah utama yang
yang membentuk persilangan yang disebut dengan konsep catuspatha, dan
perputarannya akibat fungsi dapat menjadi konsep swastika sana dapat diaplikasan
pada sebidang tapak.

Gambar 2. Konsep catur lokapala


Sumber : Modifikasi penulis 2016 dari Putra dan Budaarsa

Konsep Sad Winayaka : merupakan konsep dengan membentuk enam titik penyeimbang alam
dengan pendirian pura dienam tempat Bali yang posisinya pada komponen-komponen alam yang
dimuliakan. Keenam pura itu adalah : (a) Pura besakih di Kabupaten Karangasem; (b) Pura
Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem ; (c) Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung ;

26
(d) Pura Uluwatu di Kabupaten Badung ; (e) Pura Luhur Batukaru di Kabupaten Tabanan ; (f)
Pura Puser Tasik (Pura Pusering Jagat di Pejeng) di Kabupaten Gianyar (Budaarsa, dkk. 2012 :
5).

Gambar 3. Konsep sad winayaka


Sumber : Putra, 2009

Konsepsi Dewata Nawa Sanga /Konsepsi Padma Bhuana : merupakan konsep


dengan membentuk Sembilan titik penyeimbang alam dengan pendirian pura
disembilan penjuru Bali, sebagai simbul bahwa Tuhan itu ada dimana-mana. Tidak
ada bagian dari alam semesta ini atau Bali, tanpa kehadiran Tuhan. Pura yang

Gambar 4. Konsep Dewata Nawa Sanga


Sumber : Modifikasi 2016 dari Putra

Makna Dan Konsep Arsitektur Tradisional Bali Serta Aplikasinya Dalam Arsitektur Bali arah
Timur ; (b) Pura goa Lawah arah Tenggara ; (c) Pura Andakasa arah Selatan ;
(d) Pura Uluwatu arah Barat Daya ; (e) Pura Batukaru arah Barat ; (f) Pura Pucak
Mangu arah Barat Laut ; (g) Pura Batur sebagai arah Utara ; (h) Pura Besakih arah
Timur Laut ; (i) Pura Puser Tasik/Jagat sebagai arah Tengah (Budaastra, dkk.
2013).
Konsep ini dapat diterapkan juga pada perancangan rumah tinggal maupun puri
dengan penyesuaian kebutuhan dan situasi setempat

27
Gambar 5. Konsep zonasi dan aplikasi Arsitektur Tradisional Bali
Sumber: Putra, 2009

28
ARSITEKTUR LOMBOK

Kini arsitektur vernakular hanya dapat ditemukan di daerah tertentu di Indonesia yang masih
memegang tradisi daerahnya. Salah satu contohnya adalah Desa Sade Lombok.

DESA SADE merupakan salah satu desa adat suku Sasak yang masih mempertahankan
keaslian tradisi, salah satunya adalah rumah adat.

Rumah adat suku Sasak di dusun Sade terdiri dari berbagai macam Bale, di antaranya
ialah Bale Tani atau Bale Gunung Rata.

29
Bale Tani merupakan rumah tinggal masyarakat yang berprofesi sebagai petani. I Gusti Ayu
Vadya Lukita S mengatakan bahwa bentuk arsitektur Bale Tani memiliki makna yang dalam.

Bentuk Bale Tani yang meninggi di bagian belakang melambangkan hubungan manusia
dengan Tuhan. Sosoran atap di bagian depan melambangkan hubungan manusia
dengan sesama.

Bentuk arsitektur Bale Tani menggambarkan hubungan antar sesama manusia, nenek moyang
dan Tuhan Yang Maha Esa harus seimbang. Interior Bale Tani dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Bale Luar dan Bale Dalam. Bale Luar menggambarkan hubungan antar manusia yang harus
saling menghormati dan mempertahankan sikap kekeluargaan.

30
Bale Dalem menggambarkan peran wanita yang sangat penting dalam sebuah
keluarga, karena di dalamnya terdapat dapur dan tempat tidur untuk anak perempuan
yang masih perawan.

Bentuk pada Bale Tani atau Bale Gunung Rata juga menggambarkan kesamarataan derajat
semua manusia di hadapan Tuhan juga ajaran untuk saling menghargai sesama manusia.

Bagi masyarakat Sasak tradisional, rumah bukan sekadar tempat hunian yang
multifungsi, melainkan juga punya nilai estetika dan pesan-pesan filosofi bagi
penghuninya, baik arsitektur maupun tata ruangnya.

Rumah adat Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke
bawah dengan jarak sekitar 1,5-2 meter dari permukaan tanah. Atap dan
bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu,
hanya mempunyai satu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya
(rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk) yang meliputi bale luar (ruang tidur)
dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan
sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.

31
Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan
makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2
meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Selain itu ada sesangkok (ruang
tamu) dan pintu masuk dengan sistem geser. Di antara bale luar dan bale dalem ada
pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan
kotoran kerbau atau kuda, getah, dan abu jerami. Undak-undak (tangga),
digunakan sebagai penghubung antara bale luar dan bale dalem.
Hal lain yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah pola
pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan
kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-
mata untuk mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok.
Karena konsep itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti
menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat.
Bentuk rumah tradisional Lombok berkembang saat pemerintahan Kerajaan
Karang Asem (abad 17), di mana arsitektur Lombok dikawinkan dengan arsitektur
Bali. Selain tempat berlindung, rumah juga memiliki nilai estetika, filosofi, dan
kehidupan sederhana para penduduk di masa lampau yang mengandalkan sumber
daya alam sebagai tambang nafkah harian, sekaligus sebagai bahan pembangunan
rumah. Lantai rumah itu adalah campuran dari tanah, getah pohon kayu banten dan
bajur (istilah lokal), dicampur batu bara yang ada dalam batu bateri, abu jerami
yang dibakar, kemudian diolesi dengan kotoran kerbau atau kuda di bagian
permukaan lantai. Materi membuat lantai rumah itu berfungsi sebagai zat perekat,
juga guna menghindari lantai tidak lembab. Bahan lantai itu digunakan, oleh warga
di Dusun Sade, mengingat kotoran kerbau atau sapi tidak bisa bersenyawa dengan
tanah liat yang merupakan jenis tanah di dusun itu.
Konstruksi rumah tradisional Sasak agaknya terkait pula dengan perspektif Islam.
Anak tangga sebanyak tiga buah tadi adalah simbol daur hidup manusia: lahir,
berkembang, dan mati. Juga sebagai keluarga batih (ayah, ibu, dan anak), atau
berugak bertiang empat simbol syariat Islam: Al Quran, Hadis, Ijma’, Qiyas). Anak
yang yunior dan senior dalam usia ditentukan lokasi rumahnya. Rumah orangtua
berada di tingkat paling tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu berada di
tingkat paling bawah. Ini sebuah ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap
dan berperilaku hendaknya menjadi panutan sang adik.
Rumah yang menghadap timur secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih
dulu menerima/menikmati kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang
secara fisik lebih kuat. Juga bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan
mencari nafkah, manusia berharap mendapat rida Allah di antaranya melalui

32
shalat, dan hal itu sudah diingatkan bahwa pintu rumahnya menghadap timur atau
berlawanan dengan arah matahari terbenam (barat/kiblat). Tamu pun harus
merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Mungkin posisi
membungkuk itu secara tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud
penghormatan kepada tuan rumah dari sang tamu.
Kemudian lumbung, kecuali mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak
boros sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada
waktu tertentu, misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu
tidak boleh dikuras habis, melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, seperti
mengantisipasi gagal panen akibat cuaca dan serangan binatang yang merusak
tanaman atau bahan untuk mengadakan syukuran jika ada salah satu anggota
keluarga meninggal.
Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap
rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima
tamu, juga menjadi alat kontrol bagi warga sekitar. Misalnya, kalau sampai pukul
sembilan pagi masih ada yang duduk di berugak dan tidak keluar rumah untuk
bekerja di sawah, ladang, dan kebun, mungkin dia sakit.
Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau istri diutamakan.
Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri, tinggi
penyimpanan alat dapur (sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan lebar
pintu rumah seukuran tubuh istri. Membangun dan merehabilitasi rumah dilakukan
secara gotong-royong meski makan-minum, berikut bahan bangunan, disediakan
tuan rumah.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan
duniawi) secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat
berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat
dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan
kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk) bale (penunggu rumah), dan
sebaginya.
Perubahan pengetahuan masyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan
berubahnya faktor-faktor eksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan
topografis) menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat.
Hanya saja, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang, dan polanya
tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai
filosofis yang ditransmisikan secara turun temurun.

33
Untuk memulai membangun rumah, dicari waktu yang tepat, berpedoman pada
papan warige yang berasal dari Primbon Tapel Adam dan Tajul Muluq. Tidak
semua orang mempunyai kemampuan untuk menentukan hari baik, biasanya orang
yang hendak membangun rumah bertanya kepada pemimpin adat. Orang Sasak di
Lombok meyakini bahwa waktu yang baik untuk memulai membangun rumah
adalah pada bulan ketiga dan bulan kedua belas penanggalan Sasak, yaitu bulan
Rabiul Awal dan Zulhijjah pada kalender Islam. Ada juga yang menentukan hari
baik berdasarkan nama orang yang akan membangun rumah. Sedangkan bulan
yang paling dihindari (pantangan) untuk membangun rumah adalah pada bulan
Muharram dan Ramadlan. Pada kedua bulan ini, menurut kepercayaan masyarakat
setempat, rumah yang dibangun cenderung mengundang malapetaka, seperti
penyakit, kebakaran, sulit rizqi, dan sebagainya.
Selain persoalan waktu baik untuk memulai pembangunan, orang Sasak juga
selektif dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini
bahwa lokasi yang tidak tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang
menempatinya. Misalnya, mereka tidak akan membangun tumah di atas bekas
perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur, dan pada posisi jalan
tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun rumah
berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada.
Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu
(maliq-lenget).
Sementara material yang dibutuhkan untuk membangun rumah antara lain: kayu-
kayu penyangga, bambu, anyaman dari bambu untuk dinding, jerami dan alang-
alang digunakan untuk membuat atap, kotaran kerbau atau kuda sebagai bahan
campuran untuk mengeraskan lantai, getah pohon kayu banten dan bajur, abu
jerami, digunakan sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai.

34

Anda mungkin juga menyukai