DISUSUN OLEH :
SEPTA ARIANI
142018024
DOSEN : RENY KARTIKA SARY, ST.MT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
ARSITEKTUR TRADISIONAL
SUKU BATAK (SUMATERA UTARA)
A. SUKU BATAK
Mitologi Batak adalah kepercayaan tradisional akan dewa-dewi yang dianut oleh orang Batak. Agama
Batak tradisional sudah hampir menghilang pada saat ini, begitu juga dengan mitologi Batak. Kepercayaan
Batak tradisional terbentuk sebelum datangnya agama Islam dan Kristen oleh dua unsur yaitu megalitik kuno
dan unsur Hindu yang membentuk kebudayaan Batak.
Pengaruh dari India dapat terlihat dari elemen-elemen kepercayaan seperti asal-usul dunia, mitos
penciptaan, keberadaan jiwa serta bahwa jiwa tetap ada meskipun orang telah meninggal dan sebagainya.
Suku Batak sendiri terbagi dari:
1. Batak Toba (Tapanuli) : mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah
mengunakan bahasa Batak Toba.
2. Batak Simalungun : mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan menggunakan bahasa
Batak Simalungun.
3. Batak Karo : mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan bahasa Batak
Karo.
4. Batak Mandailing : mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi dan
menggunakan bahasa Batak Mandailing.
5. Batak Pakpak : mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan bahasa Pakpak. Toba
PUSUK BUHIT Simalungun Karo Pakpak Mandailing Angkola.
Orang Batak terdiri dari 5 sub etnis yang secara geografis dibagi sbb: Suku Nias yang mendiami
Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak karena nenek moyang
mereka bukan berasal dari Tanah Batak.
Namun demikian, Ada yang berpendapat dan berkeyakinan bahwa etnis Batak bukan hanya 5, akan
tetapi sesungguhnya ada 11 [sebelas], ke 6 etnis batak tersebut adalah :
1. Batak Pesisir,
2. Batak Angkola,
5. Batak Nias,
11.Batak ALAS GAYO,di Aceh Selatan,Tenggara, Tengah Yang disebut wilayah Tanah Batak atau Tano
Batak ialah daerah hunian sekeliling Danau Toba, Sumatera Utara.
Seandainya tidak mengikuti pembagian daerah oleh Belanda (politik devide et impera) seperti sekarang,
Tanah Batak konon masih sampai di Aceh Selatan.
1. ARSITEKTUR RUMAH ADAT BATAK TOBA
Selama suku Batak tinggal di pesisir danau toba, mereka membentuk suatu daerah
perkampungan yang cukup unik, dimana mereka memiliki 2 rumah, yaitu rumah jantan dan
rumah betina. Rumah jantan terletak disebelah selatan, fungsinya sebagai rumah tinggal,
sedangkan rumah betina terletak di sebelah utara, fungsinya sebagai tempat menyimpan padi.
Nenek moyang bangsa Batak (Bangso Batak) menyebut Rumah Batak yaitu “jabu na marampang
na marjual”. Ampang dan Jual adalah tempat mengukur padi atau biji bijian seperti beras/kacang
dll. Jadi Ampang dan Jual adalah alat pengukur, makanya Rumah Gorga, Rumah Adat itu ada
ukurannya, memiliki hukum hukum, aturan aturan, kriteria kriteria serta batas batas.
Biarpun Rumah Batak itu tidak memiliki kamar/dinding pembatas tetapi ada wilayah (daerah)
yang di atur oleh hukum - hukum. Ruangan Ruma Batak itu biasanya di bagi atas 4 wilayah
(bagian) yaitu:
1. Jabu Bona ialah daerah sudut kanan di sebelah belakang dari pintu masuk rumah, daerah ini
biasa di tempati oleh keluarga tuan rumah.
2. Jabu Soding ialah daerah sudut kiri di belakang pintu rumah. Bahagian ini di tempati oleh
anak anak yang belum akil balik (gadis)
3. Jabu Suhat ialah daerah sudut kiri dibahagian depan dekat pintu masuk. Daerah ini di
tempati oleh anak tertua yang sudah berkeluarga, karena zaman dahulu belum ada rumah yang di
ongkos (kontrak) makanya anak tertua yang belum memiliki rumah menempati jabu suhat.[4]
4. Jabu Tampar Piring ialah daerah sudut kanan di bahagian depan dekat dengan pintu masuk.
Daerah ini biasa disiapkan untuk para tamu, juga daerah ini sering di sebut jabu tampar piring
atau jabu soding jolo-jolo.
Disamping tempat keempat sudut utaman tadi masih ada daerah antara Jabu Bona dan
Jabu Tampar Piring, inilah yang dinamai Jabu Tongatonga Ni Jabu Bona. Dan wilayah antara
Jabu Soding dan Jabu Suhat disebut Jabu Tongatonga Ni Jabu Soding. Disebut Rumah Bolon
karena suku batak toba sangat percaya akan Tuhan mereka yaitu MULA JADI NA BOLON, jadi
rumah bolon berarti rumah Tuhan.
Itulah sebabnya ruangan Ruma Batak itu boleh dibagi 4 (empat) atau 6 (enam), makanya
ketika orang batak mengadakan pertemuan (rapat) atau RIA di dalam rumah sering mengatakan
sampai pada saat ini; Marpungu hita di jabunta na mar Ampang na Marjual on, jabu na
marsangap na martua on.
Pintu kecil bukan menunjukkan kalau orang Batak itu tubuhnya kecil-kecil atau pendek.
Tujuan dibuat pendek agar setiap orang yang mau masuk harus menundukkan kepala
sebagai wujud penghormatan kepada mereka yang berada di dalam.
3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur diatas urur
membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari pohon enau). Atap
Rumah Bolon kalau dilihat sekilas maka bentuknya terlihat seperti perahu. Beberapa
orang mempercayai kalau hal tersebut karena orang Batak itu asalnya dari Cina Selatan
dan mereka dahulu lama melaut.
Terdapat 2 runcing di bagian atap Rumah Bolon, runcing depan dan runcing belakang.
Runcing depan melambangkan orang tua dan runcing depan melambangkan anak.
Cobalah perhatikan dengan seksama, mungkin kalian akan menyadari kalau runcing
depan dan runcing belakang tingginya tidak sama.
Runcing depan memang selalu lebih rendah 1 jengkal dibandingkan runcing belakang.
Hal itu dibuat bukan tanpa alasan, tetapi juga dengan harapan. Orang Batak berharap
agar orang tua dapat membimbing anaknya dan kelak ketika dewasa nanti anaknya bisa
lebih sukses dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang tuanya.
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll. Bagian tengah adalah
ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-benda
keramat (ugasan homitan)
Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920 berkebangsaan
Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het Toba Batak Huis, ketiga benua itu
adalah :
1. Banua toru (bawah)
2. Banua tonga (tengah)
3. Banua ginjang (atas)
1). ATAP
Atap Rumah Toba mengambil ide dasar dari punggung kerbau, bentuknya yang melengkung
menambah nilai keaerodinamisannya dalam melawan angin danau yang kencang.
PONDASI
4). DINDING
• Dinding pada rumah batak toba miring, agar angin mudah masuk
• Tali-tali pengikat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali
pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak
belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling
bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama
dan saling menghormati
3). ORGANISASI RUANG
Bentuk-bentuk ruang ruang dimana posisinya dalam ruang diatur oleh pola grid, hal ini dapat
dilihat dari kolom-kolom yang tersusun secara modular pada denah.
4). KESEIMBANGAN
Keseimbangan pada rumah batak toba adalah simetris, baik pada denah maupun fasade
bangunan, hal ini dapat dilihat jika kita menarik garis lurus tepat pada as gambar denah dan
fasade.
5). SIRKULASI RUANG
Sirkulasi Ruang pada rumah batak toba adalah tersamar, karena harus melewati jalan lurus
sebelum berbelok ke bangunan utamanya.
6). PINTU MASUK BANGUNAN
Pintu Utama Menjorok kedalam dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan
ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.
7). ORNAMENT (GORGA BATAK)
Gorga Batak adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di dinding rumah
bahagian luar dan bagian depan dari rumah-rumah adat Batak. Gorga ada dekorasi atau hiasan
yang dibuat dengan cara memahat kayu (papan) dan kemudian mencatnya dengan tiga (3)
macam warna yaitu : merah-hitam-putih. Warna yang tiga macam ini disebut tiga bolit.
Bahan-bahan untuk Gorga ini biasanya kayu lunak yaitu yang mudah dikorek/dipahat. Biasanya
nenek-nenek orang Batak memilih kayu ungil atau ada juga orang menyebutnya kayu ingul.
Kayu Ungil ini mempunyai sifat tertentu yaitu antara lain tahan terhadap sinar matahari
langsung, begitu juga terhadap terpaan air hujan, yang berarti tidak cepat rusak/lapuk akibat kena
sengatan terik matahari dan terpaan air hujan. Kayu Ungil ini juga biasa dipakai untuk
pembuatan bahan-bahan kapal/ perahu di Danau Toba.
Menurut bentuknya
Dilihat dari ornament dan gambar-gambarnya dapat pula Gorga itu mempunyai nama-namanya
tersendiri, antara lain :
• Gorga Ipon-Ipon, Terdapat dibahagian tepi dari Gorga; ipon-ipon dalam Bahasa Indonesia
adalah Gigi. Manusia tanpa gigi sangat kurang menarik, begitulah ukiran Batak, tanpa adanya
ipon-ipon sangat kurang keindahan dan keharmonisannya. Ipon-ipon ada beraneka ragam,
tergantung dari kemampuan para pengukir untuk menciptakannya. Biasanya Gorga ipon-ipon ini
lebarnya antara dua sampai tiga sentimeter dipinggir papan dengan kata lain sebagai hiasan tepi
yang cukup menarik.
• Gorga Sitompi, Sitompi berasal dari kata tompi, salah satu perkakas Petani yang disangkutkan
dileher kerbau pada waktu membajak sawah. Gorga Sitompi termasuk jenis yang indah di dalam
kumpulan Gorga Batak. Disamping keindahannya, kemungkinan sipemilik rumah sengaja
memesankannya kepada tukang Uhir (Pande) mengingat akan jasa alat tersebut (Tompi) itu
kepada kerbau dan kepada manusia.
Rumah adat Nias (bahasa Nias: Omo Hada) adalah suatu bentuk rumah panggung tradisional
orang Nias, yaitu untuk masyarakat pada umumnya. Selain itu terdapat pula rumah adat Nias
jenis lain, yaitu Omo Sebua, yang merupakan rumah tempat kediaman para kepala negeri
(Tuhenori), kepala desa (Salawa), atau kaum bangsawan.
Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang kayu nibung (Oncosperma tigillarium) yang
tinggi dan besar, yang beralaskan rumbia (Metroxylon sagu). Bentuk denahnya ada yang bulat
telur (di Nias utara, timur, dan barat), ada pula yang persegi panjang (di Nias tengah dan selatan).
Bangunan rumah panggung ini tidak berpondasi yang tertanam ke dalam tanah, serta sambungan
antara kerangkanya tidak memakai paku, hingga membuatnya tahan goyangan gempa. Ruangan
dalam rumah adat ini terbagi dua, pada bagian depan untuk menerima tamu menginap, serta
bagian belakang untuk keluarga pemilik rumah.
Di halaman muka rumah dahulu biasanya terdapat patung batu, tempat duduk batu untuk
berpesta adat, serta di lapangan desa ada batu-batu besar yang sering dipakai dalam upacara
lompat batu. Saat ini peninggalan batu dari masa Megalitik seperti itu yang keadaanya masih
baik dapek dilihat di desa-desa Bawomataluwo jo Hilisimaetano.
Ada sejenis rumah adat tertentu yang dahulu dipakai khusus untuk rumah berhala-berhala orang
Nias, yang dinamakan Osali. Karena di saat ini sebagiabn besar masyarakat Nias telah memeluk
agama Kristen, maka nama itu dipakai pula untuk menyebut gereja.
Lantai rumah moro tersusun dari papan kayu yang ditatadengan pola melintang dan diselingi
dengan satu deret papankayu dengan pola membujur disebut juga Fafa Gahembato. Bahan
kayu yang biasanya digunakan ialah kayu berua ataumenawa dano. Lantai disusun diatas
batang kayu yang lebihkecil yang disebut “Siloto lalu diletakkan pada strukturpenopang
lantai yang disebut juga “Lali`Owo”
Dinding rumah moro terbuat dari papan kayu yangditata membujur diantara kolom-kolom
kayu dandisebut juga “Fafa”. Bahan kayu yang biasanyadigunakan ialah kayu berua
ataumenawa dano Pada Arsitektur rumah nias, jendela ruang hanyaberupa lubang pada
dinding yang diberi teraliskayu.
Rangka atap pada rumah nias moro tidak lagi menggunakansistem kuda-kuda sebagai
penyangga atap, melainkanmenggunakan balok –balok kayu yang saling terhubungdengan
pilar penyangga rangka atap (Ehomo Mbubu). Rangka dimana penutup atap ditempatkan
dinamanan “Gaso” dan “Gaso Matua”, yakni rangka atap yang berfungsisebagai Usuk dan
Reng bagi penutup atap.
penutup atap
Penutup atap dari rumahmoro terbuat daun rumbiayang dirangkai pada rangkaatap sehingga
membentukpola atap
Berbicara mengenai arsitektur tradisional di Nias Selatan memang lebih didominasi oleh
bangunan rumah tradisional atau rumah adat (omo hada). Rumah adat berbentuk tipis dan
tinggi terkesan lemah terhadap terpaan angin. Sebagai penyelesaiannya bangunan rumah adat
dibangun saling menempel dan berderet berhadapan di sepanjang desa. Sekilas mata
memandang, deretan rumah seolah mempunyai bentuk yang sama. Namun, jika diperhatikan,
ada perbedaan pada ukuran, pada tinggi bangunan ataupun letak jalan masuk ke dalam rumah.
Selain itu, terdapat juga perbedaan pada ragam hias pada setiap rumah.
Strata sosial
Perbedaan tinggi bangunan rumah di Nias Selatan menunjukkan golongan sosial
masyarakat/strata penghuninya. Rumah tertinggi sebagaimana di desa di Bawömataluo
ataupun di Orahili, misalnya, adalah omo sebua (rumah besar). Omo nifolasara sebua adalah
rumah besar yang menjadi pusat orientasi desa. Rumah ini merupakan rumah tinggal raja
yang memerintah desa itu pada masa lalu. Umumnya terletak di tengah desa (seperti di
Bawömataluo, Botohilitanö, Hilinawalö) dan memutus kelanjutan dari rumah-rumah adat
yang berderet. Untuk melengkapi kemegahannya serta menunjukkan kekuasaan penghuninya,
omo sebua dihiasi dengan 3 lasara (naga dalam mitos yang melambangkan kekuatan) serta
berbagai ornamen yang memberi kesan magis. Jika omo sebua merupakan rumah raja, omo
nifobabatu adalah rumah untuk golongan bangsawan Si Ulu dan Si Ila. Sedangkan omo sato
merupakan tempat tinggal rakyat biasa. Kedua tipe rumah ini mempunyai ketinggian yang
tidak jauh berbeda, tetapi jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan omo sebua. Keunikan
lain dari omo sebua adalah jalan masuknya (eduo) yang terletak pada sumbu bagian depan
dan melalui kolong bangunan. Sementara pada rumah lainnya jalan masuk adalah melalui sisi
samping bangunan.
Rumah adat Omo Hada merupakan desain rumah tradisional dari Suku Nias yang
diperuntukkan bagi warga biasa. Di Desa Bawomataluo, keberadaan rumah adat Omo
Hada pun masih terjaga dengan baik. Bahkan saat ini terdapat sekitar 100 unit rumah adat
Nias Omo Hada di desa tersebut. Dan rumah adat Omo Hada ini mempunyai pintu yang
terhubung satu sama lain.
Sementara itu, rumah adat Omo Sebua hanya ada satu di Desa Bawomataluo. Tak
sembarang orang yang bisa tinggal di rumah adat Nias yang satu ini. Rumah adat ini
secara khusus dibuat sebagai tempat tinggal kepala suku Nias. Saat ini, Omo Sebua pun
bisa pun terbuka untuk para wisatawan.
Bentuk Omo Sebua mempunyai desain yang berbeda dengan Omo Hada. Bangunan ini
memiliki atap runcing yang cukup tinggi, mencapai 16 meter. Tak hanya itu, rumah adat
ini juga didesain kokoh dengan menggunakan bahan baku kayu besi.
Asal-usul rumah adat Nias ini memang cukup unik. Kedua jenis rumah tradisional ini
dibuat agar menyulitkan musuh yang ingin melakukan serangan. Terlebih pada zaman
dahulu, banyak suku Nias yang terlibat peperangan satu sama lain. Terlebih suku Nias
dikenal sebagai suku pejuang.
Tak hanya itu, bentuk dari rumah adat Nias ini ternyata juga mempertimbangkan efek
bencana lho. Desain Omo Sebua dengan atap yang runcing dan tinggi mencapai 16 meter,
tak hanya bisa digunakan sebagai tempat perlindungan saat ada serangan musuh. Rumah
tradisional ini ternyata juga mempunyai ketahanan terhadap gempa bumi lho.
Tradisi ini dikenal sebagai salah satu cara orang Nias untuk membuktikan kedewasaannya.
Mereka yang telah berhasil lulus dan berhasil melompati batu setinggi 2 meter, dianggap
telah dewasa dan selanjutnya diperbolehkan untuk menikah.
Tipologi rumah tradisional Nias selatan berbentuk persegi panjang dengan petak-petak
tertentu dengan konstruksi berbaris berbentuk tinggi dan ujung atap yang mengarah ke
jalan yang sudah ditentukan berdasarkan tipe rumah mengenai tataletak, gaya, desain,
posisi rumah yang menunjukan tingkatan strata sosial tertentu. Terdapat rumah kepala
suku (Omo sebua), rumah dewan adat (bale) yang berada di tengah persimpangan desa
(waterson, 1990) dan rumah pemukiman penduduk biasa.
Disepanjang jalan kampung, terdapat pekarangan yang cukup luas pada setiap
pemukiman yang digunakan sebagai tempat mereka bekerja dan bersosialisasi. Saluran
air yang terdapat di masing-masing pemukiman adalah sebagai batas wilayah dari
masing-masing penghuni rumah. Tapi terdapat juga sumber air bersama yang biasanya
berada dipersimpangan dari konfigurasi pola pemukiman T atau L. Dibagian depan
halaman menujuk kearah jalan pemukiman/desa, disediakan tempat untuk
meletakkanbatu-batu megalit. Tempat ini disebut Öli Batu dan menjadi perlambang
kedudukan sang pemilik rumah. Batu-batu tersebut memiliki bermacam-macam bentuk,
termasuk Menhir.
Untuk bangunan dengan tiang utama hanya sampai lantai bangunan (tiang hanya berfungsi
menahan lantai bangunan) dan tidak diteruskan sampai ke bawah atap, menggunakan sistem
tumpangan, lubang dan pasak serta di perkuat dengan sokongan (pengaku samping) berbentu V
atau X. Yang ke dua untuk bangunan yang tiang utamanya sampai ke bagian bawah atap,
menggunakan sistem lubang dan pasak.
Sistem tektonika hubungan balok lantai dan tiang utama untuk bangunan dengan
mengunakan pondasi umpak
Pada konstruksi arsitektur Nias Selatan yang merupakan arsitektur yang berada pada daerah
dengan tingkat intensitas gempa yang tinggi, sistem konstruksi bagian bawah yang digunakan
sangat berbeda dengan konstruksi pada arsitektur lain yang sama sama berlokasi di daerah
gempa kuat. Pada arsitektur Nias Selatan tiang pondasi tidak diteruskan sampai ke atap, dan
hanya berhenti sampai lantai bangunan. Dan penggunaan penyokong berbentuk V dan X, untuk
memperkuat konstruksi yang ada.
ARSITEKTUR LOMBOK
Di masa kejayaan Majapahit, pulau Lombok lebih tenar daripada Bali dan lebih pula memiliki
peran. Ketika dominasi Majapahit musnah dan kekuasaan beralih ke kerajaan Demak, hubungan
antara Jawa dan Pulau Lombok terus berlanjut. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya
penduduk asli pulau Lombok, Suku Sasak yang memeluk agama Islam. Namun demikian, Pulau
Lombok mendapat pula pengaruh yang kuat dari pemerintahan raja-raja Bali.
Arsitektur Bali sangat dikenal di Pulau Lombok, khususnya Lombok bagian barat yang secara
geografis berada dekat dengan Pulau Bali. Di Lombok, arsitektur Bali dipergunakan oleh
kalangan elit menengah ke atas. Variasi dari bentuk rumah tradisional Bali di Lombok memang
ada namun tidak banyak. Oleh karena itu nuansa Bali di pulau Lombok khususnya bagian barat
sangat terasa bahkan hingga saat ini. Arsitekturnya boleh dikata hampir mirip benar dengan
arsitektur Bali pasca Hindu.
Beberapa perbedaan yang boleh dikatakan cukup terlihat dibandingkan dengan arsitektur Bali
meliputi:
ƒ Penggunaan penutup atap. Arsitektur Bali asli menggunakan ijuk dan ilalang untuk menutup
atap. Di Lombok di mana kultur Bali tidak seberakar di tempat asalnya, banyak yang telah
beralih menggunakan seng. Nampaknya tidak ada alasan lain yang lebih kuat selain alasan
kepraktisan.
ƒ Ornamen ukiran, reliefnya tidak seramai dan serumit di Bali. Alasan ini nampaknya hampir
sama dengan alasan di atas, tidak jauh dari simplifikasi dan kepraktisan.
Pulau Lombok merupakan pulau atau daerah perbatasan antara kebudayaan Islam di sebelah
timur dan kebudayaan bernafaskan Hindu di bagian barat. Karena itu, pulau ini menjadi rebutan
pengaruh antara raja-raja Bali di barat dengan raja-raja Goa (Makasar) dan Sumbawa di sebelah
timurnya. Semuanya berusaha untuk meluaskan pengaruhnya di pulau tersebut. Itulah sebabnya
di Lombok dikenal kebudayaan Islam yang beragam. Islam waktu lima dikenal pada tradisi
Lombok yang dekat dengan tradisi Jawa, Goa dan Makasar, sementara yang dekat dengan tradisi
Bali dikenal Islam waktu telu, yang mengenal shalat tiga waktu.
RUMAH ADAT SASAK
Suku Sasak adalah penduduk asli dan suku mayoritas di Lombok, NTB. Sebagai penduduk asli,
suku Sasak telah mempunyai sistem budaya sebagaimana terekam dalam kitab Nagara Kartha
Gama karangan Empu Nala dari Majapahit.
Dalam kitab tersebut, suku Sasak disebut “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi.” Jika saat kitab
tersebut dikarang suku Sasak telah mempunyai sistem budaya yang mapan, maka
kemampuannya untuk tetap eksis sampai saat ini merupakan salah satu bukti bahwa suku ini
mampu menjaga dan melestarikan tradisinya.
Salah satu bentuk dari bukti kebudayaan Sasak adalah bentuk bangunan rumah adatnya.
Rumah bukan sekadar tempat hunian yang multifungsi, melainkan juga punya nilai estetika bagi
penghuninya, baik arsitektur maupun tata ruangnya.
4. STRUKTUR BANGUNAN
ATAP
Atap rumah adat suku Sasak Limbungan berbentuk limasan bagian depan lebih
panjang kebawah dibandingkan dengan atap bagian belakang. Bahan bahan yang
digunakan sebagai kerangka atap adalah menggunakan bambu, tali yang terbuat dari
rotan sebagai pengikat. Bagian penutup atap menggunakan alang-alang kering yang
dianyam menggunakan bambu.
Atap Bale Sasak jika dilihat dari depan mirip dengan atap limasan. Dilihat dari
luar atap rumah lebih besar dibandingkan dengan badan rumah. Panjang atap bagian atas
berukuran ± 3 meter, panjang atap bagian bawah berukuran ± 7 meter. Jarak antara atap
dan tanah tidak terlalu jauh, berjarak ± 2 meter dari permukaan tanah. Atap bagian depan
menggunakan bahan dari alam seperti alang-alang dan bambu.
Tampak atap bagian depan rumah lebih menjorok kebawah hingga menutupi pintu
bagian atas, atap yang menjorok fungsinya untuk menahan cahaya matahari pagi yang
terlalu silau. Bentuk atap rumah yang menjorok sering kita temui di daerah
dingin/pegunungan.
Dengan demikian cahaya matahari pagi tidak akan menggangu pengelihatan ketika
bersantai di sesangkok (teras) rumah.
Dari dalam rumah terlihat langsung rangka atap Bale tanpa adanya plafon atap. Rangka
atap Bale terbuat dari bahan alami yang bersumber dari alam. Atap Bale menggunakan bambu
dan mengunakan serat bambu yang sudah diraut sebagai tali untuk mengikat rangka atap.
Tiang Bale
Pada umumnya tiang rumah adat suku Sasak berbentuk persegi empat. Bentuk rumahnya
yang sederhana dan tampak ringan maka tiang rumah adat Sasak tidak begitu besar, berukuran
kurang lebih 15 x 15 cm , dengan panjang sekitar 2 meter.
Material tiang Bale menggunakan bahan yang bersumber dari alam yaitu menggunakan
kayu Gali. Tiang rumah adat harus ganjil karena diyakini bisa mendatangkan rezeki.
Keunikan dari rumah adat suku Sasak adalah tidak mempunyai tiang utama sehingga
semua tiang yang ada menopang semua bagian yang sama tidak memberatkan pada salah satu
tiang yang ada.
Dinding Bale
Dinding Bale menggunakan konstrukasi bambu. Dinding bagian depan dan dinding
belakang menggunakan konstruksi ayaman bambu. Tiang-tiang Bale digunakan sebagai
tempat berpegangnya dinding, dan menggunakan belahan bambu sebagai bantalan. Untuk
mengikat dinding dengan tiang masyarakat menggunakan rotan sebagai pengikat.
dari bambu apabila dilihat dari segi keamanan tampak kurang baik. Letak ruang Bale dalem
yang berfungsi sebagai dapur berada dibagian dalam rumah dengan menggunakan tungku
sebagai alat memasak mengharuskan penghuni rumah untuk waspada apabila sedang memasak,
karena bahan dinding rumah mudah terbakar. Fungsi utama dari dinding rumah adat suku Sasak
Limbungan itu sendiri adalah untuk menahan hawa dingin dan angin dari luar, disamping itu
dinding bagian dalam Bale berfungsi sebagai pembatas Bale dalam dan sesangkok serta
berfungsi sebagai hiasan.
Tangga
Pada rumah adat Sasak tangga terletak pada dua tempat, yang pertama pada bagian depan
rumah dan di bagian dalam rumah. Pada masyarakat tangga dinamakan anjar-anjar. Bahan
utama dari pembuatan tangga Bale menggunakan bahan yang sama seperti bahan lantai yaitu
tanah yang dipadatkan, dengan permukaan lantai menggunakan campuran getah pohon Banten,
tanah, dan batrai bekas dioleskan secara merata pada permukaan tangga.
Di luar rumah terdapat tangga yang berjumlah satu sampai dua buah anak tangga,
sedangkan tangga di dalam rumah berjumlah tingga sampai empat buah anak tangga. Tangga
Bale yang terletak di luar rumah berfungsi untuk menghubungkan luar rumah (halaman) dengan
ruang sesangkok. Sedangkan tangga dalem Bale berfungsi untuk menghubungkan sesangkok
dengan Bale dalem.
Undakan tangga yang terdapat pada tangga luar terdiri dari satu sampai dua buah
undakan tangga. Tangga luar berukuran besar dan lebar sehingga untuk masuk kedalam Bale
dibutuhkan sedikit tenaga ketika memijakkan kaki pada tangga luar.
Tangga luar Bale selain berfungsi sebagai penghubung luar rumah dengan dalam rumah,
tangga luar juga berfungsi sebagai tempat beraktivitas masyarakat. Dikarenakan bentuk dan
ukuran tangga luar Bale yang berukuran lebih besar dan lebar sehingga tangga luar Bale
dijadikan sebagai tempat beraktivitas seperti, sebagai tempat untuk berbincang-bincang santai
dengan anggota masyarakat, atau sebagai tempat untuk membuat kerajinan.
Anak tangga dalem Bale berjumlah tiga hingga empat buah anak tangga. Ukuran tangga
dalem Bale lebih kecil dibandingkan dengan tangga luar Bale. Fungsi tangga yang terdapat di
dalam rumah merupakan sebagai penghubung ruang sesangkok dengan ruang Bale dalem. Bahan
yang digunakan dalam pembuatan tangga dalem Bale menggunakan tanah yang dipadatkan dan
permukaan tangga dilapisi dengan campuran getah pohon Banten dan batari bekas untuk
memberikan warna hitam pekat pada permukaan tangga. Permukaan tangga dan lantai Bale
cenderung sedikit berdebu, hal tersebut merupakan kelemahan pada bahan yang digunakan yaitu
tanah.
Anak tangga luar Bale berjumlah dua undakan tangga dan tangga dalem Bale berjumlah
tiga buah anak tangga, apabila tangga luar dan tangga dalam digambungkan maka akan
berjumlah
5 buah anak tangga. Jumlah undakan tangga tersebut melambangkan jumlah rukun Islam.
Pintu
Lawang (pintu) yang terdapat pada Bale terdiri dari dua buah lawang (pintu), yaitu lawang
sesangkok dan lawang dalem. Lawang sesangkok yaitu pintu keluar masuk berada di
sesangkok/teras (lawang sesangkok) terletak dibagian rumah paling depan. Sedangkan lawang
dalem terletak ditegah-tengah rumah sebagai penghubung sesangkok dengan dalem Bale.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan lawang adalah bambu dan kayu. Warna pada pintu
Bale dihasilkan dari bahan yang digunakan yaitu bahan alami sehinga pintu Bale tidak
mempunyai warna yang mencolok.
Konstruksi lawang sesangkok dan lawang dalem Bale pada rumah adat Sasak menggunakan
konstruksi pintu geser/sorong. Dengan cara mengikat bagian atas pintu dengan bambu yang
berukuran 25 cm dengan diameter berukuran 10 cm pada sisi kanan dan kiri pintu, dan
dilanjutkan dengan mengaitkannya pada tongkat yang sudah dipasang secara horizontal di bawah
atap.
Dari segi kemanan lawang tidak memiliki desain khusus,
jika penghuni rumah keluar untuk bepergian lawang hanya
dikunci menggunakan tongkat yang disenderkan pada pintu
sebagai pengamanan untuk mencegah orang lain masuk ke
dalam rumah. Tongkat yang terbuat dari bambu/kayu tersebut
cukup disenderkan ke lawang Bale dari luar.
Pondasi
Pondasi rumah adat terbuat dari tanah yang ditinggikan dan dicampur dengan batu kemudian
dipadatkan. dalam buku arsitektur tradisional daerah Nusa Tenggara Barat (1991: 65) pondasi
rumah adat Sasak terlapis sampai tujuh lapisan antara batu dan tanah. Pondasi ini terbuat dari
campuran tanah dengan getah pohon Banten. Akan tetapi dibeberapa tempat tidak dicampur
dengan kotoran sapi karena tanahnya cukup keras. campuran tanah dan getah pohon memberikan
warna coklat gelap pada pondasi.
Konstruksi pondasi Bale berbentuk tingkat. Pondasi yang ditinggikan ini berkaitan dengan
adanya cerita yang beredar dikalangan masyarakat Sasak secara turun-temurun, sehingga
menjadi semacam keyakinan bahwa dahulu nenek moyang suku Sasak pernah berpesan bahwa
tiap sepuluh tahun akan adanya banjir. Selain cerita turun-temurun nenek moyang tersebut,
pondasi rumah ditinggikan karena udara dingin. Jika ditinggikan maka suasana dalam rumah
akan menjadi lebih hangat.
Orang Sasak menyebut Bale dalam sebagai inan Bale atau rumah induk. Bale dalem
sebagai induk rumah merupakan area pribadi yang dikhususkan untuk anak perempuan dan istri.
Dalam suku Sasak perempuan harus dilindungi. Salah satu bentuk perlindungan yang dilakukkan
masyarakat suku Sasak adalah dengan menempatkan perempuan pada area khusus di dalam
rumah. Anak perempuan dan Istri mempunyai area khusus yang terletak di bagian paling dalam
rumah.
Ruang-ruang yang terdapat pada Bale tidak mendapat cahya langsung dari matahari,
cahaya matahari masuk melalui celah-celah dinding yang terbuat dari anyaman sehingga
walaupun siang hari di dalam rumah akan tetap gelap. Warna hitam pada lantai menambah kesan
gelap di dalam ruang-ruang Bale.
Sesangkok
Sesangkok merupakan ruang yang terdapat pada bagian depan rumah, sesangkok dibagi
menjadi dua bagian yaitu sesangkok kiri dan sesangkok kanan, dimana kedua sesangkok tersebut
mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai tempat untuk menerima tamu.
Lantai sesangkok terbuat dari bahan campuran tanah dan getah pohon. Warna hitam pekat
pada permukaan lantai merupakan hasil campuran tanah dengan batrai bekas yang diolesi secara
merata.
Sekenam
Sekenam bentuknya sama dengan
berugaq/sekepat, hanya saja sekenam mempunyai
mempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di
bagian belakang rumah. Sekenam biasanya
digunakan sebagai tempat kegiatan belajar
mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai
budaya dan sebagai tempat pertemuan internal
keluarga.
Bale Bonter
Bale bonter merupakan bangunan tradisional Sasak yang umumnya dimiliki oleh para
perkanggo/pejabat desa, dusun/kampong. Bale bonter biasanya dibangun di tengah-tengah
pemukiman dan atau di pusat pemerintahan desa/kampung. Bale bonter dipergunakan sebagai
temopat pesangkepan/persidangan adat, seperti tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum
adat dan sebagainya.
Bale bonter juga disebut gedeng pengukuhan dan tempat menyimpanan benda-benda
bersejarah atau pusaka warisan keluarga. Bale bonter berbentuk segi empat bujur sangkar,
memiliki tiang paling sedikit 9 buah dan paling banyak 18 buah. Bangunan ini dikelilingi
dinding bedek sehingga jika masuk ke dalamnya seperti aula, atapnya tidak memakai nock/sun,
hanya pada puncak atapnya menggunakan tutup berbentuk kopyah berwarna hitam.
Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan
masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang
diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang
terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-
penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.
Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan
tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang
sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan,
pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan nya.
A. KONSEP DASAR
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi
tata ruangnya, diantaranya adalah:
A. Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala
Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga
Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:
Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)
Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)
Sumbu natural: Gunung dan Laut.
Utama (kepala): simbol tertinggi yang diwujudkan dalam bentuk atap, pada arsitektur
tradisional Bali atap umumnya terbuat dari ijuk dan alang-alang. Namun kini telah
berkembang menjad genteng dan material modern lainnya.
Madya (badan): bentuk bangunan dinding, jendela, dan pintu khas arsitektur Bali.
Nista (kaki): merupakan bagian bawah bangunan, pondasi rumah atau bawah rumah yang
digunakan sebagai penyangga. Umumnya menggunakan batu kali atau batu bata.
D. Dimensi Tradisional Bali
Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala
didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah :
Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyaklagi yang lainnya.
sebuah desain bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan
kebudayan tersebut.
2. Aling-Aling
aling-aling merupakan tembok pembatas antara pintu gerbang (angkul-angkul) dengan
pekarangan rumah. Fungsi aling-aling adalah untuk menghalangi pandangan dari luar secara
langsung ke area dalam rumah dan juga penghalang masuknya pengaruh jahat. Selain itu aling-
aling juga digunakan sebagai pengalihan jalan menuju rumah apabila hendak masuk melalui arah
sisi kiri dan saat keluar melalui sisi kanan. Adanya aling-aling ini dipercaya dapat memunculkan
sifat positif ke dalam area bangunan rumah adat Bali ini. Sekarang ini bentuk aling-aling selain
menggunakan tembok ada juga yang menggunakan patung sebagai aling-aling.
6. Bale Sakepat
Bale Sakepat merupakan bangunan terbuka yang
dimanfaatkan untuk bersantai. Bangunan ini berbentuk
minimalis dengan tiang empat dan sering dimanfaatkan
sebagai paviliun atau tempat tidur anak.
Bale Dangin merupakan bangunan tempat upacara adat yang terletak di bagian timur atau
dangin natah umah. Bale Dangin berbentuk segi empat atau persegi panjang tergantung jumlah
tiang yang digunakan. Bale Dangin dapat dibangun dengan beberapa macam jumlah tiang
dengan sebuatan berbeda, yaitu bale dengan tiang 6 disebut sekanem, Bale dengan tiang 8
disebut sekutus/ astasari, dan jika tiangnya 9 disebut sangasari yang terdiri dari satu bale.
Sedangkan apabila menggunakan tiang dengan jumlah 12 disebut dengan bale gede dan terdiri
dari dua buah bale, yaitu kanan dan kiri. Bale Dangin dibangun dengan ketinggian pondasi
bangunan lebih rendah dari Bale Meten.
9. Jineng/Klumpu
Jineng merupakan bangunan yang berfungsi sebagai lumbung
atau tempat penyimpan beras. Jineng terletak di bagian tenggara dekat
dekat Paon. Atap jineng terbuat dari alang-alang yang umumnya
terdiri dari dua lantai, yaitu bagian atas sebagai tempat menyimpan
padi kering dan bagian bawah sebagai tempat menyimpan padi yang
belum kering.
- Utama atau kepala. Bagian ini diposisikan paling tinggi yang diwujudkan dalam bentuk atap.
Pada arsitektur tradisional, bagian ini menggunakan atap ijuk dan alang-alang. Namun, seiring
perkembangan bagian atap mulai menggunakan bahan modern seperti, genteng.
- Madya atau badan. Bagian tengah dari bangunan ini diwujudukan dalam bentuk bangunan
dinding, jendela dan pintu.
- Nista atau kaki merupakan bagian yang terletak di bawah dari sebuah bangunan. Bagian ini
diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah yang digunakan sebagai penyangga.
Biasanya, bagian ini erbuat dari batu bata atau batu gunung.
4. Struktur Rumah Tradisional Bali
Seperti yang sering kita lihat di beberapa media, rumah-rumah di Bali cenderung memiliki
struktur yang kompleks namun tertata rapi. Rumah-rumah beraksitektur tradisional Bali tak
hanya terdiri atas satu unit stuktur, tapi lebih mengarah ke sekumpulan bangunan-bangunan
dimana setiap bangunan dihuni satu kepala keluarga. Biasanya, mereka yang tinggal di kompleks
ini merupakan keluarga besar dan berasal dari keturunan yang sama. Di sekeliling kompleks
bangunan ini dibangun tembok yang tak terlalu tinggi, namun cukup memisahkannya dengan
dunia luar.
Pada komplek bangunan ini terdapat satu Pura untuk sembahyang, dapur yang digunakan
untuk bersama, area untuk tidur, serta area untuk pertemuan penting/perjamuan. Untuk tujuan
itu, biasanya pada kompleks bangunan ini dibangun 2 macam, yakni paviliun untuk menerima
tamu serta paviliun khusus untuk upacara adat dan ritual keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
http://auteurdelaction.blogspot.com/2014/07/arsitektur-tradisional-suku-batak.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur_Batak
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/gk/article/viewFile/7387/6276
https://www.kompasiana.com/andybatee/55295173f17e61b05e8b4577/konstruksi-dan-tehnik-
bangunan-tradisional-suku-nias-yang-ramah-lingkungan?page=al
https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-1638952/arsitektur-tradisional-nias-selatan
https://www.museum-nias.org/arsitektur-nias/
http://winiarisandi.blogspot.com/2014/11/arsitektur-rumah-tradisional-lombok.html
https://parhansyam.wordpress.com/2011/07/24/aarsitektur-rumah-adat-lombok/
https://bobo.grid.id/read/08673866/7-rumah-bale-suku-sasak-yang-menarik-wisatawan-bule?
page=2
https://www.academia.edu/11232273/ARSITEKTUR_TRADISIONAL_BALI
https://www.scribd.com/doc/145780438/Arsitektur-Bali
https://www.senibudayaku.com/2018/01/rumah-adat-bali.html