Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH

SEJARAH ARSITEKTUR TIMUR


ARSITEKTUR TRADISIONAL BATAK, NIAS, LOMBOK DAN BALI
TUGAS 2

DISUSUN OLEH :
SEPTA ARIANI
142018024
DOSEN : RENY KARTIKA SARY, ST.MT

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
ARSITEKTUR TRADISIONAL
SUKU BATAK (SUMATERA UTARA)
A. SUKU BATAK
Mitologi Batak adalah kepercayaan tradisional akan dewa-dewi yang dianut oleh orang Batak. Agama
Batak tradisional sudah hampir menghilang pada saat ini, begitu juga dengan mitologi Batak. Kepercayaan
Batak tradisional terbentuk sebelum datangnya agama Islam dan Kristen oleh dua unsur yaitu megalitik kuno
dan unsur Hindu yang membentuk kebudayaan Batak.

Pengaruh dari India dapat terlihat dari elemen-elemen kepercayaan seperti asal-usul dunia, mitos
penciptaan, keberadaan jiwa serta bahwa jiwa tetap ada meskipun orang telah meninggal dan sebagainya.
Suku Batak sendiri terbagi dari:
1. Batak Toba (Tapanuli) : mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah
mengunakan bahasa Batak Toba.

2. Batak Simalungun : mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan menggunakan bahasa
Batak Simalungun.

3. Batak Karo : mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan bahasa Batak
Karo.

4. Batak Mandailing : mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi dan
menggunakan bahasa Batak Mandailing.

5. Batak Pakpak : mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan bahasa Pakpak. Toba
PUSUK BUHIT Simalungun Karo Pakpak Mandailing Angkola.
Orang Batak terdiri dari 5 sub etnis yang secara geografis dibagi sbb: Suku Nias yang mendiami
Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak karena nenek moyang
mereka bukan berasal dari Tanah Batak.

Namun demikian, Ada yang berpendapat dan berkeyakinan bahwa etnis Batak bukan hanya 5, akan
tetapi sesungguhnya ada 11 [sebelas], ke 6 etnis batak tersebut adalah :

1. Batak Pesisir,

2. Batak Angkola,

3. Batak Padang lawas,


4. Batak Melayu,

5. Batak Nias,

6. Batak Alas Gayo.

Sebelas dari sub etnis Batak adalah:

1. Batak TOBA ,di Kab.Tapanuli Utara, Tengah, Selatan

2. Batak SIMALUNGUN, di Kab.Simalungun, sebelah Timur danau Toba

3. Batak KARO,di Kab Karo, Langkat dan sebagian Aceh

4. Batak PAKPAK [Dairi],di Kab Dairi dan Aceh Selatan

5. Batak MANDAILING,di Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi

6. Batak PASISIR,di Pantai Barat antara Natal dan Singkil

7. Batak ANGKOLA,di Wilayah Sipirok dan P. Sidempuan\

8. Batak PADANGLAWAS ,di Wil. Sibuhuan, A.Godang, Rambe, Harahap

9. Batak MELAYU,di WiL Pesisir Timur Melayu

10.Batak NIAS,di Kab Pulau Nias dan sekitarnya

11.Batak ALAS GAYO,di Aceh Selatan,Tenggara, Tengah Yang disebut wilayah Tanah Batak atau Tano
Batak ialah daerah hunian sekeliling Danau Toba, Sumatera Utara.

Seandainya tidak mengikuti pembagian daerah oleh Belanda (politik devide et impera) seperti sekarang,
Tanah Batak konon masih sampai di Aceh Selatan.
1. ARSITEKTUR RUMAH ADAT BATAK TOBA
Selama suku Batak tinggal di pesisir danau toba, mereka membentuk suatu daerah
perkampungan yang cukup unik, dimana mereka memiliki 2 rumah, yaitu rumah jantan dan
rumah betina. Rumah jantan terletak disebelah selatan, fungsinya sebagai rumah tinggal,
sedangkan rumah betina terletak di sebelah utara, fungsinya sebagai tempat menyimpan padi.
Nenek moyang bangsa Batak (Bangso Batak) menyebut Rumah Batak yaitu “jabu na marampang
na marjual”. Ampang dan Jual adalah tempat mengukur padi atau biji bijian seperti beras/kacang
dll. Jadi Ampang dan Jual adalah alat pengukur, makanya Rumah Gorga, Rumah Adat itu ada
ukurannya, memiliki hukum hukum, aturan aturan, kriteria kriteria serta batas batas.

Biarpun Rumah Batak itu tidak memiliki kamar/dinding pembatas tetapi ada wilayah (daerah)
yang di atur oleh hukum - hukum. Ruangan Ruma Batak itu biasanya di bagi atas 4 wilayah
(bagian) yaitu:
1. Jabu Bona ialah daerah sudut kanan di sebelah belakang dari pintu masuk rumah, daerah ini
biasa di tempati oleh keluarga tuan rumah.
2. Jabu Soding ialah daerah sudut kiri di belakang pintu rumah. Bahagian ini di tempati oleh
anak anak yang belum akil balik (gadis)
3. Jabu Suhat ialah daerah sudut kiri dibahagian depan dekat pintu masuk. Daerah ini di
tempati oleh anak tertua yang sudah berkeluarga, karena zaman dahulu belum ada rumah yang di
ongkos (kontrak) makanya anak tertua yang belum memiliki rumah menempati jabu suhat.[4]
4. Jabu Tampar Piring ialah daerah sudut kanan di bahagian depan dekat dengan pintu masuk.
Daerah ini biasa disiapkan untuk para tamu, juga daerah ini sering di sebut jabu tampar piring
atau jabu soding jolo-jolo.
Disamping tempat keempat sudut utaman tadi masih ada daerah antara Jabu Bona dan
Jabu Tampar Piring, inilah yang dinamai Jabu Tongatonga Ni Jabu Bona. Dan wilayah antara
Jabu Soding dan Jabu Suhat disebut Jabu Tongatonga Ni Jabu Soding. Disebut Rumah Bolon
karena suku batak toba sangat percaya akan Tuhan mereka yaitu MULA JADI NA BOLON, jadi
rumah bolon berarti rumah Tuhan.

Itulah sebabnya ruangan Ruma Batak itu boleh dibagi 4 (empat) atau 6 (enam), makanya
ketika orang batak mengadakan pertemuan (rapat) atau RIA di dalam rumah sering mengatakan
sampai pada saat ini; Marpungu hita di jabunta na mar Ampang na Marjual on, jabu na
marsangap na martua on.

Aspek-aspek Metafisik atau Spiritual yang menjadi Norma Utama


Begitu banyak aspek-spek spiritual yang menjadi norma utama dalam bangunan adat batak Toba
ini. Salah satu contohnya adlah mengenai keharusan jumlah anak tangga yang berjumlah ganjil.
Jika berjumlah genap, maka akan membawa kesialan bagi keluarga penghuni rumah tersebut.
Bagian dari bangunan ini yang terdiri dari bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah juga
menandakan bahwa adanya ketiga jenis kehidupan yang dipercayai.

Bentuk-Bentuk Simbolik atau Lambang Kebudayaan atau Ide untuk Mengekspresikan


Makna pada Denah Anatomi dan Tampak
Rumah batak toba dihiasi dengan symbol – symbol yang diukir di hampir seluruh bangunan
rumah bolon. Gorga gorga tersebut memiliki arti dan maknanya tersendiri. Dan teknik ragam
hias untuk mebuat gorga tersebut terdiri dari cara, yaitu dengan teknik ukir teknik lukis. Untuk
mengukir digunakan pisau tajam dengan alat pemukulnya (pasak-pasak) dari kayu. Sedangkan
teknik lukis bahannya diolah sendiri dari batu-batuan atau pun tanaga yang keras dan arang.
Tiang yang berjumlah banyak mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan. Ornamentasi
dan dekorasi dari rumah adat Batak Toba mengandung nilai filosofi bagi keselamatan penghuni.
Lokasi elemen rumah yang dihias berada pada gevel, pintu masuk, sudut-sudut rumah, bahkan
ada yang sampai berada di keseluruhan dinding. Hiasan ini dapat berupa ukiran, dapat diberi
warna, atau hanya berupa gambar saja. Tiga elemen warna yang penting adalah merah, putih dan
hitam. Merah melambangkan pengetahuan/kecerdasan, putih melambangkan kejujuran/kesucian
dan hitam melambangkan kewibawaan / kepemimpinan.

2. PROSES MENDIRIKAN RUMAH


Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan,
dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”. Bahan-bahan yang diinginkan antara lain
tiang, tustus (pasak), panding dingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi,
sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu
paung dan sebagainya yang diperlukan.
Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong
royong yang dalam bahasa Batak toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk gotong
royong tanpa pamrih.
Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan kepada
“pande” (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah disebut tukang) untuk merancang dan
mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah
apakah bentuk “Ruma” atau “Sopo”.
Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan
kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok oleh pande dengan alat
tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.
Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan kayu dengan
suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang seterusnya secara berturut dipergunakan
untuk tiang “jabu suhat” dan “si tampar piring”.
Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang pertama dituhil (dipahat)
adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di
raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.
Salah satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah penentuan
pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang kuat maka rumah tidak bakalan kokoh
berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yang mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini
berhubungan dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit
jungjung.
Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang lain.
Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan” yang
bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang mengatakan “Ndang tartea sahalak sada
pandingdingan” sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui
beban berat.
Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-hansing”
sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Hot di batuna jala
ransang di ransang-ransangna” dan “hansing di hansing-hansingna”, yang berpengertian
bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan
kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan sehari-
hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul merangkul dan
mempunyai pergaulan yang harmonis dengan tetangga.
Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang ninggor”.
Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yang letaknya
berada di depan tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu
diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus menjulang ke
atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam menegakkan kebenaran dan
keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.
Dibawah atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari adanya
pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan pengharapan agar
selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal
agama disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang
dalam bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.
Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap
supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan
yang kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam
dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum yang patah jangan
di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam hati.
“Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke depan.
Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank. Berfungsi sebagai
pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam
keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa
dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan
kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok
individu yang berkarakter seperti itu disebut “Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan”
yaitu orang yang selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun
dalam sukacita

3. BAGIAN – BAGIAN RUMAH BATAK TOBA


Menurut tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1. Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-tiang pendek,
pasak (rancang) yang menusuk tiang, tangga (balatuk). Bagian bawah disebut juga
dengan kolong. Terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-tiang pendek, pasak (rancang)
yang menusuk tiang, tangga (balatuk). Bagian kolong ini biasa digunakan untuk
menyimpan ternak seperti hewan babi, kerbau atau juga kambing. Pondasi rumah batak
toba menggunakan jenis pondasi cincin, dimana batu sebagai tumpuan dari kolom kayu
yang berdiri diatasnya.
2. Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding samping, dan belakang.
Bagian tengah terdiri dari dinding depan, dinding samping, dan belakang. Bagian tengah
rumah (Benua Tengah) merupakan pusat aktivitas. Di bagian tengah rumah berbahan
dasar kayu inilah orang Batak akan tidur, berkumpul, makan dan melakukan beberapa
aktivitas lainnya. Untuk masuk ke dalam rumah, saya harus melalui tangga dari bagian
bawah yang jumlah anak tangganya selalu ganjil (3,5,7) dan masuk melalui pintu yang
kecil dan agak pendek.

Pintu kecil bukan menunjukkan kalau orang Batak itu tubuhnya kecil-kecil atau pendek.
Tujuan dibuat pendek agar setiap orang yang mau masuk harus menundukkan kepala
sebagai wujud penghormatan kepada mereka yang berada di dalam.

3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur diatas urur
membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari pohon enau). Atap
Rumah Bolon kalau dilihat sekilas maka bentuknya terlihat seperti perahu. Beberapa
orang mempercayai kalau hal tersebut karena orang Batak itu asalnya dari Cina Selatan
dan mereka dahulu lama melaut.
Terdapat 2 runcing di bagian atap Rumah Bolon, runcing depan dan runcing belakang.
Runcing depan melambangkan orang tua dan runcing depan melambangkan anak.
Cobalah perhatikan dengan seksama, mungkin kalian akan menyadari kalau runcing
depan dan runcing belakang tingginya tidak sama.
Runcing depan memang selalu lebih rendah 1 jengkal dibandingkan runcing belakang.
Hal itu dibuat bukan tanpa alasan, tetapi juga dengan harapan. Orang Batak berharap
agar orang tua dapat membimbing anaknya dan kelak ketika dewasa nanti anaknya bisa
lebih sukses dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang tuanya.

Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll. Bagian tengah adalah
ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-benda
keramat (ugasan homitan)

Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920 berkebangsaan
Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het Toba Batak Huis, ketiga benua itu
adalah :
1. Banua toru (bawah)
2. Banua tonga (tengah)
3. Banua ginjang (atas)
1). ATAP
Atap Rumah Toba mengambil ide dasar dari punggung kerbau, bentuknya yang melengkung
menambah nilai keaerodinamisannya dalam melawan angin danau yang kencang.

2). BADAN RUMAH


Badan rumah terletak dibagian tengah atau dalam mitologi batak disebut dunia tengah, dunia
tengah melambangkan tempat aktivitas manusia seperti masak, tidur, bersenda gurau. Bagian
badan rumah dilengkapi hiasan berupa ipon ipon untuk menolak bala
3). PONDASI
• Pondasi rumah batak toba menggunakan jenis pondasi cincin, dimana batu sebagai tumpuan
dari kolom kayu yang berdiri diatasnya.
• Tiang-tiang berdiameter 42 - 50 cm, berdiri diatas batu ojahan struktur yang fleksibel,
sehingga tahan terhadap gempa
• Tiang yang berjumlah 18 mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan
• Mengapa memakai pondasi umpak?, karena pada waktu tersebut masih banyaknya batu
ojahan dan kayu gelonggong dalam jumlah yang besar. Dan belum ditemukannya alat
perekat seperti semen

PONDASI
4). DINDING
• Dinding pada rumah batak toba miring, agar angin mudah masuk
• Tali-tali pengikat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali
pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak
belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling
bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama
dan saling menghormati
3). ORGANISASI RUANG
Bentuk-bentuk ruang ruang dimana posisinya dalam ruang diatur oleh pola grid, hal ini dapat
dilihat dari kolom-kolom yang tersusun secara modular pada denah.

4). KESEIMBANGAN
Keseimbangan pada rumah batak toba adalah simetris, baik pada denah maupun fasade
bangunan, hal ini dapat dilihat jika kita menarik garis lurus tepat pada as gambar denah dan
fasade.
5). SIRKULASI RUANG
Sirkulasi Ruang pada rumah batak toba adalah tersamar, karena harus melewati jalan lurus
sebelum berbelok ke bangunan utamanya.
6). PINTU MASUK BANGUNAN
Pintu Utama Menjorok kedalam dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan
ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.
7). ORNAMENT (GORGA BATAK)
Gorga Batak adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di dinding rumah
bahagian luar dan bagian depan dari rumah-rumah adat Batak. Gorga ada dekorasi atau hiasan
yang dibuat dengan cara memahat kayu (papan) dan kemudian mencatnya dengan tiga (3)
macam warna yaitu : merah-hitam-putih. Warna yang tiga macam ini disebut tiga bolit.
Bahan-bahan untuk Gorga ini biasanya kayu lunak yaitu yang mudah dikorek/dipahat. Biasanya
nenek-nenek orang Batak memilih kayu ungil atau ada juga orang menyebutnya kayu ingul.
Kayu Ungil ini mempunyai sifat tertentu yaitu antara lain tahan terhadap sinar matahari
langsung, begitu juga terhadap terpaan air hujan, yang berarti tidak cepat rusak/lapuk akibat kena
sengatan terik matahari dan terpaan air hujan. Kayu Ungil ini juga biasa dipakai untuk
pembuatan bahan-bahan kapal/ perahu di Danau Toba.

8). Jenis/ Macamnya Gorga Batak


Menurut cara pengerjaannya ada 2 jenis :
1. Gorga Uhir yaitu Gorga yang dipahatkan dengan memakai alat pahat dan setelah siap
dipahat baru diwarnai
2. Gorga Dais yaitu Gorga yang dilukiskan dengan cat warna tiga bolit. Gorga dais ini
merupakan pelengkap pada rumah adat Batak Toba. Yang terdapat pada bahagian samping
rumah, dan dibahagian dalam.

Menurut bentuknya
Dilihat dari ornament dan gambar-gambarnya dapat pula Gorga itu mempunyai nama-namanya
tersendiri, antara lain :
• Gorga Ipon-Ipon, Terdapat dibahagian tepi dari Gorga; ipon-ipon dalam Bahasa Indonesia
adalah Gigi. Manusia tanpa gigi sangat kurang menarik, begitulah ukiran Batak, tanpa adanya
ipon-ipon sangat kurang keindahan dan keharmonisannya. Ipon-ipon ada beraneka ragam,
tergantung dari kemampuan para pengukir untuk menciptakannya. Biasanya Gorga ipon-ipon ini
lebarnya antara dua sampai tiga sentimeter dipinggir papan dengan kata lain sebagai hiasan tepi
yang cukup menarik.

• Gorga Sitompi, Sitompi berasal dari kata tompi, salah satu perkakas Petani yang disangkutkan
dileher kerbau pada waktu membajak sawah. Gorga Sitompi termasuk jenis yang indah di dalam
kumpulan Gorga Batak. Disamping keindahannya, kemungkinan sipemilik rumah sengaja
memesankannya kepada tukang Uhir (Pande) mengingat akan jasa alat tersebut (Tompi) itu
kepada kerbau dan kepada manusia.

• Gorga Simataniari (Matahari), Gorga yang menggambarkan


matahari, terdapat disudut kiri dan kanan rumah. Gorga ini
diperbuat tukang ukir (Pande) mengingat jasa matahari yang
menerangi dunia ini, karena matahari juga termasuk sumber
segala kehidupan, tanpa matahari takkan ada yang dapat hidup.
• Gorga Desa Naualu (Delapan Penjuru Mata
Angin), Gorga ini menggambarkan gambar mata angin yang
ditambah hiasan-hiasannya. Orang Batak dahulu sudah
mengetahui/kenal dengan mata angin. Mata angin ini pun
sudah mempunyai kaitan-kaitan erat dengan aktivitas-
aktivitas ritual ataupun digunakan di dalam pembuatan
horoscope seseorang/sekeluarga. Sebagai pencerminan
perasaan akan pentingnya mata angina pada suku Batak maka
diperbuatlah dan diwujudkan dalam bentuk Gorga.
• Gorga Si Marogung-ogung (Gong), Pada zaman dahulu
Ogung (gong) merupakan sesuatu benda yang sangat
berharga. Ogung tidak ada dibuat di dalam negeri, kabarnya
Ogung didatangkan dari India. Sedangkan pemakaiannya
sangat diperlukan pada pesta-pesta adat dan bahkan kepada
pemakaian pada upacara-upacara ritual, seperti untuk
mengadakan Gondang Malim (Upacara kesucian). Dengan
memiliki seperangkat Ogung pertanda bahwa keluarga
tersebut merupakan keluarga terpandang. Sebagai kenangan
akan kebesaran dan nilai Ogung itu sebagai gambaran/
keadaan pemilik rumah maka dibuatlah Gorga Marogung-
ogung.

• Gorga Singa Singa, Dengan mendengar ataupun membaca


perkataan Singa maka akan terlintas dalam hati dan pikiran
kita akan perkataan: Raja Hutan, kuat, jago, kokoh, mampu,
berwibawa. Tidak semua orang dapat mendirikan rumah
Gorga disebabkan oleh berbagai faktor termasuk factor social
ekonomi dan lain-lain. Orang yang mampu mendirikan
rumah Gorga Batak jelaslah orang yang mampu dan
berwibawa di kampungnya. Itulah sebabnya Gorga Singa
dicantumkan di dalam kumpulan Gorga Batak
• Gorga Jorgom, Ada juga orang menyebutnya Gorga
Jorgom atau ada pula menyebutnya Gorga Ulu Singa. Biasa
ditempatkan di atas pintu masuk ke rumah, bentuknya mirip
binatang dan manusia.

• Gorga Boras Pati dan Adop Adop (Tetek ), Boras Pati


sejenis mahluk yang menyerupai kadal atau cicak. Boras Pati
jarang kelihatan atau menampakkan diri, biasanya kalau
Boras Pati sering nampak, itu menandakan tanam-tanaman
menjadi subur dan panen berhasil baik yang menuju
kekayaan (hamoraon). Gorga Boras Pati dikombinasikan
dengan tetek (susu, tarus). Bagi orang Batak pandangan
terhadap susu (tetek) mempunyai arti khusus dimana tetek
yang besar dan deras airnya pertanda anaknya sehat dan
banyak atau punya keturunan banyak (gabe). Jadi kombinasi
Boras Pati susu (tetek) adalah perlambang Hagabeon,
Hamoraon sebagai idaman orang Batak

• Gorga Ulu Paung, Ulu Paung terdapat di puncak rumah


Gorga Batak. Tanpa Ulu Paung rumah Gorga Batak menjadi
kurang gagah. Pada zaman dahulu Ulu Paung dibekali (isi)
dengan kekuatan metafisik bersifat gaib. Disamping sebagai
memperindah rumah, Ulu Paung juga berfungsi untuk
melawan begu ladang (setan) yang datang dari luar kampung.
Zaman dahulu orang Batak sering mendapat serangan
kekuatan hitam dari luar rumah untuk membuat perselisihan
di dalam rumah (keluarga) sehingga tidak akur antara suami
dan isteri. Atau membuat penghuni rumah susah tidur atau
rasa takut juga sakit fisik dan berbagai macam ketidak
harmonisan.
ARSITEKTUR TRADISIONAL NIAS

Rumah adat Nias (bahasa Nias: Omo Hada) adalah suatu bentuk rumah panggung tradisional
orang Nias, yaitu untuk masyarakat pada umumnya. Selain itu terdapat pula rumah adat Nias
jenis lain, yaitu Omo Sebua, yang merupakan rumah tempat kediaman para kepala negeri
(Tuhenori), kepala desa (Salawa), atau kaum bangsawan.
Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang kayu nibung (Oncosperma tigillarium) yang
tinggi dan besar, yang beralaskan rumbia (Metroxylon sagu). Bentuk denahnya ada yang bulat
telur (di Nias utara, timur, dan barat), ada pula yang persegi panjang (di Nias tengah dan selatan).
Bangunan rumah panggung ini tidak berpondasi yang tertanam ke dalam tanah, serta sambungan
antara kerangkanya tidak memakai paku, hingga membuatnya tahan goyangan gempa. Ruangan
dalam rumah adat ini terbagi dua, pada bagian depan untuk menerima tamu menginap, serta
bagian belakang untuk keluarga pemilik rumah.
Di halaman muka rumah dahulu biasanya terdapat patung batu, tempat duduk batu untuk
berpesta adat, serta di lapangan desa ada batu-batu besar yang sering dipakai dalam upacara
lompat batu. Saat ini peninggalan batu dari masa Megalitik seperti itu yang keadaanya masih
baik dapek dilihat di desa-desa Bawomataluwo jo Hilisimaetano.
Ada sejenis rumah adat tertentu yang dahulu dipakai khusus untuk rumah berhala-berhala orang
Nias, yang dinamakan Osali. Karena di saat ini sebagiabn besar masyarakat Nias telah memeluk
agama Kristen, maka nama itu dipakai pula untuk menyebut gereja.

A. TIPOLOGI RUMAH TRADISIONAL NIAS UTARA


Desa-desa tradisional yang ada di bagian utara biasanya terdiri dari kelompok-kelompok kecil
yang terdiri dari beberapa rumah yang membentuk lingkaran oval yang beroroentasi longitudinal
terhadap jalan . Rumah adat Nias utara didirikan atas dasar kesatuan seluruh warga kampung
dalam menyatukan pendapat bersama secara kekeluargaan untuk membangun sebuah rumah
(Famagŏlŏ) yang bertujuan untuk menentukan besaran upah (Famatŏ) dan mengukur ukuran
lahan (Fanu‟a).
Berdasarkan pola diatas, maka dapat dilihat bahwa pola perkampungan di Nias Utara berbentuk
linear (gang) dengan satu poros jalan yang ujung-ujungnya sebagai pintu masuk. Namun
terkadang pintu masuk ini hanya symbol saja karena orang bisa masuk dari sisi mana saja
dikarenakan posisi rumah satu dengan yang lainnya memiliki jarak tertentu dan meliliki halaman
atau jalan yang terbuat dari tanah keras. Pada pola kampung tersebut selalu berorientasi ke arah
utara – selatan, sedangkan gerbangnya berada pada arah timur – barat. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat Nias telah mengetahui cara penempatan bangunan yang baik dengan
berpedoman pada cuaca atau iklim. Dalam pengertian mereka bahwa arah terbitnya matahari
disebut “raya” dan arah terbenamnya disebut ”you”.

ARSITEKTUR HUNIAN NIAS UTARA


• “Omo” merupakan sebutan rumah bagi masyarakat nias. Ada duamacam bentuk rumah adat
nias, yakni “Omo Hada” yang merupakannama dari rumah adat dan “Omo Pasisir” yang
merupakan nama rumah biasa yang sudah terpengaruh oleh budaya luar.
•Omo Hada merupakan rumah bagi kalangan Tuhenori, Sawana danpada rangsawan. Omohada
merupakan rumah besar yang sangat megah terbuat dari kayu dan beralaskan daun rumbia.
•Berdasarkan Bentuknya, rumah tradisional nias bisa dibedakanmenjadi 3 tipe rumah adat
berdasarkan penelitian yang diadakan oleh Alain M. Viaro Arlette Ziegler
yang didasarkan pada bentuk atap dan denah lantai bangunan.

RUMAH ADAT NIAS MORO

PINTU MASUK, Pintu masuk menuju area dalam


rumah nias berada dibawah bagianrumah dan
tehubung dengan tangga masuk dan jalan akses
keluarrumah.

INTERIOR DAPUR NIAS MORO


INTERIOR RUMAH NIAS MORO
`1. KONTRUKSI RUMAH NIAS MORO
 Sruktur Kolom penguat rumah nias moro tersusundari batang kayu utuh yang telah dikuliti
dandikeringkan sehingga tidak lendut saat pemasangandisebut juga “Tiang Ehomo”. Tiap-tiap
strukturkayu diletakkan pada sebuah batu yang ditatamendatar disebut juga “Batu Gehomo”
yang berfungsi sebagai pondasi pada tiap kolom kayu.Penataan kolom kayu disusun dengan
pola grid.

 Lantai rumah moro tersusun dari papan kayu yang ditatadengan pola melintang dan diselingi
dengan satu deret papankayu dengan pola membujur disebut juga Fafa Gahembato. Bahan
kayu yang biasanya digunakan ialah kayu berua ataumenawa dano. Lantai disusun diatas
batang kayu yang lebihkecil yang disebut “Siloto lalu diletakkan pada strukturpenopang
lantai yang disebut juga “Lali`Owo”

 Dinding rumah moro terbuat dari papan kayu yangditata membujur diantara kolom-kolom
kayu dandisebut juga “Fafa”. Bahan kayu yang biasanyadigunakan ialah kayu berua
ataumenawa dano Pada Arsitektur rumah nias, jendela ruang hanyaberupa lubang pada
dinding yang diberi teraliskayu.
 Rangka atap pada rumah nias moro tidak lagi menggunakansistem kuda-kuda sebagai
penyangga atap, melainkanmenggunakan balok –balok kayu yang saling terhubungdengan
pilar penyangga rangka atap (Ehomo Mbubu). Rangka dimana penutup atap ditempatkan
dinamanan “Gaso” dan “Gaso Matua”, yakni rangka atap yang berfungsisebagai Usuk dan
Reng bagi penutup atap.

penutup atap
 Penutup atap dari rumahmoro terbuat daun rumbiayang dirangkai pada rangkaatap sehingga
membentukpola atap

BAGIAN – BAGIAN RUMAH “OMO HADA”


B. ARSITEKTUR HUNIAN NIAS SELATAN

Berbicara mengenai arsitektur tradisional di Nias Selatan memang lebih didominasi oleh
bangunan rumah tradisional atau rumah adat (omo hada). Rumah adat berbentuk tipis dan
tinggi terkesan lemah terhadap terpaan angin. Sebagai penyelesaiannya bangunan rumah adat
dibangun saling menempel dan berderet berhadapan di sepanjang desa. Sekilas mata
memandang, deretan rumah seolah mempunyai bentuk yang sama. Namun, jika diperhatikan,
ada perbedaan pada ukuran, pada tinggi bangunan ataupun letak jalan masuk ke dalam rumah.
Selain itu, terdapat juga perbedaan pada ragam hias pada setiap rumah.

Strata sosial
Perbedaan tinggi bangunan rumah di Nias Selatan menunjukkan golongan sosial
masyarakat/strata penghuninya. Rumah tertinggi sebagaimana di desa di Bawömataluo
ataupun di Orahili, misalnya, adalah omo sebua (rumah besar). Omo nifolasara sebua adalah
rumah besar yang menjadi pusat orientasi desa. Rumah ini merupakan rumah tinggal raja
yang memerintah desa itu pada masa lalu. Umumnya terletak di tengah desa (seperti di
Bawömataluo, Botohilitanö, Hilinawalö) dan memutus kelanjutan dari rumah-rumah adat
yang berderet. Untuk melengkapi kemegahannya serta menunjukkan kekuasaan penghuninya,
omo sebua dihiasi dengan 3 lasara (naga dalam mitos yang melambangkan kekuatan) serta
berbagai ornamen yang memberi kesan magis. Jika omo sebua merupakan rumah raja, omo
nifobabatu adalah rumah untuk golongan bangsawan Si Ulu dan Si Ila. Sedangkan omo sato
merupakan tempat tinggal rakyat biasa. Kedua tipe rumah ini mempunyai ketinggian yang
tidak jauh berbeda, tetapi jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan omo sebua. Keunikan
lain dari omo sebua adalah jalan masuknya (eduo) yang terletak pada sumbu bagian depan
dan melalui kolong bangunan. Sementara pada rumah lainnya jalan masuk adalah melalui sisi
samping bangunan.

1. Asal Usul Rumah Adat Nias

Rumah adat Omo Hada merupakan desain rumah tradisional dari Suku Nias yang
diperuntukkan bagi warga biasa. Di Desa Bawomataluo, keberadaan rumah adat Omo
Hada pun masih terjaga dengan baik. Bahkan saat ini terdapat sekitar 100 unit rumah adat
Nias Omo Hada di desa tersebut. Dan rumah adat Omo Hada ini mempunyai pintu yang
terhubung satu sama lain.

Sementara itu, rumah adat Omo Sebua hanya ada satu di Desa Bawomataluo. Tak
sembarang orang yang bisa tinggal di rumah adat Nias yang satu ini. Rumah adat ini
secara khusus dibuat sebagai tempat tinggal kepala suku Nias. Saat ini, Omo Sebua pun
bisa pun terbuka untuk para wisatawan.

Bentuk Omo Sebua mempunyai desain yang berbeda dengan Omo Hada. Bangunan ini
memiliki atap runcing yang cukup tinggi, mencapai 16 meter. Tak hanya itu, rumah adat
ini juga didesain kokoh dengan menggunakan bahan baku kayu besi.

Asal-usul rumah adat Nias ini memang cukup unik. Kedua jenis rumah tradisional ini
dibuat agar menyulitkan musuh yang ingin melakukan serangan. Terlebih pada zaman
dahulu, banyak suku Nias yang terlibat peperangan satu sama lain. Terlebih suku Nias
dikenal sebagai suku pejuang.
Tak hanya itu, bentuk dari rumah adat Nias ini ternyata juga mempertimbangkan efek
bencana lho. Desain Omo Sebua dengan atap yang runcing dan tinggi mencapai 16 meter,
tak hanya bisa digunakan sebagai tempat perlindungan saat ada serangan musuh. Rumah
tradisional ini ternyata juga mempunyai ketahanan terhadap gempa bumi lho.

Bawomataluo menjaga tradisi suku Nias


Desa Bawomataluo tak hanya menjadi lokasi keberadaan rumah adat Nias yang masih
terjaga dengan baik. Desa tradisional yang satu ini ternyata juga masih melangsungkan
tradisi secara turun temurun. Termasuk di antaranya adalah Fahombo, tradisi lompat batu
yang legendaris dari Suku Nias.

Tradisi ini dikenal sebagai salah satu cara orang Nias untuk membuktikan kedewasaannya.
Mereka yang telah berhasil lulus dan berhasil melompati batu setinggi 2 meter, dianggap
telah dewasa dan selanjutnya diperbolehkan untuk menikah.

Cara menuju ke Bawomataluo


Desa Bawomataluo merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Fanayama,
Kabupaten Nias Selatan. Desa ini terletak di tengah perjalanan antara Sorake dan Teluk
Dalam. Akses masuk menuju ke tempat ini pun bisa dilalui baik menggunakan kendaraan
roda dua ataupun roda empat.

2. TIPOLOGI RUMAH TRADISIONAL NIAS SELATAN


Desa-desa Nias selatan terletak didaerah perbukitan dan pegunungan dimana terdapat
pemukiman yang terdiri dari ratusan rumah yang diatur saling berhimpitan dikedua sisi
disepanjang jalan yang terbuat dari batu denga pola jalan berbentung konfigurasi L atau T
(lihat gambar 6).

Tipologi rumah tradisional Nias selatan berbentuk persegi panjang dengan petak-petak
tertentu dengan konstruksi berbaris berbentuk tinggi dan ujung atap yang mengarah ke
jalan yang sudah ditentukan berdasarkan tipe rumah mengenai tataletak, gaya, desain,
posisi rumah yang menunjukan tingkatan strata sosial tertentu. Terdapat rumah kepala
suku (Omo sebua), rumah dewan adat (bale) yang berada di tengah persimpangan desa
(waterson, 1990) dan rumah pemukiman penduduk biasa.
Disepanjang jalan kampung, terdapat pekarangan yang cukup luas pada setiap
pemukiman yang digunakan sebagai tempat mereka bekerja dan bersosialisasi. Saluran
air yang terdapat di masing-masing pemukiman adalah sebagai batas wilayah dari
masing-masing penghuni rumah. Tapi terdapat juga sumber air bersama yang biasanya
berada dipersimpangan dari konfigurasi pola pemukiman T atau L. Dibagian depan
halaman menujuk kearah jalan pemukiman/desa, disediakan tempat untuk
meletakkanbatu-batu megalit. Tempat ini disebut Öli Batu dan menjadi perlambang
kedudukan sang pemilik rumah. Batu-batu tersebut memiliki bermacam-macam bentuk,
termasuk Menhir.

2. STRUKTUR DAN KONSTRUKSI RUMAH TRADISIONAL NIAS BAGIAN


SELATAN
Rumah tradisional Nias bagian selatan berbentuk panggung, dengan bentuk denah empat
persegi panjang. Sistem tumpuan yang digunakan adalah tumpuan sendi, di mana tiang
bangunan diletakkan di atas umpak yang terbuat dari batu sebagai landasannya. Pada
sistem perletakannya diberi perkuatan dengan menambahkan sokong membentuk huruf
V (disebut driwa).
Dinding, menggunakan sistem dinding pemikul, di mana dinding disusun tegak
dengan ketebalan yang cukup besar, dan tidak ada kolom pada dinding. Struktur
atapdibentuk oleh tiang-tiang yang memikul balok dan disusun secara berlapis sampai ke
puncak atap serta didukung oleh balok-balok sokong yang berbentuk X (disebut driwa
bato).
Tiang utama penyokong atap dipasang dari lantai sampai ke puncak atap atau bubungan.
Hubungan antara elemen-elemen menggunakan sistem pasak, takikan/coakan dan masukan.
Jenis sambungan ini memiliki fleksibelitas yang tinggi.
Material yang digunakan pada bangunan tradisional Nias Selatan adalah
sebagai berikut:
 Pondasi umpak terbuat dari batu;
 Tiang dan balok bangunan menggunakan kayu yang keras;
 Lantai, menggunakan bahan penutup dari papan kayu;
 Atap, bahan penutup atap menggunakan daun rumbia/daun sagu; dan
 Dinding menggunakan papan kayu dengan ukuran yang tebal.

Untuk bangunan dengan tiang utama hanya sampai lantai bangunan (tiang hanya berfungsi
menahan lantai bangunan) dan tidak diteruskan sampai ke bawah atap, menggunakan sistem
tumpangan, lubang dan pasak serta di perkuat dengan sokongan (pengaku samping) berbentu V
atau X. Yang ke dua untuk bangunan yang tiang utamanya sampai ke bagian bawah atap,
menggunakan sistem lubang dan pasak.
Sistem tektonika hubungan balok lantai dan tiang utama untuk bangunan dengan
mengunakan pondasi umpak
Pada konstruksi arsitektur Nias Selatan yang merupakan arsitektur yang berada pada daerah
dengan tingkat intensitas gempa yang tinggi, sistem konstruksi bagian bawah yang digunakan
sangat berbeda dengan konstruksi pada arsitektur lain yang sama sama berlokasi di daerah
gempa kuat. Pada arsitektur Nias Selatan tiang pondasi tidak diteruskan sampai ke atap, dan
hanya berhenti sampai lantai bangunan. Dan penggunaan penyokong berbentuk V dan X, untuk
memperkuat konstruksi yang ada.
ARSITEKTUR LOMBOK

Di masa kejayaan Majapahit, pulau Lombok lebih tenar daripada Bali dan lebih pula memiliki
peran. Ketika dominasi Majapahit musnah dan kekuasaan beralih ke kerajaan Demak, hubungan
antara Jawa dan Pulau Lombok terus berlanjut. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya
penduduk asli pulau Lombok, Suku Sasak yang memeluk agama Islam. Namun demikian, Pulau
Lombok mendapat pula pengaruh yang kuat dari pemerintahan raja-raja Bali.
Arsitektur Bali sangat dikenal di Pulau Lombok, khususnya Lombok bagian barat yang secara
geografis berada dekat dengan Pulau Bali. Di Lombok, arsitektur Bali dipergunakan oleh
kalangan elit menengah ke atas. Variasi dari bentuk rumah tradisional Bali di Lombok memang
ada namun tidak banyak. Oleh karena itu nuansa Bali di pulau Lombok khususnya bagian barat
sangat terasa bahkan hingga saat ini. Arsitekturnya boleh dikata hampir mirip benar dengan
arsitektur Bali pasca Hindu.

Beberapa perbedaan yang boleh dikatakan cukup terlihat dibandingkan dengan arsitektur Bali
meliputi:
ƒ Penggunaan penutup atap. Arsitektur Bali asli menggunakan ijuk dan ilalang untuk menutup
atap. Di Lombok di mana kultur Bali tidak seberakar di tempat asalnya, banyak yang telah
beralih menggunakan seng. Nampaknya tidak ada alasan lain yang lebih kuat selain alasan
kepraktisan.
ƒ Ornamen ukiran, reliefnya tidak seramai dan serumit di Bali. Alasan ini nampaknya hampir
sama dengan alasan di atas, tidak jauh dari simplifikasi dan kepraktisan.

Pulau Lombok merupakan pulau atau daerah perbatasan antara kebudayaan Islam di sebelah
timur dan kebudayaan bernafaskan Hindu di bagian barat. Karena itu, pulau ini menjadi rebutan
pengaruh antara raja-raja Bali di barat dengan raja-raja Goa (Makasar) dan Sumbawa di sebelah
timurnya. Semuanya berusaha untuk meluaskan pengaruhnya di pulau tersebut. Itulah sebabnya
di Lombok dikenal kebudayaan Islam yang beragam. Islam waktu lima dikenal pada tradisi
Lombok yang dekat dengan tradisi Jawa, Goa dan Makasar, sementara yang dekat dengan tradisi
Bali dikenal Islam waktu telu, yang mengenal shalat tiga waktu.
RUMAH ADAT SASAK

Suku Sasak adalah penduduk asli dan suku mayoritas di Lombok, NTB. Sebagai penduduk asli,
suku Sasak telah mempunyai sistem budaya sebagaimana terekam dalam kitab Nagara Kartha
Gama karangan Empu Nala dari Majapahit.
Dalam kitab tersebut, suku Sasak disebut “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi.” Jika saat kitab
tersebut dikarang suku Sasak telah mempunyai sistem budaya yang mapan, maka
kemampuannya untuk tetap eksis sampai saat ini merupakan salah satu bukti bahwa suku ini
mampu menjaga dan melestarikan tradisinya.
Salah satu bentuk dari bukti kebudayaan Sasak adalah bentuk bangunan rumah adatnya.
Rumah bukan sekadar tempat hunian yang multifungsi, melainkan juga punya nilai estetika bagi
penghuninya, baik arsitektur maupun tata ruangnya.

A. FILOSOFI DAN BUDAYA


Rumah yang menghadap timur secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih dulu
menerima/menikmati kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang secara fisik lebih
kuat. Juga bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah, manusia berharap
mendapat rida Allah di antaranya melalui shalat, dan hal itu sudah diingatkan bahwa pintu
rumahnya menghadap timur atau berlawanan dengan arah matahari terbenam (barat/kiblat).
Tamu pun harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Posisi
membungkuk itu secara tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud penghormatan
kepada tuan rumah dari sang tamu.
Kemudian lumbung, kecuali mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak boros
sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu,
misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu tidak boleh dikuras habis,
melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, seperti mengantisipasi gagal panen akibat cuaca
dan serangan binatang yang merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan syukuran jika ada
salah satu anggota keluarga meninggal.
Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap rezeki
yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi alat
kontrol bagi warga sekitar. Misalnya, kalau sampai pukul sembilan pagi masih ada yang duduk di
berugak dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang, dan kebun, mungkin dia sakit.
Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau istri diutamakan.
Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri, tinggi penyimpanan alat dapur
(sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan lebar pintu rumah seukuran tubuh istri.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan duniawi)
secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan
berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang
merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk) bale
(penunggu rumah), dan sebaginya.

B. PROSES PEMBUATAN RUMAH


Untuk memulai membangun rumah, dicari waktu yang tepat, berpedoman pada papan
warige yang berasal dari Primbon Tapel Adam dan Tajul Muluq. Tidak semua orang mempunyai
kemampuan untuk menentukan hari baik, biasanya orang yang hendak membangun rumah
bertanya kepada pemimpin adat. Orang Sasak di Lombok meyakini bahwa waktu yang baik
untuk memulai membangun rumah adalah pada bulan ketiga dan bulan kedua belas penanggalan
Sasak, yaitu bulan Rabiul Awal dan Zulhijjah pada kalender Islam. Ada juga yang menentukan
hari baik berdasarkan nama orang yang akan membangun rumah. Sedangkan bulan yang paling
dihindari (pantangan) untuk membangun rumah adalah pada bulan Muharram dan Ramadlan.
Pada kedua bulan ini, menurut kepercayaan masyarakat setempat, rumah yang dibangun
cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rizqi, dan sebagainya.
Selain persoalan waktu baik untuk memulai pembangunan, orang Sasak juga selektif
dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang tidak
tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya. Misalnya, mereka tidak akan
membangun tumah di atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur, dan
pada posisi jalan tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun
rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada. Menurut
mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).
Sementara material yang dibutuhkan untuk membangun rumah antara lain: kayu-kayu
penyangga, bambu, anyaman dari bambu untuk dinding, jerami dan alang-alang digunakan untuk
membuat atap, kotaran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai,
getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami, digunakan sebagai bahan campuran untuk
mengeraskan lantai.
3. TIPOLOGI
Bentuk bangunan rumah adat suku Sasak seperti sekarang ini sudah ada sejak dulu. Terdapat
perubahan kecil-kecil tetapi tidak mempengaruhi bentuk secara keseluruhan. Bentuk umum dari
rumah adat Sasak Limbungan adalah persegi empat. Secara skematis adalah sebagai berikut:

Atap dan bubungan(bungus)-nya adalah alang-alang yang umumnya menghadap Gunung


Rinjani dan berdinding anyaman bambu (kampu). Ruangannya (rong) dibagimenjadi inan bale
(ruang induk meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupatempat menyimpan harta
benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah bila ada penghuninya
sebelum dimakamkan.
Ruangan bale dalem dilengkapi amben dan dapur, sempare (tempat menyimpanmakanan,
peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegiatau bisa empat
persegi panjang. Kemudian ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong
(geser). Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga(tiga anak tangga) tanpa jendela.
Lantai rumah umumnya tanah yang dicampur dengankotoran kuda, getah, dan abu jerami.

4. STRUKTUR BANGUNAN

 ATAP

Atap rumah adat suku Sasak Limbungan berbentuk limasan bagian depan lebih
panjang kebawah dibandingkan dengan atap bagian belakang. Bahan bahan yang
digunakan sebagai kerangka atap adalah menggunakan bambu, tali yang terbuat dari
rotan sebagai pengikat. Bagian penutup atap menggunakan alang-alang kering yang
dianyam menggunakan bambu.
Atap Bale Sasak jika dilihat dari depan mirip dengan atap limasan. Dilihat dari
luar atap rumah lebih besar dibandingkan dengan badan rumah. Panjang atap bagian atas
berukuran ± 3 meter, panjang atap bagian bawah berukuran ± 7 meter. Jarak antara atap
dan tanah tidak terlalu jauh, berjarak ± 2 meter dari permukaan tanah. Atap bagian depan
menggunakan bahan dari alam seperti alang-alang dan bambu.
Tampak atap bagian depan rumah lebih menjorok kebawah hingga menutupi pintu
bagian atas, atap yang menjorok fungsinya untuk menahan cahaya matahari pagi yang
terlalu silau. Bentuk atap rumah yang menjorok sering kita temui di daerah
dingin/pegunungan.
Dengan demikian cahaya matahari pagi tidak akan menggangu pengelihatan ketika
bersantai di sesangkok (teras) rumah.

Dari dalam rumah terlihat langsung rangka atap Bale tanpa adanya plafon atap. Rangka
atap Bale terbuat dari bahan alami yang bersumber dari alam. Atap Bale menggunakan bambu
dan mengunakan serat bambu yang sudah diraut sebagai tali untuk mengikat rangka atap.
 Tiang Bale
Pada umumnya tiang rumah adat suku Sasak berbentuk persegi empat. Bentuk rumahnya
yang sederhana dan tampak ringan maka tiang rumah adat Sasak tidak begitu besar, berukuran
kurang lebih 15 x 15 cm , dengan panjang sekitar 2 meter.

Material tiang Bale menggunakan bahan yang bersumber dari alam yaitu menggunakan
kayu Gali. Tiang rumah adat harus ganjil karena diyakini bisa mendatangkan rezeki.
Keunikan dari rumah adat suku Sasak adalah tidak mempunyai tiang utama sehingga
semua tiang yang ada menopang semua bagian yang sama tidak memberatkan pada salah satu
tiang yang ada.

 Dinding Bale
Dinding Bale menggunakan konstrukasi bambu. Dinding bagian depan dan dinding
belakang menggunakan konstruksi ayaman bambu. Tiang-tiang Bale digunakan sebagai
tempat berpegangnya dinding, dan menggunakan belahan bambu sebagai bantalan. Untuk
mengikat dinding dengan tiang masyarakat menggunakan rotan sebagai pengikat.

Samping kiri dan samping kanan pada Bale


menggunakan tanah dan anyaman bambu sebagai
pelapis dinding. Penggunaa tanah pada dinding
samping menambah kesan warna pada dinding yaitu
warna coklat dan warna hitam.
Dinding sesangkok menggunakan tanah yang dipadatkan sebagai pelapis dinding. Dinding
sesangkok yang menggunkan tanah menyatu dengan pondasi Bale sehingga tampak samping
dinding sesangkok terlihat tidak tegak lurus melainkan melebar pada bagian kebawah.
Dinding samping belakang (Bale dalem) mengunakan anyam bambu sebagai pelapis dinding
terlihat pada gambar 26. Dinding samping Bale dalem setinggi ± 1,5 meter hingga ± 2 meter. Di
bawah dinding terlihat tanah yang dipadatkan, tanah tersebut bukan bagian dari dinding
melainkan pondasi rumah. Dinding Bale yang terbuat

dari bambu apabila dilihat dari segi keamanan tampak kurang baik. Letak ruang Bale dalem
yang berfungsi sebagai dapur berada dibagian dalam rumah dengan menggunakan tungku
sebagai alat memasak mengharuskan penghuni rumah untuk waspada apabila sedang memasak,
karena bahan dinding rumah mudah terbakar. Fungsi utama dari dinding rumah adat suku Sasak
Limbungan itu sendiri adalah untuk menahan hawa dingin dan angin dari luar, disamping itu
dinding bagian dalam Bale berfungsi sebagai pembatas Bale dalam dan sesangkok serta
berfungsi sebagai hiasan.

 Tangga

Pada rumah adat Sasak tangga terletak pada dua tempat, yang pertama pada bagian depan
rumah dan di bagian dalam rumah. Pada masyarakat tangga dinamakan anjar-anjar. Bahan
utama dari pembuatan tangga Bale menggunakan bahan yang sama seperti bahan lantai yaitu
tanah yang dipadatkan, dengan permukaan lantai menggunakan campuran getah pohon Banten,
tanah, dan batrai bekas dioleskan secara merata pada permukaan tangga.
Di luar rumah terdapat tangga yang berjumlah satu sampai dua buah anak tangga,
sedangkan tangga di dalam rumah berjumlah tingga sampai empat buah anak tangga. Tangga
Bale yang terletak di luar rumah berfungsi untuk menghubungkan luar rumah (halaman) dengan
ruang sesangkok. Sedangkan tangga dalem Bale berfungsi untuk menghubungkan sesangkok
dengan Bale dalem.

Undakan tangga yang terdapat pada tangga luar terdiri dari satu sampai dua buah
undakan tangga. Tangga luar berukuran besar dan lebar sehingga untuk masuk kedalam Bale
dibutuhkan sedikit tenaga ketika memijakkan kaki pada tangga luar.
Tangga luar Bale selain berfungsi sebagai penghubung luar rumah dengan dalam rumah,
tangga luar juga berfungsi sebagai tempat beraktivitas masyarakat. Dikarenakan bentuk dan
ukuran tangga luar Bale yang berukuran lebih besar dan lebar sehingga tangga luar Bale
dijadikan sebagai tempat beraktivitas seperti, sebagai tempat untuk berbincang-bincang santai
dengan anggota masyarakat, atau sebagai tempat untuk membuat kerajinan.

Anak tangga dalem Bale berjumlah tiga hingga empat buah anak tangga. Ukuran tangga
dalem Bale lebih kecil dibandingkan dengan tangga luar Bale. Fungsi tangga yang terdapat di
dalam rumah merupakan sebagai penghubung ruang sesangkok dengan ruang Bale dalem. Bahan
yang digunakan dalam pembuatan tangga dalem Bale menggunakan tanah yang dipadatkan dan
permukaan tangga dilapisi dengan campuran getah pohon Banten dan batari bekas untuk
memberikan warna hitam pekat pada permukaan tangga. Permukaan tangga dan lantai Bale
cenderung sedikit berdebu, hal tersebut merupakan kelemahan pada bahan yang digunakan yaitu
tanah.
Anak tangga luar Bale berjumlah dua undakan tangga dan tangga dalem Bale berjumlah
tiga buah anak tangga, apabila tangga luar dan tangga dalam digambungkan maka akan
berjumlah
5 buah anak tangga. Jumlah undakan tangga tersebut melambangkan jumlah rukun Islam.

 Pintu
Lawang (pintu) yang terdapat pada Bale terdiri dari dua buah lawang (pintu), yaitu lawang
sesangkok dan lawang dalem. Lawang sesangkok yaitu pintu keluar masuk berada di
sesangkok/teras (lawang sesangkok) terletak dibagian rumah paling depan. Sedangkan lawang
dalem terletak ditegah-tengah rumah sebagai penghubung sesangkok dengan dalem Bale.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan lawang adalah bambu dan kayu. Warna pada pintu
Bale dihasilkan dari bahan yang digunakan yaitu bahan alami sehinga pintu Bale tidak
mempunyai warna yang mencolok.

Konstruksi lawang sesangkok dan lawang dalem Bale pada rumah adat Sasak menggunakan
konstruksi pintu geser/sorong. Dengan cara mengikat bagian atas pintu dengan bambu yang
berukuran 25 cm dengan diameter berukuran 10 cm pada sisi kanan dan kiri pintu, dan
dilanjutkan dengan mengaitkannya pada tongkat yang sudah dipasang secara horizontal di bawah
atap.
Dari segi kemanan lawang tidak memiliki desain khusus,
jika penghuni rumah keluar untuk bepergian lawang hanya
dikunci menggunakan tongkat yang disenderkan pada pintu
sebagai pengamanan untuk mencegah orang lain masuk ke
dalam rumah. Tongkat yang terbuat dari bambu/kayu tersebut
cukup disenderkan ke lawang Bale dari luar.

 Pondasi

Pondasi rumah adat terbuat dari tanah yang ditinggikan dan dicampur dengan batu kemudian
dipadatkan. dalam buku arsitektur tradisional daerah Nusa Tenggara Barat (1991: 65) pondasi
rumah adat Sasak terlapis sampai tujuh lapisan antara batu dan tanah. Pondasi ini terbuat dari
campuran tanah dengan getah pohon Banten. Akan tetapi dibeberapa tempat tidak dicampur
dengan kotoran sapi karena tanahnya cukup keras. campuran tanah dan getah pohon memberikan
warna coklat gelap pada pondasi.
Konstruksi pondasi Bale berbentuk tingkat. Pondasi yang ditinggikan ini berkaitan dengan
adanya cerita yang beredar dikalangan masyarakat Sasak secara turun-temurun, sehingga
menjadi semacam keyakinan bahwa dahulu nenek moyang suku Sasak pernah berpesan bahwa
tiap sepuluh tahun akan adanya banjir. Selain cerita turun-temurun nenek moyang tersebut,
pondasi rumah ditinggikan karena udara dingin. Jika ditinggikan maka suasana dalam rumah
akan menjadi lebih hangat.

5. Fungsi Tiap Ruangan


Rumah adat Bale berfungsi sebagai tempat tinggal. Kegiatan yang dilakukan pada Bale
biasanya adalah tidur, memasak, berkumpul bersama keluarga, belajar, dan tradisi-tadisi adat
yang dilakukan di rumah. Bale mempunyai bagian-bagian ruang yang mempunyai fungsi dan
kegunaan masing-masing, yaitu Bale dalem, dan sesangkok.
 Bale Dalam
Bale dalem merupakan bagian rumah yang yang kita jumpai setelah menaiki tangga dari
ruang sesangkok. Bale dalem berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang berharga dan
berfungsi sebagai paon (dapur) yang digunakan oleh ibu rumah tangga, serta terdapat tempat
tidur (tindoan). Bale dalem juga dijadikan sebagai tempat melahirkan jika salah satu anggota
keluarga melahirkan dan berfungsi sebagai tempat memandikan jenazah jika salah satu anggota
keluarga meninggal dunia.

Orang Sasak menyebut Bale dalam sebagai inan Bale atau rumah induk. Bale dalem
sebagai induk rumah merupakan area pribadi yang dikhususkan untuk anak perempuan dan istri.
Dalam suku Sasak perempuan harus dilindungi. Salah satu bentuk perlindungan yang dilakukkan
masyarakat suku Sasak adalah dengan menempatkan perempuan pada area khusus di dalam
rumah. Anak perempuan dan Istri mempunyai area khusus yang terletak di bagian paling dalam
rumah.
Ruang-ruang yang terdapat pada Bale tidak mendapat cahya langsung dari matahari,
cahaya matahari masuk melalui celah-celah dinding yang terbuat dari anyaman sehingga
walaupun siang hari di dalam rumah akan tetap gelap. Warna hitam pada lantai menambah kesan
gelap di dalam ruang-ruang Bale.
 Sesangkok

Sesangkok merupakan ruang yang terdapat pada bagian depan rumah, sesangkok dibagi
menjadi dua bagian yaitu sesangkok kiri dan sesangkok kanan, dimana kedua sesangkok tersebut
mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai tempat untuk menerima tamu.
Lantai sesangkok terbuat dari bahan campuran tanah dan getah pohon. Warna hitam pekat
pada permukaan lantai merupakan hasil campuran tanah dengan batrai bekas yang diolesi secara
merata.

6. Pranata dan Ragam Rumah Suku Sasak


Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari beberapa macam, diantaranya
adalah:Bale Tani, Bale Jajar, Berugaq/Sekepat, Sekenam, Bale Bonter, Bale Beleq Bencingah,
dan Bale Tajuk. Nama bangunan tersebut disesuaikan dengan fungsi dari masing-masing tempat.
 Bale Tani
Bale Tani adalah bangunan rumah untuk
tempat tinggal masyarakat Sasak yang
berprofesi sebagai petani. Bale Tani
berlantaikan tanah dan terdiri dari satu ruang
untuk serambi (sesangkok) dan satu ruang
untuk kamar (dalem bale). Walaupun dalem
bale merupakan ruangan untuk tempat tidur,
tetapi kamar tersebut tidak digunakan sebagai
tempat tidur. Dalem bale digunakan sebagai
tempat menyimpan barang (harta benda) yang
dimilikinya atau tempat tidur anak
perempuannya, sedangkan anggota keluarga yang lain tidur di serambi. Untuk keperluan
memasak (dapur), keluarga Sasak membuat tempat khusus yang disebut pawon.
Pondasi bale tani terbuat dari tanah, desain atapnya dengan sistem jurai yang terbuat dari
alang-alang di mana ujung atap bagian serambi (sesangkok) sangat rendah, tingginya sekitar
kening orang dewasa. Dinding rumah bale tani pada bagian dalem bale terbuat dari bedek,
sedangkan pada sesangkok tidak menggunakan dinding. Posisi dalem bale lebih tinggi dari pada
sesangkok oleh karena itu untuk masuk dalem bale dibuatkan tangga (undak-undak) yang
biasanya dibuat tiga trap dengan pintu yang dinamakan lawang kuri.
 Bale Jajar
Bale jajar merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi menengah ke
atas. Bentuk bale jajar hampir sama dengan bale tani, yang membedakan adalah jumlah dalem
balenya. Bale jajar mempunyai dua kamar (dalem bale) dan satu serambi (sesangkok), kedua
kamar tersebut dipisah oleh lorong/koridor dari sesangkok menuju dapur di bagian belakang.
Ukuran kedua dalem bale tersebut tidak sama, posisi tangga/pintu koridornya terletak pada
sepertiga dari panjang bangunan bale jajar.
Bahan yang dibutuhkan untuk membuat
bale jajar adalah tiang kayu, dinding bedek dan
alang-alang untuk membuat atap. Penggunaan
alang-alang saat ini, sudah mulai diganti dengan
menggunakan genteng tetapi dengan tidak
merubah tata ruang dan ornamennya. Bangunan
bale jajar biasanya berada dikomplek
pemukiman yang luas dan ditandai oleh
keberadaan sambi yang menjulang tinggi
sebagai tempat penyimpanan kebutuhan rumah
tangga atau keluarga lainnya. Bagian depan bale jajar ini bertengger sebuah bangunan kecil
(disebut berugaq atau sekepat) dan pada bagian belakangnya terdapat sebuah bangunan yang
dinamakan sekenam, bangunan seperti berugaq dengan tiang berjumlah enam.
 Berugaq / Sekepat
Berugaq/sekepat mempunyai bentuk bujur
sangkar tanpa dinding, penyangganya terbuat dari
kayu, bambu dan alang-alang sebagai atapnya.
Berugaq atau sekepat biasanya terdapat di depan
samping kiri atau kanan bale jajar atau bale tani.
Berugaq/sekepat ini didirikan setelah dibuatkan
pondasi terlebih dahulu kemudian didirikan tiangnya.
Di antara keempat tiang tersebut, dibuat lantai dari
papan kayu atau bilah bambu yang dianyam dengan
tali pintal (Peppit) dengan ketinggian 40-50 cm di
atas permukaan tanah.
Fungsi dan kegunaan berugaq/sekepat adalah sebagai tempat menerima tamu, karena
menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Berugaq/sekepat juga
digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang datang midang
(melamar).

 Sekenam
Sekenam bentuknya sama dengan
berugaq/sekepat, hanya saja sekenam mempunyai
mempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di
bagian belakang rumah. Sekenam biasanya
digunakan sebagai tempat kegiatan belajar
mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai
budaya dan sebagai tempat pertemuan internal
keluarga.
 Bale Bonter
Bale bonter merupakan bangunan tradisional Sasak yang umumnya dimiliki oleh para
perkanggo/pejabat desa, dusun/kampong. Bale bonter biasanya dibangun di tengah-tengah
pemukiman dan atau di pusat pemerintahan desa/kampung. Bale bonter dipergunakan sebagai
temopat pesangkepan/persidangan adat, seperti tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum
adat dan sebagainya.
Bale bonter juga disebut gedeng pengukuhan dan tempat menyimpanan benda-benda
bersejarah atau pusaka warisan keluarga. Bale bonter berbentuk segi empat bujur sangkar,
memiliki tiang paling sedikit 9 buah dan paling banyak 18 buah. Bangunan ini dikelilingi
dinding bedek sehingga jika masuk ke dalamnya seperti aula, atapnya tidak memakai nock/sun,
hanya pada puncak atapnya menggunakan tutup berbentuk kopyah berwarna hitam.

 Bale Beleq Bencingah


Bale beleq adalah salah satu sarana penting
bagi sebuah Kerajaan. Bale beleq diperuntukkan
sebagai tempat kegiatan besar Kerajaan
sehingga sering juga disebut “Bencingah.”
Adapun upacara kerajaan yang biasa dilakukan
di bale beleq diantaranya adalah:
1. Pelantikan pejabat kerajaan
2. Penobatan Putra Mahkota Kerajaan
3. Pengukuhan/penobatan para Kiai Penghulu (Pendita) Kerajaan
4. Sebagai tempat penyimpanan benda-benda Pusaka Kerajaan seperti persenjataan
dan benda pusaka lainnya seperti pustaka/dokumen-dokumen Kerajaan
 Bale Tajuk
Bale tajuk merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal yang
memiliki keluarga besar. Bale tajuk berbentuk segi lima dengan tiang berjumlah lima buah dan
biasanya berada di tengah lingkungan keluarga Santana. Tempat ini dipergunakan sebagai tempat
pertemuan keluarga besar dan pelatihan macapat takepan, untuk menambah wawasan dan tata
krama.
 Bale Gunung Rate dan Bale Balaq
Selain jenis bangunan yang telah disebut di atas, jenis bangunan lain dibangun berdasarkan
kondisi-kondisi khusus, seperti bale gunung rate dan bale balaq. Bale gunung rate biasanya
dibangun oleh masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan, sedangkan bale balaq dibangun
dengan tujuan untuk menghindari bencana banjir, oleh karena itu biasanya berbentuk rumah
panggung.
 Bale Lumbung
Bale lumbung dijadikan sebagai ciri khas rumah adat suku sasak dari pulau Lombok. Hal ini
disebabkan bentuknya yang sangat unik dan menarik yaitu berupa rumah panggung dengan
ujung atap yang runcing kemudian melebar sedikit lalu lurus ke bawah dan bagian bawahnya
melebar kembali dengan jarak atap 1,5 - 2,0 meter dari tanah dan diameter 1,5 – 3,0 meter. Atap
dan bubungannya dibuat dari jerami atau alang – alang, dindingnya terbuat dari anyaman bambu
(bedek), lantainya menggunakan papan kayu dan bale lumbung ini disangga oleh empat tiang
yang terbuat dari tanah dan batu sebagai fondasi. Bagian
atap dari bale lumbung merupakan suatu ruangan yang
digunakan untuk menaruh padi hasil dari beberapa kepala
keluarga. Bentuknya berupa rumah panggung dimaksudkan
untuk menghindari hasil panen rusak akibat banjir dan
serangan tikus.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan
masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang
diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang
terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-
penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.
Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan
tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang
sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan,
pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan nya.

A. KONSEP DASAR
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi
tata ruangnya, diantaranya adalah:
A. Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala
Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga
Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:
 Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)
 Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)
 Sumbu natural: Gunung dan Laut.

B. Keseimbangan Kosmologi, Manik Ring Cucupu


Perwujudan konsep “Manik Ring Cucupu” dalam skala makro yaitu manusia dalam alam.
Manusia melambangkan janin (manik) dan alam melambangkan janin (cucupu). Agama Hindu
mengajarkan agar manusia mengharmoniskan alam semesta dengan segala isi nya.

C. Hierarki Ruang / Tri Angga


Struktur dari bangunan dengan gaya arsitektur tradisional Bali-pun tak terlepas dari filosofi
tradisional, yaitu “Tri Angga” yang terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan keseimbangan
kelestarian alam. Dalam prinsip arsitektur tradisional Bali, struktur bangunan terbagi menjadi:

 Utama (kepala): simbol tertinggi yang diwujudkan dalam bentuk atap, pada arsitektur
tradisional Bali atap umumnya terbuat dari ijuk dan alang-alang. Namun kini telah
berkembang menjad genteng dan material modern lainnya.
 Madya (badan): bentuk bangunan dinding, jendela, dan pintu khas arsitektur Bali.
 Nista (kaki): merupakan bagian bawah bangunan, pondasi rumah atau bawah rumah yang
digunakan sebagai penyangga. Umumnya menggunakan batu kali atau batu bata.
D. Dimensi Tradisional Bali
Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala
didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah :
Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyaklagi yang lainnya.
sebuah desain bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan
kebudayan tersebut.

B. SEJARAH ARSITEKTUR BALI


Kebubudayaan Bali Mula merupakan kebudayaan yang masih sederhana dari benda-benda
alam disekitarnya. Bali aga mengembangkan kebuday`an dengan membentuk benda-benda alam
dalam satu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan manusia dengan
alam dan lingkungannya. Kebudayaan Bali mula tidak banyak meninggalkan peninggalan
budaya mengingat kayu-kayu dan bebatuan yang dipakai sebagai bahan perwujudan
Arsitekturnya kurang tahan terhadapa iklim tropis pada kurun waktu yang lama.
Kebo Iwa merupakan arsitek besar pada masa Bali Aga yang meninggalkan beberapa data
arsitktur , diantaranya adalah konsep Bale Agung yang sampai sekarang merupakan bagian dari
setiap desa adat Bali, Dalam lontarnya diungkapkan teori-teori Arsitekturnya yaitu bangunan
seperti pertahanan perang, dan pemanfaatan sungai sebagai potensi site.
Dang Hyang Nirartha atau disebut juga Hyang Dwijendraatau Pedanda sakti Wawurauh
merupakan budayawan besar pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong sekitar pada abad
ke-14 ( masa Majapahit menguasai Bali). Beliau merupakan Arsitek besar dengan peninggalan
konsep-konsep Arsitektur, agama, dan pembaruan diberbagai bidang budaya lainnya.Padmasana
merupakan konsep beliau untuk banguanan menuju Tuhan Yang Maha Esa.Tirtayatra merupaka
sebuah budaya di Bali yang berarti perjalanan suci atau keagamaan. Tirtayatra ini juga
merupakan peninggalan dari Dang Hyang Nirartha, bermula dari perjalanan keagaman beliau
mengelilingi pantai di Bali, dilanjutkan menuju Lombok dan Nusa Tenggara Timur, perjalanan
ini menuju ke pura-pura di daerah-daerah tersebut.
Setelah kerajaan Waturegong menyebar keseluruh Bali (sekarang masing-masing sebagai ibu
kota kabupaten) Arsitek tradisional tidak lagi menokohkan dirinya< karena adanya pedoman
berdasarkan teori Kebo Iwa, Hyang Nirartha, dan Empu kuturan yang dikembangkan oleh para
undagi (tukang)Dewanya undagi adalah Asta Kosali sebagai teori pelaksanaan bangunan
Tradisional Bali. Setelah Bali dikuasai Kolonial Belanda, Arsitektur Tradisional mangalami
pengaruh asing yang disesuaikan dengan Arsitektur Tradisional yang telah ada.Bangunan-
bangunan seperti wantilan, loji dan hiasan-hiasan seperti Patra Cina, Patra Mesir, Patra Olanda.

C. BAGIAN BAGIAN RUMAH BALI

1. Pintu Gerbang "Angkul-Angkul"


Pintu gerbang utama untuk memasuki
area rumah adat bali disebut dengan nama
angkul-angkul. Fungsi bangunan ini menyerupai
Gapura Candi Bentar yaitu sebagai pintu gerbang
utama menuju area rumah adat Bali.

2. Aling-Aling
aling-aling merupakan tembok pembatas antara pintu gerbang (angkul-angkul) dengan
pekarangan rumah. Fungsi aling-aling adalah untuk menghalangi pandangan dari luar secara
langsung ke area dalam rumah dan juga penghalang masuknya pengaruh jahat. Selain itu aling-
aling juga digunakan sebagai pengalihan jalan menuju rumah apabila hendak masuk melalui arah
sisi kiri dan saat keluar melalui sisi kanan. Adanya aling-aling ini dipercaya dapat memunculkan
sifat positif ke dalam area bangunan rumah adat Bali ini. Sekarang ini bentuk aling-aling selain
menggunakan tembok ada juga yang menggunakan patung sebagai aling-aling.

3. Pura Keluarga "Pamerajan atau Sanggah"


Pamerajan atau Sanggah merupakan tempat suci yang
berfungsi sebagai tempat sembahyang keluarga. Masyarakat
Bali yang mayoritas beragama Hindu memiliki pura keluarga
sebagai tempat berdoa bagi leluhur.

4. Bale Daja atau Balai Meten


Bale Daja merupakan bangunan yang
berfungsi sebagai tempat beristirahat/ tidur bagi
kepala keluarga dan anak gadis. Bangunan ini
berbentuk persegi panjang yang terdiri dari dua buah
bale yang terletak di kanan dan kiri ruangan. Bale
Daja dibangun menggunakan tiang kayu yang
berjumlah 8 (sakutus), dan 12 (saka roras). Bagian
bawah atau pondasi Bale Daja dibangun lebih tinggi
dari pekarangan dan bangunan lainnya di dalam area
rumah adat Bali. Hal ini dilakukan untuk
menghindari terjadinya resapan air dan juga untuk
estetika.

5. Bale Dauh/ Bale Tiang Sanga


Bale Dauh atau sering disebut dengan Bale
Loji merupakan bangunan yang berfungsi sebagai
tempat menerima tamu dan sebagai tempat tidur anak
remaja. Bale Dauh berbentuk persegi panjang dengan
posisi di bagian dalam yang terdiri atas satu buah
bale.Bale Dauh dibangun dengan pondasi yang lebih
rendah dari Bale Daja dan Bale Dangin. Bangunan ini
dibangun menggunakan tiang kayu yang memiliki
sebutan berbeda tergantung jumlah tiang yang
digunakan. Bale dengan tiang 6 disebut sekanem, Bale dengan tiang 8 disebut sekutus/ astasari,
dan jika tiangnya 9 disebut sangasari.

6. Bale Sakepat
Bale Sakepat merupakan bangunan terbuka yang
dimanfaatkan untuk bersantai. Bangunan ini berbentuk
minimalis dengan tiang empat dan sering dimanfaatkan
sebagai paviliun atau tempat tidur anak.

7. Bale Dangin / Bale Gede

Bale Dangin merupakan bangunan tempat upacara adat yang terletak di bagian timur atau
dangin natah umah. Bale Dangin berbentuk segi empat atau persegi panjang tergantung jumlah
tiang yang digunakan. Bale Dangin dapat dibangun dengan beberapa macam jumlah tiang
dengan sebuatan berbeda, yaitu bale dengan tiang 6 disebut sekanem, Bale dengan tiang 8
disebut sekutus/ astasari, dan jika tiangnya 9 disebut sangasari yang terdiri dari satu bale.
Sedangkan apabila menggunakan tiang dengan jumlah 12 disebut dengan bale gede dan terdiri
dari dua buah bale, yaitu kanan dan kiri. Bale Dangin dibangun dengan ketinggian pondasi
bangunan lebih rendah dari Bale Meten.

8. Paon atau Pawaregan


Paon merupakan dapur tempat memasak makanan bagi penghuni rumah yang terletak di
sisi selatan rumah atau barat daya. Pada bangunan Paon terdiri dari dua ruangan, yaitu jalikan
yang berfungsi sebagai ruang memasak dan ruangan kedua digunakan untuk menyimpan
makanan dan peralatan dapur.

9. Jineng/Klumpu
Jineng merupakan bangunan yang berfungsi sebagai lumbung
atau tempat penyimpan beras. Jineng terletak di bagian tenggara dekat
dekat Paon. Atap jineng terbuat dari alang-alang yang umumnya
terdiri dari dua lantai, yaitu bagian atas sebagai tempat menyimpan
padi kering dan bagian bawah sebagai tempat menyimpan padi yang
belum kering.

D. Ciri Khas Arsitektur di Bali


Selain dikenal dengan kecantikan pulau dan pantainya, pesona Bali juga kental dengan ciri
khas arsitekturnya yang berbeda dan punya unsur kuat. Hampir semua bangunan bernuansa Bali
memperlihatkan material yang kental dengan nuansa alami dan juga pahatan yang indah pada
pintu.
Tidak heran bila arsitektur Bali sangat digemari oleh seluruh pelosok Indonesia maupun
mancanegara. Melihat keunikan dari arsitektur khas pulau dewata ini, Lamudi akan memaparkan
ciri khas dari bangunan arsitektur di Bali.

1. Harmoni dengan alam


Salah satu unsur yang kental dari arsitektur di Bali adalah konsep arsitektur yang harmoni
dengan lingkungan alam. Arsitektur harmoni ini merupakan karakter dan inheren sebagai watak
dasar arsitektur Bali.
Dengan konsep Tri Hita Karana, arsitektur Bali biasanya terdiri dari 3 unsur pengubung
kerharmonisan yaitu, jiwa, raga dan tenaga. Tiga unsur ini akan menciptakan keharmonisan
hubungan antara lingkungan alam, antar-manusia serta manusia dengan Tuhan. Biasanya,
bangunan tersebut ditandai dengan material yang kental akan nuansa alam seperti batu-batuan
alam ataupun bambu.

2. Adanya ukiran di batu atau patung


Sejak kedatangan kerajaan Majapahit di sekitar abad 15, arsitektur Bali secara umum
mendapatkan pengaruh dari Hindu. Kedatangan Majapahit ini meninggalkan kebudayaan di Bali
berupa teknik pahatan di batu . Karya-karya pahatan dari batu tersebut kemudian diletakkan di
depan rumah dan digunakan sebagai pura atau tempat ibadah orang Hindu. Seiring
perkembangan jaman, selain kehadiran pura kecil di depan rumah, patung juga menjadi salah
satu gaya arsitektur yang indentik dengan Bali.
3. Struktur ruang yang rapi
Gaya arsitektur Bali dibuat dengan konsep Tri Angga yang merupakan konsep
keseimbangan. Tri Angga merupakan pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur
tradisional Bali, yang memperlihatkan tiga tingkatan yaitu,

- Utama atau kepala. Bagian ini diposisikan paling tinggi yang diwujudkan dalam bentuk atap.
Pada arsitektur tradisional, bagian ini menggunakan atap ijuk dan alang-alang. Namun, seiring
perkembangan bagian atap mulai menggunakan bahan modern seperti, genteng.
- Madya atau badan. Bagian tengah dari bangunan ini diwujudukan dalam bentuk bangunan
dinding, jendela dan pintu.
- Nista atau kaki merupakan bagian yang terletak di bawah dari sebuah bangunan. Bagian ini
diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah yang digunakan sebagai penyangga.
Biasanya, bagian ini erbuat dari batu bata atau batu gunung.
4. Struktur Rumah Tradisional Bali
Seperti yang sering kita lihat di beberapa media, rumah-rumah di Bali cenderung memiliki
struktur yang kompleks namun tertata rapi. Rumah-rumah beraksitektur tradisional Bali tak
hanya terdiri atas satu unit stuktur, tapi lebih mengarah ke sekumpulan bangunan-bangunan
dimana setiap bangunan dihuni satu kepala keluarga. Biasanya, mereka yang tinggal di kompleks
ini merupakan keluarga besar dan berasal dari keturunan yang sama. Di sekeliling kompleks
bangunan ini dibangun tembok yang tak terlalu tinggi, namun cukup memisahkannya dengan
dunia luar.
Pada komplek bangunan ini terdapat satu Pura untuk sembahyang, dapur yang digunakan
untuk bersama, area untuk tidur, serta area untuk pertemuan penting/perjamuan. Untuk tujuan
itu, biasanya pada kompleks bangunan ini dibangun 2 macam, yakni paviliun untuk menerima
tamu serta paviliun khusus untuk upacara adat dan ritual keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA

http://auteurdelaction.blogspot.com/2014/07/arsitektur-tradisional-suku-batak.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur_Batak
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/gk/article/viewFile/7387/6276
https://www.kompasiana.com/andybatee/55295173f17e61b05e8b4577/konstruksi-dan-tehnik-
bangunan-tradisional-suku-nias-yang-ramah-lingkungan?page=al
https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-1638952/arsitektur-tradisional-nias-selatan
https://www.museum-nias.org/arsitektur-nias/
http://winiarisandi.blogspot.com/2014/11/arsitektur-rumah-tradisional-lombok.html
https://parhansyam.wordpress.com/2011/07/24/aarsitektur-rumah-adat-lombok/
https://bobo.grid.id/read/08673866/7-rumah-bale-suku-sasak-yang-menarik-wisatawan-bule?
page=2
https://www.academia.edu/11232273/ARSITEKTUR_TRADISIONAL_BALI
https://www.scribd.com/doc/145780438/Arsitektur-Bali
https://www.senibudayaku.com/2018/01/rumah-adat-bali.html

Anda mungkin juga menyukai