Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH KE 4

SEJARAH ARSITEKTUR TIMUR


‘‘ARSITEKTUR TRADISIONAL TORAJA, PAPUA, SUKU
DAYAK, DAN SUKU BADAI’’

DISUSUN
NAMA : DIKI ARIOH
NRP : 142018019
DOSEN PEMBIMBING : RENY KARTIKA SARY, ST, MT
NIDN : 0228038302

JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidaya-
Nya kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalahdengan
judul “Negara India” disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Geografi
Regiona Dunia serta memberikan pengetahuan baru bagi penulis dan pembaca mengenai Negara
India.

Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sodikin, M.si
selaku dosen pengampu yang telah membantu pada pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat membawa manfaat khususnya bagi saya dan orang lain yang telah membaca makalah saya.

Kami menyadari bahwa makalah ini kami susun masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dengan tujuan agar makalah
ini selanjutnya akan lebih baik. Semoga bermanfaat.

Palembang, 17 Juni 2019

Penulis
A. RUMAH TRADISIONAL TORAJA

Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu,
terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Di bagian
depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan
dapur.berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan
tingkatan atau peran dalam masyarakat (strata sosial Masyarakat Toraja). Di depan Tongkonan
terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang
pohon palem (banga). Saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai
ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari (disebut pa'bare' allo), yang merupakan simbol
untuk menyelesaikan perkara.

Khususnya di Sillanan-Pemanukan (Tallu Lembangna) yang dikenal dengan istilah


Ma'duangtondok terdapat tongkonan yaitu Tongkonan Karua (delapan rumah tongkonan) dan
Tongkonan A'pa' (empat rumah tongkonan) yang memegang peranan dalam masyarakat sekitar.

Tongkonan karua terdiri dari:

1. Tongkonan Pangrapa'(Kabarasan)
2. Tongkonan Sangtanete Jioan
3. Tongkonan Nosu (To intoi masakka'na)
4. Tongkonan Sissarean
5. Tongkonan Karampa' Panglawa padang
6. Tongkonan Tomentaun
7. Tongkonan To'lo'le Jaoan
8. Tongkonan To Barana' Versi lain Tongkonan Lombok Indo' Piso

Tongkonan A'pa' terdiri dari:


1. Tongkonan Peanna Sangka'
2. Tongkonan To'induk
3. Tongkonan Karorrong
4. Tongkonan Tondok Bangla' (Pemanukan)

Banyak rumah adat yang konon dikatakan tongkonan di Sillanan, tetapi menurut masyarakat
setempat, bahwa yang dikatakan tongkonan hanya 12 seperti tercatat di atas. Rumah adat yang
lain disebut banua pa'rapuan. Yang dikatakan tongkonan di Sillanan adalah rumah adat di mana
turunannya memegang peranan dalam masyarakat adat setempat. Keturunan dari tongkonan
menggambarkan strata sosial masyarakat di Sillanan. Contoh Tongkonan Pangrapa' (Kabarasan)/
pemegang kekuasaan pemerintahan. Bila ada orang yang meninggal dan dipotongkan 2 ekor
kerbau, satu kepala kerbau dibawa ke Tongkonan Pangrapa' untuk dibagi-bagi turunannya.

Stara sosial di masayarakat Sillanan di bagi atas 3 tingkatan yaitu:

1. Ma'dika (darah biru/keturunan bangsawan);


2. To Makaka (orang merdeka/bebas);
3. Kaunan (budak), budak masih dibagi lagi dalam 3 tingkatan.

Sejarah Kabarasan:

Pada awalnya Kabarasan dipegang oleh Tintribuntu yang berkedudukan di Buntu Lalanan
(rumah adat Buntu sebelah barat). Kemudian Anaknya Tintribuntu yaitu Tome kawin dengan
anak dari Tongkonan Sangtanete Jioan (Tongkonan Sangtanete sebelah timur). Sampai
dipertahankan oleh Pong Paara' di Sangtanete Jioan. Setelah Pong Paara' meninggal (tidak ada
anaknya), akhirnya muncul pemberani dari Doa' (Rumah adat Doa') yaitu So'Padidi (alias Pong
Arruan). Kabarasan dipindahkan ke Doa'. Kekuasaan lemah di Doa' setelah So' Padidi
meninggal, karena semua anaknya adalah perempuan 3 orang, sehingga muncul tipu muslihat
yang mengatakan bahwa bisa dipotongkan kerbau 3 ekor saja. Karena minimal kerbau
dikorbankan adalah 4, maka Doa' dianggap tidak mampu memegang kekuasaan. Akhirnya
dibawa Boroalla ke Tonngkonan Pangrapa

KEUNIKAN RUMAH TORAJA

1. Arti Kata Tongkonan

Tahukah Anda apa arti dari Rumah Tongkonan? Tongkonan diambil dari kata “Tongkon” yang
apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya “menduduki” atau “ tempat duduk”.

Pada awalnya Rumah Tongkonan ini hanya dijadikan sebagai tempat untuk berkumpulnya para
bangsawan-bangsawan Tana Toraja. Hingga akhirnya dapat berkembang menjadi rumah adat
Toraja yang diberi nama Rumah Tongkonan
2. Komponen Rumah Adat Tongkonan

Komponen rumah adat Toraja Tongkonan sama seperti kebanyakan rumah adat tradisional
Indonesia yang lain yaitu terbuat dari kayu. Rumah Tongkonan biasanya terbuat dari kayu uru
merupakan salah satu kayu yang kuat.

a. Dinding Rumah Tongkonan

Anda perlu ketahui uniknya Rumah adat Tongkonan ini sama sekali tidak menggunakan unsur
besi pada pembuatan bangunannya. Jadi tidak menggunakan paku sama sekali pada pembuatan
rumah adat Toraja ini.

b. Atap Tongkonan

Bagian atapnya terbuat dari bambu dengan bentuk yang unik menyerupai perahu yang memiliki
arti pengingat bahwa pada dahulu kala nenek moyang masyarakat Tana Toraja menyeberangi
Sulawesi dengan menggunakan perahu.
3. Simbol Dinding Dan Status Sosial Masyarakat Toraja

Rumah adat Toraja Tongkonan selain berfungsi sebagai tempat berlindung juga menggambarkan
status sosial masyarakat Toraja. Anda akan menjumpai banyak kepala kerbau beserta tanduknya
yang dipajang pada tiang utama di setiap Rumah Tongkonan. Semakin banyak tanduk kerbau
yang dipasang pada tiang utama Rumah Tongkonan tersebut akan menggambarkan semakin
tinggi status sosial keluarga tersebut di kehidupan masyarakat setempat.

4. Makna Warna Rumah Tongkonan

Sebuah rumah pastinya tidak lengkap jika tidak dihiasi dengan warna-warna cantik pada
dindingnya. Namun berbeda dengan rumah modern yang Anda huni saat ini, Rumah adat Toraja
Tokonan ini memiliki arti dalam setiap warna yang terlukis manis pada setiap dindingnya.
Rumah adat Tongkonan ini memiliki empat dasar warna penghias rumah yang masing-masing
warna memiliki makna tersendiri.
 Warna Merah. Pertama warna merah yang melambangkan darah yang artinya kehidupan
manusia.
 Warna Kuning. Untuk warna kuning melambangkan anugerah dan kekuasaan dari Tuhan.
 Warna Putih. Sedangkan warna putih menggambarkan warna daging dan juga tulang
yang artinya suci bersih.
 Warna Hitam. Warna terakhir warna hitam melambangkan kematian dan kegelapan

5. Pembagian Ruangan Rumah Tongkonan

Rumah adat Toraja Rumah Tongkonan memiliki tiga bagian rumah meliputi bagian utara, bagian
tengah, dan yang terakhir adalah bagian selatan. Rumah Tongkonan bagi masyarakat Tana
Toraja tidak hanya sebagai tempat untuk tidur tetapi juga dianggap sebagai Ibu bagi mereka.

Selain rumah masyarakat Tana Toraja juga memiliki “Alang Sura” atau yang biasa dikenal
dengan lumbung padi. Alang sura diibaratkan sebagai Bapak bagi masyarakat Tana Toraja.
Bangunan Rumah adat Toraja Rumah Tongkonan pada umumnya selalu menghadap ke utara
yang dipercaya leluhur mereka berasal dari utara dan akan kembali lagi ke utara.

a. Bagian Utara

Pada bagian urata atau biasa disebut dengan bagian “Tengolak”, Anda akan mendapati ruang
tamu, tempat tidur untuk anak-anak, serta sebagai tempat untuk menaruh sesaji. Ketika Anda
bertamu ke Rumah Tongkonan ruangan pertama yang akan Anda masuki adalah bagian
Tengolak ini.

b. Ruang Selatan

Ruangan “Sumbung” atau ruang Selatan merupakan ruangan untuk kepala keluarga. Kepala
keluarga adalah seorang pemimpin dalam sebuah keluarga yang memiliki peran penting dan
sangat dihormati. Segala aktivitas atau aturan dalam keluarga, seorang kepala keluarga memiliki
andil yang besar dalam hal ini.

c. Ruangan Tengah

Ruangan Rumah Tongkonan selanjutnya adalah bagian tengah atau yang biasa disebut dengan
“Sali”. Anda akan menjumpai jasad anggota keluarga yang telah meninggal pada ruangan ini.

Selain itu Sali juga berfungsi sebagai ruang makan, dapur, serta ruang pertemuan keluarga.
Uniknya anggota keluarga yang masih hidup tidak takut dengan adanya jasad dari anggota
keluarga yang telah meninggal.

6. Pemanfaatan Kolong Rumah Tongkonan

Dulunya kolong Rumah Tongkonan biasa digunakan sebagai kandang kerbau bagi pemilik
rumah. Bentuk Rumah adat Toraja yang menyerupai rumah panggung dimodifikasi untuk dapat
ditarik sehingga dapat digunakan sebagai pagar untuk dinding kandang kolong pada Rumah
Tongkonan.

7. Tipe Rumah Adat Toraja

Dapat Anda ketahui rumah adat Toraja tidak hanya Rumah Tongkonan saja. Masyarakat Tana
Toraja memiliki dua tipe rumah. Dua tipe rumah yang dimiliki oleh suku Tongkonan, Yang
pertama seperti yang telah dijelaskan di awal yaitu Rumah Tongkonan. Yang kedua adalah
rumah Banua Barung-Barung atau yang biasa dikenal dengan rumah pribadi dan rumah biasa.

Rumah Tongkonan merupakan rumah adat Toraja yang masih dipegang teguh oleh masyarakat
Tana Toraja sampai saat ini. Mulai dari atap hingga dasar Rumah adat Toraja Rumah Tongkonan
ini tidak luput dari makna yang menandakan bahwa masyarakat.
CIRI KHAS RUMAH TORAJA

1. Struktur Rumah Adat Tongkonan

Struktur Rumah adat tongkonan ini memiliki filosofi tersendiri di setiap tingkatannya. Terdapat
tiga lapisan segi empat yang menggambarkan kehidupan manusia yakni kelahiran, Kehidupan,
Pemujaan dan Kematian.

Lapisan ini menggambarkan hubungan yang selaras antara makhluk mikrokosmos dan
makrokosmos. Setiap tongkonan menghadap ke utara sebagai simbol awal kehidupan. Segi
empat sendiri melambangkan 4 penjuru Mata Angin.

2. Memiliki 3 tingkatan di dalam Rumah Tongkonan

Tingkatan yang pertama disebut dengan Bagian Atas(Rattiang Banua), Tempat ini dikhususkan
untuk menyimpan benda pusaka yang dianggap sakral oleh penduduk. Atap dari tongkonan ini
kemudian di susun dengan menggunakan bambu pilihan dan di ikat dengan rotan dan ijuk. Maka
tak heran atap rumah ini bisa bertahan sampai ratusan tahun sebab menggunakan bahan- bahan
pilihan, kecuali terkena bencana Alam. Ruang Tengah ditempatkan sebagai ruang keluarga untuk
tempat tidur anak-anak. Selain itu digunakan sebagai tempat sesaji dan terkadang juga digunakan
untuk menyemayamkan mayat leluhur.
3. Ukiran Dinding Yang Khas

Dinding rumah adat tongkonan dibuat dari tanah liat. Ukiran pada dinding tongkonan biasanya
memiliki warna yang berbeda di keempat sisinya. Keempat warna dasar tersebut adalah Merah,
Kuning, Putih dan Hitam.

Warna merah melambangkan kehidupan manusia, warna kuning melambangkan kekuatan


adiduniawi atau Sang Pencipta, Warna putih melambangkan kesucian sedangkan warna hitam
melambangkan Kematian atau duka. Keempat fase tersebut mempengaruhi kehidupan manusia.

Arah Mata angin merupakan suatu kesakralan bagi masyarakat Toraja, Arah utara
melambangkan awal kehidupan, Arah Utara atau Ulunna Langi melambangkan kekuatan Tuhan,
Arah Timur atau Matta Allo melambangkan sumber energi awal kehidupan dimulai.

Sedangkan Matampu atau Barat adalah Lawan kehidupan Kesusahan dan Kematian. Yang
terkahir adalah arah Selatan yang disebut Pollo’na Langi atau Pantat langit yang berarti tempat
tinggal roh kejahatan.
4. Tanduk Kerbau

Kerbau merupakan binatang yang khas, unik dan memiliki nilai yang tinggi bagi Masyarakat
Toraja. Bagi Masyarakat Toraja Tanduk Kerbau merupakan simbol strata sosial, Tanduk kerbau
biasanya diletakkan di depan.

Semakin banyak tanduk kerbau yang di miliki semakin tinggi strata sosial yang dimiliki oleh
pemilik tongkonan tersebut. Adat pernikahan Toraja juga menggunakan kerbau sebagai mas
kawin semakin banyak kerbau yang dibawa semakin tinggi strata yang akan dimiliki pasangan
tersebut.
5. Rumah Tongkonan Multifungsi

Sebuah Rumah Adat tongkonan dapat diisi oleh beberapa keluarga hingga empat puluh orang,
dan biasanya mereka memiliki hubungan darah. Yang lebih menarik lagi rumah adat ini juga
merupakan aset adat yang bernilai fantastis lebih dari 500 juta rupiah.

Rumah adat tongkonan dianggap sebagai ibu, sedangkan lumbung padi atau alang sura dianggap
sebagai ayah. Posisi dari Alang dan Tongkonan pun saling berhadapan sebagai simbol dari
Suami Istri.

Fungsi Tongkonan

Rumah Tongkonan bukan hanya sekedar berfungsi sebagai rumah adat. Dalam budaya mereka,
masyarakat toraja menganggap rumah tongkonan sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung
padi) adalah bapaknya. Deretan tongkonan dan alang pun saling berhadapan karena dianggap
sebagai pasangan suami istri. Alang menghadap ke selatan, sedangkan tongkonan menghadap ke
utara.

FILOSOFI

Rumah Adat Tongkonan / Indonesia memiliki beragam budaya yang sangat menarik. Beberapa
diantaranya menjadi destinasi wisata bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara. Salah
satu objek wisata yang terkenal dari bumi pertiwi adalah wisata budayanya, dimana tujuan wisata
budaya bagi para wisatawan (mancanegara) yang terkadang muncul kepermukaan media
internasional sehingga menjadi yang paling terkenal yaitu budaya adat Sulawesi Selatan,
khususnya budaya Tana Toraja Tana Toraja memiliki banyak tujuan wisata yang sangat menarik
bagi para pelancong. Bukan hanya karena letak daerahnya yang jauh dari keramaian sehingga
terasa tenang dan menenangkan, Tana Toraja juga bisa menjadi ikon wisata Sulawesi Selatan
karena wisata budaya dan peninggalan arsitektur nenek moyang mereka yang berupa rumah adat
Tongkonan.

Rumah adat Tongkonan adalah rumah adat Sulawesi Selatan yang mempunyai bentuk unik
menyerupai wujud perahu dari kerajaan Cina pada jaman dahulu. Rumah adat tongkonan juga
kerap kali disebut-sebut mirip dengan rumah gadang dari daerah Sumatera Barat.

KONSEP ARSITEKTUR TRADISIONAL TORAJA

Etnis Toraja mendiami dataran tinggi di kawasan utara Sulawesi Selatan. Pada umumnya
wilayah permukiman masyarakat Toraja terletak di pegunungan dengan ketinggian 600 hingga
2800m di atas permukaan laut. Temperatur udara kawasan permukiman masyarakat Toraja
berkisar pada 150 hingga 300C. Daerah ini tidak berpantai, budayanya unik, baik dalam tari-
tarian, musik, bahasa, makanan, dan kepercayaanAluktodolo yang menjiwai kehidupan
masyarakatnya. Keunikan itu terlihat juga pada pola permukiman dan arsitektur tradisional
rumah mereka, upacara pengantin serta ritual upacara penguburannya.

Kondisi Tana Toraja, tang dipegunungan dan berhawa dingin diduga mendasari ukuran pintu dan
jendela yang relatif kecil, lantai dan dindingnya dari kayu yang tebal. Ukuran atap rumah
tradisional Toraja yang terbuat dari susunan bambu sangat tebal. Wujud konstruksi ini sangat
diperlukan untuk menghangatkan temperatur udara interior rumah.

Masyarakat Tradisional Tana Toraja didalam membangun rumah tradisional mengacu pada
kearifan budaya lokal–Kosmologi mereka yaitu :

Konsep ‘pusar’ atau ‘pusat rumah’ sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme

-Dalam perspektif kosmologi, rumah bagi masyarakat Toraja merupakan mikrokosmos, bagian
dari lingkungan makrokosmos.

-Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi ruang
tengah rumah dimana atap menyatu dengan asap-father sky

-Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a’riri possi di Toraja, possi bola di
Bugis, pocci balla di Makassar dimana tiang menyatu dengan mother earth

Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal filosofi “Aluk A’pa
Oto’na” yaitu empat dasar pandangan hidup : Kehidupan Manusia, kehidupan alam leluhur
“Todolo”, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar
terbentuknya denah rumah Toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang
melambangkan “badan” atau “Kekuasaan”. Dalam kehidupan masyarakat toraja lebih percaya
akan kekuatan sendiri,“Egocentrum”. Hal ini yang tercermin pada konsep arsitektur rumah
mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan “bukaan” yang sempit.
Selain itu konsep arsitektur tradisional toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya “simuane
tallang” atau filosofi “harmonisasi” dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana
cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi didapati
dalam konsep arsitektur “Tongkonan” yang menginteraksikan secara keseluruhan
komponen “tongkonan” seperti : Rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, didalam
satu sistem kehidupan dan penghidupan orang toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro
dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional toraja,
dimana rumah dianggap sebagai “mikrokosmos”.

Tata letak rumah tongkonan berorientasi Utara – Selatan, bagian depan rumah harus berorientasi
Utara atau arah Puang Matua “Ulunna langi’”dan bagian belakang Rumah ke Selatan atau arah
tempat roh-roh “Pollo’na Langi’”. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti
kehidupan dan pemeliharaan, pada arah Timur dimana para Dea “Dewata” memelihara dunia
beserta isinya ciptaan “Puang Mutua”untuk memberi kehidupan bagi manusia, dan arah Barat
adalah tempat bersemayam “To Membali Puang” atau tempat para leluhur “Todolo”. Atau selalu
ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kesemuanya ini diterjemahkan menjadi satu kata
sederhana yaitu “keseimbangan”dan secara arsitektural “keseimbangan” selalu diaplikasikan
kedalam bentuk “simetris” pada bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
prinsip dasar Arsitektur Tradisional Toraja adalahsimetris, keterikatan dan berorientasi.

Rumah Adat Tradisional Tongkonan.

“Tongkonan”, rumah adat Toraja adalah merupakan bangunan yang sangat besar artinya, karena
peranannya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Toraja. “Tongkonan” dalam
fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu :

– “Tongkonan Layuk”, kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat.

– ” Tongkonan Pokamberan/Pokaindoran”, yaitu rumah adat yang merupakan tempat


melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah.

– “Tongkonan Batu A’riri”, yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi sebagai
tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu, serta tempat
pembinaan warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga.

– “Tongkonan Pa’rapuan”, fungsinya sama dengan Tongkonan Batu A’riri tetapi tidak boleh
diukir seperti tiga tongkonan diatas dan tidak memakai Longa.

Sedangkan fungsi dan kegunaan penataan lantai bangunan tradisional rumah adat Toraja,
dibedakan atas :

– ”Banua Sang Borong” atau ”Banua Sang Lanta”, adalah rumah untuk para Pengabdi kepada
Penguasa Adat, pada jaman sekarang ini banyak didapati di kebun kebun. Pada rumah ini hanya
terdapat satu tiang untuk melaksanakan kegiatan sehari hari.
– ”Banua Dang Lanta’’”, adalah bangunan yang tidak mempunyai peranan adat seperti
”Tongkonan Batu A’riri” yang terdiri dari dua ruang yaitu Sumbung sebagai tempat tidur dan
Sali sebagai dapur.

– ”Banua Tallung Lanta’’”, yaitu bangunan pemerintahan adat Toraja yang mempunyai tiga
ruang. Ruang ruang itu adalah Sumbung, Sali dan Tangdo’ yang berfungsi sebagai tempat
upacara pengucapan syukur dan tempat istirahat tamu tamu.

– ”Banua Patang Lanta’’”, yaitu bangunan tongkonan tertua dari penguasa adat yang memegang
fungsi adat ”Togkonan Pasio’ aluk”.

Dalam proses pembangunan bangunan tradisional Toraja ini pengerjaannya dibagi menjadi 2
tahap yaitu :

– ”Tahap Mangraruk”, yaitu sebagai pekerjaan permulaan untuk mengumpulkan seluruh bahan
bahan bangunan yang diperlukan .

– ”Tahap Ma’ Tamben” atau ”Ma’ Pabendan”, yaitu membangun suatu tempat untuk
menyimpan bahan bangunan yang dinamakan “Barung” atau ”Loko Pa’ Tambenan”, dimana
semua bahan bangunan diolah diukur untuk persiapan pendirian bangunan tersebut.

Setelah semua pekerjaan tersebut diatas sudah selesai, dilanjutkan dengan pengerjaan ”Ma’
Pabendan”. Pekerjaan ini adalah pekerjaan permulaan dari pembangunan karena semua bahan
bangunan sudah disiapkan, melalui tahap-tahap sebagai berikut :

– ”Tahap Pabenden Leke’”, yaitu tempat membuat bangunan yang merupakan tempat
mendirikan bangunan sampai selesai. Jadi bangunan rumah adat Toraja selama didirikan seolah
olah tidak terkena sinar matahari dan hujan.

– ”Tahap No’ton Parandangan’”, yaitu mengatur dan menanam batu pondasi yang dipahat atau
asli yang sudah cukup baik untuk menjadi batu pondasi.

– ”Tahap Ma’ Pabendan’”, yaitu mendirikan tiang tiang bangunan utama diatas batu
parandangan yang sudah diatur dalam ukuran persegi panjang.

– ”Tahap Ma’ A’riri Posi’”, yaitu mendirikan satu tiang tengah bangunan yang merupakan salah
satu tiang yang mempunyai arti dalam pembangunan rumah adat Toraja.

– ”Tahap Ma’ Sangkinan Rindingan”, yaitu pekerjaan memasang dinding pengosokan berjejer
keliling bangunan dan kayu Sangkinan Rindingan ini sama besar dan tingginya begitu pula pada
jarak pemasangannya kecuali pada bagian sudut bangunan.

– ”Tahap Ma’ Kamun Rinding”, yaitu pemasangan semua dinding yang dimasukkan dari atas ke
dalam Sangkinan Rinding melalui semacam jaluran rel sebagai bingkai yang terpasang mati.
– ”Tahap Ma’ Petuo”, yaitu pemasangan 4 buah kayu Ma’ Petuo sebagai tumpuan bagi kayu
bubungan.

– ”Tahap Ma’ Kayu Beke’i”, yaitu pemasangan kayu diatas kayu Ma’ Petuo sebagai tempat
mengatur kayu kayu membentuk segitiga dengan badan rumah.

– ”Tahap Ma’ Paleke’ Indo Tekeran”, yaitu semua kayu yang panjangnya 3,5 m, dengan
persilangan pada ujung atasnya dan ujung bawahnya disambung pada kayu Rampanan Papa’
sebagai tempat mengatur kayu kecil kecil yang bernama Tarampak.

– ”Tahap Ma’ Rampani”, yaitu tempat menumpunya kayu Rampanan yang fungsinya mengikat
dan mengatr atap.

– ”Tahap Ma’ Palaka Indo’ Para”, yaitu merupakan bagian depan agak miring dari bagian atap
bangunan.

– ”Tahap Ma’ Paringgi”, yaitu pemasangan kayu pamiring yang membentuk longa dan
berpangkal pada kayu Rampanga Papa Longa.

– ”Tahap Ma’ Pabendan Tulak Somba”, yaitu pemasangan kayu Tulak Somba menopang
bagian depan dan bagian belakang Longa.

– ”Tahap Ma’ Benglo Longa”, yaitu tangga pembantu pemasangan semua bagian dari Longa
dan bila telah selesai maka Ma’ Benglo Longa dibongkar.

– ”Tahap Ma’ Papa”, yaitu merupakan pekerjaan yang sangat berat karena pemasangan
Tarampak sampai ke bubungan tidak boleh berhenti.

Semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi tertentu, fungsi fungsi
tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari bangunan itu tidak berubah yaitu atap
menghadap keutara sebagai orientasi bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi dan
arsitektur bangunan tetap sebagai dasar perancangan Tongkonan, karena adanya hubungan
pandangan keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan.

Jadi bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan struktur arsitekturnya antara
lain ; rumah adat Toraja dibagi atas 2 bagian besar yaitu dengan menarik garis besar dari utara ke
selatan yang dibedakan dengan nama Kale Banua Matallo dan Kale Banua Matumpu’ yaitu
bagian rumah sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat.

Sedangkan bagian luar dan dalam dibagi sebagai berikut :

Interior rumah adat Toraja.

– ”Suluk Banua”, yaitu kolong dari bangunan rumah yang dibentuk oleh tiang tiang yang
dihubungkan oleh sulur yang dinamakan roroan. Peranannya sebagai tempat mengurung hewan
hewan ternak pada malam hari untuk menjaga tuannya diatas rumah.
– ”Kale Banua”, yaitu bagian badan dari bangunan yang terdiri dari ruang/petak mulai utara ke
selatan.

– ”Pentiroan”, yaitu jendela jendela pada seluruh badan rumah yang kelihatan pada 4 sisi.
Jendela jedela itu adalah :

 ”Pentiroan Tingayo”, yaitu 2 buah jendela yang terletak dibagian muka rumah
menghadap ke utara. Jendela ini dapat terbuka dan tertutup setiap saat.
 ”Pentiroan Matallo”, yaitu jendela yang terletak disebelah timur bangunan,
pemasangannya pada tengah bangunan pada ruang tengah. Jendela ini dibuka pada pagi
hari dan dibuka terus pada waktu upacara pengucapan syukur.
 ”Pentiroan Mampu’ ”, yaitu jendela yang terletak disebelah barat bangunan. Jendela ini
dibuka pada waktu ada upacara pemakaman orang mati.
 ”Pentiroan Pollo’ Banua”, yaitu jendela yang terletak dibelakang rumah menghadap ke
selatan. Jendela ini terbuka terus pada waktu upacara kematian atau bila didalamnya ada
orang yang sakit.

– ”Longa” bagian menjulang dari atap bangunan di sebelah utara dan selatan. Lobang ini
berjumlah 3 buah dan tidak tertutup dengan ukuran 10 x 15 cm.

– ”Rattiang” atau disebut juga loteng yaitu bagian atas dari rumah yang sebagian ditutupi atap.
Berfungsi untuk menyimpan peralatan dan pakaian upacara adat

Tata letak rumah tongkonan berorientasi Utara – Selatan, bagian depan rumah harus berorientasi
Utara atau arah Puang Matua “Ulunna langi’”dan bagian belakang Rumah ke Selatan atau arah
tempat roh-roh “Pollo’na Langi’”. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti
kehidupan dan pemeliharaan, pada arah Timur dimana para Dea “Dewata” memelihara dunia
beserta isinya ciptaan “Puang Mutua”untuk memberi kehidupan bagi manusia, dan arah Barat
adalah tempat bersemayam “To Membali Puang” atau tempat para leluhur “Todolo”. Atau selalu
ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kesemuanya ini diterjemahkan menjadi satu kata
sederhana yaitu “keseimbangan”dan secara arsitektural “keseimbangan” selalu diaplikasikan
kedalam bentuk “simetris” pada bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
prinsip dasar Arsitektur Tradisional Toraja adalahsimetris, keterikatan dan berorientasi.

Rumah Adat Tradisional Tongkonan.

“Tongkonan”, rumah adat Toraja adalah merupakan bangunan yang sangat besar artinya, karena
peranannya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Toraja. “Tongkonan” dalam
fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu :

– “Tongkonan Layuk”, kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat.

– ” Tongkonan Pokamberan/Pokaindoran”, yaitu rumah adat yang merupakan tempat


melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah.
– “Tongkonan Batu A’riri”, yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi sebagai
tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu, serta tempat
pembinaan warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga.

– “Tongkonan Pa’rapuan”, fungsinya sama dengan Tongkonan Batu A’riri tetapi tidak boleh
diukir seperti tiga tongkonan diatas dan tidak memakai Longa.

Sedangkan fungsi dan kegunaan penataan lantai bangunan tradisional rumah adat Toraja,
dibedakan atas :

– ”Banua Sang Borong” atau ”Banua Sang Lanta”, adalah rumah untuk para Pengabdi kepada
Penguasa Adat, pada jaman sekarang ini banyak didapati di kebun kebun. Pada rumah ini hanya
terdapat satu tiang untuk melaksanakan kegiatan sehari hari.

– ”Banua Dang Lanta’’”, adalah bangunan yang tidak mempunyai peranan adat seperti
”Tongkonan Batu A’riri” yang terdiri dari dua ruang yaitu Sumbung sebagai tempat tidur dan
Sali sebagai dapur.

– ”Banua Tallung Lanta’’”, yaitu bangunan pemerintahan adat Toraja yang mempunyai tiga
ruang. Ruang ruang itu adalah Sumbung, Sali dan Tangdo’ yang berfungsi sebagai tempat
upacara pengucapan syukur dan tempat istirahat tamu tamu.

– ”Banua Patang Lanta’’”, yaitu bangunan tongkonan tertua dari penguasa adat yang memegang
fungsi adat ”Togkonan Pasio’ aluk”.

Dalam proses pembangunan bangunan tradisional Toraja ini pengerjaannya dibagi menjadi 2
tahap yaitu :

– ”Tahap Mangraruk”, yaitu sebagai pekerjaan permulaan untuk mengumpulkan seluruh bahan
bahan bangunan yang diperlukan .

– ”Tahap Ma’ Tamben” atau ”Ma’ Pabendan”, yaitu membangun suatu tempat untuk
menyimpan bahan bangunan yang dinamakan “Barung” atau ”Loko Pa’ Tambenan”, dimana
semua bahan bangunan diolah diukur untuk persiapan pendirian bangunan tersebut.

Setelah semua pekerjaan tersebut diatas sudah selesai, dilanjutkan dengan pengerjaan ”Ma’
Pabendan”. Pekerjaan ini adalah pekerjaan permulaan dari pembangunan karena semua bahan
bangunan sudah disiapkan, melalui tahap-tahap sebagai berikut :

– ”Tahap Pabenden Leke’”, yaitu tempat membuat bangunan yang merupakan tempat
mendirikan bangunan sampai selesai. Jadi bangunan rumah adat Toraja selama didirikan seolah
olah tidak terkena sinar matahari dan hujan.

– ”Tahap No’ton Parandangan’”, yaitu mengatur dan menanam batu pondasi yang dipahat atau
asli yang sudah cukup baik untuk menjadi batu pondasi.
– ”Tahap Ma’ Pabendan’”, yaitu mendirikan tiang tiang bangunan utama diatas batu
parandangan yang sudah diatur dalam ukuran persegi panjang.

– ”Tahap Ma’ A’riri Posi’”, yaitu mendirikan satu tiang tengah bangunan yang merupakan salah
satu tiang yang mempunyai arti dalam pembangunan rumah adat Toraja.

– ”Tahap Ma’ Sangkinan Rindingan”, yaitu pekerjaan memasang dinding pengosokan berjejer
keliling bangunan dan kayu Sangkinan Rindingan ini sama besar dan tingginya begitu pula pada
jarak pemasangannya kecuali pada bagian sudut bangunan.

– ”Tahap Ma’ Kamun Rinding”, yaitu pemasangan semua dinding yang dimasukkan dari atas ke
dalam Sangkinan Rinding melalui semacam jaluran rel sebagai bingkai yang terpasang mati.

– ”Tahap Ma’ Petuo”, yaitu pemasangan 4 buah kayu Ma’ Petuo sebagai tumpuan bagi kayu
bubungan.

– ”Tahap Ma’ Kayu Beke’i”, yaitu pemasangan kayu diatas kayu Ma’ Petuo sebagai tempat
mengatur kayu kayu membentuk segitiga dengan badan rumah.

– ”Tahap Ma’ Paleke’ Indo Tekeran”, yaitu semua kayu yang panjangnya 3,5 m, dengan
persilangan pada ujung atasnya dan ujung bawahnya disambung pada kayu Rampanan Papa’
sebagai tempat mengatur kayu kecil kecil yang bernama Tarampak.

– ”Tahap Ma’ Rampani”, yaitu tempat menumpunya kayu Rampanan yang fungsinya mengikat
dan mengatr atap.

– ”Tahap Ma’ Palaka Indo’ Para”, yaitu merupakan bagian depan agak miring dari bagian atap
bangunan.

– ”Tahap Ma’ Paringgi”, yaitu pemasangan kayu pamiring yang membentuk longa dan
berpangkal pada kayu Rampanga Papa Longa.

– ”Tahap Ma’ Pabendan Tulak Somba”, yaitu pemasangan kayu Tulak Somba menopang
bagian depan dan bagian belakang Longa.

– ”Tahap Ma’ Benglo Longa”, yaitu tangga pembantu pemasangan semua bagian dari Longa
dan bila telah selesai maka Ma’ Benglo Longa dibongkar.

– ”Tahap Ma’ Papa”, yaitu merupakan pekerjaan yang sangat berat karena pemasangan
Tarampak sampai ke bubungan tidak boleh berhenti.

Semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi tertentu, fungsi fungsi
tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari bangunan itu tidak berubah yaitu atap
menghadap keutara sebagai orientasi bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi dan
arsitektur bangunan tetap sebagai dasar perancangan Tongkonan, karena adanya hubungan
pandangan keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan.
Jadi bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan struktur arsitekturnya antara
lain ; rumah adat Toraja dibagi atas 2 bagian besar yaitu dengan menarik garis besar dari utara ke
selatan yang dibedakan dengan nama Kale Banua Matallo dan Kale Banua Matumpu’ yaitu
bagian rumah sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat.

Sedangkan bagian luar dan dalam dibagi sebagai berikut :

Interior rumah adat Toraja.

– ”Suluk Banua”, yaitu kolong dari bangunan rumah yang dibentuk oleh tiang tiang yang
dihubungkan oleh sulur yang dinamakan roroan. Peranannya sebagai tempat mengurung hewan
hewan ternak pada malam hari untuk menjaga tuannya diatas rumah.

– ”Kale Banua”, yaitu bagian badan dari bangunan yang terdiri dari ruang/petak mulai utara ke
selatan.

– ”Pentiroan”, yaitu jendela jendela pada seluruh badan rumah yang kelihatan pada 4 sisi.
Jendela jedela itu adalah :

 ”Pentiroan Tingayo”, yaitu 2 buah jendela yang terletak dibagian muka rumah
menghadap ke utara. Jendela ini dapat terbuka dan tertutup setiap saat.
 ”Pentiroan Matallo”, yaitu jendela yang terletak disebelah timur bangunan,
pemasangannya pada tengah bangunan pada ruang tengah. Jendela ini dibuka pada pagi
hari dan dibuka terus pada waktu upacara pengucapan syukur.
 ”Pentiroan Mampu’ ”, yaitu jendela yang terletak disebelah barat bangunan. Jendela ini
dibuka pada waktu ada upacara pemakaman orang mati.
 ”Pentiroan Pollo’ Banua”, yaitu jendela yang terletak dibelakang rumah menghadap ke
selatan. Jendela ini terbuka terus pada waktu upacara kematian atau bila didalamnya ada
orang yang sakit.

– ”Longa” bagian menjulang dari atap bangunan di sebelah utara dan selatan. Lobang ini
berjumlah 3 buah dan tidak tertutup dengan ukuran 10 x 15 cm.

– ”Rattiang” atau disebut juga loteng yaitu bagian atas dari rumah yang sebagian ditutupi atap.
Berfungsi untuk menyimpan peralatan dan pakaian upacara adat

Arsitektur tongkonan cukup unik ditilik dari bentuk atap dan penampilan bangunan. Ciri khas ini
turun temurun dari nenek moyang dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Ada empat tahap
proses panjang perkembangan rumah adat Toraja sebelum akhirnya terbentuk menjadi
tongkonan, yaitu:

1. Banua Pandoko Dena

Rumah bentuk burung pipit yang masih sangat sederhana, merupakan rumah yang terdapat di
pohon, terbuat dari ranting kayu yang diletakkan di atas dahan dengan dinding dan atap yang
terbuat dari rumput berbentuk bundar seperti sarang burung pipit. Rumah ini berfungsi sebagai
perlindungan dari cuaca panas/hujan dan gangguan hewan buas.

2. Banua Lentong A’pa

Rumah ini menggunakan 4 tiang dengan atap dan dinding yang masih menggunakan dedaunan.
Saat ini Banua Lentong A’pa dimanfaatkan sebagai pondok kecil untuk kandang ternak.

3. Banua Tamben

Banua Tamben merupakan rumah yang terbuat dari kayu dengan bentuk atap yang menyerupai
perahu pada kedua ujungnya dan menjulang ke atas.

4. Banua Toto atau Banua Sanda ‘Ariri

Bentuk rumah Banua Toto adalah persegi panjang dengan tiang yang jumlahnya lebih banyak
dan teratur, bertingkat dua, dan dihiasi dengan ukiran.

JENIS TONGKONAN

Beberapa jenis tongkonan yang dikenal masyarakat Tana Toraja disesuaikan dengan peranan
penguasanya, yaitu tongkonan layuk, tongkonan pekaindoran, dan tongkonan batu a’riri. Bentuk
ketiga tongkonan ini serupa, hanya saja terdapat perbedaan pada tiang. Tongkonan layuk dan
tongkonan pekaindoran memiliki tiang tengah yang disebut a’riri posidisamping hiasan
berbentuk kepala kerbau (kabogo) dan kepala ayam (katik),

Tongkonan Layuk (maha tinggi/agung)

Merupakan tongkonan yang pertama kali menjadi pusat perintah dan kekuasaan dengan
peraturan Tana Toraja dahulu kala.

Tongkonan Pekaindoran (Tongkonan Kaparengngesan)

Tongkonan yang didirikan penguasa masing-masing daerah untuk mengatur pemerintahan adat
berdasarkan aturan tongkonan aluk.

Tongkonan Batu A’riri

Tongkonan yang berfungsi sebagai tali ikatan dalam membina persatuan dan warisan keluarga.

Umumnya tongkonan berbentuk persegi panjang dengan ukuran 2:1 dan memiliki 5 bagian
struktur bangunan, yaitu :

1. pondasi,
2. tiang,
3. lantai,
4. dinding, dan
5. atap.

Lantai rumah terdiri dari 3 lapis. Dinding rumah terdiri dari papan yang diikat dengan pengikat
yang disebut sambo rinding. Atap rumah terbuat dari bambu. Ornamen dan motif yang
digunakan memiliki makna cara hidup masyarakat Toraja. Warna yang dominan digunakan
antara lain merah, putih, kuning, dan hitam. Merah berarti warna kehidupan, putih adalah warna
daging dan tulang manusia, kuning melambangkan kemuliaan dan ketuhanan juga pengabdian,
serta warna hitam yang menyimbolkan kesedihan dan kematian.

TATA RUANG

Tata ruang rumah Toraja secara tradisional dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu:

Banua sang borong/sang lanta

Sebuah ruangan yang berfungsi untuk berbagai macam kebutuhan,


Banua Duang Lanta

Rumah dengan dua ruang, yaitu satu ruang tidur disebut sumbung dan ruang sali untuk ruang
kerja, dapur dan tempat meletakkan jenazah sementara.

Banua Patang Lanta

Rumah dengan 4 ruang, terdiri dari dua jenis yaitu:

 Banua Di Lalang Tedong terdiri dari ‘sali iring’ (ruang dapur, ruang kerja, tempat tidur
abdi adat, dan tempat menerima tamu).
 Sali Tangga terdiri dari tempat kerja, ruang tidur keluarga dan tempat jenazah yang akan
diupacarakan.
 Sumbung (ruang tidur pemangku adat)
 Inan Kabusung (ruang tertutup yang dibuka kalau ada upacara).

Banua Di Salombe

terdiri dari:

 Palanta/tangdo (ruang pemuka adat dan tempat upacara penyembahan)


 Sali Tangga (tempat bekerja dan tempat jenazah sementara),
 Sumbung (ruang tidur pemuka adat).

Banua Limang Lanta

Rumah yang terdiri atas lima ruang, yaitu :

 palata (ruang duduk dan tempat saji-sajian),


 sali iring (dapur, tempat makan dan tempat tidur adat),
 paluang (tempat bekerja dan meletakkan jenazah),
 anginan (ruang tidur), dan
 sumbung kabusungan (ruang tempat menyimpan pusaka adat).

A. RUMAH TRADISIONAL ADAT PAPUA

1. RUMAH HONAI

DEFINISI
Honai merupakan rumah adat Papua yang menjadi tempat tinggal bagi suku Dani. Biasanya
Honai dihuni oleh laki-laki dewasa. Honai berasal dari kata “hun” atau laki-laki dan “ai” yang
berarti rumah.

BENTUK

Bentuk bangunan dalam arsitektur tradisional papua berorientasi pada bentuk –bentuk yang
dinamis, selain itu konsep animisme dan dinamisme masih merupakan referensi/aturan yang kuat
dalam masyarakat, sehingga melahirkan lagam arsitektur yang beraneka ragam ; Bentuk
Arsitektur Tradisional lebih berorientasi kepada.
1. bentuk kotak
2. segi enam bertingkat 3 ( kariwari )
3. Lingkaran ( Pada Honai Suku Dani )
STRUKTUR

Dari segi struktur maka bangunan, arsitektur tradisional papua masih menggunakan bahan yang
di sediakan oleh alam seperti dinding dari kulit kayu, tiang rumah dari kayu, atap dari daun
kelapa/alang-alang. Lantai dari kulit sagu/bambu. Ataupun menyentuh langsung ke tanah (
Umumnya dipegunungan/dipantai ).
Fungsi Rumah Honai - Rumah Adat Papua

1. Tempat penyimpanan
Rumah Honai selain sebagai tempat tinggal juga digunakan untuk tempat menyimpan
peralatan berburu dan juga perang. Selain itu, rumah adat asal Papua ini juga dijadikan
tempat menyimpan beberapa barang yang merupakan simbol berharga secara suku dan
adat. Itulah kenapa rumah ini sangat berharga bagi Suku Dani. Bahkan semua peralatan
pun masih tersimpan dengan baik.

2. Tempat pengglembengan
Anak laki-laki memiliki peran penting dalam Suku Dani. Itulah kenapa rumah adat Honai
digunakan sebagai tempat penggemblengan anak laki-laki hingga mereka bisa menjadi
laki-laki dewasa yang bisa melindungi dan memimpin suku. Pembelajaran tentang
berperang dan berburu pun juga penting, agar kelompok sukunya bisa senantiasa bertahan
hidup dan sejahtera.

3. Tempat penyusunan strategi


Tak pelak lagi jika beberapa suku yang tidak sependapat atau memiliki aturan masing-
masing bisa saling bertikai dan berperang. Rumah adat Papua ini adalah tempat terbaik
bagi suatu suku untuk menyusun strategi perang yang efektif. Penyusunannya lebih
melibatkan kaum laki-laki yang tentunya sudah siap secara fisik dan mental untuk
berperang dalam keadaan siap ataupun terdesak.

Filosofi Rumah Rumah Honai - Rumah Adat Papua

1. Pemersatu kelompok
Rumah Honai dengan bentuknya yang bulat dan melingkar adalah sebuah bentuk yang
menjadikan Suku Dani dapat bersatu satu sama lain.

2. Lambang kesatuan
Selain rasa persatuan, Rumah Honai juga menjadi dasar untuk Suku Dani agar senantiasa
sehati, setujuan, dan juga satu pemikiran dalam pekerjaan sehari-hari.

3. Status harga diri


Martabat dan harga diri juga merupaka suatu hal yang penting dalam Suku Dani. Dan
Rumah Honailah yang menampilkan dan memperlihatkan seperti apa martanbat kaum
mereka.

Keunikan Rumah Adat Honai Papua

* Rumah Adat Honai secara umum memiliki tinggi kurang lebih 2,5 meter.

* Bentuk atap Rumah Adat Honai adalah bulat kerucut dan terbuat dari jerami atau
ilalang.
* Dinding rumah terbuat dari kayu yang di susun berdiri memiliki satu pintu pendek dan
tidak berjendela.

* Rumah Adat Honai terdiri dari dua lantai, lantai pertama memiliki fungsi untuk tidur
sedangkan lantai kedua berfungsi untuk bersantai bersama sanak saudara.

Ciri Khas Dari Rumah Adat Papua Honai

Rumah ini tidak memiliki jendela, hanya terdapat satu buah pintu. Rumah ini memiliki tinggi 2,5
meter dan memiliki ruangan yang sempit yaitu sekitar 5 meter. Hal tersebut bertujuan untuk
menahan suhu yang dingin di pegunungan. Di bagian tengahnya dibuat lingkaran yang berfungsi
sebagai tempat membuat api untuk menghangatkan badan sekaligus penerangan.

Ruangan Rumah Adat Papua Honai Dan Fungsinya

Ruangan di dalam rumah ini terdiri dari dua lantai. Lantai atas berfungsi sebagai tempat tidur
sedangkan bagian bawah sebagai tempat berkumpul dan berkegiatan. Masyarakat di sana
menggunakan rumput yang dikeringkan sebagai alas tidur. Meskipun sederhana namun rumah ini
tetap menarik.

2. RUMAH EBAI
DEFINISI

Ebai berasal dari kata “ebe” yaitu tubuh dan “ai” yang artinya rumah. Hal ini karena perempuan
erupakan tempat tinggal bagi kehidupan. Ebai biasa digunakan untuk melakukan proses
pendidikan bagi anak perempuan yaitu para ibu akan mengajarkan hal-hal yang akan dilakukan
ketika menikah nanti. Ebai juga sebagai tempat tinggal bagi ibu-ibu, anak perempuan dan anak
laki-laki. Namun anak laki-laki yang telah beranjak dewasa akan pindah ke Honai.

Rumah Ebai mirip dengan honai, namun memiliki ukuran yang lebih pendek dan kecil. Berada di
samping kanan atau kiri honai serta pintunya tidak sejajar dengan pintu utama.

3. RUMAH WAMAI

Wamai merupakan tempat yang digunakan sebagai kandang ternak peliharaan. Hewan yang
biasa dijadikan ternak oleh suku wilayah papua misalnya ayam, babi, anjing dan lain-lainnya.
Bentuk wamai biasanya persegi tapi ada pula bentuk lain, sangat fleksibel tergantung dari besar
dan banyaknya jenis hewan yang dimiliki oleh masing-masing keluarga.
4. RUMAH KARIWARI

Kariwari merupakan rumah adat Papua yang dihuni oleh suku Tobati-Enggros yang tinggal di
tepi Danau Sentani, Jayapura. Rumah ini merupakan rumah khusus bagi laki-laki yang telah
berusia sekitar 12 tahun. Rumah ini digunakan untuk mendidik anak-anak tersebut mengenai apa
yang harus dilakukan oleh laki-laki seperti pengalaman hidup dan mencari nafkah.

Mereka diajarkan untuk menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan berani serta kuat.
Pelajaran yang didapatkan misalnya membuat perahu, cara berperang, membuat senjata, dan
memahat.

Bentuk Dan Struktur Bangunan Rumah Adat Papua Kariwari

Rumah ini memiliki bentuk segi delapan yang menyerupai limas. Bentuk ini dibuat dengan
maksud agar mampu menahan hembusan angin yang kuat. Sedangkan atapnya berbentuk
kerucut. Menurut kepercayaan masyarakatnya untuk mendekatkan diri kepada para leluhur.

Tinggi dari rumah ini berbeda-beda, dari 20-30 meter. Terdiri dari 3 lantai yang memiliki fungsi
masing-masing. Lantai paling bawah digunakan untuk tempat belajar para remaja laki-laki.
Lantai ke dua digunakan untuk ruang pertemuan pemimpin dan kepala suku serta sebagai tempat
tidur kaum laki-laki. Dan lantai ke tiga sebagai tempat meditasi dan berdoa.

Lantai pada bangunan ini terbuat dari lapisan kulit kayu, dindingnya terbuat dari cacahan pohon
bambu, sedangkan atapnya terbuat dari daun sagu. Di dalamnya terdapat kayu besi yang
digunakan untuk menopang dan saling mengikat satu sama lain.

Fungsinya agar atap tidak terlepas dan terbang terbawa angin. Dibawah batang kayu digunakan
untuk menyimpan hasil kerajinan, alat perang dan lain-lain.

5. RUMAH RUMSRAN

Rumsram merupakan rumah adat Papua dari suku Biak Numfor yang berada di pulau-pulau.
Rumah ini ditujukan untuk laki-laki. Seperti kariwari, rumah ini digunakan sebagai tempat untuk
mendidik anak remaja laki-laki dalam pencarian pengalaman hidup, serta cara untuk menjadi
laki-laki yang kuat dan bertanggungjawab sebagai kepala keluarga kelak.

Bentuk Dan Struktur Bangunan Rumah Adat Papua Rumsram


Rumsram memiliki berbentuk persegi seperti rumah panggung, dengan beberapa ukiran pada
beberapa bagiannya dan atapnya mirip seperti perahu terbalik yang menandakan mata
pencaharian penduduknya sebagai nelayan. Tinggi Rumsram kurang lebih sekitar 6-8 meter.

Terdiri dari dua tingkat. Lantai pertama bersifat terbuka dan tidak memiliki dinding. Berfungsi
sebagai tempat pendidikan bagi laki-laki misalnya membuat perahu, memahat, cara berperang
dan lain-lain.

Seperti Kariwari, bangunan rumah rumsram pada bagian lantainya terbuat dari kulit kayu dan
dindingnya dari pohon bambu yang di cacah. Memiliki dua buah pintu pada bagian depan dan
belakang serta beberapa buah jendela, sedangkan atapnya terbuat dari daun sagu.
B. RUMAH TRADISIONAL SUKU DAYAK

1. RUMAH PANJANG

Penjelasan Rumah Panjang rumah adat yang berasal dari suku Dayak Kalimantan Barat. Rumah
Panjang merupakan ciri khas dari masyarakat Dayak KalBar. Rumah adat ini menggambarkan
keadaan sosial kehidupan dan juga merupakan pusat kehidupan dari masyarakat Dayak. Saat ini,
rumah panjang di Kalimantan Barat dapat dikatakan hampir punah karena jumlahnya yang
sedikit. Rumah panjang asal Kalimantan barat ini biasa disebut juga dengan rumah Betang.

Ciri Khas

Rumah Panjang terbuat dari kayu dengan ketinggian 5 sampai 8 meter. Tinggi rumah tergantung
dari tinggi tiang yang menopang rumah tersebut. Panjangnya sekitar 180 meter dan lebar 6 meter
dan terdapat sekitar 50 ruangan didalamnya. Ruangan-ruangan ini umumnya dihuni oleh banyak
keluarga yang di dalamnya juga termasuk keluarga inti. Untuk masuk ke rumah panjang,
keluarga mengunnakan tangka atau anak tangga. Rumah panjang di Kalimantan Barat
mempunyai bentuk yang sempit tetapi dengan ukuran panjang yang ekstrem. Rumah ini hanya
terdiri dari satu kamar.

Bagian Ruangan

Rumah panjang terdiri dari beberapa bagian yaitu :

1. Teras (pante)
2. Ruang tamu (samik)

Dalam ruang tamu terdapat sebuah meja yang disebut pene yang berfungsi sebagai tempat
berbicara atau menerima tamu. Pene berbentuk lingkarang dan digunakan untuk meletakkan
makanan atau minuman untuk menyambut tamu.

3. Ruang keluarga

Ruang keluarga adalah ruang sederhana yang mempunyai panjang 6 meter dan lebar 6 meter
Pada bagian belakang rumah panjang digunakan sebagai dapur untuk keluarga. Umumnya, setiap
keluarga mempunyai dapur masing-masing.

Fungsi

Selain sebagai tempat tinggal beberapa keluarga, rumah panjang dibangun tinggi karena
berfungsi untuk menghindari serangan binatang buas dan untuk menjaga keselamatan keluarga
dari serangan suku-suku lain dalam masyarakat Dayak. Fungsi lainnya juga digunakan untuk
kegiatan-kegiatan masyarakat seperti rapat atau pertemuan-pertemuan, upacara-upacara adat
atau ritus-ritus yang ada dalam masyarakat Dayak.

2. RUMANH BETANG

Rumah Betang Suku Dayak tidak hanya dibangun sebagai tempat tinggal belaka. Tetapi lebih
dari itu Rumah Betang Suku Dayak memiliki fungsi lain nilai adat yang tinggi. Rumah betang
banyak ditemukan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

Rumah Betang Suku Dayak selalu berbentuk panggung dan panjang sesuai dengan namanya.
Bentuk ini dipilih bukan tanpa alasan. Bentuk rumah betang yang berbentuk panggung berfungsi
untuk:

1. Menghindari rumah dari banjir, karena banyak Rumah Betang Suku Dayak yang di
bangun di pinggir sungai.
2. Untuk melindungi penghuninya dari binatang buas.
3. Untuk melindungi penghuninya dari musuh.

Bentuknya yang memanjang mampu menampung hingga kurang lebih 150 jiwa atau 5-30 kepala
keluarga atau lebih. ini memungkinkan mereka untuk tetap berada disatu atap, agar mereka
mudah berkomunikasi dan saling melindungi serta saling membantu dalam hal apapun seperti
ekonomi, pekerjaan dan lain sebagainya.
Pada umumnya Rumah Betang Suku Dayak dibuat hulunya menghadap timur dan hilirnya
menghadap barat. Ini merupakan sebuah symbol bagi masyarakat dayak. Hulu yang menghadap
timur atau matahari terbit memiliki filosofi kerja keras yaitu bekerja sedini mungkin. Sedangkan
hilir yang menghadap barat atau matahari terbenam memiliki filosofi, tidak akan pulang atau
berhenti bekerja sebelum matahari terbenam.

Berikut adalah ciri-ciri spesifik Rumah Betang Suku Dayak

1. Arah hulu rumah menghadap Timur dan Hilir menghadap Barat.


2. Tinggi rumah dari tanah antara 3 (tiga) meter hingga 5 (lima) meter.
3. Panjang rumah mulai dari 30 meter hingga 150 meter, lebar sekirat 30 meter.
4. Dinding terbuat dari kayu berarsitektur jengki dengan atap pelana memanjang
5. Ruangan dibagi menjadi
6. Sado : pelataran merupakan jalur lalu-lalang penghuni rumah atau tempat melakukan
aktifitas seperti tempat musyawarah adat, tempat menganyam, tempat menumbuk padi
dan lain-lain.
7. Padong : yaitu ruang keluarga berdimensi antara 4×6 meter. Biasanya masing-masing
kepala keluarga memiliki satu padong yang digunakan untuk berkumpul makan, minum,
menerima tamu dan lain-lain.
8. Bilik : dipergunakan untuk tempat tidur. Bilik hanya dipisahkan dengan kelambu saja,
baik bilik suami istri, bilik anak laki-laki, maupun bilik anak perempuan.
9. Dapur : Ruang yang terakhir adalah dapur, dalam satu rumah memiliki satu dapur yang
biasanya terletak dibelakang.
10. Memiliki 1 tangga yang dinamakan hejot dan satu pintu masuk. Biasanya terdapat sebuah
patung yang dinamakan rancak yang diletakkan didekat pintu masuk, patung itu sendiri
merupakan patung persembahan bagi nenek moyang mereka. Sebelum diletakkan di
depan pintu biasanya patung atau Rancak telah melalui sebuah proses upacara adat.
11. Bagian tengah rumah biasanya dihuni oleh tetua adat.
12. Dinding dan tiangnya memiliki ukiran yang mengandung falsafah hidup suku dayak.
13. Dihalamannya terdapat Totem atau patung pemujaan.

Ciri-ciri Rumah Betang yaitu bentuk panggung dan memanjang. Panjangnya bisa
mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki
tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Shit Betang dihuni oleh 100-150 jiwa, Betang
dapat dikatakan sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat satu keluarga
besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang Pambakas Lewu.
Bagian dalam betang terbagi menjadi beberapa ruangan yang bisa dihuni oleh setiap
keluarga.

Tata Ruang :
Ruang-ruang yang ada dalam Rumah Betang biasanya terdiri dari sado', padongk, bilik, dan
dapur.

1. Sado' (dalam bahasa Dayak Simpangk) adalah pelantaran tingkat bawah yang biasanya
merupakan jalur lalu lalang penghuni rumah Betang. Sado' juga biasanya digunakan sebagai
tempat untuk melakukan aktivitas umum seperti menganyam, menumbuk padi, berdiskusi adat
secara massal, dan lain sebagainya.

2. Padongk dapat diterjemahkan sebagai ruang keluarga, letaknya lebih dalam dan lebih tinggi
dari pada sado'. Ruangan ini biasanya tidak luas, mungkin berkisar antara 4x6m saja. Padongk
lebih umum dimanfaatkan oleh pemilik Rumah Betang sebagai ruang kumpul keluarga, ngobrol,
makan minum, menerima tamu dan aktivitas yang lebih personal.

3. Bilik adalah ruang tidur. Bilik tentu saja digunakan untuk tidur. zaman dahulu, satu bilik bisa
dipakai oleh 3-5 anggota keluarga. mereka tidur dalam satu ruangan dan hanya dibatasi oleh
kelambu. Kelambu utama untuk ayah dan ibu, kelambu kedua dan ketiga untuk anak-anak. tentu
kelambu anak laki-laki dan perempuan akan dipisahkan.

4. Ruang yang terakhir didalam Rumah Betang adalah Dapur. Ruang ini terbuka dan memiliki
view yang langsung berhadapan dengan ruang padongk. Umumnya dapur hanya berukuran 1x2m
dan hanya untuk menempatkan tungku perapian untuk memasak. Di atas perapian biasanya ada
tempara untuk menyimpan persediaan kayu bakar. Dapur di rumah Betang amat sederhana dan
hanya berfungsi untuk kegiatan masak memasak saja.

Ukiran rumah adat suku daya


Warga Dayak belajar berbagai seni ukir dan patung. Masyarakat Dayak memiliki
kekayaan seni ukir yang dekat dengan alam, seperti tumbuhan dan satwa, serta berbagai
simbol kepercayaan mereka. Itu terlihat mulai dari arsitek bangunan rumah, peralatan
rumah tangga, sampai perangkat kesenian.

3. RUMAH LAMIN

Rumah Lamin adalah rumah adat dari Kalimantan Timur.[1] Rumah Lamin adalah
identitas masyarakat Dayak di Kalimantan Timur.[1] Rumah Lamin mempunyai panjang
sekitar 300 meter, lebar 15 meter, dan tinggi kurang lebih 3 meter.[1] Rumah Lamin juga
dikenal sebagai rumah panggung yang panjang dari sambung menyambung.[2] Rumah ini
dapat ditinggal oleh beberapa keluarga karena ukuran rumah yang cukup besar.[1] Salah
satu rumah Lamin yang berada di Kalimantan Timur bahkan dihuni oleh 12 sampai 30
keluarga.[3] Rumah Lamin dapat menampung kurang lebih 100 orang.[2] Pada tahun 1967,
rumah Lamin diresmikan oleh pemerintah Indonesia.[1]

Rumah Lamin berbentuk persegi panjang dan memiliki atap yang berbentuk seperti
pelana.[4] Rumah ini mempunyai tinggi kurang lebih 3 meter dari tanah.[4] Rumah Lamin
memiliki lebar kurang lebih 15-25 meter dan panjang 200-300 meter.[4] Rumah Lamin
dibangun dengan beberapa tiang penyangga untuk menopang rumah.[4] Tiang-tiang
penyangga rumah Lamin dibagi atas dua bagian.[4] Tiang penyangga inti adalah tiang
yang menyangga atap rumah Lamin.[4] Tiang penyangga lainnya adalah tiang yang
menopang lantai-lantai rumah lamin.[4] Tiang-tiang ini berbentuk seperti tabung.[4] Pintu
masuk rumah Lamin dihubungkan dengan beberapa tangga sebagai jalan masuk ke dalam
rumah.[4] Pada halaman depan rumah Lamin terdapat patung-patung atau totem yang
dibuat dari kayu.[4] Pada bagian tengah rumah ada sebuah tiang besar yang dibuat dari
kayu yang berfungsi untuk mengikat ternak atau hewan peliharaan.[4] Bagian ujung atap
rumah Lamin dihiasi dengan kepala Naga yang terbuat dari kayu.[5]

Nilai filosofis lainnya adalah ukuran bangunan yang besar, yang menunjukkan masyarakat
Dayak sebagai masyarakat yang hidup secara bersamaan dan dalam gotong-royong.

Melihat karakter Rumah Lamin yang memiliki ukuran yang sangat besar dan lebar tersebut, tentu
membuat anda penasaran untuk mengetahuinya lebih dalam.

KARAKTERISTIK

Rumah Lamin merupakan jenis rumah adat yang memiliki gambaran luar berupa rumah yang
dibuat seperti panggung. Lantai Rumah Lamin berada di atas tiang penyangga yang berbentuk
silindris atau tabung dengan jumlah yang banyak dan tersebar pada bagian bawah bangunan.

Ukuran rumah ini adalah 300 m x 15 m x 3 m dan dapat menampung jumlah orang yang sangat
besar, yakni hingga 100 orang. Secara keseluruhan, Rumah Lamin terbuat dari kayu ulin yang
merupakan kayu khas Pulau Kalimantan yang terkenal sangat kuat dan tahan lapuk.

Kayu ulin ini jika terkena air, maka akan menjadi lebih kuat hingga seperti besi. Rumah Lamin
juga memiliki tangga yang mengantarkan pengunjung ke lantai rumah. Selain beberapa tiang
yang menyangga lantai rumah, juga terdapat tiang yang menyangga atap rumah dengan bahan
pembuatan yang sama.
CIRI KHAS

1. Terdapat Ukiran

Ciri khas yang pertama dan menonjol dari Rumah adat Kalimantan Timur ini adalah ukiran-
ukiran etnik indah berupa gambar yang bermakna. Gambar-gambar yang diukir biasanya
memiliki motif makhluk hidup

Seperti tampilan wajah manusia, tumbuhan, hewan, dll. Menurut kepercayaan setempat, ukiran-
ukiran yang dibuat tersebut dapat menjaga keluarga yang menempatinya dari bahaya ilmu hitam
yang sewaktu-waktu menyerang.

2. Bahan Konstruksi

Bahan-bahan konstruksi yang digunakan adalah kayu ulin, yang hanya bisa didapatkan di hutan
Kalimantan. Kayu ulin merupakan kayu yang terbaik dan bersifat sangat kuat, serta tidak mudah
lapuk.

Kemudian bila terkena air, justru kayu ini bertambah keras dan kuat selayaknya besi. Oleh
karena itu, banyak orang yang menjulukinya dengan kayu besi, yang mana dapat dengan efektif
digunakan untuk penyangga lantai dan dinding.

3. Warna Yang Khas

Rumah Lamin memiliki ciri khas berupa warna-warna yang didesain kontras dan mampu
menghiasi dasar dindingnya. Kuning, merah, hitam, biru, dan putih adalah warna-warna yang
utama yang sering selalu digunakan dalam arsitektur Rumah Lanin ini.
Dalam makna filosofis, merah adalah simbol keberanian, kuning adalah simbol kewibawaan,
putih adalah simbol kebersihan jiwa, dan hitam adalah simbol keteduhan.

4. Pembagian Ruangan

Ruangan dalam Rumah Lanin ini dibagi menjadi 3 ruangan, yakni ruang tamu, ruang tidur, dan
dapur. Wujud dari ruang tamu adalah ruang yang kosong dan panjang yang digunakan sebagai
tempat menerima tamu atau ruang pertemuan adat.

Ruang tidur yang dimiliki dipisahkan berdasarkan jenis kelaminnya, yakni laki-laki dan
perempuan. Terdapat juga ruangan tidur yang khusus bagi pasangan yang telah resmi menikah.

5. Tangga Dan Kolong Rumah

Tangga dalam Rumah Lanin difungsikan untuk mengantar tamu/pengunjung ke lantai rumah.
Karena bentuknya adalah panggung, maka sangat diperlukan penggunaan tangga untuk
menghubungkannya dengan dasar tanah. Tangga pun juga dibuat dari kayu ulin, sehingga tidak
mudah lapuk atau dimakan rayap

Sedangkan kolong rumah merupakan ruangan terbuka di bawah rumah yang dihimpit oleh tiang-
tiang penyangga yang tersebar di sepanjang bagian bawah lantai rumah. Kolong rumah biasa
digunakan sebagai kandang sapi, kambing, atau kuda. Kolong rumah ini juga sering digunakan
sebagai lumbung padi.

6. Aksesoris Rumah

Setiap rumah memiliki aksesoris rumah, demikian Rumah Lamin. Aksesoris rumah yang dimiliki
pada umumnya adalah ornamen-ornamen tertentu serta kerajinan-kerajinan yang terbuat dari
kayu.

Aksesoris lain yang dimiliki dapat berupa bahan-bahan yang terbuat dari logam, seperti guci
emas, senjata, dll. Bagi masyarakat Dayak kuno, mereka menambahkan patung-patung dewa
yang mereka yakini sebagai penjaga rumah dari malapetaka.
C. RUMAH TRADISIONAL SUKU BADUY

Biasanya, rumah adat baduy adalah rumah panggung yang hampir seleruh bagian rumah
menggunakan bahan dari bambu. Rumah adat baduy sudah terkenal dengan kesederhanaannya
dan juga keamanaan serta kenyamanan. Semua ini dibangun dengan untuk bisa bertahan hidup
sebagai insting dari manusia.

Karena kekeluargaan di suku baduy sangat kental, proses pembangunan rumah adat suku baduy
selalu dilakukan dengan cara gotong royong. Karena lokasi desa suku baduy berada di bawah
kaki gunung, bangunan rumah adat baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung dan mengikuti
tinggi rendahnya tanah

STRUKTUR

Jika dilihat dari struktur bangunan rumah adat baduy, rumah adat baduy secara keseluruhan
terbuat dari bahan material yang ada di alam. Selain yang sudah disebutkan di atas, bahwa
bambu menjadi bahan utama masih ada bahan-bahan lain, seperti batu, kayu dan ijuk.

Pada bagian tanah yang miring dan tidak rata pada permukaannya, bangunan akan disangga
menggunakan tumpukan-tumpukan batu. Batu yang digunakan biasanya batu kali, batu ini juga
mempunyai fungsi selain menjadi penyangga, yaitu sebagai pencegah agar tanah tidak longsor.
Batu yang digunakan sebagai bahan pondasi adalah batu yang datar dan memiliki ukuran yang
besar. Batu ini juga digunakan untuk mencegah tiang rumah adat baduy cepat lapuk.

Tiang tumah adat baduy berasal dari balok kayu berukuran besar. Jenis kayu yang digunakan
harus kayu yang kuat dan tahan lama, seperti kayu jati, mahoni, akasia atau kayu ulin. Kayu
yang kuat sangat penting untuk ketahanan rumah adat, karena tiang adalah tempat
menopangnya rangka atap dan juga rangka lantai

Bagian dinding rumah adat baduy biasanya menggunakan anyaman bambu yang sering juga
disebut bilik. Pemakaian bilik sebagai dinding memberikan kesejukan untuk penghuni rumah,
karena sirkulasi udara bisa keluar masuk melewati celah anyaman.
Karena sirkulasi udara sudah cukup lancar melewati celah dinding yang dari bilik, jadi beberapa
rumah baduy tidak dipasangi jendela. Sedangkan untuk bagian lantai rumah adat baduy terbuat
dari susunan papan kayu atau bambu yang telah dibaut menjadi datar atau palupuh.

Bagian rumah adat baduy menggunakan bilah bambu dan ijuk sebagai bahan utama. Bilah
bambu digunakan untuk kerangka atap rumah, sedangkan ijuk digunakan sebagai atapnya. Jika
tidak ada ijuk, masyarakat baduy menggunakan daun alang-alang yang telah dianyam sebagai
pengganti.

PEMBAGIAN RUANG

Ruangan yang kedua biasanya ada dibagian tengah rumah, ruangan ini biasa disebut masyarakat
sekitar dengan nama tepas. Ruangan ini mempunyai fungsi sebagai tempat pertemuan keluarga,
bersantai dan tidur dimalam hari.

Ruangan yang terakhir adalah ruang belakang atau ruang ipah. Ruangan ini memiliki fungsi
untuk menyimpan persediaan makanan dan tempat memasak. Untuk membuat tungku sebagai
kompor masak, biasanya lantai dapur ditimbunin tanah. Cara ini berguna agar api tidak
merambat kelantai kayu atau bambu.

Anda mungkin juga menyukai