Anda di halaman 1dari 35

SEJARAH ARSITEKTUR TIMUR

ARSITEKTUR TRADISIONAL
TORAJA,PAPUA,SUKU DAYAK DAN SUKU
BADUI

DISUSUN OLEH
NAMA : SONIA OSIN
NIM : 142018013
DOSEN : RENY KARTIKA SARY, ST.MT

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
ARSITEKTUR TRADISIONAL TORAJA

Tana Toraja terletak di Provinsi Sulawesi Selatan, Kepulauan Sulawesi. Sebuah pulau yang terletak
diantara Pulau Kalimantan dan Pulau Maluku dan sekitarnya. Toraja termasuk tempat pariwisata yang
banyak di kunjungi oleh para wisatawan baik wisatawan asing maupun wisatawan mancanegara.
Pemandangan alam yang ada di Tana Toraja sangat indah dan sejuk. Bukit, Gunung, Sawah, Sungai
dan Rumah adatnya yang masih dilestarikan membuat kota Tana Toraja menjadi kota pariwisata.
Tana Toraja beriklim Tropis. Namun, perubahan iklim dunia dan pengaruh pemanasan global sedikit
mempengaruhi pola iklim di Tana Toraja dalam satu dekade terakhir, namun pola dan masa tanam
padi yang hampir seluruhnya mengandalkan air hujan tetap belum berubah. Curah hujan tertinggi
biasanya terjadi pada Desember hingga Januari.
Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku pendatang. Menurut
kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang teguh, suku Toraja berasal dari
khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan. Kemudian secara bertahap dengan menggunakan
perahu mereka datang ke Sulawesi bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau
Tempe dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang makin lama
berkembang menjadi perkampungan Bugis. Di antara orang-orang yang mendiami perkampungan ini
ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan pergi ke Utara lalu menetap di gunung Kandora,
dan di daerah Enrekang. Orang inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja.
Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu dulu adalah sistim federasi. Daerah Toraja dibagi
menjadi 5(lima) daerah yang terdiri atas :
1. Makale
2. Sangala
3. Rantepao
4. Mengkendek
5. Toraja Barat
Kepercayaan

Di Tana Toraja dikenal pembagian kasta seperti yang terdapat didalam agama Hindu-Bali.
Maka mungkin karena itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja yaitu Agama Alukta ditetapkan
pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu Bali. Namun, seiring pergantian waktu dan
sejak islam dan agama lainnya masuk ke Indonesia, maka masyarakat toraja sekarang mayoritas
beragama Kristen Protestan dan sebagian kecil bergama islam. Kasta atau kelas ini dibagi menjadi 4
(empat) :
1. Kasta Tana' Bulaan
2. Kasta Tana' Bassil
3. Kasta Tana’Karurung
4. Kasta Tana’ Kua-kua
Toraja sangat dikenal dengan upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara dikenal 2 (dua)
macam pembagian yaitu:
1. Upacara kedukaan disebut Rambu Solok. Upacara ini meliputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu :
1) Rapasan
2) Barata Kendek
3) Todi Balang
4) Todi Rondon.
5) Todi Sangoloi
6) Di Silli
7) Todi Tanaan.
2. Upacara kegembiraan disebut Rambu Tuka. Upacara ini juga meliputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu :
1) Tananan Bua’
2) Tokonan Tedong
3) Batemanurun
4) Surasan Tallang
5) Remesan Para
6) Tangkean Suru
7) Kapuran Pangugan
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang
disebut aluk, atau “jalan” (kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur orang
Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja
sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi
menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di
dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat
pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk
pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Ongon-Ongon
(dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan
lainnya.

Kebudayaan Masyarakat Toraja

 Tongkonan
Tongkonan diambil dari kata “Tongkon” yang
apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya
“menduduki” atau “ tempat duduk”. Pada awalnya
Rumah Tongkonan ini hanya dijadikan sebagai
tempat untuk berkumpulnya para bangsawan-
bangsawan Tana Toraja. Hingga akhirnya dapat
berkembang menjadi rumah adat Toraja yang diberi
nama Rumah Tongkonan. Tongkonan adalah rumah
tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu yang dihiasi dengan ukiran berwarna merah,
hitam, dan kuning. Tongkonan merupaan pusatkehidupan social suku Toraja. Ritual yang berhubungan
dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua
anggota keluarga diharuskan ikut serta karena tongkonan melambangkan hubungn mereka dengan
leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Torja, tongkonan pertama kali dibangun di surga dengan empat
tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara
yang besar.
 Ukiran Kayu

Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki system tulisan. Untuk mewujudkan konsep
keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutkannya Pa’ssura (atau
“tulisan”). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja. Setiap ukiran memiliki
nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan,
contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang
melambangkan kesuburan.
 Upacara Pemakaman

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman


merupakan ritual yang paling penting dab berbiaya mahal.
Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya
pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama alik,
hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta
pemakamanyang besar. Pemakaman seorang bangsawan
biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama
beberapa hari.

 Musik dan Tarian


Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara. Kebanyakan dalam upacara penguburan.
Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati
arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.
 Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan sa’dan Toraja sebagai dialog
bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan
oleh masyarkat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Konsep Arsitektur Tradisional Toraja

Etnis Toraja mendiami dataran tinggi di kawasan utara Sulawesi Selatan. Pada umumnya, wilayah
permukiman masyarakat Toraja terletak di pegunungan dengan ketinggian 600 hingga 2800m di atas
permukaan laut. Temperatur udara kawasan permukiman masyarakat Toraja berkisar pada 150 hingga
300ºC. Daerah ini tidak berpantai, budayanya unik, baik dalam tari-tarian, musik, bahasa, makanan,
dan kepercayaan Aluktodolo yang menjiwai kehidupan masyarakatnya. Keunikan itu terlihat juga pada
pola permukiman dan arsitektur tradisional rumah mereka, upacara pengantin serta ritual upacara
penguburannya.
Kondisi Tana Toraja yang berada di pegunungan dan berhawa dingin diduga mendasari ukuran pintu
dan jendela yang relatif kecil, serta lantai dan dindingnya dari kayu yang tebal. Ukuran atap rumah
tradisional Toraja yang terbuat dari susunan bambu sangat tebal. Wujud konstruksi ini sangat
diperlukan untuk menghangatkan temperatur udara interior rumah. Masyarakat Tradisional Tana Toraja
didalam membangun rumah tradisional mengacu pada kearifan budaya local Kosmologi mereka, yaitu
:
 Konsep ‘pusar’ atau ‘pusat rumah’ sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme.
 Dalam perspektif kosmologi, rumah bagi masyarakat Toraja merupakan mikrokosmos, bagian
dari lingkungan makrokosmos.
 Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi
ruang tengah rumah dimana atap menyatu dengan asap father sky.
 Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a’riri possi di Toraja, possi bola di
Bugis, pocci balla di Makassar dimana tiang menyatu dengan mother earth.
Selain itu konsep arsitektur tradisional toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya “simuane
tallang” atau filosofi “harmonisasi” dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara
pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi didapati dalam
konsep arsitektur “Tongkonan” yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen “tongkonan”
seperti : Rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, didalam satu sistem kehidupan dan
penghidupan orang toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap
terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional toraja, dimana rumah dianggap sebagai
“mikrokosmos”.

Struktur dan Arsitektur Rumah Secara Umum


Rumah tongkonan memiliki struktur panggung dengan tiang-tiang penyangga bulat yang
berjajar menyokong tegaknya bangunan. Tiang-tiang yang menopang lantai, dinding, dan rangka atap
tersebut tidak di tanam di dalam tanah, melainkan langsung ditumpangkan pada batu berukuran besar
yang dipahat hingga berbentuk persegi. Dinding dan lantai rumah adat tongkonan dibuat dari papan-
papan yang disusun sedemikian rupa. Papan-papan tersebut direkatkan tanpa paku, melainkan hanya
diikat atau ditumpangkan menggunakan sistem kunci. Kendati tanpa dipaku, papan pada dinding dan
lantai tetap kokoh kuat hingga puluhan tahun. Bagian atap menjadi bagian yang paling unik dari rumah
adat Sulawesi Selatan ini. Atap rumah tongkonan berbentuk seperti perahu terbaling lengkap dengan
buritannya. Ada juga yang menganggap bentuk atap ini seperti tanduk kerbau. Atap rumah tongkonan
sendiri dibuat dari bahan ijuk atau daun rumbia, meski pun kini penggunaan seng sebagai bahan atap
lebih sering ditemukan.
Tata letak rumah tongkonan berorientasi Utara dan Selatan, bagian depan rumah harus
berorientasi Utara atau arah Puang Matua Ulunna langi’ dan bagian belakang Rumah ke Selatan atau
arah tempat roh-roh Pollo’na Langi’. Sedangkan, kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti
kehidupan dan pemeliharaan, pada arah Timur dimana para Dea Dewata memelihara dunia beserta
isinya ciptaan Puang Mutua untuk memberi kehidupan bagi manusia, dan arah Barat adalah tempat
bersemayam To Membali Puang atau tempat para leluhur Todolo. Atau selalu ada keseimbangan
hidup di dunia dan akhirat. Keseluruhan diterjemahkan menjadi satu kata sederhana. yaitu
“keseimbangan”. Secara arsitektural sendiri, “keseimbangan” selalu diaplikasikan ke dalam bentuk
“simetris” pada bangunan. Jadi, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa prinsip dasar Arsitektur
Tradisional Toraja adalah simetris, keterikatan dan berorientasi.
Ada empat tahap proses panjang perkembangan rumah adat Toraja sebelum akhirnya
terbentuk menjadi tongkonan, yaitu:
1. Banua Pandoko Dena
Rumah bentuk burung pipit yang masih sangat sederhana, merupakan rumah yang terdapat di
pohon, terbuat dari ranting kayu yang diletakkan di atas dahan dengan dinding dan atap yang terbuat
dari rumput berbentuk bundar seperti sarang burung pipit. Rumah ini berfungsi sebagai perlindungan
dari cuaca panas/hujan dan gangguan hewan buas.

2. Banua Lentong A’pa


Rumah ini menggunakan 4 tiang dengan atap dan dinding yang masih menggunakan
dedaunan. Saat ini Banua Lentong A’pa dimanfaatkan sebagai pondok kecil untuk kandang ternak.
3. Banua Tamben
Banua Tamben merupakan rumah yang terbuat dari kayu dengan bentuk atap yang
menyerupai perahu pada kedua ujungnya dan menjulang ke atas.
4. Banua Toto atau Banua Sanda ‘Ariri
Bentuk rumah Banua Toto adalah persegi panjang dengan tiang yang jumlahnya lebih banyak
dan teratur, bertingkat dua, dan dihiasi dengan ukiran.
 Jenis Tongkonan
Beberapa jenis Tongkonan yang dikenal masyarakat Tana Toraja disesuaikan dengan peranan
penguasanya, yaitu tongkonan layuk, Tongkonan pekaindoran, dan tongkonan batu a’riri. Bentuk ketiga
tongkonan ini serupa, hanya saja terdapat perbedaan pada tiang. Tongkonan layuk dan tongkonan
pekaindoran memiliki tiang tengah yang disebut a’riri posi di samping hiasan berbentuk kepala kerbau
(kabogo) dan kepala ayam (katik).
1. Tongkonan Layuk (maha tinggi/agung)
Merupakan Tongkonan yang pertama kali menjadi pusat perintah dan kekuasaan
dengan peraturan Tana Toraja dahulu kala.
2. Tongkonan Pekaindoran (Tongkonan Kaparengngesan)
Tongkonan yang didirikan penguasa masing-masing daerah untuk mengatur
pemerintahan adat berdasarkan aturan tongkonan aluk.
3. Tongkonan Batu A’riri
Tongkonan yang berfungsi sebagai tali ikatan dalam membina persatuan dan warisan
keluarga.

 Tata Ruang
Tata ruang rumah Toraja secara tradisional dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu:
1. Banua sang borong/sang lanta
Sebuah ruangan yang berfungsi untuk berbagai macam kebutuhan,
2. Banua Duang Lanta
Rumah dengan dua ruang, yaitu satu ruang tidur disebut sumbung dan ruang sali
untuk ruang kerja, dapur dan tempat meletakkan jenazah sementara.
3. Banua Patang Lanta
Rumah dengan 4 ruang, terdiri dari dua jenis yaitu:

1) Banua Di Lalang Tedong terdiri dari ‘sali iring’ (ruang dapur, ruang kerja, tempat tidur abdi
adat, dan tempat menerima tamu).
2) Sali Tangga terdiri dari tempat kerja, ruang tidur keluarga dan tempat jenazah yang akan
diupacarakan.
3) Sumbung (ruang tidur pemangku adat)
4) Inan Kabusung (ruang tertutup yang dibuka kalau ada upacara).
4. Banua Di Salombe
terdiri dari:
1) Palanta/tangdo (ruang pemuka adat dan tempat upacara penyembahan)
2) Sali Tangga (tempat bekerja dan tempat jenazah sementara),
3) Sumbung (ruang tidur pemuka adat).

5. Banua Limang Lanta


Rumah yang terdiri atas lima ruang, yaitu :
1) palata (ruang duduk dan tempat saji-sajian),
2) sali iring (dapur, tempat makan dan tempat tidur adat),
3) paluang (tempat bekerja dan meletakkan jenazah),
4) anginan (ruang tidur), dan
5) sumbung kabusungan (ruang tempat menyimpan pusaka adat).

 Denah
5. Tandok
Tandok terletak di bagian depan rumah tongkonan. Tandok
digunakan sebagai tempat ruang tidur keluarga.

6. Sali’
Sali’ terletak di bagian tengah rumah Tongkonan. Sali’
digunakan sebagai tempat untuk berkumpul dengan keluarga juga
digunakan sebagai dapur dan tempat untuk membuat kerajinan
tangan.

7. Sumbu
Sumbu terletak di bagian belakang rumah Tongkonan.
Biasanya Sumbu digunakan sebagai tempat barang atau sebagai
kamar untuk orang tidur (mayat). Dalam tradisi orang toraja, jika
Orang tidur (mayat) yang telah disimpan dibagian sumbu biasanya
sudah mau di upacarakan.

4. Pemanfaatan Kolong Rumah Tongkonan


Dulunya, kolong Rumah Tongkonan biasa digunakan sebagai kandang kerbau bagi pemilik
rumah. Bentuk Rumah adat Toraja yang menyerupai rumah panggung dimodifikasi untuk dapat
ditarik sehingga dapat digunakan sebagai pagar untuk dinding kandang kolong pada Rumah
Tongkonan.

 Pondasi
Pada umumnya sistem struktur yang dipakai untuk
bangunan Tongkonan adalah sistem konstruksi pasak (knock
down). Yaitu teknik konstruksi yang menggunakan sistem
sambungan tanpa paku dan alat penyambung selain kayu. Bahan
pondasi sendiri terbuat dari batu gunung
 Kolom/Tiang A’riri
Terbuat dari kayu uru,bentuk kolom persegi empat.
Selain itu, digunakan juga kayu nibung agar tikus tidak dapat
naik ke atas, karena serat dari kayu ini sangat keras dan sapat
sehingga terlihat licin. Kolom disisi barat dan timur jaraknya rapat
dan berjumlah banyak, agar kuat menampung orang-orang yang
datang saat upacara kematian.

 Balok
Seperti sloof, yaitu sebagai pengikat antara kolom-
kolom sehingga tidak terjadi pergeseran tiang dengan
pondasi. Hubungan balok dengan kolom disambung dengan
pasak yang terbuat dari kayu uru.

 Lantai
Terbuat dari bahan papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai. Disusun
pada arah memanjang sejajar balok utama. Sedangkan untuk alang terbuat dari kayu banga.

 Dinding
Dinding disusun satu sama lain dengan sambungan
pada sisi-sisi papan dengan pengikat utama yang dinamakan
Sambo Rinding. Fungsinya sebagai rangka dinding yang
memikul beban. Pada dinding dalam , tidak terdapat
ornamen-ornamen, hanya dibuat pada bagian luar bangunan.

 Tangga
Tangga Rumah Tongkonan terletak dibagian samping rumah, menuju pada
pintu masuk atau terletak di bagian tengah rumah menuju langsung ruang
tengah atau Sali. Tangga menggunakan kayu uru, yaitu sejenis kayu lokal
yang berasal dari Sulawesi.
 Pintu:
Pintu rumah Tongkonan nampak dihiasi dengan beberapa motif
ukiran. Salah satu motif pada gambar pintu rumah tersebut adalah motif Pa’
Tedong. Ukiran yang melambangkan kemakmuran. Sebagai pegangan, di
pintu ditempatkan ekor kerbau yang dipotong hingga pangkal ekor dan telah
dikeringkan. Memasuki rumah adat ini mempunyai cara tertentu yaitu pintu
masuk harus diketuk dengan membenturkan kepala perlahan lahan.

 Jendela
Jendela pada rumah Tongkonan umumnya terdapat 8 buah. Masing-masing di setiap
arah mata angin terdapat 2 jendela. Fungsinya adalah sebagai tempat masuknya aliran angin
dan cahaya matahari dari berbagai arah mata angin.

 Atap
Atapnya melengkung menyerupai perahu (merupakan
pengaruh budaya Cina) terdiri atas susunan bambu (saat ini
sebagian tongkonan menggunakan atap seng) dan diatasnya
dilapisi ijuk hitam. Terbuat dari bambu pilihan yang disusun
tumpang tindih dengan dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat
oleh rotan/tali bambu.

Simbol Dinding Dan Status Sosial Masyarakat Toraja

Rumah adat Toraja Tongkonan selain berfungsi sebagai tempat berlindung juga
menggambarkan status sosial masyarakat Toraja. Anda akan menjumpai banyak kepala kerbau
beserta tanduknya yang dipajang pada tiang utama di setiap Rumah Tongkonan.
Semakin banyak tanduk kerbau yang dipasang pada tiang utama Rumah Tongkonan tersebut
akan menggambarkan semakin tinggi status sosial keluarga tersebut di kehidupan masyarakat
setempat.

Makna Warna Rumah Tongkonan


Sebuah rumah pastinya tidak lengkap jika tidak dihiasi dengan warna-warna cantik pada dindingnya.
Namun berbeda dengan rumah modern yang Anda huni saat ini, Rumah adat Toraja Tokonan ini
memiliki arti dalam setiap warna yang terlukis manis pada setiap dindingnya. Rumah adat Tongkonan
ini memiliki empat dasar warna penghias rumah yang masing-masing warna memiliki makna tersendiri.
 Warna Merah. Pertama warna merah yang melambangkan darah yang artinya kehidupan
manusia.
 Warna Kuning. Untuk warna kuning melambangkan anugerah dan kekuasaan dari Tuhan.
 Warna Putih. Sedangkan warna putih menggambarkan warna daging dan juga tulang yang
artinya suci bersih.
Warna Hitam. Warna terakhir warna hitam melambangkan kematian dan kegelapan
ARSITEKTUR TRADISIONAL PAPUA

KARIWARI PAPUA

Bentuk Arsitektur tradisional Papua umumnya, masih pada taraf dimana manusia/penduduk
benar-benar memanfaatkan segala sesuatu yang disiapkan oleh alam.

Sehingga konsep ini memang( adochis ) kesederahanaan arsitektur menjadi sesuatu yang
sangat mendasar, karena segala sesuatu yang digunakan memang terinspirasi dari alam
serta disediakan oleh alam dan merupakan nilai originil yang tetap terjaga. Dipapua setiap
suku memiliki ragam/khasanah budaya arsitektur yang bebeda sesuai dengan situasi dan
kondisinya, akibatnya lahir karya-karya arsitektur yang sangat luar biasa dengan lagam yang
berbeda.
Contoh : suku yang tinggal di pegunungan mempunyai solusi untuk mengatasi
permasalahan berdasarkan kondisi dan lingkungannya, demikian juga dengan suku yang
tinggal di daerah pantai. Perbedaan yang sangat mendasar ini membuat sehingga timubul
khasanah arsitektur tradisional berdasarkan kondisi dan lingkungan.

Ulasan :

Bentuk
Bentuk bangunan dalam arsitektur tradisional papua berorientasi pada bentuk –bentuk yang
dinamis, selain itu konsep animisme dan dinamisme masih merupakan referensi/aturan yang
kuat dalam masyarakat, sehingga melahirkan lagam arsitektur yang beraneka ragam ;
Bentuk Arsitektur Tradisional lebih berorientasi kepada.
1. bentuk kotak
2. segi enam bertingkat 3 ( kariwari )
3. Lingkaran ( Pada Honai Suku Dani )

Struktur
Dari segi struktur maka bangunan, arsitektur tradisional papua masih menggunakan bahan
yang di sediakan oleh alam seperti dinding dari kulit kayu, tiang rumah dari kayu, atap dari
daun kelapa/alang-alang. Lantai dari kulit sagu/bambu. Ataupun menyentuh langsung ke
tanah ( Umumnya dipegunungan/dipantai ).

Hal ini memperliatkan kesederhanaan arsitektur pada eksistensinya. Seiring dengan


kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka bangunan yang ada dipapua. Baik rumah
pribadi, sekolah, kantor istansi pemerintah/swasta, hotel, dll tak jarang notasi arsitektur
tradisional budaya telah membaur menjadi satu, membentuk alkuturasi arsitektur. Sehingga
konsep dasar arsitektur tradisional menjadi kerkikis. Namun adat istiadat, menjadi sesuatu
yang paten dan tidak dapat diubah hal ini dikarenakan proses yang membentunya telah
berlangsung dalam kurun waktu yang lama sehingga, menjadi suatu kebiasaan yang
berpola.

Rumah Adat Papua


Neraca. Di daerah Wamena, Papua, ada gaya arsitektur tradisional yang begitu terkenal,
yakni honai. Rumah khas masyara-kat Papua itu berbentuk lingkaran, terbuat dari kayu dan
beratap jerami atau ilalang. Satu keluarga bisa memiliki beberapa honai yang berkumpul
menjadi satu dan dibatasi pagar kayu di sekelilingnya. Tiap-tiap rumah dihuni satu pria
beserta para istri dan anak-anak mereka.Rumah tradisional itu memiliki pintu yang kecil
serta rendah dan tidak memiliki jendela sebagai saluran ventilasi udara. Konstruksi demikian
dibuat dengan tujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Struktur rumah
tradisional tersebut tersusun atas dua lantai. Lantai dasar sebagai tempat tidur dan lantai
kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun
dua lantai, tinggi rumah mencapai sekitar 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah disiapkan
tempat membuat api unggun untuk menghangatkan diri sekaligus sebagai tempat untuk
memasak.Gaya arsitektur honai memang memiliki banyak kekhasan sebagai wujud cara
arsitek terdahulu dalam memandang, memahami, dan mewujudkannya dengan
mengandalkan bahan yang sederhana dan sangat natural. Eksplorasi materialnya pun
dibuat sedemikian efektif dan ekonomis, tanpa mengurangi kualitas dan nilai fungsional
bangunan.lik,i masuk ke dalam honai ini, kegelapan diiringi rasa hangat langsung
menyergap. Pasalnya, di dalam ruang tidak terdapat satu pun jendela, yang ada hanya satu
pintu.Pada malam hari, penghuni rumah menggunakan kayu bakar untuk penerangan dan
menghangatkan tubuh. Biasanya, sebagai alas tidur penduduk Wamena menggunakan
rerumputan kering yang diganti secara berkala.Honai adalah rumah suku-suku pegunungan
tengah Papua seperti suku Dani di lembah Baliem atau Wamena, suku Lani, Yali di
pegunungan Toli dan suku-suku lainnya. Rumah Honai mempunyai fungsi antara
lain:1.Sebagai tempat tingga 2.Tempat menyimpan alat-alat perang 3.Tempat mendidik dan
menasehati anak-anak lelaki agar bisa menjadi orang berguna di masa depan 4.Tempat
untuk merencanakan atau mengatur strategi perang agar dapat berhasil dalam pertempuran
atau perang 5.Tempat menyimpan alat-alat atau simbol dari adat orang Dani yang sudah
ditekuni sejak dulu
Filosofi bangunan Honai, melingkar atau bulat artinya :
1.Dengan kesatuan dan persatuan yang paling tinggi kita mempertahankan budaya yang
telah dipertahankan oleh nenek moyang kita dari dulu hingga saat ini.
2.Dengan tinggal dalam satu honai maka kita sehati, sepikir dan satu tujuan dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan.
3. Honai merupakan symbol dari kepribadian dan merupakan martabat orang Dani yang
harus dijaga oleh keturunan Dani di masa yang akan datang.
BENTUK
Bentuk Honai yang bulat tersebut dirancang untuk menghindari cuaca dingin ataupun
karena tiupan angin yang kencang.
ATAP
Honai memiliki bentuk atap bulat kerucut. Bentuk atap ini berfungsi untuk melindungi seluruh
permukaan agar tidak mengenai dinding ketika hujan turun. Atap honai terbuat dari susunan
lingkaran-lingkaran besar yang terbuat dari kayu buah sedang, kemudian dibakar di tanah
dan diikat menjadi satu di bagian atas sehingga membentuk dome. Empat pohon muda juga
diikat di tingkat paling atas dan vertikal membentuk persegi kecil untuk perapian.
Penutup atap terbuat dari jerami yang diikat di luar dome. Lapisan jerami yang tebal
membentuk atap dome, bertujuan menghangatan ruangan di malam hari. Jerami cocok
digunakan untuk daerah yang beriklim dingin. Hal ini dikarenakan jerami ringan dan lentur
memudahkan suku Dani membuat atap, serta jerami mampu menyerap goncangan gempa.
Jerami cocok digunakan untuk daerah yang beriklim dingin. Ini juga dikarenakan jerami
ringan dan lentur, memudahkan suku Dani membuat atap serta jerami mampu menyerap
goncangan gempa.
DINDING DAN BUKAAN
Honai mempunyai pintu kecil dan jendela-jendela yang kecil, jendela-jendela ini berfungsi
memancarkan sinar ke dalam ruangan tertutup itu, dan ada pula Honai yang tidak memiliki
jendela, pada umumnya untuk perempuan. Jika Anda masuk ke dalam honai ini, maka di
dalam cukup hangat dan gelap karena tidak terdapat jendela dan hanya ada satu pintu.
Pintunya begitu pendek sehingga harus menunduk jika akan masuk ke rumah Honai.
Dimalam hari menggunakan penerangan kayu bakar di dalam Honai dengan cara menggali
tanah didalamnya sebagai tungku, selain menerangi bara api juga bermanfaat untuk
menghangatkan tubuh. Jika tidur mereka tidak menggunakan dipan atau kasur, mereka
beralas rerumputan kering yang dibawa dari kebun atau ladang. Umumnya mereka
mengganti jika sudah terlalu lama karena banyak terdapat kutu babi.
KETINGGIAN BANGUNAN
Rumah Honai mempunyai tinggi 2,5 - 5 meter dengan diameter 4-6 meter. Honai ditinggali
oleh 5-10 orang dan rumah ini biasanya dibagi menjadi 3 bangunan terpisah. Satu
bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur). Bangunan kedua untuk tempat makan
bersama, dimana biasanya mereka makan beramai-ramai dan bangunan ketiga untuk
kandang ternak. Rumah honai juga biasanya terbagi menjadi 2 tingkat. Lantai dasar dan
lantai satu di hubungkan dengan tangga yang terbuat dari bambu. Biasanya pria tidur
melingkar di lantai dasar, dengan kepala di tengah dan kaki di pinggir luarnya, demikian juga
cara tidur para wanita di lantai satu.
ARSITEKTUR TRADISIONAL RUMAH HONAI SUKU DANI PAPUA
A. Pendahuluan
Secara umum, arsitektur tradisional suku-suku yang terdapat di papua terbagi menjadi
beberapa tipe bentuk hunian, yaitu:
1. Bentuk kotak
2. Segi enam bertingkat 3 ( kariwari )
3. Lingkaran ( pada honai suku Dani )
Ketiga bentuk hunian tersebut merupakan adaptasi masing-masing suku terhadap kondisi
geografis daerah tempat mereka berhuni.Pada makalah ini, kami hanya akan membahas
tentang arsitektur tradisional suku Dani yang bertempat tinggal di lembah Baliem, Wamena,
yang merupaka wilayah pegunungan dan perbukitan. Lembah Baliem ini memiliki ketinggian
sekitar 2500 dari permukaan laut.Suku Dani merupakan suku yang hidup secara
berkelompok dalam satu kesatuan kelompok teritorial.cara hidup suku dani adalah dengan
cara bercocok tanam dan berpindah tempat.

B. Pola Permukiman Suku Dani


Kompleks permukiman terkecil dari suku Dani adalah Silimo. Satu kompleks silimo terdiri
dari beberapa massa bangunan dengan fungsi-fungsi khusus, dan satu silimo dihuni oleh
satu keluarga luas terbatas
(extended family).
Kemudian beberapa silimo akan membentuk suatu perkampungan yang memiliki batas
teritori wilayah berupa bentukan bentang alam, seperti gunung, bukit,lembah, atau sungai.
Pola permukiman dalam satu perkampungan ini terpencar- pencar dan tidak mengikuti suatu
pola khusus. Biasanya untuk mendirikan suatu silimo, mereka memilih suatu daerah yang
tinggi dan tidak terlalu jauh dengan sungai. Pemilihan lokasi yang tinggi ini merupakan salah
satu cara masyarakat Dani untuk menghindari bahaya banjir, air tergenang, serbuan
binatang buas, serta sergapan suku-suku lain.
Pada suatu silimo, konsep yang dipakai adalah sebagai berikut: Konsep berhuni masyarakat
Dani membagi unit-unit massa huniannya sesuai dengan fungsi dan makna masing-masing.
Pada satu silimo, terdiri dari unit-unit massa bangunan sebagai berikut:

1.Honai tempat tinggal laki-laki2


Gambar 1. Konsep berhuni suku DaniSumber: Agustinus, 1997

2.Pilamo (rumah adat)


3.Honai tempat tinggal perempuan (ebeai)
4.Hunila (dapur)
5. Wamdabu (kandang babi) Konsep penataan massa pada silimo yaitu berbentuk huruf U
atau berbentuk melingkar, dengan dikelilingi oleh pagar dari kayu sebagai penanda teritori
dan pengaman dari gangguan manusia suku lain atau binatang.
Berikut adalah ilustrasi konsep penataan massa di dalam satu silimo

Letak honai laki-laki adalah tegak lurus dengan pintu masuk, agar kepala keluarga dapat
segera berhadapan dengan tamu ataupun gangguan dan ancaman yang masuk ke
kompleks silimo. Honai untuk laki-laki dan rumah adat/pilamo merupakan bangunan yang
terlarang bagi para wanita untuk memasukinya.Demikian juga dengan honai untuk
perempuan merupakan area terlarang bagi para lelaki. Pada beberapa silimo, honai
perempuan/ebeai jumlahnya lebih dari satu.
Hal ini karena masyarakat Dani menganut sistem perkawinan monogami dan juga poligami,
dengan tujuan untuk menghasilkan banyak keturunan sehingga dapat menambah tenaga
kerja dan generasi penerus suku Dani. Jumlah istri juga merupakan lambang prestise,
karena orang yang mampu mempunyai istri lebihdari satu maka dianggap memiliki status
sosial yang lebih tinggi. Biasanya kepala suku atau orang-orang yang kaya, akan memiliki
istri lebih dari satu. Berikutadalah ilustrasi silimo dengan jumlah ebeai yang lebih dari satu :
Selain penataan massa bangunan di silimo seperti ilustrasi sebelumnya,ada juga penataan
massa bangunan di silimo yang meletakkan dapur dan kandang babi bersebelahan, yaitu
sebagai berikut :

C. Fungsi setiap bangunan di sebuah silimo


Berikut adalah fungsi masing-masing bangunan di sebuah silimo:
1. Honai laki-laki Merupakan tempat tinggal untuk kepala keluarga, kerabat dan keluarga
laki-laki, serta anak laki-laki yang telah berumur lebih dari 5 tahun. Honai laki-laki ini
berbentuk bulat dan terdiri dari dua lantai, dengan sebuah perapian terletak di pusat
bangunan. Lantai satu difungsikan sebagai tempat bersantai dan lantai dua sebagai tempat
beristirahat/tidur. Masyarakat suku Dani tidur dengan pola kepala membujur di bagian
dinding dan kaki mengarah ke pusat honai (perapian).
2. Rumah adat / Pilamo. Pilamo berbentuk bulat dan terdiri dari dua lantai. Lantai pertama
difungsikan sebagai tempat untuk mendidik dan membina para remaja suku Dani
agar menjadi laki-laki yang kuat dan tangguh (sejak berusia 4-5 tahun). Selain itu, juga
difungsikan untuk tempat mengatur strategi perang, membicarakan konflik dan masalah
yang menyangkut peperangan dan mas kawin/perkawinan. Lantai dua berfungsi sebagai
tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka dan senjata perang, serta mumi dari leluhur.

3. Honai perempuan/ebeai. Ebeai berbentuk bulat dan terdiri dari dua lantai, dengan sebuah
perapian terletak di pusat bangunan. Lantai pertama digunakan untuk mendidik para anak-
anak dan remaja suku Dani agar mengerti dan dapat mengerjakan tugas-tugas
kewanitaannya. Selain itu, juga digunakan sebagai tempat bersantai dan mengobrol, yaitu di
sekeliling perapian. Lantai dua digunakan sebagai tempat beristirahat/tidur bagi para wanita.

4.Dapur/hunila. Dapur bersama/hunila merupakan bangunan yang berbentuk persegi


panjang,dengan tinggi sekitar 1,5 meter – 2 meter. Dapur digunakan sebagai tempat
memasak sehari-hari, biasanya memasak hipere/ubi jalar. Pada bangunan dapur ini para
anggota keluarga biasanya berkumpul dan bersantai pada waktu siang atau malam hari.
5.Kandang babi/wamdabu. Kandang babi merupakan suatu bangunan yang berbentuk
persegi panjang dan terletak melintang di seberang honai perempuan. Di depan kandang
bab iterdapat tanah kosong yang digunakan sebagai tempat bermain bagi babi. Ditanah ini
babi-babi akan dilepas dan dihitung jumlahnya.

D. Karakteristik Rumah Honai


Bangunan rumah honai (rumah tinggal suku Dani, baik honai laki-lakimaupun perempuan),
memiliki karakteristik yang merupakan bentuk adaptasi terhadap cuaca dingin dan angin
kencang,secara garis besar adalah sebagai berikut:
1. Berbentuk bulat/melingkar
2. Ukurannya sempit (diameter 4m - 6m)
3. Ketinggian sekitar 3m - 7m (2 lantai)
4. Tidak berjendela dan ketinggian pintu sangat rendah (sangat minim bukaan)

E.Konstruksi Rumah Honai


Kemudian akan dibahas satu per satu detail konstruksi dan karakteristik dari masing-masing
elemen rumah honai.
1. Atap rumah honai berbentuk bulat kerucut dengan lingkaran-lingkaran besar dari kayu
yang dibakar sebagai kerangka atapnya, yang kemudian diikatmenjadi satu di bagian atas
(membentuk dome). Terdapat 4 pohon muda yang berfungsi sebagai kolom penyangga
utama yang diikat di atas dan vertikal ke bawah menancap ke dalam tanah. Pada lantai 1,
ruang yang terbentuk diantara 4 kolom ini difungsikan sebagai tempat meletakkan perapian
untuk menghangatkan honai.

Bahan penutup atap terbuat dari jerami/rumbia (rumput alang-alang), dengan pertimbangan
bahwa material tersebut ringan, lentur, menyerap goncangangempa, serta dapat
menghangatkan dan melindungi dari hujan dan panas matahari.
2.Pada rumah honai, dinding terbuat dari bahan papan kayu kasar, dan terdiridari 2 lapis,
dengan tujuan untuk menahan udara dingin dan angin kencangdari luar. Di sekeliling
dinding rumah, terdapat bukaan yang sangat minim,yaitu berupa sebuah pintu masuk yang
sempit dan rendah sehingga penghunirumah harus membungkuk untuk melewatinya.
Terkadang terdapat sebuah jendela sempit pada honai laki-laki, agar dapat mengetahui jika
ada tamu yang berkunjung atau musuh yang memasuki silimo. Sedangkan pada
honai perempuan, sama sekali tidak terdapat bukaan berupa jendela. Jadi, suasana didalam
honai adalah remang-remang atau bahkan gelap. Pada malam hari,hanya diterangi oleh
nyala api dari perapian yang terdapat di tengah honai.

3.Honai, honai terdiri dari dua lantai, yaitu lantai satu yang digunakan sebagai
tempat bersantai dan mengobrol di sekeliling perapian, serta lantai panggung
yangdigunakan sebagai tempat menyimpan barang berharga dan istirahat/tidur.Lantai honai
dialasi dengan rumput atau jerami yang diganti secara berkala jika sudah rusak/kotor

F. Tahapan Konstruksi
Pada proses pembangunan honai, terdapat beberapa tahapan konstruksiyaitu sebagai
berikut:
1.Tahap pengukuran, pembersihan, pemerataan tanah sebelum mendirikan suatu silimo,
maka dilakukan musyawarah antaraanggota keluarga dan klen untuk menentukan lokasi
yang tepat. Kemudiandilakukan pembersihan dan pemerataan tanah di lokasi tersebut,
dandilakukan pengukuran. Penentuan diameter honai didasarkan pada ukurantinggi badan
anggota keluarga yang paling tinggi, dikarenakan masyarakatsuku Dani tidur dengan tubuh
membujur dari dinding dan kaki ke arah perapian (bagian pusat honai).
Selain penataan massa bangunan di silimo seperti ilustrasi sebelumnya,ada juga penataan
massa bangunan di silimo yang meletakkan dapur dan kandang babi bersebelahan, yaitu
sebagai berikut :
2.Tahappemasangan tiang-tiang utama dan pembagianlantai atas dan bawah
3.Tahap pekerjaan rangka rumah

G. Filosofi Honai
Bentuk bulat dan melingkar dari rumah honai memiliki filosofi yang dipegang teguh oleh
masyarakat Dani, yang mencerminkan nilai-nilai yangditurunkan dari generasi ke generasi,
yaitu sebagai berikut.
1.Kesatuan dan persatuan yang paling tinggi untuk mempertahankan dan mewariskan
budaya, suku, harkat, martabat yang telah dipertahankan oleh nenek moyang dari dulu
hingga saat ini.
2.Bermakna sehati, sepikir dan satu tujuan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
Arsitektur tradisional Dayak

Arsitektur Dayak merupakan seni arsitektur yang berkembang pada masyarakat Dayak yang
pada umumnya memiliki kemiripan satu sama lain di antara sub-sub Rumpun Dayak,
umumnya berupa rumah panjang yang disebut dalam berbagai istilah seperti rumah panjai
(Dayuk Iban Sarawak), rumah radank (Dayak Kanayatn), huma betang (Dayak Ngaju),
Rumah Balay (Dayak Meratus), rumah Baloy (Dayak Tidung). Di kalimantan Timur terdapat
Rumah Lamin, namun setiap sub etnis sebenarnya mempunyai sebutan sendiri untuk rumah
lain tersebut. Orang Tonyooi (Tunjung) menyebutnya Luuq, orang Benuaq menyebutnya
dengan Lou, orang Bahau menyebutnya sebagai Amin, orang Kenyah menyebutnya dengan
nama Amin Bioq dan orang Aoheng menyebutkannya Baang Adet serta orang Melayu
(Kutai) menyebutkannya dengan nama Lamin. Pada umumnya bentuk bangunan
memanjang dan di halaman depan terdapat patung dan sandung.

Kalimantan Barat
Replika Rumah Radakng di Pontianak Rumah Radakng di Lapangan Saboro' Menjalin, Kal-
Bar Di Kalimantan Barat mulai dari Kota Pontianak dapat kita jumpai replika rumah adat
Dayak. Salah satunya berada di jalan Letjen Sutoyo. Walaupun hanya sebuah Imitasi, tetapi
rumah Betang ini, cukup aktif dalam menampung aktivitas kaum muda dan sanggar seni
Dayak.kemudian jika kita ke Arah Kabupaten Landak, maka kita akan menjumpai sebuah
Rumah Betang Dayak di Kampung Sahapm Kec. Pahauman. Kemudian jika kita ke
Kabupaten Sanggau, maka kita dapat melihat Rumah Betang di kampung Kopar
Kecamatan Parindu, Kemudian selanjutnya jika kita ke kabupaten Sekadau, maka kita dapat
melihat rumah betang di Kampung Sungai Antu Hulu, Kecamatan Belitang Hulu, Kemudian
di kabupaten Sintang kita Dapat melihat rumah Betang di Desa Ensaid panjang, Kecamatan
Kelam, Kemudian Di Kapuas Hulu, Kita juga dapat melihat Masih banyak rumah-rumah
betang Dayak yang masih lestari. Rumah Panjai adalah sebutan untuk rumah panjang suku
Dayak Iban di negara bagian Sarawak dan provinsi Kalimantan Barat.
Rumah betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat diberbagaipenjuru
Kalimantan dan dihuni oleh masyarakat Dayak terutama di daerah hulu sungai yang
biasanya menjadi pusat permukiman suku Dayak.
Kalimantan Tengah
Ciri-ciri Rumah Betang yaitu yaitu bentuk panggung dan memanjang. Panjangnya bisa
mencapai 30-150 meter serta Rumah Betang Toyoi di Tumbang Malahoi replika Rumah
Betang di Palangka Raya Ciri-ciri lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki
tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Setiap Rumah Betang dihuni oleh 100-150 jiwa,
Betang dapat dikatakan sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat satu
keluarga besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang [Pambakas
Lewu].Pada suku Dayak tertentu, pembuatan rumah Betang haruslah memenuhi
beberapa persyaratan berikut di antaranya pada hulunya haruslah searah dengan matahari
terbit dan sebelah hilirnya ke arah matahari terbenam.

Hal ini dianggap sebagai simbol dari kerja keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari
terbit hingga terbenam.Semua suku Dayak, terkecuali suku Dayak Punan yang hidup
mengembara, pada mulanya berdiam dalam kebersamaan hidup secara komunal di rumah
betang/rumah panjang, yang lazim disebut Lou, Lamin, Betang, dan Lewu Hante. Rumah
Panjang/Rumah Betang bagi
masyarakat Dayak tidak saja sekadar ungkapan legendaris kehidupan nenek moyang,
melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan konkret. tentang tata pamong desa,
organisasi sosial serta sistem kemasyarakatan, sehingga tak pelak menjadi titik sentral
kehidupan warganya.Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah
panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia; makna dari pekerjaan; karya dan
amal perbuatan; persepsi mengenai waktu; hubungan manusia dengan alam sekitar; soal
hubungan dengan sesama. Dapat dikatakan bahwa rumah betang memberikan makna
tersendiri bagi masyarakat Dayak.Rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka karena
disanalah seluruh kegiatan dan segala proses kehidupan berjalan dari waktu ke waktu.

Rumah betang memang bukan sebuah hunian mewah dengan aneka perabotan canggih
seperti yang diidamkan oleh masyarakat modern saat ini.Rumah betang cukuplah dilukiskan
sebagai sebuah hunian yang sederhana dengan perabotan seadanya.Namun, dibalik
kesederhanaan itu, rumah betang menyimpan sekian banyak makna dan sarat akan nilai
nilai kehidupan yang unggul.Tak dapat dimungkiri bahwa rumah telah menjadi simbol yang
kukuh dari kehidupan komunal masyarakat Dayak. Dengan mendiami rumah betang dan
menjalani segala proses kehidupan di tempat tersebut, masyarakat Dayak menunjukkan
bahwa mereka juga memiliki naluri untuk selalu hidup bersama dan berdampingan dengan
warga masyarakat lainnya. Mereka mencintai kedamaian dalam komunitas yang harmonis
sehingga mereka berusaha keras untuk mempertahankan tradisi rumah betang ini.

Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan setiap
kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam
pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan
kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya. Rumah betang
selain sebagai tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga
masyarakat. Apabila diamati secara lebih saksama, kegiatan di rumah panjang menyerupai
suatu proses pendidikan tradisional yang bersifat non-formal. Rumah betang menjadi tempat
dan sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi masyarakat Dayak untuk membina
keakraban satu sama lain. Di tempat inilah mereka mulai berbincang-bincang untuk saling
bertukar pikiran mengenai berbagai pengalaman, pengetahuan dan

keterampilan satu sama lain. Hal seperti itu bukanlah sesuatu yang sukar untuk dilakukan,
meskipun pada malam hari atau bahkan pada saat cuaca buruk sekalipun, sebab mereka
berada di bawah satu atap.Demikianlah pengalaman, pengetahuan dan keterampilan
diwariskan secara lisan kepada generasi penerus. Dalam suasana kehidupan rumah
panjang, setiap warga selalu dengan sukarela dan terbuka terhadap warga lainnya dalam
memberikan petunjuk dan bimbingan dalam mengerjakan sesuatu.Kesempatan seperti itu
juga terbuka bagi kelompok dari luar rumah panjang.Rumah betang yang tersisa pada
masyarakat Dayak merupakan contoh kehidupan budaya tradisional yang mampu bertahan
dan beradaptasi dengan lingkungan.Kiranya perlu diungkapkan lebih jauh faktor-faktor yang
menyebabkan masyarakat Dayak dapat

mempertahankan rumah betang mereka.Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu


hidup bersama secara berdampingan dengan alam dan warga masyarakat lainnya. Mereka
gemar hidup damai dalam komunitas yang harmonis sehingga berusaha terus Kehidupan
Komunal Di Rumah Betang bertahan dengan pola kehidupan rumah betang. Harapan ini
didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan kepentingannya dengan
kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang
menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang
sama dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan mempertahankan rumah betang,
masyarakat Dayak tidak menolak perubahan, baik dari dalam maupun dari luar, terutama
perubahan yang menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan rohaniah dan jasmaniah
mereka.Pola permukiman rumah betang erat hubungannya dengan sumber-sumber
makanan yang disediakan oleh alam sekitarnya, seperti lahan untuk berladang, sungai yang
banyak ikan, dan hutan-hutan yang dihuni binatang buruan.Namun dewasa ini,
ketergantungan pada alam secara bertahap sudah mulai berkurang.Masyarakat Dayak telah
mulai mengenal perkebunan dan peternakan. Rumah betang menggambarkan keakraban
hubungan dalam keluarga dan pada masyarakat.Seni Tradisional Rumah betang selain
tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat.
Apabila diamati secara lebih saksama, kegiatan di rumah betang menyerupai proses
pendidikan tradisional yang bersifat non formal. Dalam masyarakat Dayak terdapat
pembagian tugas atau perbedaan dalam mengerjakan seni tradisional.Kaum pria terampil
dalam ngamboh (pandai besi), menganyam, dan mengukir, sedangkan wanita lebih terampil
dalam menenun dan menganyam yang halus.

Dalam kelompok yang relatif kecil lebih mudah bagi setiap warga untuk berusaha
menambah pengetahuan dan keterampilannya, sehingga mereka dapat berguna dalam
masyarakat, sebab apabila mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai mereka dianggap pemalas. Meski terbilang sangat sederhana dan jauh dari kesan
mewah, rumah betangtentang tata pamong desa, organisasi sosial serta sistem
kemasyarakatan, sehingga tak pelak menjadi titik sentral kehidupan warganya.Sistem nilai
budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari
hidup manusia; makna dari pekerjaan; karya dan amal perbuatan; persepsi mengenai waktu;
hubungan manusia dengan alam sekitar; soal hubungan dengan sesama.Dapat dikatakan
bahwa rumah betang memberikan makna tersendiri bagi masyarakat Dayak.Rumah betang
adalah pusat kebudayaan mereka karena disanalah seluruh kegiatan dan segala proses
kehidupan berjalan dari waktu ke waktu.Rumah betang memang bukan sebuah hunian
mewah dengan aneka perabotan canggih seperti yang diidamkan oleh masyarakat modern
saat ini.Rumah betang cukuplah dilukiskan sebagai sebuah hunian yang sederhana dengan
perabotan seadanya.Namun, dibalik kesederhanaan itu, rumah betang menyimpan sekian
banyak makna dan sarat akan nilai-nilai kehidupan yang unggul.Tak dapat dimungkiri bahwa
rumah telah menjadi simbol yang kukuh dari kehidupan komunal masyarakat Dayak.

Dengan mendiami rumah betang dan menjalani segala proses kehidupan di tempat tersebut,
masyarakat Dayak menunjukkan bahwa mereka juga memiliki naluri untuk selalu hidup
bersama dan berdampingan dengan warga masyarakat lainnya. Mereka mencintai
kedamaian dalam komunitas yang harmonis sehingga mereka berusaha keras untuk
mempertahankan tradisi rumah betang ini.[Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap
individu untuk menyelaraskan setiap kepentingannya dengan kepentingan
bersama.Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap
bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam
lingkungan masyarakatnya.Rumah betang selain sebagai tempat kediaman juga merupakan
pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih saksama,
kegiatan di rumah panjang menyerupai suatu proses pendidikan tradisional yang bersifat
non-formal. Rumah betang menjadi tempat dan sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi
masyarakat Dayak untuk membina keakraban satu sama lain.Di tempat inilah mereka mulai
berbincang-bincang untuk saling bertukar pikiran mengenai berbagai pengalaman,
pengetahuan dan keterampilan satu sama lain.Hal seperti itu bukanlah sesuatu yang sukar
untuk dilakukan, meskipun pada malam hari atau bahkan pada saat cuaca buruk sekalipun,
sebab mereka berada di bawah satu atap.Demikianlah pengalaman, pengetahuan dan
keterampilan diwariskan secara lisan kepada generasi penerus. Dalam suasana kehidupan
rumah panjang, setiap warga selalu dengan sukarela dan terbuka terhadap warga lainnya
dalam memberikan petunjuk dan bimbingan dalam mengerjakan sesuatu.Kesempatan
seperti itu juga terbuka bagi kelompok dari luar rumah panjang.Rumah betang yang tersisa
pada masyarakat Dayak merupakan contoh kehidupan budaya tradisional yang mampu
bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan.Kiranya perlu diungkapkan lebih jauh faktor-
faktor yang menyebabkan masyarakat Dayak dapat mempertahankan rumah betang
mereka. Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu hidup bersama secara
berdampingan dengan alam dan warga masyarakat lainnya. Mereka gemar hidup damai
dalam komunitas yang harmonis sehingga berusaha terus Kehidupan Komunal Di Rumah
Betang bertahan dengan pola kehidupan rumah betang. Harapan ini didukung oleh
kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan kepentingannya dengan kepentingan
bersama.

Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa
setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan
masyarakatnya.Dengan mempertahankan rumah betang, masyarakat Dayak tidak menolak
perubahan, baik dari dalam maupun dari luar, terutama perubahan yang menguntungkan
dan sesuai dengan kebutuhan rohaniah dan jasmaniah mereka. Pola permukiman rumah
betang erat hubungannya dengan sumber-sumber makanan yang disediakan oleh alam
sekitarnya, seperti lahan untuk berladang, sungai yang banyak ikan, dan hutan-hutan yang
dihuni binatang buruan. Namun dewasa ini, ketergantungan pada alam secara bertahap
sudah mulai berkurang.Masyarakat Dayak telah mulai mengenal perkebunan dan
peternakan. Rumah betang menggambarkan keakraban hubungan dalam keluarga dan
pada masyarakat. Seni Tradisional Rumah betang selain tempat kediaman juga merupakan
pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat.Apabila diamati secara lebih saksama,
kegiatan di rumah betang menyerupai proses pendidikan tradisional yang bersifat non
formal.

Dalam masyarakat Dayak terdapat pembagian tugas atau perbedaan dalam mengerjakan
seni tradisional. Kaum pria terampil dalam ngamboh (pandai besi), menganyam, dan
mengukir, sedangkan wanita lebih terampil dalam menenun dan menganyam yang halus.
Dalam kelompok yang relatif kecil lebih mudah bagi setiap warga untuk berusaha
menambah pengetahuan dan keterampilannya, sehingga mereka dapat berguna dalam
masyarakat, sebab apabila mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai mereka dianggap pemalas.Meski terbilang sangat sederhana dan jauh dari kesan
mewah, rumah betang tetaplah menjadi hunian yang bernilai tinggi bagi masyarakat
Dayak.Oleh karena itu sangat penting kiranya bagi kita untuk mencermati lebih jauh
pandangan masyarakat Dayak mengenai tetaplah menjadi hunian yang bernilai tinggi bagi
masyarakat Dayak. Oleh karena itu sangat penting kiranya bagi kita untuk mencermati lebih
jauh pandangan masyarakat Dayak mengenai rumah betang yang tercermin dalam
beberapa aspek berikut ini:Aspek penghunian. Rumah betang merupakan struktur multi-
keluarga permanen dan terutama berfungsi sebagai tempat tinggal utama di samping rumah
pondok di ladang. Aspek hukum dan hak milik. Rumah panjang mempunyai aspek
kepemilikan yang jelas.

Terutama adalah hak kepemilikan semua keluarga secara


bersama menguasai semua tanah diwilayah rumah panjang.Hak wilayah rumah panjang
merupakan hak sekunder, sedangkan hak primer dipegang oleh tiap-tiap keluarga atau
kelompok keluarga kecil yang memiliki ikatan kekerabatan. Rumah betang juga merupakan
unit peradilan yang sangat penting. Acap kali pertikaian antar anggota rumah betang dapat
diselesaikan oleh tetua adat secara internal.Satu hal yang menonjol adalah wewenang
seseorang atau satu keluarga tertentu relatif kecil, yang jauh lebih penting adalah
wewenang rumah panjang secara keseluruhan.Hal itu disebabkan adanya egalitarisme yang
kuat dalam masyarakat Dayak. Aspek ekonomi. Rumah panjang memegang peranan
penting dalam distribusi arus tenaga kerja dan hasil kerja antar keluarga.[Pemakaian tenaga
kerja tambahan dari keluarga lain, merupakan kunci dari sistem perladangan yang mereka
jalankan. Berdasarkan kepercayaan suku Dayak ada ketentuan khusus dalam peletakan
ruang pada Rumah Betang yaitu:

1. Pusat atau poros bangunan di mana tempat orang berkumpul melakukan berbagai
macam kegiatan baik itu kegiatan keagaman, sosial masyarakat dan lain-lain maka ruang
los, harus berada ditengah bangunan.[2]Bagian-bagian Rumah Betang

2. Ruang tidur, harus disusun berjajar sepanjang bangunan Betang.Peletakan ruang tidur
anak dan orang tua ada ketentuan tertentu di mana ruang tidur orang tua harus berada
paling ujung dari aliran sungai dan ruang tidur anak bungsu harus berada pada paling ujung
hilir aliran sungai, jadi ruang tidur orang tua dan anak bungsu tidak boleh diapit dan apabila
itu dilanggar akan mendapat petaka bagi seisi rumah.

3. Bagian dapur harus menghadap aliran sungai, menurut mitos supaya mendapat rezeki.
4. Tangga. Tangga dalam ruangan rumah adat Betang harus berjumlah ganjil, tetapi
umumnya berjumlah 3 yaitu berada di ujung kiri dan kanan, satu lagi di depan sebagai
penanda atau ungkapan rasa solidaritas menurut mitos tergantung ukuran rumah, semakin
besar ukuran rumah maka semakin banyak tangga.

5. Pante adalah lantai tempat menjemur padi, pakaian, untuk mengadakan upacara adat
lainnya. Posisinya berada didepan bagian luar atap yeng menjorok ke luar.Lantai pante
terbuat dari bahan bambu, belahan batang pinang, kayu bulatan sebesar pergelangan
tangan atau dari batang papan.

6. Serambi adalah pintu masuk rumah setelah melewati pante yang jumlahnya sesuai
dengan jumlah kepala keluarga.Di depan serambi ini apabila ada upacara adat kampung
dipasang tanda khusus seperti sebatang bambu yang kulitnya diarit halus menyerupai
jumbai-jumbai ruas demi ruas.

7. Sami berfungsi ruang tamu sebagai tempat menyelenggarakan kegiatan warga yang
memerlukan.

8. Jungkar. Tidak seperti raungan yang pada umumnya harus ada.Sementara Jungkar
sebagai ruan tambahan di bagian belakang bilik keluarga masingmasing yang atapnya
menyambung atap rumah panjang atau adakalanya bumbung atap berdiri sendiri tapi masih
merupakan bagian dari rumah panjang.Jungkar ditempatkan di tangga masuk atau keluar
bagi satu keluarga, agar tidak mengganggu tamu yang sedang bertandang.Jungkar yang
atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan ventilasi pada atap yang terbuka
dengan ditopang/disanggah kayu yang sewaktu hujan atau malam hari dapat ditutup
kembali..

Rumah adat terkenal dari masyarakat Kalimantan Utara disebut Rumah Baloy.Rumah adat
ini merupakan hasil kebudayaan seni arsitektur dari masyarakat suku Tidung, Kalimantan
Utara. Seperti suku lainnya, suku Tidung Kalimantan Utara ini mempunyai kebudayaan dan
model rumah adat sendiri. Walaupun rumah adat ini masih menggunakan sejumlah tiang
tinggi pada bagian bawahnya,bentuk bangunan rumah adat ini terlihat lebih modern dan
modis. Diduga rumah adat ini adalah hasil pengembangan dari Rumah Panjang (Lamin)
seperti yangdihuni oleh suku Dayak di Kalimantan Timur.Suku Dayak Tidung (Tidoeng)
merupakan salah satu suku dari 406 suku Dayak yang tercatat ada di Kalimantan.Sejarah
Masyarakat Suku Tidung Penggunaan kata Dayak pada suku tersebut berangsur hilang
dengan sendirinya seiring dengan masuknya ajaran Islam ke daerah ini dan umumnya
mereka lebih senang disebut suku Tidung saja.Suku Tidung mempunyai sejarah yang
sangat panjang.

Tercatat di dalam sejarah, para bangsawan suku Tidung ini telah mulai memerintah kerajaan
Tidung sejak tahun 1076 sampai tahun 1916.Dahulu terdapat dua kerajaan besar di
kawasan ini, yaitu Kerajaan Tidung atau kerajaan Tarakan, yang berkedudukan di Pulau
Tarakan dan Salim Batu, serta Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas.
Berdasarkan silsilah yang ada, di pesisir timur Pulau Tarakan yaitu di Kawasan Dusun
Binalatung sudah ada Kerajaan
Tidung Kuno. Kerajaan ini mulai diketahui keberadaannya kira-kira pada tahun
1076, kemudian kerajaan ini berpindah ke pesisir selatan Pulau Tarakan di kawasan
Tanjung Batu pada tahun 1156. Kerajaan ini kemudian bergeser lagi ke wilayah
barat yaitu ke kawasan Sungai Bidang pada tahun 1216 dan berpindah lagi ke
daerah Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, sekitar tahun
1394.Kemudian pada tahun 1557, Dinasti Tengara mulai memegang tampuk pemerintahan
Kerajaan Tidung. Dinasti
ini pertama kali dipegang oleh AmirilRasyd Gelar Datoe Radja Laoet padatahun 1557 dan
berakhir pada saat dipimpin oleh Datoe Adil pada tahun
1916, Dinasti Tengara ini berlokasi di kawasan Pamusian, Tarakan Tengah.
Karakteristik Rumah Baloy Berkas:Lubung Kilong.jpeg Lubung Kilong

Rumah bentang

Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru
Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku
Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk
melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana
ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas
perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan system
barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).

Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang
mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di
bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah.
Tingginya bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya banjir
pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan.
Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari
besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga
(keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar
tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal
yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan
karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.

ARSITEKTUR RUMAH BETANG

Arsitektur Dayak tidak bisa dilepaskan dari


konsep hidup dan kebudayaan sehari-hari
mereka. Konsep hidup dan budaya ini dapat
dilihat dari bentuk rumah tinggal yang secara
arsitektural memiliki ciri fisik berbentuk
rumah yang memanjang dengan tiang (kolong) tinggi yang mereka sebut sebagai rumah
Betang atau Rumah Panjang atau Lamin atau juga lebih kerennya disebut Long House.
Selain dari bentuk fisik, rumah Betang secara arsitektural menggambarkan konsep
hidup dan kebudayaan Dayak. Hal ini dapat terlihat pada tata ruang, bentuk bangunan,
asesoris seperti patung, ukiran, pernak pernik, dan pola penataannya. Dengan melihat
tata ruang rumah, bentuk, dan susunannya dapat diketahui bagaimana pola hidup, pola
pikir, pilosofi serta kebudayaan yang terjadi dalam masyarakatnya.

KEUNIKAN RUMAH BETANG

Betang memiliki keunikan tersendiri dapat


diamati dari bentuknya yang memanjang
serta terdapat hanya terdapat sebuah
tangga dan pintu masuk ke dalam
Betang. Tangga sebagai alat penghubung
pada Betang dinamakan hejot. Betang
yang dibangun tinggi dari permukaan
tanah dimaksudkan untuk menghindari
hal-hal yang meresahkan para penghuni
Betang, seperti menghindari musuh yang
dapat datang tiba-tiba, binatang buas,
ataupun banjir yang terkadang melanda
Betang. Hampir semua Betang dapat
ditemui di pinggiran sungai-sungai besar yang ada di Kalimantan.

Betang dibangun biasanya berukuran besar, panjangnya dapat mencapai 30-150 meter
serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar
3-5 meter. Betang di bangun menggunakan bahan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu
kayu ulin (Eusideroxylon zwageri T et B), selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri
sampai dengan ratusan tahun serta anti rayap.
Salah satu kebiasaan suku Dayak adalah memelihara hewan, seperti anjing, burung,
kucing, babi, atau sapi. Selain karena ingin merawat anjing, suku Dayak juga sangat
membutuhkan peran anjing sebagai 'teman' yang setia pada saat berburu di hutan
belanntara. Pada zaman yang telah lalu suku Dayak tidak pernah mau memakan daging
anjing, karena suku Dayak sudah menganggap anjing sebagai pendamping setia yang
selalu menemani khususnya ketika berada di hutan. Karena sudah menganggap anjing
sebagai bagian dari suku Dayak, anjing juga diberi nama layaknya manusia.
Ciri-ciri bentuk rumah suku-suku Dayak secara universal dapat dilihat dari:

Bentuk Bangunan:
Bentuk bangunan panjang dan hanya beberapa unit saja dalam satu kampung.
Biasanya tidak lebih dari 5 unit. Satu unit bisa digunakan oleh 5-10 anggota keluarga.
Bahkan ada yang digunakan secara komunal oleh lebih dari 30 anggota keluarga.
Bentuk rumah berkolong tinggi, dengan ketinggian sampai dengan 4 meter dari
permukaan tanah. Badan rumah (dinding) terkadang berarsitektur jengki dengan atap
pelana memanjang.

Tata Ruang :
Ruang-ruang yang ada dalam Rumah Betang biasanya terdiri dari sado', padongk, bilik,
dan dapur.
1. Sado' (dalam bahasa Dayak Simpangk)
adalah pelantaran tingkat bawah yang biasanya
merupakan jalur lalu lalang penghuni rumah
Betang. Sado' juga biasanya digunakan sebagai
tempat untuk melakukan aktivitas umum seperti
menganyam, menumbuk padi, berdiskusi adat
secara massal, dan lain sebagainya.

2. Padongk dapat diterjemahkan sebagai ruang


keluarga, letaknya lebih dalam dan lebih tinggi
dari pada sado'. Ruangan ini biasanya tidak luas,
mungkin berkisar antara 4x6m saja. Padongk
lebih umum dimanfaatkan oleh pemilik Rumah
Betang sebagai ruang kumpul keluarga, ngobrol,
makan minum, menerima tamu dan aktivitas yang
lebih personal.

3. Bilik adalah ruang tidur. Bilik tentu saja


digunakan untuk tidur. zaman dahulu, satu
bilik bisa dipakai oleh 3-5 anggota keluarga.
mereka tidur dalam satu ruangan dan hanya
dibatasi oleh kelambu. Kelambu utama untuk
ayah dan ibu, kelambu kedua dan ketiga
untuk anak-anak. tentu kelambu anak laki-
laki dan perempuan akan dipisahkan.

4. Ruang yang terakhir didalam Rumah Betang


adalah Dapur. Ruang ini terbuka dan memiliki
view yang langsung berhadapan dengan ruang
padongk. Umumnya dapur hanya berukuran
1x2m dan hanya untuk menempatkan tungku
perapian untuk memasak. Di atas perapian
biasanya ada tempara untuk menyimpan
persediaan kayu bakar. Dapur di rumah Betang
amat sederhana dan hanya berfungsi untuk
kegiatan masak memasak saja.
Ukiran rumah adat suku daya

Warga Dayak belajar berbagai seni ukir dan


patung. Masyarakat Dayak memiliki kekayaan seni
ukir yang dekat dengan alam, seperti tumbuhan
dan satwa, serta berbagai simbol kepercayaan
mereka. Itu terlihat mulai dari arsitek bangunan
rumah, peralatan rumah tangga, sampai perangkat
kesenian.

Nilai Estetika dan Etika

selain pada tampilan dari luar, juga pada ukiran-ukiran yang ada pada setiap bangunan.
Ukiran-ukiran ini diletakkan pada tempat-tempat yang dilihat seperti pada bubungan
rumah, depan rumah, di atas jendela, di daun pintu, di ruang tamu dan lain-lain. Selain
itu, nilai estetika juga dapat dengan mudah dilihat pada sapundu dan sandung yang
biasanya terdapat di halaman depan rumah.
dilihat dari bahan-bahan tertentu yang digunakan dalam membuat bangunan. Untuk
membangun tiang, sedapat-dapatnya dicari pohon kayu ulin yang telah berumur tua. Hal
ini melambangkan kekuatan dan kesehatan sehingga diharapkan bangunan dapat
bertahan lama dan jika sudah ditempati, penghuninya diharapkan senantiasa mendapat
kesehatan baik. Ukiran pada bangunan umumnya melambangkan penguasa bumi,
penguasa dunia atas dan dunia bawah, yang dilambang dengan ukiran burung tingang
dan ukiran naga.
Arsitektur tradisonal suku badui

memang jika dibilang Banten tak punya ‘gaya’ dalam seni bangunan. Setidaknya begitulah
kira-kira harapan orang, ada sesuatu yang bisa menjadi ‘pembeda’ dari daerah lain.
Beberapa bangunan modern di Serang, ibukota Provinsi Banten, kelihatannya juga sedang
mencari ujud yang khas. Upaya keras para arsitek membangun jatidiri melalui rancang
bangun fisik perlu mendapat penghargaan, kendati masih mengacu pada tipe bangunan
yang lebih menonjolkan atap tumpang limasan dimana arsitektur Masjid Agung di Banten
Lama sebagai referensi. Oleh karenanya, apapun denah suatu bangunan, elemen atap
hampir selalu seperti itu; prototype dunia Melayu, khususnya Jawa dan Bali. Lantas adakah
sesuatu ‘yang lain dari biasanya’ yang dapat memberi kita ide referensial dan generatif
untuk memberi sekedar ‘papan nama’ pada identitas budaya Banten? Adakah karya
arsitektur khas Banten sebagai acuan bagi konstruksi bangunan modern yang dapat
memberi tanda khusus di Provinsi Banten?

Agak sulit juga mencarinya jika kita tak mengenal budaya lokal. Beberapa struktur memang
masih bisa ditemukan di pedesaan dan perkampungan Banten, dari pesisir utara sampai
selatan atau dari dataran tinggi sebelah timur sampai ke dataran rendah di sebelah barat
Banten. Entah itu berada pada ruang budaya penutur bahasa Jawa ataupun masyarakat
yang berbahasa Sunda, hampir tidak pernah ditemukan suatu bangunan yang dapat
merepresentasikan sebuah rancang bangun suatu peradaban besar. Kebanyakan dari
bangunan itu bersifat semi permanen: rumah tinggal, tempat ibadah, balai pertemuan,
lumbung padi serta saung huma, apriori, lebih bersifat rural. Lantas bagaimana kita dapat
mengadopsi semua tipe bangunan bernuansa etnik itu ke dalam struktur besar dan masif,
seperti untuk bangunan kantor atau lainnya? Bagaimana pula kita dapat meredisainnya
menjadi karya arsitektur modern tetapi berkarakter lokal?

Agaknya tidak terlalu sulit juga jika kita memang berkehendak ke arah itu. Maka ketika
referensi arsitektural berada dalam kelangkaan, ketika warisan budaya yang ada hanya
menyisakan fragmen yang sulit direkonstruksi, apa yang ada dan terwarisi oleh masyarakat
Banten, sesederhana apapun ujudnya, adalah sebuah tresor yang patut mendapat perhatian
para arsitek. Maka Sula Nyanda mestinya bisa menjadi salah satu tresor itu.
Agaknya kita perlu berkunjung kembali ke Desa Kanekes, perkampungan warga Baduy
yang selalu menarik minat pengunjung, tetapi luput memberi perhatian khusus kepada type
budaya rumah tinggal mereka, yang biasa disebut Sula Nyanda. Karena fungsinya hanya
rumah orang biasa, atau barangkali karena anggapan tak mewakili ‘great tradition’ dari suatu
peradaban urban, tak sadar kita kehilangan kepekaan untuk mengadopsinya menjadi
sesuatu yang unik dan khas bagi ‘bangun’ arsitektur Banten.

Agaknya perlu juga kita mulai berhitung sekarang. Jika benar istilah ‘Sula Nyanda’ dapat
dimaknai sebagai “merunduk untuk menaungi”, bukankah itu juga dapat dijadikan dasar
filosofis untuk sebuah rancang bangun struktur masif di pusat-pusat kota. Berdenah segi
empat panjang dengan teras yang lebar, dinaungi oleh atap segi tiga yang diperhalus
dengan kanopi menjorok ke bagian depan, Sula Nyanda dapat beralih fungsi, dari rumah
tinggal biasa menjadi ‘mega beton’ dengan berbagai asesori yang memenuhi selera estetik
dan tentu saja, simbolik.

Agaknya ada alasan, jika Taman Nasional Ujung Kulon telah mengadopsi Sula Nyanda
menjadi sebuah Pusat Informasi Hutan Hujan Tropis Dataran Rendah di Pulau Peucang
dalam ukuran besar. Lantas apa yang sudah kita tampilkan kemarin dan sekarang, selain
type bangunan beratap tumpang? Kemana lagi mencari referensi?

Agaknya, mungkin sudah seharusnya, kita memperhitungkan Sula Nyanda sebagai model
seni bangunan khas daerah juga; modern atau super modern sekalipun, namun akarnya
lahir dan tumbuh di bumi kita, Banten.Rumah bagi masyarakat Baduy dalam (kejeroan), di
Kabupaten Lebak, Banten. Tidak sekedar tempat tinggal. Ada nilai Filosofi yang di yakini
sebagai kepercayaan nenek moyang mereka.Itu sebabnya membangun rumah tidak boleh
sembarangan.

Kawasan Baduy Dalam seperti daerah Kenekes, diyakini sebagai pusat alam semesta.
Karena itu, tanah di sana pantang di olah dengan cangkul. Malah, jika tanah yang
digunakan untuk membangun rumah tidak rata, mereka tidak mau meratakannya. Rumah
tetap didirikan disitu. Caranya tiang-tiang rumah disesuiakan dengan kondosi tanah.
Hasilnya tentu tiang- tiang yang tidak sama tinggi.

Secara umum rumah adat Baduy merupakan rumah panggung yang hampir secara
keseluruhan rumah menggunakan bahan bambu. Rumah adat baduy ini sendiri terkenal
dengan kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin mendapatkan
perlindungan dan kenyamanan.

Bangunan rumah adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti tinggi
rendahnya/kontur permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya,
bangunan disangga menggunakan tumpukan batu. Batu yang digunakan adalah batu kali,
berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor.
Berikut ini adalah beberapa ciri daripada rumah-rumah adat suku Baduy yang terletak di
pedalaman Kabupaten Lebak Propinsi Banten :

Motif Atap Rumah Suku Baduy Dalam

Atap rumah terbagi pada dua sisi kanan dan sisi kiri. Atap sebelah kiri di bangun lebih
panjang di bandingkan atap sebelah kanan. Ini di maksudkan supaya satu sisi yang lebih
panjang memberikan kehangatan yang lebih. Selain itu, juga untuk menambah ruangan
yang bisa di pakai. Karena pasti anggota keluarga akan terus bertambah. Kemudian, bagian
paling atas atau pucuk, pertemuan antara sisi kiri dan sisi kanan di buat cabik. Fungsinya
untuk menahan air hujan yang turun. Selain untuk fungsi tadi, cabik ini juga merupakan
lambang lingkaran hidup mereka.
Ciri khas berikutnya ialah, atap yang di pakai bukan seperti kebanyakan yang sering kita
temui. Mereka tidak memakai genting. Rata-rata yang di pakai sebagai atap terbuat dari
bahan yang sangat sederhana, biasanya dari ijuk atau daun kelapa yang di keringkan. Ini
adalah bagian adat yang harus di patuhi. Bagian dari kepercayaan yang sangat mereka
yakini. Hal ini berhubungan karena genting itu berbahan dari tanah. Artinya, kalau memakai
atap dari genting, sama saja mengubur diri sendiri. Sedangkan tanah hanya di peruntukan
untuk orang mati saja. Seperti peribahasa mereka “terletak antara dunia bawah – yaitu
tanah - dan dunia atas – yaitu langit -. Karena rumah memiliki pangkat yang lebih tinggi,
yaitu dunia atas, maka di larang di letakan lebih rendah dari tanah.

Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap
bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agah merebah ke belakang. Salahsatu sulah
nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian
bawah rangka atap.

Tanpa Jendela

Masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal jendela. Bagi mereka jendela itu hany sebagai
berfungsi untuk melihat sesuau yang ada diluar. Karenanya, jika memang ada yang ingin
dilihat dari dalam cukup melobangi dinding yang terbuat dari bambu. Itu sebabna rumah
dikawasan Baduy Dalam hamper tidak berjendela, kecuali rumah- rumah masyarakat Luar.

Bagi orang luar Baduy, jendela merupakn ventilasi untuk menikmati udara segar. Namun
untuk orang Baduy Dalam cukup diperoleh dari lobang lantai yang terbuat dari bambu
(palupuh). Lubang dari palupuh ini memungkinkan masuknya udara dari kolong rumah.

Bagian Rumah Suku Baduy Dalam

Bagian rumah itu didasarkan kepada kepercayaan, rumah identik dengan bumi ( alam
semesta). Yang terdiri dari 3 bagian atas, tengah, bawah. Dapur pada rumah masyarakat
Baduy berlantaikan bambu. Untuk membuat tungku, biasanya bagian lantai dapur itu
ditimbunin tanah besekat kayu. Diatas tanah itu dibuat tungku. Cara ini dimaksudkan agar
api tidak menjilat lantai bambu tersebut. Pada dapur ini, ada sebuah tempat yang disebut
goa. Fungsinya untuk menyimpan padi atau beras.

Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara vertikal.
Teknik anyaman tersebut dikenal dengan nama sarigsig tersebut dibuat hanya dengan
berdasarkan perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci rumah dibuat dengan
memalangkan dua buah kayu yang ditarik atau didorong dari bagian luar rumah.
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk
ruang tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah, ruang tidur untuk anak-anak
sekaligus ruang makan yang disebut tepas, dan ruang untuk menerima tamu yang disebut
sosoro. Seluruh bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat
rumah Baduy hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.

Rumah yang sangat sederhana adalah ciri khas masyarakat baduy. Menurut yang mereka
yakini, tempat tinggal memiliki kekuatan netral. Dalam istilahnya “terletak antara dunia
bawah dan dunia atas”. Kalau di perhatikan, rumah baduy pasti memiliki kolong dan tidak
langsung menyentuh tanah. Semua rumah pasti di bangun memakai alas batu (umpak).
Mereka pun percaya sepenuhnya, dengan membangunnya seperti itu, rumah mereka akan
jauh lebih awet dan tahan lama.

Perkampungan dikawasan Baduy Dalam ditanadai dengan lapangan luas. Letak lapangan
itu, ditengah deretan rumah penduduk. Sementara di daerah Baduy Luar, lapangan itu
sudah agak kabur karena digunakan untuk jalan orang- orang yang mau masuk kampung.

Diujung sebelah barat lapangan, terletak bagunan yang disebut bale(balai). Disebelah kiri
balai ini, berdiri tempat orang- orang menumbuk padi ( saung lisung). Sementara disebelah
kanan balai ada sekelompok lumbung padi yang disebut leuit. Rumah puun (tokoh tertinggi
orang Baduy Dalam), terletak disebelah timur lapangan.

Demikian ulasan mengenai ciri-ciri rumah dari masyarakat Baduy di Lebak, Banten.
Tentunya sobat penasaran jika tidak melihat seperti apa sebenarnya bentuk rumah-rumah
adat ini. Namun setidaknya dari ulasan diatas ada sedikit gambaran mengenai bentuk
rumah adat tersebut.

UR BADUY DALAM

Oleh Henry H Loupias

Pada umumnya kehidupan sehari-hari suku-suku di pedalaman mengandalkan naluri,


termasuk dalam upaya menyesuaikan serta menyelaraskan diri dengan lingkungan alam
sekitarnya. Banyak teknik atau cara yang digunakannya tergolong berteknologi cukup
“tinggi” dan mampu memprediksi kebutuhan hidupnya hingga masa depan.

Kecenderungan tersebut diperlihatkan secara jelas pada arsitektur vernakular suku Baduy
Dalam di Kampung Cibeo. Bentuk dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana,
dibangun berdasarkan naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari
gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam penataan
eksterior dan interiornya.
Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke utara-selatan dan saling
berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak diperkenankan berdasarkan adat. Di
samping itu, ada hal yang cukup menarik dan penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara
mereka memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau
mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa diratakeun-
untuk kepentingan bangunan yang akan didirikan di atasnya.

Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan


kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunan-
bangunan tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak
mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya.

Rumah tinggal suku Baduy Dalam termasuk jenis bangunan knock down dan siap pakai,
yang terdiri dari beberapa rangkaian komponen. Selanjutnya, komponen-komponen tersebut
dirakit atau dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali awi temen ataupun dengan cara
dipaseuk.

Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tihang-tihang,
panglari, pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang
digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu yang disambungkan
lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah mengering.

Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan palupuh (lantai) hanya
sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan
rumah tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya
bersifat fleksibel dan elastis. Rumah panggung Bangunan rumah tinggalnya berbentuk
rumah panggung. Karena konsep rancangannya mengikuti kontur lahan, tiang penyangga
masing-masing bangunan memiliki ketinggian berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar
atau tinggi, tiang penyangganya relatif rendah. Adapun pada bagian yang miring, tiangnya
lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada batu kali agar kedudukannya
stabil.Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di lingkungan kampung suku
Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga, batu kali juga digunakan sebagi
penahan tanah agar tidak longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk benteng, atau
dipakai untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan yang sangat
berguna terutama jika musim hujan tiba.
Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah posisi atau sikap
bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi agak
merebah ke belakang. Jenis atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang
ngapak. Jika jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di kedua
sisinya, atap jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan yang disebut curugan.
Salah satu atap pada sulah nyanda lebih panjang dan memiliki kemiringan yang rendah.

Rumah tinggal suku Baduy hanya


memiliki satu pintu masuk yang ditutup
dengan panto, yaitu sejenis daun pintu
yang dibuat dari anyaman bilah-bilah
bambu berukuran sebesar ibu jari dan
dianyam secara vertikal. Teknik
anyaman tersebut disebut sarigsig.
Orang Baduy tidak mengenal ukuran
seperti halnya masyarakat modern.
Karena itu, mereka pun tidak pernah
tahu ukuran luas maupun ketinggian
rumah tinggal mereka sendiri.

Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran
lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu
diukur selebar ukuran alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika
ditinggalkan penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk mengunci
pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari samping luar
bangunan. Ruangan Inti

Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro
dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian lebar
rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang
digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro dan tepas tidak
terdapat pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik atau siku.

Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan yang disebut imah
karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai dapur
(pawon), imah juga berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya.

Mereka tidak memiliki tempat tidur


khusus, tetapi hanya menggunakan tikar.
Alas tersebut digunakan hanya sewaktu
tidur, setelah itu dilipat kembali dan
disimpan di atas rak. Cara tersebut
menunjukkan bahwa kegunaan imah
sangat fleksibel dan multifungsi. Di
sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak
untuk menyimpan peralatan dapur dan
tikar untuk tidur.

Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau bagian inti dari tata
ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan
tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman,
maupun hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri
dan kepala keluarga.

Melalui kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat
menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120
meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang seluruh
komponennya.

Di Desa Cibeo terdapat 80 rumah tinggal dengan 100 kepala keluarga. Saat pelaksanaan
program, seluruh warga turun bergotong royong, bahu-membahu membantu tanpa pamrih.
Mereka menyumbangkan bahan bangunan, komponen rumah, atau tenaganya.

Anda mungkin juga menyukai