Anda di halaman 1dari 18

Geografi budaya

SUKU TORAJA
ADELA PRADINIANTI 1915140001
NUR RAHMI ISNAENI, S 1915141004
ARWAN PANCA PUTRA NOVIANDI 1915141005
ARISKA 1915141010
ARYAN ANRHI ALHAFIQ 1915142001
NENENG WULANDARI 1915142003
DHIYAUDDIN 1915142006
Masyarakat indonesia merupakan suatu masyarakat
majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam
berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya
kemajemukan di dalam masyarakat kita terlihat dalam
beragamnya kebudayaan di Indonesia. Melihat realita
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural maka
akan terlihat pula adanya berbagai suku bangsa di
Indonesia. Salah satu suku yang ada di indonesia adalah
suku toraja.
ASAL USUL SUKU TORAJA
Suku Toraja berasal dari Teluk Tonkin yang terletak di antara Vietnam Utara dan Cina Selatan. Awalnya,
imigran asal Teluk Tonkin ini tinggal di wilayah pantai yang ada di Sulawesi, namun mereka pindah ke
dataran tinggi yang sampai saat ini masih didiami oleh Suku Toraja. Disebutkan juga bahwa masyarakat
yang mendiami Tana Toraja ini adalah hasil percampuran dari penduduk lokal yang memang tinggal di
dataran tinggi Sulawesi Selatan dengan para imigran dari Teluk Tongkin-Yunnan, Cina Selatan. Mereka
berlabuh di sekitar hulu sungai, yakni daerah Enrekang, kemudian membangun permukiman.

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.
Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat. Nama Toraja mulanya diberikan
oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan
sebutan To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan". Ada
juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya
orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana
berarti negeri, sehingga sekarang lebih dikenal dengan Tana Toraja
ADAT ISTIADAT SUKU TORAJA
Suku Toraja masih terikat oleh adat istiadat dan kepercayaan nenek moyang. Kepercayaan asli
masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, merupakan agama/aturan dari leluhur yang
diturunkan dari generasi ke generasi oleh sang pencipta yakni Puang Matua. kesadaran bahwa
manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang
yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.
Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, Seseorang yang telah
meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah,
tempat berkumpulnya semua roh. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu
dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo.

Dalam kepercayaan ini manusia diwajibkan menyembah, memuja, dan memuliakan Puang Matua
dengan melakukan ritual, antara lain sajian, persembahan, dan upacara-upacara. Biasanya suku
Toraja memberikan babi ataupun ayam sebagai persembahan kepada para Dewata atau Dewa
sebagai pemelihara utusan Puang Matua. Upacara-upacara adat lain yang sering dilakukan oleh
Suku Toraja ialah rambu solo yang merupakan upacara adat pemakaman dan rambu tuka yang
merupakan upacara untuk merenovasi rumah adat.
Satu hal yang memegang peranan yang cukup penting dalam adat istiadat
masyarakat suku Toraja yakni Kerbau. Bagi etnis Toraja, kerbau adalah
binatang yang paling penting dalam kehidupan sosial mereka. Kerbau atau
dalam bahasa setempat tedong tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-
hari masyarakat. Selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat
takaran status sosial, dan alat transaksi. Dari sisi sosial, kerbau merupakan
harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya. Tidak mengherankan bila orang
Toraja sangat menjaga kerbau mereka. Hal ini dapat dilihat dari percakapan
sehari-hari, pada saat hendak bertransaksi, mengadakan pesta, dalam
menjalankan ibadah keagamaan.
tongkonan
Tana Toraja memiliki rumah adat yang dinamakan
Tongkonan. Tongkonan, yang berbentuk rumah panggung
dan beratap melengkung, terdiri dari tiga bagian, yakni
atas, tengah, dan bawah. Bagian tengah berfungsi sebagai
tempat tinggal yang di dalamnya terdapat teras, ruang
tamu, ruang tidur, dan dapur. Bagian atas biasanya
digunakan sebagai tempat menyimpan jenazah sebelum
dimakamkan. Bagian kolong biasanya untuk tempat warga
bercengkerama. Bagi penganut Aluk Todolo, bagian atas,
tengah, dan bawah tongkonan bermakna langit, bumi dan
bawah bumi. Langit dipercaya tempat Puang Matua (pencipta) yang berwujud laki-laki. Bumi
digambarkan sebagai Datu Baine, saudara perempuan Puang Matua. Inilah yang memunculkan
idiomatik tongkonan berjenis kelamin perempuan. Di depan tongkonan selalu terdapat alang, yang
berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Penganut Aluk Todolo umumnya menyebut alang
Londong Nabanua (ayam jantan). Itulah mengapa alang diibaratkan berjenis kelamin laki-laki. Jika
atap tongkonan dan alang disatukan akan membentuk bulatan, simbol keseimbangan makrokosmos
dan mikrokosmos dalam hidup suku Toraja.
Dalam kehidupan masyarakat Toraja, tongkonan menjadi sumber rujukan dan penyelesaian
masalah bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Berbagai pertanyaan dan informasi masalah
sosial, budaya, dan keagamaan dapat diperoleh di sana. Segala konflik dan perselisihan pun dapat
diselesaikan di sana. Hal ini sesuai dengan filosofi peletakan tangga masuk tongkonan yang berada
di sisi kiri. Masyarakat dengan berbagai pertanyaan dan permasalahannya memasuki tongkonan
dari sisi kiri. Setelah di dalam tongkonan, mereka dapat menanyakan permasalahannya kepada
pimpinan tongkonan. Pihak-pihak yang berselisih pun dapat mencari penyelesaiannya dengan
berdiskusi di dalam tongkonan. Setelah ditemukan jawaban dan penyelesaian masalahnya, mereka
keluar dari sisi kanan. Jadi, orang memasuki tongkonan dengan berbagai masalah, begitu keluar ia
sudah menemukan solusinya.

Bangsawan Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang
biasanya. Perbedaan ini bisa kita lihat pada bagian rumah terdapat tanduk kerbau yang disusun
rapi menjulang ke atas, semakin tinggi atau banyak susunan tanduk kerbau tersebut semakin
menukjukkan tinggi dan penting status sosial si pemilik rumah.
ukiran kayu
Rumah adat tongkonan toraja memiliki variasi gambar
dan simbol yang diukir menghiasi semua bagiannya.
Ukiran-ukiran tersebut untuk menunjukkan konsep
keagamaan dan sosial suku Toraja yang disebut Pa’ssura
(Penyampaian). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan
perwujudan budaya Toraja. Pola yang terukir memiliki
makna dengan presentase simbol tertentu dari pemilik
atau rumpun keluarga yang punya nilai magis. Ukiran-
ukiran Toraja itu diyakini memiliki kekuatan alam atau
supranatural tertentu.

Pencipta awal mula ukiran-ukiran magis ini diyakini dari Ne’


Limbongan, yang mana simbolnya berupa lingkaran berbatas bujur
sangkar bermaksa mata angin.
Setiap pola ukiran abstrak punya nama dan kisah antara lain motif “empat lingkaran yang ada
dalam bujur sangkar” biasanya ada di pucuk rumah yang melambangkan kebesaran dan keagungan.
Makna yang terkandung dalam simbol-simbol itu antara lain simbol kebesaran bangsawan (motif
paku), simbol persatuan (motif lingkaran 2 angka delapan), simbol penyimpanan harta (motif empat
lingkaran berpotongan dan bersimpul) dan lain sebagainya. Selain motif-motif abstrak itu, beragam
pula pola-pola yang realistis mengikuti bentuk binatang tertentu antara lain burung bangau (motif
Korong), motif bebek (Kotte), Anjing (motif Asu), Kerbau (Tedong), Babi (Bai) dan ayam
(Pa’manuk Londong).

Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran kayu
Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar ukiran dari ornamen
Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari
dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku
Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan
bambu untuk membuat jelas ornamen geometris tersebut.
sistem bahasa suku toraja
Bahasa Toraja-Sa'dan adalah salah satu bahasa yang dipertuturkan di daerah Kabupaten Tana
Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan sekitarnya, Sulawesi Selatan, Indonesia. Sebagian besar
pemetaan rumpun bahasa Toraja ini dikerjakan oleh para Zendeling Belanda yang bekerja di Sulawesi,
seperti Nicolaas Adriani dan Hendrik van der Veen. Penutur bahasa Toraja juga ditemukan di
sebagian besar Kabupaten Luwu, Kabupaten Enrekang bagian utara, dan di Kecamatan Galumpang,
Kabupaten Polewali Mamasa. Pemakaian bahasa Toraja di wilayah geografi yang luas menyebabkan
adanya beberapa dialek yang berbeda-beda, tetapi masih bisa dimengerti oleh masing-masing
pengguna dialek. Dialek bahasa Toraja dibedakan menjadi dialek Tallulembang atau dialek Makale,
dialek Kesu', dialek Mamasa atau dialek Galumpang, dialek Sa'dan-Balusu, dialek Simbuang, dan
dialek Palopo.

Bahasa Toraja-Sa'dan memiliki beberapa dialek, antara lain :


 Makale (Tallulembangna)
 Rantepao (Kesu’)
 Toraja Barat (Mappa-Pana)
sistem mata pencaharian suku toraja
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung
dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja
untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.
Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja. Toraja juga dikenal sebagai tempat
asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

Setelah orde baru, ekonomi toraja mulai bergeser ke arah pariwisata. Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak
dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja
sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali". Pariwisata
menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja
(selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989.
Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat
sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.Nilai jual pariwisata toraja adalah Toraja daerah petualangan yang
eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil, desa zaman batu dan pemakaman purbakala
sistem teknologi dan perlatan suku toraja
1. Alat-Alat Produksi Tradisional
Alat-alat yang digunakan masyarakat suku Toraja untuk mengolah lahan pertanian yang
hingga kini masih dipakai. Ada beberapa alat yang digunakan suku ini yaitu linggis, gergaji
yang digunakan oleh dua orang, kapak, cangkul sabit, alat-alat pahat dan alat yang digunakan
untuk memotong padi yang dinamakan Rangkopan.

Penggunaan linggis bagi suku ini sangat penting. Ini disebabkan suku Toraja yang tinggal di
daerah pegunungan dengan struktur tanah bebatuan. Sebelum mengolah tanah untuk lahan
pertanian, masyarakat menggunakan linggis untuk mencungkil batu-batu besar barulah
kemudian bisa diolah dengan cangkul. Gergaji panjang yang digunakan oleh orang Toraja
berfungsi untuk memotong pohon yang diambil kayunya untuk membuat rumah tradisional
mereka dan rumah tradisional ini memiliki ukiran yang diukir menggunakan alat-alat pahat.
2. Senjata Tradisional
Senjata tradisional dijadikan benda yang sakral dan dikeramatkan dan ini tidak boleh digunakan oleh sembarang
orang maupun secara sembrono menggunakannya. Senjata-senjata dalam suku Toraja itu ialah Doke, Gayang, dan
La’bo.

Doke yang berarti tombak, memiliki ukuran yang normal seperti tombak pada umumnya. Penggunaan Doke selain
untuk berburu juga digunakan untuk berperang. Doke ini juga memiliki kekuatan magis yang pada akhirnya senjata
ini juga disakralkan oleh masyarakat suku Toraja. Gayang atau dikenal juga dengan keris memiliki ukuran yang
normal seperti keris yang juga terdapat di Jawa. Gayang dalam suku Toraja hanya dimiliki oleh kasta bangsawan.
Gayang juga memiliki kekuatan magis dan menjadi benda yang keramat dan hanya disimpan oleh keturunan kasta
bangsawan. La’bo yang dikenal dengan parang tradisional ini juga memiliki kekuatan magis dan disakralkan seperti
senjata yang lain. La’bo memiliki penampilan yang cukup berbeda dengan panjang dua meter dan memiliki ukiran di
tubuhnya. La’bo adalah sebuah tanda bahwa pemiliknya adalah seorang ksatria keturunan kasta bangsawan dan
seperti senjata lainnya, La’bo juga disakralkan kepemilikannya.

Senjata tersebut hanya dimiliki oleh kasta bangsawan dan disakralkan karena kekuatan magis yang menurut
kepercayaan ada di dalam masing-masing senjata. Senjata tersebut pada masa kini hanya dikeluarkan pada saat
acara-acara seremonial suku Toraja sebagai pelengkap dalam pakaian perkawinan maupun saat-saat kedukaan.
Selain ketiga alat tadi, masih ada senjata lain yang dimiliki oleh suku Toraja yang juga digunakan untuk berperang
dan berburu. Senjata tersebut berupa Penai yaitu parang, Bolulong yaitu perisai dan Sumpi yaitu sumpit.
3. Wadah Tradisional
Suku Toraja memiliki wadah yang dibedakan menurut fungsinya yaitu Sipu’ dan Aling. Sipu’
adalah wadah yang digunakan sebagai tempat menyimpan sirih dan pinang. Sirih dan pinang
ini digunakan untuk sebuah kebiasaan yang biasa dikenal dengan menyirih. Penggunaan Sipu’
ini dibedakan menurut warna pada upacara adat yang sedang dilaksanakan. Sipu’ yang
berwarna hitam digunakan pada saat upacara kematian dan Sipu’ yang berwarna putih
digunakan pada saat upacara pernikahan. Sedangkan Aling adalah wadah yang dikenal
dengan sebutan lumbung padi. Alang ditemukan di Tongkonan yang adalah rumah tradisional
suku Toraja. Bagi suku ini, Alang disebut sebagai bapak dan Tongkonan disebut sebagai ibu
4. Alat Untuk Membuat Api
Masyarakat suku Toraja selain menggunakan pembuat api yang modern, juga masih
menggunakan pembuat api yang tradisional. Pembuatan api tradisional yang dilakukan
adalah dengan menggosokkan dua potong bambu yang diraut dengan serutan sebagai bahan
bakarnya. Oleh masyarakat Toraja, teknik ini dinamakan Miapi atau meminjam api dari
tetangga. Teknik ini digunakan untuk penyalaan api untuk memasak.
5. Makanan Dan Minuman Tradisional

Makanan Tradisional
Suku Toraja memiliki makanan tradisional yaitu Pa’piong. Pa’piong adalah daging ayam, kerbau atau babi yang
dimasak dalam bambu. Selain Pa’piong, juga ada Lemang yaitu beras ketan yang juga dimasak dalam bambu.
Lemang ini hanya dimasak apabila ada upacara pernikahan atau disebut Rambu Tuka’ dan upacara pemakaman
yang dinamakan Rambu Solo’.

Dalam memasak makanan ini, ada beberapa aturan yang mesti dilakukan. Pada upacara Rambu Tuka’ bambu
harus dipotong dari bawah ke arah atas dan bambu yang dihasilkan harus tajam. Sebaliknya pada upacara Rambu
Solo’ bambu harus dipotong dari arah atas ke bawah dan bambu yang dihasilkan tidak boleh tajam. Dalam
masyarakat suku Toraja,

Ada filosofi tersendiri dalam pemotongan bambu ini yaitu:


Rambu Tuka’ berasal dari kata Rambu yang berarti asap dan Tuka’ yang berarti naik. Seperti asap yang naik ke
atas dan seperti matahari yang terbit dari timur demikian hendaknya rezeki selalu melimpah. Rambu Solo’ berasal
dari kata Rambu yang artinya sama yaitu asap dan Solo’ yang berarti turun. Seperti asap yang turun dan matahari
yang terbenam di barat. Makanan lainnya yaitu Pantollo’ pamarasan adalah makanan yang terbuat dari daging
babi yang dimasak sedemikian rupa dengan bumbu khas yang hanya ada di tana Toraja. Masakan ini nantinya
berbentuk seperti rendang dan berwarna hitam. Selain dengan daging babi, makanan ini biasanya diolah
menggunakan ikan mas.
Minuman Tradisional
Ballo’ atau tuak adalah minuman khas Toraja. Terbuat dari getah pohon nira yang difermentasi selama
beberapa hari. Minuman ini memiliki dua rasa yang berbeda yaitu manis dan asam. Rasa yang dimilikinya
tergantung pada cara fermentasi dan juga kualitas pohon nira itu sendiri. Minuman khas ini biasanya
disajikan dalam upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ dan juga dalam acara syukuran keluarga

6. Alat Transportasi Tradisional


Masyarakat suku Toraja umumnya berjalan kaki untuk alat transportasi tradisionalnya. Tetapi bagi yang
tinggal di daerah pegunungan, masyarakat menggunakan kuda untuk alat transportasi.

7. Pakaian dan Perhiasan Tradisional


Pakaian adat dalam suku Toraja dibagi menjadi dua, yaitu bagi pria dan wanita. Pakaian untuk pria
dinamakan Seppa Tallung yang bercirikan baju yang berlengan pendek dan celana yang panjangnya sampai
ke lutut sedangkan pada wanita dinamakan Baju Pokko’ baju yang berlengan pendek dengan rok dan asesoris
perhiasan lainnya.Pakaian ini masih dilengkapi dengan aksesoris lainnya seperti Kandure, Lipa’, Gayang dan
sebagainya. Selain itu, suku Toraja juga memiliki beberapa perhiasan tradisional, yaitu Bake’ yang adalah
ikat kepala, Manikkota’ yang adalah gelang besar dan Sisin Lebu’ yang adalah cincin besar. Pakaian dan
perhiasan ini tidak digunakan sehari hari, Tetapi digunakan saat ada acara-acara seremonial tertentu yang
diadakan masyarakat setempat dan pada umumnya digunakan oleh penari maupun pagar ayu pada pesta
pernikahan suku Toraja
8. Tempat Berlindung Tradisional
Dalam membangun sebuah rumah baik tradisional maupun modern, dibutuhkan kerja sama
atau yang dikenal dengan gotong-royong. Begitu pun dalam masyarakat suku Toraja yang
menggunakan prinsip gotong-royong untuk membangun rumah tradisional mereka atau
yang dikenal dengan Tongkonan. Tujuan bersama akan tercapai apabila prinsip gotong-
royong ini sudah mendarah daging dalam diri dan menjadi sebuah kebiasaan yang baik
apabila yang dilakukan dalam kerja sama adalah perbuatan yang baik demi kepentingan
bersama

Dalam membangun Tongkonan, ada hal-hal yang diharuskan


dan tidak boleh dilanggar, yaitu rumah yang harus
menghadap ke arah utara, letak pintu di bagian depan
rumah dengan keyakinan bumi dan langit adalah satu
kesatuan dan bumi dibagi dalam empat arah mata angin
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai