Anda di halaman 1dari 17

DAFTAR ISI

Daftar Isi ……………………………………………………………………….........….... 1


Kata Pengantar …………………………………………………………............…………2
Landasan Teori …………………………………………………........…………………....3
Isi …………………………………………………………………………..........……….. 4
Sejarah Desa Kete Kesu…………………………………………………………...4
Keunikan Desa Kete Kesu………………………………………………………..14
Kelebihan Desa Kete Kesu……………………………………………………….14
Kekurangan Desa Kete Kesu……………………………………………………..14
Pemberdayaan Desa Kete Kesu ………………………………………………….14
Masalah di Desa Kete Kesu………………………………………………………15
Solusi Permasalahan di Desa Kete Kesu…………………………………………15
Kesimpulan ……………………………………………………...……...............…….… 16
Daftar Pustaka ………………………………………………………........…...………… 17

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Desa Kete Kesu ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan
kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi
anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.

Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Sosiologi
Pedesaan dengan judul “Desa Kete Kesu”. Disamping itu, kami mengucapkan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini
berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat kami perbaiki.
Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat kekurangannya.

Indralaya, Februari 2020

Penyusun

2
LANDASAN TEORI

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.
Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di
Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku
Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme
yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini
sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”.
Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal
akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung
selama beberapa hari.

Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah
semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang
pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh
antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari
masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas
beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut
animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar.Di Tana Toraja memiliki sebuah pakem yang
cukup jelas mengenai identitas diri mereka sebagai sebuah kelompok. Suku Toraja yang tinggal
di daerah dataran tinggi memiliki sebuah identitas pengenalan diri yang diklasifikasikan
bedasarkan asal desa mereka dan satu sama lain tidak merasa sama jika mereka bukan berasal
dari kelompok desa yang sama. Meskipun ritual-ritual yang diadakan di tiap desa identik dan
menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam segi dialek, hierarki
sosial, dan macam-macam praktik ritual di daerah tersebut.

Saat ini Kete Kesu merupakan wisata favorit terletak di provinsi Sulawesi Selatan kawasan
kabupaten Toraja. Kelompok 1 memfokuskan penelitian di kampung Kete’ Kesu yaitu: Upacara
pemakaman (rante), area kuburan, area pemukiman yang terdiri dari rumah Tongkonan (rumah
adat suku Toraja), ekonomi, persepsi dan perilaku masyrakat setempat serta agama yang
berperan di Toraja.

3
ISI

 Sejarah Desa Kete Kesu


Kete Kesu adalah suatu desa wisata di kawasan Tana Toraja yang dikenal karena
adat dan kehidupan tradisional masyarakat dapat ditemukan di kawasan ini.Di dalam
Kete Kesu terdapat peninggalan purbakala berupa kuburan batu yang diperkirakan
berusia 500 tahun lebih. Di dalam kubur batu yang menyerupai sampan atau perahu
tersebut, tersimpan sisa-sisa tengkorak dan tulang manusia. Hampir semua kubur batu
diletakkan menggantung di tebing atau gua. Selain itu, di beberapa tempat juga terlihat
kuburan megah milik bangsawan yang telah meninggal dunia.

Terletak 4 km di bagian tenggara Rantepao, Kete Kesu terdiri dari padang rumput
dan padi yang mengelilingi rumah adat Tana Toraja, yaitu Tongkonan. Sebagian rumah
adat yang terletak di desa ini diperkirakan berumur sekitar 300 tahun dan letakknya
berhadapan dengan lumbung padi kecil. Tidak hanya terdiri dari 6 Tongkonan dan 12
lumbung padi, Kete Kesu juga memiliki tanah seremonial yang dihiasi oleh 20 menhir.
Di dalam salah satu Tongkonan terdapat museum yang berisi koleksi benda adat kuno
Toraja, mulai dari ukiran, senjata tajam, keramik, patung, kain dari Cina, dan bendera
Merah Putih yang konon disebutkan merupakan bendera pertama yang dikibarkan di
Toraja. Selain itu, di dalam museum ini juga terdapat pusat pelatihan pembuatan
kerajinan dari bambu.

Desa Kete Kesu merupakan kawasan cagar budaya dan pusat berbagai upacara
adat Toraja yang meliputi pemakaman adat yang dirayakan dengan meriah (Rambu Solo),
upacara memasuki rumah adat baru (Rambu Tuka), serta berbagai ritual adat lainnya.
Pada bulan Juni - Desember, berbagai upacara dan perayaat adat umumnya dilakukan
oleh masyarakat sekita di lokasi ini. Beberapa penduduk desa memang ahli mengukir dan
memahat patung. Mereka juga terbiasa membuat tau-tau. Makam adat di Kete Kesu telah
ditutup dengan jeruji besi untuk mencegah pencurian patung jenazah adat (tau-tau).
Beberapa jenazah dapat dilihat jelas dari luar bersama dengan harta yang dikuburkan di
dalamnya. Peti mati tradisional (erong) yang terdapat di desa ini tidak hanya berbentuk
seperti perahu, namun juga ada yang berbentuk kerbau dan babi dengan pahatan atau
ukiran yang menghiasi. Bahkan ada juga patene atau makam modern yang berbentuk
rumah-rumahan.

4
 Keunikan Desa Kete Kesu
Toraja ditetapkan sebagai cagar budaya oleh UNESCO. Hal ini karena Kete’ Kesu
mempunyai keunikan budaya yang tak dimiliki tempat lain dan wajib dilestarikan.

a. Rumah Adat Toraja (Kete’ Kesu)


Toraja tidak pernah lepas dari perbincangan masyarakat tentang budaya mereka
yang ditinjau dari rumah adat Toraja. Berikut penjelasan terkait rumah adat toraja.

1) Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja (Kete’ Kesu) yang berdiri di
atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan
kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja (Kete’ Kesu) tongkon
("duduk").Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja (Kete’
Kesu). Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam
kehidupan spiritual suku Toraja (Kete’ Kesu) oleh karena itu semua anggota
keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka
dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja (Kete’ Kesu), tongkonan
pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja (Kete’
Kesu) turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang
besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya
dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan
layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat
"pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang
memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota
keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas
tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari
pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh
cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Rumah Tongkonan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:


a) Kolong (Sulluk Banua)
b) Ruangan rumah (Kale Banua)

5
c) Atap (Ratiang Banua), bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Pada sisi
sebelah barat dan timur bangunan terdapat jendela kecil untuk sirkulasi udara dan
masuknya cahaya matahari.

Latar belakang arsitektur Rumah Tradisional Toraja (Kete’ Kesu) berkaitan


dengan falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari kebudayaan orang
Toraja (Kete’ Kesu) itu sendiri. Dalam pembangunan Rumah Adat Tongkonan
ada hal-hal yang mengikat atau hal yang di haruskan dan tidak boleh di langgar,
yaitu: Rumah harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah,
dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi
dalam 4 penjuru mata angin, yaitu:
a) Utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia di mana Puang Matua berada
(keyakinan masyarakat Toraja (Kete’ Kesu))
b) Timur disebut Matallo, tempat metahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan
atau kehidupan.
c) Barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan
atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
d) Selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat
melepas segala sesuatu yang tidak baik / angkara murka

2) Struktur dan Bahan Bangunan Rumah Tongkonan


Kayu yang digunakan adalah kayu Uru, jenis kayu lokal dari Sulawesi.
Kualitasnya sangat baik dan kayu tersebut banyak ditemui di hutan-hutan.
Pada umumnya sistem struktur yang dipakai untuk bangunan Tongkonan adalah
sistem konstruksi pasak (knock down).

Beberapa keistimewaan tongkonan di Ke’te’ Kesu’ adalah:


a) Katik, bagian depan bentuknya agak berbeda yaitu bentuknya panjang dan
ramping.
b) Sedangkan tiang kolom, untuk tongkonan yang tertua berjumlah 7 buah,
berjajar pada bagian lebar bangunan. Tiang kolom pada alang seluruhnya
berjumlah 8 buah, dengan 2 kolom berjajapada bagian lebar bangunan dan 4
kolom ke arah belakang/ bagian panjang bangunan.
c) Bangunan/Tongkonan yang tertua mempunyai struktur bangunan yang lebih
rendah daripada tongkonan yang baru dengan bentuk tiang kolom empat persegi.

Bentuk dari Tongkonan dapat dibagi menjadi:


a) Bagian kolong rumah (sulluk banua)

6
(1) Pondasi: pondasi yang digunakan adalah dari batuan gunung, diletakkan
bebas di bawah Tongkonan tanpa pengikat antara tanah, kolom dan pondasi itu
sendiri.
(2) Kolom/tiang (a’riri): tiang terbuat dari kayu uru, sedangkan untuk alang
digunakan kayu nibung, sejenis pohon palem. Bentuk kolomnya persegi empat,
pada alang bentuknya adalah bulat. Perbedaan bentuk tersebut menunjukkan
perbedaan dari fungsi bangunan, yaitu Tongkonan untuk manusia, sedangkan
alang untuk barang (padi). Penggunaan kayu nibung dimaksudkan agar tikus tidak
dapat naik ke atas, karena serat kayu ini sangat keras dan sapat sehingga terlihat
licin.
(3) Balok: sebagai pengikat antara kolom-kolom digunakan balok-balok,
dengan fungsi seperti sloof, yang dapat mencegah terjadinya pergeseran tiang
dengan pondasi. Hubungan balok dengan kolom digunakan sambungan pasak,
disini tidak dipergunakan sambungan paku/baut. Bahan yang digunakan adalah
kayu uru. Jumlah baloknya ada 3 buah, sedangkan pada alang hanya 1 buah, yaitu
sebagai pengikat pada bagian bawah. Tangga menggunakan kayu uru.

b) Bagian Badan rumah


(1) Lantai: pada Tongkonan terbuat dari papan kayu uru yang disusun di atas
pembalokan lantai. Disusunya pada arah memanjang sejajar balok utama.
Sedangkan untuk alang terbuat dari kayu banga.
(2) Dinding: pada Tongkonan dinding disusun satu sama lain dengan
sambungan pada sisi-sisi papan dengan pengikat utama yang dinamakan Sambo
Rinding. Dinding yang berfungsi sebagai rangka menggunakan kayu uru atau
kayu kecapi. Sedangkan dinding pengisinya menggunakan kayu enau.

c) Bagian kepala
(1) Atap: pada Tongkonan terbuat dari bambu-bambu pilihan yang disusun
tumpang tindih yang dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh tali
bamboo/rotan. Fungsi dari susunan demikian adalah untuk mencegah masuknya
air hujan melalui celah-celahnya. Fungsi lain adalah sebagai ventilasi, karena
pada Tongkonan tidak terdapat celah pada dindingnya. Susunan bambu di taruh di
atas kaso yang terdapat pada rangka atap. Susunan tampak (overstek) minimal 3
lapis, maximal 7 lapis, setelah itu disusun atap dengan banyak lapis yang tidak
ditentukan, hanya mengikuti bentuk rangka atap sehingga membentuk seperti
perahu. Fungsi dari Tolak Somba adalah untuk menunjang/menopang agar Longa
tidak runtuh/turun. Sangkinan Longa adalah sebagai keseimbangan dari Longa.
Semakin panjang Longanya maka jumlah Sangkinan Longanya pun semakin
banyak.
(2) Dinding: susunanya seperti dinding pada bagian kepala badan.

7
d) Bagian Tata Ruang Dalam
Pola tata ruang dalam pada badan rumah (Kale Banua) pada Tongkonan di Kete’
terbagi atas 3 ruang utama. Ruang-ruang tersebut mempunyai fungsi sesuai
dengan urutan daru Utara ke Selatan, masing-masing:
i. Tangdo: ruang ini terletak di sebelah Utara berfungsi sebagai ruang
tidur nenek, kakek, dan anak laki-laki. Ruang ini terletak di Utara
karena pengawasan terhadap anggota keluarga lebih terjaga. Orang
tua/kakek-nenek sebagai orang yang dituakan. Jendela pada ruang
Tangdo berjumlah 2 buah yang menghadap Utara. Peil lantai pada
ruang Tangdo sama dengan ruang sumbung dan tidak terdapat
ornamen.
ii. Sali: ruang ini terletak di tengah bangunan yang berfungsi sebagai
ruang tamu, dapur, wc, tempat/ruang persemayaman jenazah, dan
ruang keluarga Ruang Sali: yang diperbolehkan masuk hanya kerabat
dekat dari keluarga dan tetua-tetua adat. Pada ruang Sali ini
dindingnya berwarna hitam, disebabkan oleh jelaga yang timbul pada
waktu memasak dan asap yang berasal dari tungku, jelaga ini
bermanfaat sebagai bahan pengawet kayu.

Berikut penjelasan mengenai bagian Sali:


(a) WC: terbuat dari batu yang berbentuk oval dan agak cekung, lalu diberi
lubang, terletak di sebelah Timur, di samping kanan tungku. WC ni berfungsi
untuk buang air kecil bagi ibu-ibu dan anak-anak di malam hari.
(b) Ruang persemayaman jenazah: ruang Sali ini berfungsi juga sebagai ruang
persemayaman jenazah di letakan disini menunggu urusan yang ditinggalkan si
mati selesai.
(c) Peletakkan pintu masuk di sebelah Utara atau Timur karena nenek moyang
mereka berasal/dating dari arah Utara, juga arah angin yang dating selalu dari
arah Utara, Utara mempunyai arti kebaikan. Pintu yang terletak disebelah Timur
mempunyai arti kebahagiaan dan keceriaan disesuaikan dengan arah terbitnya
matahari, dari sebelah timur. Fungsi pintu selain sebagai tempat keluar masuk
manusia/penghuni juga dipakai sebagai jalan keluar bagi jenazah pada saat
pemakaman.
(d) Sumbung: fungsinya sebagai ruang tidur orang tua dan anak-anak yang
masih menyusui serta anak-anak gadis, dan tempat menyimpan alat-alat serta
harta pusaka. Peil lantai ditinggikan, yang menandakan bahwa penghuni
Tongkonan mempunyai kekuasaan dan derajat yang tinggi pada wilayah tersebut.
Sumbung berada di Selatan karena anak gadis dan anak yang masih kecil perlu

8
pengawasan yang ketat, dengan perlindungan dari anak laki-laki yang bertempat
di Tangdo dan orang tua.

3) Ornamen dan Warna


Motif-motif ornament pada bangunan Toraja (Kete’ Kesu) mengambil bentuk-
bentuk dasar: hewan, tumbuhan dan benda langit, demikian pula di Kete’ Kesu’
ini.
a) Motif hewan melambangkan kekuatan dan kekuasaan, contoh: Ayam jantan:
berkokok jam 5 pagi melambangkan kehidupan dan kepala kerbau: menunjukan
prinsip yang kokoh.
b) Motif tumbuhan melambangkan kemakmuran, contoh: Lumut: menandakan
sawah sebagai sumber kehidupan
c) Motif benda langit melambangkan kekuasaan Tuhan, contoh: Matahari:
sebagai sumber cahaya (terang) dalam kehidupan
Sedangkan warna dasar (kasemba) terdiri dari 4 warna, yaitu:
a) Merah: berani berkorban
b) Kuning: keagungan
c) Hitam: berani berbuat baik
d) Putih: mandiri
Jumlah motif ornament yang umum digunakan sekarang kurang lebih 74 jenis,
akrena motif-motif yang lain dianggap terlalu berat untuk digunakan/diamalkan.
Contoh: Pa Kadang Sepru (beras) melambangkan putusnya hubungan
kekerabatan.

4) Ukiran kayu
Ukiran kayu Toraja (Kete’ Kesu): setiap panel melambangkan niat baik. Untuk
menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja (Kete’ Kesu) membuat
ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran
kayu merupakan perwujudan budaya Toraja (Kete’ Kesu).

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan
tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air
dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan.
Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja (Kete’ Kesu), terdiri atas
15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan,
sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah
melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga
akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan
dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan

9
air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti
hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya
kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.

Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja
(Kete’ Kesu), selain itu ukiran kayu Toraja (Kete’ Kesu) juga abstrak dan
geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja (Kete’
Kesu), karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen
Toraja (Kete’ Kesu) dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan
mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja (Kete’ Kesu)
membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja
(Kete’ Kesu) menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.

b. Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja (Kete’ Kesu), upacara pemakaman merupakan ritual
yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang,
maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk,
hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar.
Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang
disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain
sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan
berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan.
Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi
duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja (Kete’ Kesu) tetapi semua itu tidak
berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan,
dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang
untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja (Kete’ Kesu) percaya bahwa
kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah
proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa
penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke
Puya.

1) Sebuah Makam

10
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa
seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan
dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya,
dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur".

Suku Toraja (Kete’ Kesu) percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk
melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak
kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak
upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap
darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan
kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada
keluarga almarhum.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam
batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di
makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya
sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan
jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya
diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak
digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama
setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

2) Upacara Pemakaman Rambu Solo


Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja (Kete’ Kesu)
yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang
meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para
leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang
terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut
upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang
meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara
ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap
sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya
orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan
minuman, bahkan selalu diajak berbicara.

Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting,
karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang
meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang
mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung
(deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”,

11
sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja (Kete’ Kesu) akan
mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang
meninggal dunia.

Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang
meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau
disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga
bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor,
sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor
babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan.
Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi
berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat
pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja
(Kete’ Kesu) dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu
menggelar upacara ini.

Bagi masyarakat Tana Toraja (Kete’ Kesu), orang yang sudah meninggal tidak
dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya
upacara Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang
sakit. Karena statusnya masih ‘sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi
harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti
menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih.
Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti
biasanya. Jika keluarga si mati itu belum mampu melaksanakan upacara Rambu
Solo, jenazah itu akan disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja (Kete’ Kesu))
sampai pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban untuk melaksanakan
upacara tersebut. Penyimpanan jenazah itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Setelah pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban tersebut, barulah
Rambu Solo dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari rumah duka ke tongkonan
tammuon (tongkonan pertama tempat dia berasal). Di sana dilakukan
penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Toraja (Kete’
Kesu)nya Ma’tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja
(Kete’ Kesu), menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja.
Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama
Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-
bagikan kepada mereka yang hadir.

Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu


keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak
ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di

12
tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan
dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.
Seluruh prosesi acara Rambu Solo’ selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu
sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di
tongkonan barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari
tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung). Jenazah
diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja (Kete’ Kesu)). Di depan
duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di
depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh
para wanita dalam keluarga itu).

Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan


setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut
mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut,
sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.

Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan


pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti
dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat
di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba
dan yang terakhir barulah duba-duba.

Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi


berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari
bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai
tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara
berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi
menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di
lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung).
Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang
yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk
rumah adat Toraja (Kete’ Kesu). Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum
nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu,
yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Dilanjutkan dengan
hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan
mempertontonkan ma’pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para
penonton, karena selama upacara Rambu Solo’, adu hewan pemamah biak ini
merupakan acara yang ditunggu-tunggu.

13
Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan
agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua
tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada
di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang
digemari oleh orang-orang Tana Toraja (Kete’ Kesu) hingga sampai pada hari
penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane’ (kuburan
dari kayu berbentuk rumah adat).

c. Musik dan Tarian


Suku Toraja (Kete’ Kesu) melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan
dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita,
dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang
arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.

 Kelebihan Desa Kete Kesu


 Barisan Rapi Rumah Tongkonan
 Kebudayaan dan Situs Pemakaman Kuno yang masih terjaga
 Terdapat museum yang berisi koleksi benda adat kuno Toraja di dalamnya.
Seperti ukiran, senjata tajam, keramik, benda merah putih yang pertama kali
berkibar di Toraja.
 Harga masuk ke kawasan Kete Kesu sangat terjangkau
 Dijadikan sebagai cagar budaya oleh UNESCO
 Sarana transportasi memadai

 Kekurangan Desa Kete Kesu


 Perjalanan ke desa ini memakan waktu 8-9 jam dari Bandara Sultan Hasanudin
 Penginapan untuk para wisatawan hanya ada di desa tetangga tepatnya desa
makale

 Pemberdayaan Desa Kete Kesu


Pemberdayaan desa Kete Kesu dimulai dari dibentuknya museum untuk benda-
benda prasejarah dan memiliki bulan-bulan yang tepat untuk menikmati budaya di desa
kete kesu. Seperti kegiatan pembersihan jasad para leluhur yang disebut dengan
“ma’nene”. Selain itu desa ini juga memiliki banyak penjual souvenir yang unik dan
etnik, hal ini tentu dapat dijadikan oleh-oleh bagi para wisatawan.

 Masalah di Desa Kete Kesu

14
Masalah yang menimpa warga desa ini adalah adanya tingkatan kasta pada
rakyatnya. Terdiri atas bangsawan, biasa, dan budak namun rakyat dikasta budak
ini sudah dihapus sejak 1969. Adanya kasta ini menyebabkan warga khususnya
bangsawan mengatur pernikahan untuk menjaga keturunannya.

 Solusi masalah didesa Kete Kesu


Kasta ini diturunkan dari ibu, sehingga tidak diperbolehkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Hal ini bisa mengurangi warga berkasta
biasa.

15
KESIMPULAN

Kete Kesu merupakan salah satu desa yang banyak menyimpan cerita dan sejarah Tana Toraja,
di sini ada rumah adat serta makam kuno yang sudah berusia sejak zaman leluhur Tana Toraja.

Kete Kesu berada di Kampung Bonoran Kelurahan Tikunna Malenong, Kecamatan Sanggalangi,
Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Di sepanjang perjalanan menuju desa Kete Kesu, wisatawan
akan disuguhkan dengan pemandangan perbukitan hijau serta hamparan sawah yang luas.Desa
Kete Kesu sendiri lebih dikenal dengan museum hidup, karena wisatawan dapat mengetahui
tradisi kuno masyarakat Tana Toraja. Saat memasuki pintu masuk Kete Kesu wisatawan akan
melihat danau, setelah itu wisatawan akan menyaksikan pemandangan barisan rapi rumah adat
tongkonan.

Usia rumah adat yang ada di Kete Kesu sendiri sudah ada sejak zaman leluhur di Tana Toraja,
bangunan itu dibangun berjejer dengan rapi menghadap ke lumbung padi yang ada di sisi timur.
Rumah adat itu disebut rumah tongkonan yang dihiasi dengan ukiran indah, serta tanduk kerbau
yang melambangkan status sang pemilik rumah.Semakin banyak dan tinggi tanduk kerbau yang
di pasang di rumah, artinya semakin tinggi pula status sosial pemilik rumah tersebut. Hal ini
dikarenakan di Tana Toraja kerbau dianggap hewan yang sakral, harganya pun lebih tinggi
dibanding kerbau di daerah lainnya di Sulawesi.

16
DAFTAR PUSTAKA

https://pesona.travel/keajaiban/682/kete-kesu-desa-wisata-di-toraja-dan-makam-
bangsawan

https://id.wikipedia.org/wiki/Kete_Kesu

https://www.celebes.co/desa-kete-kesu-tana-toraja

https://sulsel.idntimes.com/travel/destination/andi-aris/7-fakta-unik-kete-kesu-tana-
toraja-1-regional-sulsel

https://palontaraq.id/2017/02/12/eksotisme-budaya-megalitik-di-kete-kesu-toraja/

https://travel.kompas.com/read/2018/12/26/085100327/sisi-lain-di-balik-eksotisme-
toraja?page=all

http://whc.unesco.org/en/tentativelists/5462/

17

Anda mungkin juga menyukai