Anda di halaman 1dari 10

/

Rante Parinding, Salah Satu Tempat Upacara Pemakaman di Tana Toraja. Sumber: Lulabi, 2013 dalam travel.detik.com

AL5101 Sejarah dan Teori Arsitektur Lanskap Semester 1-2013/2014

SIMBUANG BATU, JEJAK MEGALITIKUM DI LANSKAP TORAJA


Nama Mahasiswa
NIM

: Resya Wulanningsih
: 28913004

Pengantar
Sulawesi. Sebelumnya dinamakan Celebes oleh pionir-pionir Portugis yang menemukan daratan ini di
awal abad ke-16. Profil pulaunya yang terdiri atas kumpulan semenanjung membuat pelaut Portugis
awalnya mengira bahwa daratan ini adalah sekumpulan pulau yang terpisah. Sulawesi terdiri atas
berbagai suku dan kelompok etnis yang unik dan sangat penting mewarnai kebudayaan Nusantara.
Para pelaut dan perompak Bugis Islam dan Makasar dari Barat Daya, serta Kristen Minahasa dari
semenanjung utara adalah kelompok yang dominan di pulau itu. Namun kebudayaan animisme orang
Toraja di pegunungan di tengah pulaulah yang memberi keunikan tersendiri bagi Sulawesi. Suku
Toraja merupakan salah satu suku dengan jejak kebudayaan megalitikum di Indonesia. Orang Toraja
biasa mendirikan dan menyusun batu berukuran besar untuk mengenang orang yang meninggal.
Toraja dikenal dengan lanskap budayanya (cultural landscape) yang unik. Kekayaan budaya Toraja
seperti upacara-upacara masyarakat, pekuburan di dinding batu, arsitektur, kerajinan ukiran kayunya
yang khas, dan masyarakatnya yang hingga kini masih memegang teguh tradisi dan adat yang kuat
menjadikan Toraja masuk sebagai nominasi Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage Sites) di
tahun 1995 oleh UNESCO.

Lanskap Kampung Toraja dengan Tongkonan, Perbukitan Granit, dan Persawahan


Sumber: http://www.flickr.com/photos/pepifleuf/

Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

Sejarah dan Leluhur Toraja


Toraja adalah nama yang diberikan suku asli Bugis bagi orang-orang yang tinggal di daerah
pegunungan di utara semenanjung Sulawesi Selatan. To berarti orang, Riaja berarti tinggi/ atas/
pegunungan, sehingga Toraja berarti orang yang berasal dari gunung. Tempat tinggi (gunung)
dianggap sebagai tempat suci, tempat bersemayam leluhur. Mereka menganut kepercayaan animisme,
berbudaya megalitik, pengorbanan hewan, dan pesta serta upacara pemakaman.
Orang Toraja termasuk salah satu suku Proto-Malay (Melayu tua) yang konon berasal dari Asia
Tenggara tengah (Kamboja). Legenda Toraja bercerita bahwa leluhur mereka datang dari suatu daerah
di Utara melalui lautan. Legenda lainnya mengatakan Leluhur Toraja adalah orang-orang yang datang
dari bintang menggunakan kapal ruang angkasa. Badai merusak kapal mereka dan membawanya jauh
ke daratan Toraja. Kapal yang rusak dijadikan atap bagi rumah baru mereka. Rumah Tongkonan,
dengan atap berbentuk kapal (ataupun tanduk kerbau, karena Toraja berkebudayaan Kerbau), selalu
menghadap ke arah utara.
Di masa yang lebih lampau, kampung Toraja berada di atas bukit dan dibentengi oleh terowonganterowongan yang dibuat dari batuan. Hal ini merupakan kebiasaan kampung-kampung tua Indonesia
untuk melindungi daerahnya dari para pengayau (pemburu kepala) dan peperangan antar kampung.
Kepercayaan animisme Toraja mulai mendapat pengaruh budaya luar setelah 1909, ketika para
misionaris Protestan datang bersamaan dengan koloni Belanda. Keistimewaan Tana Toraja baru
terungkap karena sebelumnya menjadi misteri di antara wilayah yang bergunung-gunung dan untuk
mencapainya harus melalui pelaut perompak Bugis. Ketika para penjajah Belanda mencapai Toraja,
mereka mulai melerai pertikaian antar kampung dan memaksa masyarakat untuk turun dan bermukim
di lembah. Belanda juga memperkenalkan sistem pertanian padi sawah di lahan basah kepada
masyarakat. Masyarakat Toraja mulai meninggalkan kebiasaan berladang skala kecil. Mereka mulai
hidup dengan pertanian padi sawah, beternak babi dan kerbau.
Sebelum terpengaruh budaya luar, masyarakat Toraja menganut kepercayaan animisme kuno
leluhurnya yang disebut Aluk To Dolo. Saat ini, 78% orang Toraja sudah menganut Kristen, 7%
Muslim, dan hanya 15% yang masih memeluk agama adat Aluk To Dolo. 1 Walau begitu, tradisi Aluk
To Dolo dan ajaran kosmologi yang kental masih dilaksanakan oleh masyarakatnya sebagai bagian
dari cara hidup dan ritual upacara adat.

Aluk To Dolo, Kepercayaan Kuno Toraja


Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut
aluk, atau "jalan/ hukum". Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (surga) dunia
manusia (bumi), dan dunia bawah. Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan
gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktek
pertanian, dan ritual keagamaan.
Kepercayaan Aluk To Dolo sangat menjiwai kehiduapan masyarakat Toraja, bahkan menjadi faktor
penentu dalam cara hidup, pola kampung, serta arsitektur Toraja. Dalam kehidupan sehari-hari, adat
tercermin dalam berbagai ritual upacara masyarakat Toraja. Dua ritual terpenting dalam siklus hidup
orang Toraja adalah upacara sukacita yang disebut Rambu Tuka, dan upacara pemakaman yang
disebut Rambu Solo.
Ajaran Aluk To Dolo menurut orang Toraja berisi konsep kepercayaan terhadap alam kehidupan
setelah mati. Ajaran ini menganggap bahwa arwah seseorang setelah mati tidak hilang begitu saja
melainkan kembali ke suatu tempat yang dianggap sebagai alam arwah atau sebagai tempat asal-usul
leluhur mereka. Konsep kepercayaan ini kemudian diimplementasikan dalam upacara Rambu Solo
dan prosesi pemakaman.

Yulianto Sumalyo, Kosmologi dalam Arsitektur Toraja. 2001.

Resya Wulanningsih - 28913004

Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

Aluk To Dolo juga mengatur tatanan hidup orang Toraja. Dalam skala keluarga, Aluk To Dolo
menjadi acuan pola keluarga mengatur rumah. Rumah, dalam istilah Toraja, disebut Tongkonan, yang
mengacu pada bangunan tempat tinggal, berkumpul, tidur, memasak. Sedangkan rumah dalam arti
yang lebih luas disebut Banua yang mengacu pada lingkungan tempat masyarakat hidup, berinteraksi,
mengadakan upacara. Dalam Banua, termasuk di dalamnya halaman, alang (lumbung), kuburan, dan
bagian lain kampung yang menyangkut kehidupan sehari-hari
Harmonisasi Aluk To Dolo dengan cara hidup masyarakat juga didapati dalam konsep Banua
Tongkonan yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen Tongkonan seperti rumah,
lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, di dalam satu sistem kehidupan orang Toraja di dalam
area Tongkonan. Selain itu, makro dan mikrokosmos tetap terpelihara di dalam tatanan kehidupan
masyarakat tradisional Toraja, dimana rumah dianggap sebagai Mikrokosmos.
Tata letak rumah tongkonan berorientasi Utara Selatan, bagian depan rumah harus berorientasi Utara
atau arah Puang Matua Ulunna langi dan bagian belakang Rumah ke Selatan atau arah tempat roh-roh
Pollona Langi. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti kehidupan dan
pemeliharaan. Arah terbitnya matahari merupakan tempat para Dewa memelihara dunia beserta isinya
ciptaan Puang Matua untuk memberi kehidupan bagi manusia. Arah terbenamnya matahari adalah
tempat bersemayam To Membali Puang atau tempat para leluhur To Dolo.

Tata Letak Tiga Desa Adat Toraja (dari atas ke bawah): Palawa; KeteKesu; Siguntu
Tongkonan berjejer dengan bagian depan menghadap utara. Sisi panjang berorientasi ke arah matahari
terbit-tenggelam. Di tengah terdapat halaman luas untuk mengadakan upacara adat.
Letak lumbung berada di sebelah utara Tongkonan. Letak Rante untuk upacara pemakaman berada di
luar kompleks kampung karena dianggap merupakan mikrokosmos sendiri
Sumber: Yulianto Sumalyo, Kosmologi dalam Arsitektur Toraja. 2001.

Resya Wulanningsih - 28913004

Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

Orientasi utara-selatan juga terlihat dalam interpretasi masyarakat akan alam Tana Toraja. Di tengah
wilayah pegunungan Toraja, mengalir dari utara-selatan Sungai Sadang yang berpengaruh secara
sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Toraja. Istilah Toraja Sa'dang dipakai untuk menyebut
wilayah dan kelompok etnis di kawasan Sungai Sa'dang. Sungai Sa'dang dipandang oleh masyarakat
Toraja mengalir dari utara ke selatan melintas Tana Toraja, kemudian berbelok ke arah barat. Hal ini
menunjukkan bahwa arah air yang kebetulan dari utara ke selatan (tepatnya dari timur laut ke arah
barat daya) menjadi arah penting dalam orientasi kehidupan. Air menjadi sumber kehidupan, mengalir
dari daa (utara) ke arah lao' (selatan). Sungai Sadang menjadi unsur penting dalam sistem irigasi
sawah masyarakat dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Sungai Sadang menjadi unsur penting
kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja dalam menjalankan kepercayaannya. Orientasi kosmis dan
klasifikasi arah diturunkan dari ajaran Aluk To Dolo untuk memuliakan arwah dan leluhur.

Rambu Solo', Upacara Mengantarkan Kematian menuju Bintang


Ajaran Aluk To Dolo akan kehidupan yang kekal setelah mati, membawa tradisi bagi orang Toraja
bahwa ketika ada yang meninggal, jasadnya harus dibawa ke tempat yang tinggi agar lebih cepat
berpulang menuju bintang. Upacara yang disebut rambu solo' akan digelar untuk mengantarkan jasad
dan arwah orang yang meninggal. Rambu Solo' untuk bangsawan Toraja merupakan rangkaian
upacara yang dapat mencapai berhari-hari maupun berminggu-minggu tergantung status sosial dan
pengorbanan keluarga yang ditinggalkan.
Dalam kepercayaan Suku Toraja, tanah dianggap sebagai elemen suci. Maka, masyarakat Toraja tidak
akan mengubur mayat di dalam tanah, tetapi di dalam tebing batu atau pohon. Secara geografis, tradisi
ini dipengaruhi oleh bentang alam Toraja. Tana Toraja didominasi oleh pegunungan dan batu granit
raksasa sehingga memungkinkan tradisi itu dilaksanakan. Adat Toraja lainnya mengatakan
penguburan jenazah di gua-gua tinggi dalam tebing batu dimulai beberapa ratus tahun yang lalu, ketika
gerombolan Bugis dari dataran rendah di selatan mulai menjarah situs-situs pemakaman Toraja demi
memperoleh harta yang dimakamkan bersama jenazah.
Secara umum, tujuan upacara Rambu Solo' adalah untuk keselamatan leluhur di alam selanjutnya dan
untuk menjaga kesejahteraan keluarga yang ditinggalkan. Dalam pelaksanaan Rambu Solo' tertentu,
didirikan monolit batu yang melambangkan orang yang meninggal untuk mewakili arwahnya di dunia
dan menjaga serta mengawasi keluarganya. Kepercayaan tersebut juga mendorong masyarakat Toraja
untuk menguburkan anggota keluarga dengan sebaik-baiknya.

Upacara Rambu Solo Puang Lasso Rinding di Sangalla, tahun 1972


Sumber: Blair, 2012 : 204

Resya Wulanningsih - 28913004

Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

Simbuang Batu, Jejak Kebudayaan Megalitikum Tana Toraja


Kondisi geografis Tana Toraja yang dikelilingi oleh gunung dan tebing-tebing curam baru benar-benar
dikenal oleh dunia internasional sekitar tahun 1972. Hal itu terjadi setelah National Geographic dalam
Ekspedisi Ring of Fire mendokumentasikan upacara pemakaman bangsawan terakhir Toraja yang
berdarah murni, Puang Lasso Rinding dari Sangalla. Pada Rambu Solo' untuk Puang Lasso Rinding,
keluarganya mendirikan sebuah batu megalit untuk mengenang sang Raja yang telah mangkat di tahun
1968. Jasadnya terbaring selama empat tahun menanti keluarganya mengumpulkan harta dan korban
binatang dengan jumlah yang cukup sebagai syarat untuk mengantarkan arwahnya menuju ke bintang.
Pendirian megalit terakhir di keluarga Sangalla sebelum 1972 adalah di tahun 1912, yang didirikan
dalam upacara Rambu Solo' untuk Raja sebelumnya, ayah Puang Lasso Rinding. Di zaman itu,
keluarganya masih mendirikan megalit dengan cara kuno yang tekniknya dengan sangat disayangkan
tidak terwariskan dengan baik. Selama berbulan-bulan, keluarga Puang Lasso Rinding mencoba
menarik batu seberat dua ton tersebut agar masuk ke dalam lubangnya dan berdiri tegak, Teknologi
dan peralatan modern pun diperbantukan untuk menegakkan monolit sang Raja.

Peserta Rambu Solo di Rante Tendan, Distrik Pangala


Sumber: Jowa Imre, 1988 : 55

Tidak seperti monolit yang terdapat di kebudayaan lain Indonesia seperti Sumba, Monolit Toraja tidak
diukir maupun diberi dekorasi tertentu untuk menunjukkan derajat kemakmuran keluarga orang yang
meninggal. Monolit hanya berupa batu besar alami, biasanya berbentuk panjang, yang meruncing di
satu sisinya. Batu-batu ini beberapa dipahat dan dihaluskan dengan teknik yang sangat minimal di
lokasi asal batu ditemukan, sedang beberapa yang lainnya tanpa modifikasi apapun. Di daerah
Sangalla, Toraja selatan, terdapat kompleks monolit dengan berbagai bentuk asli yang menarik seperti
menyerupai bentuk burung, dipilih seksama sebagai 'monumen' tanpa adanya modifikasi.
Minimalnya modifikasi ukiran maupun ornamen yang dibuat di Monolit Toraja dapat dikaitkan
sebagai simbol metafor bahwa manusia adalah bagian dari alam. Manusia tidak mencoba untuk
mendominasi alam dengan pembersihan lahan dan pertanian skala besar. (Tilley, 2004 dalam Adams,
2009).

Resya Wulanningsih - 28913004

Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

Monolit di Tana Toraja berbentuk menhir dan disebut simbuang batu. Simbuang Batu merupakan
medium penghormatan, menampung kedatangan roh sekaligus menjadi lambang orang yang
dihormati. Simbuang Batu diberi nama sesuai nama pemiliknya sehingga diyakini merupakan refleksi
dari almarhum. Pihak keluarga pun tidak "kehilangan" kerabatnya karena monumen batu itu menjadi
wakil si mati di dunia. Dia tetap berada di tengah-tengah kerabat meski arwahnya telah abadi di langit.
Berbeda dengan menhir yang merupakan simbol gender "laki-laki", simbuang batu tidak didirikan atas
simbol gender tertentu. Batu-batu megalit ini didirikan oleh keluarga ketika ada orang yang meninggal
untuk mengenangnya. Tidak setiap orang meninggal akan dibuatkan simbuang batu, namun hanya
bangsawan laki-laki maupun perempuan dengan derajat tinggi di suku Toraja. Untuk upacara
pemakamannya juga merupakan upacara tertinggi yang disebut Rapasan Sapurandan dan
mengorbankan sedikitnya 24 ekor kerbau air. Jumlah ini bahkan dapat mencapai ratusan.
Sebelum dilakukan perjalanan pencarian batu yang sesuai dengan keinginan keluarga, seekor babi
harus dikorbankan untuk dewa tanah, Ampu Padang, karena sebuah batu akan dipindahkan dari
'kerajaannya'. Keluarga biasanya telah memesan untuk mencari sebuah batu dengan bentuk tertentu.
Monolit Toraja diangkut secara tradisional dari gunung ataupun sungai. Setelah ditemukan batu yang
tepat, batu tersebut akan ditarik oleh sejumlah pria menggunakan tali dari tumbuh-tumbuhan. Semakin
besar batu tersebut, semakin banyak pria dibutuhkan untuk mengangkutnya. Diketahui dibutuhkan 40
pria untuk mengangkut sebuah batu berukuran 4x1,3 meter. 2 Setelah batu tersebut mencapai Rante,
diadakan upacara penyembelihan babi lagi karena sebuah lubang telah digali di bumi. Sepertiga bagian
bawah batu ditanam di dalam tanah, menyisakan dua pertiganya menjulang di atas tanah.
Beberapa simbuang batu dapat didirikan untuk seorang raja yang meninggal. Batu-batu ini disusun
berbaris maupun melingkar membentuk suatu area plaza yang disembut Rante. Di sekeliling rante ada
beberapa bangunan untuk mengadakan salah satu rangkaian upacara Rambu Solo'. Rangkaian upacara
yang dilakukan di Rante termasuk adu kerbau, sabung ayam, dan pembangunan tongkonan sementara
bagi tamu-tamu yang datang dari jauh untuk menghadiri pemakaman. setiap keluarga bangsawan
memiliki Rante masing-masing untuk menggelar upacara bagi Rajanya. Banyak Rante tersebar di
seluruh penjuru Tana Toraja; di tengah perkampungan, di area persawahan, maupun di tepi jalan.
Beberapa sudah ditinggalkan seiring masuknya pengaruh agama tertentu yang memiliki tradisi
berbeda untuk pemakaman jenazah.

Upacara tarik batu tahun 1937.


Sumber: F. Van Der Kooi, 1937

Barry Dawson. The Traditional Architecture of Indonesia. 1994.

Resya Wulanningsih - 28913004

Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

Perbandingan tinggi manusia dengan Simbuang Batu


Sumber: Tropenmuseum, 1935

Setelah pendirian simbuang batu dan upacara yang dilakukan di Rante, jenasah akan disemayamkan di
Liang. Letak Liang (goa pemakaman) selalu berada di dekat pemukiman dan berada di tempat yang
lebih tinggi, umumnya berada di arah selatan kampung. Liang berupa goa/ ceruk di tebing di bukit,
pegunungan, ataupun tempat yang sengaja ditinggikan. Tujuan dari penempatan lokasi pemakaman
yang dekat dengan pemukiman dilatarbelakangi oleh kepercayaan bahwa ada hubungan timbal-balik
antara orang yang masih hidup dengan orang yang meninggal. Letak pemakaman yang berada lebih
tinggi dari pemukiman juga diyakini oleh kepercayaan bahwa alam kubur sebagai tempat
bersemayamnya arwah leluhur, harus berada di tempat yang lebih tinggi dari pemukiman agar dapat
mengawasi perilaku manusia yang masih hidup di dunia. 3

Tata Letak Area Pemakaman Berada di Selatan Kampung


Sumber: Wikimapia

Muhammad Nur. Refleksi Sistem Religi Pada Peninggalan Megalitik Di Tana Toraja.

Resya Wulanningsih - 28913004

Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

Simbuang Batu di Rante Kalimbuang


Salah satu Rante yang terkenal adalah Rante Kalimbuang yang terdapat di Bori Kalimbuang,
Rantepao, Toraja Utara. Di Rante Kalimbuang terdapat 102 simbuang batu yang berdiri tegak. Dilihat
dari ukurannya, terdapat 3 jenis ukuran monolit. Monolit besar dengan tinggi lebih dari 2 meter,
sedang dengan tinggi 1-2 meter, dan kecil dengan tinggi kurang dari 1 meter. Di Rante Kalimbuang,
terdapat 24 batu berukuran besar, 24 ukuran sedang dan 54 yang berukuran kecil. Perbedaan ukuran
batu umumnya disebabkan faktor ekonomi. Pasalnya, semakin besar dan berat batu, semakin besar
biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat, menarik, maupun mendirikannya. Oleh karena itu,
ukuran dan besarnya upacara akan mencerminkan status sosial keluarga pendiri Simbuang Batu.

Rante Kalimbuang
Sumber: Setyawan, 2012: travel.kompas.com

Batu Tertinggi Rante Kalimbuang


Sumber: travel.detik.com, 2011

Pada tahun 1657 Rante Kalimbuang mulai digunakan pada upacara pemakaman Ne'Ramba' di mana
100 ekor kerbau dikorbankan dan didirikan dua Simbuang Batu. Selanjutnya pada tahun 1807 pada
pemakaman Tonapa Ne'padda' didirikan 5 buah Simbuang Batu, sedang kerbau yang dikorbankan
sebanyak 200 ekor. Ne'Lunde' yang pada upacaranya dikorbankan 100 ekor kerbau didirikan 3 buah
Simbuang Batu.
Selanjutnya berturut-turut sejak tahun 1907 banyak Simbuang Batu didirikan dalam ukuran besar,
sedang, kecil dan secara khusus pada pemakaman Lai Datu (Ne'Kase') pada tahun 1935 didirikan satu
buah Simbuang Batu yang terbesar dan tertinggi yang mencapai 8 meter. Simbuang Batu yang terakhir
adalah pada upacara pemakaman Sa'pang (Ne'Lai) pada tahun 1962. 4

Arsitektur Lanskap Megalitikum dan Orientasi Kosmis Toraja


Lanskap budaya yang tergambarkan di Tana Toraja merefleksikan interaksi antara manusia dan
lingkungan alaminya dalam ruang kehidupan dan waktu. Alam menjadi wadah dan padanan
masyarakat, keduanya menjadi kekuatan yang membentuk lanskap. Pola perkampungan dengan
susunan Tongkonan, tempat upacara, serta pemakaman yang terintegrasi mencerminkan The Way of
Thinking masyarakat Toraja dalam mengaplikasikan ajaran Aluk To Dolo akan orientasi kosmis.
Susunan Megalit Simbuang Batu yang berdiri di lanskap Tana Toraja menjadi bukti keyakinan
masyarakat akan pemujaan leluhur untuk keselamatan dunia.
Kepercayaan terhadap arwah leluhur telah dikenal dan dianut secara luas oleh masyarakat berbagai
suku bangsa sejak akhir masa bercocok tanam. Sebagai penghubung antara orang yang masih hidup
dengan arwah leluhur/ orang yang telah meninggal, didirikan bangunan-bangunan megalitik. Arwah
4

Rotua Tresna Manurung. Upacara Kematian di Tana Toraja: Rambu Solo'. 2009.

Resya Wulanningsih - 28913004

Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

leluhur dianggap dapat hadir atau bersemayam di bangunan tersebut untuk menjaga masyarakat,
menyuburkan tanaman, dan mengusir roh jahat atau bencana alam melalui ritual upacara tertentu.
Hubungan manusia dengan arwah leluhur Toraja juga bersifat timbal balik karena diyakini
keselamatan arwah leluhur di alam puya (baka) sangat ditentukan oleh perlakukan dari kerabat dan
masyarakat yang ditinggalkannya di alam lino (dunia). Keselamatan arwah dijaga dengan pemenuhan
kebutuhan dan syarat-syarat yang harus ada untuk melaksanakan upacara pemakaman sesuai ketentuan
adat seperti persembahan dan bekal kubur.
Berdasarkan konsep kepercayaan tersebut, dalam menjalankan berbagai ritual upacara dibutuhkan
sarana seperti bangunan megalitik yang berfungsi sebagai media penghubung antara manusia dengan
arwah. Megalit Simbuang Batu menjadi simbol dari seorang tokoh yang telah meninggal dan diyakini
merupakan wakil dari Si Mati agar tetap hadir dan menjaga kehidupan keluarganya di dunia.
Dalam kehidupan masyarakat Toraja selalu berusaha menciptakan keharmonisan dengan alam,
masyarakat, dan arwah sesuai dengan ajaran Aluk To Dolo. Alam kehidupan dunia dianggap sebagai
mikrokosmos yang harus selalu diselaraskan dengal alam jagad raya (makrokosmos). Keseimbangan
tersebut dapat diwujudkan dalam aspek kehidupan dengan pengklasifikasian alam secara horizontal
dan vertikal. Klasifikasi alam secara horizontal didasari dengan fenomena alam terbit dan
tenggelamnya matahari di timur-barat dan arah yang dianggap sebagai arah suci asal leluhur di utara.
Arah matahari terbit dianggap sebagai tempat bersemayamnya Ulunna Langi (penjaga langit)
sedangkan arah matahari tenggelam dianggap sebagai tempat bersemayamnya Todolo (leluhur).
Pembagian alam secara vertikal dibagi menjadi Dunia Atas tempat Puang Matua, Tolino (dunia), dan
Dunia Bawah (tempat dewa berekor/ hewan).
Klasifikasi kosmos tersebut dimanifestasikan dalam mikrokosmos lingkungan tempat tinggal
masyarakat Toraja. Kelompok upacara Rambu Tuka (suka cita) dilaksanakan di sebelah timur
pemukiman, sedangkan upacara Rambu Solo (duka cita) dilaksanakan di sebelah barat pemukiman.
Upacara yang ditujukan kepada para dewa tempat pelaksanaannnya di sebelah utara Tongkonan atau
tempat yang telah ditentukan secara khusus, dan upacara yang ditujukan kepada Bombo (arwah),
tempat pelaksanaannya di sebelah selatan Tongkonan.
Lokasi Rante tidak berada dalam klasifikasi kosmos pemukiman yang berpusat di Tongkonan, karena
dianggap sebagai mikrokosmos tersendiri. Rante menjadi simbol suatu perkampungan adat pada waktu
difungsikan sebagai tempat pelaksanaan upacara kematian, sehingga penempatannya adalah di tempat
yang strategis dan memungkinkan untuk menampung banyak orang. Tata letak situs dan orientasi
kosmis yang mendasari pola pemukiman dan tempat pelaksanaan ritual sangat dipengaruhi oleh
konsep kosmologi yang bersumber pada ajaran Aluk To Dolo. Kepercayaan masyarakat Toraja
tradisional memandangn bumi sebagai suatu lempengan luas yang terdiri dari dataran, bukit, gunung,
dan sungai yang disangga oleh Deata (dewa).
Keterangan:
a. Pongko'
b. Tasik (laut)
c. Gunung Bamba Puang
(gerbang menuju Puang Matua)
d. Puya (Tanah dari semua yang
berjiwa berpulang/ alam baka).
e. Padang/ Lino (Dunia
Tengah/dunia manusia)
f. Langi' (Dunia Atas)
g. Dunia Bawah.
h. Pong Tulak Padang.
i. Roh di dalam bumi.
j. Puang Matua atau Ulunna
Langi
k. Tongkonan.
Pandangan kosmologi masyarakat Toraja
Sumber: Kis-Jovak. 1988 : 36

Resya Wulanningsih - 28913004

Simbuang Batu, Jejak Megalitikum di Lanskap Toraja

Penutup: Simbuang Batu di Abad 21


Masuknya agama Kristen di tengah-tengah tradisi Toraja sedikit banyak mempengaruhi kebiasaan dan
cara hidup orang Toraja. Tradisi mulai dikonversi dari animisme murni ke arah cara hidup Kristen.
Misionaris Kristen yang membawa ajaran agama mengajarkan kepada orang Toraja cara-cara
pemakaman yang berbeda dengan tradisi Rambu Solo'. Berbagai aspek teknis upacara pemakaman
seperti pembuatan boneka kayu Tau-Tau yang merepresentasikan almarhum, dieliminasi dari upacara
pemakaman cara Kristen. Pendirian monolit, yang diyakini sebagai rumah sementara bagi jiwa orang
yang meninggal sebelum pulang ke langit, telah lama absen dari upacara pemakaman Rambu Solo'
dari pertengahan abad ke-20 karena mengandung konflik terhadap konsep Kristen mengenai tempat
pembaringan terakhir bagi jenazah. (Ames, 1998 dalam Adams, 2009).
Upacara besar yang melibatkan pendirian batu megalit merepresentasikan proses kompetisi bagi
keluarga sang Raja dalam mendapatkan sejumlah besar orang untuk mengangkut batu dan datang ke
upacara pemakaman. Semakin banyak orang yang datang ke upacara, maka semakin banyak pula
tambahan jumlah korban hewan yang akan diterima oleh keluarga. Upacara pengorbanan hewan tetap
dilaksanakan sebagai bagian dari dinamika sosial masyarakat Toraja, dan menjadi salah satu fitur
upacara Rambu Solo' cara Kristen. Semakin megah upacara, semakin banyak pengeluaran yang
dihabiskan dan hewan yang dikorbankan, menepikan tradisi mendirikan Simbuang Batu dan membuat
bangunan megalit menjadi kurang signifikan dibanding jumlah tenaga dan investasi yang dikeluarkan.
Hal ini menjelaskan mengapa pembangunan batu Megalit menjadi semakin jarang terlihat di Tana
Toraja.

Referensi
Adams, Ron L. 2009. Transforming Stone: Ethnoarchaeological Perspectives on Megalith Form in
Eastern Indonesia. In Megalithic Quarrying: Extracting and Manipulating the Stones p. 83-92.
Proceedings of the XV World Congress of the International Union for Prehistoric and Protohistoric
Sciences. Oxford: Archaeopress.
Blair, Lawrence & Blair, Lorne. 2012. Ring of Fire: Indonesia dalam Lingkaran Api. Jakarta: Ufuk
Press.
Dawson, Barry & Gillow, John. 1994. The Traditional Architecture of Indonesia. London: Thames &
Hudson.
Indratno, Imam. dkk. 2013. Refleksi Ruang Tongkonan (Studi Kasus: Kampung Adat Tua Sillanan,
Tana Toraja). Bandung: Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung
Kis-Jovak, Jowa Imre. 1988. Banua Toraja. Amsterdam: Royal Tropical Institute
Nur, Muhammad. 2008. Refleksi Sistem Religi Pada Peninggalan Megalitik Di Tana Toraja (Studi
Etnoarkeologi). Makassar: Universitas Hasanudin
Sumalyo, Yulianto. 2001. Kosmologi dalam Arsitektur Toraja. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur.
Vol. 29, No. 1, Juli 2001: 64 - 74
Tsintjilonis, Dimitri. 2000. Death and the Sacrifice of Signs: 'Measuring' the Dead in Tana Toraja.
Oceania Volume 71, Issue 1, Pages 1-17, September 2000. Proquest e-Journal ID 222380432. ISSN
00298077.

Resya Wulanningsih - 28913004

10

Anda mungkin juga menyukai