D
I
S
U
S
U
S
U
N
OLEH :
Suku bangsa ini sering juga disebut orang Naulu atau Nuahunai, artinya orang yang berdiam di hulu
Sungai Nua, yaitu daerah dari mana mereka berasal sebelum menempati daerah yang sekarang.
Sekarang orang Nuaulu berdiam di sebagian wilayah Kecamatan Amahai, di bagian selatan Pulau
Seram, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Jumlah populasi suku Noaulu diperkirakan hanya
ribuan orang. Negeri Lama hanya memiliki 78 keluarga yang setara dengan 271 jiwa.Ketidakmampuan
berbahasa Indonesia membuat mereka juga terisolasi dari berbagai informasi pembangunan. Mereka
juga cenderung eksklusif demi menjaga tradisi leluhur.Suku Noaulu yang ada di Sepa lebih terbuka
karena permukiman mereka cenderung bersatu dengan warga desa lain. Tempat tinggal mereka juga
terletak tak jauh dari Jalan Trans-Seram yang menghubungkan Masohi-Tehoru. Warga juga telah
mengenal televisi dan berpendidikan lebih baik daripada saudara mereka di Nuanea.
Ciri utama masyarakat Noaulu adalah ikat kepala berwarna merah yang digunakan pria dewasa. Ikat
kepala yang disebut kain berang itu tidak boleh dilepaskan dalam kondisi apa pun, kecuali saat mandi.
Adapun perempuan yang telah bersuami wajib mengenakan kain atau selendang di pinggangnya.
Masyarakat suku Naulu ini masih hidup dengan cara memanfaatkan hasil hutan, seperti menjelajah
hutan untuk berburu dan mencari apa saja di dalam hutan untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Selain itu mereka juga memiliki ladang yang ditanami beberapa jenis tanaman yang bisa menunjang
kehidupan mereka.
Dalam prosesi penikahan di suku naulu biasanya di laksanakan di rumah adat calon pengantin pria. Suku naulu
mempunyai 6 rumah adat yang terdiri dari marga yang berbeda-beda yaitu :
Marga Matoke
Marga Sonawe
Marga Humalait
Marga Hury
Mraga Pia
Marga Sowmory
Pakaian yang di gunakan calon pengantin wanita adalah, kebaya beserta kain. Sedangkan pakaian calon pengantin
pria adalah, kameja, kain, dan kain berang merah yang berada di atas kepalanya.
Saat hari “Ha” pelaksanaan perkawinan berlangsung. Calon pengantin pria bersiap-siap di rumah adatnya, untuk
menanti kedatangan pengantin wanita yang keluar dari rumah adatnya pula. Dengan di antar keluarga wanita ke
rumah adat calon pengantin pria. Saat mereka tiba, mereka langsung di persilahkan masuk oleh keluarga
mempelai pria. Sebelum pernikahan berlangsung, mempelai pria memberikan harta yang di minta mempelai
wanita kepada kedua orang tua mempelai wanita berupa, piring tua 5 buah, dan kain merah 5meter. Kemudian,
mereka akan di nikahkan langsung oleh kepala adat (nuhuneupue), yang di dampingi kedua orang tua mempelai.
Dan akan di saksikan seluruh warga dan keluarga mempelai.Kemudian kedua mempelai bersalaman dengan
kedua orang tua mereka, seperti halnya mereka meminta restu. Saat itulah yang mebuat suasana semakin hangat
dan mebuat semuanya merasa bersedih.
Setelah resmi menjadi suami-isteri, keluarga kedua mempelai memakan sirih pinang dan mencicipi makanan yang
telah di sajikan mempelai wanita.
Kemudian, kedua mempelai meninggalkan rumah adat mempelai pria menuju ke rumah mempelai wanita.
Dimana, mereka akan tinggal di rumah mempelai wanita. Sampai pada waktunya mereka telah siap tinggal di
rumah mereka sendiri.
Begitupun saat mereka bercerai, mereka akan dipisahkan pula di rumah adat pria. Dan bila di antara keduanya ada
yang terbukti bersalah contohnya, sang suami berselingkuh. Maka, sang suami akan di kenakan sanksi, berupa
dendaan uang/harta dan piring tua sesuai dengan permintaan awal dari sang isteri, sebaliknya berlaku juga buat
sang isteri bila sang isteri membuat kesalahan yang menimbulkan perceraian
Tradisi ini awalnya sudah hilang sejak awal 1900an. Namun beberapa sumber menyebut bahwa
tradisi ini masih berlanjut hingga 1940an. Akhirnya, setelah bertahun-tahun ritual mengerikan ini
sudah tidak terdengar lagi..Namun, pada 2005 ritual ini mengejutkan kembali terjadi. Dua mayat
tanpa kepala ditemukan di kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Setelah diselidiki,
keduanya merupakan korban suku Naulu untuk dipersembahkan kepada leluhur. Pelakunya
mengaku melakukan ritual tersebut untuk memperbaiki rumah adat mereka.
Nama suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku, mencuat pada 2005 setelah polisi mengungkap kasus
mutilasi yang dilakukan salah satu marga suku itu di Desa Nuanea, Amahai, Maluku Tengah.Bagian
kepala, jantung, lidah, dan jari-jari dua korban akan dijadikan syarat peresmian perbaikan rumah adat
baru marga Sounawe.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Masohi terungkap bahwa para pelaku yang dijatuhi hukuman mati
dan menjadi hukuman seumur hidup dalam proses banding itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka
juga tak mengetahui bahwa ada aturan hukum yang melarang pembunuhan manusia.
Tokoh masyarakat Noaulu yang juga Kepala Dusun Negeri Lama, Desa Sepa, Maluku Tengah, Marwai
Leipary (25), Januari lalu, mengakui tradisi penggunaan kepala manusia sebagai persembahan
pembangunan rumah adat memang ada sejak zaman dulu. Namun, aturan itu sudah dihapus oleh para
tokoh adat pada 1970-an dan menggantinya dengan piring kuno atau kepala binatang kuskus.”Aturan
itu sudah dihapus karena sekarang sudah berlaku hukum positif. Kalau yang terjadi dulu itu (kasus
2005 di Nuanea) adalah karena ketidaktahuan mereka,” ujarnya.