Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Toraja atau biasa dikenal sebagai Tana Toraja oleh penduduk lokal adalah salah satu

destinasi turisme yang paling banyak dikunjungi karena terkenal dengan kearifan lokal yang

masih dijaga. Nama Toraja sendiri berasal dari nama suku yang berdiam disana yaitu suku

Toraja yang merupakan salah satu suku tertua di Sulawesi Selatan. Nama Toraja mulanya

diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan

penduduk daerah ini dengan sebutan Toraja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di

negeri atas atau pengunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya Toriajang yang artinya

adalah “Orang yang berdiam di negari barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraja To –

Tau (orang). Raya = dari kata Meraya (besar artinya orang-orang besar, bangsawan). Lama

kelamaan penyebutannya menjadi Toraja, dan kata tana berarti Negeri, sehingga tempat

pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Menurut Kryut dan Adriani, nama Toraja digunakan untuk mengganti nama Alfuru

yang mulanya sering digunakan sebagai nama kolektif dari penduduk pedalaman Sulawesi

Tengah pada masa itu, yang belum menganut agama Islam dan Kristen. Kruyt sendiri dalam
tulisannya awal abad ke-19 masih menggunakan nama Alfuru, kemudian diganti dengan

nama Toraja karena kebutuhan akan suatu nama yang tidak mengandung pengertian yang

negatif, dan demi untuk kepentingan politis kaum penyebar agama Kristen (Missionaris dan

Zending) dalam usaha untuk membendung penyebaran agama Islam yang kuat berpengaruh

di daerah-daerah pantai, seperti pada umumnya dianut oleh masyarakat kerajaan Luwu.

Sebelum masuknya agama, baik Kristen mau pun Islam, masyarakat Toraja menganut
kepercayaan leluhur yang telah diwariskan turun-temurun sampai saat ini. Kepercayaan

1
turun temurun dianggap sebagai agama dan kepercayaan asli dan lebih dikenal dengan nama

Aluk Todolok. Aluk Todolok adalah salah satu bentuk kepercayaan animisme yang

beranggapan bahwa tiap benda atau batu mempunyai kekuatan dan adalah salah satu sistem

religi yang secara tradisional telah dianut oleh warga masyarakat Toraja sejaka abad ke-IX

Masehi dan tetap diwariskan secara turun temurun hingga sekarang.

Sebagai orang Toraja, kematian adalah satu-satunya upacara yang paling terpenting

dalam siklus kehidupannya. Ini dikarenakan kepercayaan dari leluhur mereka bahwa

kematian akan membawa mereka ke tanah keabadian, dimana orang yang telah meninggal

akan membutuhkan kebutuhan kehidupan sehari-hari disana seperti saat mereka masih di

dunia. Masyarakat Toraja memiliki sebutan sendiri bagi jenazah yakni Tau Makale (orang

sakit) dan Tau Mate (orang meninggal). Tau Makale adalah sebutan bagi mereka yang belum

dikubur dan masih harus mengikuti ritual, sedangkan Tau Mate adalah mereka yang suda

mengikuti prosesi ritual dan siap dimakamkan.

Ritual-ritual yang diadakan oleh masyarakat Torajam tersebut mayat diawetkan,

disimpan di dalam peti dan diletakkan di tebing-tebing atau gua-gua di batu dan juga di

batang-batang pohon. Hal ini di karenakan masyarakat Tana Toraja menganggap bahwa

sanak keluarga mereka yang telah meninggal adalah pemberian sang Maha Kuasa yang harus

dijaga kesuciannya.

Ada tiga objek wisata yang dijadikan sebagai lokasi pemakaman yang ada di Toraja,

yakni : Londa, Lemo dan Ke’te’Kesu yang jaraknya bisa ditempuh hanya sekitar 30 menit

dari pusat kota Toraja. Dari ketiga tempat ini, pemakaman Londa adalah yang paling

legendaris, karena yang paling banyak memiliki kuburan dalam gua, bahkan tengkorak-

tengkorak mayat yang telah ada puluhan bahkan ratusan tahun disana berserakan dimana-

mana dan tidak terhitung jumlahnya.

Setiap suku memiliki tempat pemakamannya masing-masing dan tidak semua suku di
Toraja memilih gua atau gunung sebagai tempat peristirahatan terakhir keluarga mereka.

2
Semua lokasi pemakaman adalah hasil dari musyawarah dari petinggi-petinggi suku yang

ada ditempat tinggal masing-masing yang terjadi di masa nenek moyang suku Toraja yakni

Aluk Todolok. Keputusan yang diambil bukanlah tanpa sebab, mereka memiliki kepercayaan

tersendiri dalam memiliki gua dan gunung sebagai tempat pemakaman dan memiliki makna

filosofis yang masih dipercayai oleh hampir seluruh populasi Tana Toraja saat ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah terbentuknya situs wisata pemakaman Lemo, Londa dan

Ke’te’kesu?

2. Bagaimana bentuk ritual yang dijalankan oleh masyarakat sekitar situs wisata

pemakaman Lemo, Londa dan Ke’te’kesu?

3. Bagaimana persepsi dan pandangan masyarakat mengenai kepercayaannya terhadap

pemakaman Lemo, Londa dan Ke’te’kesu?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui sejarah terbentuknya 3 situs wisata pemakaman yang terletak di daerah

Londa, Lemo dan Ke’te’kesu secara menyeluruh.

2. Memahami ritual-ritual yang dipercayai oleh masyarakat sekitar dalam menjalankan

prosesi pemakaman Tau Makale.


3. Mengetahui beberapa persepsi dan pandangan masyarakat sekitar mengenai

kepercayaan terhadap keramatnya pemakaman yang terdapat di Londa, Lemo dan

Ke’te’kesu ditengah modernisasi yang terjadi.

3
BAB II

HASIL PENELITIAN

A. Sejarah Terbentuknya Pemakaman

1. Pemakaman Lemo

Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja yang merupakan kuburan alam yang

dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa`. Kuburan Batu Lemo yang

terletak di Toraja merupakan kuburan tertua nomor dua setelah Songgi Patalo. Kompleks

pemakaman ini merupakan perpaduan antara kematian, seni dan ritual.

Objek wisata Lemo menjadi tempat wisata rumah arwah. Meski terkesan angker,
objek wisata Lemo menjadi tempat wisata rumah arwah, karena situs pemakaman ini sudah

4
ada pada zaman dahulu. Di Lemo memiliki pemandangan yang berbeda karena kita

diperlihatkan jenazah yang sengaja disimpan dalam ruang terbuka, berada didinding bukit

curam.

Lemo adalah tempat pemakaman dinding berbatu. Letaknya di Desa Lemo karena

pemakaman batu utama memiliki dinding yang berkerut-kerut seperti kulit jeruk. Didalam

lubang-lubang batu tersebut juga ditemui patung-patung dari mereka yang sudah

meninggal dan dimakamkan. Tidak semua orang bisa dibuatkan patung dan biasanya hanya

dari kalangan bangsawan atau mereka yang berekonomi tinggi, dan tentunya tidak lepas

dari beberapa persyaratan.

Dilereng bukit setelah peti mati dimasukkan di depan lubang akan dipasang patung

ukiran kayu yang mirip dengan wajah mayat. Patung tersebut dinamai tau-tau oleh orang

Toraja. Tau-tau adalah patung yang menggambarkan mayat. Pada pemakaman golongan

bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur rapasan (pelengkap

upacara acara adat) dibuatkan tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada

saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk

kerbau.

Adapun keyakinan masyarakat Toraja, mereka percaya bahwa jika semakin tinggi

tempat makam mayat di dinding batu maka keyakinan mereka akan semakin cepat untuk

dekat dengan Tuhan. Selain daripada itu, mereka menganggap orang mati tidaklah mati

melainkan hanyalah sakit sehingga mereka merawat orang mati selayaknya orang masih

hidup, diberi makan, melapor jika ada tamu dan sebagainya. Sehingga setelah mati, tidak

langsung dimakamkan, melainkan di pindahkan kerumah lumbung padi selama tiga hari,

di samping itu sambil menunggu persiapan upacara pemakaman.

2. Londa

Londa merupakan bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja yang dijadikan
objek wisata di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Tempat ini dinamakan berdasarkan nama

5
wilayah tempat pe rmakaan gua dan tebing batu. Objek wisata ini berada di Desa Sendan

Uai, Kecamatan Sanggalangi yang berjarak sekitar 7 km sebelah selatan Kota Rantepao

Ibu kota Makale, Toraja Utara.

Objek wisata ini terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam.

Didalam gua tersebut terdapat peti-peti mayat yang diatur sesuai dengan garis keluarga, di

satu sisi bukit lainnya dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. peti-

peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga atau satu rampun keluarga, yaitu rumpun

keluarga Tolengke yang masih ada hubungan keluarga di tempat pemakaman Kete Kesu.

Penempatan peti mati di dalam gua tersebut diletakkan berdasarkan strata atau statusnya

dalam masyarakat, jadi semakin tinggi strata seseorang yang meninggal maka semakin

tinggi pula penempatan peti matinya.

Di dalam gua Londa, ada begitu banyak tengkorak dan belulang yang berserakan

karena petinya sudah rusak. Sebagian tengkorak dan tulang belulang ini usianya sudah

ratusan tahun. Peti-peti mati yang lama dan sudah hancur dapat diganti kembali dengan

peti yang baru, tetapi harus melakukan upacara “Ma Nene” yang dihadiri oleh keluarganya.

Peti yang paling lama diperkirakan sudah ada sejak abad ke-ll. Selain peti mati, terlihat

pula pakaian atau rokok yang sengaja ditaruh oleh keluarga yang berziarah, dan barang-

barang kesayangan dari mayat akan dimasukkan ke dalam peti.


Apabila keluarga orang yang sudah meninggal belum mampu melakukan upacara

untuk pemakaman atau Rambu Solo, maka jenazah tersebut dianggap sakit atau disebut

juga “Tomakula” (to : orang sedangkan kula = sakit). Saat ini, mayat-mayat yang ada

didalam gua diberi formalin, sedangkan orang-orang dulu menggunakan ramuan kayu.

Dibagian luar gua pengunjung akan menjumpai beberapa peti mati model kuno yang

tergantung ataupun diletakkan begitu saja di atas tanah, Peti mati ini disebut Erong dengan

3 (tiga) bentuk masing-masing rumah adat atau kapal = keturunan bangsawan, kerbau =

pria dan babi = wanita. Peletakan peti-peti ini mengikuti strata sosial dari yang meninggal.
Semakin tinggi status sosialnya, semakin tinggi pula letak Erong-nya. Selain itu, dibagian

6
luar gua tepatnya di tebing gua terdapat pula deretan patung-patung kayu (tau-tau) di tebing

batu yang dipahat serupa etalase tanpa kaca bagi patung-patung tersebut. Patung-patung

tersebut hanya dibuatkan untuk para bangsawan. Untuk membuat patung tersebut harus

melakukan upacara. Upacara pemakaman secara adat bagi jenazah bangsawan Toraja

dikenal dengan nama Rambu Solo. Untuk dapat melaksanakan upacara adat ini, keluarga

yang ditinggalkan harus memotong sekitar 24 hingga 100 ekor kerbau (bagi golongan

bangsawan) untuk memenuhi syarat tersebut.

3. Ke’te’kesu

Pada mulanya Ke’te Kesu’ hanyalah bernama Kesu’, dan pada abad ke-16 tepatnya

tahun 1683, nama Kesu’ berubah menjadi Ke’te Kesu’. Nama Ke’te Kesu’ mempunyai

makna tersendiri dengan keberadaannya sebagai salah satu wilayah di dalam Kabupaten

Toraja Utara, dimana kata Ke’te yang berarti petik atau pegangan dan Kesu’ kependekan

dari Kaesungan yang berarti tahta, kedudukan, singgasana. Arti keseluruhan Ke’te Kesu’

adalah pemegang kekusaan.

Sebuah perkampungan dapat dikategorikan sebagai perkampungan adat apabila

didalam perkampungan itu terdapat komponen-komponen penting antara lain tongkonan,

lumbung,rante, liang, sawah, dan kombong. Adapun Tongkonan Kesu’ yang terletak ketiga

dari timur, merupakan tongkonan tertua yang ada di perkampungan adat ini.
Tongkonan Kesu’ bermula dari Puang Ri Kesu’, nenek moyang yang turun dari langit,

dia membangun rumah yang diselesaikan oleh menantunya, Pabene’. Pabene’

menyelenggarakan acara mangrara banua dan dengan demikian menjadikan tongkonan

bagi keturunannya. Menurut silsilah, nenek moyang mereka beerasal dari keluarga Puang

yang bergelar Ambe’, bagi para bangsawan dan warganya. Adapula yang mengatakan,

mula-mula orang Ke’te datang dari gunung dimana di daerah itulah pada mulanya nenek

moyang masyarakat Tana Toraja bertempat tinggal. Layuk Sarungallo, ketua adat

Ke’teKesu’ mengatakan: Tongkonan di Kesu’ menurut legenda dibangun oleh Puang


RiKesu’. Menurut silsilah, sejak Puang RiKesu’ hingga sekarang di Kesu’ sudah ada 24-

7
27 generasi. Dari rentetan silsilah yang dibicarakan Tominaa (tasir lantunan puji-pujian

oleh pendeta adat), yang berlangsung sampai perang Bone sekitar tahun 1683. Dari perang

Bone tersebut, disurutkan sampai ke Puang RiKesu’, artinya masih ada 14 generasi lagi.

Bila 10 generasi sekitar 300 tahun, dapat disimpulkan 24 generasi mencapai ketuaan sekitar

700 tahun. Jadi tongkonan Kesu’ dibangun menjelang akhir abad XIII, saat peralihan

Kerajaan Singosari dan Majapahit di Jawa.

Dahulu Tongkonan ini terletak di Puncak gunung batu yang disebut Kaesungan/Kesu’,

kurang lebih 1 km dari Ke’te. dipindahkan ke Ke’te Kecamatan Sanggalangi’ (sekarang

Kecamatan Kesu’) oleh Pong Panimba atas persetujuan ahli waris Tongkonan Banua Puan,

Tongkonan Kaero dan Tongkonan Kesu’ yaitu Puang Mengkendek, Puang

Sangngalla’,Pong Panimba. Dibangun pertama kali sebagai Tongkonan Pesio’ Aluk atau

Panta’nakan Lolo oleh penguasa adat yang pertama yaitu Puang Ri Kesu’, sekitar tahun

9000 SM sebagai tempat bermusyawarah, mengelolah, menetapkan dan melaksanakan

aturan-aturan adat baik Aluk maupun pemali yang digunakan sebagai aturan hidup dan

bermasyarakat di daerah Kesu’, dan juga diseluruh Tana Toraja, yang disebut Aluk Sanda

Pitunna (7777)sehingga, tongkonan ini merupakan yang tertua di antara tongkonan yang

ada di Tana Toraja seperti Banua Puan, Ullin, Otin, Nonongan, Napo, dan lain-lain.

PadamasapemerintahanSiambe’ Pong Parimba, sebagaikepaladistrikKesu’


(zamanBelanda) dipindahkan ke lokasi Ke’te untuk tempat beliau tinggal dan menjadikan

sebagai pusat pemerintahan adat Kesu’. Sedangkan di Ke’te sebelumnya telah ada sebuah

tongkonan yang terdahulu yaitu Tongkonan Bamba yang berperan sebagai Sokkong Kayu

(Ketua Adat) dari kampung Bonoran yang merupakan pula tongkonan yang menpunyai

hubungan keturunan dengan Tongkonan Kesu’ dan Tongkonan To’ Sendana, rumah kedua

dari timur dan Tongkonan-Tongakonan yang paling sebelah barat sebagai bangunan nomor

empat. Tongkonan Bonoran dibangun sekitar 1680 M oleh pemangku adat Siambe’ Sa’bu

Lompo.

8
Penetapan kampung adat Ke’te Kesu’ menjadi objek wisata dimulai pertama-tama

dengan datangnya peneliti-peneliti yang merupakan peserta Konfrensi PATA (Pacifik Area

Travel Association) yang dilaksanakan di Bandung padatahun 1975. Adapun jumlah

peserta Konfrensi PATA yang dikirim ke Sulawesi Selatan pada saat itu tercatat sebanyak

500 peserta yang kemudian dibagi lagi menjadi beberapa kelompok untuk berkunjung

kesetiap daerah yang ada di Sulawesi Selatan. Di Tana Toraja pada saat itu para peneliti

yang seharusnya meneliti 5 menjadi 2 minggu, karena terlalu banyak yang ditemukan dan

dilihat mulai dari bentang alamnya sampai pada kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki

oleh Suku Toraja. Inilah yang membuat diprioritaskannya Tana Toraja menjadi tujuan

wisata. Perkampungan adat Ke’te Kesu’ saat itu mulai diteliti para peserta konfrensi PATA

yang bergelut pada jurusan Arkeologi meneliti satu persatu unsur-unsur yang ada dalam

perkampungan adat Ke’te Kesu’. Sehingga pada tahun 1975 pemerintah pusat dalam hal

ini Menteri Pariwisata Susilo Sudarma mengusulkan untuk menjadikan kampung adat

Ke’te Kesu menjadi objek wisata, hal ini kemudian diterima oleh pemerintah daerah Tana

Toraja yaitu A.Y.K Andi Lolo, sehingga ditetapkannya semua tempat-tempat di

TanaToraja yang merupakan lokasi penelitian peserta konfrensi PATA sebagai daerah

tujuan wisata.

B. Ritual-ritual dalam Proses Pemakaman Tau Makale


1. Ritual Rambu Solo

Masyarakat Toraja, apabila ada yang meninggal, langkah pertama mereka tidak

langsung dikuburkan, tetapi disimpan di rumah tongkonan. Agar mayat tidak berbau dan

membusuk, maka di balsem dengan ramuan tradisional yang terbuat dari daun sirih dan

getah pisang. Sebelum upacara pemakaman, mayat tersebut dianggap sebagai orang sakit

(Tau Makale) dan akan disimpan dalam peti khusus. Peti mati tradisional Toraja disebut

erong yang berbentuk kerbau (untuk mayat laki-laki), dan babi ( untuk mayat wanita).

Sementara untuk bangsawan berbentuk rumah adat.

9
Sebelum upacara pemakaman, mayat simpan di lumbung padi atau di Alang Sura

selama tiga hari. Lumbung padi tersebut tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon Palem

(Bangah) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke lumbung padi. Di bagian depan

lumbung terdapat ukiran antara lain ayam dan matahari yang merupakan simbol untuk

menyelesaikan perkara. Selanjutnya, langkah kedua upacara pemakaman. Masyarakat

Toraja percaya bahwa tanpa upacara penguburan ini maka arwah orang yang meninggal

tersebut akan memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya.

Upacara pemakaman Rambu Solo adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat

serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya pun selama berbulan-bulan.

Sementara menunggu upacara siap, tubuh orang meninggal dibungkus kain dan disimpan

dirumah leluhur atau tongkonan. Upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada bulan

Juli dan Agustus. Saat itu, orang Toraja yang merantau diseluruh Indonesia akan pulang

kampung untuk ikut serta dalam rangkaian acara upacara pemakaman tersebut.

Setelah upacara langkah ketiga saatnya pemakaman dilakukan, tiba saatnya mayat di

pindahkan ke pemakaman yang sudah dipahat didalam dinding batu. Lubang yang telah

dibuat membutuhkan biaya yang sangat besar untuk menyewa tukang pahat. Setelah lubang

selesai di buat oleh tukang tersebut, maka mayat siap untuk dimasukkan ke dalam dinding

batu tersebut. Adapun cara menaikkan mayat ke atas batu yang curam tersebut dengan
menggunkan tangga sebagai alat masyarakat untuk naik sampai kelubang tersebut, dan

mayatnya di angkut naik keatas dengan menggunakan tali yang diikat pada tubuh mayat

tersebut.

Setelah proses pemakaman selesai, ketika ada keluarga yang ingin berziarah ke makam

tersebut sangat mustahil untuk mereka naik ke dinding batu yang curam tersebut. Maka,

keluarga yang berziarah hanya datang ke tempat pemakaman dan memberikan beberapa

makanan kesukaan mendiang dahulu. Kebanyakan memberikan uang koin, rokok, dan

beberapa sesajian lainnya.


1. Ritual Ma’nene

10
Ritual Ma’nene merupakan upacara yang dilakukan untuk mengenang para leluhur,

yang dilakukan setiap tiga tahun sekali. Ritual diadakan setelah panen besar dilaksanakan

yang berkisar di bulan Agustus-September. Selain membutuhkan biaya yang cukup

banyak, ritual ini dipercaya sebagai bentuk pemberkatan terhadap hasil panen yang sudah

dilakukan. Masyarakat Toraja percaya bahwa jika ritual Ma’nene ini dilakukan sebelum

musim panen, maka dapat dipastikan bahya hasil panen akan gagal.

Isi dari ritual Ma’nene ini adalah melakukan pembersihan terhadap jenazah atau mayat

dari keluarga serta kerabat mereka. Dengan cara mengeluarkan mumi jenazah dari dalam

peti, kemudian dibersihkan dan digantikan dengan pakaian yang baru. Ritual Ma’nene ini

secara khusus dilakukan oleh masyarakat Baruppa yang tinggal dipedalaman Toraja.

Peti jenazah para leluhur yang akan dikeluarkan dari dalam liang gunung batu,

kemudian mayat dikeluarkan dan diiringi pembacaan doa-doa dalam bahasa Toraja kuno.

Mayat yang sudah dikeluarkan akan dibersihkan dengan menggunakan kain bersih, setelah

dibersihkan mayat didandani serta dipakaikan baju baru dan kemudian di dirikan.

Menariknya mayat tersebut dapat berdiri tegak bahkan berjalan, hal ini diyakini menjadi

berkat pembacaan doa-doa dan mantra yang dipanjatkan oleh para tetua dan pemimpin

tradisi sebelum tradisi tersebut dimulai.

C. Persepsi dan Pandangan Masyarakat Mengenai Kepercayaan Terhadap Pemakaman


Masyarakat Toraja saat ini, sekitar 66% beragama Kristen, 12% Roma Katolik, sekitar

7% Muslim, hanya 16% masih memeluk agama-adat disebut Aluk Todolo. Namun

demikian, secara bersamaan masih banyak anggota masyarakatnya melaksanakan adat

kepercayaan Aluk Tomatua upacara ritual bagian dari Aluk Todolo. Dalam kehidupan

sehari-hari adat tersebut antara lain terungkap dalam berbagai upacara seperti misalnya

Rambu Tuka berarti suka cita atau dalam hal ini perkawinan, upacara memasuki rumah

baru. Menurut adat Toraja yang paling penting adalah upacara Rambu Solo yaitu upacara

pemakaman.

11
Aluk Todolo kepercayaan dianut oleh masyarakat Toraja artinya adalah agama/Aturan

dari leluhur (aluk: agama/aturan, todolo: nenek moyang). Aluk Todolo menurut

penganutnya diturunkan oleh Puang Matua atau Sang Pencipta mulanya pada leluhur

pertama Datu La Ukku' yang kemudian menurunkan ajarannya kepada anak cucunya. Oleh

karena itu menurut kepercayaan ini, manusia harus menyembah, memuja dan memuliakan

Puang Matua atau Sang Pencipta diwujudkan dalam berbagai bentuk sikap hidup dan

ungkapan ritual antara lain berupa sajian, persembahan maupun upacara-upacara.

Setelah Puang Matua menurunkan Aluk kepada Datu La Ukku sebagai manusia

pertama, kemudian memberikan kekuasaan kepada para Deata atau Dewa untuk menjaga

dan memelihara manusia. Oleh karena itu Deata disebut pula sebagai Pemelihara yang

menurut Aluk Todolo tidak tunggal tetapi di golongan menjadi tiga yaitu: Deata Langi'

(Sang Pemelihara Langit menguasai seluruh isi langit dan cakrawala), Deata

Kapadanganna (Sang Pemelihara Bumi, menguasai semua yang ada di bumi) dan Deata

Tangngana Padang (Sang Pemelihara Tanah, menguasai isi bumi). Masing-masing

golongan terdiri dari beberapa Deata yang menguasai bagian-bagian tertentu misalnya

gunung, sungai, hutan dan lain-lain.

Selain kepada Deata dengan kekuasaan masing-masing Puang Mattua atau Sang

Penguasa juga memberikan kepercayaan kepada To Membali Puang atau Todolo (Leluhur)
yang juga diwajibkan dipuja dan disembah karena merekalah yang memberi berkah kepada

para keturunannya. Pemujaan kepada ketiga unsur yang masing-masing berupa kelompok

Deata tersebut, oleh masyarakat penganut Aluk Todolo diungkapkan dalam bentuk

upacara-upacara ritual dengan berbagai sajian, persembahan atau korban. Persembahan ini

bermacam-macam bentuk, tempat dan arahnya disesuaikan dengan ketiga unsur tersebut di

atas. Kepada Para Deata atau Pemelihara, dipersembahkan babi atau ayam dengan

mengambil tempat di sebelah timur rumah/Tongkonan dan untuk Tomembali

Puang/Todolo atau Leluhur sebagai pengawas manusia dipersembahkan babi atau ayam di
sebelah barat Tongkonan atau di tempat kuburan.

12
Tana Toraja sudah terdapat kepercayaan warisan nenek moyang yang disebut dengan

Aluk Todolo (Alukta). Kepercayaan inilah yang kemudian menjadi landasan berbagai ritual

adat dan tradisi masyarakat Toraja. Alukta pada dasarnya tidak mengaharuskan

penyimpanan mayat, namun lebih kepada kewajiban segera melaksanakan upacara

pemakaman sebagai pelaksanaan Aluk to Mate (memperlakukan orang yang telah mati).

Karena semakin cepat jenazah dimakamkan, akan semakin banyak kesempatan untuk

melakukan upacara pemberkatan lainnya.

Namun banyak alasan dan latar belakang mengapa jenazah-jenazah tersebut harus

disimpan terlebih dahulu ke dalam goa atau liang-liang bukit. Alasan-alasan tersebut antara

lain seperti menunggu kedatangan kerabat yang sedang merantau, untuk memberi

kesempatan bagi keluarganya menunjukkan kasih sayang kepada jenazah, atau untuk

menunggu biaya dan hewan korban yang banyak terlebih dahulu agar dapat melaksanakan

Upacara Rambu Solo (mengantarkan jenazah kealam yang disebut puya), dan berbagai

alasan lain. Hingga akhirnya menyimpan mayat menjadi sebuah tradisi di kalangan

masyarakat adat Tanah Toraja.

Dahulu masyarakat adat Tanah Toraja menyimpan jenazah di dalam rumah tongkonan.

Lamanya waktu menyimpan jenzah paling lama tiga puluh enam malam untuk keluarga
bangsawan. Sementara dari golongan lainnya kurang dari itu, atau bahkan tidak disimpan

sama sekali karena upacaranya sangat singkat. Seiring berjalannya waktu, kemudian

masyarakat adat Toraja memberi sebutan dan anggapan yang berbeda-beda tentang jenazah

yang disimpan. Ada yang menganggap To Makula, bahwa jenazah yang disimpan dianggap

hanya sebagai orang yang sakit, dan To Mate, jenazah sedang dalam rangkaian upacara

Aluk To Mate. Ketika memasuki goa Londa akan dijumpai dengan berbagai peti jenazah

khusus bagi marga keturunan Tau-tau. Tidak semua yang meninggal memiliki Tau-tau

karena Tau-tau hanya dibuatkan untuk bangsawan yang proses pemakamannya diadakan
dengan upacara adat tertinggi. Di setiap sudut goa akan dijumpai berbagai macam peti yang

13
memang sengaja diletakkan secara bertumpuk-tumpuk. Di sekitar peti mati sering

ditemukan botol minuman, rokok, sirih, uang logam, atau bahkan pakaian. Hal ini

menunjukkan bahwa jenazah yang disimpan dianggap sebagai To Makula, diperlakukan

layaknya masih hidup. Di atas bukit juga terdapat juga rongga dimana jenazah disimpan.

Penyimpanan dibukit tersebut dilakukan karena di dalam goa sudah penuh dengan peti

jenazah.

14
BAB III

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan menjadi tiga garis besar, yakni :

1. Ketiga tempat pemakaman yakni Londa, Lemo dan Ke’te’kesu dibagi berdasarkan

suku-suku Toraja. Memiliki sejarah pembentukan yang hampir sama karena

memiliki nenek moyang yang sama yakni, Aluk Todolo. Diantara ketiga lokasi

tersebut, Londa adalah lokasi pemakaman paling besar karena terletak ratusan

tulang belulang mayat yang tersimpan disana.


2. Ada dua tradisi besar yang wajib dilaksanakan masyarakat Toraja, yakni Rambu

Solo dan Ma’nene. Rambu Solo adalah ritual prosesi pemakaman jenazah (Tau

Makale) menuju tempat peristirahatan terakhir yang menghabiskan biaya hingga

milyaran rupiah. Ritual ini dilakukan dengan memotong kerbau, babi dan ayam

dan hal ini berdasarkan strata sosial ditengah masyarakat. Sedangkan ritual

Ma’nene adalah prosesi mengganti pakaian jenazah dengan yang baru,

mempercantik peti dan memberi makan jenazah. Ritual ini dilakukan tiga tahun

sekali setelah masa panen berakhir, yakni di bulan Agustus-September.

3. Masyarakat Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyang yang

disebut Aluk Todolo yang diturunkan oleh sang pencipta atau disebut Puang Matua

yang menyerukan manusia untuk menyembah tuhannya dan melaksanakan ritual

untuk mereka yang meninggal. Untuk lokasi pemakaman merupakan hasil

musyawarah dan dinding gunung dan gua bukanlah sebuah keharusan diwaktu itu.

Namun seiring berjalannya waktu, tradisi itu dilakukan secara turun temurun

sehingga diikuti dan dijadikan ritual yang wajib dilaksanakan.

15
LAMPIRAN

1. Lokasi Pemakaman di Ke’te’Kesu

16
2. Pemakaman Londa

17
3. Pemakaman Lemo

18

Anda mungkin juga menyukai