PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toraja atau biasa dikenal sebagai Tana Toraja oleh penduduk lokal adalah salah satu
destinasi turisme yang paling banyak dikunjungi karena terkenal dengan kearifan lokal yang
masih dijaga. Nama Toraja sendiri berasal dari nama suku yang berdiam disana yaitu suku
Toraja yang merupakan salah satu suku tertua di Sulawesi Selatan. Nama Toraja mulanya
diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan
penduduk daerah ini dengan sebutan Toraja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di
negeri atas atau pengunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya Toriajang yang artinya
adalah “Orang yang berdiam di negari barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraja To –
Tau (orang). Raya = dari kata Meraya (besar artinya orang-orang besar, bangsawan). Lama
kelamaan penyebutannya menjadi Toraja, dan kata tana berarti Negeri, sehingga tempat
Menurut Kryut dan Adriani, nama Toraja digunakan untuk mengganti nama Alfuru
yang mulanya sering digunakan sebagai nama kolektif dari penduduk pedalaman Sulawesi
Tengah pada masa itu, yang belum menganut agama Islam dan Kristen. Kruyt sendiri dalam
tulisannya awal abad ke-19 masih menggunakan nama Alfuru, kemudian diganti dengan
nama Toraja karena kebutuhan akan suatu nama yang tidak mengandung pengertian yang
negatif, dan demi untuk kepentingan politis kaum penyebar agama Kristen (Missionaris dan
Zending) dalam usaha untuk membendung penyebaran agama Islam yang kuat berpengaruh
di daerah-daerah pantai, seperti pada umumnya dianut oleh masyarakat kerajaan Luwu.
Sebelum masuknya agama, baik Kristen mau pun Islam, masyarakat Toraja menganut
kepercayaan leluhur yang telah diwariskan turun-temurun sampai saat ini. Kepercayaan
1
turun temurun dianggap sebagai agama dan kepercayaan asli dan lebih dikenal dengan nama
Aluk Todolok. Aluk Todolok adalah salah satu bentuk kepercayaan animisme yang
beranggapan bahwa tiap benda atau batu mempunyai kekuatan dan adalah salah satu sistem
religi yang secara tradisional telah dianut oleh warga masyarakat Toraja sejaka abad ke-IX
Sebagai orang Toraja, kematian adalah satu-satunya upacara yang paling terpenting
dalam siklus kehidupannya. Ini dikarenakan kepercayaan dari leluhur mereka bahwa
kematian akan membawa mereka ke tanah keabadian, dimana orang yang telah meninggal
akan membutuhkan kebutuhan kehidupan sehari-hari disana seperti saat mereka masih di
dunia. Masyarakat Toraja memiliki sebutan sendiri bagi jenazah yakni Tau Makale (orang
sakit) dan Tau Mate (orang meninggal). Tau Makale adalah sebutan bagi mereka yang belum
dikubur dan masih harus mengikuti ritual, sedangkan Tau Mate adalah mereka yang suda
disimpan di dalam peti dan diletakkan di tebing-tebing atau gua-gua di batu dan juga di
batang-batang pohon. Hal ini di karenakan masyarakat Tana Toraja menganggap bahwa
sanak keluarga mereka yang telah meninggal adalah pemberian sang Maha Kuasa yang harus
dijaga kesuciannya.
Ada tiga objek wisata yang dijadikan sebagai lokasi pemakaman yang ada di Toraja,
yakni : Londa, Lemo dan Ke’te’Kesu yang jaraknya bisa ditempuh hanya sekitar 30 menit
dari pusat kota Toraja. Dari ketiga tempat ini, pemakaman Londa adalah yang paling
legendaris, karena yang paling banyak memiliki kuburan dalam gua, bahkan tengkorak-
tengkorak mayat yang telah ada puluhan bahkan ratusan tahun disana berserakan dimana-
Setiap suku memiliki tempat pemakamannya masing-masing dan tidak semua suku di
Toraja memilih gua atau gunung sebagai tempat peristirahatan terakhir keluarga mereka.
2
Semua lokasi pemakaman adalah hasil dari musyawarah dari petinggi-petinggi suku yang
ada ditempat tinggal masing-masing yang terjadi di masa nenek moyang suku Toraja yakni
Aluk Todolok. Keputusan yang diambil bukanlah tanpa sebab, mereka memiliki kepercayaan
tersendiri dalam memiliki gua dan gunung sebagai tempat pemakaman dan memiliki makna
filosofis yang masih dipercayai oleh hampir seluruh populasi Tana Toraja saat ini.
B. Rumusan Masalah
Ke’te’kesu?
2. Bagaimana bentuk ritual yang dijalankan oleh masyarakat sekitar situs wisata
C. Tujuan Penelitian
3
BAB II
HASIL PENELITIAN
1. Pemakaman Lemo
Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja yang merupakan kuburan alam yang
dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa`. Kuburan Batu Lemo yang
terletak di Toraja merupakan kuburan tertua nomor dua setelah Songgi Patalo. Kompleks
Objek wisata Lemo menjadi tempat wisata rumah arwah. Meski terkesan angker,
objek wisata Lemo menjadi tempat wisata rumah arwah, karena situs pemakaman ini sudah
4
ada pada zaman dahulu. Di Lemo memiliki pemandangan yang berbeda karena kita
diperlihatkan jenazah yang sengaja disimpan dalam ruang terbuka, berada didinding bukit
curam.
Lemo adalah tempat pemakaman dinding berbatu. Letaknya di Desa Lemo karena
pemakaman batu utama memiliki dinding yang berkerut-kerut seperti kulit jeruk. Didalam
lubang-lubang batu tersebut juga ditemui patung-patung dari mereka yang sudah
meninggal dan dimakamkan. Tidak semua orang bisa dibuatkan patung dan biasanya hanya
dari kalangan bangsawan atau mereka yang berekonomi tinggi, dan tentunya tidak lepas
Dilereng bukit setelah peti mati dimasukkan di depan lubang akan dipasang patung
ukiran kayu yang mirip dengan wajah mayat. Patung tersebut dinamai tau-tau oleh orang
Toraja. Tau-tau adalah patung yang menggambarkan mayat. Pada pemakaman golongan
upacara acara adat) dibuatkan tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada
saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk
kerbau.
Adapun keyakinan masyarakat Toraja, mereka percaya bahwa jika semakin tinggi
tempat makam mayat di dinding batu maka keyakinan mereka akan semakin cepat untuk
dekat dengan Tuhan. Selain daripada itu, mereka menganggap orang mati tidaklah mati
melainkan hanyalah sakit sehingga mereka merawat orang mati selayaknya orang masih
hidup, diberi makan, melapor jika ada tamu dan sebagainya. Sehingga setelah mati, tidak
langsung dimakamkan, melainkan di pindahkan kerumah lumbung padi selama tiga hari,
2. Londa
Londa merupakan bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja yang dijadikan
objek wisata di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Tempat ini dinamakan berdasarkan nama
5
wilayah tempat pe rmakaan gua dan tebing batu. Objek wisata ini berada di Desa Sendan
Uai, Kecamatan Sanggalangi yang berjarak sekitar 7 km sebelah selatan Kota Rantepao
Objek wisata ini terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam.
Didalam gua tersebut terdapat peti-peti mayat yang diatur sesuai dengan garis keluarga, di
satu sisi bukit lainnya dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. peti-
peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga atau satu rampun keluarga, yaitu rumpun
keluarga Tolengke yang masih ada hubungan keluarga di tempat pemakaman Kete Kesu.
Penempatan peti mati di dalam gua tersebut diletakkan berdasarkan strata atau statusnya
dalam masyarakat, jadi semakin tinggi strata seseorang yang meninggal maka semakin
Di dalam gua Londa, ada begitu banyak tengkorak dan belulang yang berserakan
karena petinya sudah rusak. Sebagian tengkorak dan tulang belulang ini usianya sudah
ratusan tahun. Peti-peti mati yang lama dan sudah hancur dapat diganti kembali dengan
peti yang baru, tetapi harus melakukan upacara “Ma Nene” yang dihadiri oleh keluarganya.
Peti yang paling lama diperkirakan sudah ada sejak abad ke-ll. Selain peti mati, terlihat
pula pakaian atau rokok yang sengaja ditaruh oleh keluarga yang berziarah, dan barang-
untuk pemakaman atau Rambu Solo, maka jenazah tersebut dianggap sakit atau disebut
juga “Tomakula” (to : orang sedangkan kula = sakit). Saat ini, mayat-mayat yang ada
didalam gua diberi formalin, sedangkan orang-orang dulu menggunakan ramuan kayu.
Dibagian luar gua pengunjung akan menjumpai beberapa peti mati model kuno yang
tergantung ataupun diletakkan begitu saja di atas tanah, Peti mati ini disebut Erong dengan
3 (tiga) bentuk masing-masing rumah adat atau kapal = keturunan bangsawan, kerbau =
pria dan babi = wanita. Peletakan peti-peti ini mengikuti strata sosial dari yang meninggal.
Semakin tinggi status sosialnya, semakin tinggi pula letak Erong-nya. Selain itu, dibagian
6
luar gua tepatnya di tebing gua terdapat pula deretan patung-patung kayu (tau-tau) di tebing
batu yang dipahat serupa etalase tanpa kaca bagi patung-patung tersebut. Patung-patung
tersebut hanya dibuatkan untuk para bangsawan. Untuk membuat patung tersebut harus
melakukan upacara. Upacara pemakaman secara adat bagi jenazah bangsawan Toraja
dikenal dengan nama Rambu Solo. Untuk dapat melaksanakan upacara adat ini, keluarga
yang ditinggalkan harus memotong sekitar 24 hingga 100 ekor kerbau (bagi golongan
3. Ke’te’kesu
Pada mulanya Ke’te Kesu’ hanyalah bernama Kesu’, dan pada abad ke-16 tepatnya
tahun 1683, nama Kesu’ berubah menjadi Ke’te Kesu’. Nama Ke’te Kesu’ mempunyai
makna tersendiri dengan keberadaannya sebagai salah satu wilayah di dalam Kabupaten
Toraja Utara, dimana kata Ke’te yang berarti petik atau pegangan dan Kesu’ kependekan
dari Kaesungan yang berarti tahta, kedudukan, singgasana. Arti keseluruhan Ke’te Kesu’
lumbung,rante, liang, sawah, dan kombong. Adapun Tongkonan Kesu’ yang terletak ketiga
dari timur, merupakan tongkonan tertua yang ada di perkampungan adat ini.
Tongkonan Kesu’ bermula dari Puang Ri Kesu’, nenek moyang yang turun dari langit,
bagi keturunannya. Menurut silsilah, nenek moyang mereka beerasal dari keluarga Puang
yang bergelar Ambe’, bagi para bangsawan dan warganya. Adapula yang mengatakan,
mula-mula orang Ke’te datang dari gunung dimana di daerah itulah pada mulanya nenek
moyang masyarakat Tana Toraja bertempat tinggal. Layuk Sarungallo, ketua adat
7
27 generasi. Dari rentetan silsilah yang dibicarakan Tominaa (tasir lantunan puji-pujian
oleh pendeta adat), yang berlangsung sampai perang Bone sekitar tahun 1683. Dari perang
Bone tersebut, disurutkan sampai ke Puang RiKesu’, artinya masih ada 14 generasi lagi.
Bila 10 generasi sekitar 300 tahun, dapat disimpulkan 24 generasi mencapai ketuaan sekitar
700 tahun. Jadi tongkonan Kesu’ dibangun menjelang akhir abad XIII, saat peralihan
Dahulu Tongkonan ini terletak di Puncak gunung batu yang disebut Kaesungan/Kesu’,
Kecamatan Kesu’) oleh Pong Panimba atas persetujuan ahli waris Tongkonan Banua Puan,
Sangngalla’,Pong Panimba. Dibangun pertama kali sebagai Tongkonan Pesio’ Aluk atau
Panta’nakan Lolo oleh penguasa adat yang pertama yaitu Puang Ri Kesu’, sekitar tahun
aturan-aturan adat baik Aluk maupun pemali yang digunakan sebagai aturan hidup dan
bermasyarakat di daerah Kesu’, dan juga diseluruh Tana Toraja, yang disebut Aluk Sanda
Pitunna (7777)sehingga, tongkonan ini merupakan yang tertua di antara tongkonan yang
ada di Tana Toraja seperti Banua Puan, Ullin, Otin, Nonongan, Napo, dan lain-lain.
sebagai pusat pemerintahan adat Kesu’. Sedangkan di Ke’te sebelumnya telah ada sebuah
tongkonan yang terdahulu yaitu Tongkonan Bamba yang berperan sebagai Sokkong Kayu
(Ketua Adat) dari kampung Bonoran yang merupakan pula tongkonan yang menpunyai
hubungan keturunan dengan Tongkonan Kesu’ dan Tongkonan To’ Sendana, rumah kedua
dari timur dan Tongkonan-Tongakonan yang paling sebelah barat sebagai bangunan nomor
empat. Tongkonan Bonoran dibangun sekitar 1680 M oleh pemangku adat Siambe’ Sa’bu
Lompo.
8
Penetapan kampung adat Ke’te Kesu’ menjadi objek wisata dimulai pertama-tama
dengan datangnya peneliti-peneliti yang merupakan peserta Konfrensi PATA (Pacifik Area
peserta Konfrensi PATA yang dikirim ke Sulawesi Selatan pada saat itu tercatat sebanyak
500 peserta yang kemudian dibagi lagi menjadi beberapa kelompok untuk berkunjung
kesetiap daerah yang ada di Sulawesi Selatan. Di Tana Toraja pada saat itu para peneliti
yang seharusnya meneliti 5 menjadi 2 minggu, karena terlalu banyak yang ditemukan dan
dilihat mulai dari bentang alamnya sampai pada kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki
oleh Suku Toraja. Inilah yang membuat diprioritaskannya Tana Toraja menjadi tujuan
wisata. Perkampungan adat Ke’te Kesu’ saat itu mulai diteliti para peserta konfrensi PATA
yang bergelut pada jurusan Arkeologi meneliti satu persatu unsur-unsur yang ada dalam
perkampungan adat Ke’te Kesu’. Sehingga pada tahun 1975 pemerintah pusat dalam hal
ini Menteri Pariwisata Susilo Sudarma mengusulkan untuk menjadikan kampung adat
Ke’te Kesu menjadi objek wisata, hal ini kemudian diterima oleh pemerintah daerah Tana
TanaToraja yang merupakan lokasi penelitian peserta konfrensi PATA sebagai daerah
tujuan wisata.
Masyarakat Toraja, apabila ada yang meninggal, langkah pertama mereka tidak
langsung dikuburkan, tetapi disimpan di rumah tongkonan. Agar mayat tidak berbau dan
membusuk, maka di balsem dengan ramuan tradisional yang terbuat dari daun sirih dan
getah pisang. Sebelum upacara pemakaman, mayat tersebut dianggap sebagai orang sakit
(Tau Makale) dan akan disimpan dalam peti khusus. Peti mati tradisional Toraja disebut
erong yang berbentuk kerbau (untuk mayat laki-laki), dan babi ( untuk mayat wanita).
9
Sebelum upacara pemakaman, mayat simpan di lumbung padi atau di Alang Sura
selama tiga hari. Lumbung padi tersebut tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon Palem
(Bangah) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke lumbung padi. Di bagian depan
lumbung terdapat ukiran antara lain ayam dan matahari yang merupakan simbol untuk
Toraja percaya bahwa tanpa upacara penguburan ini maka arwah orang yang meninggal
Upacara pemakaman Rambu Solo adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat
serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya pun selama berbulan-bulan.
Sementara menunggu upacara siap, tubuh orang meninggal dibungkus kain dan disimpan
dirumah leluhur atau tongkonan. Upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada bulan
Juli dan Agustus. Saat itu, orang Toraja yang merantau diseluruh Indonesia akan pulang
kampung untuk ikut serta dalam rangkaian acara upacara pemakaman tersebut.
Setelah upacara langkah ketiga saatnya pemakaman dilakukan, tiba saatnya mayat di
pindahkan ke pemakaman yang sudah dipahat didalam dinding batu. Lubang yang telah
dibuat membutuhkan biaya yang sangat besar untuk menyewa tukang pahat. Setelah lubang
selesai di buat oleh tukang tersebut, maka mayat siap untuk dimasukkan ke dalam dinding
batu tersebut. Adapun cara menaikkan mayat ke atas batu yang curam tersebut dengan
menggunkan tangga sebagai alat masyarakat untuk naik sampai kelubang tersebut, dan
mayatnya di angkut naik keatas dengan menggunakan tali yang diikat pada tubuh mayat
tersebut.
Setelah proses pemakaman selesai, ketika ada keluarga yang ingin berziarah ke makam
tersebut sangat mustahil untuk mereka naik ke dinding batu yang curam tersebut. Maka,
keluarga yang berziarah hanya datang ke tempat pemakaman dan memberikan beberapa
makanan kesukaan mendiang dahulu. Kebanyakan memberikan uang koin, rokok, dan
10
Ritual Ma’nene merupakan upacara yang dilakukan untuk mengenang para leluhur,
yang dilakukan setiap tiga tahun sekali. Ritual diadakan setelah panen besar dilaksanakan
banyak, ritual ini dipercaya sebagai bentuk pemberkatan terhadap hasil panen yang sudah
dilakukan. Masyarakat Toraja percaya bahwa jika ritual Ma’nene ini dilakukan sebelum
musim panen, maka dapat dipastikan bahya hasil panen akan gagal.
Isi dari ritual Ma’nene ini adalah melakukan pembersihan terhadap jenazah atau mayat
dari keluarga serta kerabat mereka. Dengan cara mengeluarkan mumi jenazah dari dalam
peti, kemudian dibersihkan dan digantikan dengan pakaian yang baru. Ritual Ma’nene ini
secara khusus dilakukan oleh masyarakat Baruppa yang tinggal dipedalaman Toraja.
Peti jenazah para leluhur yang akan dikeluarkan dari dalam liang gunung batu,
kemudian mayat dikeluarkan dan diiringi pembacaan doa-doa dalam bahasa Toraja kuno.
Mayat yang sudah dikeluarkan akan dibersihkan dengan menggunakan kain bersih, setelah
dibersihkan mayat didandani serta dipakaikan baju baru dan kemudian di dirikan.
Menariknya mayat tersebut dapat berdiri tegak bahkan berjalan, hal ini diyakini menjadi
berkat pembacaan doa-doa dan mantra yang dipanjatkan oleh para tetua dan pemimpin
7% Muslim, hanya 16% masih memeluk agama-adat disebut Aluk Todolo. Namun
kepercayaan Aluk Tomatua upacara ritual bagian dari Aluk Todolo. Dalam kehidupan
sehari-hari adat tersebut antara lain terungkap dalam berbagai upacara seperti misalnya
Rambu Tuka berarti suka cita atau dalam hal ini perkawinan, upacara memasuki rumah
baru. Menurut adat Toraja yang paling penting adalah upacara Rambu Solo yaitu upacara
pemakaman.
11
Aluk Todolo kepercayaan dianut oleh masyarakat Toraja artinya adalah agama/Aturan
dari leluhur (aluk: agama/aturan, todolo: nenek moyang). Aluk Todolo menurut
penganutnya diturunkan oleh Puang Matua atau Sang Pencipta mulanya pada leluhur
pertama Datu La Ukku' yang kemudian menurunkan ajarannya kepada anak cucunya. Oleh
karena itu menurut kepercayaan ini, manusia harus menyembah, memuja dan memuliakan
Puang Matua atau Sang Pencipta diwujudkan dalam berbagai bentuk sikap hidup dan
Setelah Puang Matua menurunkan Aluk kepada Datu La Ukku sebagai manusia
pertama, kemudian memberikan kekuasaan kepada para Deata atau Dewa untuk menjaga
dan memelihara manusia. Oleh karena itu Deata disebut pula sebagai Pemelihara yang
menurut Aluk Todolo tidak tunggal tetapi di golongan menjadi tiga yaitu: Deata Langi'
(Sang Pemelihara Langit menguasai seluruh isi langit dan cakrawala), Deata
Kapadanganna (Sang Pemelihara Bumi, menguasai semua yang ada di bumi) dan Deata
golongan terdiri dari beberapa Deata yang menguasai bagian-bagian tertentu misalnya
Selain kepada Deata dengan kekuasaan masing-masing Puang Mattua atau Sang
Penguasa juga memberikan kepercayaan kepada To Membali Puang atau Todolo (Leluhur)
yang juga diwajibkan dipuja dan disembah karena merekalah yang memberi berkah kepada
para keturunannya. Pemujaan kepada ketiga unsur yang masing-masing berupa kelompok
Deata tersebut, oleh masyarakat penganut Aluk Todolo diungkapkan dalam bentuk
upacara-upacara ritual dengan berbagai sajian, persembahan atau korban. Persembahan ini
bermacam-macam bentuk, tempat dan arahnya disesuaikan dengan ketiga unsur tersebut di
atas. Kepada Para Deata atau Pemelihara, dipersembahkan babi atau ayam dengan
Puang/Todolo atau Leluhur sebagai pengawas manusia dipersembahkan babi atau ayam di
sebelah barat Tongkonan atau di tempat kuburan.
12
Tana Toraja sudah terdapat kepercayaan warisan nenek moyang yang disebut dengan
Aluk Todolo (Alukta). Kepercayaan inilah yang kemudian menjadi landasan berbagai ritual
adat dan tradisi masyarakat Toraja. Alukta pada dasarnya tidak mengaharuskan
pemakaman sebagai pelaksanaan Aluk to Mate (memperlakukan orang yang telah mati).
Karena semakin cepat jenazah dimakamkan, akan semakin banyak kesempatan untuk
Namun banyak alasan dan latar belakang mengapa jenazah-jenazah tersebut harus
disimpan terlebih dahulu ke dalam goa atau liang-liang bukit. Alasan-alasan tersebut antara
lain seperti menunggu kedatangan kerabat yang sedang merantau, untuk memberi
kesempatan bagi keluarganya menunjukkan kasih sayang kepada jenazah, atau untuk
menunggu biaya dan hewan korban yang banyak terlebih dahulu agar dapat melaksanakan
Upacara Rambu Solo (mengantarkan jenazah kealam yang disebut puya), dan berbagai
alasan lain. Hingga akhirnya menyimpan mayat menjadi sebuah tradisi di kalangan
Dahulu masyarakat adat Tanah Toraja menyimpan jenazah di dalam rumah tongkonan.
Lamanya waktu menyimpan jenzah paling lama tiga puluh enam malam untuk keluarga
bangsawan. Sementara dari golongan lainnya kurang dari itu, atau bahkan tidak disimpan
sama sekali karena upacaranya sangat singkat. Seiring berjalannya waktu, kemudian
masyarakat adat Toraja memberi sebutan dan anggapan yang berbeda-beda tentang jenazah
yang disimpan. Ada yang menganggap To Makula, bahwa jenazah yang disimpan dianggap
hanya sebagai orang yang sakit, dan To Mate, jenazah sedang dalam rangkaian upacara
Aluk To Mate. Ketika memasuki goa Londa akan dijumpai dengan berbagai peti jenazah
khusus bagi marga keturunan Tau-tau. Tidak semua yang meninggal memiliki Tau-tau
karena Tau-tau hanya dibuatkan untuk bangsawan yang proses pemakamannya diadakan
dengan upacara adat tertinggi. Di setiap sudut goa akan dijumpai berbagai macam peti yang
13
memang sengaja diletakkan secara bertumpuk-tumpuk. Di sekitar peti mati sering
ditemukan botol minuman, rokok, sirih, uang logam, atau bahkan pakaian. Hal ini
layaknya masih hidup. Di atas bukit juga terdapat juga rongga dimana jenazah disimpan.
Penyimpanan dibukit tersebut dilakukan karena di dalam goa sudah penuh dengan peti
jenazah.
14
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan menjadi tiga garis besar, yakni :
1. Ketiga tempat pemakaman yakni Londa, Lemo dan Ke’te’kesu dibagi berdasarkan
memiliki nenek moyang yang sama yakni, Aluk Todolo. Diantara ketiga lokasi
tersebut, Londa adalah lokasi pemakaman paling besar karena terletak ratusan
Solo dan Ma’nene. Rambu Solo adalah ritual prosesi pemakaman jenazah (Tau
milyaran rupiah. Ritual ini dilakukan dengan memotong kerbau, babi dan ayam
dan hal ini berdasarkan strata sosial ditengah masyarakat. Sedangkan ritual
mempercantik peti dan memberi makan jenazah. Ritual ini dilakukan tiga tahun
disebut Aluk Todolo yang diturunkan oleh sang pencipta atau disebut Puang Matua
musyawarah dan dinding gunung dan gua bukanlah sebuah keharusan diwaktu itu.
Namun seiring berjalannya waktu, tradisi itu dilakukan secara turun temurun
15
LAMPIRAN
16
2. Pemakaman Londa
17
3. Pemakaman Lemo
18