Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Berbicara mengenai Suku Toraja tentu dalam benak kita terbayang sebuah etnik
suku yang memiliki rumah panggung besar dengan atap menyerupai moncong perahu dan
upacara adatnya yang melibatkan banyak orang untuk terlibat dan reputasinya pada hari ini
telah mengarungi banyak negara. Daya tarik yang berasal dari khasanah kebudayaannya,
arsitektur tradisional yang inspiratif serta kaya makna, dan keagungan prosesi adatnya
menjadikan Tana Toraja memiliki nilai-nilai tersendiri yang pada hari ini banyak diminati
oleh wisatawan untuk mengunjungi daerah tersebut. Hal ini diperkuat dengan kearifan lokal
yang nilai-nilainya masih dijalankan oleh masyarakat sekitar Tana Toraja.
Melihat Suku Toraja sejenak Secara geografis, Komunitas Suku Toraja bertempat
tinggal pada pegunungan di bagian utara sulawesi selatan. Lebih spesifik pada letaknya,
Suku Toraja terletak di kabupaten Tana Toraja yang terletak dalam satuan kepemerintahan
Provinsi Sulawesi Selatan yang mana memiliki ibukota bernama Makale. Pada tahun 2007
kabupaten ini memiliki jumlah populasi sebanyak 248.607 jiwa. batas-batas geografis
Kabupaten Tana Toraja di utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, dan sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Luwu, lalu pada sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Enkerang, sementara pada sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Mamasa.

1.2 TUJUAN

1.3 LIMITASI DAN KENDALA YANG DI HADAPI


1.4 STRUKTUR PEMBAHASAN
BAB II

TIJAUAN PISTAKA

2.1 Pengertian Toraja

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam
di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun
1909.[3] Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran
kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya
dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Kata toraja berasal
dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti orang yang berdiam di negeri atas. Pemerintah
kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Ada juga versi lain bahwa
kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang
besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana
berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana
Toraja.Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran
kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya
dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan , indonesia Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di
antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan
Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara
sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo.
Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu
Dharma.
2.2 Arsitektur Toraja (Tongkonan)

Tongkonan adalah rumah tradisional


Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan
dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam,
dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa
Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan
merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja.
Ritual yang berhubungan dengan tongkonan
sangatlah penting dalam kehidupan spiritual
suku Toraja oleh karena itu semua anggota
keluarga diharuskan ikut serta karena
Tongkonan melambangan hubungan mereka
dengan leluhur mereka.

Khususnya di Sillanan-Pemanukan (Tallu Lembangna) yang dikenal dengan


istilah Ma'duangtondok terdapat tongkonan yaitu Tongkonan Karua (delapan rumah
tongkonan) dan Tongkonan A'pa' (empat rumah tongkonan) yang memegang peranan
dalam masyarakat sekitar.

Tongkonan karua terdiri dari:

1. Tongkonan Pangrapa'(Kabarasan)
2. Tongkonan Sangtanete Jioan
3. Tongkonan Nosu (To intoi masakka'na)
4. Tongkonan Sissarean
5. Tongkonan Karampa' Panglawa padang
6. Tongkonan Tomentaun
7. Tongkonan To'lo'le Jaoan
8. Tongkonan To Barana'

Tongkonan A'pa' terdiri dari:

1. Tongkonan Peanna Sangka'


2. Tongkonan To'induk
3. Tongkonan Karorrong
4. Tongkonan Tondok Bangla' (Pemanukan)

Banyak rumah adat yang konon dikatakan tongkonan di Sillanan, tetapi menurut
masyarakat setempat, bahwa yang dikatakan tongkonan hanya 12 seperti tercatat di
atas. Rumah adat yang lain disebut banua pa'rapuan. Yang dikatakan tongkonan di
Sillanan adalah rumah adat di mana turunannya memegang peranan dalam masyarakat
adat setempat. Keturunan dari tongkonan menggambarkan strata sosial masyarakat di
Sillanan. Contoh Tongkonan Pangrapa' (Kabarasan)/ pemegang kekuasaan
pemerintahan. Bila ada orang yang meninggal dan dipotongkan 2 ekor kerbau, satu
kepala kerbau dibawa ke Tongkonan Pangrapa' untuk dibagi-bagi turunannya.

Stara sosial di masayarakat Sillanan di bagi atas 3 tingkatan yaitu:

1. Ma'dika (darah biru/keturunan bangsawan);


2. To Makaka (orang merdeka/bebas);
3. Kaunan (budak), budak masih dibagi lagi dalam 3 tingkatan.

Rumah adat Toraja (Tongkonan) bentuknya menyerupai perahu Kerajaan Cina


jaman dahulu. Konon kata Tongkonan berasal dari istilah tongkon yang berarti duduk,
dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan
kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja. Rumah ini tidak dimiliki oleh
perseorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku
Tana Toraja.
BAB III

ASPEK PEMBENTUK ARSITEKTUR

3.1 Sistem Kepercayaan, Sistem Upacara Dan Sistem Kekerabatan Dan Masyarakat

A. Sistem Kepercayaan Orang Toraja


Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme
politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum").
Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan
tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan
Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas
(Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya.
Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi
panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan
surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja
lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi
gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi
pengobatan), dan lainnya. Agama: mayoritas penduduk memeluk agama Krtisten
selebihnya merupakan pemeluk agama Katholik, Islam, dan Alukta. Adapun perincian
tempat ibadah ialah sebagai berikut: Gereja Kristen: 11buah, Gereja Katholik: 1
buah, Mesjid : 1 buah

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam
kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang
pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan
dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik
pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan
desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan
kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan
menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.[19]
Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda,
orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual
kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian
masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang
dilaksanakan.
B. Sistem Upacara masyarakat Toraja
Upacara Keagamaan
Upacara keagamaan aluk todolo umumnya selalu diadakan di Tana Toraja
adalah berhubungan erat dengan upacara keagamaan atau acara adat dengan memotong
ayam, babi, atau kerbau. Kehidupan masyarakat Toraja sepanjang tahun terlibat dalam
upacara keagamaan seperti pesta panen padi, pesta rumah adat dan pemakaman orang
mati.
Upacara keagamaan itu terbagi dua
a. Upacara Rambu Tuka atau Aluk Rampe Matallo.
Upacara rambu tuka ialah menyembah kepada Dewata dan Puang Matua dengan
memotong ayam, babi, atau kerbau dibawah pimpinan Tominaa. Upacara ini disebut
rambu tuka sebagai bahasa sastra yang mengidentikkan sebagai upacara syukur
yang mennggembirakan atau yang baik baik. Upacara rambu tuka sering disebut
juga aluk rampe matallo atau upacara keagamaan yang dilaksanakan pada pagi hari
di bagian timur dari letak rumah. Pemimpin agama selalu menghadap ke timur,
mempersembahkan korban yang dibawakan.

Upacara Rambu Tuka antara lain :


Mangrara Bauna
Pembangunan rumah Tongkonan yang dibiayai oleh biaya bersama atas
nama keluarga, diadakan pesta yang dihadiri oleh seluruh keluarga yang
masing masing anggota memotong seekor babi besar. Pada upacara ini,
diadakan macam macam tarian adat seperti Magellu tarian daobulan dan
lain lain.
Mabugi
Upacara syukuran dalam kampung sesudah panen disebut MaBugi.
MaBugi juga diadakan untuk syukuran kampung sesudah terjadi wabah
penyakit agar tidak terulang lagi. Kalau ada orang mati dalam kampung yang
belum dikuburkan, tidak boleh diadakan Mabughi. Orang kampung
memotong ayam, dan memasak nasi ketan dalam bamboo kemudian
dimakan bersama dengan minum tuak (nira).
Maro
Pesta maro diadakan untuk menyembuhkan orang sakit yang diganggu roh
halus. Maro dapat juga diadakan pada saat acara mangrara banua. Uniknya,
cara menyembuhkan orang sakit pada upacara ini yaitu dengan setiap
malam dikelilingi oleh orang yang mengadakan tarian maro. Ditengah
kerumunan massa yang menari pada malam hari, setelah orang sakit sudah
mendapat keringat dan sudah beberapa orang dukun kemasukan roh halus,
maka pengobatan diadakan dengan darah yang menetes dari dahi dukun dan
darah yang diambil dari lidah dukun yang dilukai. Luka luka dukun akan
segera sembuh sesudah mengadakan kontak dengan Dewata dengan
mempergunakan daun pohon tabang. Proses ini berlangsung tiap malam
selama acara maro berlangsung sampai orang sakit sembuh.
Merok
Suatu pesta besar yang diadakan sebagai kelengkapan dari pesta upacara
kematian seorang bangsawan yang diadakan kalau keluarga yang
bersangkutan sudah merasa mampu. Acara merok brelangsung beberapa
hari dan setiap malam para pemimpin agama aluk todolo berkumpul
menginpentarisir segala atribut dan seluk beluk adat untuk diperbarui
dalam pikiran. Seekor kerbau dipotong sebagai persembahan kepada Puang
Matua dan malam hari sebelum hari terakhir, kerbau ini ditingga / disomba
mengenai asal mula makhluk diciptakan oleh Puang Matua melalui sauna
sibarrung dimana nenek manusia, nenek kerbau dan aluk diadakan. Untuk
itulah kerbau dipelihara untuk dikembalikan pada fungsinya sebagai hewan
korban. Pesta morok dapat juga diadakan sebagai syukuran besar dari satu
keluarga bahagia karena kaya. Pesta morok diadakan di beberapa tempat
untuk acara rumah tongkonan.
Masassiri
Pesta panen sebagai penutup dari upacara orang mati yang tergolong
menengah, upacara pemakaman golongan menengah diakhiri dengan
masassiri yaitu 2 atau 4 ekor babi dipotong.
Mabua
Ini adalah pesta adat rambu tuka yang paling menarik dan paling besar,
tetapi tidak semua daerah lingkungan adat adat mengadakan pesta mabua
ini. Pesta mabua hampir tiap tahun diadakan oleh keluarga yang mampu.
Anak gadis diberi pakaian lengkap dan menjadi tontonan yang menarik.
Yang lebih menarik pada upacara ini adalah saat membawa obor api pada
malam hari.
Mabate
Sebagai lanjutan dari pesta marok dan pesta mabua, pada hari terakhir
penutupan acara, semua orang kampung pergi ke tempat terbuka berpesta
ria dengan memotong babi dan ayam. Di tempat terbuka ini, didirikan
menara tinggi yang dihiasi dengan kain MAA, semacam kain ikat antic dan
parang antic yang khusus, yakni parang yang dulu digunakan untuk
peperangan. Baik kain MAA maupun parang antic (Labo Todolo) sudah
jarang ditemukan karena hampir punah di Toraja. Kain dan parang ini dibeli
turis asing untuk benda souvenir, diboyong pulang ke Eropa atau Jepang.
Setelah selesai acara makan di arena terbuka, diadakan tarian adat seperti
tarian Madandan, tarian Magellu dan tarian Maro.
Sisemba
Pesta panen, suatu atraksi massal, perkelahian antar kampung yang
mempergunakan kaki, tidak boleh mempergunakan tangan dan senjata lain.
Tiap kampung menurunkan jago jago sembak di arena terbuka. Sisemba
mempunyai pula syarat syarat lain : Tidak boleh menyepak lawan yang
jatuh atau yang sudah menyerah. Kalau lawan pingsan atau patah tulang
harus segera diberi pertolongan.
b. Upacara Rambu Solo atau Aluk Rampe Matampu
Upacara ini adalah semua upacara keagamaan yang mempersembahkan babi
dan kerbau untuk arwah leluhur atau untuk orang yang meninggal dunia seperti
upacara pemakaman secara adat, upacara manene. Upacara manene adalah
upacara memotong babi atau kerbau untuk orang yang sudah dikuburkan bertempat
di pemakaman liang batu.

Kematian membawa malapetaka, penderitaan batin keluarga yang


ditinggalkan dan bukan itu saja, tetapi membwa konsekuensi tanggung jawab
solider seluruh anggota keluarga dan persyaratan agama dan adat yang harus
dipenuhi agar jiwa seseorang akan damai dan selamat meninggalkan dunia yang
fana ini menuju ke dunia yang tentram di Puya.
Dengan memberikan segala pengorbanan materi yangs anggup disediakan,
anggota keluarga merasa menunaikan kewajiban dan tanggung jawab yang tidak
dapat dielakkan selama anggota keluarga itu masih bersedia mengikuti tradisi adat,
agama, dan persentase keluarga di mata orang di kampung.
Hampir seluruh kehidupan masyarakat Toraja difokuskan untuk upacara sesudah
meninggal dunia, namun dalam melaksanakan upacara pemakaman secara adat dan
terbuka, bergantung dengan kedudukan dalam masyarakat dan kemampuan
seseorang.

Tingkat tingkat upacara pemakaman dalam aluk todolo :


Disilli : upacara pemakaman yang paling sederhana. Dulu, orang miskin dari
tingkatan budak sering dikuburkan dengan cara yang menyedihkan,
misalnya dengan hanya membekali mayat dengan telur ayam, tetapi
sekarang rata rata keluarga menguburkan orang mati dengan memotong
seekor babi. Upacara penguburan disilli adalah aluk golongan masyarakat
budak, terutama untuk menguburkan anak yang belum dewasa. Anak yang
lahir dan meninggal ditanam bersama urihnya tanpa upacara keagamaan.
Sedangkan, anak yang meninggal sebelum giginya tumbuh, dimasukkan ke
dalam pohon kayu besar dengan upacara sederhana dan tanpa pembalut
kain.Pohon tempat penguburan ini disebut LIANG PIA atau PASSILLIRAN.
Kedua cara penguburan ini, berlaku bagi semua golonga, baik golongan
bangsawan maupun golongan rendahan.
Dipasangi Bongi
Upacara penguburan orang mati yang acaranya hanya satu malam di rumah
dan hanya seekor kerbau dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini bagi
orang tua dari golongan terendah atau golongan menengah yang tidak
mampu ekonominya.
Dipatallung Bongi
Upacara penguburan ini berlangsung selama tiga malam di rumah. Empat ekor
kerbau dipotong dan babi sekitar sepuluh ekor. Hari kedua, tamu datang
membawa sumbangan berupa babi, tuak, dan umbi umbian. Beberapa tempat
nasi tidak boleh dimakan di tempat itu dan semua keluarga terdekat mempunyai
kewajiban untuk pantang makan nasi selama berlangsungnya upacara dan
beberapa hari sesudah upacara. Selama tiga malam berturut turut diadakan
acara mabadong.
Dipalimang Bongi
Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima hari lima malam. Hari ketiga
adalah hari penerimaan tamu. Tamu atau kenalan mendapat kesempatan
membawakan sumbangan berupa minuman tuak, buah buahan, umbi
umbian, kerbau, rokok ataupun gula pasir.
Sembilan ekor kerbau dan puluhan ekor babi dipotong. Patung orang yang
meninggal itu dibuat dari bamboo. Patung itu disebut TAU TAU LAMPA. Tau
tau ini dihiasi dengan pakaian adat tetapi pada waktu hari penguburan, pakaian
dan perhiasan diambil kembali.
Tidak semua kampung mengadakan pemakaman seperti ini. Upacara
pemakaman ini merupakan upacara tingkat yang paling tinggi.
Pada malam terakhir diadakan persiapan untuk satu acara khusus yang disebut
acara MAPARANDO, dimana semua cucu almarhum yang sudah gadis, diarak
pada malam hari, duduk diatas bahu laki laki dengan perhiasan semacam
pakaian penari yang terdiri dari perhiasan emas goyang dan kandaure. Mereka
dibawa keliling rumah tiga kali dengan memakai obor. Para penonton memuji
kecantikan gadis, namun adapula yang mencemoohnya. Orang yang mencemooh
tidak dimarahi selama masih dalam batas batas norma kesusilaan. Sepanjang
lima malam selalu dilakukan mabadong. Seluruh anggota keluarga berpantang
tidak makan nasi sampai seluruh embel embel acara selesai.
Dipapitung Bongi
Upacaranya 7 hari 7 malam. Setiap malam dan setiap hari ada acara pemotongan
kerbau dan babi. Keluarga terdekat pantang makan nasi selama acara
berlangsung. Acara hari penerimaan tamu lebih meriah banyak babi dipotong,
kerbau 9 sampai 20 ekor. Kepala kerbau diperuntukkan bagi rumah tongkonan
dan daging kerbau diberikan kepada tamu dan penduduk desa.
Dirapai
Upacara penguburan orang mati yang paling mahal ialah mangrapai karena dua
kali diupacarakan sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah
tongkonan dan kemudian diistirahatkan satu tahun, baru upacara kedua
diadakan. Upacara pertama dalam bahasa daerah disebut dialuk pia. Pada
upacara kedua, orang mati diarak dengan pikulan ratusan orang dari rumah
tongkonan ke rante (tempat upacara kedua). Upacara ini disebut mapaolo /
mapasonglo. Orang mati dibungkus kain merah dilapisi emas, diikuti oleh tau-
tau dan janda almarhum dalam usungan yang dihiasai emas serta diiringi oleh
puluhan ekor kerbau jantan yang berhias yang siap untuk diadu satu lawan satu.
Setelah tiba dir ante, mayat dinaikkan ke satu bangunan tinggi khusus tempat
orang mati itu (lakkian). Acara acara lain menyusul, seperti acara adu kerbau,
acara sisemba, dan acara tari tarian.
Peralatan Upacara Keagamaan
Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan
tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah,
atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai
kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di
desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan
ke Puya. Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau, Penyembelihan
dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan
di padang, menunggu pemiliknya,
Sedangkan penggunaan musiknya yaitu Musik suling, nyanyian, lagu, puisi, tangisan dan
ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk
menutupi biaya pemakaman dalam "masa tertidur"
C. Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan orang Toraja ditemukan sistem kekerabatan. Sistem
kekrabatan tersebut adalah sebagai berikut:
a) Keluarga inti atau keluarga batih. Keluarga ini merupakan yang terkecil. orang
Toraja menyebutnya Sangrurangan. Keluarga ini biasanya terdiri atas bapak,
ibu, anak, saudara laki-laki bapak atau ibu yang belum kawin.
b) Sepupu. Kekerabatan ini terjadi karena hubungan darah. Hubungan darah
tersebut dilihat dari keturunan pihak ibu dan pihak bapak. Toraja menyebutkan
Sirampaenna. Kekerabatan tersebut biasanya terdiri atas dua macam, yaitu
sepupu dekat dan sepupu jauh. Yang tergolong sepupu dekat adalah sepupu satu
kali sampai dengan sepupu tiga kali, sedangkan yang termasuk sepupu jauh
adalah sepupu empat kali sampai lima kali.
c) Keturunan. Kekerabatan yang terjadi berdasarkan garis keturunan baik dari
garis ayah maupun garis ibu. Mereka itu biasanya menempati satu kampung.
Terkadang pula terdapat keluarga yang bertempat tinggal di daerah lain. Hal ini
bisanya disebabkan oleh karena mereka telah menjalin hubungan ikatan
perkawinan dengan seseorang yang bermukim di daerah tersebut. Toraja
Sangrara Buku.
d) Pertalian sepupu/persambungan keluarga. Kekerabatan ini muncul setelah
adanya hubungan kawin antara rumpun keluarga yang satu dengan yang lain.
Kedua rumpun keluarga tersebut biasanya tidak memiliki pertalian keluarga
sebelumnya. Keluraga kedua pihak tersebut sudah saling menganggap keluarga
sendiri. Orang-orang Toraja menyebutnya Sirampe-rampeang.
e) Sikampung. Sistem kekerabatan yang terbangun karena bermukim dalam satu
kampung, sekalipun dalam kelompok ini terdapat orang-orang yang sama sekali
tidak ada hubungan darahnya/keluarga. Perasaan akrab dan saling menganggap
saudara/ keluarga muncul karena mereka sama-sama bermukim dalam satu
kampung. Biasanya jika mereka berada itu kebetulan berada di perantauan,
mereka saling topang-menopang, bantu-membantu dalam segala hal karena
mereka saling menganggap saudara senasib dan sepenaggungan. Orang Toraja
menyebut menyebutkan Sangbanua.
Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang
lain. Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika seorang
membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka
bersedia untuk segalanya.
D. Sistem kemasyarakatan
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas
sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan
dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan
melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih
rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini
bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan
dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena
alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di
tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok
bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat
tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para
bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian
status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian.
Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak
sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan
jumlah kekayaan.
Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.Budak dalam
masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja
menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak.
Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa
membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak.
Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama
dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman
bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
3.2 Kosmologi Dalam Budaya Arsitektur

Kearifan Budaya lokal Kosmologi

Orang Tana Toraja umumnya menggunakan konsep budaya kearifan-Kosmologi


dalam membangun sebuah rumah, yaitu konsep pusat rumah yang merupakan
perpaduan dari kosmologi dan simbolisme.

Dalam perspektif kosmologi, menurut masyarakat tradisional Toraja rumah


adalah mikrokosmos dari makrokosmos yang merupakan komponen lingkungan. Pusat
rumah dapat didefinisikan menjadi dua bagian khusus meraga. Dalam hal ini meraga
pertama perapian terletak di tengah ruangan dan atap yang naik di atas ruang tamu di
mana atap menjadi satu dengan asap (langit ayah). Sementara meraga kedua adalah
meraga sebagai tiang utama atau pilar, misalnya ariri possi di Toraja, dimana pilar
menyatu dengan ibu bumi.

Membangun Rumah Dipandu Filosofi Kehidupan

Dalam membangun rumah, masyarakat Toraja tradisional juga dipandu oleh


filososfi kehidupan yang mana disebut Aluk Apa Otona. Filosofi ini memiliki empat
makna pandangan hidup yaitu: Kemuliaan Tuhan, kehidupan manusia, dan Budaya Adat,
dan Sifat Kehidupan Leluhur. Keempat filosofi ini kemudian menjadi dasar penciptaan
tradisional denah rumah persegi panjang Toraja dibatasi oleh dinding. Tembok pemisah
juga memiliki makna yang melambangkan tubuh atau kekuasaan.

Ruang Tertutup Dalam Desain Arsitektur Rumah Tradisional Toraja


Dalam masyarakat tradisional Toraja lebih percaya pada kekuatan diri sendiri
atau Egocentrum. Keyakinan ini tercermin dalam konsep desain arsitektur rumah
yang mendominasi ruang pribadi yang tertutup. Jika ada ruang terbuka, dan bahkan
kemudian cukup sempit. Konsep desain arsitektur rumah tradisional Toraja menerima
pengaruh yang signifikan dari etos budaya yang disebut tallang simuane atau sering
disebut filosofi harmoni. Yaitu dua potong bambu perpecahan dan dirancang masing-
masing tertutup, seperti pemasangan belahan bambu dalam membangun lumbung atau
rumah adat.

Tata Letak Rumah Tradisional Toraja

Tata letak kustom rumah Tongkonan selalu berorientasi Utara dan Selatan, hal
ini diperhitungkan dalam membuat desain arsitektur. Secara rinci, bagian depan rumah
harus berorientasi Utara atau kebiasaan Toraja disebut arah Puang Matua Ulunna
langi. Sementara rumah harus berorientasi ke arah belakang Selatan, atau diyakini arah
roh Pollona Langi . Sementara dua arah mata angin lainnya Timur dan Barat
melambangkan kehidupan dan pemeliharaan. Arah ke Timur diyakini arah DEA atau
Dewa yang memberikan hidup dan melestarikan dunia dan segala isinya. Sementara
Barat diyakini arah mana nenek moyang atau Todolo.

Fungsi dan kegunaan penataan lantai bangunan tradisional adat toraja di


bedakan atas empat
a) Banua sang borong atau banua sang lanta adalah rumah untuk para
pengabdi kepada penguasa adat pada zaman sekarang ini banyak
didapati di kebun-kebun pada rumah ini hanya terdapat satu tiang
untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
b) Banua dang lantaq adalah bangunan yang tidak mempunyai peranan
adat seperti tongonan batu aqriri yang terdir dari dua ruang yaitu
sumbung sebagai tempat tidur dan Sali sebagai dapur.
c) Banua tallung lantaq yaitu bangunan adat pemerintahan toraja yang
mempunyai tiga ruang. Ruang itu adalah sumbung, Sali dan tangdoq
yang berfungsi sebagai tempat upacara pengucapan syukur dan tempat
istrahat tamu-tamu.
d) Banua patang lantaq yaitu bangunan tongkonan tertua dari penguasa
adat memegang fungsi adat tongkonan passioq aluq.
Untuk struktur arsitektur bangunan rumah adat ini di tentukan oleh
adat toraja sendiri.

Konsep hirarki rumah Toraja (banua) Kata toraja yang dimaknakan sebagai
sesuatu yang tinggal di gunung atau sesuatu yang tinggal di tempat tinggi, berasal
dari kata raja (dalam bahasa Sansekerta berarti penguasa). Rumah tradisional ini terdiri
dari tiga bagian berdasarkan hirarkinya.
1) Bagian atas, loteng (langi) merupakan dunia/alam atas yang
melambangkan sorga dan dianggap paling sakral;
2) Ruang tengah merupakan ruang dunia kehidupan manusia (padang);
3) Ruang bawah rumah/kolong merupakan dunia bawah, tempat
kehidupan makhluk setan;
4) Kaki bangunan paling bawah akan ditopang pada kepala dewa Pong
Tulak Padang;
5) Sementara dewa tertinggi, Puang Matua, bertempat di alam sorga teratas
(ulunna langi) dan ini disimbolkan dengan matahari dan pergerakannya;
6) Rumah bangsawan suku Toraja, terdapat ruang tengah di kaki rumah
yang tidak difungsikan, disimbolkan sebagai riri posi atau tempat tali
pusar;
7) Pada badan rumah terdapat ruang yang menjadi orientasi (axis mundi),
atau disimbolkan sebagai pusat alam semesta (petuo), dalam satu sumbu
vertikal dengan ruang di atasnya. Ruang di bawah rumah (kaki
panggung) dianggap sebagai ruang yang sangat berbahaya, terdapat
kekuatan yang dapat mengganggu kehidupan manusia;
8) Padi dan air sebagai sumber kehidupan terdapat di sebelah utara rumah;
9) Tapak rumah akan dibangun mengikuti aliran sungai Sadan. Aliran
sungai dari arah utara ke selatan juga merupakan salah satu sumbu
orientasi perumahan suku Toraja pada umumnya, selain juga mengikuti
orientasi timur-barat sesuai lintasan pergerakan matahari;
10) Laut terdapat di bagian selatan dengan latar belakang Pulau Pongko, asal
nenek moyang masyarakat Toraja sebelumnya;
11) Kuburan juga diletakkan di sebelah selatan;
12) berdekatan dengan gunung Bamba Puang yang legendaris itu;
13) Kuburan bagi para bangsawan diposisikan lebih tinggi daripada kuburan
masyarakat biasa. Kuburan ini dikelilingi oleh pohon kelapa untuk
membantu para roh mencapai alam atas. Rumah suku Toraja diletakkan
sesuai orientasi utara-selatan.
14) Bagian rumah yang dianggap paling sakral adalah bagian loteng paling
utara (lindo puang), sebagai pengejawantahan wajah pemilik rumah itu,
sekaligus juga pintu masuk para dewa ke dalam rumah. Pada sisi rumah
sebelah selatan dan sisi lainnya disimbolkan sebagai kematian, seperti
juga sisi barat, tempat matahari terbenam;
15) Jenasah diposisikan di sebelah barat rumah dengan kepala di selatan,
melambangkan pulau kematian yang berada di sebelah selatan. Kondisi
ini hanya dilakukan pada saat upacara menjelang pemakaman.Jenasah
kemudian diposisikan di timur-barat, dan diperlakukan seolah jenasah
itu masih hidup;
16) Upacara ini merupakan upacara terpenting, akhirnya jenasah
dikeluarkan melalui pintu yang terletak di sisi barat rumah. Sisi selatan
dan sisi barat juga dilambangkan sebagai tempat leluhur dan tempat
peninggalan benda- benda pusaka;
17) Ada juga yang meletakkannya di sudut tenggara ruangan;
18) Sebelah timur rumah merupakan tempat aktivitas para
penghuni, dilambangkan sebagai jantung.

Semua orientasi arah mata angin tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam


keseimbangan. Jika diterjemahkan arsitektur, keseimbangan dapat diterapkan dalam
bentuk bangunan simetris. Dari diskusi ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada
tiga prinsip dasar desain arsitektur rumah adat Toraja yang lampiran, orientasi, dan
simetris.
3.3 Klarifikasi Simbolik Dalam Kebudayaan

Didalam Tongkonan tedapat beberapa ornament ukiran khas Toraja yang


terbuat dari tanah liat. Untuk ornament di dalam Tongkonan, masyarakat Toraja
biasanya menggunakan 4 warna dasar yakni hitam, merah, kuning serta putih
Bagi suku Toraja, ke empat warna itu memiliki warna tersendiri. Di Toraja , warna hitam
melambangkan kematian, kuning menjadi symbol anugerah dan kekuasaan ilahi, putih
lambing warna daging dan tulang yang berarti suci, sementara merah menjadi symbol
warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Sama halnya dengan jumlah
tanduk kerbau, ornament di dalam Tongkonan juga melambangkan kemewahan.
Semakin banyak anda menjumpai ornament ukiran di daam sebuah Tongkonan,
Tongkonan itu dinilai semakin memiliki kemewahan tersendiri di kalangan masyarakat
Toraja.
Ragam hias Ornamen rumah adat Toraja adalah sebagai berikut :

a) Kabongo, yaitu kayu yang dibentuk seperti kepala kerbau dengan


tanduk asli tanduk kerbau yang mengartikan bahwa Tongkonan ini
adalah Tongkonan pemimpin masyarakat dengan kata lain tempat
melaksanakan peranan dan kekuasaan adat Toraja.
b) Katik adalah bentuk kepala aya jantan yang berkokok. Perletakan Katik
ini adalah diatas kuduk dari Kabongo yang mengartikan pimpinan yang
menjalankan pemerintahan pada masyarakat tertentu.
c) Ariri Posi yaitu tiang tengah pada bangunan rumah adat Toraja yang
hampir kelihatan berdiri sendiri diantara ruang selatan dan ruang
tengah.
d) Tulak Somba yaitu tiang tinggi penopang ujung depan dan belakang
bangunan adat Toraja yang dinamakan Longa. Fungsinya sebagai tiang
penopang sekaligus tempat melekatnya tanduk karbau hasil pesta
mendirikan rumah.
e) Passura yaitu ukiran tradisional pada bangunan adat Toraja yang
bukan hanya sebagai hiasan, tetapi melambangkan sesuatu hal atau
kegiatan serta problem kehidupan masyarakat.

Ukiran kayu

Melihat Rumah Adat Tongkonan Toraja, yang sangat menarik adalah variasi
gambar dan simbol yang diukir menghiasi semua bagiannya. Ukiran-ukiran tersebut
untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial suku Toraja yang disebut Passura
(Penyampaian). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Pola yang terukir memiliki makna dengan presentase simbol tertentu dari pemilik atau
rumpun keluarga yang punya nilai magis. Ukiran-ukiran Toraja itu diyakini memiliki
kekuatan alam atau supranatural tertentu.
Diperkirakan, tidak kurang dari 67 jenis ukiran dengan aneka corak dan makna.
Warna-warna yang dominan adalah merah, kunig, putih dan hitam. Semua sumber
warna berasal dari tanah liat yang disebut Litak kecuali warna hitam yang berasal dari
jelaga atau bagian dalam pisang muda. Pencipta awal mula ukiran-ukiran magis ini
diyakini dari Ne Limbongan yang mana simbolnya adalah berupa lingkaran berbatas
bujur sangkar bermakna mata angin.
Setiap pola ukiran abstrak punya nama dan kisah antara lain motif empat
lingkaran yang ada dalam bujur sangkar biasanya ada di pucuk rumah yang
melambangkan kebesaran dan keagungan. Makna yang terkandung dalam simbol-
simbol itu antara lain simbol kebesaran bangsawan ( motif paku), simbol persatuan
(motif lingkaran 2 angka delapan), simbol penyimpanan harta ( motif empat lingkaran
berpotongan dan bersimpul) dll. Selain motif-motif abstrak itu, beragam pula pola-pola
yang realistis mengikuti bentuk binatang tertentu antara lain burung bangau (motif
Korong), motif bebek ( Kotte), Anjing ( motif Asu), Kerbau ( Tedong), Babi ( Bai) dan
ayam ( Pamanuk Londong).
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan
tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan
hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. lambangkan
kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak
kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua
keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang
yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas
melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja
keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya
kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.

BAB IV KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai