Anda di halaman 1dari 158

TIMOR

PULAU GUNUNG
FATULEU
BATU KERAMAT
TIDAK DIPERJUALBELIKAN
Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara
Perpustakaan Nasional, 2011

TIMOR
PULAU GUNUNG
FATULEU
"BATU K E R A M A T "

Oleh
I.H. DOKO

Perpustakaan Nasional Balai Pustaka


Republik Indonesia
Penerbit dan Percetakan:
PN BALA1 PUSTAKA

BP No. 2895

Hak Pengarang dilindungi Undang-Undang

Cetakan pertama — 1981

Perancang kulit : Hanung Sunarmono


KATA PENGANTAR

Di jaman lampau kaum penjajah telah menciptakan pendapat dan


anggapan umum, bahwa Timor adalah sebuah pulau yang gersang dan
seolah-olah tiada harapan untuk dijadikan tempat hidup manusia.
Anggapan semacam itu ternyata tidak benar, sebab Timor memiliki
juga wilayah-wilayah yang subur dengan hasil bumi seperti kayu cendana
yang terkenal itu.
Buku Timor Pulau Gunung Fatuleu, Batu Keramat yang ditulis oleh
Bapak I.H. Doko ini, secara terperinci mencoba memperkenalkan
keadaan yang sesungguhnya dari pulau tersebut baik dalam segi
ekonomi, budaya, pendidikan dan keadaan sosial penduduknya.
Dengan buku yang ditulis oleh putra daerahnya ini, anggapan di atas
akan hilang dengan sendirinya.

PN Balai Pustaka

5
KATA PENDAHULUAN

Buku "TIMOR, PULAU GUNUNG FATULEU, BATU


KERAMAT" disusun terutama dengan tujuan memberikan sekedar
gambaran dan penerangan kepada masyarakat Indonesia tentang kea-
daan Pulau Timor, khusus kepada para generasi muda dan para pelajar
kita.
Di masa lampau kaum penjajah sering menyebut pulau ini dengan ju-
lukan "het eiland aan de overkant van het graf" (pulau di seberang liang
lahat), karena memang sangat ditakuti oleh "Demam Timor"nya, yang
telah merenggut banyak sekali jiwa para pendatang pada masa itu.
Dengan dibiarkan dalam keadaan terlantar, karena memang kurang
menguntungkan si penjajah, diciptakanlah suatu pendapat dan anggap-
an umum bahwa Pulau Timor yang penuh mistik itu, hanya terdiri dari
batu karang melulu; seluruhnya tandus-kering dan merupakan daerah
"minus" dengan rakyat yang selalu menderita kelaparan dan sangat
terkebelakang.

Anggapan demikian sungguh bertentangan dengan pemberitaan


dalam Kronik-kronik Cina dari abad ke-13 yang menyatakan, bahwa
Pulau Timor, yang terletak di sebelah timur Tiong-kalo "sangat subur.
Pegunungannya ditumbuhi dengan pohon-pohon cendana yang harum se-
merbak sedang ladang-ladangnya subur dan hasilnya
berlimpah-limpah." Juga, ternyata benar-benar tidak sesuai dengan kea-
daannya yang sekarang kita lihat dan alami.

7
Hal itulah yang terutama telah mendorong saya, sebagai putra In-
donesia yang berasal. dari daerah ini, untuk menyusun buku ini dengan
maksud menggambarkan keadaan Pulau Timor yang sebenarnya kepada
bangsa kita di masa kini. Di samping itu, dengan adanya asas "Bhinneka
Tunggal Ika", berbeda dalam adat-istiadat serta kebudayaan masing-
masing daerah, maka sudah sewajarnya bila diusahakan adanya penge-
nalan terhadap setiap daerah oleh kita semuanya agar dapat lebih
menambah saling pengertian kita dalam membina suatu kehidupan
bangsa dan negara yang utuh dalam wadah suatu Negara Kesatuan In-
donesia.
Buku ini pasti penting bagi putra-putra Indonesia dalam rangka me-
ngenal suatu bagian dari tanah air Indonesia, yang oleh "perang
Saudara" yang ditinggalkan penjajah Portugis, mata dan perhatian
dunia pada akhir-akhir ini banyak ditujukan ke pulau ini.
Bagi mereka yang pernah mengunjunginya pasti melihat bahwa
banyak sekali perubahan dan pembangunan yang telah dilaksanakan
oleh Pemerintah bersama masyarakatnya.
Dengan demikian dapatlah kiranya anggapan yang buruk dan keliru,
sebagai warisan masa lampau itu dilenyapkan, serta semoga timbullah
suatu pandangan yang lengkap, baik tentang alamnya, adat dan agama-
nya, kehidupan sosial dan ekonomi serta pembangunannya di segala
bidang. Hal ini mendorong rakyatnya ke arah kemajuan yang menjadi
cita-cita seluruh bangsa.
Segala tegur-sapa yang bersifat membangun akan saya terima dengan
penuh penghargaan.
Akhirnya, semoga buku ini berfaedah juga hendaknya.

Kupang, 20 November 1977


Penulis.
PNRI
PNRI
11

PNRI
Jv\H%'irr-
fY.
»
'feoucoi
V«oib(
' — ^Aw\k>I £/IX MouSjilK Vi^woqi
'> Foiuo«fli
fcoi.boj •. to t. ••«.».>.<
* Alnmbi
I UlXII

PNRI
\ Tilomq»/
K<>»ob*T K«<am©r.
WkU,
•C I8UXOTA r»C P'NSl
0 tnuKOiA jtAavPArtN
• TEMP AT l/.'N
£< - • - 4 BATAS PSOHNM
BATAS KAJUPAHN
KlIPANG • J A LAN RAY A
Tanou 1 GUNUNG
-<- SUNG 1!
O BANAU
-Kill KAIUPAIfM ThH
# - c ' r o t i . / w . w <vrr
Peta Pulau Timor
BAB I

1. SEKELUMIT S E J A R A H
DAN K E A D A A N PULAU TIMOR

Pada masa sebelum Perang Dunia II tidak banyak orang Indonesia


mengenal Pulau Timor. Dalam buku-buku Ilmu Bumi penjajah, hanya
disebut bahwa bagian utara Pulau Timor adalah jajahan Portugis, bagi-
an barat dan selatannya adalah jajahan Belanda. Wilayah ini digam-
barkan sebagai daerah minus, seluruhnya tandus kering dan rakyatnya
selalu menderita kelaparan dan sangat terbelakang. Dikatakan, mereka
takut akan air dan kalau mandi hanya menggosok badan dengan kelapa
kering yang dikunyah. Tidak heran bila pulau ini menakutkan untuk
dikunjungi dan lalu dijadikan tempat buangan bagi orang-orang yang
melawan Belanda di Sumatera, Jawa, dan lain-lain bagian dari tanah air
kita.

Bagi orang-orang Belanda Pulau Timor terkenal oleh karena "Demam


Timornya" (malaria), yang sangat mereka takuti. Orang Belanda datang
ke Timor sebagai pedagang, tentara, pejabat pemerintah, atau sebagai
penyebar agama Kristen dalam abad ke-17 dan selanjutnya. Banyak dari
mereka yang mati diserang "Demam Timor" itu. Makam-makamnya
hingga saat ini masih banyak terlihat di komplek pekuburan kota
Kupang. Setiap pegawai pemerintah yang dipindahkan ke Timor pada
masa sebelum perang, menganggap bahwa ia dibuang dan merasakan se-
olah-olah dimasukkan ke dalam " N e r a k a " . "Timor ligt aan de overkant
van het g r a f " (Timor terletak di seberang liang kubur)", demikian kata
orang-orang Belanda. Jadi, jika dikirim ke sana untuk bertugas, berarti

15

PNRI
harus terlebih dahulu melalui liang kubur. Dengan demikian orang eng-
gan dan segan bertugas di sana.
Anggapan buruk demikian lambat laun menumbuhkan gagasan baru,
yaitu untuk memelihara Pulau Timor agar "tetap asli", "tetap primitif"
untuk dijadikan obyek studi dan penelitian bagi orang-orang Barat.
Dengan demikian Pulau Timor dan rakyatnya makin diterlantarkan, se-
ngaja dilupakan. Belanda mengatakan, toh tidak mempunyai hasil apa-
apa, sehingga tidak memberi keuntungan material sedikit pun kepada
mereka.
Baru pada Perang Dunia II Pulau Timor mulai menarik perhatian in-
ternasional, terutama negara-negara Sekutu, sebab pulau ini dipakai
oleh tentara Jepang sebagai batu loncatan utama untuk menyerang
benua Australia. Beribu-ribu pasukan berani mati Jepang (Jibakutai dan
Kami-Kaze) distationir di Kupang dan Belu yang setiap saat siap untuk
menerjang masuk ke Australia.
Berkat pertahanan yang kuat dari Australia sendiri dan serangan
balasan yang bertubi-tubi dari pihak Sekutu hal itu tidak pemah terjadi.
Orang baru mulai sadar, betapa pentingnya pulau ini dilihat dari sudut
pertahanan bagi Australia.

Australia baru mulai sadar bahwa bila pulau ini berada dalam tangan
musuh, akan senantiasa merupakan sebuah "pistol" yang ditujukan ke
dadanya. Bukan saja bagi Australia, juga bagi dunia internasional,
khusus bagi negara-negara Asean, keseimbangan politik dan pertahanan
di Asia Tenggara dan Pasifik akan sangat terganggu, bila Pulau Timor,
atau sebagian dari wilayahnya, bisa dijadikan pangkalan oleh sesuatu
negara besar yang kuat dan yang bermusuhan.
Dalam persoalan Timor Timur, yang sekarang sedang berlangsung
dengan hangat-hangatnya, mata seluruh dunia dan seluruh Indonesia
mulai ditujukan ke pulau ini. Setiap orang yang datang mengunjunginya
dan masuk ke pedalaman harus mengakui, bahwa pulau ini sesung-
guhnya tidak seburuk seperti yang didongengkan oleh penjajah, tidak
semiskin dan seminus seperti yang diceritakan orang. Terlalu buruk
kabar daripada rupa! Bukan batu karang semata-mata, tidak benar
bahwa tidak ada sebidang tanah pun yang subur dan dapat ditanami.
Bukan daerah yang tidak mempunyai sesuatu harapan di masa depan!
Pulau Timor ternyata mempunyai potensi yang cukup besar, yang
masih terpendam, menunggu tangan-tangan yang mampu mengolahnya.
Benar, bahwa dari dataran rendah sampai ke dataran tinggi, bahkan

16

PNRI
sampai ke gunung-gunung terdapat batu-batu karang dengan tanah liat
bercampur kapur.
Tetapi tidak berarti bahwa seluruh Pulau Timor terdiri dari batu
karang dan tanah merah yang tidak menghasilkan. Di beberapa bagian
terdapat dataran yang sangat luas dan subur yang sekarang sedang di-
jadikan daerah pertanian yang cukup berproduksi.
Dataran-dataran itu, misalnya:
1. Dataran Wewiku Wehale (Besikama) di Belu Selatan yang
luasnya ± 30.000 ha terletak di dekat muara Sungai Benain. Suatu
keuntungan bagi para petani di dataran ini, karena Sungai Benain,
sungai yang terbesar di Pulau Timor tidak pernah kering dalam
musim kemarau. Sungai ini berhulu di Pegunungan Miomafo. Kare-
na di sekitar pegunungan itu terdapat banyak hutan yang lebat,
maka di sana terdapat banyak mata air yang airnya mengalir ke
Sungai Benain. Dalam musim hujan air sungai ini sering meluap,
mengakibatkan banjir dan bencana bagi daerah sekitarnya. Di se-
panjang pesisir dataran Wewiku Wehale ini terlihat banyak pohon
kelapa di samping rawa-rawa yang ditumbuhi pohon bakau.
2. Dataran Bena ± 15.000 ha terletak di muara NoElmina. Dataran ini
pun terbilang tanah delta yang subur. NoEl (sungai) Mina tidak per-
nah kering, berhulu di daerah Mutis, dengan hutan yang cukup
lebat, membawa lumpur serta humus yang menyebabkan kesuburan.
Dataran ini sekarang sedang diusahakan untuk dijadikan daerah
perkebunan tebu oleh Pemerintah.
3. Dataran Babau, Oesao dan Pariti yang luasnya ± 10.000 ha, daerah
persawahan yang sekarang merupakan gudang beras untuk kota
Kupang. Suatu keuntungan bagi daerah ini, di situ mengalir Sungai
Oesao, Babau, Nungkurus, dan Sungai Beno, yang dapat mengairi
sawah-sawah tadangan yang cukup luas itu, meskipun beberapa da-
ripadanya menjadi kering dalam musim kemarau.
4. Dataran yang terletak di antara Kefamenanu dan OElolok, di
Daerah Tingkat II Timor Tengah Utara, yang luasnya ± 2.000 ha.
Daerah ini terbilang daerah pertanian yang sangat subur. Seorang
tokoh yang berjasa dalam mengusahakan pertanian di daerah itu,
adalah L. Taolin, bekas Raja Insana. Sejak tahun 1946 didirikannya
suatu serikat kerja untuk memajukan pertanian di situ. Namanya:
Perserikatan Kemakmuran Insana. Cara penduduk Insana mengolah
tanah sudah cukup maju. P a r a petani telah mempergunakan traktor
dan bajak.

TIMOR PULAU GUNUNG HATULEU 2

PNRI
Lain daripada itu masih terdapat dataran luas Sekong yang pernah
dalam tahun 1950 oleh pemerintah diusahakan pertanian secara meka-
nis. Di Dataran Mena di Timor Tengah Utara, sekarang telah didirikan
"ranch" oleh sebuah perusahaan swasta dari Jawa. Semula dengan jumlah
ratusan ekor, tetapi kini telah berkembang menjadi ribuan ekor sapi
Timor/Bali. Dengan pemeliharaan yang intensif itu sedang diusahakan
untuk membina dan melestarikan jenis-jenis sapi Timor/Bali, hingga
Timor tetap bertahan sebagai salah satu gudang sapi untuk Indonesia.

Sapi dipakai untuk merencah sawah.

Dataran di sekitar Atambua di Kabupaten Belu oleh Ikatan Petani


Pancasila dan Lembaga Kegerejaan Katholik sedang dikembangkan
menjadi daerah pertanian yang baik. Di sana diadakan kursus-kursus
dan latihan bagi para petani di desa-desa dalam bidang pertanian, peter-
nakan, pekerjaan tangan, dan pendidikan.
Pada umumnya, semua dataran itu ditanami padi, jagung, kacang,
dan ubi-ubian. Di Belu Selatan banyak ditanam kacang hijau, bawang
merah, bawang putih, dan tembakau. Tembakau Belu sangat terkenal di
Pulau Timor. Kecuali dataran-dataran rendah itu terdapat pula dataran
tinggi di Kabupaten Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan
Kupang yang sekarang penuh dengan kebun buah-buahan, seperti apel,
jeruk, dan lain-lain. Di samping sawah, ladang, dan kebun buah-buahan

18

PNRI
itu, terdapat pula padang-padang sabana yang luas, yang cocok untuk
peternakan, tempat ribuan sapi, kerbau, dan kuda berkeliaran.
Dari jumlah ± 331.924 ekor sapi yang terdapat di Propinsi Nusa Teng-
gara Timur, sebagian terbesar, yang terdiri dari sapi Bali, terdapat di
Pulau Timor.
Keadaan bagi pulau ini makin menjadi lebih cerah lagi ketika ternyata
bahwa di Belu terdapat bijih tembaga yang bermutu. Di beberapa daerah
terdapat bahan semen yang baik, bijih emas dan perak. Begitu pula ter-
dapat tanda-tanda adanya minyak bumi di sekitar pulau ini. Sedang di
atas buminya terhampar luas tanah-tanah pertanian dan peternakan;
pohon kelapa tumbuh dengan subur di hampir seluruh bagian pantainya.
Kayu cendana putih yang wangi semerbak, kayu merah, kayu kuning
merupakan bahan untuk penyamakan kulit dan bahan warna untuk
tenunan. Di sana dapat tumbuh dengan mudah dan subur tanaman
jeruk, berbagai jenis apel, anggur, cengkeh, dan lain-lain. Sedangkan
lautan di sekitar pulau ini penuh dengan ikan ekonomis.
Melihat semua kenyataan ini jelas bahwa anggapan Timor adalah
daerah minus, kering, dan miskin, Timor tak mempunyai masa depan
dan lain-lain, adalah anggapan yang sungguh tidak tepat lagi dewasa ini.
Dalam masa pembangunan sekarang ini, semua anggapan itu sudah
merupakan anggapan kolot, peninggalan Pemerintah Hindia Belanda
almarhum.
Kondisi dan perkembangan perekonomian pulau ini, dengan pabrik-
pabrik minyak cendananya dan dengan hasil sapi paronnya telah men-
juruskan kembali pulau ini untuk turut aktif dalam perniagaan dunia,
seperti pada masa jauh sebelum tibanya bangsa Barat di sini.
Tulisan-tulisan Cina kuno, mengungkapkan bahwa sejak abad X per-
niagaan kayu cendana putih di wilayah ini telah merupakan bagian
dari jaringan perniagaan tradisional Indonesia dengan dunia luar. Cen-
dana putih, jenis Santalun Album Liun (Sandel wood) yang berharga
dan bermutu yang hanya tumbuh di Pulau Timor, Solor, dan Sumba se-
jak dahulu kala menjadi bahan perniagaan dunia yang penting. Bukan
hanya sebagai bahan perniagaan, tetapi juga menjadi alat pelicin
hubungan diplomatik dengan negara-negara luar. Kronik-kronik Cina
menyebutkan, bahwa raja-raja di Jawa dan Sumatera berulang kali
mengirim utusan ke Tiongkok sambil mempersembahkan kayu cendana
dan perabot terbuat dari kayu cendana itu. Kayu cendana yang ditimbun
di Jawa, berasal dari pulau-pulau Timor, Sumba, dan Solor.

19

PNRI
Berdasarkan data yang di-
ungkapkan oleh sumber-sumber
luar negeri itu, ternyata bahwa
Pulau Timor dengan produksi
cendananya telah ikut mengambil
bagian dalam dunia perdagangan
tradisional dengan daerah-daerah
lain di Indonesia. Misalnya,
dengan Sriwijaya, Kediri, Maja-
pahit, juga dengan dunia luar
seperti Malaka, India, Cina, dan
lain-lain.
Dalam pemberitaan Cina itu
dilukiskan juga, bahwa pe-
gunungan Pulau Timor pada
masa itu banyak ditumbuhi
pohon cendana. Terdapat 12
buah pelabuhan, pusat perdagang-
an cendana yang masing-masing.
berada di bawah seorang Kepala
Pohon Cendana di Timor. (Raja), yang sangat berkuasa.

Ladang-ladangnya subur dan hasilnya berlimpah-limpah. Hawanya


panas pada siang hari dan sejuk pada malam hari. Laki-laki dan wanita
memotong rambutnya dan mengenakan pakaian pendek. Berdiri pada
saat kedatangan orang lain, suatu tanda penghormatan. Apabila mereka
melihat raja, mereka duduk di bawah dengan tangan dilipat. Mereka
tak mengenal.nama keluarga dan tidak memiliki tulisan sendiri. Apabila
menghitung sesuatu, dibuatnya dengan batu-batu tipis dan seribu batu
diganti dengan seutas tali. Karena bergaul dengan orang-orang Cina,
maka praktek menghitung orang-orang Cina tua, yaitu dengan tali yang
diberi simpul dan anak-anak panah yang diikat berbekas-bekas, lama
dipelihara di daerah ini.
Pasar agak jauh dari kota dan bilamana sebuah perahu dagang tiba,
raja turun ke kota bersama para pengiringnya yang jumlahnya cukup
banyak. Perahu yang berlabuh setiap hari harus membayar pajak, tetapi
tidak berat. Rakyat membawa kayu cendana untuk ditukarkan dengan
barang dari logam, tekstil, perhiasan (muti salak) dan alat keramik.

20

PNRI
Tetapi rakyat tidak diperbolehkan turun ke kapal sebelum raja tiba.
Oleh karena itu, raja selalu dimohon datang terlebih dahulu.
Dari pemberitaan dalam kronik Cina itu sungguh telah banyak kete-
rangan diperoleh mengenai keadaan perdagangan kuno yang sangat
ramai di pulau ini,, tetapi juga mengenai keadaan masyarakatnya, kea-
daan daerah dan kedudukan raja-rajanya. Peranan raja sangat besar
dalam hubungan dagang dengan luar. Akibat perdagangan ini Pulau
Timor sebagai daerah penghasil cendana sudah ramai didatangi kapal-
kapal dagang dari luar, sehingga pelabuhan-pelabuhan yang dikunjungi
itu berkembang menjadi bandar yang besar dan ramai. Jauh sebelum
bangsa Barat tiba di Timor, telah ada pemerintahan setempat yang kuat
dan teratur, malahan telah mampu raja-raja Timor mengirimkan para
utusannya ke Jawa dan Sulawesi.

Tidak heran bila daerah ini di masa lampau telah menjadi incaran
negara dan daerah-daerah lain, terutama bagi pihak-pihak yang berke-
cimpung dalam dunia perdagangan. Hal ini mencapai puncaknya pada
masa kerajaan Majapahit mempersatukan daerah penghasil cendana ini,
di bawah kekuasaannya. Namun, penguasaan ini hanya bersifat
"pengakuan" saja. Semua daerah yang dipersatukan bebas men-
jalankan pemerintahannya sendiri. Hal ini nampak antara lain di Pulau
Sabu, tempat utusan Majapahit secara berkala mengunjungi pusat ke-
kuasaannya di pulau kecil Raijua.
Hingga saat ini masih hidup dalam tradisi rakyat tentang penguasaan
Majapahit itu dengan masih terdapatnya di sana "sawah Majapahit",
"sumur Majapahit", "hewan Majapahit", dan lain-lain.
Sungguh merupakan satu kenyataan bahwa Timor adalah cukup kaya,
mempunyai pulau yang cukup subur, rakyat yang rajin dan tabah. Am-
boi, kalau saja segala usaha untuk memperoleh hasil dari segala keka-
yaan bumi dan air Pulau Timor, sejak dari dahulu telah diolah dan
digunakan untuk kepentingan rakyat Timor, maka keadaan mereka
pada saat permulaan kemerdekaan, pasti tidak begitu miskin akan
pengetahuan dan harta benda.

Syukurlah, sesudah merdeka, teristimewa sejak masa Orde Baru, di


bawah pimpinan Gubernur El Tari, seorang putra Indonesia dari daerah
ini sendiri, telah terlihat bukti-bukti nyata tentang perubahan dan
perkembangan ke arah perbaikan dalam seluruh bidang penghidupan
dan kehidupan rakyat Pulau Timor.

21

PNRI
Pelantikan El Tari sebagai Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Timur di Jakarta pada 18
Marel 1967 oleh Menteri Dalam Neseri. Jenderal Basuki Rachmal

Dengan semboyan "Tanam, sekali lagi tanam" disertai dengan usaha


penghijauan yang luas, maka Pulau Timor tampaknya makin hari makin
menjadi lebih hijau dan lestari.
Untuk menyaksikan segala perubahan dan perkembangan yang meng-
gembirakan itu, marilah kami mengundang Saudara untuk sejenak ber-
sama kami berpariwisata ke Pulau Timor, pulau Batu Keramat ini.

2. TIBA DI TENAU, PELABUHAN LAUT PULAU TIMOR


Pada tanggal 26 Oktober 1975 ketika fajar mulai menyingsing, kapal
motor " T O L A N D O " milik PT PELNI yang kami tumpangi dari Jakar-
ta, melalui Surabaya dan Ujung Pandang memasuki Teluk Kupang yang
luas itu.
Dengan sengaja kami telah mempergunakan kapal laut dinas cepat itu
dari Jakarta karena kawan saya, seorang putra Indonesia suku Timor,
yang dibesarkan di Jawa dan sudah beberapa tahun lamanya berada di
luar negeri ingin juga melihat kota Surabaya dan Ujung Pandang sebe-
lum berkunjung ke pulau asalnya, yang sejak kanak-kanak telah diting-
galkannya.
Udara pagi sangat sejuk, menambah keinginan kami untuk berdiri di

22

PNRI
geladak kapal guna memandang pulau yang jauh dan samar-samar ter-
bentang di hadapan kami.
Di sebelah kanan kapal tampak Pulau Semau dengan pesisirnya di
sana-sini yang berpasir putih; cahaya lampu mercusuar di Tanjung
Kurung, tanjung Pulau Semau yang menonjol ke utara masih nampak
berkelip-kelip.
Cuaca makin cerah dan pulau yang mula-mula samar-samar kelihat-
annya itu mulai tampak dengan jelas. Di sebelah kiri kapal nampak pasir
putih Pulau Kera, sebuah pulau datar kecil yang terletak di muka Teluk
Kupang. Beberapa pohon nyiur, yang buahnya menjadi rebutan para
nelayan yang menyinggahinya, nampak melambai-lambai.

Pelabuhan kota Kupang yang lama, yang sekarang tidak dipakai lagi. Tampak ditanjung
karang yang menonjol menara Laut dan bekas "Fort Concordia" [muka 6]

Jauh di daratan sebelah timur tampak Gunung Fatuleu yang berdiri


dengan megahnya diliputi awan putih, tingginya + 1115 m, sedang di
lerengnya tampak kabut sedang berjejal-jejal naik. Fatu = batu, Leu =
keramat Gunung Fatuleu atau "Gunung Batu Keramat" sarfgat terkenal
di Pulau Timor. Pelabuhan Kupang makin dekat. Menara laut, yang di-
pakai sebagai petunjuk jalan untuk memasuki pelabuhan, tampak ber-
kelip-kelip. Rumah-rumah yang berderet bagaikan kotak api-api tampak
makin jelas.
Setengahnya terletak di lereng-lereng bukit kota, putih kemerah-
merahan terlihat di sela pohon-pohon, tersusun berderet bertingkat-

23

PNRI
tingkat. Pemandangan itu mengingatkan kawan saya kepada kota Na-
pels yang indah di pantai Italia, yang pernah ia lihat dalam perjalanan-
nya di Eropah.
"Sungguh indah nampaknya kota Kupang ini dari laut," katanya.
Pantainya yang memanjang dari timur ke barat berkarang dan diselingi
oleh pasir putih yang tidak seberapa luas, sedang di sana-sini nampak
nyiur tumbuh dengan suburnya. Jauh di balik pantai itu terdapat barisan
bukit yang kemerah-merahan.
Lerengnya berbatu-batu dan pohon jarang-jarang tumbuhnya- Di an-
tara pantai dan bukit itulah terletak kota Kupang yang lama, sedang
kota Kupang yang baru justru terletak di balik bukit tersebut. Di antara
celah-celah bukit tampak di sana-sini rumah yang bertembok putih
dengan atap seng yang berkilap-kilap karena disinari sang Surya pagi.
Kapal Tolando membunyikan serulingnya sekali, sebagai tanda untuk
penduduk kota Kupang bahwa ada kapal memasuki pelabuhan, lalu
meneruskan perjalanannya ke pelabuhan Tenau yang terletak ± 1 2 km
dari pusat kota, ke arah barat. Sebelum tahun 1966 semua kapal
berlabuh di pelabuhan Kupang. Kegiatan bongkar-muat dilakukan
dengan perahu atau tongkang, karena kapal berlabuh cukup jauh dari
pantai. Pada musim barat, yaitu musim hujan dan gelombang, antara
bulan Desember dan Maret, barulah pelabuhan Tenau dipakai. Pela-
buhan ini terletak pada suatu teluk di pantai barat-daya Pulau Timor, di
Selat Semau, yang pada musim barat dilindungi oleh Pulau Semau dari
arus yang deras dan gelombang yang besar.
Pada tahun 1964 dengan biaya Pemerintah Pusat telah dibangun der-
maga pelabuhan Tenau oleh sebuah kontraktor Perancis dan selesai
dalam tahun 1966. Dermaga itu dengan ukuran panjang ± 55 m dapat
disandari kapal berukuran ± 10.000 ton. Sejak selesainya dermaga
tersebut, maka penggunaan pelabuhan kota Kupang untuk bongkar-
muat makin hari makin dikurangi dan dalam tahun 1967 seluruh
kegiatan pelabuhan laut berpindah ke Tenau.
Pada saat kapal Tolando memasuki pelabuhan Tenau, kebetulan
kapal Waikelo, juga milik PT PELNI, sedang bersandar di dermaga,
sehingga kami terpaksa menunggu giliran untuk merapat.
Kesibukan dan kegiatan di atas kapal Waikelo waktu itu, ialah me-
muat sapi ekspor ke Hongkong. Di atas kade telah dibangun sebuah lean-
dang darurat untuk mengurung sapi yang akan dimuat ke kapal. Pe-
muatan dilakukan dengan cara menderek dengan jala 1 atau 2 ekor sapi
ke atas kapal, sehingga untuk memuat ratusan sapi, cukup lama kami

24

PNRI
harus menunggu giliran. Dermaga pelabuhan Tenau itu sebenarnya telah
dilengkapi dengan sebuah jembatan pemuatan hewan, tetapi agaknya
jembatan itu sudah rusak dan tidak dapat dipakai lagi.

Pelabuhan Tenau dengan dermaga yang dilindungi oleh pulau Semdul, sehingga tenang
setiap musim.

Sementara kami berlabuh di pelabuhan kira-kira 100 m dari dermaga,


tampak beberapa sekoci (perahu) yang didayung oleh 5 atau 6 orang
berlomba-lomba menuju ke kapal. Dengan tangkas dan cepat mereka
menaiki tangga kapal dan berlari-lari menuju ke tempat-tempat penum-
pang. Terjadilah tawar-menawar yang ramai. Gaduhlah di segala pen-
juru kapal, suara orang berteriak dan bercakap, bayi menangis, dan lain-
lain suara yang membisingkan telinga. Banyak penumpang agaknya
tidak sabar lagi menunggu dan mau cepat-cepat naik ke darat.
"Sabar, Dik," kataku kepada kawan yang tampaknya juga ingin
cepat-cepat menginjak daratan Pulau Timor. "Biarlah kita menunggu,
sampai kapal kita merapat di dermaga, sehingga nanti tidak terlalu sulit
kita mendarat." -
Tampak beberapa penumpang dengan sangat hati-hati turun melalui
tangga yang licin dan melompat ke dalam sekoci yang tertambat di
tangga kapal. Tak lama kemudian mereka bertolak menuju daratan. Be-

25

PNRI
berapa penumpang wanita yang tampaknya masih mabuk laut mulai
muntah-muntah di dalam sekoci.
Karena hari masih pagi, kami kembali ke bilik tidur kami, mandi,
makan pagi, lalu mengemasi barang-barang, agar siap untuk mendarat
bila tiba waktunya. Pada sekitar jam 9 pagi barulah kapal Waikelo
selesai pemuatannya, mundur dari dermaga, sehingga kapal Tolando
dapat merapat. Para penumpang yang masih ada mulai naik ke darat.
Kade dan daerah sekitar dermaga penuh sesak dengan barang-barang
yang menunggu pengapalan atau pengangkutan ke luar dermaga.
Rumput kering dan batang-batang pisang sebagai makanan sapi masih
bertebar di sana-sini, menunggu saat untuk dimuat ke kapal-kapal
hewan.
Peti barang-barang kelontong, drum aspal, tiang listrik, dan pipa air
berhamburan di sekeliling gudang douane, yang menyebabkan keadaan
pelabuhan tidak teratur.
Menurut Kepala Badan Penguasa Pelabuhan (BPP), keadaan demi-
kian itu, karena kurang lancarnya pengangkutan ke luar atau pemuatan
oleh pengusaha dan para pemilik barang. Terpaksa barang-barang itu
harus ditempatkan saja di luar satu-satunya gudang yang ada, milik
BPP. Gudang itu berkapasitas ± 3000 ton, tetapi pada saat itu pun sudah
penuh sesak dengan barang-barang impor dan ekspor.
Dengan susah payah para buruh pelabuhan mengangkut barang pe-
numpang dari kapal ke Kantor Bea dan Cukai untuk diperiksa. Dari situ
kami menuju terminal bus dan opelet, yang terletak ± 100 m dari pabean.
Dengan membayar Rp 500,00 seorang, para penumpang dapat menyewa
sebuah opelet Colt dan berangkat menuju kota Kupang.
Kami bertemu dengan seorang kawan, petugas dari BPP Kupang,
yang mengajak kami untuk menumpang jeep Toyotanya ke kota.
Ajakannya datang "bagaikan durian runtuh". Kami berdua meneri-
manya dengan segala senang hati dan segera memasukkan barang-
barang kami ke dalam jeep dan mengambil tempat di muka, di samping
kawan yang mengemudikan sendiri jeep itu.
Kami meliwati pos penjagaan Polisi Keamanan Pelabuhan yang di-
bangun membelakangi dinding karang yang tinggi dengan jalan yang
berliku mendaki.
Setiba di tempat tertinggi, kami berhenti sebentar untuk menikmati
pemandangan yang indah atas pelabuhan Tenau.
Di bawah kami terbentang daerah pelabuhan seluas ± 36 ha dengan
dermaga yang tengah disandari kapal Tolando. Tidak jauh dari kapal

26

PNRI
itu, terlihat di pelabuhan kapal Waikelo dan kapal Permata dari PT
PELDAN milik daerah, yang sedang bersiap-siap untuk berangkat me-
ninggalkan pelabuhan Tenau.
Di sebelah kiri dermaga tampak 3 buah tangki besar berisi bensin,
minyak tanah, dan solar milik Pertamina. Di samping itu beberapa
gedung beratap seng, Kantor Pertamina, gedung Karantina tumbuh-
tumbuhan, gedung Bea Cukai, Kantor Polisi Pelabuhan, dan beberapa
rumah-rumah baru.
Di atas gunung karang, di sebelah kiri kami, terdapat sebuah bak air
minum, milik BPP dengan isi ± 280 ton. Air minum ini, yang dialirkan
melalui sebuah pipa besi dari sumber air OEba yang terletak ± 14 km dari
tempat itu, dijual ke kapal-kapal dengan harga Rp 750,00 seton.
Apabila ada lebih dari 2 buah kapal di pelabuhan yang memerlukan air
minum, maka air dapat juga diperoleh dengan mobil tangki, yang
langsung mengambil air dari OEba dengan harga Rp 1000,00 seton.
Di balik bukit sebelah kanan kami, tampak karantina hewan, milik
Dinas Kehewanan Kabupaten Kupang. Sebelum dimuat ke kapal,
hewan-hewan terlebih dahulu dimasukkan ke dalam karantina ini, untuk
diperiksa kesehatannya oleh para petugas kehewanan.

Karantina hewan dekat pelabuhan Tenau.

27

PNRI
Sesudah menikmati pemandangan yang indah atas pelabuhan Tenau
itu, kami memasuki kembali jeep meneruskan perjalanan ke Kupang,
ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur.

3. DARI TENAU KE W I S M A FLOBAMOR


Jeep kami mendaki pula melalui gudang-gudang Dolog yang besar,
yang menurut keterangan dari kawan kami penuh dengan beras, sebagai
persediaan untuk penduduk Nusa Tenggara Timur dalam menghadapi
Natal, Tahun Baru dan masa paceklik, yang biasanya berlangsung dari
bulan Desember sampai dengan bulan Maret. Pada masa ini para petani
menanami sawah-ladangnya, tapi belum dapat memperoleh hasil.
Dalam perjalanan itu petugas BPP menceritakan kepada kami, bahwa
selama tahun 1975 ini tercatat 340 buah kapal dan 525 buah perahu telah
bongkar-muat di pelabuhan Tenau. Barang-barang yang diturunkan
sebanyak 72.000 ton, sedang barang-barang yang dimuat hanya ber-
jumlah ± 20.000 ton. Hewan yang diangkut ke luar jumlahnya 13.939
ekor. Bila menurut catatan jumlah hewan yang dikeluarkan dari Nusa
Tenggara Timur ada sebanyak 22. 965 ekor, maka nyatalah bahwa seba-
gian besar hewan yang di ekspor dari Nusa Tenggara Timur itu
dikeluarkan melalui pelabuhan Tenau.
Juga, dijelaskan bahwa pada saat ini arus barang dan kapal yang
masuk melalui pelabuhan Tenau sudah tidak sesuai lagi dengan fasilitas
pelabuhan yang ada.
Karena dermaga hanya satu dan kadenya berukuran pendek, maka
kapal-kapal yang besar dan yang lebih panjang dari dermaga, terpaksa
harus maju mundur pada waktu membongkar dan memuat muatannya.
Di samping itu pelabuhan ini juga belum memiliki alat-alat mekanis
seperti kran dan lain-lain, sehingga sering terjadi bahwa kapal-kapal
dagang dan kapal pengangkut hewan harus berlabuh berhari-hari untuk
bongkar dan muat di pelabuhan Tenau.
Sesudah melalui kompleks Angkatan Laut di Osmo, yang didirikan
pada tempat pacuan kuda di masa sebelum perang, jalan menurun ke
desa Namosain yang mempunyai pantai pasir yang bersih dan indah.
Pada hari Minggu dan hari-hari libur cukup banyak orang-orang kota
Kupang datang berpiknik di pantai Namosain, sambil mandi-mandi di
laut.
Jeep kami mendaki pula melewati desa Nunhila, yang seluruh pen-
duduknya terdiri dari orang-orang suku Sabu. Pada ujung timur dari
desa itu membentang luas kompleks kuburan Kristen lama yang sudah
penuh sesak, karena sudah dipergunakan sejak akhir abad ke-17.

28

PNRI
Di sana terdapat kuburan orang-orang Belanda dari tahun 1680, yang
mati karena dlserang "demam Timor", yang sekarang sudah dikenal
sebagai penyakit malaria.
Tidak jauh dari pusat pemakaman ini kita tiba di Benteng "Concor-
dia yang sekarang dijadikan Asrama Angkatan Darat kita. Benteng ini
pada mulanya didirikan oleh orang-orang Portugis antara tahun 1640 —
1645, namun dirampas oleh Belanda dalam tahun 1657, diperbesar dan
diperkuat serta diberi nama "Fort Concordia" yang sejak saat itu men-
jadi pusat perdagangan VOC Belanda di Kepulauan Timor dan sekitar-
nya. Gedung-gedung asrama didirikan di atas batu-batu karang yang
agak menonjol ke laut. Pada ujung timur dari Benteng Concordia itu ter-
dapat menara laut Kupang, yang pada malam hari memancarkan caha-
yanya jauh ke laut, sebagai penunjuk jalan bagi kapal-kapal dan perahu-
perahu yang memasuki pelabuhan Kupang.
Jalan menurun pula, kami
melewati tugu Pancasila, jem-
batan Kaca (sungai) Kupang dan
memasuki daerah pertokoan Cina
di kota Kupang lama. Lalu lintas
sangat ramai. Opelet, Colt lalu-
lalang dan ramai sekali orang
berbelanja. Kami berbelok ke
arah selatan dan mengambil jalan
Soekarno, yang di zaman Belanda
bernama "Heren-Straat". Di ja-
lan inilah terdapat rumah-rumah
pembesar Belanda yang semua-
nya telah hancur luluh pada masa
Perang Dunia II. Di sebelah
kanan jalan ini sekarang terdapat
gedung-gedung besar dan kantor-
kantor, misalnya Gedung Bank
Negara, Kantor Pajak, Masjid
Nursyahada, yang sedang di-
Tugu ".PANCASILA" yang berdekatan bangun dengan b a n t u a n Presiden
dengan "FORT CONCORDIA-. Republik Indonesia; di sebelah
kirinya terdapat Gereja Kota Kupang, Kantor Kabupaten Kupang, yang
dahulu adalah bekas tempat kediaman Residen Timor, Kantor Pos, dan
Kantor Polisi Resort Kupang.

29

PNRI
Adapun Gereja Kota Kupang, adalah tempat kebaktian orang-orang
Kristen Protestan yang didirikan oleh Komandan "Fort Concordia Van
Pluskow, pada sekitar tahun 1743. Gereja ini sudah beberapa kali rusak
ataupun dirusakkan, terakhir oleh tentara Jepang pada Perang Dunia II,
tetapi dibangun pula pada tempat yang lama. Dalam pekarangannya
masih terdapat kuburan-kuburan lama orang Belanda.
jeep kami mendaki pula menuju ke arah timur. Di sebelah kiri kami,
tampak berdiri dengan megahnya Kathedral atau Gereja Katholik, yang
menjulang tinggi dengan kacanya yang berwarna-warni. Jalan kami
membelok ke selatan, melewati gedung Bank Indonesia bertingkat 4
dengan bentuk yang sangat indah di lereng bukit. Tempat ini di masa
lampau penuh dengan kuburan orang-orang Cina; dalam tahun 1963
dimulailah dengan pemindahan kuburan-kuburan itu. Gedung Bank
mulai didirikan dalam tahun 1964 dan selesai dalam tahun 1967. Mengi-
ngat bahwa "Kluis" (khazanah) Bank Indonesia berada di tingkat
bawah tanah dari gedung tersebut, maka orang sering mengatakan
secara berkelakar, "Bank Indonesia harus dijaga keras, jangan sampai,
harta-milik Bank Indonesia yang tersimpan di dalam kluis itu dicuri se-
muanya oleh arwah-arwah Cina yang pernah dikuburkan di sana dan
dibawa kabur ke tanah leluhurnya.
Di seberang jalan, di samping gedung Bank Indonesia tampak rumah

Gedung Bank Indonesia yang bertingkat empat.

30

PNRI
kediaman Gubernur El Tari. Tempat ini dahulu terkenal sebagai suatu
tempat keramat dan sangat angker. Orang biasanya tidak berani mema-
suki tempat itu. Pemandangan dari rumah dinas ini ke arah barat dan
utara indah sekali. Teluk Kupang sampai ke ujung Pulau Semau tampak
dengan jelas. Terlebih pada sore hari, bila matahari hendak terbenam
dan di seluruh cakrawala di sebelah barat tampak kemerah-merahan,
maka suatu keindahan alam mempesona setiap pengunjung yang
menyaksikannya dari pekarangan muka rumah dinas tersebut.
Mungkin karena keindahan itulah, maka Gubernur El Tari dan istri
yang keduanya memiliki darah seni, tidak mau pindah dari tempat itu
untuk mendiami rumah dinas yang baru yang lebih besar, yang didirikan
di kompleks perumahan OEbobo.
Jeep kami meluncur terus melalui Rumah Sakit Umum Prof. Dr.
W.Z. Johannes dengan patung beliau, yang dibuat oleh seniman Chris
Ngefak di pekarangan mukanya.
Prof.Dr.W.Z. Johannes almarhum, seorang ahli rontgent, terkenal
sebagai seorang Pahlawan Nasional, adalah seorang Putra Indonesia
berasal dari Nusa Tenggara Timur, yakni dari Pulau Rote,
pulau paling selatan dari gugusan
Kepulauan Nusantara.
Jalan raya, sejak gedung Bank
Indonesia, sudah sangat lebar
dengan lalu-lintas yang cukirp
ramai. Berpuluh-puluh opelet
colt, dengan musik yang sangat
nyaring, lapi menarik berpapasan
dengan kami. Saudara petugas
BPP menceritakan kepada kami,
bahwa sejak tahun 1970 kota
Kupang sudah memiliki ratusan
Coll sebagai alat pengangkutan
umum, yang mempunyai route ke
seluruh jaringan kota. Biayanya
sekali naik di dalam kota Rp
25,00 untuk jarak jauh dan
dekat.
Kami melewati pula Gereja
Protestan dan toko-toko cina di
Rumah Sakit Prof. Dr. W.Z Johannes. Kuanino.

31

PNRI
Tampaknya orang Cina menguasai sebagian terbesar perdagangan di
Pulau Timor. Hampir-hampir tidak kelihatan toko milik orang Indo-
nesia. Pada sebelah kiri kami tampak Kompleks Komdak NTT dengan
lapangan sepak bola yang luas di mukanya. Dari kompleks ini, mulailah
Kota Baru, "Kebayoran" dari Kupang yang merupakan Ibukota Pro-
pinsi Nusa Tenggara Timur. Jalan-jalannya sangat lebar, yang pada
malam nari diterangi dengan lampu neon pada jarak-jarak ± 40 a 50
meter.
Di sebelah kanan kami terdapat Kompleks Universitas Nusa Cendana
(UNDANA), sedang di sebelah kiri Kompleks P dan K dan Kompleks
Sosial dengan Gedung Gereja Protestan " P a u l u s " di antaranya. Kami
membelok ke arah barat melalui jalan "Basuki Rachmat". Di sebelah
kiri kami terbentang kompleks yang luas dari Kantor Gubernur Nusa
Tenggara Timur. Kami memasuki Kompleks Wisma FLOBAMOR, tepat
di samping Kompleks Kantor Gubernur itu. Wisma ini baru saja
didirikan dan diresmikan pemakaiannya pada tanggal 17 Agustus '75.
Wisma ini mempunyai ± 50 buah kamar dengan masing-masing 2 buah
tempat tidqr. Ada kamar kelas I yang ber-AC, ada pula yang tidak.
Kami mendaftarkan diri dan memperoleh kamar No. 8 yang ber-AC.
Sesudah beristirahat sejenak, Wisma FLOBAMOR meminjamkan
kepada kami sebuah Colt untuk berkeliling melihat-lihat kota. Kami
terlebih dahulu menuju ke arah selatan untuk melihat mata air OEpura
yang menjadi sumber hidup bagi sebagian besar penduduk kota Kupang.
Sekeliling mata air itu telah dibuat sebuah bak besar dan dari sana ter-
pasang beberapa pipa untuk mengalirkan air ke kota. Sebagian besar
dari Kota Baru, yang disebut "Tingkat I" mendapat air dari mata air
"Air Sagu", sedang penduduk desa OEba memperoleh air minumnya
dari mata air OEba.

Terdapat cukup banyak mata air di sekitar kota Kupang, tetapi oleh
penambahan penduduk yang begitu pesat dan oleh jaringan pipa-pipa air
yang sudah sangat tua, ternyata penduduk kota masih sangat
berkekurangan air minum.
Mata air itu semuanya cukup besar, airnya jernih dan dapat segera
digunakan sebagai air minum, tetapi jaringan pipa yang ada sudah tidak
memadai dan perlu perbaikan dan penambahan.
Di sekitar mata air terdapat sebuah terminal kendaraan dan dari tem-
pat itu hampir setiap lima menit ada Bemo atau Colt yang berangkat ke
kota. Para petugas di terminal itu memberitahukan kepada kami, bahwa

32

PNRI
dari warna papan nama yang terdapat pada muka sebelah atas dari Colt
itu dapat diketahui jurusan mana yang ditempuhnya. Papan berwarna
hitam dengan huruf putih adalah jurusan Kuanino, papan putih dengan
huruf merah jurusan OEbobo, sedang papan biru berhuruf kuning,
jurusan Bakunase. Pada malam hari tanda itu dapat dilihat pada 1,2,
atau 3 lampu pada papan nama.
Kami mengikuti sebuah Colt yang berpapan putih, yang mengikuti
jalan Dr. Sam Ratulangi, lalu membelok ke kanan ke jurusan OEbobo.
Di kompleks ini terlihat rumah-rumah baru dan gedung-gedung kantor,
misalnya gedung LLD, gedung Kecamatan Kota Kupang, Kantor
Penerangan, Kantor Kejaksaan Tinggi, Kantor KBN, Kantor IPEDA,
Asrama Polisi Lasikode dengan Rumah Sakit Kepolisian, gedung-
gedung SPG, SMA, SKKP, SMP, pada sebelah menyebelah jalan,
rumah pimpinan Bank Indonesia yang sangat indah, Gedung RRI,
Gedung Wanita dan tiba kami di perapatan Gedung Bank Indonesia.
Colt berpapan putih menurun ke jalan Soekarno yang telah kami ikuti
pagi tadi.
Jeep kami meluncur ke arah timur, ke Jalan Merdeka, melewati antara
lain Gedung Bioskop "Kupang Theater". Gedung ini sangat modern,
ber-AC dengan daya-tampung untuk ± 10.000 orang serta dilengkapi
dengan sebuah Theater terbuka di sisinya.
Para artis ternama dari Jawa, misalnya Emilia Contessa, Band Kus
Plus, Patty bersaudara, Pretty Sisters, dan lain-lain pernah beberapa kali
mengadakan pertunjukan di panggung terbuka itu. Juga film-film yang
diputar di "Kupang Theater" adalah film-film terbaru. Masyarakat kota
Kupang pada umumnya lebih tertarik pada film-film Indonesia dan film-
film agama.
Pada sebelah kiri kami terbentang luas Kompleks Persekolahan
Katholik, disusul dengan kompleks ST/STM Negeri. Pada sebelah
kanan kami terlihat stadion kota Kupang dengan ruangan-ruangan tem-
pat penampungan para atlit, dengan lapangan sepak bola, sebuah sintel-
baan, 2 lapangan tenis, 2 lapangan volley dan sebuah lapangan basket.
Stadion itu cukup luas, dikelilingi oleh sebuah tembok batu setinggi ±
2 meter. Tembok di sebelah selatan berada pada lereng sebuah bukit.
Dari lereng itulah sebagian rakyat Kupang dapat menyaksikan pertan-
dingan sepak bola dengan bebas dan leluasa, tanpa memikirkan pembeli-
an karcis masuk. Dengan demikian lereng itu menguntungkan para
penonton yang tak beruang. Pada saat-saat ada pertandingan, punggung
tembok pada lereng itu penuh sesak dengan penonton gratis.

TIMOR PULAU GUNUNG FATULEU 3 33

PNRI
Stadion Kupang itu pun biasa dipakai sebagai tempat mengadakan
upacara perayaan pada hari-hari nasional, di mana para pemimpin
pemerintahan mengucapkan pidato yang membangkitkan semangat,
guna menggalang persatuan dalam rangka pelaksanaan cita-cita kita ber-
sama membentuk masyarakat adil dan makmur. Dari situ kami terus ke
arah timur melewati Gereja Protestan OEba, melalui Jalan A, Asrama
Mobrig dan tiba di Dharma Loka/Taman Pahlawan Kupang. Kami
turun seketika di sana untuk melihat nama-nama pahlawan yang
dimakamkan di sana. Tampak antara lain nama H.A. KOROH, TOM
PELLO, dan E. HEREWILA, ketiganya para pejuang Kemerdekaan di
Timor.

Taman Bahagiu/Litiarma Loka Kupang.

Sesudah sejenak mengagumi tugu yang berdiri tegak di tengah-tengah


lapangan hijau, yang ditaburi dengan kayu-kayu salib putih.dan ditum-
buhi dengan bunga-bungaan beraneka warna, kami kembali ke Jalan A,
dan mengambil jalan pada kaki A yang lain. Pada puncak A jalan ini,
dulu terdapat sebuah tugu dari seorang perwira Belanda, yang bernama
Amunsen, yang gugur di tempat itu. Bentuk jaian itu seperti huruf A.
Kaki yang pertama adalah jalan yang kami lalui tadi dari Stadion
Kupang dan jalan kaki A yang lain yang sekarang kami tempuh. la mem-
bawa kami melalui mata air OEba yang besar dan ramai dikmijungi

34

PNRI
orang-orang yang datang mandi dan mencuci pakaian, begitupun yang
mengambil air dengan jeep, tangki ataupun drum-drum. Beratus drum
berisi air digulingkan melalui jalan ini oleh penjual-penjual air menuju
ke rumah-rumah orang Cina yang membayar Rp 150,00 sedrum. Tidak
heran bahwa jalan yang dilalui oleh drum-drum air ini lekas rusak dan
berlubang-lubang.
Di sebelah kiri kami tampak sederetan rumah pegawai dengan peka-
rangan yang luas-luas, sedang di sebelah kanan tampak Teluk Kupang
terhampar luas bagaikan beledu hitam yang mulai ditaburi oleh kelipan
lampu-lampu nelayan. Empasan ombak di pantai yang penuh karang itu
menambah suasana menjadi lebih riang dan gembira.
Kami tiba di pasar Kupang. Meskipun hari sudah hampir malam
masih banyak sekali orang-orang berjual beli.
Para pedagang yang merupakan "papalele" atau pedagang kecil
kebanyakan berasal dari Rote dan Sabu. Mereka menjual daging, ikan,
beras, jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan buah-
buahan. Umumnya penjual daging adalah orang Rote, sedang yang men-
jual ikan, kacang, dan buah-buahan adalah orang Sabu.
Terlihat juga beberapa orang Timor yang menjual ubi dan apel.
Mereka berasal dari Timor Tengah Selatan atau Amfoang yang mem-
bawa ubi dan apel mereka ke pasar Kupang dengan mempergunakan
truk, yang biasanya sekali seminggu mengunjungi daerah itu. Apel itu
tampaknya besar-besar dan baru saja dipetik, kami berhenti sebentar un-
tuk membeli beberapa buah. Sangat murah, sekilogram yang terdiri dari
6 & 8 buah harganya hanya Rp 100,00.
Buah apel itu dijaja di tepi jalan, seperti lazimnya orang menjual
kacang goreng. Kami menanyakan kepada si penjual dari mana
datangnya apel itu. "Dari Kapan," katanya, yaitu sebuah kota
pegunungan di pedalaman Pulau Timor, di Kabupaten Timor Tengah
Selatan yang terletak ± 131 km dari Kupang. Kawan saya tak dapat lagi
menahan keinginan untuk mencoba apel Timor itu. Saya nasinatkan dia
untuk menggosok-gosok apel itu dengan saputangannya dan sesudah
tampaknya mengkilat barulah di makan.
"Wah manis sekali," katanya. Memang demikian, buah-buah di
Timor pada umumnya jauh lebih manis dari buah-buah di Jawa, karena
kekurangan air, maka kadar gulanya di Timor menjadi lebih tinggi.
"Kalau kita pergi ke pedalaman sebaiknya kita mengunjungi juga
kota Kapan untuk melihat kebun-kebun apel rakyat di sana," kata saya.

35

PNRI
" O , harus," kata kawan saya, "saya ingin sekali melihat pohon-
pohon apel itu dan memetik sendiri buahnya."
Kami memasuki kendaraan kami, yang membawa kami melalui
gedung Bioskop Raya yang sudah mulai ramai dikunjungi penonton.
Filmnya film silat Cina. Tampaknya penonton terbanyak adalah orang-
orang Cina.
Sekembali di tempat penginapan kami masih duduk-duduk di pen-
dopo.
Menejer Wisma, seorang dari Jawa, tetapi telah menikah dengan
seorang putri Timor, datang duduk bersama-sama kami. Ia mulai
bercerita dengan bahasa Indonesia logat Kupang yang sangat lancar.
"Wah, Mas sudah pandai sekali berbahasa Kupang," kata saya.
"Saya sudah 3 tahun di sini dan sudah kawin dengan Nona Kupang,"
katanya.
Memang orang Kupang dalam pergaulan sehari-hari mempergunakan
bahasa Indonesia juga, tetapi menurut logatnya sendiri. Penduduk kota
Kupang terdiri dari beberapa suku, antara lain suku Roti, Sabu, Solor,
Alor, Timor, dan lain-lain yang masing-masing mempunyai bahasa kesu-
kuan sendiri. Sebagai alat penghubung antara mereka itu dipakailah
bahasa Indonesia logat Kupang. Di mana-mana kita mendengar orang
bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia logat Kupang dengan lancar-
nya, antara anak dengan orang tua, suami dengan istri, tetangga dengan
tetangga, baik di rumah, di tempat pesta-pesta, dalam pertemuan-perte-
muan, di kantor-kantor, serta di toko-toko dan di pasar. Mereka
bercakap-cakap sesuka hatinya, seperti orang-orang Jakarta dengan
logat Jakartanya.
Di dalam bahasa Indonesia logat Kupang sering terdengar kata-kata
berasal dari bahasa asing, terutama dari bahasa Belanda. Kata-kata itu
oleh pengaruh bahasa daerah telah berubah sebutannya, misalnya oom
— um — om = paman. Tante — tanta = bibi. Broer — bu = saudara.
Zusye — susi = saudara perempuan. Zonder — sonde = tidak.
Penanggalan suku-kata pun sering terjadi, misalnya, sudah — su, saja
— sa, pergi — pi, beta — bet, punya — pung, juga — ju.
Penyederhanaan dengan jalan penanggalan itu mengakibatkan pula
timbulnya kata-kata yang bersuku kata dua yang dibatasi oleh suara
" a i n " , terutama mengenai nama orang, misalnya:
Arnoldus — Nolus — No'u
Cornelis — Nelis — Ne'i
Sipora — Pora — Po'a

36

PNRI
Willemience — Minci — Mi'i
Bertha — Berta — Be'a
Martha — Marta — Ma'a
Sarah — Sa'a
Petrus — Pe'u
Mozes — Mo'e
David — Da'i, dan lain-lain.

Penanggalan bunyi " t " pada akhir beberapa kata tertentu biasa ter-
jadi. Kata-kata itu antara lain: sikat — seka, sedikit — sadiki, sakit —
saki, ikat — ika, dapat — dapa, duit — doi, takut — taku, angkat —
angka, dan lain-lain.
Berbicara tentang bahasa Indonesia logat Kupang, oleh Saudara
Menejer diceritakan suatu peristiwa yang lucu. Pada suatu hari senja
yang indah sebuah truk menderu melalui jalan Tom Pello membawa
serombongan orang Rote dari Kampung Baru menuju kantor daerah.
Malam itu orang-orang Rote akan mempertunjukkan tarian Rote dan
Kebalai (tarian bersama), berhubung dengan kunjungan tamu dari
Jakarta. Hal ini sudah menjadi suatu kebiasaan di Kupang, bila ada
tamu datang, orang-orang Timor, Roti, Sabu mempertunjukkan tari-
tariannya sebagai suatu tanda penghormatan kepada tamu.
Waktu truk itu sudah jauh menghilang, berserulah Tante Marie,
tetangga saya, kepada Wayan Gede seorang anak suku Bali, yang baru
saja sebulan menjadi penduduk Kupang.
" H e Nyong! Nyong! Nyong Gede! Lu pi ko? Pi ko? Pi lia dong kebalai
di kantor daerah."
Wayan Gede yang berdiri di sampingku marah, berteriak sambil
menghampiri Tante Marie, "Apa, nyong? Aku bukan nyong!"
Tante Marie terperanjat sejenak. Tapi kemudian ia insaf akan
kesalahannya. Segera ia berkata, "Tante keliru, Nak. Maafkanlah.
Maksud tante ialah, "Nak Gede, apa mau pergi melihat tari Rote di kan-
tor daerah?"
Kemudian saya jelaskan kepada Wayan Gede perkataan "nyong" itu.
"Dalam bahasa Indonesia logat Kupang "nyong" dipakai sebagai
kata panggilan untuk anak laki-laki, terutama untuk anak-anak yang
orang-tuanya terpandang dalam masyarakat. Mungkin berasal dari kata
"SINYO", yang biasa dipakai untuk anak-anak Belanda".
Kebetulan tante dan saya faham Bahasa Bali dan dapat menjelaskan,
bahwa Tante tidak bermaksud menghina Wayan Gede dengan panggilan

37

PNRI
'nyong" itu. Jika tidak demikian halnya, mungkin peristiwa itu ada
buntutnya. Dengan adanya penjelasan itu kami bertiga mengakhiri
peristiwa itu dengan tertawa.
"Pantas Nak Gede marah kepadaku, sebab "nyong" dalam bahasa
Bali berarti "anak anjing," kata Tante, melanjutkan penjelasan saya
itu.
Kami pun turut tertawa. Memang banyak hal-hal demikian terjadi
berhubung dengan berbagai logat daerah yang kita miliki.
Ternyata sudah pukul 1 tengah malam. Kami memasuki kamar kami
dan segera tidur lelap.

4. MELIHAT-LIHAT KEMAJUAN KOTA KUPANG

Pada keesokan harinya kami dapat pula meminjam sebuah Jeep dari
Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur untuk mengadakan kunjungan
di dalam kota. Kompleks Kantor Gubernur merupakan obyek pertama
yang kami kunjungi. Di sebelah selatan dari kompleks itu terdapat
gedung Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) dan di depan
gedung DPRD. Gedung ini beserta perlengkapan dan perhiasannya,
berupa sebuah gambar relief yang indah pada dinding dalamnya yang
cukup representatif dan indah. Di depan gedung DPRD itu terdapat
sebuah kebun binatang kecil yang dihuni sepasang biawak raksasa
(Veranus Komodoensis). Gubernur El Tari telah menciptakan kebun
binatang mini ini di kompleks kantornya guna memelihara sepasang
Varanus Komodoensis di dalamnya. Biawak raksasa ini adalah sejenis
binatang purba yang hanya masih terdapat di 3 pulau kecil yaitu:
Komodo, Renca, dan Longos yang terletak di sebelah barat Pulau
Flores.

Di pekarangan tengah Kantor Gubernur terdapat "Taman Budaya


Setra" sebuah theater terbuka yang dinding belakang panggungnya
dihiasi dengan suatu gambar relief yang indah berwarna dan menarik,
ciptaan artis muda NTT, Chris Ngefak. Pada hari-hari raya biasanya
dipentaskan di sana tarian dari berbagai daerah tingkat II di Nusa Teng-
gara Timur, diselingi dengan seni musik dan seni suara nasional dan
daerah. Di depan panggung terbuka itu terdapat 2 lapangan tennis, yang
dipakai sebagai tempat duduk para penonton pada waktu diadakan
pementasan. Dikelilingi dengan pohon-pohonan dan bunga-bungaan,
keseluruhan pekarangan dengan Taman Budaya Setra itu merupakan
suatu kesatuan yang sangat harmonis dan indah.

38

PNRI
Seekorbiawak raksasa [Varanus komodoensisl binatang purbayang hanya terdapat
di Nusa Tenggara Timur.

Kami memasuki ruangan Pola Kantor Gubernur Nusa Tenggara


Timur. Seorang petugas segera melayani kami dengan memberikan pen-
jelasan. Adalah sangat menarik bagi kami data-data perkembangan dari
tahun ke tahun dari seluruh kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara
Timur, di bidang pertahanan dan keamanan, begitupun dalam bidang
politik Pemerintahan, bidang kesejahteraan rakyat, ekonomi/keuangan,
bidang pembangunan, dan lain-lainnya.
Dari data-data itu tampak jelas, bahwa investasi modal untuk pem-
biayaan tahun-tahun Repelita I dan II yang meliputi proyek-proyek na-
sional, daerah dan swasta setiap tahun meningkat dengan jumlah yang
cukup besar. Tampak pula bahwa pelaksanaan proyek nasional maupun
daerah, pada setiap tahun anggaran, dapat diselesaikan seluruhnya
dengan baik. Hal ini bisa terjadi berkat pengawasan yang ketat yang
dilakukan oleh Gubernur bersama aparat-aparatnya, dan oleh DPRD
anggota DPRD, dengan membentuk team-team peninjauan setiap
tahun, menjelajahi seluruh kabupaten yang ada di Nusa Tenggara
Timur, untuk melihat dari dekat dan menyelidiki pelaksanaan pem-
bangunan di segala bidang.
Yang juga sangat menarik perhatian kami adalah, bahwa bantuan
Pembangunan Desa Rp 100.000,00 benar-benar telah menjadi alat pen-
dorong bagi peningkatan prasarana produksi pembangunan, pemasaran
dan prasarana sosial rakyat pedesaan dalam rangka pengembangan desa-

39

PNRI
desa dari desa swadaya ke desa swakarya menuju desa swasembada. Dari
bantuan keuangan Rp 100.000,00 per desa selama Pelita I, misalnya, te-
lah dapat digali swadaya rakyat yang berlipat ganda jumlahnya, sehingga
bila dinilai secara riil bantuan pembangunan desa itu telah membawa
akibat yang sangat positif bagi kehidupan kedesaan dalam keseluruhan-
nya.
Di samping angka-angka mati yang tersusun rapih dalam berbagai
tabel, tampak pula foto dan gambar-gambar yang melukiskan keadaan
dan kemajuan yang dicapai. Bagi seseorang yang benar-benar ingin
mempelajari sejarah perkembangan Propinsi Nusa Tenggara Timur,
maka dengan mengunjungi ruangan pola ini dan mempelajari dengan
teliti segala sesuatu yang terdapat di dalamnya, pasti berhasil men-
dapatkan data-data yang sangat berharga,
Sesudah sejam lamanya kami berada di sana dengan mendapat
penjelasan-penjelasan yang cukup menarik dari tenaga yang bertugas,
kami memohon diri dan melangkah ke Kampus Universitas Nusa Cen-
dana (UNDANA) yang terletak tidak jauh dari kompleks Kantor Guber-
nur itu.
Kami berkenalan dengan Rektor Undana, Prof. Mr. Soetan Mohamad,
Syah, seorang Ahli Hukum yang cukup terkenal. Beliau beradal dari
Sumatra Barat, tetapi lahir di Kupang di desa Airmata pada tanggal 13
Agustus 1912. Ayahnya pada waktu itu menjadi jaksa di Kupang. Ia
memulai pendidikan dasarnya pada Sekolah Belanda (Europese Lagere
School) di kota ini. Sesudah bertahun-tahun mengajar pada beberapa
Universitas besar di Jawa dan Sulawesi, pada tahun 1968 beliau
mengambil keputusan untuk mendharmabaktikan tenaga dan masa
akhir hidupnya kepada Pulau Timor tempat ia dilahirkan, sebagai
rektor dari Universitas Negeri Nusa Cendana di Kupang, yang telah
didirikan pada tahun 1963. Beliau mengantar kami melihat-lihat Per-
pustakaan UNDANA, yang berisi buku-buku jurusan Karya Umum,
Filsafat, Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa, Ilmu Pasti, Ilmu
Pengetahuan Praktis, Kesenian, Kesusastraan dan Sejarah, serta ber-
bagai majalah, bulletin, brosur, dan surat-surat kabar.
Pemanfaatan Perpustakaan ini setiap hari oleh para mahasiswa dan
oleh para dosen adalah cukup memuaskan. Sambil melihat ruangan-
ruangan kuliah, ruangan kantor dan runangan Laboratorium, beliau juga
memperkenalkan kami kepada para dekan dari kelima fakultas yang
ada, yaitu Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan, Fakultas

40

PNRI
Keguruan, Fakultas iimu Pendidikan, Fakultas Peternakan, dan
Fakultas Hukum.
Pada saat kunjungan kami, yaitu pada akhir tahun 1975, UNDANA
memiliki 1934 orang mahasiswa dengan 125 dosen/ assisten tetap dan 92
orang dosen tidak tetap. Sampai akhir tahun 1975 UNDANA telah
menghasilkan 653 orang Sarjana Muda dan 31 orang Sarjana. UN-
DANA juga telah berhasil mengadakan affiliasi atau kerja sama dengan
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan IKIP Malang,
dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur, dengan
Lembaga Penelitian Ilmu Sosial pada Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga dan dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

kompleks Universitas Nusa Cendana di Kupang.

Akhirnya, kami dibawa ke Museum UNDANA, yang agaknya men-


jadi "troetelkind" (anak tersayang) dari Prof.Mr. Sutan Moh. Syah.
Kecuali berbagai jenis siput laut dan hasil kerajinan tangan rakyat yang
indah, terdapat dalam Museum UNDANA itu berbagai benda-benda
prasejarah, kerangka manusia dan binatang kuno yang telah dikum-
pulkan dan dihadiahkan kepada Museum itu oleh beberapa Sarjana
Luar Negeri antara lain: Dr. Th. Verhoeven SVD, Dr. J. Glinka SVD,
Prof. Dr. D.A. Hooyer, Dr. J. Glover, P. J. Verschuren SVD, Sarasin
dan Buchler. Mereka telah sangat berjasa dalam mengadakan penelitian

41

PNRI
di Pulau Timor dan sekitarnya dan berhasil mengumpulkan benda-
benda prasejarah dari wilayah ini yang sekarang sebagian tersimpan di
Museum UNDANA ini.
Dari hasil penelitian A. Buchler, seorang ahli berkebangsaan Zwis
telah ditemukan alat Zaman Paleolitikum (Zaman Batu Tua) di sekitar
Niki-niki di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), berupa: kapak
genggam, ujung mata panah, dan pisau batu, yang sebagiannya juga ter-
simpan di dalam Museum ini. Bahkan dalam tahun 1972/1973 telah di-
gali di Tofa, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang kerangka manusia
zaman kuno oleh Mahasiswa jurusan Sejarah Fakultas Keguruan UN-
DANA, di bawah Pimpinan Dr. J. Glinka SVD; sayang belum diadakan
pengukuran dan penyelidikan lebih lanjut pada kerangka tersebut.
Pada tahun 1971 oleh Dr. J. Glover, sewaktu mengadakan peninjauan
ke tempat tersebut sempat ditemukan pecahan tembikar dan alat-alat
batu lainnya, sehingga diduga bahwa daerah sekitar tempat penggalian
itu merupakan perkampungan Purba (masa Prasejarah).
Alat "Batu-tua" ini ada yang ditemukan di gua-gua dan di padang-
padang sekitarnya.
Belum dapat dipastikan dari bangsa mana pendukung Kebudayaan
Batu-tua ini di Pulau Timor, namun dapat diduga bahwa zaman ini ber-
aknlr pada sekitar 4 a 5 ribu tahun yang lampau, dengan masuknya pen-
duduk baru, pendukung Kebudayaan "Neolitikum" (Zaman Batu
Baru), yang telah mengenal bercocok tanam. Pendukung kebudayaan ini
masuk ke Timor dengan membawa berbagai jenis ternak (babi, kam-
bing, anjing, kuskus, kera, musang) dan tembikar.
Penduduk bertambah banyak, tapi masih berdiam dalam gua-gua.
Padi dan jagung, yang merupakan tanaman penting sekarang ini, diduga
telah pula dimasukkan pada awal masa "Neolitikum" itu.
Dr. J. Glober menduga bahwa pendukung Kebudayaan Pertanian ini
merupakan pendatang dari luar, yang masuk ke Timor pada ± 5000
tahun yang lalu. Beberapa alat dari Zaman Batu Baru, berupa kapak,
ujung anak panah, dan pisau batu tersimpan juga sebagian di Museum
Undana. Juga pecahan-pecahan tembikar dari beberapa daerah di Pulau
Timor terlihat di sana.
Diceritakan, bahwa sampai sekarang masih ada sebagian kapak-kapak
batu dari zaman ini yang dipergunakan sebagai benda keramat (pemali)
oleh penduduk dan disimpan dalam "Ume Leu" (rumah pemali). Sampai
berapa lama kebudayaan "Batu Baru" berlangsung di Pulau Timor

42

PNRI
belum dapat dipastikan. Namun, dapat dipastikan bahwa di daerah ini
pun pernah mengalami masa Kebudayaan Perunggu. Sebagai bukti,
ialah bahwa di sebagian wilayah Nusa Tenggara Timur masih terdapat
sisa-sisa Kebudayaan Perunggu, yaitu di Alor, di mana "Moko", sejenis
tambur perunggu masih berfungsi sebagai "Mas-Kawin" (Belis) dalam
masyarakat. Juga sebuah "Moko" tersimpan dalam Museum Undana.

Suatu peninggalan zaman


Perunggu yang terkenal adalah
sebuah kapak kebesaran yang
berasal dari Pulau Rote. Kapak
ini diduga hanya berfungsi seba-
gai benda upacara dan tidak
dipergunakan untuk keperluan
sehari-hari.
Sejak kapan kebudayaan pe-
runggu berlaku di wilayah ini dan
sejak kapan pula berakhir, sulit
diketahui. Suatu hal yang dapat
dipastikan ialah, bahwa pada
masa zaman perunggu ini telah
terjadi kontak antara Pulau Ti-
mor dan dunia luar. Dr. J. Glover
menduga ± 3000 tahun yang lalu
secara teratur Pulau Timor telah
mengadakan kontak dengan Asia
Tenggara dan menerima alat-alat
Sebuah Moko "peninggalan zaman Pe- logam, manik-manik, dan sejum-
runggu. Dipakai sekarang sebagai "Mas lah tembikar biasa. Bahkan juga
kawin di Alor. diduga bahwa perdagangan kayu
cendana putih telah mulai pada masa itu, terutama dengan Cina dan
bagian-bagian wilayah Indonesia bagian barat.
Di dalam ruangan yang sama terlihat suatu tumpukan tulang yang
besar-besar. "Tulang seekor ikan paus, yang pernah terdampar di Pantai
Pasir Panjang di Kupang pada tahun 1973," kata sang Profesor. Seluruh
tulang ikan paus itu diserahkan oleh Pemerintah kepada UNDANA, te-
tapi oleh karena ikan itu berukuran lebih dari 22 meter dan tinggi lebih
kurang 5 meter, maka UNDANA tidak mampunyai ruangan yang ber-

43

PNRI
ukuran demikian, untuk memasang kerangka ikan paus itu. Kami ber-
dua mencoba mengangkat tulang rahang ikan itu, tetapi demikian besar
dan beratnya, sehingga jangankan mengangkat, menggerakkannya saja
kami tak mampu.
Sesudah cukup lama berada dalam Museum itu, kami dipersilakan
memasuki ruangan kantor sang Proffesor. Beliau adalah seorang pem-
baca ulung. "Istri keduanya adalah buku-bukunya," demikianlah kata
Ibu Syah, yang juga menjadi dosen tetap Bahasa Inggris dan menjadi
dekan F.K. UNDANA tersebut. Buku-buku tua yang sudah sulit diper-
oleh di mana-mana tampak di lemari buku pribadinya. Beliau sendiri
mempunyai daya ingatan yang luar biasa; sampai hal yang sekecil-
kecilnya yang dilihat dan dialaminya di kota Kupang di masa ia masih
kanak-kanak, pada awal tahun dua puluhan, masih dapat diingatnya
dan diceritakannya seperti baru. dialaminya pada hari kemarin.
Oleh karena beliau seusia dengan saya, maka sungguh banyak cerita-
cerita lama diungkapkan, sehingga tanpa diketahui hari sudah hampir
pukul 14.00, yang berarti jam kantor berakhir. Kami memohon diri dan
kembali ke Wisma. Sesudah makan kami bermaksud untuk melanjutkan
peninjauan kami di dalam kota Kupang, karena keesokan harinya, kami
akan mengunjungi kecamatan Amarasi yaitu bekas Swapraja Amarasi
yang dikuasai oleh almarhum Raja H.A. Koroh, tokoh perjuangan ke-
merdekaan di Timor yang terkenal.

5. MENGUNJUNGI PABRIK M I N Y A K CENDANA DAN PLN


KUPANG
Tepat pukul 16.00, kami telah siap untuk berangkat. Colt Wisma
FLOBAMOR membawa kami melalui Jl. Basuki Rachmat, Jl. Dr. Sam
Ratulangi, dan membelok ke barat menuju Batuplat. Di sebelah kanan
jalan tampak 2 Gedung, yaitu Percetakan "Flobamora" milik A.
Nisnoni, bekas Raja Kupang, yang dipimpin oleh salah seorang
putranya.
Perusahaan ICAFF, singkatan dari "Indonesia Canning and Freessing
Factory", adalah sebuah pabrik pengolahan daging dalam kaleng yang
didirikan pada tahun 1952. Pada waktu masih berproduksi pabrik ini
memerlukan sehari rata-rata 16 — 20 ekor sapi. Namun, berhubung
dengan kesulitan perhubungan dan pengangkutan, harta "tin-plate",
yaitu bahan pembuatan kaleng menjadi begitu tinggi, sehingga sangat
mempengaruhi harga daging kaleng. Ternyata harganya jauh lebih tinggi

44

PNRI
dari daging kaleng berasal dari Bali atau Luar Negeri, meskipun harga
ternak di Timor cukup murah dan pemilik perusahaan itu memiliki
cukup banyak ternak. Dengan harga yang terlalu tinggi disebabkan
harga kaleng itu, maka ICAFF sejak akhir tahun 1963 sudah tidak ber-
operasi lagi, sehingga mesin-mesin yang ada sekarang ini sudah menjadi
"besi tua". Usaha merehabilitasikan perusahaan itu agaknya hingga saat
ini tidak berhasil.
Jalan membelok ke arah selatan mendaki menuju ke desa Bakunase,
yang mendapat julukan "Desa Kelapa", disebabkan ribuan pohon
kelapa yang tumbuh di sana. Di masa pendudukan Jepang, desa Baku-
nase ini, berhubung dengan banyak pohon kelapanya, dijadikan tempat
perlindungan yang baik sekali oleh tentara Jepang. Sampai saat ini di
sana masih terdapat tempat-tempat perlindungan yang utuh di bawah
tanah, yang seluruhnya dibuat dari semen dan beton.
Di masa NICA, yaitu Pemerintah Kolonial Belanda sesudah Perang
Dunia II, desa ini dijadikan pusat pemerintah dengan segala aparatur-
nya, karena kota Kupang seluruhnya hancur oleh pemboman Sekutu.
Kami melewati desa yang kaya air dan pohon buah-buahan ini dan
tiba di desa Batuplat yang memiliki 2 buah pabrik besar penyulingan
minyak cendana, yaitu CV Sumber Agung, yang telah diresmikan pada
Hari Ulang Tahun Propinsi NTT tanggal 20 Desember 1973 oleh Guber-
nur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur dan telah ber-
produksi dengan sekali masak ± 1000 kg kayu cendana pada 2 unit
destilasi (penyulingan).
Pabrik kedua adalah milik PT Tropical Oils, diresmikan pada hari
Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober 1974 berkapasitas sekali masak
500 kg kayu cendana pada satu unit destilasi. Di samping menghasilkan
minyak cendana, juga dibuatkan kipas cendana oleh tenaga ahli dari
Hongkong.
Dari pembicaraan dengan kedua pemimpin perusahaan kami memper-
oleh kesan, bahwa dalam waktu beberapa tahun mendatang tidak perlu
dikhawatirkan tentang persediaan bahan baku berupa cendana di Pulau
Timor. Pada saat ini masih cukup cendana tersedia, meskipun pasti akan
makin berkurang di masa depan, karena pohon cendana ini tidak mudah
ditanam. Pohon ini hidup karena kondisi alam dan bukan merupakan
hasil dari kegiatan penanaman manusia. Kedua perusahaan penyulingan
itu mampu menyerap ± 250 ton kayu cendana dalam setahun.
Dengan kepastian produksi sedemikian, Pemerintah Daerah Nusa
Tenggara Timur dapat mengandalkan suatu pendapatan yang pasti dari

45

PNRI
hasil hutan di daerahnya. Maka untuk memberi proteksi kepada kedua
pabrik, agar suply bahan baku terjamin, maka dengan sesuatu keputus-
an Gubernur Kepaia Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur telah dite-
tapkan, bahwa, Penjualan kayu cendana dilakukan oleh Gubernur
Kepaia Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur dengan tatacara sebagai
berikut:
a. Untuk keperluan perdagangan dilakukan secara lelang;
b. Untuk keperluan industri dilakukan secara penjualan langsung
kepada industri-industri yang mengolah bahan baku asal kayu cen-
dana di Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur; dan
c. Untuk keperluan sendiri dan tanda mata/souvenir dilakukan secara
penjualan langsung kepada pembeli dengan jumlah kayu kurang lebih
sebanyak 10 (sepuluh) kg.

Penetapan harganya juga dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah


Tingkat I Nusa Tenggara Timur. Dalam penjualan dicatat, bahwa yang
dimaksud dengan "keperluan perdagangan" adalah keperluan per-
dagangan untuk antarpulau atau ekspor. Untuk keperluan perdagangan
ini hanya dapat dilakukan, apabila kebutuhan bahan baku untuk in-
dustri di Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur telah men-
cukupi. Dengan demikian, maka pemasaran kayu cendana sejak 1974
mulai diusahakan dalam bentuk barang jadi/setengah jadi, sesuai
dengan keinginan pemerintah, dengan memprioritaskan bahan baku
cendana bagi industri CV Sumber Agung dan PT Tropical Oils.
Sesuatu kesulitan lain yang dihadapi oleh kedua perusahaan, adalah
menurunnya harga minyak cendana dari Timor di pasar Luar Negeri,
khususnya di Amerika Serikat. Jika pada awal tahun 1975 harga minyak
ini mencapai harga AS $ 92 se-kg, pada bulan September 1975 ternyata
telah menurun menjadi AS $ 52 se-kg. Hal ini disebabkan oleh karena
minyak kita mendapat saingan berat dari minyak cendana dari India.
Namun, sambil berusaha mempertinggi mutu kualitasnya, para pe-
ngusaha tetap mengadakan produksi terus dengan harapan akan mem-
baiknya pasaran di Luar Negeri pada waktu-waktu yang akan datang,
mengingat sangat pentingnya minyak cendana sebagai bahan mentah
bagi perusahaan parfum serta wangi-wangian lainnya.
Dalam berjalan-jalan keliling di kompleks kedua pabrik tampak
bahwa untuk mencincang kayu guna dimasukkan dalam proses produksi
lanjutan tidak dilakukan secara mekanis. Kegiatan mencincang dilaku-
kan oleh tenaga kerja yang dibayar atas dasar prestasi. Kepada seorang

46

PNRI
dibayar Rp 50,00 untuk mencincang 1 kg kayu, sehingga biasanya
seorang pekerja rata-rata dapat memperoleh Rp 1.000,00 sehari.
Sebagai hasil periode Januari sampai dengan September 1974 Direktur
CV Sumber Agung memberitahukan telah mengekspor minyak cendana
ke Amerika Serikat sebanyak 1,550 ton bernilai US $ 147.250,- Sesudah
kami mengucapkan terima kasih atas segala penjelasan yang kami
peroleh, kami meninggalkan kedua perusahaan itu dan meluncur turun
ke desa Airnona untuk melihat kolam Airnona yang sudah dijadikan
tempat pemandian yang menarik letaknya, hanya ± 3 km dari pusat kota.
Atas swadaya penduduk desa di bawah pimpinan kepala desanva telah
dibangun sebuah bak besar sekeliling kolam, sebagai tempat pemandian
umum dan sekeliling mata air sebuah bak kecil, tempat rakyat desa
mengambil air minumnya. Dilindungi oleh pohon beringin yang besar-
besar, tempat ini menjadi tempat piknik yang sangat indah. Di masa
jepang dan MICA di atas kolam ini didirikan sebuah rumah panggung
tempat kediaman para pembesar.
Karena hari masih agak siang, kami meneruskan perjalanan ke Peru-
sahaan Listrik Negara (PLN) Kupang yang sejak tahun 1974 sanggup
memberikan aliran listrik siang dan malam bagi kota Kupang dan
sekitarnya. Kompleks PLN ini terletak di samping suatu jurang Sungai
Mapoli yang curam dan dalam. Di sebelah barat laut kompleks ini ter-
dapat kompleks kuburan baru dari penduduk desa Fontein, sedang di
seberang jurang, di pojok barat dan selatan tampak pula kompleks
kuburan Islam dan kuburan Kristen kota Kupang yang baru.
Sekitar gedung PLN itu terdapat suatu pemandangan yang sangat in-
dah atas Teluk dan pelabuhan Kupang. Setelah puas menikmati peman-
dangan indah atas Teiuk Kupang, kami memutuskan untuk kembali ke
Wisma kami untuk beristirahat menghadapi perjalanan esok harinya ke
Kecamatan Amarasi. Menurut sopir, keadaan jalan antara Kupang —
Baun, Baun — Burain dan Burain — OEkabiti — OEsao yang pan-
jangnya ± 100 Km, kebanyakan rusak, sehingga perjalanan pasti akan
melelahkan.

47

PNRI
BAB II

1. BERKUNJUNG KE BEKAS SWAPRAJA AMARASI

Keesokan harinya baru saja selesai sarapan, jeep dengan petugas dari
Kabupaten Kupang yang hendak mengantar kami ke Amarasi tiba di
Wisma. Kepada petugas kami menanyakan apakah kami harus mem-
bawa rnakanan sekedarnya untuk makan tengah hari, karena kami telah
memperoleh keterangan, bahwa di Amarasi tidak ada warung, tempat
orang menjual nasi.
"Tidak perlu," kata pengantar kami. ""Bapak Bupati telah menelpon
Camat tentang kedatangan Bapak-bapak, sehingga pasti kita dapat
makan di rumah Bapak Camat."
Tepat jam 07.30 kami memasuki kendaraan kami, sebuah jeep Toyota
untuk memulai perjalanan.
Kembali kami melewati mata air OEpura yang pada saat itu penuh
sesak dengan orang-orang yang sedang mandi, mencuci barang, menim-
ba air dengan mempergunakan timba yang dibuat dari daun lontar yang
disebut " H a i k " , dan ada pula beberapa sopir yang sedang mencuci
jeep. Jalanan mendaki dan kami tiba di Sikumana. Di atas bukit dari
desa itu kami melihat orang sedang membangun sesuatu.
"Apakah yang sedang mereka kerjakan di sana?" tanya saya kepada
pengantar kami. Mereka sedang mengerjakan proyek "Station Micro-
wave" yang salah satu lokasinya terdapat di Desa Sikumana ini. Perha-
tian kami sangat tertarik pada proyek tersebut dan meminta, agar kami
menyinggahi tempat itu.

48

PNRI
Kami mendekati salah seorang petugas, yang tampaknya menjadi pim-
pinan pada proyek tersebut untuk mendapatkan beberapa penjelasan. Ia
mengundang kami memasuki sebuah los yang sebagian dipergunakannya
sebagai kantor, tempat bekerja. Dijelaskannya bahwa mereka di
Sikumana ini, yang letaknya± 7 km dari kota Kupang, sedang men-
dirikan salah satu lokasi "repeater station" dari Proyek "Microwave In-
donesia" bagian timur (Eastern Microwave) yang terdiri dari: a. Main
route, Denpasar — Ujung Pandang b. Minor route, Pocoranaka
(Ruteng) — Kupang — Atambua.
Proyek ini telah dimulai pada 1 Juni 1971 dan diperkirakan akan selesai
seluruhnya tahun 1977/1978. Dalam Pelita tahun 1973/1974 sudah di-
dahulukan dengan pembangunan-pembangunan pada Main route Den-
pasar-Ujung Pandang melalui Pocoranaka di Ruteng (Kabupaten Mang-
garai). Rencana jumlah lokasi untuk "repeater station" yang terdapat di
wilayah Nusa Tenggara Timur adalah sebanyak 9 buah, masing-masing 5
buah di Flores dan 4 buah di Pulau Timor.
Sejak tahun Pelita 1973/1974 telah dilaksanakan pembuatan jalan-
jalan masuk menuju ke lokasi-lokasi Station Repeater dan waktu per-
kunjungan kami realisasi physik station telah mencapai lebih dari 50%.
Diharapkan bahwa dalam tahun 1976/1977 dengan adanya Station-
station Microwave ini hubungan telepon (telekomunikasi) antara
Kupang dan kota-kota besar di ^Indonesia akan terselenggara dengan
mudahnya. Juga dengan adanya Satelit bumi (PALAPA) dan Station
TV yang sedang didirikan di kota Kupang, penduduk kota Kupang pun
akan dapat menikmati siaran-siaran Televisi dari Pusat.
Kami melanjutkan perjalanan kami ke Baun, yang dahulu menjadi
Ibukota Swapraja Amarasi. Jalan terus mendaki hingga kami tiba pada
suatu tempat tertinggi, Ikanfoti, dengan pemandangan alam sekitarnya
yang sangat indah.
Jauh di selatan tampak Laut Timor, yang memisahkan pulau ini dari
Benua Australia. Pada saat cuaca cerah tampak jauh di selatan awan
bergantungan di langit, yang kata orang adalah awan di atas bukit-bukit
di pesisir Utara Australia. Laut Timor yang sangat terkenal dengan ikan
hiunya yang sangat ganas, serta ombak dan arusnya yang berbahaya
pada musim angin timur bertiup dari benua Australia, menyebabkan
pantai selatan Pulau Timor pada antara bulan Mei — September sukar
dicapai dengan perahu ataupun kapal.
Pantainya berhatu karang dan terjal. Hanya di beberapa tempat,
misalnya di Belu Selatan, di muara NoElmina dan di pantai selatan

TIMOR PULAU GUNUNG FATULEU 4 49


PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
PNRI
Menurut hemat kami, alangkah baiknya bila pemerintah mendatang-
kan alat-alat pengawetan apel yang praktis, ataupun mendatangkan alat-
alat untuk memotong-motong dan mengeringkan buah-buah apel yang
tidak habis terjual.
Sungguh masih banyak hal-hal yang perlu diajarkan kepada para,
petani apel di pedalaman Pulau Timor ini untuk memanfaatkan apel
yang begitu digemari oleh penduduk di pulau-pulau lain sebagai alat
menambah penghasilan dan kemakmuran bagi diri dan wilayahnya.

3. Bermalam di Kota Dingin Kapan


Kami berpisah untuk meneruskan perjalanan kami ke Kapan, sesudah
diperbolehkan memetik sendiri beberapa buah apel yang besar-besar di
kebun OElbubuk itu. Segar dan sedap rasanya buah apel yang dipetik
masak dari pohonnya.
Bertambah pula pengetahuan dan pengalaman kami tentang apel
Timor. Sambil diombang-ambing selama kurang lebih setengah jam,
karena jalan yang sangat rusak, kami tiba pada tempat yang tertinggi,
untuk melihat kota Kapan terbentang luas di bawah kami.
Dari atas bukit tampak rumah-rumah penduduk dengan atap seng
yang berkilau-kilauan disinari Sang Surya sore. Kota Kapan terletak
dalam suatu lembah indah dikelilingi gunung dan bukit-bukit yang
tinggi.
Di atas bukit sebelah barat tampak desa Ajubaki, dengan Sonaf
(istana) bekas Raja Mollo, OEmatan.
Di lembah sebelah utara kelihatan sabana, dengan pohon-pohon
cemara, sedang di lereng-lereng bukit yang mengelilingi kota Kapan,
tampak ladang dan kebun-kebun rakyat yang ditanami pohon-pohon
apel dan berbagai jenis jeruk, diselingi dengan padang-padang rumput
yang kehijau-hijauan, yang semuanya menambah keindahan tempat itu.
Jeep kami terus menurun dan langsung menuju ke Pesanggrahan,
tempat kami menginap malam itu. Kapan tergolong kota yang paling
dingin di Pulau Timor. Dingin, bukan karena angin, seperti halnya kota
SoE, tetapi dingin karena udara. Tingginya dari permukaan laut kurang
lebih 1200 m, dikelilingi gunung-gunung, sehingga udaranya yang dingin
terasa sejuk, kering tanpa angin.
Sebelum perang kota Kapan menjadi suatu "Kinder-vacantie
Kolonie", tempat peristirahatan murid-murid sekolah kota Kupang yang
sakit, selama masa libur. Keadaan tanahnya sangat subur, terutama di
sekitar kaki dan lereng Gunung Mutis, gunung yang tertinggi di Pulau
Timor, bagian Barat (2474).
76

PNRI
Dari kaki gunung itu sampai ke puncaknya tertutup hutan lebat yang
banyak sekali menghasilkan kayu untuk ramuan rumah, jembatan dan
lain-lain. Walaupun hutan-hutan di sekitar Mutis belum dijadikan hutan
tetap, namun hutan-hutan itu terbilang sangat luas, terbentang ke barat
sampai ke Lelogama, ibukota bekas Swapraja Amfoang di Dati II
Kupang dan ke sebelah timur sampai ke Kefamenanu, ibukota Dati II
Timor Tengah Utara.
Kapan, sekarang menjadi pasar utama untuk apel, jeruk manis, jeruk
Cina, dan jeruk Bali, kentang dan kopi. Hasil-hasil kebun ini biasanya
dibeli oleh para papalele untuk dibawa ke pasar Kupang.
Sebelum dan sesudah perang dunia II berdiam di Kapan seorang
Pendeta Belanda, Pieter Middelkoop, yang telah berjasa dalam menter-
jemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Timor dan menciptakan lagu-lagu
Gerejani dalam bahasa Timor (Dawan). Beliau telah kembali ke negeri
Belanda dan belum lama meninggal dunia di sana.
Di Kapan terdapat 2 sonaf, yaitu sonaf bekas Raja OEmatan di
Ajubaki dan Sonaf bekas Sonbai di Fatumnutu. Pada masa penjajahan
Belanda, di tahun sepuluhan, pernah menjajah mengucilkan raja ketu-
runan Sonbai di Mollo. Sebagai gantinya oleh Pemerintah kolonial telah
dinobatkan sebagai Raja Molo, Lay Kun Seong alias Lay A Kun,
seorang warga negara Indonesia keturunan Cina yang diberi gelar Raja
OEmatan dan berkedudukan di Kapan Ajubaki. Beliau adalah ayahanda
bekas Bupati W.C.H. OEmatan, yang selama 10 tahun lebih menjabat
Bupati Kepaia Daerah Tingkat II Kupang di Kupang.
Tetapi kemudian pemerintah kolonial menarik kembali pencabutan
hak itu dan pangkat Raja Mollo diserahkan kembali kepada Bangsawan
Tuan Sonbai yang berkedudukan di Sonaf Fatumnutu.
Sementara kami bercakap-cakap dalam udara yang makin dingin itu.
mandor pesanggerahan telah menyiapkan makan malam bagi kami,
yang terdiri dari dendeng rusa goreng, telur mata sapi dan ayam pang-
gang. Kerena lapar dan udara dingin yang sangat merangsang nafsu
makan, kami melalap habis makanan yang disiapkan. Kami menyuruh
membeli sekilo dua dendeng rusa untuk dibawa sebagai "oleh-oleh" ke
Jakarta. Kemudian sebungkus dendeng rusa, seberat 3 kg, diantar ke
penginapan kami seharga Rp 750,00 sekilo. Mandor Petrus
menceritakan caranya orang Timor memburu rusa. Ada tempat tertentu
yang disebut "tempat larangan", milik raja, di mana orang dilarang
menembak rusa. Sekali dalam 2 atau 3 tahun Raja mengundang orang-
orang tertentu untuk berburu di tempat larangan itu. Dikerahkanlah

77

PNRI
sekelompok rakyat dengan membawa anjing atau bunyi-bunyian untuk
menghalau rusa dari tempat di atas angin.
Sebelumnya telah diadakan upacara adat, yang dilaksanakan oleh
seorang " P a f t u a " (tuan tanah) untuk membuka wilayah perburuan itu.
Para penembak bersembunyi pada tempat strategis di bawah angin, agar
rusa tidak dapat mencium bau mereka, serta dapat dengan leluasa me-
nembaknya, tanpa membahayakan para penghalaunya. Rakyat Timor
masih mempergunakan senapan kuno dikenal dengan nama "senapan
tumbuk". Senapan itu berlaras panjang, mesiu dan mimis (peluru bulat
dari timah atau besi) dimasukkan langsung dalam laras dan supaya
bahan peledak itu jadi padat, dimasukkanlah ke dalam laras nal, yaitu
sejenis alat penyumbat pada bedil, supaya mengadakan kekuatan yang
hebat bila meletus.
Dari cara memasukkan nal itulah senapan itu mendapat nama "sena-
pan tumbuk". Nal itu ditumbuk ke dalam laras dengan alat penumbuk
besi. Dapat dipahami, bahwa antara tembakan yang pertama dan tem-
bakan yang kedua diperlukan waktu yang agak lama, sehingga yang
tidak kena tembakan pertama, tak mungkin ditembak untuk kedua
kalinya. Namun demikian, orang Timor pada umumnya adalah para
penembak ulung, sehingga pada kesempatan berburu seperti itu,
puluhan, ya ratusan rusa tertembak mati.
Rusa yang tertembak, dibagi-bagikan sebagian kepada para pemburu.
Sesudah rusa itu dikuliti dan disembelih, kepala, isi perut, kulit, dan
tulang-tulangnya diberikan kepada para penghalau dan isinya dibawa
pulang untuk dibuat dendeng.
Keesokan harinya kami berangkat kembali ke SoE. Sebelumnya kami
singgah di pasar untuk membeli apel, pisang, dan jeruk Cina untuk bekal
di perjalanan. Karena jalan lebih banyak menurun, maka sejam kemu-
dian, kami sudah berada di kota SoE, ibukota Dati II Timor Tengah
Selatan. Kota ini terbilang kota dingin seperti Kapan. Hanya perbedaan
dingin antara SoE dan Kapan ialah, dingin di SoE disebabkan oleh angin
yang bertiup, yang mengandung banyak uap air, sedang di Kapan tidak.
Sering-sering kota SoE ditutupi kabut yang tebal, sehingga mendunglah
sepanjang hari. Orang-orang yang berjalan pada jarak 30 atau 40 meter
tampaknya samar-samar. Dalam udara yang berkabut itu, orang-orang
Timor di SoE selalu berselubung sarung atau selimut. Karena hawa yang
sangat dingin itu, yang menyebabkan minyak kelapa di botol-botol
beku, tidaklah mengherankan, kalau anak-anak sekolah, terutama
murid-murid Sekolah Dasar sukar disuruh mandi waktu pagi.

78

PNRI
Kota SoE sering juga disebut Kota Nabi, karena di sana dulu ada
sebuah sekolah Theologia, tempat mendidik para pendeta Protestan un-
tuk seluruh Keresidenan Timor. Karena para pendeta itu akan bekerja di
seluruh Tanah Air untuk memberitakan Firman Tuhan, seperti yang
biasa dilakukan oleh para Nabi pada Zaman dahulu kala, maka kota
SoE tempat pendidikan pendeta-pendeta itu disebut juga "Kota Nabi".
Kota ini terletak di atas suatu dataran yang agak miring dan berlem-
bah. Tingginy'a dari permukaan laut ± 850 m. Hampir dalam setiap
pekarangan di kota itu tampak pohon-pohon apel dengan bunga-bunga
dahlia yang besar-besar. Kami hanya berhenti sebentar di SoE, lalu
meneruskan perjalanan kami menuju ke Kefamenanu, melalui Niki-niki.
Jarak antara SoE dan Niki-niki 27 km.
Di Niki-niki kami berhenti sejenak untuk melihat-lihat Sonaf bekas
Raja Amanuban, PaE Nope, yang menurut cerita, raja yang terkaya di
Pulau Timor. Di samping Sonaf yang besar, yang tidak lagi terpelihara,
tampak sebuah " L o p o " , tempat penyimpanan padi dan jagung, yang
juga kosong belaka. Tiang, balok-balok, dan lotengnya diukir dengan
gambar yang indah-indah, yang mengingatkan saya kepada balairung
Raja Klungkung di Bali. Diceritakan bahwa selagi Raja PaE Nope masih
berkuasa, uang mas dan peraknya berpeti-peti, jumlah ternaknya (sapi,
kerbau, dan kuda) lebih banyak dari jumlah rakyatnya. Ia termasuk
seorang raja yang sering bersama-sama dengan Kaisar Sonbai terus-
menerus memusuhi dan menyerang Belanda. Setelah ia wafat, diganti
oleh putra sulungnya Paul Nope, kemudian oleh putra berikutnya Kusa
Nope; kekayaannya makin berkurang.
Sesudah Swapraja dihapuskan di Timor, Kusa Nope tamatan 'Mid-
delbare Bestuursschool" di Makasar diangkat menjadi Bupati Kepala
Daerah Tingkat II Timor Tengah Selatan, yang membawahi 3 bekas
Swapraja: Amanuban, Amanatun, dan Mollo.
Walaupun letak Niki-niki kurang lebih 800 m dari laut, namun hawa
di situ agak panas, mungkin hal ini disebabkan, karena di sekitar tempat
itu tak ada hutan. Sejauh mata memandang, tampaknya padang rumput,
sabana dengan kabesak yang tumbuh jarang-jarang,
Dari Niki-niki sampai ke perbatasan Timor Tengah Utara perjalanan
turun naik silih berganti, dan berliku-liku. Sopir kami menyetir jeepnya
dengan sangat berhati-hati. Kami melalui jembatan Temef, sebuah
jembatan alam yang menghubungkan kedua tepi sungai Temef yang
lebarnya ± 20 m, tetapi yang telah dirusak oleh banjir pada tahun empat
puluhan. Sekarang telah dibuat jembatan besi sebagai penggantinya.

79

PNRI
Ngeri perasaan kami, ketika melihat ke dasar sungai di bawahnya,
kira-kira 50 m dalamnya dengan tebingnya yang sangat curam.
Jalan yang berbatu-batu mendaki dengan hebatnya, tetapi berkat lin-
cahnya sopir kami, kami dapat meliwatinya dengan mudah. Daerah an-
tara Niki-niki dan Kefamenanu terbilang salah satu daerah peternakan
yang baik di Pulau Timor. Di kiri kanan jalan tidak ada hutan yang
lebat, hanya padang rumput yang luas yang di sana-sini ditumbuhi
dengan eucalypten (Hue), kabesak dan cemara.
Di padang-padang itulah berkeliaran sapi dan kerbau yang digem-
balakan oleh budak-budak. Pada malam hari sapi dan kerbau biasanya
digiring ke dalam kandang.
Di Kefamenanu ibukota Kabupaten Timor Tengah Utara kami ber-
henti sebentar untuk makan. Makanan telah disediakan di salah sebuah
losmen yang ada. Udara di situ agak lebih sejuk, jika dibandingkan
dengan udara di Niki-niki. Di sekelilingnya terdapat hutan-hutan dan
belukar-belukar lantana yang luas.
Pada waktu kami sedang makan, datang seorang petugas Dinas Perta-
nian Dati II Belu meminta, agar ia dapat turut serta dalam jeep kami ke
Atambua. Oleh karena kami hanya bertiga dengan sopir, maka kami
tidak keberatan ia turut bersama kami.
Tepat jam 2 kami berangkat. Perjalanan akan memakan waktu kira-
kira 4 jam melalui jarak ± 100 km. Perjalanan tidak lagi mendaki, tapi
debu yang tebal, tak dapat kami hindari. Kami melalui tanah-tanah
datar yang penuh ditumbuhi dengan Belukar lantana; sesudah itu melin-
tasi padang-padang rumput dengan kabesak dan Hue di mana berkeliar-
an ratusan ekor sapi.
Di beberapa tempat tumbuh sangat banyak pohon asam atau tambe-
ring (Tamarindus Indica). Karena kebanyakan pohon asam di sana,
maka daerah itu mendapat nama: Kiupukan (Bahasa Dawan), " K i u "
berarti asam " p u k a n " berarti kumpulan, Kiupukan berarti kumpulan
pohon asam.
Sesudah itu tampak pula di mana-mana belukar lantana.
Petugas Pertanian menceritakan kepada kami asal mulanya lantana
ini di Pulau Timor.

4. Sejarah Lantana di Timor


Menurut cerita orang pada zaman dahulu tidak ada lantana di Pulau
Timor. Pada tahun 1915 datanglah seorang Nyonya Belanda dari Jawa
membawa lantana itu dalam sebuah pot bunga. Lantana itu dipelihara-

80

PNRI
nya sebagai tanaman hiasan. Lama-kelamaan tersebarlah tumbuhan itu
ke tempat-tempat di sekitar Kupang.
Ada pula cerita yang menyatakan bahwa tersebarnya lantana di Pulau
Timor bukan saja disebabkan oleh perbuatan Nyonya Belanda itu, tetapi
oleh pemasukan sapi dari Jawa dan Bali yang mulai berlangsung pada
sekitar tahun 1912.
Sapi-sapi yang didatangkan dari Jawa dan Bali itu membawa serta
biji-biji lantana ke Pulau Timor. Bunganya kuning kemerah-merahan,
ada yang berwarna jingga dan ada pula yang berwarna putih. Buahnya
hitam kehijau-hijauan, manis rasanya dan dapat dimakan. Besar buah
lantana kira-kira sebesar biji kacang hijau; buah ini sangat digemari
burung. Dengan bantuan burung inilah lantana tersebar di seluruh Pulau
Timor, sehingga kini lebih kurang 30% dari Pulau Timor ditumbuhi
dengan tumbuhan itu.
Lantana berasal dari bahasa Latin: "Lantana Camaza". Orang Timor
menyebutnya Hau Kase. Hau, bahasa Dawan artinya kayu, Kase artinya
pendatang (Asing). Jadi Jau Kase, artinya kayu atau pohon yang
didatangkan dari luar Pulau Timor. Orang Belu menyebutnya Aifunan
Meak. Ai funan Meak bahasa Tetun, artinya: Pohon berbunga merah.
Di Jawa tumbuhan ini dikenal dengan pelbagai nama: Puyeng,
Telekan atau Inggu laut, di Singapura disebut bunga pagar atau kayu
Singapura.
Orang Timor pada umumnya suka berkebun atau berladang di
tempat-tempat yang ditumbuhi lantana.
Pertama, oleh karena di tempat-tempat, di mana lantana bersimera-
jalela sebagai tumbuhan tunggal dan merupakan suatu pertumbuhan
yang rapat sambung-menyambung sebagai jala, semua tumbuhan
bawahan yang memerlukan sinar matahari dan udara, misalnya berbagai
jenis rumput-rumputan mati.
Kedua, daun lantana yang gugur tiap-tiap tahun itu menjadi humus
yang menyuburkan tanah. Dalam musim kemarau, belukar-belukar lan-
tana itu ditebas, lalu dibiarkan sampai kering benar, kemudian dikerat-
kerat untuk membuat pagar dan sisanya dibakar.
Biasanya perkebunan atau perladangan di tempat-tempat lantana itu
hanya dikerjakan untuk masa 2 atau 3 tahun.
Sesudah itu petani mencari pula tempat baru untuk kebun atau
ladangnya. Cara mengerjakan ladang semacam ini, disebut "roofbouw"
atau perladangan liar. Bahaya perladangan liar ini sangat besar, ialah

TIMOR PULAU GUNUNG FATULEU 6 81

PNRI
hutan-hutan tertebas, tanah menjadi gundul, dan akibatnya terjadilah
erosi.
Agaknya para petani belum insaf benar akan bahaya ini, karena tam-
paknya mereka masih saja suka menebas hutan-hutan baru dan tetap
mengadakan perladangan liar, karena hasil yang dipungut memang jauh
lebih banyak dari hasil yang diperoleh dari tempat-tempat yang telah
dikerjakan 5 atau 6 tahun berturut-turut. Agaknya lantana di Timor
menjumpai tanah dan iklim yang sesuai benar dengan syarat-syarat tum-
buhnya, karena pada saat ini sudah dikenal dan kedapatan di seluruh
Pulau Timor. Adanya tumbuhan lantana di Timor membawa keun-
tungan, tetapi juga kerugian bagi Timor dan penduduknya.
— — Hal-hal yang menguntungkan
adalah:
a) Penduduk kaum tani yang
pandai menghargai dan me-
melihara kesuburan tanah pe-
rusahaan, melihat bahwa lan-
tana suatu belukar yang
sanggup m e n g a n u g e r a h k a n
mereka tanah ladang yang
baik dan subur, gampang
dikerjakan dan memberi peng-
hasilan yang memuaskan se-
lama 2 atau 3 tahun.
b) 30% dari Pulau Timor mem-
punyai tudung lantana ter-
hadap curah hujan yang deras
di atas tanah yang biasanya
membawa hanyut tanah yang
baik dan oleh karenanya me-
rusak struktur tanah.
Hutan Lantana tempat hewan bersem- c) T a n a h terhalang hanyutnya
bunyi dan menjadi liar. oleh adanya lantana serta oleh
ranting dan daunnya yang setiap tahun jatuh dan menimbulkan
lapisan humus yang tebal.
d) Dengan demikian persediaan dan peredaran air leratur oleh adanya
hutan lantana itu.
e) Sebagian besar tanah gundul, kembali ditumbuhi belukar lantana.

82

PNRI
Dengan bantuan burung-burung, sapi dan binatang-binatang lain
areal pertumbuhan lantana terus bertambah.
Sebaliknya hal yang merugikan adalah antara lain:
a) ± 30% dari tanah Pulau Timor yang ditumbuhi rumput untuk
makanan hewan hilang.
b) Belukar-belukar lantana yang begitu rapat dan berduri serta sukar
dimasuki orang, menjadi tempat bersembunyi hewan dan menjadi
liar.
c) Belukar-belukar lantana juga mematikan semua tumbuh-tumbuhan
di bawahnya yang berguna, misalnya pohon cendana dan lain-lain.
Hal-hal inilah yang menyebabkan masalah yang hangat antara
Dinas Kehutanan, Pertanian dan Tata Bumi di satu pihak dan Dinas
Kehewanan di lain pihak sejak sebelum perang dunia II. Dalam usaha
Pemerintah mempertinggi derajat dan tingkat kehidupan rakyat
Timor, timbul anjuran dari pihak para ahli untuk mengempang
serangan pertumbuhan "Lantana Camara". Ada yang menganjur-
kan untuk memberantasnya dengan memakai bahan-bahan kimia,
ada pula yang hendak memberantasnya secara biologis, yaitu dengan
melepaskan serangga atau kuman-kuman untuk mematikan lantana
itu.
Keduanya mempunyai alasan yang kuat. Pemberantasan dengan
memakai bahan-bahan kimia dapat diikuti dan diatur oleh manusia
sendiri: Luas dan baiknya pemberantasan itu tergantung dari kehen-
dak manusia pula. Lain soalnya bila pemberantasan itu diseleng-
gerakan secara biologis. Serangga-serangga dan kuman hidup di-
lepaskan untuk memberantas Lantana Camara. Bilamana serangga-
serangga dan kuman-kuman itu menemui syarat-syarat hidup suatu di
daerah, kuman-kuman itu berkembang baik dengan leluasa, maka
sulit sekali bagi kita manusia untuk menghalangi atau mengendalikan
pembiakan dan pemberantasannya. Selanjutnya banyak para ahli
khawatir, jangan sampai serangga atau kuman yang dilepaskan untuk
mencapai sesuatu maksud, di pihak lain merugikan kita. Misalnya,
bahwa serangga yang dilepaskan untuk pemberantasan lantana bukan
merusakkan dan menghambat tumbuhan Lantana Camara saja,
bahkan merusak tanaman-tanaman lain pula.
Atau karena banyaknya tersebar di tumbuhan-tumbuhan dan
tanaman-tanaman lain yang dimakan manusia dan hewan, meskipun
tak merusak tumbuh-tumbuhan lain itu, dapat mengakibatkan

83

PNRI
sesuatu penyakit yang dapat mengakibatkan kebinasaan atau
kesusahan kepada hewan atau orang yang memakannya tadi.
Untuk dapat mengatasi atau sedikit-dikitnya membatasi perluasan
pertumbuhan Lantana Camara lebih jauh di Timor telah terdapat
titik pertemuan di antara Dinas Kehutanan, Pertanian, Tata Bumi,
dan Kehewanan.
Pada sekitar tahun 1952 telah diadakan konperensi antara dinas-
dinas tersebut di Jakarta, yang dipimpin langsung oleh Sekretaris
Jenderal Departemen Pertanian.
Konperensi tersebut sudah mengambil beberapa keputusan dalam
soal pemberantasan Lantana Camara di Timor yang secara integral
akan dilaksanakan oleh semua dinas/jawatan yang bersangkutan.
Berdasarkan hasil konperensi tersebut, maka oleh Balai Besar
Penyelidikan Pertanian di Bogor telah didatangkan ke Timor seorang
ahli serangga (Entomologi), bangsa Amerika, yakni Dr. Edger
Dresner dengan membawa beberapa ekor serangga (kutu) untuk
memberantas lantana. Serangga itu bernama Teleonemia. Besarnya
hampir sebesar kutu manusia, mempunyai tiga pasang kaki, sepasang
sayap dan sepasang sungut yang jelas kelihatan. Kutu Teleonemia itu
hidup dari hijau-daun dan air yang ada pada tumbuhan lantana.
Bagian-bagian lantana yang sangat gemar dihinggapi kutu
Teleonemia ialah bunga, pucuk dan daun yang masih hijau. Karena
air dan zat-hijau daun itu habis diisap oleh Teleonemia dari bagian
yang menentukan mati hidupnya lantana dan bagian-bagian pem-
biakannya, maka daun lantana itu akan kering, pucuknya tak sang-
gup bertunas terus dan pembuahan dirusakkan sama sekali. Bagian-
bagian yang terjauh dari tanah perlahan-lahan akan menjadi kering.
Kekuatan tumbuhnya dipersulit. Dengan demikian tempat-tempat
Teleonemia dilepaskan, kita akan jumpai keadaan, bahwa:
a) Tumbuhan lantana akan tinggal tumbuhan yang ada saja dan pada
satu waktu akan musnah.
b) Tumbuhan lantana tidak mempunyai turunan. Bila toh mempunyai
turunan, maka tumbuhan lantana muda itu sangat lemah dan tidak
segar.
Proses ini, yakni dari saat Teleonemia dilepaskan sampai pada saat
lantana musnah, menurut pengalaman berlangsung lama dan berangsur-
angsur. Ternyata biarpun lantana sudah diserang oleh Teleonemia,
masih sanggup bertunas lagi pada bagian-bagian pangkal batang atau
bagian pucuk yang belum intensif diserang oleh kutu Teleonemia. Ber-

84

PNRI
dasarkan pengalaman, paling cepat sesudah 2 tahun barulah setumpuk
Lantana Camara betul-betul mati oleh serangga itu. Jika pada mulanya
penyebaran dan pengluasan daerah operasi Teleonemia, yang pem-
biakannya di Timor sangat subur dan cepat terjadi dengan lancar sekali,
kenyataan sekarang menunjukkan sesuatu yang lain. Sudah banyak pula
tumbuhan lantana yang masih berdaun, hijau lagi. Banyak tunas-tunas
muda yang keluar. Offensif yang diadakan oleh Teleonemia atas lantana
tampaknya sudah tidak mampu lagi. Agaknya Lantana Camara telah
sanggup memberikan perlawanan yang seru. Memang alam mempunyai
syarat-syarat yang optimum bagi Lantana Camara di Timor untuk tum-
buh.
Selain daripada itu bagian dasarnya lantana itu kuat sekali untuk ber-
tunas. Tetapi ada juga kemungkinan, bahwa sesudah beberapa lama
telah diperoleh sesuatu perimbangan alam (natuurlijk evenwicht) di
mana Lantana Camara dan kutu Teleonemia berhadap-hadapan dengan
kekuatan yang seimbang. Keadaan ini mungkin sejak beberapa tahun ini
sudah ada antara Lantana Camara dan kutu Teleonemia, karena tam-
paknya areal lantana makin menjadi besar, meskipun harus pula diakui
ada tempat-tempat di mana lantana sudah musnah sama sekali. Bila
perimbangan alam antara lantana dan Teleonemia itu sudah berlaku
demikian, maka bila kita tetap menghendaki, agar Lantana Camara ini
harus diberantas seluruhnya dari Pulau Timor, dengan sendirinya kita
harus berikhtiar mendapat sesuatu cara lain untuk memberantas lantana
ini. Tetapi jika kita benar hendak memusnahkan lantana ini dari Pulau
Timor, maka harus segera ada gantinya, jadi tidak menunggu kalau
sudah hancur lantananya baru memikirkan penggantinya. Hal ini perlu
guna mencegah bahaya erosi pada musim hujan.
Tanaman pengganti hendaknya mempunyai harga ekonomis yang
lebih tinggi dari Lantana Camara dan untuk ini mungkin sekali pohon
lamtoro-lah yang dapat dipakai sebagai pengganti yang terbaik, sebagai
kayu pagar dan kayu bakar. Lamtoro juga mempunyai daun yang lebat
dan akar yang kuat guna menutupi tanah dan melindunginya dari
bahaya erosi, serta dapat juga menyuburkan tanah."
Asyik mendengarkan cerita yang sangat menarik itu, tanpa diketahui
kami telah melalui dataran yang terletak di antara Kefamenanu dan
OElolok yang luasnya ± 2000 ha dan termasuk suatu daerah yang subur.
Tokoh yang sangat berjasa dalam mengusahakan pertanian di daerah
ini, ialah bekas Raja Insana, L. Taolin, melalui "Perserikatan Kemak-
muran Insana"nya. Pada umumnya dataran itu ditanami padi, jagung

85

PNRI
dan kacang-kacangan. Cara penduduk mengolah tanah sudah maju,
mereka telah mempergunakan alat-alat modern, seperti traktor dan ba-
jak.
Dataran luas yang kami lalui berikutnya adalah dataran Aroki ± 40 km
dari Atambua. Dataran ini pun subur, dan tampak sebagian sudah di-
usahakan baik oleh Missi Katholik, maupun oleh rakyat dalam
organisasi Ikatan Petani Pancasila. Sesudah melewati kebun jati yang
luas yang ditanami sejak sebelum Perang Dunia II, kami memasuki kota
Atambua, yang pada saat itu penuh sesak dengan pengungsi berasal dari
Timor Portugis.
Pada jam 7 malam tibalah kami di losmen "Sahabat" Atambua, di
mana kami berhasil memperoleh sebuah kamar kecil dengan 2 buah tem-
pat tidur. Sebenarnya kamar itu milik seorang petugas, tetapi karena
beliau kebetulan sedang bertugas ke Kupang untuk beberapa hari, maka
disetujuilah kami menyewanya untuk 2 hari, yaitu selama hari Sabtu dan
hari Minggu. Kami berencana untuk kembali ke Kupang dengan pesawat
pada hari Senin. Karena badan kami sangat lesu, maka sesudah makan
dan sesudah kami menghubungi Bupati Kepaia Daerah Belu melalui
telepon untuk meminta, agar beliau mau menerima kami pada keesokan
harinya, maka kami segera memasuki kamar losmen kami, lalu tidur
nyenyak.

5. Mengunjungi Para Pengungsi T i m o r Portugis di Kabupaten Belu

Esoknya hari Minggu, kota Atambua sangat ramai, berhubung


dengan banyaknya orang mengunjungi tempat-tempat kebaktian yang
terutama berpusat di Kathedral (Gereja Katholik) yang besar dan indah
di tengah-tengah kota. Juga terdapat sebuah Gereja Protestan, yang
penuh sesak pada waktu saya mengunjunginya. Selesai kebaktian kami
berdua mengunjungi Bupati di rumah kediaman beliau. Tampaknya
beliau sangat letih. Pemerintah dan rakyat Belu betul-betul kewalahan.
Daerah kami sudah dibanjiri oleh para pengungsi yang berpuluh ribu
jumlahnya," demikianlah ujar permulaan sang Bupati dan melanjutkan,
bahwa berdasarkan catatan resmi dari Panitia Penanggulangan dan Pe-
nampungan Pengungsi Timport (P3T) Dati II Belu, yang dipimpin
langsung oleh Bupati, pada akhir Oktober 1975 telah terdaftar ± 50.000
orang pengungsi yang tersebar di delapan belas lokasi di seluruh
Kabupaten. Bagian terbesar terdiri dari wanita dan anak-anak.
Para pengungsi dari Timor Portugis telah mengalir ke beberapa

86

PNRI
daerah, bahkan sampai melebihi jumlah penduduk setempat. Dengan
latar belakang ekonomi dan tingkat kehidupan rakyat Belu yang masih
tergolong miskin, keadaan ini mau tak mau menambah beban penderi-
taan masyarakat di sekelilingnya dan beban Pemerintah yang sudah
tidak dapat lagi dipikul sendiri. Tetapi syukur, spontanitas untuk mem-
bantu, baik dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi, maupun
dari masyarakat seluruh tanah air, nyata terlihat. Kecuali beras yang
t e r s e d i a c u k u p oleh P e m e r i n t a h , a n e k a r a g a m m a s a l a h
terpadu dalam satu situasi yang serba kekurangan, serba darurat: Pem-
bagian beras (400 gr seorang) dan jatah uang lauk-pauk (Rp 100,00)
seorang disediakan oleh Pemerintah; pengerahan team-team medis di
daerah dan dari pusat; penyediaan tempat-tempat penampungan darurat;
pengumpulan dana; penyaluran bantuan pakaian, susu, obat-obatan dan
sebagainya. Seluruhnya dilaksanakan secara bergotong-royong di bawah
koordinasi P3TDati II Belu dengan dibantu oleh PMI Pusat, PMI Daerah
dan PMI Kabupaten yang bekerja siang dan malamtanpa pamrih.

PMI membagi-bagi susu kepada para pengungsi Timtim.

Guna mengangkut bahan-bahan bantuan dan perbekalan dari Atam-


bua ke pelbagai lokasi penampungan pengungsi, dibutuhkan sejumlah
alat-alat angkutan yang harus menjamin kelancarannya. Dengan
persediaan kendaraan yang sangat terbatas dari Pemerintah Belu, dalam
keadaan mendesak, Panitia P3T terpaksa harus meminjam truk-truk

87

PNRI
milik para pedagang di Atambua. Hal ini mengandung risiko tergang-
gunya kelancaran lalu-lintas perdagangan, yang apabila berkepan-
jangan, bukan mustahil akan berpengaruh terhadap kenaikan harga-
harga di daerah Kabupaten Belu dan sekitarnya. Memang ada sejumlah
kendaraan yang dibawa masuk oleh para pengungsi ke daerah per-
batasan.
Sebagian secara sukarela dipinjamkan kepada Pemerintah untuk
mengangkut perbekalan ke lokasi pengungsi, tetapi sebagian besar
kini berada dalam keadaan tidak berjalan, karena kerusakan atau ketia-
daan "Spare-parts". Hal itu tengah diusahakan untuk mendapatkan
bantuan spare-parts dari berbagai instansi."
Bupati Belu menyatakan kekhawatirannya menghadapi musim hujan
yang sudah berada di ambang pintu. Dalam menantang kedinginan alam
tanpa naungan yang layak untuk berteduh dengan pakaian yang tidak
mencukupi, sungguh akan menjadi perjuangan fisik yang maha berat
bagi berpuluh ribu pengungsi tersebut. Masalah kebersihan dan
kesehatan cenderung menimbulkan kekhawatiran akan berkecamuknya
wabah seperti malaria dan kholera. Dari segi permasalahan tersebutlah,
maka kebutuhan mendesak, agar di dalam kerangka program bantuan,
perlu ditetapkan menurut urutan prioritas sebagai berikut:
a) penyediaan makanan dan pakaian
b) pengobatan dan penanggulangan masalah-masalah kesehatan
c) pembinaan rohani, mental dan jasmani, termasuk usaha-usaha pengi-
sian waktu terluang dalam kegiatan-kegiatan yang produktif
d) penyediaan tempat-tempat penampungan yang memadai dengan
kebutuhan sanitasi.
Namun pemecahan masalahnya tidak sesederhana yang tercantum di
atas, mengingat keterbatasan unsur penunjang yang saling kait-mengait,
seperti sumber pembiayaan, bahan-bahan perlengkapan dan peralatan,
tenaga pelaksana dan prasarana perhubungan dan angkutan.
Dari segi waktunya, adalah naif untuk berpikir, bahwa para pengungsi
akan segera pulang ke kampung halaman masing-masing sebelum terca-
painya penyelesaian politis di Timor Portugis dan terciptanya keadaan
yang menjamin keamanan mereka. Mungkin lain bagi sejumlah tenaga
potensiil yang muda-muda bila sewaktu-waktu dibutuhkan tenaga
mereka untuk mengisi kekosongan dan mempertahankan daerah-daerah
yang telah direbut kembali dan dikuasai sepenuhnya oleh pasukan
Apodeti/UDT.

88

PNRI
Bupati akhirnya menambahkan uraiannya dengan menceritakan
beberapa kisah sedih yang terjadi oleh keganasan gerombolan Fretelin
yang antara lain memakai anak-anak dan wanita sebagai perisai dalam
mengadakan berbagai serangan. Anak-anak dan wanita dipaksa berjalan
di muka pasukan mereka untuk menyerang kubu pertahanan lawan.
Siapa yang tidak mau maju, ditembak dari belakang.
Terang saja pasukan Apodeti/UDT yang melihat anak, istri, saudara
mereka berjejal-jejal datang mendekati mereka, tidak sampai hati untuk
menembak dan terpaksa mengundurkan diri. Tetapi sering juga terjadi
pertempuran dan tembak-menembak, dengan akibat yang menyedihkan,
bahwa darah dari mereka yang tidak bersalah mengalir, mayat anak-
anak dan wanita yang dihalau dari belakang bergelimpangan semuanya
dan dipakai sebagai perisai hidup oleh gerombolan Fretelin. Para
rohaniawan pria dan wanita dipukul, dikejar, dan ada yang dinodai
kehormatannya di muka umum. Istri dan anak-anak wanita orang
Apodeti/UDT diperlakukan kejam, dibunuh, diperkosa di hadapan
umum.
Dengan mata yang kabur dan dengan suara yang serak Bupati
mengakhiri dengan kata-kata, "Hanya Tuhan yang tahu berapa banyak
lagi kisah tragis yang dialami oleh saudara sebangsa seketurunan kita di
seberang perbatasan ini."
Beliau mengajak kami untuk mengadakan kunjungan ke beberapa
pusat penampungan. Malahan ditawarkannya Sebuah kendaraan kepada
kami untuk mengunjungi pusat pengungsi di luar kota dekat perbatasan.
"Sesungguhnya kami sangat ingin melihat dengan mata kepala sendiri
dan bertemu muka dengan para pengungsi di tempat-tempat dekat per-
batasan itu, tetapi waktu kami hanya terbatas sampai esok pagi. Kami
harus kembali dengan pesawat Merpati yang hari Senin tiba di
Atambua," kata kami.
" O , mungkin sekali pesawat Twin Otter Merpati menunda
kedatangannya ke mari untuk 24 jam. Saya dengar hal ini tadi pagi di
Gereja," kata Bupati.
"Kalau memang demikian halnya kami dengan segala suka cita mau
mengunjungi pusat-pusat pengungsi, seperti Weidomu, Haikesak dan
Boilalu, di mana terdapat sekitar 20.000 orang pengungsi."
"Baiklah," kata Bupati, saya akan suruh siapkan sebuah kendaraan
yang baik dan seorang sopir yang berpengalaman untuk Saudara-
saudara berangkat besok pagi. Sekarang pergunakanlah jeep saya untuk
berkunjung ke beberapa tempat penampungan di dalam kota."



PNRI
Anggota Korps Suka Rela PM1. NTT membawa barang-barang Relief untuk dibagi-bagikan
kepada Para Pengungsi Tim-Tim.

Dengan diantar oleh petugas Humas Kabupaten Belu kami mengun-


jungi gedung SMA, Taman Kanak-kanak, SD Kristen, SD Katholik di
km 3, SD Katholik di Nenuk dan SD Haliwen. Semuanya penuh sesak,
sekitar 12.000 orang pengungsi ditampung di gedung-gedung sekolah
tersebut.
Untuk sementara waktu semua sekolah di dalam kota diliburkan,"
kata petugas itu kepada kami.
Di salah suatu lokasi kami mendekati seorang ibu muda yang dengan
muka murung sedang memomong bayi di pangkuannya. Agaknya ia
sedang merenung nasib malang yang menimpanya.
Sesudah diajak berbicara ia menceritakan dengan hati pilu.
"Ayah dan ibuku terbunuh, anak yang tertua berumur 10 tahun
hilang dalam massa manusia yang melarikan diri, suamiku terpisah, en-
tah di mana gerangan ia sekarang. Satu-satunya milikku yang terbawa
hanya bayi empat bulan yang kugendong sambil berjalan kaki dari Dilli
ke Atambua melalui jarak sekitar 200 k m . "
Ia menangis tersedu-sedu, kami turut merasakan duka-citanya.
Kawan saya mengeluarkan uang Rp 2.000,- dari sakunya dan meletak-
kannya di atas pangkuan ibu yang dirundung malang karena kekejaman
Fretelin itu.


PNRI
Kami kembali ke tempat penginapan kami dengan rasa terharu atas
keadaan menyedihkan yang kami lihat dan jumpai pada ribuan
pengungsi yang sebagian terbesar terdiri dari wanita dan anak-anak itu.
Pada malam harinya, melalui RRI Studio Kupang kami mendengar
berita tentang penundaan kedatangan pesawat Merpati selama 24 jam,
sehingga dengan demikian kami memperoleh kesempatan untuk
mengunjungi pusat-pusat pengungsian yang lebih besar di daerah per-
batasan. Kami memasuki sebuah warung makan Cina, di mana 5 atau 6
orang peranakan Portugis sedang duduk-duduk minum bir. Mereka ter-
nyata adalah pemilik-pemilik kebun kopi yang kaya di wilayah Ermera,
yang sempat melarikan diri ke Atambua dengan kendaraan-kendaraan
mereka. Sambil menyuguhkan rokok yang ada pada kami, kami menga-
jak mereka bercakap-cakap. Dalam bahasa Inggeris yang "jatuh-
bangun" mereka menceritakan keadaan mereka.
Ermera, sebuah Councelho (Kabupaten) tersubur, di ketinggian 1000
m lebih, penuh dengan sawah dan kebun kopi ribuan hektar. Oleh
kesuburan wilayah ini, maka Fretelin agaknya mau mempertahankannya
mati-matian. Itulah yang menyebabkan sebagian kota Ermera telah
menjadi puing peperangan. Tidak lupa pula diceritakannya mengenai
kekejaman dan sifat-sifat kebinatangan yang tidak mengenai
perikemanusiaan dari gerombolan Fretelin.
Mereka bersyukur kepada Tuhan dapat menyingkir pada waktunya
dan sangat berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia yang telah
menampung mereka di kota Atambua ini.
Sesudah memajukan berbagai-bagai pertanyaan mengenai keadaan
kota Bobonaru, Maliana, Atsabe dan Atabai, dan tempat-tempat lain
yang terletak dalam Councelho Ermera, kami kembali ke penginapan,
beristirahat guna mempersiapkan diri untuk perjalanan ke perbatasan
pada esok harinya.
Pagi-pagi hari Senin sebuah jeep daerah bersama petugas Humas
Kabupaten Belu dan seorang petugas PMI menjemput kami.
Kami menempuh jalan yang berbatu-batu lagi terjal, melalui lima
buah sungai yang lebar-lebar tanpa jembatan, mencapai pegunungan
yang tandus penuh dengan batu-batu karang.
Setiap orang yang melihat keadaan ini pasti tercekam kecemasan akan
bahaya banjir pada musim hujan, yang dapat mengakibatkan ter-
putusnya sewaktu-waktu jalan hubungan darat antara Atambua dengan
daerah-daerah pegunungan Haikesak dan Builalu yang justru menam-
pung lebih dari 17.000 orang pengungsi. Kami tiba di Haikesak, pada



PNRI
jarak ± 50 km dari Atambua yang kami tempuh dalam waktu lebih dari 3
jam.
Dari atas gunung, sebelum memasuki desa tersebut telah tampak lem-
bah Haikesak yang hanya terpisahkan oleh sebuah sungai yang lebar dari
dataran yang terbentang luas sampai ke Maliana/Bobonaru di Wilayah
Timor Portugis. Di lapangan, di mana terdapat beberapa los panjang
yang baru didirikan oleh Pemerintah untuk para pengungsi, tampak
manusia bagaikan semut.
11.000 orang pengungsi berada di tempat ini. Dapat dibayangkan,
kesulitan yang dihadapi oleh desa Haekesak yang berpenduduk hanya
sebanyak ± 2000 orang, seolah-olah telah diserbu oleh 11.000 pengungsi,
yang sama halnya seperti di mana-mana, sebagian terbesar terdiri dari
wanita dan anak-anak. Pada siang dan malam hari desa Haikesak
bagaikan pasar, dan oleh karena perumahan yang ada tidak mencukupi,
di antara beberapa kelompok pengungsi ada yang berlindung dan tidur
di bawah pohon-pohon.
Anggota Palang Merah Indonesia, yang membawa serta beberapa
karung pakaian bekas, membagi-bagikannya kepada para pengungsi
atas petunjuk dan kerja sama dengan Kepaia Desa Haikesak.
Kami mengunjungi Pos Palang Merah Indonesia yang sengaja
didirikan agak jauh dari pusat pengungsi, di lereng bukit sebelah selatan,
dekat mata air yang sejuk. Dari Dokter Palang Merah Indonesia yang
bertugas, kami memperoleh keterangan, bahwa penyakit yang banyak
terdapat pada para pengungsi adalah busung lapar, malaria dan tbc.
Setiap hari 400 atau 500 orang mengunjungi Pos Palang Merah Indo-
nesia, sehingga 2 dokter dan 4 jururawat yang ada benar-benar cukup
repot. Syukur bahwa mereka mempunyai cukup persediaan obat-
obatan.
Di samping mengurus kesehatan, kedua dokter juga memanfaatkan
waktunya dengan memberi pelajaran kepada anak-anak mengungsi,
mengajar mereka bernyanyi lagu Indonesia.
Ternyata, bahwa desa Haikesak di sebelah utara hanya berada 1 km
dan di sebelah timur 3 km dari perbatasan Timport. Kepada penjaga
keamanan yang ada, kami menanyakan tentang keadaan keamanan di
pusat pengungsian ini.
"Hingga saat ini tetap aman, tapi kami terlalu dekat dengan per-
batasan, sehingga kami senantiasa harus waspada. Sering patroli mereka
berdatangan sampai ke garis perbatasan, demikian pun kami, sehingga
kadang-kadang kami berada pada jarak 100 atau 200 meter satu dari



PNRI
yang lain, tetapi oleh karena mereka tidak mengganggu kami, kami pun
tidak mengganggu mereka."
Kami meninggalkan Haikesak menuju ke Builalu. Keadaan di desa ini
pun sama dengan di Haikesak. Desa kecil ini penuh sesak dengan
pengungsi yang berjumlah sekitar 6.000 orang. Baik Kepala Desa
Haikesak, maupun Kepala Desa Builalu menyatakan kekhawatiran
mereka dalam hal membawa dan mengangkut makanan ke sana. Meski-
pun musim hujan belum tiba, tapi oleh karena sangat rusaknya jalan ke
sana, mereka sudah sering mengalami kekurangan jatah beras untuk
dibagi-bagikan kepada para pengungsi yang sekian banyaknya.
Persediaan bahan makanan pada rakyat desa sudah habis seluruhnya
dipakai untuk membantu para pengungsi pada hari-hari pertama mereka
tiba. Hal ini pun akan merupakan suatu masalah sosial yang rumit,
karena pembagian beras yang diadakan oleh P3T hanya dilakukan
kepada para pengungsi, sedangkan rakyat yang persediaan makanannya
habis diberikan kepada para pengungsi pada hari-hari pertama (dan juga
tidak sempat mengerjakan kebun ladangnya, karena terpaksa harus mem-
bantu para pengungsi yang sekian banyak) tidak dapat memenuhi ke-
butuhan hidup mereka sehari-hari. Oleh pihak Palang Merah Indonesia
telah diusulkan kepada Pemerintah Kabupaten dan kepada P3T, agar
rakyat di pusat-pusat pengungsian yang besar-besar itu, seperti di
Haikesak, Builalu, Weidomu diikutsertakan dalam pembagian beras
yang diadakan.
Sebab sungguh agak aneh, bila rakyat yang begitu banyak telah
berkorban untuk membantu para pengungsi, mereka sendiri harus
menderita kelaparan oleh karena tiada makanan ataupun kehabisan
persediaan makanannya.
Kami meninggalkan Builalu dan kembali ke Lahurus, pusat Misi
Katholik di wilayah itu. Hujan mulai turun dengan derasnya. Petugas
Kabupaten dan Anggota Palang Merah Indonesia meminta, agar kami
lekas-lekas berangkat, karena khawatir jangan-jangan kami nanti
terserang banjir, atau tak dapat melintasi sungai-sungai yang lebar itu.
Kami terpontang-panting pula dalam jeep pada jalan yang berbatu, licin
dan sangat berbahaya itu. Satu demi satu dari sungai yang lebar-lebar itu
kami lalui tanpa mengalami sesuatu rintangan. Tampaknya di hulu
sungai hujan belum lebat, sehingga kami terhindar dari bahaya banjir
besar, yang biasanya datang secara tiba-tiba.
Kami menyinggahi desa Weidomu yang hanya terletak ± 14 km dari
Atambua pada suatu dataran kecil yang indah dikelilingi bukit-bukit,



PNRI
yang baru saja dijadikan desa "setlemen" baru oleh Pemerintah. Di
tempat ini terdapat ± 3000 orang pengungsi dengan sebuah pos PMI yang
dipimpin oleh seorang dokter dan dua o r a n g perawat. Letak tempat ini
pun tidak jauh dari perbatasan dan oleh karena rakyat di sekitarnya
cukup makmur, maka daerah ini sering menjadi sasaran perampokan
dan penggarongan oleh sisa-sisa gerombolan Fretelin.
Gerombolan Fretelin datang dengan jumlah ratusan orang bersenjata
lengkap memasuki desa menembak mati beberapa orang rakyat,
mengusir mereka ke luar desa, membakar rumah-rumah dan meng-
garong makanan dan hewan rakyat setempat.
Untuk menjamin keamanan rakyat dan para pengungsi, Pemerintah
kabupaten di sana telah menempatkan tenaga tempur Hansip/Wanra.
Hujan terus turun dengan derasnya. Karena masih ada dua buah
sungai yang harus kami lalui, kami segera berpisah dengan para dokter
dan camat, dan melanjutkan perjalanan kami ke Atambua. Air sungai
Atambua yang terakhir harus kami lalui, sudah tampak tinggi dan deras,
namun jeep kami dapat menyeberanginya dengan selamat dan kami tiba
kembali sekitar jam 6 sore di losmen. Malamnya kami diundang makan.
di rumah Bupati, sambil menceritakan pengalaman kami yang cukup
berkesan dalam mengunjungi berbagai pusat pengungsian di dalam dan
di luar kota.

Meliwati sungai yang sedang banjir menuju salah sebuah tempat pengungsi Tim-Tim.



PNRI
guna melayani seluruh operasi penerbangan yang memang sudah cukup
ramai. Kami memasuki gedung terminal yang sedang diperbesar atas
biaya Pemerintah Daerah, untuk menampung arus pengunjung di Air-
port. Dengan menyewa sebuah Colt yang ada di Penfui kami berangkat
ke kota dan kembali memasuki Wisma Flobamor.
Waktu itu kami masih mempunyai kesempatan beberapa hari di kota
Kupang guna menghubungi beberapa orang tokoh Timor di Kupang, un-
tuk mendapatkan bahan-bahan tambahan, dalam rangka memperkaya
pengetahuan kami dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Pulau
Timor.
Bekas Raja Kupang, Bapak A. Nisnoni bersama istrinya, Ibu A. Nis-
noni-Amalo-Jawa, seorang tokoh kesenian dan kebudayaan Timor yang
dalam tahun 1975 terpilih sebagai Ibu Teladan Tingkat Nasional,
Saudara I. Toto, seorang penulis yang umumnya terkenal sebagai se-
orang yang banyak mengetahui tentang sejarah Pulau Timor, Pimpinan
Gereja GMIT, Pimpinan Departemen Pendidikan Nusa Tenggara Ti-
mur, Ketua DPRD Tingkat I Nusa Tenggara Timur dan akhirnya Guber-
nur Kepala Daerah Dati I Nusa Tenggara Timur, Bapak El Tari sendiri
dengan segala senang hati menerima kami.
Dari hasil kunjungan kepada tokoh-tokoh tersebut dapatlah pula
kami menambah pengetahuan kami tentang Pulau Timor ini.



PNRI
Sesudah larut malam baru kami kembali ke losmen dan karena sangat
lelah oleh perjalanan sehari suntuk kami segera tertidur nyenyak.

6. Dengan Twin Otter MNA dari Haliwen Pelabuhan Udara Kabupaten


Belu
Keesokan harinya sesudah menyelesaikan urusan tiket di Kantor Mer-
pati dan minta diri kepada Bupati, kami berangkat ke Haliwen,
lapangan terbang Atambua yang terletak ± 5 km dari kota Atambua.
Pesawat Merpati, sebuah Twin-Otter mendarat pada jam 09.30, dan
setengah jam kemudian pesawat itu sudah berada pula di udara. Waktu
terbang dari Atambua ke Kupang hanya ± 45 menit. Dari Assisten
Manager Merpati yang kebetulan berada dalam pesawat, kami men-
dengar kabar, bahwa kegiatan lalu-lintas penerbangan yang dilaksana-
kan oleh Merpati agak menurun, dengan dihentikannya sama sekali
penerbangan ke Dilli (Timor Portugis) dan Darwin (Australia).
Namun perusahaan-perusahaan penerbangan (PN Garuda, PN Mer-
pati, Zamrud) yang bergerak di Nusa Tenggara Timur telah berhasil
menstimulir masyarakat menjadi "airminded". Pada umumnya ke-
giatan lalu-lintas udara yang tinggi di satu negara atau daerah dapat
dipakai sebagai barometer (ukuran) mengenai tinggi rendahnya pen-
dapatan masyarakat Negara atau daerah yang bersangkutan.
Hingga saat ini di samping lapangan terbang yang sudah ada (Kupang,
Maumere dan Waingapu) atas bantuan Dit. Jen. Perhubungan dan
swadaya Masyarakat setempat telah dibangun lapangan-lapangan Perin-
tis di hampir semua kabupaten se-Nusa Tenggara Timur.
Dengan selesainya semua lapangan Perintis itu, kegiatan Twin Otter
telah dapat menunjang hubungan komunikasi antar daerah yang lebih
cepat. Hal ini benar-benar telah dapat dirasakan manfaatnya oleh Bank,
Pos, dan lain-lain, tetapi terutama oleh Urusan Pemerintahan, yang
menyebabkan hubungan daerah-daerah kabupaten ke Ibukota Propinsi
telah dilaksanakan dalam jangka satu hari.
Selain kegiatan Twin Otter di seluruh Propinsi Nusa Tenggara Timur,
pesawat Hawker Siddly 748 dari MNA dan pesawat F 28 dari GIA telah
mencover pula hubungan ke Denpasar-Surabaya-Jakarta masing-masing
6 kali seminggu.
Tanpa disadari kami sudah tiba di lapangan Penfui, yang terletak 14
km dari kota Kupang. Pesawat Twin Otter kami mendarat dengan aman
di atas landasan baru yang telah di "upgrade". Tampak dari jauh
Komunikasi Tower yang baru, diperlengkapi dengan aiat-alat modern,


PNRI
B A B VI

PENDIDIKAN, SOSIAL, K E B U D A Y A A N , D A N SENI

1. Pendidikan
Hasil-hasil yang dicapai di bidang pendidikan di Pulau Timor sungguh
menunjukkan suatu kemajuan yang pesat sekali, jika dibandingkan
dengan keadaan di zaman Kolonial Belanda dan pendudukan Jepang.
Sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Hindia Belan-
da bersifat kolonial, karena dasar dan tujuannya tidak disesuaikan
dengan kebutuhan bangsa kita, melainkan dengan apa yang diperlukan
untuk kelancaran dan kelangsungan Pemerintah Kolonial atas wilayah
Tanah Air kita.
Pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada segolongan kecil
bangsa Indonesia di Pulau Timor dan yang dimaksudkan, untuk melatih
kader tenaga murah menjalankan roda Pemerintahan sebagai pembantu
pemerintah penjajahan, diberikan pada sebuah "Holands Inlandse
School" (HIS) Negeri yang dalam tahun 1925 ditutup dan kemudian
diganti dengan sebuah HIS (Kristen) dan sebuah "Schakelschool".
Sebuah Europese Lagere School" sudah lama berada di kota Kupang.
Sedang pengajaran kepada rakyat jelata, yang sekedar memberikan
dasar-dasar kepandaian membaca dan menulis, diberikan pada
"Volksscholen" (Sekolah-sekolah Desa), yang lamanya hanya 3 tahun
dan pada satu atau dua "Vervolgscholen" (Sekolah Sambungan).
Isi pendidikan bersifat berat sebelah: intelektualistis, verbalistis,
sedangkan melalui suasana pendidikan dan perbagai mata pelajaran
ditanamkan rasa rendah diri terhadap bangsa penjajah. Tujuannya ada-

TIMOR PULAU GUNUNG FATULEU 10




PNRI
lah memang untuk menanamkan semangat budak dalam jiwa bangsa
kita, serta memupuk perpecahan dan pertentangan antara suku dan an-
tara daerah sesuai dengan siasat "devide et impera" tiap pemerintah
kolonial. Dengan demikian Pemerintah Hindia Belanda berhasil mem-
produksi dan membentuk sejenis golongan elite di kalangan bangsa
Indonesia, yang bukan saja mirip jalan pikirannya dengan jalan pikiran
si penjajah, tetapi terlebih-lebih manusia-manusia yang setia, sehidup-
semati kepada sang "Merah-Putih-Biru" dan oleh karenanya sangat
sukar dipersatukan menjadi satu bangsa, disebabkan terpeliharanya sen-
timen kesukuan dan kedaerahan masing-masing.
Sekolah-sekolah Lanjutan dan Kejuruan tidak ada sebuah pun, se-
hingga mereka yang ingin melanjutkan pelajarannya harus pergi ke
Jawa, Sulawesi dan Maluku.
Khusus mengenai Lembaga Pendidikan yang disebut "Volksscholen"
dapat dicatat, bahwa di tiap-tiap Landschap atau daerah Swapraja
dibuka Sekolah Rakyat 3 tahun, yang disebut "Volksschool". Pada
hakikatnya sekolah ini berstatus Sekolah Negeri, karena didirikan oleh
Landschap atau daerah Swapraja, akan tetapi karena pengelolaan dan
penyelenggaraannya diserahkan kepada Badan Koperasi Gereja (Katho-
lik, Zending dan Indische Kerk) maka statusnya berubah menjadi Seko-
lah-sekolah Swasta, dengan memperoleh sekedar Subsidi dari Peme-
rintah. Pembiayaan sekolah-sekolah itu dilakukan melalui 2 cara yaitu:
— Mendapat sekedar bantuan dari Pemerintah Hindia Belanda.
— mendapat sumbangan dari rakyat melalui opcenten-opcenten atas pa-
jak pendapatan, sedang pembuatan bangunan-bangunan untuk ge-
dung sekolah, rumah guru, asrama murid dibebankan seluruhnya ke-
pada rakyat, pekerjaan mana dilakukan dalam bentuk kerja tanpa
bayaran.
Maklumlah kita betapa besarnya kekuatan ekonomis rakyat desa, se-
hingga mudah pula kita bayangkan, betapa sangat lambatnya sekolah-
sekolah itu bertambah dan berkembang.

a. Di masa pendudukan Jepang


Selama masa pendudukan Jepang, dari permulaan tahun 1942 sampai
dengan akhir Agustus 1945, tidak terdapat perubahan atas politik pen-
didikan dan pengajaran. Sekolah-sekolah lama dibuka untuk kepen-
tingan Jepang. Di samping pembukaan satu atau dua buah seko-
lah/kursus untuk melatih tenaga-tenaga yang dibutuhkan, misalnya

114

PNRI
sekolah pertanian, sekolah agen polisi, praktis tidak ada pendirian
sekolah baru.

Sekolah agen Polisi di Timor pada masa pendudukan Jepang.

Penghapusan bahasa Belanda dan penggunaan bahasa Indonesia di


semua sekolah, tanpa disadari oleh penguasa Jepang telah menimbulkan
rasa percaya akan harta kebudayaan sendiri.
Demikian juga telah dibangkitkan dan dihidupkan pula tenaga yang
terpendam dalam bangsa dan bahasa Indonesia yang selama penjajahan
Belanda selalu tertekan hidupnya.
Kepercayaan atas tenaga diri sendiri, pengalaman pahit-getir serta
jerih payah yang telah diperoleh selama penjajahan Jepang yang singkat
itu, telah merupakan modal pangkal yang tak ternilai harganya bagi
dunia pendidikan dan pengajaran kita pada permulaan kemerdekaan.

b. Keadaan sesudah Proklamasi


Pasukan Australia di bawah komando Jenderal Sir Thomas Blarney,
yang mendarat di Pulau Timor pada tanggal 11 September 1945, telah
dibuntuti oleh pasukan Belanda yang tergabung dalam NICA (Nether-
lands Indies Civil Affairs) dan yang telah mengambil alih seluruh
pemerintahan sipil di Pulau Timor. Terjadilah perubahan di dunia
pengajaran terutama yang mengenai kedudukan Sekolah-sekolah Swasta
dan Subsidi.



PNRI
Karena para Penguasa Sekolah-sekolah Swasta yaitu Korporasi-
korporasi Gereja belum sanggup menjalankan tugasnya seperti pada
sebelum masa Perang Dunia II, maka oleh Pemerintah NICA telah di-
ambil alih sekolah-sekolah Swasta itu dan dimasukkan dalam "ikatan
pool" dan diperlakukan sebagai Sekolah-sekolah Negeri.
Pengangkatan, pemindahan, pemberhentian guru-guru serta pem-
biayaan sekolah-sekolah " P o o l " dilakukan oleh Pemerintah NICA mes-
kipun statusnya diakui sebagai Sekolah Swasta.
Dalam suasana meluap-luapnya semangat rakyat di seluruh Tanah Air
untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945, timbullah keinginan di mana-mana untuk me-
ninggikan pengetahuan rakyat melalui pembinaan pendidikan yang
serasi. Juga di Timor rakyat mulai sadar dan merasa tidak puas lagi
apabila pendidikan anak-anaknya hanya berakhir sampai di klas III,
mereka ingin meningkat ke klas VI, malahan di mana-mana timbul ke-
inginan untuk mendirikan sekolah-sekolah lanjutan.
Di mana Pemerintah belum mengadakan usaha-usaha yang positif ke
arah itu, prakarsa diambil oleh para pemuka masyarakat yang berjiwa
nasional-progresif untuk membentuk panitia guna mendirikan sekolah-
sekolah lanjutan yang dikehendaki oleh masyarakat.
Tampak pada mulanya perbedaan sistem di Daerah Republik dengan
yang berlaku di daerah pendudukan. Pembagian 6 tahun + 3 tahun + 3
tahun untuk sekolah dasar dan sekolah-sekolah menenga'n di daerah
Republik berbeda dengan daerah pendudukan yang mempergunakan
sistem 6 tahun + 2 tahun + 2 tahun + 2 tahun, yang 2 tahun terakhir
sebagai persiapan ke Perguruan Tinggi.
Juga mengenai isinya terdapat perbedaan yang amat besar. Jika di
sekolah-sekolah di daerah Republik telah menjuruskan pendidikannya
ke arah tujuan yang tercantum dalam UUD 1945 dan yang kemudian
lebih diperinci dalam UU Pokok Pendidikan No. 4 tahun 1950, yang
keseluruhannya didasarkan pada Pancasila, maka hal itu belum tampak
di daerah pendudukan Belanda.
Dalam pada itu perlu dikemukakan suatu gejala yang belum pernah
nampak pada masa sebelum perang dan mungkin mulai mendapat pe-
rangsangnya dalam masa pendudukan Jepang, serta yang mungkin men-
jadi lebih kuat sejak Proklamasi dan pengakuan kedaulatan Indonesia.
Gejala itu ialah keinginan rakyat akan pengajaran dan pendidikan
sekolah, dan gejala ini mendapat tugas yang dihadapi oleh Pemerintah



PNRI
Republik Indonesia di lapangan pendidikan menjadi lebih berat
daripada yang pernah dihadapi oleh Pemerintah Kolonial, yaitu:
a. Untuk memenuhi keinginan rakyat umum akan pengajaran dan pen-
didikan dan
b. Menyesuaikan sistem dan struktur pengajaran dan pendidikan
kepada cita-cita bangsa Indonesia, yang sedang mengalami pergo-
lakan, karena perubahan status untuk menempatkan kedudukannya
sebagai suatu bangsa yang merdeka di antara keluarga bangsa-bangsa
di dunia ini.

Murid-murid Taman Kanak-kanak turut meriahkan hari Kanak-kanak sedunia.

Sudah barang tentu kedua gejala baru yang disebut ini berlumba-
lumba mendapatkan prioritas untuk penyelesaiannya. Tak dapat di-
ingkari, bahwa Pemerintah selalu berusaha memberikan perimbangan
yang wajar kepada kedua unsur tersebut. Tetapi karena unsur pertama
lebih mudah mencapai pelaksanaannya, pada hal unsur kedua menuntut
perubahan mentaliteit masyarakat dari suasana alam penjajahan ke
suasana alam jiwa merdeka, maka kelihatannya seakan-akan tidak ada
perubahan mengenai isi dan tujuan rencana pelajaran. Namun selangkah
demi selangkah telah diusahakan pembentukan suatu organisasi untuk
membina pendidikan dan pengajaran bagi bangsa Indonesia menurut
yang dicita-citakan.

11

PNRI
c. Masa sesudah 17 Agustus 1950
Setelah seluruh Bangsa Indonesia berhasil melikwidasi Negara
Republik Indonesia Serikat dan kembali kepada keutuhan Negara Kesa-
tuan Republik Indonesia, maka UU Pokok Pendidikan No. 4 tahun 1950
berlakulah secara defacto untuk seluruh Tanah Air, dan baru pada tang-
gal 27 Januari 1954 UU tersebut dirubah menjadi UU Pokok Pendidikan
No. 12 tahun 1954 dan dinyatakan de facto dan de jure berlaku untuk
seluruh Republik Indonesia. UU Pokok ini menetapkan dasar-dasar
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran mulai dari Sekolah Rakyat
(Sekolah Dasar) sampai Perguruan Tinggi.
Pada masa ini mulailah kelihatan usaha perkembangan dan perbaikan
dalam tiap-tiap bagian pengajaran sekolah. Perkembangan ini meliputi
suatu lapangan yang amat luas, baik yang berkenaan dengan Pengajaran
Rendah, maupun Pengajaran Menengah dan Perguruan Tinggi.

Kepada orang-orang atau pun


badan-badan diberikan kelelu-
asaan untuk mendirikan sekolah,
tetapi khusus di Timor tidak ada
lagi Badan Swasta yang diberi
hak monopoli seperti terjadi
pada zaman Pemerintah Kolonial
dengan Timor Flores, dan Sumba
kontraknya.
Di samping Pemerintah, Ya-
yasan-yayasan Swasta yang ber-
badan hukum dan panitia-pani-
tia yang direstui oleh Pemerintah
diberikan kesempatan untuk tu-
rut berpartisipasi dalam mendiri-
kan dan membina sekolah-se-
kolah.
Hambatan atau larangan se-
perti yang pernah dialami pada
zaman Pemerintah Kolonial
Usaha men- demokratisering" Pendidik-
an dan Pengajaran dijalankan diseluruh
sudah tidak ada lagi. Sekolah-
Tanah Air. sekolah yang didirikan tidak lagi
dicap sebagai sekolah liar, tetapi
memperoleh kedudukan sebagai Sekolah Swasta Nasiona! yang dapat

11

PNRI
diberi subsidi dan bantuan, jika memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
Langkah pertama yang diambil adalah membantu perkembangan si
anak ke arah yang dikehendaki oleh cita-cita Pancasila sebagai yang
diuraikan dalam pasal 3 dan 4 UU Pokok Pendidikan No. 4 tahun 1950.
Dan agar pengertian itu menjadi milik semua petugas di lapangan pen-
didikan, maka diadakanlah konperensi-konperensi kerja, upgrading dan
"inservice-training" bagi semua petugas teras dari seluruh Indonesia.
Di samping penyusunan Rencana Pelajaran terurai bagi semua jenis
dan tingkat sekolah, diusahakan pula mempraktekkan cara-cara menga-
jar modern yang akan membimbing si anak dari "pendengar" ke arah
"pelaku" dan "penyelidik". Adalah diketahui bahwa sikap hidup
demokratis menuntut dari setiap warga Negara, supaya turut memikul
tanggung-jawab tentang perkembangan dalam Negaranya secara kritis.
Dan untuk mencapai sikap hidup yang demikian, maka methodik yang
dipergunakan oleh pengajaran "Science" dianggap alat yang terbaik.
Oleh karena itu kelompok Penilik Sekolah dari seluruh Indonesia dilatih
secara praktis di "Science-Teaching-Centra" di Bandung, agar mereka
di wilayahnya masing-masing dapat memperkembangkan methode kerja
yang dituntut oleh "Science Teaching" itu.
Bagi Sekolah-sekolah Rakyat dalam "ikatan pool" di wilayah Pulau
Timor ditetapkan oleh Pemerintah untuk menghapuskan status " p o o l "
itu mulai 1 Agustus 1959, akan tetapi karena adanya kelambatan dan
pelbagai hambatan, maka penghapusan itu baru dapat direalisir dalam
tahun 1960 untuk seluruh Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah-sekolah swasta selanjutnya
berada dalam tangan Badan-badan/Korporasi-korporasi Gereja, yang
menerima sokongan dari Pemerintah berupa Subsidi berdasarkan P.P.
No. 32/tahun 1958.
Sesudah terbentuknya Jawatan Pendidikan Umum dan Jawatan Pen-
didikan Kejuruan di Pusat dalam tahun 1957, terbukalah kemungkinan
untuk mendirikan sekolah secara pesat, terutama sekolah-sekolah lan-
jutan tingkat pertama dan tingkat atas, baik umum, maupun kejuruan.
Sesudah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, maka di samping perluas-
an, maka usaha-usaha mempertinggi mutu obyek-obyek pendidikan
terus dijalankan.
Namun suatu kesukaran yang sangat kita rasai dan alami, ialah masa-
lah penampungan ribuan anak yang setiap tahun harus masuk ke
Sekolah Dasar. Kekurangan gedung dan perlengkapan, ketiadaan alat-

11

PNRI
alat pelajaran, kekurangan tenaga pengajar membuat kita tidak mampu
menampung anak-anak yang mau sekolah. Pada saat-saat merajalelanya
kesulitan-kesulitan demikianlah pengaruh PKI mendapatkan tempat
yang baik dan subur.
Pengalaman menunjukkan dan memberi pelajaran kepada kita bagai-
mana cara PKI menyusup masuk, serta berusaha menguasai pendidikan
kita. Sampai di pelosok-pelosok PKI memecah-belah antara murid
sesama murid melalui I P P I Robby Sumolang, antara murid dan guru, an-
tara guru sesama guru melalui PGRI Non Vak Centrale, antara guru dan
orang tua murid, mereka berusaha menghancurkan kekuatan-kekuatan
yang menentang keinginannya untuk mengkomuniskan pendidikan
dengan mempergunakan mstruksi "Nasakomisasi" sebagai batu lon-
catan yang kuat. Mereka berusaha menyisihkan "Panca Wardhana"
dan Pancasila dan menginfiltrasikan "Panca Cinta" yang legalisasinya
dinyatakan oleh Penpres No. 19 tahun 1965.
Tidak heran bahwa dalam proloog, fakta, dan epilog G.30/S: Pen-
didikan kita menderita kerusakan mental yang tak terhingga besarnya,
hingga moral Pancasila dan norma-norma hidup kepribadian Bangsa
Indonesia hampir-hampir lenyap sama sekali. Syukur, bahwa untuk
mengembalikan moral dan norma-norma hidup itu oleh Pemerintah
Orde Baru telah ditetapkan pula secara positif dasar-dasar Pendidikan
Nasional Pancasila.
Dengan demikian diusahakan agar Pendidikan Nasional Pancasila
dapat pula menimbulkan rasa tanggung-jawab, dan pemerkosaan moral
dan kepribadian bangsa, sebagai yang diperbuat oleh Gestapu/PKI
tidak akan terulang lagi. Untuk itu, seluruh aparat Dep. P dan K di
Pusat dan di daerah telah dibersihkan dari oknum-oknum dan unsur-
unsur Gestapu/PKI.

d. Hasil Pendidikan
Statistik yang diperoleh dalam tahun-tahun berikutnya, khusus untuk
Pulau Timor menggambarkan adanya kemajuan yang pesat, baik dalam
jumlah murid, maupun dalam jenis dan tingkatan sekolah-sekolah.
Namun meskipun dari data statistik yang ada itu jelas telah dicapai
kemajuan yang besar dalam bidang pendidikan, tapi jelas pula ternyata,
bahwa keadaan pendidikan dengan berbagai masalahnya, masih sung-
guh-sungguh memerlukan perhatian kita guna terus berusaha memper-
baikinya.
Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan PELITA tahap demi ta-

1

PNRI
hap, kebijaksanaan di bidang pendidikan diusahakan agar mempunyai
hubungan yang erat dengan kebutuhan serta kemungkinan-
kemungkinan perkembangan ekonomi dan sosial, sehingga dapat mem-
beri bekal hidup pada murid-murid dan memenuhi kebutuhan masya-
rakat.
Sebagai persiapan untuk menghadapi tahap-tahap pembangunan
dalam lima tahun kedua mendatang ini, pendidikan perlu terus-menerus
mengalami tindakan pembaruan yang tujuannya untuk menjadikan se-
kolah-sekolah itu sebagai bagian mutlak daripada kehidupan masya-
rakat yang serasi dan bermanfaat. Dengan demikian pada akhir tahap
Pelita kedua ini diharapkan sudah dapat diperoleh suatu landasan bagi
suatu sistem dan struktur pendidikan yang mantap, yang berorientasi
pada usaha-usaha pembangunan ekonomi dan sosial serta dapat menun-
jang pembangunan-pembangunan lain yang tengah dan akan dilaksa-
nakan menuju terciptanya masyarakat yang adil sejahtera berdasarkan
Pancasila.
Usaha-usaha pembaruan telah dimulai dan akan berjalan terus,
akan tetapi pasti, bahwa perubahan dan pembaruan itu tidak dapat
dilakukan dengan cepat dan mendadak, karena harus didahului dengan
penelitian dan perencanaan yang serius dan mendalam.
Selain itu harus disadari, bahwa segala usaha memperbarui pen-
didikan kita di pulau ini menjadi tanggung-jawab penuh masyarakat,
orang tua dan Pemerintah bersama-sama.
Antara ketiga komponen ini harus ada saling pengertian, saling mem-
bantu. Ketiganya perlu memiliki arah yang sama, yang semuanya ditu-
jukan, demi hari depan generasi muda kita, demi kepentingan masya-
rakat dan bangsa kita di Pulau Timor ini.
2. Kehidupan Sosial Masyarakat Timor
Perasaan sosial dan hidup sosial di Timor dapat dikatakan berada
pada tingkatan yang tinggi. Mungkin hal ini disebabkan, karena penga-
ruh dari luar belum lama dan belum mendalam atau karena pandangan
hidup yang diajarkan dalam agama Kristen, "Kasih sesama manusia"
atau lantaran kedua-duanya.
Hal ini mempunyai akibat yang baik, misalnya: di Timor tidak ada
pengemis, sedang hidup sosial (gotong-royong) menyebabkan adanya
usaha-usaha yang dapat meringankan beban sesama rakyat dalam ber-
bagai hal. Gotong royong yang lebih bersifat tolong-menolong dilaku-
kan sebagai penjelmaan dari "Kasih sesama Manusia", disertai

1

PNRI
pengharapan, agar dalam keadaan di mana diperlukan bantuan, juga
diperoleh pertolongan yang setimpal. Macam kerja sama ini dilakukan
di segala lapangan pekerjaan. Dalam gotong royong demikian orang
datang tanpa diminta, sebab memberikan pertolongan dianggap sebagai
suatu kewajiban moril. Ada pula semacam gotong royong, di mana
orang-orang datang menolong kalau diminta, misalnya untuk men-
dirikan/memperbaiki rumah, merencah sawah, menuai padi dan
jagung dan lain-lain sebagainya.
Dengan adanya cara ini yang hingga kini masih hidup subur di
kalangan rakyat desa, dapatlah dibayangkan, bahwa seorang warga
desa, tidak banyak mempunyai waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.
Dalam gotong-royong ini, bila pekerjaan ditujukan bagi kepentingan
seseorang biasanya orang-orang yang datang menolong diberi suguhan
berupa makan-minum.
Dalam kehidupan sehari-hari rasa kekeluargaan masyarakat desa
sangat besar. Dalam segala tindakannya, fungsi sosial mendapat makna
yang penting sekali. Rasa individualisme belum begitu nampak. Dengan
adanya kenyataan yang demikian, dalam beberapa hal sangat mengun-
tungkan perkembangan desa. Bergotong-royong membangun desa
dengan swadaya bersama merupakan kesadaran Sosial yang besar.
Namun harus diakui, bahwa dalam kehidupan yang terlalu menebal
fungsi sosial dan kekeluargaan, perkembangan individu sering dikor-
bankan, sehingga dalam arti ekonomis sangat merugikan. Misalnya
sawah-ladang yang dikerjakan bersama-sama dengan memberi makan-
minum kepada yang datang menolong, sering-sering merugikan, ditinjau
dari segi ekonomi. Biaya gotong-royong biasanya jauh lebih besar
daripada membayar tenaga upahan. Juga pengertian hak milik yang ber-
sifat individual belum menonjol, yang lebih banyak adalah hak milik
komunal.
Dalam perkembangan kemudian pengaruh-pengaruh yang datang dari
luar ke dalam lingkungan masyarakat desa tidak banyak merubah kehi-
dupan desa. Yang agak nampak berubah adalah sifat masyarakat yang
tradisional, karena memang fungsi-fungsi tradisional makin terdesak.
Bersamaan dengan pengaruh luar ini masuk pula agama Kristen di
lingkungan pedesaan disertai dengan sistem pendidikan yang baru,
sehingga meskipun tidak begitu tegas terdapat 2 kelompok, yakni
golongan agama Protestan atau Katholik dengan taraf pendidikan yang
lebih maju dan golongan penganut kepercayaan tradisional dengan taraf
pendidikan yang lebih rendah.

1

PNRI
BAB V

PENDUDUK, B A H A S A D A N A G A M A

1. Penduduk dan Bahasa


Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi
Nusa Tenggara Timur tertanggal 5 Pebruari 1974 No. 9 tahun 1974 telah
ditetapkan data-data tentang penduduk dan luas wilayah Pemerintahan
Nusa Tenggara Timur.
Jumlah luasnya daratan pulau Timor bagian Indonesia adalah
15.337,50 km2 sedangkan jumlah penduduknya 697.776 orang, sehingga
kepadatan bruto penduduk 45,5 per km2. Dengan pulau Rote dan Sabu
yang menjadi bagian dari kabupaten Kupang luasnya 17.569 km2 dan
jumlah penduduknya 826.050 orang, yang berarti bahwa kepadatannya
rata-rata 47 per km2.
Luas bekas wilayah Timor Portugis ± 18.899 km2 dengan penduduk
yang diperkirakan berjumlah sekitar 610.000 dengan kepadatan 32 km2.
Ternyata belum pernah diadakan sensus penduduk yang didasarkan atas
golongan etnis, karena sejak dahulu kala telah terjadi percampurbauran
golongan-golongan etnis yang ada, terutama setelah hubungan laut dan
hubungan darat makin lancar.
Sungguhpun demikian masih tampak golongan etnis yang jelas dan
menonjol pada penduduk asli Pulau Timor, yaitu kelompok Negrovide,
Melanesis dan proto-Melayu.
Percampurbauran karena perkawinan, peperangan, migrasi dari Sa-
bu, Rote, Alor, Solor, Flcres, Sumba, Sumbawa, Maluku, Sulawesi dan

TIMOR PULAU GUNUNG FATULEU 10 7

PNRI
Iain-lain, menyebabkan terdapat kelompok-kelompok Deutero Melayu
dan lain-lain di Timor.
Bagaimanapun warna-warninya komposisi penduduk Pulau Timor,
para ahli anthropologi berpendapat, bahwa pada garis besarnya pen-
duduk Pulau Timor dapat dibagi atas 2 (dua) kelompok besar:
a. Suku Dawan yang bersama bahasanya mendapat nama sebutan
yang berbeda-beda. Orang Belu menyebut mereka "Dawan", orang-
orang asing mempergunakan istilah "Atoni" atau "Antoni". Orang-
orang Rote dan Sabu yang berada di Pulau Timor menyebut mereka
dengan nama "Sonnaba'i", artinya rakyat Sonbai. Tetapi mereka sen-
diri menamakan dirinya serta bahasa dan kelompoknya "orang dan ba-
hasa Timor" atau sering juga dengan nama "Antoni Meto" yaitu
"Orang kering" (daratan).
Untuk memisahkan mereka dari penduduk Pulau Timor lainnya kami
pergunakan untuk mereka nama " D a w a n " . Suku ini mendiami Kabupa-
ten Kupang daratan Timor, kecuali wilayah-wilayah yang didiami oleh
suku Helong, yaitu Pulau Semau dan sebagian kecil Pulau Timor di
sebelah tenggara Kota Kupang di Kecamatan Kupang Barat.
Demikian pula wilayah Kota Kupang sendiri dan tempat-tempat yang
dinamakan wilayah 6 pal (Zes palen-gebied) yang didiami oleh suku-
suku Rote dan Sabu, yang pada masa lampau ditempatkan di sana oleh
penjajah Belanda untuk melindungi diri dari serangan-serangan Sonbai
dan raja-raja Timor lainnya dari pedalaman.
Wilayah "Zes palen-gebied" ini dimulai dari OEpaha (Amarasi) di
pantai selatan Pulau Timor, Samlili, mengitari Teluk Kupang, terus
menyusur pantai utara sampai ke pelabuhan Atapupu. Selain wilayah
Kabupaten Kupang, suku Dawan selanjutnya mendiami seluruh kabupa-
ten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, wilayah enklave Por-
tugis, OEkusi dan di sebagian kecil wilayah Belu Selatan.
Para ahli antropologi berpendapat, bahwa pada suku Dawan ini tam-
pak jelas elemen-elemen Negrovide dan Melanesis dengan warna kulit
coklat-hitam dan rambut keriting menunjuk ke arah tanda-tanda orang
Irian.
Menurut kenyataan ialah, bahwa orang-orang suku Dawan ini telah
mengadakan percampuran darah dengan beberapa macam suku bangsa
dari luar dan dari dalam Pulau Timor. Perlu diingat bahwa Portugis
telah membawa ke Timor orang-orang Afrika, India (Goa) dan Makao
sebagai serdadu, yang lama bercokol di Mena dan Lifao sebagai pusat
Pemerintahan Portugis, sedang Belanda membawah orang-orang Rote,


PNRI
Sabu, Solor ke mari, sehingga kemungkinan percampuran darah sangat
besar. Sama halnya dengan orang-orang Portugis sendiri, yang melalui
perkawinan dengan penduduk asli telah menimbulkan suatu kelompok
golongan baru yang bemama "Portugis Hitam" atau "Topasses" yang
dipimpin oleh keluarga da Costa d'Ornay, yang turun-temurunnya
hingga kini masih terdapat dalam jumlah yang cukup besar di kabupaten
Timor Tengah Utara, Belu dan khusus di Timor Portugis dan Flores.

b. Suku Belu atau Tetun


Suku Belu dengan bahasa Belu sebenarnya tidak dikenal. Yang lazim
disebut adalah suku dan bahasa Tetun. Nama Belu dipergunakan oleh
orang Belanda yang diambilnya dari kebiasaan orang-orang di Belu
memanggil seseorang yang tidak dikenalnya dengan sapaan, "Hoi
Belu", yang berarti "hai sahabat". Orang-orang yang berbahasa Tetun
di wilayah Timor Portugis sama sekali tidak mengenal nama Belu. Mere-
ka menyebut dirinya orang "Timor".
Penduduk Kabupaten Belu, kecuali di beberapa bagian kecil yang
mempergunakan bahasa Dawan, Buna dan Kemak, pada umumnya ber-
bahasa Tetun.
Di wilayah Timor Portugis bahasa Tetun terdapat di pantai utara, di
sekitar Batugede, sedang di pantai selatan, mulai dajri Suai-Kamanasa
sampai ke Viqueque. Kecuali itu bahasa Tetun dipakai juga sebagai
bahasa pergaulan resmi di samping bahasa Portugis, sehingga dapat
dimengerti dan dikuasai oleh semua rakyat dan para petugas Pemerintah
di seluruh wilayah Timor Portugis, termasuk di wilayah enklave OEkusi.
Para ahli antropologi belum dapat menetapkan dengan pasti apakah
leluhur orang Belu itu datangnya dari barat, yaitu yang dikenal dengan
nama "Sina Mutin Malaka", ataukah dari Timor yaitu Seram (Maluku),
sebagaimana halnya dengan leluhur suku Rote di pulau Rote.
Yang tampak dengan jelas adalah: adanya pada suku Belu elemen go-
longan etnis yang menonjol, yaitu proto Melayu, di samping elemen
Melanesis.
Dari cerita rakyat di Belu Utara memang masih dapat diungkapkan
cerita tentang kedatangan leluhur mereka dari sebelah timur, tetapi
cerita itu sudah banyak terdesak hilang oleh cerita baru mengenai
kedatangan leluhur "Sina Mutin Malaka" dari barat, yang oleh Dr.
Ormeling dalam bukunya yang berjudul "Timor Problem" dinamakan
"the recent intruders".



PNRI
Tentang datangnya leluhur penduduk Belu dari jazirah Malaka diceri-
takan, bahwa ada 4 suku, yang di Belu dikenal dengan nama "Sina
Mutin Malaka" meninggalkan tanah leluhurnya Malaka dengan perahu
untuk mencari tempat kediaman yang baru dan mendarat di Teluk We-
toh dan Maubesi di Belu Selatan.
Mereka menduduki dataran luas dari kabupaten Belu sekarang, sesu-
dah terlebih dahulu mengalahkan dan menghalau suku "Melus", yang
mendiami dataran tersebut. Dengan mempergunakan senjata besi (pa-
rang, pedang) pengungsi baru dari Malaka itu dengan mudah dapat
mengusir suku asli yang masih buas dan primitif. Keempat suku itu,
yang berada di bawah pimpinan 3 orang kakak-beradik menempati tem-
pat yang berlain-lainan.
Saudara tertua, yang terpenting dan berpengaruh mengambil tempat
di tengah-tengah dataran dan di muka tempat kediamannya menanam
sebatang pohon waringin yang dibawa dari Malaka dan yang dalam ba-
hasa Tetun disebut "Ai Hale" (Ai = kayu, Hale (hali) = Waringin).
Maka kerajaannya dinamai "Ai Hale" atau "Wehale". Pemimpin ke-
rajaan inilah, pemegang pertama barang-barang keramat yang dibawa
serta dari Malaka, lambat-laun dianggap sebagai wakil para Dewata, ya,
sebagai Putra Dewata di bumi ini. Ia mendapat gelar "Maromak O a n "
yang berarti "Putra Dewata", dan berkedudukan maha tinggi dan maha
sakti. Pada kedudukan itu ia tidak lagi memerintah rakyat, tapi lebih
banyak mengurus kepentingap rohani masyarakat. Tugas mengurus
soal-soal duniawi, seperti pemerintahan dan lain-lain dipercayakan
kepada para pembantu utamanya, yang disebut Liurai (Liu = lebih, rai
= tanah, jadi yang memerintahkan banyak tanah), yang membawahi
para " L o r o " dan berikutnya membawahi pula para " N a i " atau raja-
raja kecil.
Saudara kedua mengambil tempat lebih ke sebelah barat dari dataran
itu dan di muka rumahnya menanam satu pohon yang dalam bahasa Te-
tun disebut "Ai Biku". Olehnya kerajaannya dinamakan "Wewiku".
Saudara ketiga menempati dataran di sebelah utara, dan di muka ru-
mahnya menanam sebatang pohon, yang dalam bahasa Tetun disebut
"Haitimu" dan kerajaannya kemudian dinamakan "Haitimu".
Suku keempat yang pimpinannya kemudian baru diambil dari turunan
pemimpin "Wehale" mengambil tempat di bagian pegunungan sebe-
lah utara " W e h a l e " dan kerajaannya kemudian dinamakan
"Fatuaruin". Pemimpin kerajaan inilah yang pertama-tama mendapat
gelar "Liurai". Oleh karena Liurai Fatuaruin ini turunan langsung dari

1

PNRI
Maromak Oan di Wehale, maka sesudah Maromak Oan mendapat kedu-
dukan "religieus" yang sangat tinggi itu, maka Liurai Fatuaruin di-
jadikan pembantu umum Maromak Oan dan merangkap sekaligus seba-
gai Liurai Wehale.
Oleh tugas dan kewajibannya itu Liurai Fatuaruin/Wehale ini sangat
berkuasa dan senantiasa bertindak terlebih dahulu dan penganjur dari
kedua Liurai yang lain, yaitu Liurai Likusaen, yang kemudian hilang
dan digantikan dengan Liurai Suai-Kamanasa yang berada di wilayah
Portugis dan Liurai Sonbai yang berkuasa di kerajaan OEnam dan di-
diami oleh suku bangsa Dawan.
Mengenai Liurai Likusaen, yang kemudian digantikan oleh Liurai
Suai-Kamanasa tidak banyak yang dapat diungkapkan, karena wilayah
keliuraian itu sebagian besar terletak di Timor Portugis, sehingga
pengaruh penjajah Portugis yang berabad-abad telah menghapuskan se-
gala bekas-bekas kekuasaan Liurai tersebut.
Di dalam wilayah-wilayah yang didiami oleh para kolonis seperti
Wehale, Wewiku, Haitimu, Fatuaruin, Sueu dan Kamanasa, hingga saat
ini masih terdapat adat-istiadat dari jazirah Malaka yang pada umumnya
sudah menjadi adat-istiadat suku Tetun, misalnya: adat perkawinan
matriarchat dan kebiasaan serta kecenderungan untuk berdagang.
Meskipun sudah bercampur-baur dengan suku-suku bangsa lain, pada
suku Belu ini masih jelas menonjol elemen kelompok bangsa-bangsa
Melayu.

c. Suku-suku lain:
Di samping kedua suku besar ini masih terdapat beberapa suku yang
lebih kecil dengan bahasanya sendiri-sendiri, yaitu:
cl. Suku Helong dengan bahasa Helong, yang mendiami Pulau Semau
dan sebagian kecil Pulau Timor, yaitu di sebelah tenggara kota
Kupang dalam Kecamatan Kupang Barat.
Suku ini dengan rajanya bernama Nai Kopan, telah didesak oleh
para pengungsi dari Belu ke bagian barat Pulau Timor dan akhirnya
mendiami wilayah di sekitar kota Kupang sekarang.
Dari nama Raja Nai Kopan inilah tercipta nama Kota Kupang dan
kemudian nama Kerajaan dan Kabupaten Kupang.
Pada waktu Belanda tiba di Kupang dalam tahun 1613 oleh An-
tonius Schot telah diadakan persetujuan dengan Raja Helong, agar
kepada Belanda diizinkan mendiami sebidang tanah yang sempit se-
keliling teluk Kupang. Sementara itu telah datang dari Belu seorang
1

PNRI
Kepala Suku yang bernama Besing Lissing bersama sekelompok
besar rakyatnya. Mereka menyerahkan diri kepada Raja Nai Kopan.
Besing Lissing ini mengawini putri tunggal dari Nai Kopan bernama
Bi Punan dan melahirkan seorang putra yang kemudian menggan-
tikan Nai Kopan sebagai raja dengan nama Besing Lissing. Juga
suku Helong ini sudah bercampur-baur dengan suku-suku bangsa
lain yang datang kemudian, namun pada umumnya mereka masih
tetap mempertahankan kesatuannya dan bahasanya sendiri sampai
saat ini.

c2. Suku Buna


Nama Buna, sebagai nama asli dari suku bangsa ini, baru saja diper-
kenalkan pada sekitar tahun 1950 oleh A.A. Bere Tallo, Anggota
Parlemen Republik Indonesia golongan Karya hasil PEMILU 1971,
pada waktu beliau masih menjabat sebagai Kepala Swapraja (Raja)
Lamaknen.
Nama yang lebih dikenal sejak dahulu adalah " M a r a E " . Suku
Buna dengan bahasanya yang bernama sama, mendiami bekas Swa-
praja Lamaknen di wilayah Timor Indonesia; Juga banyak orang
dari suku Buna ini mendiami wilayah-wilayah yang berbahasa
Tetun, di wilayah Indonesia, begitu pun di wilayah Timor Portugis,
antara lain di "Circumscricao" atau Kabupaten Bobonaru. Suku
Buna ini banyak perbedaannya dengan suku Belu, baik yang
mengenai bahasa dan kebudayaannya, maupun yang mengenai an-
tropologi fisiknya. Mereka ini merupakan salah satu suku bangsa
yang tua, yang lebih dahulu mendiami Pulau Timor.
Di dalam bukunya yang berjudul "Pandangan Umum Wilayah Belu"
(1957) oleh A.A. Bero Tallo, bekas Raja Lamaknen tersebut di atas,
mengungkapkan bahwa ada 6 (enam) suku kecil yang bersama-sama
mendiami Lamaknen. Asal tempat kedatangan mereka bermacam-
macam, sedang masa kedatangannya pun tidak sama. Suku pertama,
bernama Luta Rato Djopata, yang kemudian diakui sebagai Pemimpin
Umum, berasal dari Sia Wa Mugi Wa yang diperkirakan terletak di Hin-
dia Muka. Di suatu tempat yang bernama Tarultuk Siolwa, di wilayah
Timor Portugis, Luta Rato Djopata telah mengumpulkan para pengikut-
nya, lalu menugasi mereka agar masing-masing mencari tempat kediam-
an. Tetapi sebelum bercerai, mereka saling bersumpah setia (satu pada
yang lain), yaitu dengan cara: Tiap-tiap suku mengambil 3 buah batu
(yang kemudian dipergunakan sebagai batu tungku) dan masing-masing
duduk di atas batunya. Kemudian disayatnya bagian tubuhnya, darah-
1

PNRI
nya diteteskan dan diminumnya dengan tuak sambil berjanji, tidak akan
saling berkelahi atau memerangi satu sama lain, lalu bercerailah mereka.
Sekelompok yang dipimpin oleh Ho Mau tetap tinggal di Honaru (Bo-
bonaru) di wilayah Timor Portugis, Bere Mau bertolak ke
Kewar/Lamaknen (Belu), Sabu Mau dan Ti Mau semulanya berdiam di
Sabulai (bagian Timor Portugis), tetapi kemudian keduanya beralih ke
Belu Selatan dan akhirnya Sabu Mau ke Pulau Sabu dan Ti Mau ke
Pulau Rote (Swapraja Thie).
Sumpah setia tersebut hingga kini masih diakui dan ditaati oleh suku
Sabu dan Belu. Nama orang-orang dari Sabu pun banyak bersamaan
dengan nama-nama di Belu, khususnya di Lamaknen, misalnya:
Doko (Sabu) — Loko (Belu)
Bire (Sabu) — Bere (Belu)
Talo (sabu) — Talo (Belu)
Ratu (Sabu) — Rato (Belu)
Wila (Sabu) — Mela (Belu)
Kedua suku ini tidak boleh saling berkelahi ataupun bersikap dan ber-
suara kasar terhadap yang lain. Pelanggaran terhadap hal ini dapat
mengakibatkan kematian, ataupun muntah darah pihak yang bersalah.

c3. Suku Kemak


Suku ini mempergunakan bahasa Kemak. Wilayah asalnya berada
di wilayah Timor Portugis. Sebelum pulau Timor dibagi dua oleh
Belanda dan Portugis pada tahun 1859 rakyat suku Kemak ini mem-
bayar upeti kepada Liurai Wehale di Belu Selatan.
Dalam tahun 1912 — 1916 suku ini telah mengadakan pemberon-
takan yang hebat terhadap Pemerintah Portugis. Sesudah kota-kota
dan kubu-kubu pertahanan mereka habis dibakar oleh Portugis,
mengungsilah sebagian besar dari suku ini ke dalam wilayah Timor
Belanda dahulu. Mereka membawa serta anak-istri, orang-orang
tua, hewan dan harta pusakanya dan memperoleh tempat
kedudukan tertentu di Belu. Hingga saat ini mereka tetap memper-
tahankan kesatuannya dengan bahasa dan adat-istiadatnya sendiri,
meskipun melalui perkawinan mereka telah pula bercampur-baur
dengan penduduk setempat. Tetapi oleh karena sebagian dari kaum
keluarga dan harta-miliknya masih berada di wilayah Portugis,
maka dengan sendirinya lalu-lintas dan hubungan antara mereka
dengan wilayah asalnya tetap terpelihara, meskipun sering dihalang-
halangi oleh peraturan-peraturan Internasional.
1

PNRI
Menurut para ahli anthropologi, suku Kemak yang mendiami wila-
yah perbatasan Belu Utara dengan Timor Portugis dan juga tersebar
di wilayah Timor Portugis sendiri, dianggap sebagai penduduk Pulau
Timor yang lebih tua. Juga dikatakan, bahwa mereka mempunyai hu-
bungan anthropologi yang rapat sekali dengan suku Buna.
c. Di wilayah Timor Portugis masih terdapat lagi beberapa kelompok
suku dengan bahasanya sendiri-sendiri, misalnya: Suku bangsa Kari
yang berdiam di sekitar Pegunungan Ramelau, suku Takode di wila-
yah Likusaeh-Maubara di Kabupaten Ermera, suku Galole di wilayah
pantai utara sebelah timur Kota Delly dan suku Dagada, yang men-
diami bagian timur paling ujung Pulau Timor.
Pada umumnya juga suku-suku ini telah bercampur-baur dengan
suku-suku yang lam dan hampir semuanya mengerti dan mempergu-
nakan bahasa Tetun, yang merupakan bahasa umum di wilayah ke-
kuasaan Portugis.

2. Bidang Agama
a. Agama nenek Moyang
Jauh sebelum kehidupan keagamaan di Pulau Timor ini berkembang,
sudah ada sejak dahulu kala pola kehidupan kepercayaan-terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Pemujaan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi
di Timor Tetun disebut "Nai Maromak", sedang di daratan Timor Da-
wan disebut "Usif Neno" yang pada waktu masuknya agama Kristen
"Usif Neno" ini dikenakan pada Allah Yang Maha Esa. Hingga saat ini
masih nampak tempat-tempat pemujaan (hauteas) dan setiap nama asli
suku Dawan pasti memiliki nama batu (fatu) nya tersendiri. Bahkan
gunung-gunung batu (fatu) .merupakan tempat-tempat keramat seperti
Fatuleu, Fatumnutu dan lain-lain.
Bagi suku animis ini selanjutnya, dari antara semua benda di fangit,
mataharilah yang memegang peranan terpenting.
Raja-raja di bawah Liurai Wehala bergelar " L o r o " artinya matahari,
sedang raja-raja Dawan disapa dengan "Neno-anan" artinya "Anak
Matahari".
Sesudah semesta di langit, maka dunia ini dibagi atas dua jurusan:
timur — barat, sedang isinya dibagi atas apa-apa yang kelihatan berupa
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, gunung, sungai, danau, laut,
dan padang di satu pihak dan apa yang tidak kelihatan, yaitu arwah
mereka yang sudah mati dan roh penghuni gunung, batu, pohon, sungai,
danau, laut, dan padang tersebut di lain pihak. Dari semua yang kelihat-
1

PNRI
an di alam-nyata terdapat arwah atau rohnya di alam-gaib. Menghor-
mati arwah leluhur yang sudah mati merupakan suatu kewajiban yang
mutlak dan harus selalu dijaga, agar arwah-arwah itu jangan menjadi
murka. Mereka yang berada di alam-gaib dapat memberikan kekuatan-
kekuatan gaib kepada manusia di alam nyata.
Pada kematian seseorang, maka roh, semangat, kesaktian kepahla-
wanan dan kebajikannya diturunkan kepada anak cucunya, sehingga
hubungan antara anak-cucu yang masih hidup sekarang dengan leluhur
di alam baka tetap terpelihara. Di samping arwah dan roh di alam-gaib
penduduk Animis di Timor juga menganggap binatang-binatang tertentu
sebagai makluk yang harus dipuja dan disembah.
Beberapa kelompok suku tertentu menganggap buaya sebagai raja
atau leluhur mereka, karena itu binatang ini disembah sebagai raja atau
nenek. Sungai-sungai tempat hidup buaya-buaya itu dianggap sebagai
istana. Demikian pula ular python, sebagai ular yang terbesar, dianggap
pula sebagai raja/nenek dan karena itu disembah setiap kali dikete-
mukan. Karena kuatnya kepercayaan pada kedua jenis binatang ini,
maka walaupun agama-agama monotheis telah luas berkembang, namun
kedua binatang ini tetap masih dianggap sebagai raja/nenek, sehingga
walaupun binatang-binatang ini tidak disembah lagi, tapi tetap disegani,
dan tidak dapat dibunuh begitu saja. Burung hantu, bahkan hampir
setiap burung hantu, dianggap sebagai makluk jahat yang membawa
penyakit dan maut. Burung elang tertentu, ikan tertentu, tikus, babi dapat
menjadi barang pantangan bagi berbagai kelompok tertentu, jika
diketahui bahwa binatang-binatang itu memiliki hubungan mistik-
religieus dengan kelompok penduduk itu.
Penduduk Timor di daerah-daerah pohon " a m p u p u " (Eucalyptus
Platyphyla Anct) seperti di pegunungan Eban-Miomafo, Timau-Molo
menganggap lebah sebagai makluk yang harus disembah. Madu dan lilin
yang merupakan sumber mata pencaharian bagi penduduk, mendorong
mereka memuja binatang tersebut. Tempat-tempat pemujaan bagi lebah
dapat diketemukan di puncak Gunung Mutis dan di puncak-puncak
gunung (fatu) hampir di seluruh daerah pegunungan "Ampupu" dan
" H u e " (Eucalyptus Alba Reinw).
Para pemimpin agama mengepalai upacara-upacara keagamaan pen-
ting termasuk upacara penanggulangan bencana alam, seperti meminta
hujan untuk menolak kekeringan, upacara menolak bala kesusahan.
Para pemimpin ini pada umumnya sudah kehilangan fungsinya, setelah
penduduk menganut agama monotheis. Salah satu hal yang mengambil

1

PNRI
tempat terpenting dalam masyarakat asli di Timor adalah rumah pemali
yang disebut " U m e Leu". Masing-masing suku mempunyai "ume leu",
tempat kediaman arwah leluhur pendasar semula. Penjaga "ume leu"
adalah meo (pahlawan) yang mewakili suku. Ia penghubung antara yang
masih hidup dengan yang sudah meninggal dunia, sering bertindak seba-
gai juru-obat, khusus menyembuhkan orang-orang sakit yang terke-
na/ditimpa ilmu galap (suanggi), serta menjadi panglima dalam
peperangan. Dalam "Ume Leu" biasanya ada tersimpan:
a. Gong keramat, kelewang, tombak dan sebagainya. Kelewang itulah
suami dan tombak adalah istrinya.
b. Satu bakul berisi "fatu leu" = batu yang membawa keuntungan.
c. Satu bakul berisi akar-akar dan kulit-kulit kayu "hau meo" untuk
kekebalan.
d. Satu bakul berisi akar-akar dan kulit kayu "hau manikin" atau "hau
menasi" = kayu untuk bikin dingin dan untuk berobat.

Segala alat-alat tersebut di-


kumpulkan menjadi satu dan
digantung pada tiang utama
"Ume Leu".
Selain yang tersebut di atas
terdapat juga pada tiap-tiap
rumah tinggal 2 batu coper yang
cukup besar, tempat untuk mem-
bawa korban persembahan ke-
pada nenek moyang. Batu ceper
yang satu ditempatkan di bawah
tiang utama dalam rumah yang
disebut "Nie amaf" = nie =
liang; amaf = ibu; (tiang untuk
wanita). Batu ceper yang kedua
ditempatkan di luar, di depan
rumah, di bawah satu gala
berbentuk garpu, yang disebut
"hau mone"; hau = kayu; mone
= laki-laki (leluhur pihak pria).
Kedua batu ceper ini adalah
Tiang utama "UmeLeu"yang digantungi
dengan berbagai jenis barang keramat tempat, di mana dihamburkan
dan obat-obatan. beras dan lain- lain korban
1

PNRI
untuk mengenangkan leluhur, mengheningkan cipta, meminta restu
arwah leluhurnya untuk menghindarkan berbagai macam penyakit,
kecelakaan dan sebagainya.
Apakah perbuatan ini termasuk dalam golongan kepercayaan animis-
me, ataukah sifatnya sebagai penghormatan untuk mengenang lelu-
hur yang telah meninggal tidak dapat dikatakan dengan pasti. Yang
pasti, ialah, bahwa pada umumnya beberapa suku tertentu, meskipun
sudah menganut agama Kristen, masih tetap mempunyai satu "Ume
leu", misalnya saja "Ume leu" yang bernama "Nai Masu". Nai =
tuan, Masu = asap, milik leluhur keluarga tertua di Timor Tengah
Utara, yaitu Kune Uf. Rumah pemali ini berada di Noiltoko di bawah
pengawasan seorang Meo (pahlawan) suku Kune.
Sebagaimana dikatakan di atas, pada saat ini penduduk Pulau Timor
sebagian besar sudah beragama Kristen (Protestant dan Katholik),
sedang agama Islam, Hindu Bali merupakan golongan kecil. Masih ter-
dapat sejumlah orang yang masih menganut "agama adat" (animisme).
Jumlah mereka berangsur-angsur berkurang dan dapatlah dipastikan,
bahwa akhirnya mereka akan melepaskan sama sekali kepercayaan
mereka yang lama itu. Sebabnya ialah, bahwa angkatan mudanya boleh
dikatakan seluruhnya telah memasuki agama Kristen Protestant atau
Katholik melalui sekolah-sekolah yang dibuka oleh badan-badan agama
yang bersangkutan, baik Sekolah-sekolah Dasar, maupun Sekolah-
sekolah Menengah Pertama dan Atas.
Sebagaimana diketahui di Flores (Ledelero, di Kabupaten Sikka) ter-
dapat sebuah Perguruan Tinggi kepunyaan Missie yang lazim dinama-
kan Seminari Agung, di mana pemuda-pemuda dari seluruh Indonesia
dididik menjadi Imam (Pastoor).
Perguruan Tinggi ini boleh dibanggakan, bukan saja karena perleng-
kapannya dan para Guru Besarnya yang bermutu dan cakap, tetapi juga
karena telah menghasilkan sekian banyak Imam, yang kini melakukan
tugasnya di berbagai pelosok Tanah Air, khusus di wilayah Propinsi
Nusa Tenggara Timur. Bahkan Uskup Agung di Ende dan beberapa
Apostolis Vikaris (Uskup) di Larantuka, Ruteng, Kupang, Bali adalah
tamatan Seminari Agung tersebut.

b. Agama Kristen di zaman Portugis


Sebagai titik permulaan kehidupan agama Kristen di Pulau Timor
dapat diambil pada zaman Portugis. Sesudah Vasco de Gama pada
1

PNRI
tahun 1498 menemukan jalan laut ke Timor, maka mulai masuklah
orang-orang Eropa ke dalam kehidupan bangsa-bangsa di Asia Teng-
gara. Yang datang pertama-tama adalah orang Portugis dan Spanyol
dengan mempunyai suatu tujuan rangkap ialah perdagangan dan
pekabaran Injil.
Dalam suatu Maklumat tertanggal 4 Mei 1493, Paus Alexander VI
membagi dunia yang sudah dikenal antara Portugal dan Spanyol.
Dengan tindakan ini ia memberi tugas kepada dua negara ini untuk men-
didik penduduk dari daerah-daerah yang baru dalam iman Katholik dan
tata-cara sopan-santun.
Baik Portugal, maupun Spanyol tidak terlalu ingin memperoleh
daerah jajahan baru. Tetapi mereka menyadari, bahwa perdagangan
akan sulit tanpa adanya pangkalan-pangkalan untuk menjalankan ke-
giatan mereka.
Setelah Pulau Timor secara tidak sengaja diketemukan oleh orang
Portugis yang bernama Antonio de Abreu, yang sebenarnya diutus oleh
d'Albuquerque dari Malaka pada tahun 1511 untuk mencari pulau rem-
pah-rempah Maluku, maka dengan cepat pula mereka mendapat kedu-
dukan dalam perdagangan cendana di pulau ini. Sesudah itu kapal-kapal
mereka sekali setahun datang ke Timor secara teratur untuk mengangkut
cendana dan biasanya tempat persinggahannya adalah Lifau dekat
OEkusi, di wilayah enklave Portugis.
Dengan perkembangan perdagangan kayu cendana antara Timor-
Malaka dan Macao, maka Pulau Solor di Flores Timur oleh orang-orang
Portugis dijadikan sebagai pangkalan kegiatan. Pulau ini juga menjadi
pangkal kegiatan Imam-imam Portugis dari Ordo Dominikan. Jelaslah,
bahwa agama Kristen yang mula-mula datang ke mari, adalah agama
Kristen Katholik, yang sampai sekarang merupakan mayoritas di Pulau
Flores, di Timor Portugis dan di dua kabupaten yang berdekatan dengan
Timor Portugis, yaitu kabupaten Timor Tengah Utara dan Belu.
Kalau dikatakan bahwa kaum Dominikan pada waktu itu telah meno-
batkan puluhan ribu orang, maka hal itu dapat dimengcrti, karena
sistem pengkristenan pertama itu lebih ditekankan pada "kuantitas",
bukan kepada "kualitas", sehingga kepada para pedagang dan para pra-
jurit pun diberi hak membaptiskan orang. Dengan sistem demikian,
maka walaupun pada mulanya banyak orang yang bersedia untuk dibap-
tiskan, tetapi tidak berapa lama mereka jatuh kembali ke dalam keka-
firannya.

1

PNRI
Suatu cara lain untuk mendapatkan banyak pengikut, adalah dengan
sistem perkawinan. Pemerintah Portugis, memberi izin malahan meng-
anjurkan, agar orang-orang Portugis, pedagang ataupun prajurit kawin
dengan wanita-wanita setempat, asal saja wanita itu dikristenkan
terlebih dahulu. Hasil dari perkawinan ini, ialah timbulnya turunan Por-
tugis yang disebut dengan nama "Portugis Hitam" atau "Topasses",
yang dalam sejarah perebutan kekuasaan antara Portugis dan Belanda
memainkan peranan yang besar.

c. Agama Kristen di zaman Belanda


Ketika orang Belanda mula-mula datang di Indonesia, gerakan Refor-
masi dengan gerakan Kalvinismenya, baru saja berlangsung di Negeri
Belanda. Synode Am yang pertama dari Gereja Hervormd Belanda baru
diadakan dalam tahun 1571, sedang Gerakan Nasional Belanda yang ada
hubungannya dengan Protestantisme baru mencapai hasilnya pada
tahun 1609, dengan terwujudnya Negara Kesatuan Belanda yang merde-
ka. Jadi orang-orang Belanda yang pertama tiba di Indonesia datang
dari suatu situasi nasional yang belum mantap dan dengan tradisi keaga-
maan yang masih berubah-ubah.
Di Indonesia usaha-usaha pekabaran Injil diawasi oleh Kompeni Da-
gang Hindia Belanda (VOC) .yang terbentuk di Belanda dalam tahun
1602. Badan ini mengawasi dan membiayai para pekabar Injil dan ikut
menentukan sebagian besar kebijaksanaannya. Jadi VOC tidak hanya
menjadi pedagang, melalui "Hak Monopolinya" dan menjadi "pe-
nguasa" melalui "Hak Oktroinya" (hak untuk merebut daerah, men-
dirikan benteng, mencetak uang, mengadakan peradilan, menentukan
perang dan damai), tetapi juga menjadi pendeta dan guru melalui tugas
"Memelihara iman khalayak ramai" yang pada mulanya terutama ditu-
jukan kepada orang-orang yang dibawanya ke Indonesia, tapi kemudian
guna mewujudkan faham yang menjadi semboyan Belanda, "Bendera
mengikuti perdagangan". Hal ini berarti, di mana saja perdagangan
Belanda berlangsung, di situ terpancang Bendera Belanda untuk men-
jamin dan melindungi gerak perdagangannya. Dengan cara demikian,
satu persatu daerah Indonesia dikuasai oleh Belanda, tetapi juga kepen-
tingan perdagangan ikut menentukan kebijaksanaan pekabaran Injil.
Semua pendeta yang datang ke Indonesia harus menjadi pegawai VOC.
Sejak berakhirnya masa VOC di Indonesia, maka tugas pekabaran In-
jil diambil alih oleh "De Nederlandse Zendelingen Genootschap".
Badan ini merupakan salah satu persekutuan pekabaran Injil yang didiri-

1

PNRI
kan di Rotterdam pada tanggal 19 Desember 1799 dan selanjutnya akan
memainkan peranan penting di Pulau Timor, sampai pada tahun 1860.
Sesudah " D e Nederlandsc Zendelingen Genootschap" mengundurkan
diri dari Pulau Timor pada ± tahun 1860, maka pekerjaan pekabaran In-
jil di wilayah ini dilaksanakan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Gereja Protestant Hindia Belanda (Indische Kerk) adalah ciptaan Raja
Willem I dari Nederland. Ketika pada tahun 1815 Inggris mengem-
balikan "Oost Indie" kepada Belanda, maka sejak saat itu wilayah
tersebut berada langsung di bawah pengawasan Raja. Ia sangat ingin
memperbaiki perpecahan di dalam Gereja Protestant yang tampaknya
lebih mudah dilakukan di Hindia Belanda. Demikianlah didekritkan
oleh Raja, bahwa semua urusan kegerejaan di Hindia Belanda berada
langsung di bawah pengawasan Menteri Urusan Jajahan.
"Indische Kerk" yang merupakan Gereja Negara, merupakan suatu
Lembaga administrasi dari negara yang mengurus soal-soal rohani.
Gereja seluruhnya bergantung pada negara. Pengurus "Indische Kerk"
dilantik oleh Gubernur Jenderal. Pengurusnya disebut "Kerkbestuur"
dan berkedudukan di Batavia. Pengangkatan setiap Pendeta dan pe-
tugas-petugas gereja lainnya harus disetujui oleh Gubernur Jenderal.
Hubungan antara Gereja Protestant dan Pemerintah Kolonial dalam
beberapa hal sama dengan hubungan antara "Nederlandche Zendelingen
Genootschap" dengan VOC. Pada keduanya terdapat bahaya, bahwa
Gereja dipakai untuk melayani tujuan-tujuan lain.
Sesudah ditempatkan seorang "Predikants-voorzitter" di Kupang se-
jak tahun 1910 sebagai wakil dari Kerk-bestuur, yang mengkoordineer
gereja-gereja di seluruh Karesidenan Timor, maka perkembangan Gereja
Protestant secara rohani fisik dan organisatoris menjadi makin kuat.
Hal ini terbukti, bahwa pada masa pendudukan Jepang, meskipun di-
tinggalkan secara tidak teratur oleh para pemimpin Bangsa Belanda,
Gereja Protestant di Timor dapat hidup terus, meskipun pada mulanya
harus mengalami kesulitan, karena Jepang pada umumnya melihat gere-
ja sebagai alat Belanda dan oleh karenanya merupakan sumber kesulitan
yang besar bagi mereka. Akibatnya, pada permulaan mereka mengambil
tindakan-tindakan yang keras dan kejam terhadap gereja.
Namun meskipun demikian harus diakui, bahwa justru masa itu meru-
pakan masa kebesaran bagi Gereja Timor. Akibat yang paling penting
dari masa pendudukan ini adalah timbulnya kepercayaan yang kuat
pada diri sendiri dan terangsangnya keinginan untuk merdeka dan
mengurus diri sendiri.

11

PNRI
Oleh karena itu banyak pendeta dan tokoh gereja tidak menghendaki
kembalinya orang-orang Belanda pada kekuasaan mereka yang semula.
Pada ketika Tentara Australia mendarat pada bulan September 1945 un-
tuk menerima penyerahan kekuasaan dari Jepang, yang ternyata dibun-
tuti oleh anggota-anggota Pemerintahan Sipil Belanda. Syukur, bahwa
ada juga beberapa Pendeta Belanda yang kembali dan karena merasakan
suasana berubah, menolak untuk menerima kembali kedudukan mereka
yang dahulu dan hanya ingin bertindak sebagai penasihat belaka.

Sidang Umum Gereja pertama sesudah perang diadakan dalam bulan


Oktober 1945, yang di samping memperbaharui soal organisasi dan
memperkokoh persetujuan Jemaat, juga membicarakan masalah Kemer-
dekaan Gereja.
Dua tahun kemudian pada hari Reformasi 31 Oktober 1947 Gereja
Masehi Injili di Timor (GMIT) berdiri dengan resmi sebagai Gereja yang
merdeka dan berdiri sendiri.
Banyak kemajuan sudah dicapai, teristimewa dalam pendidikan Theo-
logia, latihan kepemimpinan dan latihan-latihan di bidang pertanian.
Kehadiran team ini juga berarti diperolehnya bantuan dalam berbagai
bentuk untuk pekerjaan-pekerjaan gerejani di GMIT.
Sebagai Gereja Kristen di Timor, ia mengingini dan mencari perseku-
tuan dengan Gereja Kristen di seluruh dunia. Lingkungan yang terdekat
adalah di Indonesia sendiri. Di sini Gereja Masehi Injili di Timor
merupakan bagian dari satu kesatuan yang lebih besar, yaitu Dewan
Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang berkedudukan di Jakarta dan
yang pada saat ini dipimpin oleh Ketua Umumnya, Prof.Dr.J.L.Ch.
Abineno.
Gereja Masehi Injili di Timor juga mencari persekutuan dengan Gere-
ja-gereja Kristen di luar batas-batas negara. Sejak permulaan ia menjadi
anggota Dewan Gereja-gereja sedunia dan juga menjadi anggota dari
"East Asian Christian Conference".

Menilai keadaan Gereja Masehi Injili di Timor dari sejak saat pemben-
tukan (31 Oktober 1947) sampai sekarang ini, GMIT sudah mencapai
usia hampir 28 tahun. Kalau dibandingkan dengan umur manusia GMIT
sudah mencapai umur dewasa, sudah bisa berdiri di atas kaki sendiri,
dan dapat menyelesaikan persoalan-persoalannya sendiri, ya, sudah
dapat bertindak sebagai seorang manusia yang cukup bertanggung-

11

PNRI
jawab. Perkembangan yang pesat sekali sudah diperoleh, menurut catat-
an dalam tahun 1971 warga GMIT sudah mencapai jumlah ± 529.000
orang terbagi dalam 29 buah Klasis dan ± 1230 jemaat yang tersebar di
seluruh Propinsi Nusa Tenggara Timur, yang sesudah Gereja Batak,
merupakan gereja No. 2 terbesar di seluruh Indonesia.

11

PNRI
Akibat pengaruh Pemerintah dalam usaha pembangunan desa,
maka kepemimpinan desa di Timor nampaknya mengalami pergeseran.
Mulanya kepemimpinan desa yang bersifat tradisional adalah secara
turun-temurun dan berlangsung berabad-abad. Ia tidak hanya melaku-
kan tugas duniawi, tetapi juga tugas rohani, terutama yang menyangkut
upacara-upacara adat. Di daerah yang berbahasa Dawan misalnya
dikenal pemimpin desa dengan nama "Temukung", yang sebagai
penguasa tanah disebut " T e b e " dan sebagai penguasa rohani disebut
"Marane".
Kepemimpinan mereka bersifat "charismatik" dan pengaruhnya
sangat besar di kalangan rakyat. Tetapi dengan adanya usaha Pemerin-
tah ke arah modernisasi desa, maka dimasukkanlah golongan muda
yang terdidik untuk menjadi pemimpin desa. Kepemimpinan mereka
tidak lagi bersifat turun-temurun, tetapi dipilih oleh rakyat. Dengan
adanya usaha Pemerintah ini, kepemimpinan desa secara formal lepas
dari kepemimpinan tradisional. Namun karena kepemimpinan tradi-
sional telah berlangsung lama, pengaruhnya masih sangat kuat. Kepala
Desa pilihan baru memang lebih berkuasa dan berpengaruh dalam soal-
soal yang menyangkut pemerintahan. Tetapi dalam soal-soal lain go-
longan pemimpin tradisional yang bergeser masih memiliki pengaruh
yang sangat besar. Mereka inilah yang merupakan pemimpin informal
dalam desa.
Oleh karena itu masyarakat desa di Timor adalah sebenarnya homo-
gin. Hal ini berhubungan dengan latar belakang masa lampau, di mana
masyarakat suatu desa itu asalnya adalah satu keturunan. Namun dalam
perkembangannya kemudian, dengan adanya pengaruh-pengaruh dari
luar dan masuknya sistem Pemerintahan Kerajaan, mulai dikenal perbe-
daan yang berupa penggolongan-penggolongan dalam masyarakat.
Golongan yang terendah adalah golongan yang berasal dari golongan
hamba-sahaya atau budak. Golongan ini, yang dalam istilah daerahnya
disebut " a t a " muncul setelah timbulnya pemerintahan raja-raja, tim-
bulnya saling berperang antara mereka dan ramainya perdagangan
budak di masa lampau. Budak di masa itu merupakan barang dagangan
yang penting. Namun sekarang golongan itu sudah tidak begitu nampak
lagi. Yang merupakan lapisan terbanyak adalah golongan rakyat biasa
dan golongan ini semakin besar dengan hilangnya atau makin menipis-
nya golongan lain.
Lapisan ketiga yang lebih tinggi adalah golongan bangsawan rendahan
atau setingkat dengan "Fetor" (Amaf) di daerah Dawan, " N a i " di

1

PNRI
daerah Belu. Golongan bangsawan yang lebih tinggi adalah raja-raja dan
keturunannya. Namun dengan terhapusnya pemerintahan Swapraja ini
dalam tahun 1962 golongan ini pun makin kabur dan tipis. Terdapat
juga dahulu golongan prajurit dan panglima perang yang disebut
" M e o " , tetapi sekarang golongan itu hanya tinggal namanya saja.
Sebenarnya lapisan sosial sekarang tidak begitu tampak lagi dengan
semakin berkembangnya taraf pendidikan dan modernisasi desa.
Masyarakat desa sekarang ini sudah lebih terbuka, walaupun penga-
ruh adat dan tradisi nampak masih kuat di pedesaan. Oleh karena itu,
sungguh tepat pendapat orang, bahwa masalah pembinaan masyarakat
pedesaan, terutama pemudanya memerlukan sekali partisipasi semua
jenis kepemimpinan yang ada di desa, terutama pemimpin-pemimpin
adat, oleh karena keterbukaan masyarakat pedesaan terhadap pem-
bangunan dan pembaruan pun sangat banyak dipengaruhi oleh adat-
istiadat pedesaan serta kondisi geografis setempat.
Sudah pula disadari bahwa tantangan terbesar yang dapat menghalang
lajunya pembangunan, adalah apabila entusiasme, pengertian dan par-
tisipasi rakyat banyak tidak menyertai semua rencana dan program-
program Pemerintah, betapa pun baiknya rencana dan program-
program tersebut. Dalam hubungan inilah, maka pembinaan masya-
rakat desa dengan pemudanya memegang peranan yang sangat menen-
tukan, oleh karena sedikitnya 82% penduduk Indonesia berada di desa-
desa dan ± 40% di antaranya adalah pemuda pedesaan.
Juga perlu diketahui, bahwa struktur perekonomian kita, sampai
dimulainya program-program pembangunan dalam rangka Pelita, ada-
lah struktur ekonomi warisan kolonial, yang ditandai oleh dualisme
dalam berbagai bidang kehidupan. Salah satu dualisme itu adalah dualis-
me sosial. Di satu pihak keadaan sosial ekonomi di daerah pedesaan
ditandai oleh kekurangan-kekurangan yang parah, sedangkan di pihak
lain di kota-kota terus bertambah pola konsumsi yang menyolok, yang
ditandai oleh napsu pamer dan adu kekayaan dan kemewahan.
Akibat dari keadaan yang timpang ini, yang sekarang jelas mulai
terasa, adalah "exodus" kaum muda dari desa-desa, karena daya-tarik
kota, ataupun karena situasi kehidupan di desa sendiri memang sudah
tidak tertahankan lagi. Akibatnya nanti, adalah bahwa kota-kota pun
tidak mampu lagi menyediakan lapangan kerja bagi semua penduduk
desa yang lari ke kota.
Apabila hal itu mulai sekarang tidak ditangani secara tepat dan cepat,
lambat laun akan merupakan bisul sosial yang mencari jalan untuk

14

PNRI
pecah dan akhirnya dapat menimbulkan ledakan-ledakan sosial yang
merugikan.
Itulah sebabnya, maka masalah pembinaan pemuda pedesaan yang
mencakup berbagai segi kehidupan masyarakat telah mulai dijalankan
secara intensif oleh Pemerintah. Pembinaan pemuda pedesaan itu pada
dasarnya haruslah bertumpuk pada satu titik, yakni membuat pemuda-
pemuda desa betah tinggal di desanya, karena melihat juga di sana fajar
perbaikan nasib yang nyata dan jelas.
Melalui pembinaan yang mengkoordinasikan dengan sasaran dan cara
yang tepat akan dapatlah dibangkitkan dan dimanfaatkan potensi pemu-
da pedesaan, sehingga pembangunan dari desa dapat bersambung
dengan sektor perekonomian modern yang datang dari kota-kota, se-
hingga bukan saja bahaya urbanisasi, tetapi juga bentrokan antara
dualisme sosial sebagai warisan kolonial, dapat terhindar dan dielakkan.

3. Kebudayaan dan Seni


a. Kebudayaan
a.l. Perkampungan dan perumahan
Kampung di Pulau Timor adalah lingkungan terkecil. Beberapa kam-
pung dipersatukan menjadi semacam desa, yang disebut "Kete-
mukungan" (Dawan), Kenaian (Tetun) dan dikepalai oleh seorang
"Temukung" (Dawan) atau Nai (Tetun).
Kemudian beberapa ketemukungan dikepalai lagi oleh seorang "Fe-
t o r " (Dawan) atau Loro (Tetun) dan akhirnya ada seorang raja sebagai
Kepala Swapraja yang meliputi beberapa kefetoran atau keloroan.
Besarnya kampung tidak tentu. Sering kita lihat kampung yang hanya
terdiri dari beberapa rumah saja, tetapi ada juga yang terdiri dari
berpuluh-puluh rumah..
Letaknya satu kampung dengan kampung yang lainnya pun sering
berjauhan sekali. Dapat terjadi, bahwa sepanjang jarak beberapa puluh
kilometer, orang tidak menjumpai kampung.
Kampung-kampung di Timor letaknya tersebar ke tempat-tempat
yang ada mata airnya atau di tepi-tepi sungai, yang pada musim kemarau
tidak menjadi kering sama sekali. Kampung-kampung asli biasanya ter-
letak di pegunungan atau di bukit-bukit yang sukar dilalui. Salah satu
sebab mengapa mereka memilih tempat-tempat kediaman di pegu-
nungan, ialah karena pada waktu lampau mereka sering berperang satu
dengan lainnya. Dilihat dari sudut strategi memang tempat-tempat tadi

1

PNRI
baik letaknya, karena mereka dapat melihat dan mengawasi daerah seke-
lilingnya. Dengan demikian mudahlah mereka mengetahui darimana
datangnya musuh. Sebab yang lain lagi, ialah untuk menjauhkan diri
dari penagih-penagih pajak dan kewajiban kerja paksa atau rodi di
zaman penjajahan Belanda.
Suatu kampung umumnya dikelilingi pagar hidup yang terdiri dari
pohon-pohon kaktus (laus) ataupun yang dibuat dari tangkai-tangkai
daun lontar atau gebang, kayu-kayu hutan atau batu-batu karang. Kare-
na itu seolah-olah kampung-kampung itu merupakan benteng-benteng
pertahanan yang didiami oleh suatu keluarga yang besar.
Sesuatu cara yang tertentu untuk mendirikan rumah-rumah dalam se-
buah kampung tidak ada. Orientasi rumah-rumah berhubung dengan ja-
lannya matahari atau arah angin bertiup tidak diperhatikan. Letaknya
rumah-rumah sembarangan saja dan tentang syarat-syarat kesehatan
belum lagi diperhatikan.
Meskipun tiap kampung asli mempunyai rumah pemali (hatas) atau-
pun " U m a leu" (rumah pemali) untuk upacara-upacara pemujaan dan
pemberian korban, namun rumah-rumah ini pun tidak mendapat tempat
yang tertentu.
Pengaruh kepercayaan terlihat pada denah, bentuk dan ukuran
rumah, di samping terdapatnya beberapa hal yang menjadi syarat pada
pembangunan rumah-rumah antara lain:
— Sebuah rumah tidak boleh dibangun di perpanjangan simpang tiga
— Di depan rumah jangan ada bukit.
— Di hadapan pintu muka jangan ada pohon atau batu besar.
— Kalau letak rumah itu di lereng bukit, maka rumah itu tidak boleh
menghadap ke puncak bukit.
— Rumah berangka kayu, banyaknya tiang harus genap dan tidak boleh
ganjil.
— Letaknya kuda-kuda tidak boleh tepat di atas pintu, harus agak ke
samping kiri atau kanan.
— Usuk-usuk yang terdapat di atas pintu harus genap.
Bila hal-hal tersebut di atas tidak diperhatikan, niscaya akan mem-
bawa kesukaran dan malapetaka pada si penghuni, misalnya kematian,
menderita sakit, selalu nasib sial dalam pekerjaan dan pencaharian rijki,
selalu ada percekcokan dalam rumah tangga atau dengan para tetangga
dan sebagainya.
Juga pada perletakkan batu pertama, pada saat menaikkan atap dan
saat mulai menempati rumah itu harus diadakan upacara selamatan.

1

PNRI
Mereka yang sudah beragama Kristen pun masih merasa terikat pada
aturan-aturan tersebut.

a.2. Pakaian:
Pakaian penduduk asli masih sangat sederhana, untuk laki-laki terdiri
dari 2 helai "selimut" dan untuk wanita sehelai sarung dan selimut.
Sarung dan selimut ini ditenun sendiri oleh para wanita dan biasanya
dibuat daripada benang yang dipintal dari kapas. Suku Timor sangat ra-
jin bertanam kapas. Kerajinan tangan, memintal dan menenun sarung
dan selimut menjadi keharusan bagi setiap gadis remaja. Bagi seorang
wanita yang tidak dapat memintal dan menenun, merupakan suatu ke-
kosongan dalam pendidikannya dan dipandang orang sebagai suatu
keaiban. Di rumah suaminya ia dipandang sebagai seorang yang dungu,
yang sebenarnya belum waktunya untuk kawin. Oleh karena itu, pada
umumnya tiap-tiap wanita di pedalaman Pulau Timor, pandai menenun
sarung dan selimut.

Seni ikat dan tenun Timor.

Biasanya laki-laki mengenakan 2 helai selimut. Yang sehelai dikena-


kannya pada pinggangnya dengan memakai baju lengan pendek.

1

PNRI
Wanita-wanita memakai sarung dan kebaya. Wanita keturunan bangsa-
wan atau mereka yang berada, biasanya masih mengenakan kain batik di
luar sarung itu.
Selimut dan sarung-sarung itu mempunyai motif (futu) yang beraneka
ragam. Setiap Swapraja di Timor memiliki motif-motif tertentu, sedang
ada pula motif-motif yang hanya boleh digunakan oleh raja-raja dan
tidak oleh rakyat biasa.
Warna-warna yang disukai, ialah warna hitam, merah, kuning tua, hi-
jau tua dan putih. Bahan warna asli untuk sarung dan selimut itu diambil
dari tumbuh-tumbuhan. Warna hitam atau biru tua dibuat daripada
daun tarum, warna kuning daripada umbi kunyit, warna merah daripada
akar bengkudu atau kulit kosambi dan warna hijau daripada daun
" k o t o " yakni sebangsa kacang-kacangan.
Dalam pesta-pesta dan upacara-upacara adat, raja dan rakyat biasa-
nya berpakaian secara adat. Suku Timor laki-laki mengenakan 2 helai
selimut, jas tutup atau kemeja dengan sebilah parang yang tersarung di
pinggangnya, destar dan pada lehernya beberapa utas muti salak dan plat-
plat mas ataupun perak (wulan). Wanita mengenakan sarung dan kebaya
dan pada lehernya tergantung beberapa utas muti (manik-manik) salak
dan lengannya dihiasi dengan gelang-gelang perak, yang bentuknya
merupakan ciri khas Timor. (buku (w) niti (bulat).
Dalam kehidupan sehari-hari di desa-desa di pedalaman kita melihat
wanita berselubung sarung. Sarung menutupi tubuh sampai kepala atau
leher, oleh karena udara pagi atau malam di pegunungan biasanya
sangat dingin, tambahan pula pada umumnya mereka tidak mengenakan
kebaya. Mereka bukan karena miskin atau tidak mampu untuk membeli
sehelai kebaya. Pada umumnya mereka cukup berada, mempunyai
uang, sapi, babi, dan muti salak. Uang itu biasanya disimpan dalam
tabung dan hanya sekali-sekali saja diambilnya untuk membeli barang-
barang yang dipandang sangat perlu. Pada zaman yang lampau, waktu
uang perak masih beredar, mereka lebih suka menyimpan uang perak itu
daripada membelanjakannya.
Tidaklah terlalu mengherankan kalau kebanyakan orang-orang desa
itu terbilang orang berada, mempunyai uang perak sampai beberapa ribu
rupiah. Mereka mempunyai kebaya dan kebaya itu dikenakannya hanya
pada waktu tertentu saja, untuk pergi" ke gereja atau ke pesta.
Pada hari-hari biasa kebaya itu tidak perlu dipergunakan, disimpan
saja. Sehari-hari tidak mengenakan kebaya, tidaklah dianggap aib atau
kekurangan, sebab sudah menjadi kebiasaan. Namun kebiasaan ini pun

1

PNRI
makin menghilang dengan adanya perkembangan baru disebabkan oleh
pendidikan yang makin meluas sampai ke desa-desa.

b. Soal etika dan sopan santun:


Etika yang bermakna kesosialan adalah suatu motif perikemanusiaan
dalam segenap kehidupan orang Timor. Orang Timor telah dilatih sejak
kecil untuk menjadi manusia sosial, manusia ksatria yang beradat sopan
dan tahu budi bahasa.
Barang siapa untuk pertama kali berjumpa dan bercakap-cakap
dengan seorang Timor asli, terutama orang Timor dari kawasan peda-
laman, akan segera merasa bahwa orang Timor adalah suatu suku
bangsa yang tidak segan merendahkan diri dalam sikap dan tutur sapa.
Dalam seni berkata-kata selalu disaluti irama bahasa yang sedap
didengar, seolah-olah tokoh arahan berkata lebih mulia daripadanya.
Suatu sifat rasa rendah diri yang dipupuk dari zaman penjajahan Por-
tugis dan Belanda sebagai bangsa yang dipertuan, tetapi terutama pada
zaman Raja-raja.
Dengan mengambil sikap tunduk sedikit, diikuti dengan gerak kedua
telapak tangan yang tersopang, orang Timor bersedia berbicara. Apalagi
kalau mereka berhadapan dengan kalangan lain yang bukan orang
Timor, yang lazim disebut "Kase" atau orang Timor bangsanya sendiri
dari kalangan atas. Kata-katanya dihiasi dengan kalimat-kalimat yang
bersifat "aphoristik" dan bentuk kata-kata yang cukup artistik dalam
pendengaran.
Kata-kata kehormatan yang digunakan untuk menyapa raja-raja
lazim dikatakan dengan istilah "Ahoit" (yang mulia) atau "ahoit-
Alalat" (seri paduka yang mulia).
Di zaman Republik Indonesia, terutama sesudah Swapraja-swapraja
dihapuskan dalam tahun 1962 di mana lambat laun segala golongan ma-
nusia dalam masyarakat manusiawi mereka berada pada tingkat yang
sama, istilah "ahoit" dan "ahoit-alalat" sudah tidak kedengaran lagi.
Dalam kehidupan sehari-hari sapaan kehormatan yang lazim dipergu-
nakan adalah " P a h Tuan" (yang dipertuan Syah alam). Umumnya di-
singkat saja dengan sebutan " T u a n " (Tua) atau " P a h " , baik terhadap
perempuan, maupun terhadap anak-anak.
Tentu saja. sistem Pemerintahan di masa lampau juga turut mempe-
ngaruhi sapaan seperti tersebut di atas. Kita ingat saja akan cara
pemerintahan Maromak Oan/Liurai di Belu dan Sonbai di
OEnam/Dawan. Maharaja-maharaja itu dianggap oleh suku Tetun dan

TIMOR PULAU GUNUNG FATULEU 10 129

PNRI
Dawan sebagai bangsawan-bangsawan turunan Kayangan. Rasa hormat
yang sebesar-besarnya diberikan kepada maharaja-maharaja itu dengan
jalan member! gelar Maromak Oan (Putra Dewata) dan Neno Anan
(Anak Tuhan). Raja dipandang sakti seperti Tuhan, yang dapat menu-
runkan hujan dan sebagainya.
Sudah tentu rakyat merasa diri sangat rendah, sehingga dalam per-
cakapan dengan raja, sering kelihatan rakyat harus menutup mulut
dengan kedua belah tangannya. Kalau Raja duduk di kursi, maka rakyat
berjongkok atau duduk berkeliling di tanah.
Bagi mereka, penghormatan semacam itu bukanlah suatu yang ber-
lebih-lebihan, bukan mendewa-dewakan seseorang, melainkan sebagai
suatu ketentuan penghormatan yang lahir dengan spontan. Dengan
serta-merta mereka tunduk atau berlutut di hadapan raja, sambil
mengiakan tiap-tiap titah raja dengan ucapan " P a h T u a " artinya "ya
Tuanku". Sebenarnya " P a h T u a " artinya "tuan tanah". Perkataan
Pah itu dipergunakan sebagai suatu ucapan penghormatan terhadap raja
yang dianggap sebagai tuan tanah atau sebagai pemilik daerah tempat
mereka hidup.
Bukan hanya terhadap raja-raja saja, juga terhadap orang lain, orang
"Kase" (orang asing) yang mempunyai itikad baik terhadap mereka;
segala sesuatu milik mereka yang berharga dapat diserahkan pada tamu-
nya. Tikar yang baik, makanan yang terbaik, termasuk padi bibit akan
ditumbuk untuk makanan tamunya yang terhormat itu. Dan dengan sen-
dirinya juga terhadap tamu-tamu yang dihormatinya itu sapaan kehor-
matan juga " P a h " atau " T u a " atau " P a h T u a " yang dipergunakan.
Kecuali sapaan kehormatan yang dimaksudkan sebagai suatu gelaran
kepada raja ataupun sebagai suatu sanjungan kepada tamu yang dihor-
mati, maka menurut hukum etika suku Timor, semua nama orang Timor
secara tradisi, memiliki sapaan kehormatan, baik terhadap nama kecil
pribadi (praenamen), maupun terhadap nama keluarga (cognamen) yang
pada umumnya berasal dari nama "Gens" atau Klan (sukunya). Setiap
nama kecil pribadi (praenamen) mempunyai suatu kehormatan yang
dalam bahasa Timor disebut "Kan Oten" Demikian pula sapaan kehor-
matan bagi setiap nama keluarga (cognamen) yang disebut "Kan
A k u n " . Misalnya seorang Timor bernama Neno (Nama kecil = eigen
naam) Toto (nama keluarga = familie naam).
Di kalangan orang Timor tidak terdapat perbedaan istilah nama orang
laki-laki dengan nama orang perempuan. Kalau laki-laki diberi tambah

1

PNRI
di depannya kata " N a i " jadi "Nai Neno" sedang kalau perempuan
ditambah dengan kata " B i " jadi "Bi Neno".
Menurut tradisi di kalangan masyarakat Timor'animis, semua orang
bernama Neno (Nai Neno atau Bi Neno) mendapat sapaan kehormatan
" F u a n " . Menurut etika suku Timor adalah tidak sopan untuk menyebut
di depan umum nama orang laki-laki "Nai Neno" atau nama orang
perempuan "Bi Neno". Dalam pergaulan umum mereka harus disebut
dengan sapaan kehormatan "Nai Fuan" dan "Bi Fuan". Jadi "Nai
Neno T o t o " harus disapa dengan sebutan "Nai Fun Toto" dan "Bi
Fun Toto'"yang adalah berasal dari "Nai Fuan Toto" dan "Bi Fuan
Toto". Oleh oeraturan eliminisi bahasa Timor, kata " F u a n " menjadi
"Fun", yaitu bila diucapkan dalam sesuatu rangkaian kalimat.
Demikian juga setiap nama keluarga mempunyai sapaan kehormatan
yang sangat ditaati dalam etika suku Timor. Misalnya sapaan kehor-
matan terhadap "Cognamen Toto" adalah "Oki". Dalam pergaulan
umum nama " T o t o " kurang sopan disebut; harus dipergunakan istilah
" O k i " . Jadi apabila Nai Neno Toto atau Bi Neno Toto tersebut di atas
dipersilakan untuk mamah (makan) sirih, orang Timor biasa
mengatakan, "Silakan makan sirih, Oki".
Perlu dijelaskan di sini, bahwa sirih menyelingi setiap kegiatan dalam
masyarakat pedesaan di Timor. Kegiatan makan sirih merupakan suatu
kegiatan sosial, yang kadang-kadang. bersifat ceremonil, dan kadang-
kadang merupakan basa-basi sopan santun dalam pergaulan hidup se-
hari-hari. Penyapaan pada setiap perjumpaan, baik formal maupun in-
formal diawali dan disempurnakan oleh makan sirih, malahan ajakan
makan sirih menjadi identik dengan ucapan selamat pagi, selamat siang,
selamat makan, selamat berjumpa, selamat berpisah dan lain-lain.
Sirih, pinang, tembakau dan kapur merupakan barang ekonomi pri-
mair dan barang sosial yang amat menentukan dalam pergaulan hidup.
Seakan-akan tanpa makan sirih, dunia tidak akan berputar lagi bagi
orang Timor di daerah-daerah pedalaman.
Selanjutnya masing-masing keluarga (nonot) di Timor memiliki sa-
paan kehormatan (Kan Akun) nya tersendiri, misalnya:
"Kan Akun" daripada keluarga (Nonot) Toto adalah " O k i "
"Kan Akun" daripada keluarga (Nonot) Sonbai adalah "Sila"
"Kan Akun" daripada keluarga (Nonot) OEmatan adalah "Kaunan"
"Kan Akun" daripada keluarga (Nonot) Ataupah adalah " N a b u "
dan lain-lain.
Setiap orang Timor yang animis yang memakai nama pribadi (eigen-

1

PNRI
naam) sebagaimana disebutkan pada contoh di atas, adalah nama-nama
pribadi di zaman animis. Ketika yang bersangkutan meninggalkan ke-
percayaan animismenya dan memeluk agama Kristen, dalam falsafah
hidup seolah-olah ia sudah memasuki zaman kehidupan baru di bidang
kepercayaan. Filsafah animismenya diganti dengan filsafah Kristen.
Tidak lagi menyembah dewa-dewa dan arwah nenek-moyangnya, me-
lainkan menyembah kepada Allah Yang Maha Esa.
Sejak itu nama kecil animismenya yang diperolehnya dari tete-nenek-
moyangnya diganti dengan nama Kristen seperti: Yacob, Yusuf,
Abraham, Hendrik, Ishak, David dan lain-lain, suatu nama baru yang
tidak kedapatan dalam daftar nama-nama animis.
Dengan demikian, sapaan kehormatan terhadap nama kecil pribadi-
nya tidak digunakan lagi. Akan tetapi sapaan kehormatan untuk nama
keluarga (cognamen) masih tetap digunakan, apabila dalam pergauian
itu digunakan bahasa Timor, dengan perkataan lain "Kan Akun"nya
masih tetap dihargai.
Di samping itu masing-masing kelompok suku Timor telah pula mene-
tapkan sebuah gunung batu (Fatu), sebagai pusaka bagi seluruh
"nonot"nya. " N o n o t " Toto, OEmatan, Sonbai, Ataupah, Rasi dan
lain-lain, masing-masing mempunyai pusaka gunung batu keramat
tersendiri. Jadi selain sapaan kehormatan nama kecil pribadi dan nama
keluarga, masih terdapat sapaan kehormatan lain, ialah sapaan kehor-
matan dengan mempergunakan nama gunung "batu keramat"-nya,
misalnya:
Gunung batu keramat dari "Nonot Sonbai" adalah OEnam, yakni
nama sebuah gunung batu di Kecamatan Molo Utara, Kabupaten Timor
Tengah Selatan. Dalam hal berkata-kata dengan tokoh Sonbai, ia harus
disapa dengan menyebut nama gunung batunya, ialah sapaan kehor-
matan "OEnam Tuan" yang artinya "yang dipertuan atas OEnam".
Gunung keramat daripada Nonot-nonot OEmatan, Toto dan Lasa
adalah " M o l o " . Ketiga Nonot ini harus disapa dengan sapaan kehor-
matan "Molo Tuan".
Demikian seterusnya; dalam hal ini perlu diketahui, bahwa semua
golongan bangsawan di Timor, masing-masing memiliki gunung batu
keramat tersendiri.
c. Kesenian:
cl. Umum
Kesenian suku Timor belum begitu terkenal jika dibandingkan dengan
1

PNRI
Tenunan Timor yang indah-indah dipamerkan di Kantor Perindustrian NTT untuk dijual
kepada para Wisatawan.

kesenian daerah-daerah lain seperti kesenian dari Maluku, Jawa,


Sumatera, dan lain-lain.
Hal ini bukan karena suku Timor tidak mempunyai kesenian, melain-
kan disebabkan usaha-usaha untuk memupuk kesenian Timor serta
memperkenalkannya di luar daerah, dapat dikatakan, belum banyak
dilakukan. Perintis, penulis, serta tokoh yang mengusahakan hal itu,
merupakan suatu hal yang belum berkesempatan untuk melakukan
sesuatu yang menuju ke arah menggali, memajukan dan memperkenal-
kan kesenian itu secara intensif.
Suku Timor cukup banyak mempunyai kesenian. Mereka hidup seba-
gai sekelompok manusia yang mempunyai kesatuan budaya yang kecil
yang mempunyai corak tersendiri. Gambaran tentang tinggi rendah dan
corak kebudayaan Timor itu, telah dilukiskan secara sepintas lalu dalam
pasal-pasal yang mendahului pasal ini, misalnya, tentang seni ikat dan
seni bangun dalam hal mendirikan rumah dan lopo. Karena bukanlah
maksud saya membuat suatu karangan yang khusus membicarakan ten-
tang kebudayaan suku timor sampai ke detailnya, maka catatan saya
tentang hal itu akan saya lanjutkan, dengan maksud hanya mem-
bicarakan bagian-bagian yang penting, yang perlu diketahui. Misalnya
tentang seni sastera, sebagai salah satu cabang seni yang tinggal terpen-
dam sampai saat ini dan kemudian tentang seni suara dan seni tari.


PNRI
c2. Seni Sastra:
Baik suku Dawan maupun suku Belu tidak mempunyai huruf atau
tulisan sendiri.
Gambaran tentang keadaan corak masyarakat lama, tidaklah dapat
dibaca, hanyalah dapat didengar sebagai cerita-cerita dari mulut ke
mulut, yang sebagian besar sangat diragukan, karena cerita-cerita itu
pasti mengalami perubahan-perubahan, sisipan-sisipan, penyingkatan-
penyingkatan dan tambahan-tambahan dari para pencerita yang turun
temurun itu. Sebagian besar daripada kesusastraan yang tidak tertulis
itu terdiri dari mantera-mantera serta dongeng-dongeng, legende atau
fabel.
Di antara dongeng-dongeng yang pernah saya dengar, banyak yang
mempunyai motif "manusia menjadi binatang" atau sebaliknya "bina-
tang menjadi manusia".
Dalam sebuah dongeng yang berjudul "Mone Tenu", diceritakan,
bahwa ada tiga anak laki-laki kakak-beradik turun dari langit; yang
sulung sangat malas, sebaliknya kedua adiknya amat rajin. Keduanya
berladang dengan menebas hutan. Pada waktu jagung mulai tua,
datanglah yang sulung mencuri jagung. Tetapi malang, si pencuri ditom-
bak oleh adiknya, karena disangkanya babi. Tombak itu tepat mengenai
ujung bawah tulang punggungnya. Seketika itu juga tulang itu mencuat
ke luar, dan berubahlah pencuri jagung itu menjadi seekor kera.
Banyak benar cerita-cerita semacam itu, yang bermotif manusia men-
jadi binatang. Sebaliknya tidak kurang pula cerita-cerita yang bermotif
binatang menjadi manusia, misalnya dalam dongeng: "Buaya menjadi
manusia", "Ular menjadi manusia", dan lain-lain.
Tidak kurang pula cerita-cerita yang menggambarkan tokoh-tokoh
tolol, yang selalu sial, disebabkan oleh karena ketololannya. Dalam
sebuah cerita yang berjudul "cerita sekelompok pencuri", diceritakan
tentang seorang muda yang digambarkan sebagai tokoh tolol, yang
selalu membuat sial dalam usaha pencuri-pencuri itu. Sementara kawan-
kawannya sibuk mencuri kambing, pergilah ia kepada pemilik kambing
meminta tali untuk mengikat kambing-kambing yang telah dicuri teman-
temannya. Sudah tentu pemilik kambing, tidak akan membiarkan si
tolol itu kembali membawa tali yang dimintanya itu kepada teman-
temannya. Ia ditangkap dan teman-temannya dikejar.
Cerita-cerita yang mirip dengan cerita Abunawas ada pula beredar di
Pulau Timor. Misalnya, dalam sebuah cerita yang berjudul "Nai' Kau".
Dalam cerita itu Nai' Kau yang memegang peranan sebagai Abunawas,
1

PNRI
ditangkap oleh musuhnya lalu dimasukkan ke dalam sebuah karung.
Dari percakapan musuhnya, Nai 'Kau tahu, bahwa ia akan dibuang ke
laut.
Oleh karena itu, Nai 'Kau mulai mencari akal. Ketika salah seorang
kaya datang mendekatinya dan bertanya, mengapa ia dimasukkan ke
dalam karung itu, maka jawabnya, "Aku akan dikirim ke dasar laut un-
tuk menjadi raja di sana, akan tetapi penobatan ini belum berkenaan di
hatiku."
Hasil percakapan antara Nai 'Kau dengan orang kaya itu, ialah, si
kaya yang tolol itu tertipu. Nai 'Kau keluar dari dalam karung dan
sebagai gantinya dimasukkannya orang kaya itu ke dalam karung. Nai
'Kau bebas, lalu pulang dan memiliki harta si kaya yang ingin menjadi
raja di dasar laut.
Cerita tentang Nai 'Kau itu agak panjang dan mempunyai banyak
bagian yang serupa dengan cerita Abunawas.
Selanjutnya dongeng-dongeng di Pulau Timor banyak mengandung
unsur-unsur mistik. Dongeng-dongeng itu erat benar hubungannya
dengan kepercayaan yang dianut oleh leluhur kita, ialah yang disebut
animisme dan dinamisme.
Tersebarlah di masyarakat " k u n o " itu cerita-cerita mistik yang meng-
gambarkan keadaan dahulu tidak aman hidupnya. Banyak malapetaka,
bahaya dan penyakit yang diderita, dialami dan mengancamnya sepan-
jang masa. Siapakah yang selalu mengganggu ketenteraman hidup
mereka? Mereka tidak mengetahuinya. Timbullah anggapan yang kemu-
dian menjadi kepercayaan, bahwa yang menyebabkan mereka tidak
dapat hidup dengan aman dan sentausa itu adalah "kemurkaan" roh,
jin, setan terhadap mereka yang melakukan "pelanggaran" terhadap
segala "larangan". Untuk menghindari segala gangguan itu, roh, jin dan
setan yang sangat ditakuti "kemurkaannya" itu harus disembah, diberi
"sajian", harus dijauhi segala "larangannya". Mereka percaya pula
kekuatan gaib pelbagai benda, keris, tombak, tongkat dan lain-lain,
yang dapat menyelamatkan, melindungi dan menjauhkan mereka dari
segala gangguan keamanan dari segala penyakit, bahaya dan malapetaka
yang selalu mengancam itu. Inilah selayang pandang gambaran tentang
kepercayaan yang kita kenal dengan nama animisme dan dinamisme.
dengan nama animisme dan dinamisme;
Lahirlah julukan untuk Pulau Timor yang menggambarkan ketakut-
an, kecemasan nenek moyang suku Timor ialah: "Pahen Atoni" atau
"Bumi laki-laki".

1

PNRI
Pahen Atoni, bahasa Dawan, artinya: Bumi laki-laki atau menurut ar-
ti yang sebenarnya "daerah yang tidak aman". Hal ini diutarakan dalam
beberapa cerita yang menggambarkan tentang perilaku setan-setan
mengganggu manusia. Dalam sebuah cerita yang berjudul "Daging
setan", diceritakan bahwa ada seorang laki-laki melihat sebuah paha
kerbau tergantung pada sebatang pohon. Dengan suka-cita dibawanya
paha kerbau itu ke rumahnya. Datanglah anak-istrinya berkerumun dan
hendak menolong memotong-motong daging paha kerbau itu. Tiba-tiba
melompatlah paha kerbau itu sambil menyepak ke kiri dan ke kanan.
Berlarilah laki-laki itu bersama anak-istrinya terbirit-birit, meninggalkan
rumah mereka. Paha kerbau itu terus melompat-lompat dan menyepak-
nyepak mengejar laki-laki itu sampai di hutan. Di hutan itulah paha ker-
bau itu menghilang, entah ke mana perginya.
Masih adakah peristiwa semacam itu di Pulau Timor? Tentu tidak
ada. Itu adalah peristiwa jaman dahulu kala. Peristiwa itu mungkin juga
tidak terjadi seperti yang didongengkan itu, mungkin juga sama sekali
tidak ada kejadian semacam itu. Dongengan itu mungkin lahir dalam
dunia khayal seorang orang tua yang dalam batas-batas kesanggupan
dan kebijaksanaannya ingin memperingatkan anak cucunya terhadap
bahaya yang selalu mengancam manusia. "Berhati-hatilah," katanya,
"janganlah ingin memiliki benda yang bukan kepunyaanmu, jangan'
tamak!"
Sekarang Pulau Timor telah dipandang sebagai daerah yang aman,
yang tidak lagi diancam kejahatan roh setan, atau jin. Oleh karena itu,
sekarang Pulau Timor dikenal dengan nama julikan: "Pahen Bifel" atau
"Bumi perempuan", maksudnya: Daerah yang aman.
Demikianlah sedikit tentang dongeng-dongeng yang merupakan
bagian pada seni-sastra yang tinggal terpendam sampai saat ini.

c3. Seni Suara


Kecuali seni ikat, seni bangun, dan seni sastra, maka seni suara di
Timor mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan.
Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Kebudayaan dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun belakangan ini sedang giat
menggali dan mengembangkan lagu-lagu daerah dengan mengadakan
lomba nyanyi, khusus lagu-lagu daerah. Di samping itu seni suara pada
umumnya hidup dan berkembang dengan suburnya, dengan adanya
paduan-paduan suara atau Koor-koor Gereja, yang kecuali setiap
minggu memperdengarkan lagunya pada kebaktian di Gereja-gereja,
1

PNRI
juga dengan dibantu dan direstui oleh Pemerintah setiap tahun
mengadakan lomba koor (Pesparani) antara Gereja dan jemaat sampai
ke tingkat nasional.
Jenis pekerjaan dan suasana lingkungan hidup sangat menentukan
irama hidup seseorang. Penyesuaian diri pada lingkungan hidup selama
berabad-abad tidak saja menentukan keadaan kegiatan hidup dan kerja
setiap hari, melainkan juga berpengaruh hingga ke bawah-sadar manu-
sia, sehingga menyentuh daya-cipta budaya hidup mereka. Para pelaut
tradisional yang selalu berhadapan dengan gulungan ombak dan gelom-
bang pasti memiliki irama hidup yang lain dari mereka yang hidup di
daerah lembah pegunungan yang tenang, meskipun kadang-kadang
harus mengalami keadaan lingkungan yang keras dan kaku. Hal itu tam-
pak jelas pada nyanyian-nyanyian rakyat yang dinyanyikan ketika
penduduk sedang bekerja. Alunan suara penduduk Pulau Sabu dan
Rote, misalnya, melambangkan kombinasi dari desiran ombak
samudera, alunan padi di sawah dan desiran angin di atas puncak-
puncak pohon lontar, yang menjadi salah satu sumber kehidupan rakyat
kedua pulau kecil itu. Sedang alunan suara penduduk Pulau Timor
adalah pendek, berat, putus-putus dan agak monotoon, namun isinya
pada umumnya melambangkan keperkasaan yang terlambang dalam
bukit-bukit batu karang yang teguh.
Irama dan makna syair-syair yang dinyanyikan oleh orang Timor pada
masa mencari nafkah melambangkan kecintaan mereka terhadap tanah,
kecintaan pada hidup, betapapun sederhana atau sulitnya hidup yang
sebenarnya. Malahan kesulitan yang menimpa hidup, misalnya, berupa
kematian seorang kekasih, tidak saja dinyatakan di dalam bentuk air
mata dan tangis, melainkan dinyatakan dalam bentuk tangis dan
nyanyian yang berirama merdu. Bukan hanya nyanyian-nyanyian rakyat
tradisional.
Dengan disebarkan oleh murid-murid sekolah di seluruh Pulau Timor,
RRI Studio Kupang sungguh banyak berjasa dalam mempopulerkan dan
menyerbarluaskan lagu-lagu rakyat ini ke seluruh penjuru tanah air.

c4. Seni Tari


Akhirnya akan saya ceritakan sedikit tentang seni tari, sebagai cabang
daripada kebudayaan yang sudah mulai dipupuk. Gejala-gejala
pemupukan itu mulai tampak, setelah terbentuk LKI (Lembaga
Kebudayaan Indonesia) di Kupang.

1

PNRI
Sewaktu-waktu, pada perayaan tertentu atau kalau ada tamu datang
dari luar daerah Timor, anggota-anggota LKI di Kupang, dibantu oleh
para peminat, mengadakan malam kesenian dan mempertunjukkan tari-
tarian yang diiringi dengan permainan sesandu, gitar dan jaz.
Sesandu adalah semacam alat musik spesifik suku Rote, terbuat dari
bambu dan kawat yang dipasang dalam sebuah kotak yang dibuat dari
daun lontar atau dari papan tripleks.
Biasanya dipertunjukkan, "Ta-
ri cerana (tempat sirih)", dan
"Tari meminang" kedua tarian
yang mengandung arti simbolis,
yang melukiskan kebiasaan-kebi-
asaan yang hidup di tengah-
tengah masyarakat suku Timor.
Dalam tarian macam pertama,
para penari yang terdiri dari
beberapa wanita, masing-masing
memegang sebuah tempat sirih
(cerana). Pada waktu musik
mulai berbunyi, menarilah me-
reka dengan gaya serta gerakan-
gerakan yang indah dan gemulai.
Segala gerak penari menunjuk-
kan caranya tempat sirih dihi-
dangkan kepada tamu. Mata
yang cemerlang, muka yang ber-
seri-seri, sikap badan yang me-
Sesando Timor yang asli [X] dan yang rendah serta kelemahan tangan
modem. waktu menyorongkan. tempat si-
rih, semuanya ditarikan dengan kebebasan yang harmonis.

Dalam tari meminang, para penari terdiri dari wanita dan pria. Akan
tetapi jika tidak ada penari pria, maka penari wanita, yang mengenakan
pakaian pria, dianggap sebagai penari pria. Dalam gerakan-gerakan
yang indah serta gemulai, dipertunjukkan cara seorang pemuda memi-
nang gadis kecintaannya. Tari ini melambangkan kelincahan serta keras
hatinya seorang gadis yang tidak begitu saja dengan mudah dapat diper-
suntingkan oleh seorang pemuda, tapi melalui suatu perjuangan yang

1

PNRI
tekun dan lama, akhirnya si pemuda berhasil juga menawan hati si gadis
untuk menerima lamarannya, di bawah alunan musik sesandu dengan
sajak:

Kecil-kecil daun ketimun,


Bolehlah juga membungkus nasi.
Kecil-kecil nona di Timor,
boleh juga membujuk hati.

Sesuai dengan arti seni, maka dalam gerakan-gerakan itu selalu ter-
dapat unsur keindahan, kebenaran dan kebaikan. Kedua macam tarian
tersebut merupakan tarian yang dimodernisir dan diberi bentuk sesuai
dengan keadaan zaman, dengan mempergunakan unsur tarian asli, yang
telah beratus tahun tinggal terpendam di tengah-tengah masyarakat suku
Timor.
Nyonya A. Nisnoni-Amalo
Djawa, pe-maisuri bekas Raja
Kupang, Alfonsus Nicolas Nis-
noni, sebagai pendiri dan Ketua
Lembaga Kesenian Indonesia di
Timor telah sangat berjasa dalam
menggali dan mengembangkan
seni tari di Kupang.
Suatu tarian rakyat lain yang
biasa dipentaskan pada upacara
pesta rakyat di desa-desa adalah
Tarian Perang. Tari ini diiringi
dengan gong dan tambur. Bebe-
rapa laki-laki berganti-ganti me-
narikan tarian sambil meng-
acung-acungkan pedang(parang)-
nyayang berhiaskan perak. Kaki
pcnari berderap sangat cepat
sesuai dengan irama bunyi gong
yang makin lama makin cepat
Seorang gadis Timor dalam tarian Cerana sesuai dengan irama bunyi gong
yang makin lama makin cepat dan meninggi. Dari segala penjuru
terdengar teriakan, "Ih, ih, ih, ih! ih, ih, ih!" Teriakan itu dibarengi oleh



PNRI
sorakan yang gemuruh, sangat membisingkan. Biasanya penonton-
penonton berdesak-desak, masing-masing ingin menyaksikan tarian
perang ini. Penari serta para pemukul gong tampaknya bercucuran
keringat, karena memang tarian itu cukup melelahkan. Ia melambang-
kan cara para Meo (pahlawan) pergi atau kembali dari medan pertem-
puran dengan membawa kemenangan yang gilang-gemilang.

Tari perang Timor, Tari Hering (Boneng) Timor.

Alat musik berupa gong yang dipukul ada 9 buah, terdiri dari mesek,
tetun, teluk dan kbolok masing-masing sepasang dan senenaf sebuah.
Selain daripada itu ada pula sebuah genderang (tambur) yang dipukul
dengan 2 kayu. Jumlah pemukul gong 5 orang ditambah seorang pemu-
kul genderang. Para pemukul gong dan genderang itu umumnya laki-
laki. Tetapi di Kerajaan Amanatun lain pula halnya. Pemukul gong dan
genderang semuanya wanita. Tarian rakyat berikutnya berupa tarian
masal adalah tarian "Hering (Bonet)", yang biasa dipentaskan pada
upacara-upacara adat serta perayaan, perkawinan, pesta sesudah
memungut hasil kebun dan lain-lain. Biasanya kesempatan ini dipergu-
nakan oleh muda-mudi untuk saling menyatakan rasa cintanya satu
kepada yang lain dan mengikat janji untuk bersama-sama membangun
rumah tangga.
Alat-alat musik yang dipakai adalah juk dan biola buatan orang

1

PNRI
Timor sendiri. Tentu tidak seindah juk dan biola yang diimpor dari luar
negeri.

Tarian Hering [Bonet] Timor.

Tali juk biola terbuat daripada usus kambing, musang, atau kuskus.
Tali penggesek biola tersebut daripada bulu ekor kuda. Juk disebut "biol
atau bijol" dan biola disebut " h e o " .
Pemuda-pemuda bermain "bijol" dan "heo", di bawah pimpinan
seorang penyanyi dengan kemudian disambut dalam koor oleh semua
pelaku. Syair-syair yang dinyanyikan mengisahkan kepahlawanan para
nenek-moyang yang telah meninggal ataupun kisah cinta antara muda-
mudi.
Tarian ini dapat diikuti oleh setiap orang, tua, muda, pria dan wanita.
Tarian yang terkenal di daerah Belu dan daerah Portugis adalah tarian
"Likurai". Tarian adat ini ditarikan oleh para remaja wanita dengan
mempergunakan "Likurai", yaitu sebuah tambur kecil yang tergantung
di sebelah sisi kiri, sebagai alat pengatur irama.
Irama tambur yang dipukul, sambil menari dengan berlenggang-
lenggang ke kiri dan kanan bagaikan gerak ular merayap, mengisahkan
kegirangan dan kebanggaan menyambut kedatangan kembali seorang
pahlawan dari medan pertempuran dengan membawa kemenangan yang

1

PNRI
Juk [biot] dan biola [heo] alat musik buatan Timor dan Pemainnya.

pasti. Dengan pedang terhunus dan gerak tarian yang menunjukkan


kegagahperkasaannya, sang pahlawan diantar oleh para penari wanita
dengan bunyi "likurai" yang gegap-gempita kembali ke kampung
halamannya. Pada masa kini tarian tersebut hanya dipentaskan pada
saat menerima tamu-tamu agung dan pada upacara besar tertentu.
Sebelum tarian ini dipentaskan, maka terlebih dahulu diadakan suatu
upacara adat untuk menurunkan likurai (tambur-tambur) itu dari tem-
pat penyimpanannya.

Demikianlah beberapa tari-tarian tradisional Timor. Pada waktu yang


akhir-akhir ini, oleh Ibu Dra. J.B. Tari-Gah, Istri Gubernur El Tari
telah diciptakan beberapa tari-tarian baru, misalnya: Tarian "Gettu
are" (potong padi) tarian "Atta due" (menyadap nira), tarian
"Baumata", yang mengisahkan penemuan pertama sumber mata air
Baumata, sebuah tempat pemandian dan pusat pariwisata yang permai
di sekitar kota Kupang pada saat ini.

Penulis sendiri sering mendapat kehormatan untuk memimpin rom-


bongan Kesenian Nusa Tenggara Timur, "khusus dari Timor ke pelbagai
perayaan, yang diadakan di dalam ataupun di luar negeri, misalnya, ke
" G a n e f o " di Jakarta dalam tahun 1963, ke perayaan Nasional Portugis

1

PNRI
di Timor Dilly berulang-kali, sejak tahun 1961 sampai dengan 1970, ke
Darwin (Australia) dalam tahun 1968.

Gadis Timor menarikan Tarian Likurai dari Belu. mk 112

Selama dan sesudah " G a n e f o " rombongan Kesenian Nusa Tenggara


Timur, kecuali mendapat kesempatan setiap malam mementaskan kese-
niannya di panggung umum terbuka bersama-sama dengan rombongan
kesenian India, Muangthai, Filipina, Korea, RRC, dan Mexico serta
rombongan-rombongan kesenian dari daerah-daerah lain seluruh Indo-
nesia, telah pula mengadakan pertunjukan-pertunjukan khusus di
gedung Parlemen Republik Indonesia, gedung Kesenian Jakarta, Ban-
dung, Jogyakarta dan Surabaya, yang senantiasa mendapat sambutan
hangat dan perhatian yang sangat besar dari para pengunjung dan
masyarakat pada umumnya.

Pertunjukan-pertunjukan yang diadakan di kota Dilly (Timor Por-


tugis) pada umumnya telah menjalin hubungan batin yang makin erat
antara kita dengan penduduk pribumi Timor Portugis, oleh karena
melalui pementasan-pementasan itu dapat mereka lihat dan saksikan
sendiri, bahwa kebudayaan/kesenian kita sama benar dengan kese-
nian/kebudayaan mereka, hanya tampak perbedaan, bahwa tingkat

1

PNRI
perkembangan kesenian kita sudah jauh lebih tinggi dan lebih maju dari-
pada yang mereka masih miliki di wilayah itu.
Dengan ikatan batin dan rasa sebangsa dan sesuku yang telah terjalin
melalui pertukaran-pertukaran kesenian di masa lalu itu, rakyat pribumi
Timor Portugis sudah dapat menetapkan sikapnya dalam perjuangan
"penentuan nasib sendiri" yang akhirnya dapat bergabung dengan
saudara-saudaranya dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

14

PNRI
B A B VIII

1. PULAU TIMOR D A L A M M A S A
P E M B A N G U N A N (PELITA III)

Bila dalam Pelita I pendekatan secara Sektoral yang diutamakan, ter-


nyata bahwa dalam Pelita II mulai diterapkan di Timor suatu pola
pendekatan yang lebih menyeluruh dalam menentukan arah pem-
bangunan.
Dalam Pelita II Pembangunan Ekonomi tetap menjadi prioritas
utama dengan titik beratnya diletakkan pada sektor pertanian dan pe-
ningkatan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
Namun pemberian prioritas kepada bidang ekonomi tidak berarti meng-
abaikan pembangunan bidang-bidang lainnya, yang juga tetap dikem-
bangkan guna menunjang perkembangan ekonomi.
Kemajuan ekonomi yang telah dicapai dalam Pelita I memberikan
kesempatan dan kemampuan yang lebih besar dalam Pelita II untuk
memecahkan berbagai masalah sosial yang serentak merupakan obyek
pembangunan sekarang ini, antara lain mengembangkan dan menguat-
kan pertumbuhan Demokrasi Pancasila, memperkuat kehidupan berne-
gara dan meningkatkan tegaknya hukum, mendorong berkembangnya
daya-cipta masyarakat, meningkatkan kegairahan hidup dan memper-
luaskan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Seperti dikatakan di atas dalam Pelita II sektor pertanian masih meru-
pakan titik tolak pembangunan; oleh karena itu, intensifikasi dalam
sektor pertanian, misalnya, penyediaan dan pengaturan air yang cukup
dan tersedianya bibit unggul serta pupuk dilakukan secara sungguh-
sungguh. Kecuali itu, diusahakan juga intensifikasi pemeliharaan peter-

TIMOR PULAU GUNUNG FATULEU 10 145


PNRI
nakan di samping meningkatkan mutu ternak; hal ini akan sangat mem-
bantu berkurangnya kehancuran tanah ekonomis. Karena eksplosi popu-
lasi ternak dengan pengelolaan yang sangat ekstensif dan pengembalaan
liar, seperti yang dijalankan di Timor pada umumnya sangat merusak
keadaan tanah.
Perataan pemilikan tanah akan juga sangat menunjang usaha-usaha
peningkatan dalam sektor pertanian dan pembangunan pada umumnya.
Demikian pula pemindahan penduduk ke pusat-pusat produksi dan pe-
ningkatan prestasi dari sebagian masyarakat perlu diusahakan di samping
peningkatan pendidikan dan menaikkan tingkat kesehatan guna mem-
pertinggi produktivitas manusia.
Pengembangan prasarana dan sarana pengangkutan, fasilitas pela-
buhan serta hubungan darat antara daerah produksi dan pelabuhan akan
dapat membantu hubungan dan pertukaran hasil antara kabupaten dan
wilayah-wilayah yang lain. Dengan memperhatikan keadaan, khusus
dari beberapa daerah, Pemerintah Nusa Tenggara Timur telah
menetapkan adanya 3 wilayah pengembangan yaitu:
(1) Flores Barat dan Sumba Barat untuk sektor pertanian, khususnya
untuk tanaman bahan makanan.
(2) Ujung Timur Flores, Kepulauan Solor dan Alor dijadikan wilayah
pengembangan perikanan laut. Wilayah ini disebut wilayah pengem-
bangan jalur dalam. Sedangkan wilayah pengembangan jalur luar,
yaitu Timor dan Sumba Timur merupakan wilayah pengembangan
hasil-hasil peternakan. Ketiga wilayah pengembangan ini perlu
ditunjang dengan peningkatan sarana perhubungan laut di berbagai
tempat serta pelabuhan di Kepulauan Solor dan Alor sebagai pusat
perkembangan usaha-usaha perikanan laut.
Di samping itu perlu segera perhubungan darat, khususnya jalan-jalan
ekonomi utama yang menghubungkan daerah produksi dengan pelabuh-
an direhabilitasi. Dengan peningkatan sarana perhubungan darat, laut,
dan udara diharapkan akan terjadinya peningkatan ekonomi regional
yang cukup menguntungkan. Untuk mencapai hasil bimbingan dan
penyuluhan di sektor pertanian telah diambil langkah-langkah kebi-
jaksanaan, antara lain:
(1) Mengintensifikasi bimbingan dan penyuluhan di sektor pertanian
terutama tanaman bahan makanan, tanaman perdagangan dan pe-
ternakan.
(2) Merombak alat struktur Hukum Tanah sesuai dengan asas-asas ter-
cantum dalam UU Pokok Agraria Nasional.

1

PNRI
(3) Meningkatkan produktivitas masyarakat melalui peningkatan pen-
didikan dan perbaikan tingkat kesehatan serta pemberian motivasi
kepada masyarakat melalui peranan BUTSI dan lembaga-lembaga
Swasta Gerejani dan lain sebagainya. Pelayanan kesehatan dititik-
beratkan pada usaha-usaha preventif dengan mengembangkan Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai strategi dasar, sedang
pelayanan dalam bidang pendidikan adalah mengubah pendidikan
yang tradisional menjadi pendidikan yang berorientasi pada pem-
bangunan. Demikian pula, agar diadakan keseimbangan antara
jumlah sekolah umum dan sekolah kejuruan.
(4) Memperbaiki dan meningkatkan prasarana perhubungan laut, darat,
dan udara sebagai urat nadi yang menunjang sektor-sektor
perekonomian.
Dalam suatu ceramah yang diadakan oleh Gubernur El Tari dalam
suatu Konsultasi Pembangunan antara Gereja Katholik dan Gereja-
gereja Protestan pada tahun 1974 ditandaskan oleh beliau antara lain,
"Bahwa Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia seutuh-
nya, yaitu pembangunan lahiriah dan batiniah, agar dapat hidup baik di
dunia maupun di akhirat." Oleh karena itu, Guberbur El Tari mengajak
lembaga Sosial Gerejani untuk ikut serta mengambil peranan yang aktif
dalam mengisi program Pemerintah.
Dalam mengakhiri ceramah itu beliau mengatakan, "Hidup dengan
mendalami dan ikut aktif dalam suatu rencana yang terkoordinasi dan
integral adalah mutlak, sebagai usaha oembaruan dengan mem-
budayakan pembangunan. Mengerti akan kemampuan rakyat, maka di-
perlukan dorongan dan pembinaan terus menerus untuk menjadikannya
insan yang produktif, yang selalu sibuk dengan kerja, terutama bercocok
tanam, sekali lagi bercocok tanam, yang berarti terjadi lapangan kerja
atas kreasi sendiri.
Sebagai bangsa yang bertuhan, kita semua percaya, bahwa Allah
Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak menciptakan manusia untuk
miskin, bodoh dan menderita, tetapi dunia alam semesta diberikan un-
tuk dinikmati. Tantangan bagi Pemerintah, Swasta, Gereja, Agama dan
manusia yang maju, adalah untuk berfikir dan berbuat guna menghi-
langkan jurang pemisah antara yang miskin dan yang kaya, antara
keterbelakangan, dan kemajuan, agar tidak bersaing untuk menemukan
keruntuhan.
Sebagai hasil dari Konsultasi antar Gereja-gereja yang sangat berkesan
dan yang berlangsung untuk pertama kalinya di Nusa Tenggara Timur,
1

PNRI
tercatat berbagai hal khusus dalam bidang pembangunan yang sungguh
menggembirakan.
Di antaranya daoat dicatat betapa Gereja-gereja dengan umatnya me-
lalui berbagai jalan dan berbagai kegiatan hendak berpartisipasi dengan
Pemerintah dan dengan masyarakat dalam memperbaiki terus di segala
segi kehidupan rakyat Nusa Tenggara Timur, maupun di bidang teknis,
begitu pun di bidang sosial, ekonomi, mental dan lain-lainnya, untuk
menumbuhkan rakyat Nusa Tenggara Timur menjadi rakyat yang ber-
potensi, berdaya-kreasi tinggi, dan yang berpenghidupan wajar sesuai
dengan martabatnya sebagai makhluk tertinggi, ciptaan Tuhan Yang
Maha Kuasa.
2. PULAU TIMOR MEMASUKI BABAK BARU DALAM TATA
PEMERINTAHAN
Pada pembukaan sidang II tahun 1974/1975 DPRD Tingkat I Nusa
Tenggara Timur yang berlangsung dari tanggal 2 sampai dengan 17
Desember 1974, oleh Gubernur El Tari telah dicanangkan bahwa Daerah
Tingkat I Nusa Tenggara Timur telah mulai memasuki babak baru untuk
menjalankan tata Pemerintahan baru berdasarkan UU RI No. 5 tahun
1974, tentang pokok-pokok Pemerintahan di daerah sebagai pengganti
UU No. 18 tahun 1965.
Sebagai isyarat bagi seluruh perangkat Pemerintah di Nusa Tenggara
Timur dan sekaligus merupakan kesatuan tindak, maka pada tanggal 20
November 1974 melalui suatu rapat bersama dari Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Pimpinan Parpol dan Golkar, Muspida, Pimpinan
Dinas/Jawatan Sipil/Militer telah dinyatakan perlakuan dan pelaksa-
naan tata Pemerintahan yang baru di Daerah Nusa Tenggara Timur, ber-
dasarkan UU RI No. 5 tahun 1974, disertai dengan petunjuk-petunjuk
dari Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.
Oleh Gubernur El Tari dianjurkan pada rapat tersebut, agar inti dan
isi dari UU No. 5 tahun 1974 itu, dapat disebarluaskan, dijelaskaii secara
meluas, sehingga seluruh rakyat, semua kekuatan sosial politik, partai
dan Golkar, terlebih perangkat Pemerintah, baik yang merupakan
peralatan dekonsentrasi, pembantuan dan desentralisasi, dapat men-
dalami serta menghayati isi serta.maksud dan tujuannya dengan sebaik-
baiknya, demi menjamin pelaksanaannya yang baik pula.
Sementara itu oleh Ketua DPRD dalam sidang DPRD tersebut di atas
antara lain, dinyatakan bahwa meskipun telah ada beberapa Peraturan
Pelaksanaan dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri, namun masih
banyak hal yang perlu dinantikan lagi, misalnya: Pedoman Keputusan
1

PNRI
atau Peraturannya; bahkan masih ada hal-hal yang akan diatur lebih
lanjut, dengan UU atau. Peraturan Perundangan,lainnya.
Juga dikatakan bahwa Sekretaris Daerah tidak lagi merangkap Sekre-
taris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; UU No. 5 tahun 1974 menetap-
kan adanya Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat tersendiri, dan hal ini
telah dilaksanakan oleh Gubernur berdasarkan Instruksi Menteri Dalam
Negeri No. 26 tahun 1974 dengan mengeluarkan Keputusan No. Per-
6/8/20 bertanggal 20 November 1974 yang menetapkan Frans D.
Burhan SH, tadinya Kepala Biro DPRD menjadi penjabat Sementara
Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Nusa Tenggara
Timur. Dalam sidang itu juga, oleh Gubernur telah diusulkan pejabat
yang sama sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk
mendapatkan persetujuan Dewan.
Demikian pula mengenai Peraturan Daerah, yang menurut Peraturan
Tata Tertib lama ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
ditandatangani oleh Pemimpin sidang dan ditandatangani juga oleh
Gubernur Kepala Daerah, menurut UU No. 5 tahun 1974 pasal 38:
Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menetapkan Peraturan Daerah.
Untuk itu telah ada Pedoman dari Menteri Dalam Negeri, yang harus
dipergunakan dalam menetapkan berbagai Peraturan Daerah yang telah
dikirim kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dalam mana yang
bertanda tangan adalah Kepala Daerah Tingkat I dengan turut ditan-
datangani oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ditegaskan,
bahwa masih banyak lagi hal-hal yang serupa yang harus mendapat per-
hatian daripada Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah beberapa kali diberikan pen-
jelasan kepada umum tentang pelaksanaan UU No. 5 tahun 1974 di ber-
bagai tempat di Nusa Tenggara Timur.
Dalam Pemerintah menghendaki peningkatan daripada tata kerja
Dewan-dewan Perwakilan Rakyat Daerah se-Indonesia, sesuai dengan
cita-cita Orde Baru dan untuk dapat menunjang sepenuhnya pelaksa-
naan pembangunan tahap ke-II sekarang ini, telah diadakan Kursus
Orientasi bagi para Ketua DPRD Tingkat I seluruh Indonesia, yang telah
berlangsung dari tanggal 10 Juli sampai dengan 10 Agustus 1974 di Pusat
Pendidikan Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Di dalam Kursus
tersebut telah diberikan penjelasan secara mendetail tentang UU No. 5
tahun 1974 oleh Sekjen Departemen Dalam Negeri kepada para Ketua
DPRD dan pada Sekretaris Daerah Tingkat I se-Indonesia.

TIMOR PULAU GUNUNG FATULEU 10 149


PNRI
Dikatakan oleh Ketua DPRD,
Jan Kiapoli, bahwa suatu pening-
katan dan kemajuan jelas dapat
dilihat pada UU No. 5 tahun
1974, karena di dalamnya jeias
diatur segala sesuatunya menge-
nai pemerintah di daerah,
bukan saja yang menyangkut
penyerahan wewenang sepenuh-
nya (desentralisasi) dan pengikut-
sertaan (medebewind), tetapi juga
yang menyangkut pelimpahan
(dekonsentrasi) yang tidak diatur
dalam Undang-undang sebelumnya.

Sehubungan dengan itu, maka


untuk instansi-instansi vertikal di
daerah sekarang ini , berdasarkan
keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 44 d a n No. 45
Yan Hopok Ketua DPRD Dati I Nusa tahun 1974, m a s i n g - m a s i n g ter-
Tenggara timur. tanggal 26 Agustus 1974, akan
hanya ada satu Kantor Wilayah Departemen atau satu Kantor
Perwakilan Departemen.
Kantor Wilayah Departemen adalah instansi vertikal dari suatu
Departemen, yang direktorat jenderalnya secara keseluruhannya
melakukan tugas dan fungsi dengan ruang lingkup dan sifat-sifat yang
sejenis.
Dengan demikian, dengan telah diundangkannya UU No. 5 tahun
1974 dan berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26 tahun 1974
telah pula dinyatakan secara resmi berlakunya di seluruh Nusa Tenggara
Timur pada tanggal 20 November 1974, maka pemerintah dan rakyat
Propinsi Nusa Tenggara Timur yang berdasarkan UU ini disebut kem-
bali dengan nama "Daerah Tingkat I (Dati I Nusa Tenggara Timur)
telah melangkah dan beralih sepenuhnya dari alam UU No. 18 tahun
1965 ke dalam suatu alam baru, alam Undang-undang No. 5 tahun 1974.
Semoga saja dengan kelengkapan-kelengkapan pokok yang baru ini
dan dengan Kerja keras dari seluruh aparat pemerintahan dengan diban-
1

PNRI
tu oleh seluruh lapisan masyarakat, akau dapat tercapai suatu pemerin-
tah yang kuat, berwibawa dan bersih yang mengabdi kepada rakyat
dengan sebaik-baiknya.



PNRI
B A B IX

PENUTUP

Dengan berhasilnya kami mendapatkan bahan-bahan yang sekian


banyak tentang perkembangan di Pulau Timor kami dapat mengakhiri
perlawatan kami ke Pulau "Batu Keramat" ini dan dengan penuh rasa
puas dan gembira dapat kembali ke Jakarta, di mana tugas-tugas lain
sedang menanti.
Semalam sebelum kami meninggalkan kota Kupang kami berkesem-
patan mengunjungi Bapak Gubernur El Tari di kediaman beliau untuk
menyampaikan penghargaan dan terima kasih kami atas segala bantuan
yang telah beliau berikan, sehingga dalam waktu seminggu kami telah
dapat mengunjungi sebagian besar dari Pulau Timor.
Kepada beliau kami menyampaikan kesan-kesan kami mengenai
kemajuan dan keadaan pembangunan yang kami lihat dan saksikan di
pulau ini.
Kenyataan-kenyataan yang dihadapi sekarang oleh rakyat Pulau
Timor mewajibkan kami untuk mengungkapkannya secara benar dan ju-
jur. Sepanjang sejarah selama dijajah dan sesudah pemerintah Belanda
meninggalkan daratan Pulau Timor, pulau itu seolah-olah tetap berada
dalam keadaan sakit keras, sebagai akibat daripada luka-lukanya yang
sangat parah, luka jasmaniah dan rohaniah, miskin akan harta dan
pengetahuan, sehingga menimbulkan anggapan yang salah dan keliru
tentang pulau itu. Kalau orang menghubung-hubungkan Bali dengan
keseniannya, dengan pariwisata dengan keindahannya, Bangka dengan
timahnya, maka Timor dulu lalu dihubungkan dengan karang, dan ke-

1

PNRI
tandusannya. Pada waktu itu Timor dianggap, seolah-olah membeku,
mati, statis, tidak ada perubahan apa-apa. Masalah-masalah hari ini
sama seperti masalah-masalah kemarin, sama seperti masalah-masalah
dahulu kala.
Pemerintah Belanda menganggap Pulau Timor tidak membawa keun-
tungan apa-apa, oleh karena itu ia dibiarkan menempuh hidupnya dalam
keadaan "hidup tidak, mati pun tidak". Namun demikian, tiap tahun
dikirimkan laporan ke Batavia, bahwa semuanya berjalan dengan baik
padahal apa yang dikatakan baik itu, tidak lain daripada berhasilnya
penjajah Belanda membekuk beberapa raja di Timor yang mencoba
melawan.
Usaha-usaha pemerintah Belanda yang dikatakannya baik dan boleh
dibanggakan pada zaman itu, ialah pembukaan beberapa sekolah rakyat
3 tahun, "Volksschool", sekolah desa, yang biaya pengelolaannya
seluruhnya ditanggung oleh kas Swapraja, tetapi tugas penyelenggaraan-
nya diserahkan kepada missi Katolik atau gereja Protestan.
Untuk kesejahteraan rakyat di bidang pendidikan, pemerintah Kolo-
nial hanya duduk berpangku tangan dan menjadi penonton belaka.
Tamatan sekolah desa yang terpilih dapat meneruskan pelajarannya di
"Vervolg-school", yang jumlahnya tidak seberapa dan yang terdiri atas
satu atau dua kelas. Rakyat sudah merasa beruntung kalau sudah mena-
matkan pelajarannya di sekolah rakyat 3 tahun. Tamatan-tamatan
sekolah desa terbilang orang yang sudah maju atau sekurang-kurangnya
orang yang sudah "melek huruf", tidak lagi "buta h u r u f . " Tamatan
Vervolg-school, satu atau dua tahun di atas sekolah desa, sudah dapat
digolongkan orang cerdik pandai dalam jaman itu; inilah hasil usaha
"perbaikan" penjajah untuk rakyat Pulau Timor. Dapat dipahami,
bahwa rakyat Timor dengan modal pengetahuan dari Sekolah-
Desa/atau Vervolg-School itu tetap sangat terkebelakang dan tetap
miskin, sehingga keadaan pada zaman itu sekiranya tepat, jika dilukis-
kan dengan ungkapan, "Rakyat Timor miskin dan melarat di tengah-
tengah kekayaannya yang terpendam, yang cukup berlimpah-limpah".
Sebenarnya rakyat Timor kaya, mempunyai pulau yang cukup subur dan
rakyat yang rajin dan tabah.
Amboi, kalau segala usaha untuk memperoleh hasil dari segala keka-
yaan bumi dan air itu disalurkan dari dahulu dengan diarahkan kepada
rakyat Timor, pasti keadaan rakyat Timor pada permulaan kemer-
dekaan tidak begitu terkebelakang, pasti tidak miskin dan pengetahuan
dan harta benda.

1

PNRI
Syukurlah sesudah merdeka, terlebih dalam masa Pemerintahan Orde
Baru, di bawah pimpinan seorang Gubernur Putra Daerah, yang bijak
dan gesit, telah terlihat bukti-bukti yang nyata tentang perobahan besar
ke arah perbaikan dalam keadaan Pulau Timor dan rakyatnya. Anjuran
beliau untuk "Tanam, sekali lagi tanam", dengan hasil yang
memuaskan, membuktikan, bahwa tanah Pulau Timor di celah-celah
batu karang yang bermunculan dalam jumlah yang besar, adalah cukup
subur, sehingga apel,. cendana, jambu mente, kemiri, padi, jagung,
kacang-kacangan, pepaya, pisang, kelapa, dan lain-lain tumbuh di
mana-mana dengan subur. Anggapan bahwa Timor adalah daerah
minus, daerah tandus kering, anggapan yang tidak tepat lagi dewasa ini.
Dalam masa pembangunan sekarang ini, anggapan demikian adalah
anggapan lama, anggapan kolot, peninggalan zaman kolonial Belanda.
Kami dapat mengatakan demikian, oleh karena menurut kenyataan, di
mana-mana telah tampak gejala-gejala perbaikan dan kemajuan. Jelas
tampak keinsyafan dan kesadaran rakyat pulau ini untuk membangun

daerahnya, menyembuhkan diri


dari keparahan luka-lukanya yang
diderita selama dijajah. Secara
berangsur-angsur dengan berani
dan tabah diusahakan terus
perbaikan dan pembaruan di
berbagai lapangan. Persaingan
yang sehat timbul di mana-mana
segala usaha perbaikan diadakan
secara merata dan menyeluruh.
Semua bekerja keras, giat dan
penuh semangat gotong-royong.
Tua muda berusaha melipat-
gandakan produksi, di samping
menuntut ilmu pengetahuan.
Ucapan "biar lambat asal sela-
mat" diganti sekarang dengan
"siapa rajin dan cepat ia selamat"
menyebabkan rakyat berlomba-
lomba memajukan bidang usaha
Gubernur Kepaia Daerah Dati I Nusa dan daerahnya masing-masing,
Tenggara Timur [Bpk. El Tari], sesuai dengan kesanggupannya.

1

PNRI
Gubernur El Tari sungguh dapat melihat dengan rasa bangga hasil karya
dan usahanya selama memegang tampuk pimpinan di propinsi ini. Ia
telah berhasil mengubah Pulau Timor yang minus dan tandus ini menjadi
daerah yang memiliki harapan-harapan yang cemerlang di masa depan.
Walaupun semua usaha belum dapat mencapai kesempurnaan yang
dicita-citakan, namun telah terdapat banyak titik-titik terang, bahwa
dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan lenyaplah semua dongeng
yang mengatakan "Timor pulau karang yang minus dan tandus". Sesuai
dengan letaknya yang sangat strategis sebagai ujung jembatan antara
Asia Tenggara dengan Australia, demikian pun sebagai pintu yang
menghubungkan samudra Hindia dan Samudra Pasifik, Pulau Timor
dalam percaturan politik dunia yang akan datang, dapat saja menjadi
"Benteng samudra" yang menjadi incaran negara-negara besar di dunia.
Oleh karena itu, sesudah kami menaiki pesawat GIA F 28 yang akan
membawa kami ke ibukota Negara, timbullah dalam hati kami Iagu
daerah yang mengisahkan masa depan yang cerah bagi Pulau Timor,
yang sudah terkenal di mana-mana:
"Bolelebo, Pulau Timor lelebo!
Baik tidak baik,
Pulau Timor pasti baik!"
Pesawat kami meninggalkan landasan Penfui dan kami meninggalkan
Pulau Timor dengan perasaan puas dan dengan kesan yang tidak dapat
dilupakan.

1

PNRI
PNRI

Anda mungkin juga menyukai