Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS SWOT BUDAYA SUKU MOI DI PAPUA BARAT

Mata kuliah Geografi Budaya

Penyusun : Ferdiyanto (1402617034)

Dosen pengampu : Ode Sofyan Hardi S.Pd, M.Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2019
Perkawinan Adat Suku Moi

Perkawinan Adat pada Suku Moi Suku Moi merupakan suku asli yang mendiami daerah
Sorong dan Raja Ampat. Pada tahun 2003, Kabupaten Sorong dimekarkan menjadi Kabupaten
Sorong Selatan dan Kabupaten Sorong Kepulauan (Raja Ampat), kesemua wilayah ini masih
merupakan satu rumpun suku Moi. Suku Moi tersebar di daerah pulau Waigeo, Pulau Missol,
Pulau Salawati, dan Pulau Batanta (pulau yang terletak diantara Pualu Salawati dan Waigeo).

Hubungan dalam adat suku Moi merupakan bagian yang penting dalam menjalin
hubungan persaudaraan, persahabatan, maupun perkawinan. Suku Moi melakukan hubungan
kekerabatan melalui perkawinan. Hubungan itu juga disebut simin (rumah tangga) sebagai
hubungan diantara marga atau Keret.

Dalam hubungan kekerabatan, sistem perkawinan suku Moi pada dasarnya dibentuk
berdasarkan sistem Omaha, dimana larangan perkawinan setelah beberapa keturunan,
menghasilkan pemisahan tegas antara kekerabatan dan keturunan. Namun yang terjadi dalam
suku Moi tidak berlaku teori Levi-Steauss ini, karena larangan perkawinan berdasarkan sepupu
garis ibu (matrilateral) yang membedakan antara kekerabatan dan keturunan, tidak berlaku.
Yang terjadi dalam suku Moi adalah perpaduan antara klasifikasi perkawinan berdasarkan
kekerabatan dan perkawinan berdasarkan garis keturunan dari pihak ibu.

Seperti suku-suku lainnya di Nusantara, umumnya tahapan perkawinan suku Moi


meliputi tiga tahapan yakni:

 Peminangan beserta ikatan (kamfabe)


 Pelaksanaan pesta perkawinan (simin).
 Penyerahan mas kawin pertama (kamsakwo) dan kedua (libla salek).

Tahapan dalam proses perkawinan ini dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan akan
nilai kesakralan perkawinan dan bentuk kekeluargaan di antara kedua keluarga dan keret juga
menghindari adanya perzinahan. Di sela-sela pesta perkawinan terdapat prosesi seperti
persiapan pengantin perempuan, menghias, mengantar pengantin dan duduk bersama
menyantap papeda (wely sik nin) sambil mendiskusikan jumlah mas kawin yang akan
dibayarkan oleh pihak laki-laki. Hal itu merupakan tata cara perkawinan yang terdapat pada
suku Moi. Tentang mas kawin dan penetapan mas kawin dalam beberapa kali diskusi bersama
ketua-ketua adat dan tokoh adat yang disebut “Yolom Yefai” menetapkan beberapa hasilhasil
kemufakatan. Jenis barang mas kawin adalah kain timor dan barang-barang campuran seperti
kain cita, piring tua, gong (kaleng kla), parang tua (sinwak), manik-manik (liblatuk). Mengenai
jumlah dan jenisnya pada waktu lampau ditentukan oleh pihak perempuan dan disetujui oleh
pihak pria, belum ada ketegasan jumlah dan jenisnya. Penyerahan mas kawin ini sangat erat
dengan nilai agama yang dianut oleh suku Moi saat ini tentang adanya mas kawin/mahar yang
tertuang dalam kitab suci agama Kristen dan Islam, menjadi jelas bahwa keberadaan mas kawin
tidak dapat ditolak.

Tahap pertama perkawinan suku Moi yaitu peminangan. Bila sudah waktunya seorang
anak laki-laki dipandang cukup siap untuk menikah, maka orang tuanya akan mencarikan
seorang gadis untuk dijadikan istri bagi anaknya. Diadakanlah acara pinangan dengan
mendatangi rumah orang tua gadis lalu menyampaikan maksudnya dengan kalimat
perumpamaan dan kata-kata kiasan seperti “Saya ingin mengambil anak pisang yang ada di
depan rumah ini, untuk saya tanam di halaman rumah saya”.

Bila orang tua gadis paham maksudnya dan bersedia, maka keesokan harinya orang tua
gadis akan mengunjungi rumah orang tua laki-laki untuk mengambil ikatan pertama dalam
bentuk piring tua, lalu piring tadi diberikan pada anak gadisnya agar si gadis paham bahwa dia
akan segera dinikahkan dan piring ini sebagai tanda dari laki-laki tersebut.

Kedua kalinya orang tua gadis datang lagi ke rumah orag tua laki-laki untuk mengambil
bukti ikatan yang kedua berupa kain timor dan sekaligus menentukan waktu pernikahan.
Barang-barang ini disebut barang ikata atau “kamfawe”. Setelah penerimaan lamaran, pihak
prempuan melakukan persiapan yang dimulai dengan memandikan anak gadis yang akan
dinikahkan sambil diberi nasihat oleh ibu-ibu suku Moi dan disaksikan oleh ibu-ibu yang lain.
Setelah gadis dimandikan, kemudian dihiasi dengan pakaian, kain timor, sarung, gelang-
gelang, manik-manik, perhiasan telinga, serta mahkota sambil menyanyikan lagu-lagu rakyat
yang mengisahkan asal-usul kedua keluarga ini. Apabila calon pengantin perempuan telah siap
dihias, maka pihak perempuan akan mendatangi keluarga laki-laki untuk menyampaikan
jumlah mas kawin yang akan diserahkan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.

Setelah permintaan mas kawin dari pihak perempuan terpenuhi, maka mas kawin
tersebut dibawa pulang oleh utusan keluarga untuk dibawa kepada keluarga perempuan.
Sesampainya di rumah, piring berisi air yang telah disiapkan, dipercikkan empat kali pertanda
mereka siap mengantarnya ke keluarga laki-laki dimana calon suami telah menunggunya.
Sesampainya di rumah laki-laki, calon pengantin perempuan didudukkan di atas tikar sambil
menunggu keluarnya calon pengantin laki-laki dari dalam kamar. Setelah calon pengantin laki-
laki keluar, maka didudukkan brhadaphadapan dan diantarlah papeda yang disebut weli sik nin
ini diantara keduanya dengan 2 buah gata-gata (sendok dari bambu). Tembakau yang sekarang
dikenal dengan rokok atau (sebak) yang merupakan alat pembayaran dan juga dipakai dalam
prosesi pernikahan adat selain papeda. Dengan menyendok papeda dan memutarnya sebanyak
empat kali atau rokok dengan mengisapnya sebanyak emapt kali merupakan tanda sahnya
pernikahan adat ini. Setelah menyendok dan memutar maupun mengisap tembakau atau rokok,
kemudian menyerahkan papeda atau rokok tadi kepada para saksisaksi, baik saksi dari pihak
perempuan maupun laki-laki menjadi sahnya sebuah pernikahan yang kemudian dilanjutkan
dengan makan bersama-sama yang telah disiapkan.

Strength
Weaknees
- Diajarkan secara turun temurun
- Untuk melihat budaya tidak bisa
- Sifat Kekeluargaan dan kekerabatan
diprediksi waktunya
begitu terasa
- Banyaknya barang barang yang
- Menunjukka hasil kekayaan alam yang
diperlukan selama proses perkawinan
di Papua Barat

Threats

- Bisa jadi proses perkawinan


Opportunity ditinggalkan jika banyak pemuda
pemudi Suku Moi yang menikah dengan
- Bisa menjadi destinasi budaya
orang diluar Suku
- Bisa dijadikan penelitian untuk
- Bisa jadi ditinggalkan karena sumber
mempelajari karakteristik masyarakat
daya alam sudah berkurang ataupun
tidak lagi untuk memenuhi mas kawin
dan untuk proses pernikan

Anda mungkin juga menyukai