Suku Yahadian
Yahadian adalah suku bangsa yang mendiami bagian selatan daerah Kepala
Burung Pulau Papua, yaitu di antara Sungai Mintamani bagian hilir dan lembah Sungai
Sekak, serta di beberapa kampung yang berdiri memanjang di Teluk Berau. Daerah
mereka termasuk dalam wilayah Kecamatan Inanwatan, Kabupaten Sorong. Jumlah
populasinya sekitar 800 jiwa.
Suku Inanwatan
Suku bangsa ini berdiam di daerah Kepala Burung, tepatnya di dalam wilayah
Kecamatan Inanwatan, Kabupaten Sorong, Papua. Bahasa Inanwatan disebut juga
bahasa Suabo. Jumlah penutur bahasa ini sekitar 1.100 orang. Kebudayaan Inanwatan,
seperti umumnya suku-suku bangsa yang berdiam di daerah Kepala Burung itu
ditandai oleh tradisi pertukaran kain timur. Tradisi ini mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan mereka, mulai dari aspek ekonomi, sosial, sampai sistem kepercayaan.
Kain timur yang berasal dari luar Papua itu digunakan sebagai maskawin dan sebagai
simbol status.
Suku Kokoda
Suku Kokoda adalah suku lokal yang bermukim di wilayah Provinsi Papua Barat.
Pemukiman Suku Kokoda tersebar di dua lokasi besar, yaitu di Kelurahan Klasabi,
Distrik ManKota Sorong dan daerah IMEKO (Inanuatan, Matemani, Kais, dan
Kokoda). Suku Kokoda yang tinggal di Kota Sorong umumnya sudah mulai mengenal
penggunaan teknologi, mengingat lokasi perkampungan mereka juga bersebalahan
dengan lapangan terbang DEO, Kota Sorong. Sementara itu, Suku Kokoda yang tinggal
di daerah IMEKO masih hidup dengan cara tradisional, seperti menokok sagu dan
mencari ikan di dalam sungai atau kali dengan menggunakan alat berupa tangguh ayang
yang dianyam dari pelepah sagu. Letak perkampungan itu sendiri sangat sulit
dijangkau, baik dijangkau melalui jalur laut, darat, dan udara. Secara geografis, mereka
merasakan dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Ketika musim panas tiba,
Suku Kokoda akan mengalami kekurangan air. Namun demikian, mereka akan
menggali sumur sedalam mungkin sampai kemudian menemukan sumber air. Hal itu
telah berlangsung secara turun temurun.
Dalam hal pendidikan, Suku Kokoda terhitung masih sedikit yang bersentuhan
dengan dunia pendidikan. Banyak di antara mereka yang tidak menyelesaikan
pendidikan Sekolah menengah atas. Mereka yang menyelesaikan pendidikan hingga ke
tingkat perguruan tinggi (S1) umumnya adalah para pemuka agama dari kalangan
mereka sendiri. Namun demikian, beberapa kalangan dari kelompok mereka juga ada
yang telah mengerti akan pentingnya pendidikan. Terutama bagi yang beragama Islam,
mereka membangun yayasan pendidikan berbasis pesantren sebagai tempat belajar bagi
generasi muda di sana.
Selain itu, Suku Kokoda juga diberkahi dengan kekayaan alam berupa tanaman
obat-obatan. Terhitung ada 70 spesies tanaman yang mereka gunakan sebagai obat-
obatan tradisional. Jumlah tersebut meliputi 67 genus dan 41 familia tumbuhan obat.
Familia tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional yaitu
Fabaceae dan Euphorbiaceae. Selama ini, telah terbukti bahwa spesies tanaman obat
tersebut terbukti mampu mengobati 73 jenis keluhan penyakit. Keluhan yang paling
banyak dialami masyarakat suku Kokoda antara lain: badan pegal-pegal, luka luar, dan
tambah darah. Bagian tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku
obat oleh suku Kokoda adalah daun (50%). Cara meramu dengan merebus adalah yang
paling sering dilakukan oleh masyarakat suku Kokoda.[4]
Tradisi Peminangan
Beberapa tradisi yang sangat terkenal di kalangan Suku Kokoda adalah tradisi
peminangan. Tradisi ini dilakukan ketika seorang laki-laki Suku Kokoda akan
meminang (mengajak menikah) perempuan dari suku yang sama. Mula-mula, tua-tua
adat sebagai orang yang dipercaya dan “ditokohkan” oleh Suku Kokoda akan meminta
ibu-ibu untuk berkumpul di titara, yaitu suatu balai pertemuan yang biasa mereka
gunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan merundingkan berbagai macam
hal. Di tempat ini, pihak laki-laki akan bermusyawarah terkait rencana pernikahannya
dengan penduduk yang hadir di sana. Ketika sudah mendapat persetujuan, keluarga
laki-laki akan mendatangi pihak perempuan yang akan dilamar dengan maksud untuk
menyampaikan keseriusannya. Setelahnya, keluarga pihak perempuan akan melakukan
musyawarah terkait permintaan pinangan pihak laki-laki berikut mas kawin atau mahar
yang diharapkan. Ibu-ibu dari pihak keluarga perempuan akan mendatangi rumah laki-
laki tersebut untuk menyampaikan hasil musyawarah mereka, apakah lamarannya
diterima atau tidak.[1] Sementara itu, pihak laki-laki harus bisa menerima dengan lapang
dada apa pun yang menjadi keputusan dari keluarga perempuan.
Mas kawin atau mahar yang diharapkan biasanya dalam bentuk 1500-2000 jenis
barang. Barang-barang tersebut di antaranya adalah 10 buah guci, 20 buah piring besar,
20 buah tombak, 20 buah mancadu, 5 manik-manik tali besar, 5 manik-manik tali kecil,
dan sisanya adalah barang-barang campuran seperti kain dan lain sebagainya.[1]
Dalam tradisi ini, ditemukan dua macam istilah, yaitu Bani dan Warotara. Bani
disebut sebagai prosesi musyawarah sebelum lamaran dilakukan dengan
mengumpulkan keluarga laki-laki dan pemuka-pemuka adat setempat di suatu tempat
yang disebut sebagai Titara atau balai pertemuan. Sementara Waworata disebut sebagai
anak perempuan yang telah dilamar, dinaikan seekor kuda bersama saudara laki-lakinya
menuju ke tempat sang calon suami. Anak perempuan tersebut akan disuapi oleh
keluarga sang laki-laki. Hal itu dimaksudkan sebagai sebuah ungkapan kepercayaan
dari keluarga perempuan untuk menitipkan anak perempuannya kepada keluarga laki-
laki tersebut untuk hidup bersama dalam satu atap.[1]
Tifa Syawat
Tifa Syawat merupakanalat musik tradisional yang mirip seperti gendang yang
cara memainkannya adalah dengan dipukul. Alat musik ini yang terbuat dari sebatang
kayu atau rotan yang dikosongi bagian isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi
dengan menggunakan kulit hewan yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara
yang bagus dan indah. Formatnya pun biasanya dibuat dengan ukiran yang memiliki
ciri khas masing-masing. Tifa Syawat sendiri telah berkembang di kalangan Suku
Kokoda yang oleh mereka disebut sebagai orkes musik dengan tetabuhan yang terdiri
dari adrat, tifa, suling, dan gong kecil. Kesenian ini menjadi media da’wah penyebaran
agama Islam yang dilakukan oleh para da’i di luar wilayah tempat tinggal Suku
Kokoda. Tifa sendiri merupakan alat musik asli Papua, sedangkan suling dan gong
dibawa langsung oleh para da’i tersebut dari tempat asal mereka. Kesenian ini biasanya
ditampilkan ketika hari besar keagamaan tertentu seperti maulid nabi dan upacara-
upacara seperti pengiring pengantin ke rumah keluarga laki-laki dan khitanan. Kesenian
Tifa Syawat tersebut diyakini sebagai bentuk kebudayaan lokal yang muncul akibat
ekspansi agama Islam ke wilayah Papua, tepatnya di perkampungan Suku Kokoda.[5]
Namun demikian, kesenian Tifa Syawat tersebut sebenarnya tidak murni berasal
dari Suku Kokoda. Sebelumnya, kesenian tersebut pertama kali berkembang di wilayah
Kokas, Fakfak, Papua. Meskipun begitu, Suku Kokoda telah menguasai kesenian
tersebut dengan sangat terampil. Hampir di beberapa acara besar keagamaan seperti
Maulid Nabi dan kegiatan perayaan masyarakat seperti pernikahan dan khitanan tidak
pernah lepas dari adanya kesenian Tifa Syawat. [5] Tidak heran jika kemudian mereka
juga pernah menjadi juarai peringkat kedua pada Festival Seni Budaya Islam Se-Papua
Barat.[6]
Suku Karon
Karon adalah satu kelompok etnik penduduk asli di Provinsi Papua Barat, mereka
hidup tersebar di wilayah Kabupaten Sorong. Sebagian besar dari anggota masyarakat
Karon ini masih berdiam di daerah pedalaman, di lembah dan pebukitan pegunungan
Arfak, namun sebagian lainnya sudah berdiam di daerah pantai.
Di daerah pantai itu, mereka ada yang sudah bercampur dengan anggota suku
bangsa lain, misalnya dengan orang Biak, orang Karondoti, Moi, Pada, Madik,
Meyakh, Arfak, dan lain-lain. Mereka terbagi atas kelompok-kelompok kecil yang
tinggal berjauhan, dihinggapi oleh lingkungan hutan lebat. Sungai-sungai yang
melintasi daerah pemukiman mereka itu menjadi sumber air minum dan arena untuk
mata pencaharian.
Jumlah orang Karon tidak diketahui secara pasti karena belum ada data tentang
hal itu. Jumlah mereka tidak diketahui di antara 179.732 jiwa penduduk Kabupaten
Sorong. Mereka mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Karon. Bahasa Karon
tergolong pula bahasa-bahasa Weme dan berapa jumlah penutur bahasa ini juga tidak
jelas.
Sebuah kampung tempat pemukiman mereka biasanya terdiri dari beberapa
rumah (amach peron). Rumah-rumah itu umumnya berdiri di atas tiang atau rumah
panggung setinggi satu meter di atas tanah, dengan ukuran luas sekitar 4 x 5 meter,
terdiri dari satu ruangan dan satu pintu. Di tengah ruangan ini ada tungku tempat
memasak. Dinding rumah itu terbuat dari gaba-gaba dan atapnya dari daun sagu.
Rumah semacam ini dihuni oleh satu keluarga inti atau keluarga inti ditambah dengan
beberapa kerabat lain. Selain rumah tersebut ada pula rumah yang dibuat di daerah
peramuan sagu, bangunan dengan ukuran lebih kecil dari rumah biasa tadi, yang
disebut amach wora. Rumah ini dihuni pada musim sibuk bekerja di ladang sagu tadi.
Selain itu ada pula yang membuat pondok (ana wora) bangunan yang hanya ada atap,
tanpa dinding, yang digunakan sebagai tempat beristirahat di ladang.
Mata pencaharian utamanya meramu sagu, dan sagu itu sendiri merupakan
makanan pokok mereka. Pokok-pokok sagu itu sendiri tumbuh secara alamiah dan
mereka mendapat ladang sagu yang dibagi secara adat. Mereka yang berburu (pomsiah)
secara perorangan atau berkelompok, hasilnya untuk dikonsumsi keluarga sendiri atau
berkelompok, hasilnya untuk dikonsumsi keluarga sendiri atau untuk kepentingan
upacara. Binatang buruan untuk upacara adalah babi, sedangkan untuk dikonsumsi
sendiri, misalnya buaya, kelelawar, tikus, biawak, burung. Teknik berburu babi
dilakukan dengan dua macam teknik. Pertama dengan bantuan anjing sambil
menggiringnya ke satu tempat di mana siap untuk ditomak. Kedua dengan menggali
lobang sebagai perangkap (kayach). Lobang itu dibuat di jalan yang sering dilalui oleh
binatang itu dan pada waktunya terperosok ke dalamnya.
Meramu hasil hutan merupakan pekerjaan sambilan, misalnya rotan, damar, kayu
besi, dan lain-lain. Hasil ramuan ini sebagian untuk kepentingan sendiri dan ada yang
dijual kepada orang luar yang datang ke kampung mereka itu. Pekerjaan sambilan yang
lain ialah menangkap ikan, yang dilakukan biasanya pada musim kering. Alat
penangkapan ikan yang digunakan adalah pancing, jaring, bubu (fuik), tuba.
Keluarga inti merupakan kelompok kerabat yang penting. Prinsip penarikan garis
keturunan adalah berasas patrilineal yang ditandai oleh nama fam atau klen pihak laki-
laki. Mereka mengenal dua pelapisan sosial, yaitu pelapisan atas terdiri dari tokoh-
tokoh masyarakat (raenason) misalnya orang kaya (tuan), orang berpengaruh atau
berpengetahuan (raewun). Lapisan bawah merupakan orang yang kebanyakan. Tokoh
masyarakat adalah orang-orang yang terpilih, misalnya orang tua yang memiliki
pengetahuan luas tentang adat. Untuk menjadi tokoh adat harus mengikuti pendidikan
tradisional dan mempunyai keinginan berbakti untuk kepentingan masyarakat. Tempat
latihan pendidikan tadi dilakukan di rumah adat (nyewon) dari suatu kelompok besar.
Salah seorang di antaranya diangkat sebagai kepala adat yang mempunyai kekuasaan
tertinggi sebagai pelaksana aturan adat. Selain itu adalah orang-orang yang
berpengetahuan tentang berburu, pengetahuan tentang obat-obatan, perdukunan dan
sebagainya. Orang kaya merupakan sekelompok orang yang memiliki kekayaan secara
materiil seperti pemilikan tanah yang luas, memiliki kain timor, mempunyai anak buah
sebagai pegawai dan pengikut yang disebut kausune. Pada umumnya mereka adalah
keturunan pedagang yang sudah lama hidup di pantai.
terdapat ulat yang berasal dari jenis tumbuhan berkayu seperti Nangka
(Artocarpus integra) dan (Yum) Plimeliodendrom amboinicum Fam. Eupohorbiaceae.
Bagian umbi yang dijadikan sebagai pengganti sagu adalah (Iim) Colocasia sp. Fam.
Aracae, (Teboqi) Ipomea batatas Fam. Convolvulaceae. Selain umbi juga bagian bunga
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sayuran, misalnya (Kopai) Carica sp. Fam.
Coriaceae.
Suku Moi
Suku Moi adalah sebuah suku yang mendiami daerah yang terletak di ujung timur
Indonesia yaitu di kepala burung, Papua barat, lebih spesifiknya lagi yaitu kota Sorong,
dalam istilah masyarakat setempat yaitu suku Moi adalah yang menjadi “ Tuan Tanah ”
di kota Sorong, orang-orang dari suku Moi ini mendiami hampir semua tempat di
Sorong raya, kabupaten Tambrauw, kabupaten Raja Ampat dan sekitarnya, dan perlu
diketahui bahwa tempat-tempat yang telah disebutkan diatas masih terbagi lagi menjadi
beberapa bagian, antara lain dikota Sorong sendiri (kilo meter 12 klasaman, malanu,
tempat garam, suprau, saoka, tanjung kauari ), Kabupaten Sorong ( Aimas, Klaling,
Maryat pante, Maryat gunung, Klamono, Maladofok, Saigun, Katapop Pante, Malabam,
Segat, Waimon, Batu lubang, Malawor, Makbon, Malaungkarta, Asbaken, Della’,
Walyam, Duriangkari, Kotlol, Yeflio ), Kabupaten Tambrauw ( Sausapor, Mega’,
veef, Werur, Werbes, Kwor, Bikar, Yembun, Waw, Snopi ), Kabupaten Raja Ampat (
Waisai, Salawati, Kalobo) dan masih banyak tempat-tempat lainnya yang terdapat di
kabupaten-kabupaten lainnya yang ada dikota sorong.
Berikut orang-orang dari suku Moi ini sendiri mempunyai karakteristik yang
baik, dalam arti bahwa mereka memiliki rasa kebersamaan yang tinggi, bersifat terbuka
dengan menerima suku-suku lainnya di Indonesiayang ingin menetap bahkan mengais
rejeki didaerahnya, mereka terbuka dengan segala sesuatu yang baru, baik itu dalam
bidang pendidikan, kesehatan, life style, dan lain sebagainya, tetapi bukan berarti
bahwa mereka juga menerima segalanya tanpa mengetahui sisi positive dan negative
dari sesuatu tersebut, mereka juga mengfilter hal-hal tersebut, jika itu bersifat positive
dan bertujuan untuk membangun daerah mereka maka dengan senang hati mereka
dengan tangan terbuka mereka akan menerima hal tersebut,mereka juga tergolong
orang-orang yang suka mengalah, dalam arti bahwa mereka adalah orang-orang pecinta
damai, tidak suka hidup dengan kekerasan, tidak seperti perang-perang antar suku yang
terjadi di wamena, masyarakat suku Moi sangat menghindari hal tersebut.
Pada waktu dimana masyarakat suku Moi belum mengenal pendidikan Formal,
mereka telah memiliki pendidikan sendiri, yaitu pendidikan yang dimana hanya diikuti
khusus anak lelaki, jadi tidak ada pendidikan untuk anak perempuan karena bagi
mereka anak lelaki kelak akan menjadi kepala keluarga yang harus bertanggung jawab
atas keluarganya sedangkan anak perempuan hanya menjadiibu rumah tangga yang
bertugas mengurus anak dan suaminya kelak, Rumah tempat mereka belajar disebut
“Kambik”, didalam rumah itu anak lelaki dari suku Moi tidak diajarkan seperti pada
zaman sekarang, mereka diberi pengetahuan tentang bagaimana caranya, bercocok
tanam, mancing, membuat rumah, dan segala hal lainnya yang hanya dilakukan oleh
anak lelaki yang kelak suatu saat akan menjadi kepala keluarga, dan pendidikan ini
wajib bagi semua anak lelaki di suku Moi, dan yang menjadi tenaga pengajar adalah
orang-orang tua yang dianggap telah banyak memiliki banyak pengalaman dalam
bidangnya.
Dan juga tentang kepercayaan orang Moi, pada zaman dahulu sebelum
masyarakat suku Moi belum mengenal adanya agama Islam, Kristen katolik, protestan,
dsb, mereka telah mempunyai kepercayaan sendiri dan itu merupakan kepercayaan
yang unik, disebut unik karena Menurut salah satu tokoh kebudayaan di suku Moi (Yan
Malibela) berkata bahwa suku Moi percaya pada “tuhan putih” dan juga “tuhan hitam”,
dimana tuhan hitam disebut dengan “Naaki” dan tuhan putih disebut dengan Naazoo”,
tuhan Putih (Naazoo) dipercaya sebagain tuhan yang telah menciptakan dan menjaga
langit sedangkan tuhan Hitam (Naaki) dipercaya sebagai tuhan yang telah menciptakan
dan menjaga bumi dan isinya, hal ini telah berlangsung lama sampai agama tersebar
didaerah mereka tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ada sebagian masyarakat
yang memeluk kepercayaan itu, karena sifat terbuka dan menerima segala sesuatu yang
bersifat positive yang akan membangun daerah mereka maka suku Moi pada zaman
sekarang ini bisa dibilang sudah modern karena sebagian dari mereka ada yang sudah
mengenal bahkan menguasai teknologi modern.
Pada waktu dimana masyarakat suku Moi belum mengenal pendidikan Formal,
mereka telah memiliki pendidikan sendiri, yaitu pendidikan yang dimana hanya diikuti
khusus anak lelaki, jadi tidak ada pendidikan untuk anak perempuan karena bagi
mereka anak lelaki kelak akan menjadi kepala keluarga yang harus bertanggung jawab
atas keluarganya sedangkan anak perempuan hanya menjadiibu rumah tangga yang
bertugas mengurus anak dan suaminya kelak, Rumah tempat mereka belajar disebut
“Kambik”, didalam rumah itu anak lelaki dari suku Moi tidak diajarkan seperti pada
zaman sekarang, mereka diberi pengetahuan tentang bagaimana caranya, bercocok
tanam, mancing, membuat rumah, dan segala hal lainnya yang hanya dilakukan oleh
anak lelaki yang kelak suatu saat akan menjadi kepala keluarga, dan pendidikan ini
wajib bagi semua anak lelaki di suku Moi, dan yang menjadi tenaga pengajar adalah
orang-orang tua yang dianggap telah banyak memiliki banyak pengalaman dalam
bidangnya.
Dan juga tentang kepercayaan orang Moi, pada zaman dahulu sebelum
masyarakat suku Moi belum mengenal adanya agama Islam, Kristen katolik, protestan,
dsb, mereka telah mempunyai kepercayaan sendiri dan itu merupakan kepercayaan
yang unik, disebut unik karena Menurut salah satu tokoh kebudayaan di suku Moi (Yan
Malibela) berkata bahwa suku Moi percaya pada “tuhan putih” dan juga “tuhan hitam”,
dimana tuhan hitam disebut dengan “Naaki” dan tuhan putih disebut dengan Naazoo”,
tuhan Putih (Naazoo) dipercaya sebagain tuhan yang telah menciptakan dan menjaga
langit sedangkan tuhan Hitam (Naaki) dipercaya sebagai tuhan yang telah menciptakan
dan menjaga bumi dan isinya, hal ini telah berlangsung lama sampai agama tersebar
didaerah mereka tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ada sebagian masyarakat
yang memeluk kepercayaan itu, karena sifat terbuka dan menerima segala sesuatu yang
bersifat positive yang akan membangun daerah mereka maka suku Moi pada zaman
sekarang ini bisa dibilang sudah modern karena sebagian dari mereka ada yang sudah
mengenal bahkan menguasai teknologi modern.
Suku Moi, suku asli di Sorong yang mendiami daratan besar Sorong, terbentang
dari Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Tambrauw dan perbatasan Sorong
Selatan, memiliki budaya dan adat istiadat yang unik.
Keunikan dari budaya Suku Moi, diantaranya terdapat pada proses perkawinan
adat, pendidikan adat, hingga sanksi hukum adat. Untuk perkawinan adat Suku Moi,
hampir mirip dengan lima suku lainnya yakni Maybrat, Sorong Selatan, Pegunungan
Arfak dan Bintuni.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Moi, Kabupaten Sorong, Korneles
Usily menuturkan sejumlah prosesi adat di Suku Moi, ada yang bisa diketahui publik
dan ada sejumlah prosesi adat yang tidak boleh diketahui oleh umum, terutama kaum
perempuan. Kata Korneles, misalnya saja pendidikan adat Kambik yang pada masa lalu
hanya diperbolehkan untuk kaum laki-laki.
“Saat ini pendidikan adat Kambik sudah ditiadakan, hanya tersisa beberapa orang
yang memiliki ilmu dari pendidikan Kambik. Rata-rata warga yang memiliki
pendidikan Kambik, mengetahui seluruh adat Suku Moi,” kata Korneles, Selasa (23/4).
Hal unik lainnya dari Suku Moi adalah perkawinan adat yang boleh diketahui
oleh masyarakat umum. Dalam prosesi perkawinan adat Suku Moi, dilakukan dengan
pembayaran mas kawin berupa kain, terutama kain timor.
“Pembayaran mas kawin diperuntukan bagi mempelai perempuan maupun
orangtua perempuan. Pemberian mas kawin ini akan diberikan secara terpisah, bagi
calon istri dan orangtuanya," jelasnya.
Sementara untuk sanksi hukum adat dari Suku Moi, ada sejumlah hukum adat
yang khusus berlaku bagi laki-laki maupun perempuan.