(Sulawesi Tengah)
Disusun oleh :
Nama : Risky Hernandez Suripatty
Kelas : XII IPS 3
Program Studi : Agama Kristen Protestan
Kata Pengantar
Syalom
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan atas berkat Yesus Kristus, atas segala
limpahan rahmat dan karunianya lah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami
yang masih jauh dari kesempurnaan ini yang berjudul “KONFLIK POSO di (Sulawesi
Tengah).
Makalah ini di buat agar pembaca dapat memperluas ilmu pengetahuan tentang
Pendidikan Agama Kristen Protestan. Isi dari makalah ini kami dapat dari berbagai sumber,
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan sebagai sumbangsih pemikiran
khususnya untuk para pembaca dan tidak lupa saya mohon maaf apabila dalam penyusunan
makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi dari keseluruhan makalah
ini. Kami sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan untuk
itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan dan
bahan acuan bagi kami untuk menulis makalah kami yang selanjutnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tahun 1997 Indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomi
dan politik yang tidak menentu, telah mengiring Indonesia menuju konflik nasional, baik
secara struktural maupun horizontal. semenjak runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 yang di
gantikan oleh oleh B.H habibie yang diharapakan dapat menata sisitem politik yang
demokrasi berkeadilan.
Pada waktu itu Indonesia sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolak
konflik di berbagai daerah, salah satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh
banyak kalangan adalah konflik bernuansa SARA. Adalah pertikaian suku dan pemeluk
agama Islam dan Kristen. Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian antar dua pemuda
yang berbeda agama sehingga belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan. Impliksasi
– implikasi kepentingan politik elite nasional, elite lokal dan miiter-militer juga diduga
menyulut terjadinya konflik horizonttal sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat.
Bahkan, terkesan pihak keamanan porli lamban menangani konflik tersebut. Sehigga konflik
terjadi belarut – larut yang memakan korban jiwa dan harta.
Secara umum konflik di poso sudah berkangsung tiga kali. Peristiwa pertama terjadi
akhir 1998, kerusuhan pertama ini denga cepat di atasi pihak keamanan setempat kemudian di
ikuti oleh komitmen kedua belah pihak yang berseteru agar tidak terulang lagi, akan tetapi
berselang kurang lebih 17 bulan kemudian tepatnya pada 16 april 2000 konflik kedua pun
pecah. Pada kerusuhan ini ada dugaan bahwa ada oknum yang bermain di belakang peristiwa
ini yaitu: Herman Parimo dan Yahya Patiro yang beragama kristen. Kedua oknum ini adalah
termasuk elite politik dan pejabat pemerintah daerah kabupaten poso.
Menjelang pemilihan kepala detrah pada waktu itu, kader – kader dari pihak umat
kristiani yang bermunculan sebagai kandidat kuat yang menjadi rival buapati saat itu, Sekwan
DPRD 1 Sulawaesi tengah dan Drs. Datlin Tamalagi Kahumas Pemuda Sulawesi tengah.
Keduan belah pihak memilki koneksi yang rill yang amat potensial sehingga sewaktu – waktu
dapat dengan mudah muncul letupan ketidaksenangan yang akhirnya pada berhujung pada
kerusuha. Oleh karena itu, potensi – potensi kerusuhan pada waktu itu boleh jadi karena
kekecewaan dari elite politik yang beragama kristen yang merasa termarjinalisasi dalam hal
politik (Anonim D, 2009:187).
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui demografi Poso.
2. Untuk mengetahui latar belakang konflik Poso.
3. Untuk mengetahui penyebab konflik Poso.
4. Untuk mengetahui kronologi Poso.
5. Untuk mengetahui dampak yang diakibatkan oleh kerusuhan Poso.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Demografi Poso
Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas
wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di
wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa
dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas
masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama. Di samping tanah pertanian
yang subur, sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-
kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara
endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo) serta tambang mineral yang cukup banyak
tersebar di sekitar kawasan pegunungan.
Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk,
selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili
di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya; Morowali dan Tojo
Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar
toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-
Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan
yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah,
sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri,
dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan
kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai
kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.
Selain kabupaten ini memiliki penduduk yang beragam, Poso juga memiliki latar
belakang sejarah dan peradaban yang bisa dilacak lewat warisan peninggalan kebudayaan
Megalit. Secara kultural masyarakat Poso yang menggunakan bahasa Bare’e dalam
komunikasi, mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan Sintuwu Maroso (persatuan
yang kuat). Jadi, sangat kontradiksi dengan semboyan mereka apabila masyarakat di Poso
bisa berseteru sengit (Canolly, 2009:2003).
Pukul 16.00 bupati bersama Kapolda Sul-teng Muspida Tingkat II Poso bersama tokoh
Agama dan masyarakat menyaksikan pemberantasan miras dengan menggunakan alat berat
sten wals maka lembah got lapangan Maroso mengalirlah cairan miras laksana bah air hujan
dengan bau yang menusuk hidung sementara umat Islam sedang berpuasa. Demikianlah
selanjutnya miras senentiasa terkumpul lalu dimusnakan. Kemudian sore itu juga Kapolda
Sul-teng kempali kepalu.
Pukul 17.00 Massa dari arah lawangga Bonesompe dan Gebangrejo bergerak menuju kel.
Untuk menuntaskan miras yang ada di Toko lima yang diduga masih ada sekitar ribuan botol
yang terdapat diruang bawah tanah. Pada waktu massa ingin mengambil miras tersebut maka
toko Lima telah dibendung oleh massa pemuda Kristen dan masyarakatnya. Tidak diizinkan
untuk diganggu termaksuk mengamankan kel. Lombogu dari. Demikianlah keadaan
berlangsung sampai malam hari kerusuhan demi kerusuhan terjadi.
Pukul 19.00 Massa dan Risma kembali berjalan ditambah lagi massa dari desa
Tokorondo Kec. Poso Pesisir sehingga masssa besar ini terpaksa berhadapan dengan pasukan
PPH dijembatan besar sungai Poso di tengah kota dengan massa yang diduga dipimpin
Herman Parimo + 20 truk.
Pukul 19.30 Rapat dan musyawarah Tokoh Agama Kristen dan Islam serta tokoh
pemudanya yang dipimpin oleh bupati bersama Muspida dan ketua DPR Tingkat II Poso.
Dalam musyawarah tersebut diputuskan bahwa semuanya sepakat dan menyatakan
perdamaian. Keadaan itu di sosialisasikan dan dinyatakan aman. Namun suara massa sudah
ribut dan hiruk pikuk karena sudah terjadi bentrok tawuran.
Pukul 20.00 Toko agama ulama dan pendeta serta toko pemuda Islam dan Kristen
dipimpin oleh Muspida Tingkat II Poso bergerak menuju tempat kerusuhan untuk
mengendalikan massa yang sudah terjadi bentrok tawuran, dalam keadaan hujan batu tersebut
massa tidak bisa diterobos terpaksa pasukan PPH Brimob dan Polisi melepaskan tembakan
peluru hampa dan peluru karet kemudian massa kembali lalu tokoh memberi nasehat dan
berdoa bersama kemudian bubar, namun dilain pihak massa masih terjadi tauran diarah
kelurahan Lawanga dengan Lombogia masih terjadi tauran sporadis sampai pagi hari.
Minggu, 27 desember 1998, Pukul 08.00 bupati bersama muspida dan tokoh agama dan
tokoh pemuda dan tokoh masyarakat begerak menuju pasar sentral untuk mensosialisasikan
kesepakan damai dan dinyatakan aman. Demikianlah tiem bergerak dari pasar kemasing-
masing kelurahan sampai tuntas kelurahan dan dinyatakan aman dan damai.
Pukul 18.30 malam hari sesudah buka puasa bupati bergerak bersama tiemnya menuju
desa Tagolu untuk mensosialisasikan perdamaian dengan massa yang dipimpin oleh Herman
parimo (tokoh GPST semasa perang dengan PERMESTA). Massa tersebut diperkirakan dari
12 desa dari kecamatan Pamona utara dan lage + 40 truk, namun herman ternyata acuh karena
sementara Bupati berpidato herman meninggalkan tempat sehingga bupati bersama tim
pulang kekota Poso.
Pukul 22.00 Pasukan herman parimo bergerak menuju kota Poso dan melakukan
demonstrasi kekuatan sambil melempar rumah-rumah dan toko-toko disekitar Jl. P.
Kalimantan dan Sumatra sehingga masyarakat gebangrejo kaget karena sudah damai dan
aman mengapa masih ada kerusuhan dengan serangan tiba-tiba sementara masyarakat sudah
tenang istirahat setelah sholat tarawih.
Pukul 22.30 Pasukan PPH mengundurkan pasukan massa Herman Parimo dan
diundurkan dari arah pasar sentral. Kantor Polres hingga jembatan sampai dibundaran ujung
utara jembatan poso. Massa Gebangrejo yang minus mengadakan perlawanan hanya puluhan
orang hingga pagi hari (Canolly, 2003:138).