Anda di halaman 1dari 19

KONFLIK POSO

(Sulawesi Tengah)

Disusun oleh :
Nama : Risky Hernandez Suripatty
Kelas : XII IPS 3
Program Studi : Agama Kristen Protestan
Kata Pengantar
Syalom
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan atas berkat Yesus Kristus, atas segala
limpahan rahmat dan karunianya lah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami
yang masih jauh dari kesempurnaan ini yang berjudul “KONFLIK POSO di (Sulawesi
Tengah).
Makalah ini di buat agar pembaca dapat memperluas ilmu pengetahuan tentang
Pendidikan Agama Kristen Protestan. Isi dari makalah ini kami dapat dari berbagai sumber,
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan sebagai sumbangsih pemikiran
khususnya untuk para pembaca dan tidak lupa saya mohon maaf apabila dalam penyusunan
makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi dari keseluruhan makalah
ini. Kami sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan untuk
itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan dan
bahan acuan bagi kami untuk menulis makalah kami yang selanjutnya.

Jayapura 03 November 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tahun 1997 Indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomi
dan politik yang tidak menentu, telah mengiring Indonesia menuju konflik nasional, baik
secara struktural maupun horizontal. semenjak runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 yang di
gantikan oleh oleh B.H habibie yang diharapakan dapat menata sisitem politik yang
demokrasi berkeadilan.
Pada waktu itu Indonesia sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolak
konflik di berbagai daerah, salah satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh
banyak kalangan adalah konflik bernuansa SARA. Adalah pertikaian suku dan pemeluk
agama Islam dan Kristen. Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian antar dua pemuda
yang berbeda agama sehingga belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan. Impliksasi
– implikasi kepentingan politik elite nasional, elite lokal dan miiter-militer juga diduga
menyulut terjadinya konflik horizonttal sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat.
Bahkan, terkesan pihak keamanan porli lamban menangani konflik tersebut. Sehigga konflik
terjadi belarut – larut yang memakan korban jiwa dan harta.
Secara umum konflik di poso sudah berkangsung tiga kali. Peristiwa pertama terjadi
akhir 1998, kerusuhan pertama ini denga cepat di atasi pihak keamanan setempat kemudian di
ikuti oleh komitmen kedua belah pihak yang berseteru agar tidak terulang lagi, akan tetapi
berselang kurang lebih 17 bulan kemudian tepatnya pada 16 april 2000 konflik kedua pun
pecah. Pada kerusuhan ini ada dugaan bahwa ada oknum yang bermain di belakang peristiwa
ini yaitu: Herman Parimo dan Yahya Patiro yang beragama kristen. Kedua oknum ini adalah
termasuk elite politik dan pejabat pemerintah daerah kabupaten poso.
Menjelang pemilihan kepala detrah pada waktu itu, kader – kader dari pihak umat
kristiani yang bermunculan sebagai kandidat kuat yang menjadi rival buapati saat itu, Sekwan
DPRD 1 Sulawaesi tengah dan Drs. Datlin Tamalagi Kahumas Pemuda Sulawesi tengah.
Keduan belah pihak memilki koneksi yang rill yang amat potensial sehingga sewaktu – waktu
dapat dengan mudah muncul letupan ketidaksenangan yang akhirnya pada berhujung pada
kerusuha. Oleh karena itu, potensi – potensi kerusuhan pada waktu itu boleh jadi karena
kekecewaan dari elite politik yang beragama kristen yang merasa termarjinalisasi dalam hal
politik (Anonim D, 2009:187).

1.2 Rumusan Masalah


1. Jelaskan bagaimana demografi Poso?
2. Jelaskan bagaimana latar belakang konflik Poso?
3. Jelaskan penyebab konflik Poso?
4. Jelaskan bagaimana kronologi Poso?
5. Jelaskan bagaimana dampak yang diakibatkan oleh kerusuhan Poso?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui demografi Poso.
2. Untuk mengetahui latar belakang konflik Poso.
3. Untuk mengetahui penyebab konflik Poso.
4. Untuk mengetahui kronologi Poso.
5. Untuk mengetahui dampak yang diakibatkan oleh kerusuhan Poso.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Demografi Poso
Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas
wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di
wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa
dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas
masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama. Di samping tanah pertanian
yang subur, sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-
kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara
endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo) serta tambang mineral yang cukup banyak
tersebar di sekitar kawasan pegunungan.
Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk,
selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili
di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya; Morowali dan Tojo
Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar
toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-
Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan
yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah,
sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri,
dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan
kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai
kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.
Selain kabupaten ini memiliki penduduk yang beragam, Poso juga memiliki latar
belakang sejarah dan peradaban yang bisa dilacak lewat warisan peninggalan kebudayaan
Megalit. Secara kultural masyarakat Poso yang menggunakan bahasa Bare’e dalam
komunikasi, mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan Sintuwu Maroso (persatuan
yang kuat). Jadi, sangat kontradiksi dengan semboyan mereka apabila masyarakat di Poso
bisa berseteru sengit (Canolly, 2009:2003).

2.2 Latar Belakang Konflik Poso


Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan
sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa
menjamin keamanan di Poso. Berbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun
secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar belakang agama, namun
kalau kita meneliti lebih lanjut, maka kita akan menemukan berbagai kepentingan golongan
yang mewarnai konflik tersebut.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam
dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah
mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi
adalah agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang
berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke
Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke
Poso.
Keberagaman inilah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi berbagai
kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya,
ataupun kerusuhan yang berlatar belakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso
tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjadi kendaraan dan alasan
tendesius untuk kepentingan masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatar belakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I
dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku (Sangaji, 2006: 9-10).
Untuk seterusnya agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang terjadi di
Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar personal pun bisa menjadi pemicu
kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu
beragama Islam dan yang satunya lagi beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami
kekalahan, maka ada perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau
bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah
kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik
lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas
keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat
Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga
mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang
Islam bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat
pelemparan masjid dan madrasah di desa Tegal Rejo oleh sekelompok pemuda Kristen asal
desa Mandale. Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo
dan Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan
”kecil” tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai
melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar.
Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat
keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali
meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih akif. Awal kerusuhan terjadi
Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap dua
terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus berlanjut dengan
terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-
peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga
kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima (Basueki,194:123).
Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan itu,
mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap memperlihatkan
perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada
kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan
selanjutnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah Poso kota keberadaan
komposisi agama relative berimbang dan sama. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota
diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar, yang berasal dari luar Poso, bahkan berasal
dari luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki
kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan
dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi masssa bahkan
semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada kerusuhan pertama
dan kedua.
Pola ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik itu
benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat banyak
mengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang, benturan dengan
benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan bahwa pada kerusuhan
april 2000 diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh berondongan senjata api.
Pola keempat adalah kesalah pahaman informasi dari kedua belah pihak. Pada kerusuhan
pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian
di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua berakar dari perkelahian dua
kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah
kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut
”tawuran”, sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan
wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas kelompok
memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok lain. Bahkan,
setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras, kelompok yang berbenturan
justru sempat sepakat mengadakan operasi miras bersama.
Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001
konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada upaya
menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapa pun,
termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai bagian lawan. Telah terbangun
solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan
etnisitas, sehingga konflik menjadi bersifat sanagt intensif (kekerasan dan korban) dan
ekstensif (wilayah dan pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang
umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka
telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik keempat dan kelima,
serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis
yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele berupa
perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu,
namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu tempat maksiat.
Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh petualang politik melalui
instrumen isu pendatang vspenduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik
berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik
diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula
hanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen bangsa.
Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian,
namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis. Dalam politik
keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial Belanda yang dalam
konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan finansial.
Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat
keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan
pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama
dalam dalam konstelasi politik Poso, yakni: Poso identik dengan komunitas Kristen, dan
birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era kemerdekaan fakta
keagamaan itu terjadi proses pembalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen Poso
mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. Data tahun 1997 bahwa
Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan
Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha dan Hindu (Sangaji, 2006:11-13).
Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadtan, melainkan akibat migrasi kewilayahan,
sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso, konstelasi sosio
ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas perubahan komposisi komunitas ini,
terutama beruapa proses pemiskinan di kalangan penduduk asli. Proses pemiskinan ini terjadi
baik karena kultur kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural),
seperti lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke
Palu lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses migrasi
pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.
Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan
perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu membangun
tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja menandai terjadinya
pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas keagamaan.
Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada
konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan, kaum
terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya mulai ikut bersaing dalam
lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain pula dalam dunia
kepegawaian, antara lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan
baru kalangan Islam. (2). Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah
terjadi peralihan tangan. Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi
kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas
keagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian
berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting dalam mencermati
konflik Poso.
Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat
kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping kelompok
kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso
dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level
propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.

2.3 Penyebab Konflik Poso


Konflik sosial yang terjadi di Poso adalah akibat dari keberagaman masyarakat Indonesia
yang saling berbenturan kepentingan antara individu satu dengan individu lainnya yang
seharusnya tidak perlu terjadi. Ada pendapat yang menyatakan bahwa akar dari masalah yang
bertumpu pada masalah budaya dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama. Argumen
yang mengemukan bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari konflik sosial itu
adalah sesuai dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso pertama berawal dari :
 Pembacokan Ahmad Yahya oleh Roy Tuntuh Bisa Lembah didalam masjid pesantren
Darusalam pada bulan ramadhan.
 Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku-suku pendatang seperti Bugis, Jawa, dan
Gorontalo,
 Pemaksaan agama Kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten
terutama di daerah Tentena dusun III, Salena, Sangira, Toinase, Boe, dan Meko yang
memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang
mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD Tentena.
 Penyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol – simbol perjuangan keagamaan
Kristiani pada kerusuhan ke III.
 Pembakaran rumah-rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III. Pada
kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar rumah penduduk antara pihak Kristen dan
Islam.
 Terjadi pembakaran rumah ibadah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak,
pembakaran rumah penduduk asli Poso di Lombogia, Sayo, dan Kasintuvu.
 Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku Flores, Toraja dan Manado.
 Adanya pelatihan militer Kristen di desa Kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum
meledak kerusuhan III.
Sesungguhnya budaya yang beragam pada masyarakat Poso mempunyai fungsi untuk
mempertahankan kerukunan antara masyarakat asli Poso dan pendatang. Adanya
Pembacokan Ahmad Yahya oleh Roy Tuntuh Bisa lembah didalam masjid pesantren
Darusalam pada bulan ramadhan merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai yang
selama ini manjadi landasan hidup bersama. Pada satu sisi muslim terusik ketentramannya
dalam menjalankan ibadah di bulan ramadhan kemudian menimbulkan reaksi balik untuk
melakukan tindakan pembalasan terhadap pelaku pelanggaran nilai-nilai tersebut. Disisi lain
bagi masyarakat Kristiani hal ini menimbulkann masalah baru mengingat aksi masa tidak di
tujukan terhadap pelaku melainkan pada perusakan hotel dan sarana maksiat serta operasi
miras, yang di anggap telah menggangu kehidmatan masyrakat Kristiani merayakan natal,
karena harapan mereka operasi – operasi tersebut di laksanakan setelah hari Natal.
Pandangan kedua tehadap akar masalah konflik sosial yang terjadi di Poso adalah adanya
perkelahian antar pemuda yang di akibatkan oleh minuman keras. Tidak diterapkan hukum
secara adil maka ada kelompok yang merasa tidak mendapat keadilan misalnya adanya
keterpihakan, menginjak hak asasi manusia dan lain- lain.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa akar dari konflik sosial yang terjadi di Poso terletak
pada masalah politik. Bermula dari suksesi Bupati, jabatan Sekretaris wilayah daerah
Kabupaten dan terutama menyangkut soal keseimbangan jabatan-jabatan dalam
pemerintahan.
Pendapat keempat mengatakan bahwa akar masalah dari kerusuhan Poso adalah justru
terletak karena adanya kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara panduduk asli
Poso dan kaum pendatang seperti Bugis, Jawa, Gorontalo, dan Kaili. Kecemburuan sosial
penduduk asli cukup beralasan dimana pendapatan mereka sebagai masyarakat asli malah
tertinggal dari kaum pendatang.
Kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke Poso yang berasal
dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan Gorontalo. Para pendatang
yang masuk ke Poso umumnya beragama Protestan dan Muslim. Pendatang umumnya lebih
kuat, muda dan mempunyai daya juang untuk mampu bertahan di daerah baru. Kedatangan
para pendatang ini juga menyebab-kan terjadinya peralihan lahan dari yang dahulunya atas
kepemilikan penduduk asli, kemudian beralih kepemilikan-nya kepada para pendatang.
Proses peralihan kepemilikan tersebut terjadi melalui program pemerintah dalam bentuk
transmigrasi maupun penjualaan lahan-lahan pada para migran. Arus migrasi masuk ini
semakin banyak ketika program transmigrasi dilakukan dan dibukanya jalur prasarana
angkutan darat sekitar tahun 80-an. Dikembangkannya tanaman bernilai ekonomi tinggi
seperti kakao (coklat) dan kelapa (kopra) oleh para pendatang tentunya telah menghasilkan
peningkatan kesejahteraan para pemiliknya. Walau penduduk asli mengikuti pola tanam yang
sama dengan pendatang, akan tetapi penguasaan pemasaran hasil-hasilnya dikuasai oleh para
pendatang. Penduduk asli merasa dirugikan dengan keadaan tersebut karena beberapa alasan
antara lain lahan pertaniannya sebagian telah beralih kepemilikannya kepada pendatang, hasil
dan keuntungan yang diperoleh dari hasil pertanian lebih besar dinikmati oleh para
pendatang.
Ada pendapat lain juga yang menyatakan bahwa konflik Poso yang terjadi tahun 1998
dan 2001 lebih didorong oleh isu belaka, baik melalui penyebaran informasi lewat jalur yang
sudah terbentuk (difusi) maupun penyebaran antar komunitas yang sebelumnya tidak
memiliki ikatan sosial. Ikatan yang kemudian muncul antar komunitas ini membuat konflik
Poso yang bermula dari pertengkaran dua pemuda mabuk menjadi konflik antar agama yang
mendapat perhatian internasional (Basueki, 199:125).
 Kondisi Masyarakat Poso
Istilah konflik berasal dari bahasa Latin yakni com dan fligere. Bila diartikan secara
harfiah bisa berarti saling tubruk atau saling bentur. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya
tidak berdaya.
Konflik dapat selalu mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat. Sebab dalam kancah
keragaman di mana manusia yang satu saling bertatap muka dengan manusia lain dalam
komunitas masyarakat tentu memiliki perbedaan yang bisa mengarah pada silang pendapat
dan lebih jauh menimbulkan konflik fisik. Karenanya konflik akan menghilang apabila
masyarakat juga lenyap.
Menurut Max van der Stoel, konflik, termasuk konflik etnik tidak dapat dihindari namun
bisa dicegah. Pencegahannya membutuhkan berbagai upaya misalkan dengan
mengidentifikasi sumber potensial dari konflik dan menganalisanya sebagai resolusi awal.
Namun bila pencegahan tidak berhasil maka peringatan dini perlu diberikan untuk merespons
konflik yang lebih serius.
Ada berbagai hal yang bisa menjadi pemicu konflik. Ketidak cocokan antar pribadi,
perbedaan sistem nilai, persaingan, ketidak jelasan batas-batas wewenang dan tanggung
jawab, perbedaan fungsi, miss communication, dan pertentangan kepentingan adalah contoh
kondisi dan situasi tertentu dalam masyarakat yang menjadi penyebab munculnya konflik.
Sebagaimana di negara-negara lainnya, di Indonesia terdapat konflik horizontal dan konflik
vertikal. Namun konflik horizontal lebih sering dijumpai di Indonesia sebagai konsekuensi
atas keragaman yang dimilikinya.
Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber
potensi konflik yang ada. Menurut Koentjoraningrat, setidaknya ada 4 sumber konflik dalam
masyarakat majemuk. Keempatnya adalah persaingan antara kelompok etnik dalam
memperoleh sumber kehidupan, adanya kelompok etnik yang memaksakan kebudayaan
kepada kelompok etnik lainnya, adanya golongan agama yang memaksakan ajarannya kepada
golongan agama lain, dan adanya potensi konflik yang sudah mengakar dalam masyarakat.
 Politikal (Political)
Kepentingan politik beberapa orang tertentu yang duduk di pemerintahan daerah
ditengarai menjadi penyebab awal munculnya konflik di Poso. Meskipun pemicu awal
munculnya konflik di Poso pada 1998 adalah karena pertikaian dua pemuda namun
sebenarnya terdapat muatan politik berkaitan dengan suksesi bupati. Ketidakpuasan politik
inilah yang menjadi akar permasalahan konflik.
Pada 1998, ketika mantan Bupati Poso Arief Patanga akan mengakhiri masa
kepemimpinannya, terlihat sinyalemen terjadinya gesekan di tingkat politisi partai yang
menginginkan perubahan kepemimpinan. Pergesekan antara politisi partai akhirnya
merambah hingga ke tingkat akar rumput. Akhirnya muncullah kelompok-kelompok di
masyarakat yang berlawanan haluan dengan kebijakan politisi partai.
Sebelum reformasi 1998 biasanya orang yang ingin menjadi pejabat cukup berhubungan
dengan Partai Golkar, ABRI, atau birokrasi. Tetapi setelah reformasi, ketiga patron itu tidak
dapat digunakan. Karena kebetulan para politisi yang ingin berkuasa dan yang menginginkan
perubahan berbeda agama, maka masing-masing kandidat menggalang dukungan dengan
mengeksploitasi sentimen agama. Upaya sistematis pun dilakukan oleh elite politik lokal
untuk menggunakan identitas agama demi mengkotak-kotakkan masyarakat Poso. Karena
itulah konflik yang terjadi lantas bertopeng suku dan agama.
Terendusnya praktik korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief Patanga
membuat yang bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi bermula dari pemberian
dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp 5 miliar pada 1998 oleh pemerintah pusat. Saat ada
upaya pengungkapan kasus korupsi itu, orang-orang yang terlibat korupsi menggalang massa
untuk melakukan aksi untuk mengalihkan isu korupsi yang berkembang. Bahkan ada
selebaran berisi penyerangan tokoh Kristen yang sengaja diedarkan ke masyarakat. Hal itu
kemudian semakin memperuncing konflik masyarakat yang beragama Islam dan Kristen.
Kekerasan yang terjadi tersebut tidak mendapat respons yang memadai dari aparat
keamanan. Kegiatan itu terlihat dibiarkan sehingga terus terjadi dan meluas. Karena
pembiaran oleh aparat, eskalasi kekerasannya meningkat hingga terjadi pembakaran rumah
penduduk, gereja, dan masjid. Bahkan terjadi pembantaian di Pesantren Walisongo,
Sintuwelemba, yang lokasinya di tengah-tengah komunitas Kristen.
Beredarnya senjata api baik organik dan rakitan serta amunisi yang digunakan oleh
kedua kelompok yang bertikai merupakan salah satu bukti bahwa konflik dan kekerasan yang
terjadi sengaja dipelihara. Karena itulah konflik di Poso terjadi hingga berjilid-jilid.
 Ekonomi (Economy)
Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, namun
proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa Orde Baru. Hal itu terjadi sejak
dibangunnya prasarana jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan
udara yang semakin memudahkan perpindahan penduduk.
Para pendatang masuk dari utara dan selatan, akibatnya proporsi pendatang terutama
yang beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen, baik di Poso Pesisir
maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak mendiami wilayah tengah Poso
merasa terjepit dan terancam secara ekonomi.
Keterancaman masyarakat beragama Kristen di Poso dikarenakan kegiatan perdagangan
secara perlahan tapi pasti mulai mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor
perdagangan yang terpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam.
Kesenjangan ekonomi pun tercipta. Keadaan ini semakin menebalkan rasa keterdesakan
penduduk asli yang berbasis pertanian dan beragama Kristen.
Rasa saling tidak suka antar kelompok yang juga diprovokasi pihak-pihak lain membuat
masyarakat mudah tersulut konflik. Pembangunan ekonomi yang tengah mengalami
kemajuan seketika terhempas karena harus menanggung kerugian materil akibat konflik yang
terjadi.
Tingkat pertumbuhan ekonomi pada 1997 mencapai angka rata-rata 5,15 persen.
Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi sempat membaik 2,12 persen di tahun 1999. Namun,
seiring dengan meledaknya kembali kerusuhan pada Mei 2000 yang mengakibatkan kerugian
sekitar Rp 250 miliar, pertumbuhan ekonomi terjun bebas ke angka minus 4,78 persen.
 Sosial Kebudayaan (Socio Cultural)
Daerah Poso dihuni oleh masyarakat asli dan pendatang. Suku Toraja di Poso yang
terbagi dalam 3 kelompok besar yakni Toraja Koro, Toraja Palu dan Toraja Sa’dan adalah
penduduk asli Sulawesi Tengah. Tinggal pula suku To Bungku, To Mori, dan Togean.
Sedangkan para pendatang yang datang ke Poso berasal dari suku Bugis, Gorontalo,
Toraja, Minahasa, Jawa, Bali, suku-suku dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur, Tionghoa dan Arab. Suku-suku itu umumnya memasuki Poso, baik melalui migrasi
secara spontan, juga melalui program-program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Arus transmigrasi intensif terjadi sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, terutama setelah
dibukanya jalur prasarana angkutan darat Trans-Sulawesi.
Kedatangan para pendatang menyebabkan terjadinya peralihan lahan dari yang
dahulunya atas kepemilikan penduduk asli, kemudian beralih kepada para pendatang. Para
pendatang kemudian mengembangkan tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kakao dan
kelapa (kopra). Pengembangan tanaman itu lantas menghasilkan peningkatan kesejahteraan
pemiliknya. Meski penduduk asli mengikuti pola tanam tersebut, namun pemasaran hasil-
hasil perkebunan dikuasai para pendatang. Karena keadaan sosial ekonominya tidak sebaik
para pendatang, akibatnya penduduk asli merasa dirugikan.
Penduduk asli Poso yang beragama Kristen awalnya banyak tinggal di bagian tengah.
Namun lama kelamaan mereka merasa terjepit oleh proporsi pendatang terutama yang
beragama Islam. Sebab semakin lama semakin mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso
Pesisir maupun di Pamona Selatan.
 Resolusi Konflik Poso
Untuk menyelesaikan konflik di Poso, telah dilakukan Deklarasi Malino untuk Poso
(dikenal pula sebagai Deklarasi Malino I). Deklarasi itu ditandatangani pada 20 Desember
2001 oleh 24 anggota delegasi Kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota dari delegasi
Kelompok Islam (putih). Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut yakni:
1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
2. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi
hukum bagi siapa saja yang melanggar.
3. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
4. Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil
serta campur tangan pihak asing.
5. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan
sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup
bersama.
6. Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki
hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
7. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana
adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara
menyeluruh.
10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan
menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan
pemerintah dan ketentuan lainnya.
Setelah Deklarasi Malino untuk Poso diberlakukan, konflik terbuka antar kelompok di
Poso berhasil dihentikan sementara. Namun dalam perjalanannya, kekerasan di Poso masih
kerap terjadi. Berbagai kasus bermunculan seperti teror, upaya mengadu domba yang dapat
dilihat melalui penembakan-penembakan misterius, pembunuhan, peledakan bom, bahkan
dengan tulisan-tulisan di dinding rumah penduduk yang sifatnya provokasi. Pada 2002 hingga
2005 telah terjadi setidaknya 10 kali terror bom yang merenggut puluhan nyawa.
Pengeboman di antaranya terjadi pada 28 Mei 2002 di Pasar Sentral Poso dan pada 5 Juni
2002 di sebuah bus umum, PO Antariksa jurusan Palu – Tentena. Peristiwa-peritiwa tersebut
kembali menimbulkan rasa trauma, saling curiga dan meningkatkan sensitivitas di tingkat
masyarakat.
Konflik Poso bisa dilihat dari perspektif teori ABC Galtung, di mana konflik dapat
dilihat sebagai segitiga vertikal Contradiction (C), Attitude (A), dan Behavior (B).
Kontradiksi (contradiction), merujuk pada sesuatu yang tersembunyi dan berada di bawah
situasi konflik, termasuk kenyataan ataupun persepsi tentang ketidaksejajaran tujuan
(incompatibility of goals) diantara para pihak di dalam konflik.
Faktor pertama adalah attitude baik dari etnik yang berkonflik dengan aparat keamanan.
Kecurigaan dari etnik yang berkonflik kepada aparat keamanan justru diyakini sebagai aktor
baru dalam konflik. Bertambahnya pasukan keamanan yang dikirim ke Poso dalam batas
tertentu belum menyebabkan de-eskalasi konflik, namun sebaliknya justru menjadi pemicu
eskalasi konflik itu sendiri.
Penempatan pasukan keamanan dilakukan untuk menjaga keamanan di Poso. Pada April
hingga Juni 2000, Polda Sulteng mulai menggelar operasi keamanan bertitel Operasi Sadar
Maleo. Operasi digelar hingga lima tahap ini efektif dimulai 1 Juli 2000. Ada 14 Satuan
Setingkat Kompi (SSK) aparat TNI dan Polri diterjunkan untuk mengamankan Poso.
Kodam VII Wirabuana, komando daerah militer yang membawahi Komando Resort
Militer se-Sulawesi, juga menggelar Operasi Cinta Damai. Meski sempat menekan letupan
pertikaian, hingga berakhirnya operasi tersebut pada 10 Desember 2001, hasil yang dicapai
belum optimal. Saat Poso belum aman juga, pasukan keamanan ditingkatkan menjadi 23
SSK. Namun serangkaian penyerangan, pembakaran rumah warga, penculikan, dan
pembunuhah masih saja terjadi.
Hingga akhirnya digelar Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu di Poso dengan sandi
Operasi Sintuvu Maroso pada Desember 2001. Pada 17 Juni 2002, setelah dilakukan
monitoring, analisa dan evaluasi (monev), diputuskan Opslihkam Sintuwu Maroso tetap
dilanjutkan selama tiga bulan dengan operasi kemandirian wilayah, mulai 1 Juli hingga 30
September 2002 dengan sandi Sintuwu Maroso-1.
Sesuai Deklarasi Malino, pemulihan keamanan dengan operasi terpusat tersebut
semestinya berakhir 30 Juni 2002. Namun dalam perjalanannya operasi tersebut terus
diperpanjang hingga 7 kali pada tahun 2005 tanpa evaluasi yang menyeluruh atas operasi
sebelumnya. Meski diperpanjang beberapa kali, operasi tersebut tidak mampu mengurangi
angka kekerasan yang terjadi di Poso. Bahkan sering kali hal itu menimbulkan peningkatan
eskalasi konflik di masyarakat lantaran aparat keamanan justru menjadi pelaku kekerasan
berupa pemukulan, penembakan, pencurian, kekerasan terhadap perempuan, penangkapan
sewenang-wenang disertai penyiksaan, dan stigmatisasi terorisme kepada warga.
Hal itu lantas berimbas ke dalam behavior (B) dari bingkai konflik di Poso. Konflik etnik
yang awalnya menggunakan senjata seadanya kemudian mengalami eskalasi cukup signifikan
karena bertambahnya peredaran senjata baik rakitan ataupun organik sebagai akibat
meluasnya konflik.
Pada peristiwa kekerasan yang terjadi di Poso pada Desember 1998 dan April 2000, pola
penyerangan antarkomunitas berlangsung terbuka. Serangan tersebut melibatkan massa kedua
pihak berjumlah ratusan hingga ribuan. Massa yang berkonflik menggunakan batu, senjata
tajam, senapan angin, bom ikan, dan senjata rakitan dalam jumlah amat terbatas.
Lalu pada peristiwa Poso Mei-Juni 2000, serangan antarkomunitas terjadi secara terbuka
dengan melibatkan massa ribuan. Penyerangan yang dilakukan oleh kedua pihak yang
berkonflik masih menggunakan senjata tajam, tetapi pemakaian senjata rakitan kian marak,
selain senjata api organik.
Pola ini terus berlanjut hingga Deklarasi Malino. Perang terbuka kerap terjadi dengan
melibatkan pasukan dalam jumlah besar. Penggunaan senjata api rakitan dan organik, selain
bom dan senjata tajam tetap terjadi. Serangan dilakukan kapan saja oleh para penyerang yang
tidak berusaha menyembunyikan identitasnya. Setelah Deklarasi Malino, kekerasan
(pengeboman, ancaman bom, pembunuhan, penyerangan) yang terjadi bersifat misterius
lantaran dilakukan pada malam hari oleh orang-orang yang menyembunyikan identitasnya.
Hal itu dikarenakan aparat keamanan telah menarik sejumlah senjata yang dimiliki pihak-
pihak yang bertikai.
Terkait kepemilikan senjata, hal itu sepertinya menjadi sebuah keharusan bagi setiap
pihak yang berkonflik untuk bisa meningkatkan preferensi rasa aman. Dengan memiliki
senjata berarti akan bisa segera melakukan pembalasan apabila kelompoknya diserang oleh
kelompok lainnya. Tidak heran senjata yang dimiliki pihak bertikai semakin banyak sejak
konflik mencuat di Poso.
Meningkatnya ekskalasi konflik di Poso juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan
contradiction (C). Terlalu banyaknya rumor yang berkembang sekitar konflik Poso
menyebabkan arah konflik menjadi serba tidak jelas. Apakah konflik yang terjadi karena
agama murni, bersintesis dengan konflik ekonomi, politik, atau rekayasa elite, selalu
berseliweran di tengah publik Poso. Penyebab konflik seolah kabur.
Apalagi terjadi kesenjangan sosial yang semakin melebar dan ketidakadilan terutama
terkait marjinalisasi politik antara penduduk asli dengan pendatang. Para provokator yang
tidak menginginkan perdamaian di tanah Poso sengaja menghembuskan isu yang sensitif dan
mengundang emosi yakni etnis dan agama. Apalagi kebanyakan masyarakat Poso memiliki
tingkat intelektualitas yang relatif rendah sehingga mudah terprovokasi.
Penyelesaian konflik di Poso yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih
mengedepankan pendekatan keamanan daripada komunikasi. Karena itu apa yang diinginkan
oleh pihak-pihak yang bertikai serta akar penyebab konflik tidak pernah tersentuh. Akhirnya
yang terjadi situasi keamanan di Poso bersifat fluktuatif.
Agar keamanan di Poso bersifat permanen, perlu dilakukan mediasi kedua pihak yang
bertikai yakni masyarakat beragama Islam dengan yang beragama Kristen, dan dimediatori
oleh pemerintah pusat sebagai pihak yang netral. Selain itu perlu pendekatan budaya
mengingat Poso adalah daerah yang sangat heterogen. Terlebih sebelumnya, masyarakat di
Poso baik yang asli maupun pendatang hidup berdampingan dengan damai dengan
mengusung nilai-nilai kearifan lokal.
Nilai kearifan lokal yang dikenal masyarakat Poso, Sintuwu, perlu dipupuk dan
diperkenalkan kepada generasi muda setempat. Sintuwu adalah mufakat bersama untuk
melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama. Karena konflik yang terjadi sejak 1998 di
Poso, nilai kearifan lokal ini seolah luntur dan dilupakan.
Dengan memegang nilai sintuwu maka masyarakat Poso bisa bekerjasama dengan penuh
kekeluargaan dalam rasa kebersamaan satu komuniti. Kegiatan bersama dalam konteks sosial
dan agama ini disebut sebagai Mesale atau rasa tangungjawab sosial dalam membantu
anggota masyarakat yang lain melakukan tugasnya.
Sintuwu juga mengandung pengertian adanya nasialapale atau keterbukaan dalam
keterbukaan menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa solidaritas
dan kekeluargaan yang meningkat diantara sesama warga, serta rasa simpatik dan
penghargaan antar sesama. Selain itu terkandung makna membetulungi dan mombepelae atau
kepedulian sosial yaitu semangat saling membantu dan bahu membahu.
Kearifan lokal Poso lain yang bisa dimaksimalkan adalah tradisi padungku yang
merupakan bentuk kesyukuran atas nikmat dan rezeki yang telah diberikan oleh Tuhan.
Apabila nilai ini dikembangkan sebagai bagian dari penyelesaian konflik di Poso maka
perdamaian abadi akan bisa diwujudkan.
Keragaman agama, etnik, dan budaya, tanpa disadari telah menciptakan building block
yang mengganggu harmoni kohesi dan interrelasi sosial. Hal ini sebenarnya merupakan
akibat dari sistem otoritarian Orde Baru yang tidak merancang kerukunan dan kedamaian
antar etnis dan agama dengan basis keragaman melainkan dengan basis keseregaman. Karena
itu, begitu Orde Baru jatuh, konflik yang tertahan pun mencuat.
Nilai-nilai kearifan lokal semacam itulah yang dilupakan pemerintah ketika melakukan
proses perdamaian di Poso. Sehingga keadilan dan kesetaraan di bidang politik, sosial
budaya, dan ekonomi antara masyarakat asli dan pendatang tidak bisa terwujud. Padahal nilai
kearifan lokal adalah bagian penting kehidupan sehari-hari masyarakat. Sehingga tidak
seharusnya pendekatan budaya lokal dipidahkan dari upaya menyelesaikan konflik yang
terjadi pada masyarakat yang heterogen seperti di Poso (Dwa, 2006:19-21).

2.4 Kronologi Konflik Poso


Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas pada saat musim kampanye enam
kandidat bupati. Mereka menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan.
Tepatnya pada Desember 1998, di tengah hujan selebaran dan intrik politik yang bertopeng
kepentingan agama, terjadi perkelahian pemuda yang berbeda agama yakni, Islam dan
Kristen.
Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada Jum’at, 25 Desember 1998 bulan Ramadhan
1419 H, sekelompok pemuda yang mengadakan pesta miras (minuman keras) membuat
keributan saat Shalat Tarawih berlangsung. Oleh karena itu, pengurus masjid berusaha
mengingatkan mereka. Akhirnya, para pemuda Kristen tersebut pergi meninggalkan area
masjid.
Pukul. 02.00 Wita Terjadi penganiayaan di mesjid Darusalam Kel. Sayo terhadap Korban
yang bernama Ridwan Ramboni, umur 23 tahun, agana Islam, suku Bugis palopo, pekerjaan
mahasisiwa, alamat Kel. Sayo, yang dilakukan oleh Roy Runtu Bisalemba, umur 18 tahun,
agama Kristen protestan, suku pamona, pekerjaan, tidak ada, alamat jalan tabatoki – sayo.
Akibat penganiayaan korban mengalami luka potong dibagian bahu kanan dan siku
kanan,selanjutnya dirawat di RSU Poso.
Pukul 02.30. Timbul reaksi dari pemuda/ pemuda Remaja mesjid terhadap kasus yang
dimaksud dan beredar isu –isu sebagai berikut: Pelaku penganiayaan (Roy Bisalemba)
terpengaruh minuman keras, sehabis minum di toko lima di jalan Samratulangi, anak
kandung pemilik toko lima (Akok) WNI keturunan cina di isukan telah melontarkan kata-kata
“Umat Islam kalau buka puasa pake RW saja, Imam masjid di Sajo telah dibacok didalam
masjid hingga di Opname I Rumah Sakit.
Pukul 14.30 Wita Sekelompok pemuda/remaja Islam Masjid Ke Kayamanya berjumlah
50 orang mengendarai truk turun di muka RSU Poso, menengok Korban Lk. LUKMAN
RAMBONI, selanjutnya berjalan menuju took LIMA dijalan Samratulangi melakukan
pelemparan took tersebut dengan batu dan kayu.
Pukul 14.45 Wita. Sasaran pengrusakan diarahkan kerumah tempat tinggal penduduk
milik tersangka (ROY BISALEMBA) dijalan Yos Sudarso Kel. Kasintuwu dan beberapa
rumah keluarga tersangka di jalan Tabatoki Kel.Sayo. Massa merusak bangunan dan isi
perabot rumah tangga dengan batu,kayu, dan senjata tajam.
Pukul 15.15 Wita. Sekelompok pemuda/ remaja berjumlah sekitar 300 orang merusak
penginapan dan diskotik DOLIDI NDAWA di jalan .P.Nias Kel. Kayamanya, menggunakan
batu dan kayu.
Pukul 18.45. Wita. Massa berjumlah 300 orang merusak tempat Billyard dijalan
P.Sumatra Poso. Selanjutnya massa dari ummat Islam kel.Kayamanya bergabung dengan
massa kelurahan Moenko berjumlah sekitar 1000 orang melakukan pengrusakan
losmen/diskotik LASTI dijalan P.Seram Kel.Gebang Rejo,hingga bangunan rumah dan
diskotik serta isi rumah dan beberapa ratus botol minuman keras dihancurkan.
Pukul 19.00 Wita. Pasukan PAM PHH memblokade massa dijembatan penyembrangan
kuala Poso yang bermaksud untuk bergabung dengan massa remaja Islam Masjid kel. Bone
Sompe dan Kel.Lawanga . Terjadi sedikit ketegangan antara aparat dengan massa yang tetap
memaksakan kehendaknya menembus barisan PHH, namun massa dapat dikendalikan .
Pukul. 20.20 Wita. Sebagian massa yang terbendung pasukan PHH kembali menuju
kompleks pertokoan dan tempat-tempat hiburan yang biasanya dijadikan tempat menjual
miras dan membawa prostitusi, selanjutnya massa melakukan pengrusakan dengan cara
melempar dengan batu dan merusak dengan pentungan kayu, pentungan besi dan senjata
tajam /parang:
1. Toserba intisari lantai II dilempar hingga etalas toko pecah.
2. Toko Hero diJln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
3. Pabrik Minuman Keras merek SAR di Kel.Kayamanya dilempar mengenai atap Seng.
4. Toko Asia di Jln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
5. Hotel Kartika dirusak dan kasur busa hotel dibakar diJalan Raya.
6. Hotel Anugrah Inn di rusak meliputi kaca dan isi perabotan Hotel diruang Resepsionis dan
ruang penerima tamu hotel.
7. Penginapan Wati Lembah di jln.P.Batam dilempar hingga kaca bangunan tempat/hotel pecah.
8. Rumah makan Arisa diJln.P.Batam Kel. Moenko dibakar dan seluruh minuman keras
dikeluarkan dan dipecahkan diJalan Raya dan sebagaian lagi dibakar.
Sedangkan massa berjumlah 500 orang dari masyarakat Kel.Bonesompe dan Lawanga
juga melakukan pengrusakan Hotel NELCON CYTY HOTEL dan Toko TIGA DARAH.
Pukul. 23.00 Wita. Massa membubarkan diri, situasi dapat terkendalikan
Sabtu, 26 Desember 1998. Pukul. 07.00 Wita. Massa dan Risma dari arah Gerbang Rejo,
Kayamanya, Moenko bergerak mencari Toko dan Gudang yang diduga ada Miras . Demikian
-bleep- massa dan Risma dari Arah kelurahan Lawanga , Bonemsompe dan Sayo masing-
masing bergerak mencari miras yang ada diToko dan Gudang.Kemudian semua miras
dikumpul pada tempat parkir lapangn MAROSO, sampai pada pukul 15.30 Wita miras yang
terkumpul dari berbagai jenis sejumlah 15 truk yang diperkirakan puluhan ribu botol yang
besar maupun kecil.

Pukul 16.00 bupati bersama Kapolda Sul-teng Muspida Tingkat II Poso bersama tokoh
Agama dan masyarakat menyaksikan pemberantasan miras dengan menggunakan alat berat
sten wals maka lembah got lapangan Maroso mengalirlah cairan miras laksana bah air hujan
dengan bau yang menusuk hidung sementara umat Islam sedang berpuasa. Demikianlah
selanjutnya miras senentiasa terkumpul lalu dimusnakan. Kemudian sore itu juga Kapolda
Sul-teng kempali kepalu.
Pukul 17.00 Massa dari arah lawangga Bonesompe dan Gebangrejo bergerak menuju kel.
Untuk menuntaskan miras yang ada di Toko lima yang diduga masih ada sekitar ribuan botol
yang terdapat diruang bawah tanah. Pada waktu massa ingin mengambil miras tersebut maka
toko Lima telah dibendung oleh massa pemuda Kristen dan masyarakatnya. Tidak diizinkan
untuk diganggu termaksuk mengamankan kel. Lombogu dari. Demikianlah keadaan
berlangsung sampai malam hari kerusuhan demi kerusuhan terjadi.
Pukul 19.00 Massa dan Risma kembali berjalan ditambah lagi massa dari desa
Tokorondo Kec. Poso Pesisir sehingga masssa besar ini terpaksa berhadapan dengan pasukan
PPH dijembatan besar sungai Poso di tengah kota dengan massa yang diduga dipimpin
Herman Parimo + 20 truk.
Pukul 19.30 Rapat dan musyawarah Tokoh Agama Kristen dan Islam serta tokoh
pemudanya yang dipimpin oleh bupati bersama Muspida dan ketua DPR Tingkat II Poso.
Dalam musyawarah tersebut diputuskan bahwa semuanya sepakat dan menyatakan
perdamaian. Keadaan itu di sosialisasikan dan dinyatakan aman. Namun suara massa sudah
ribut dan hiruk pikuk karena sudah terjadi bentrok tawuran.
Pukul 20.00 Toko agama ulama dan pendeta serta toko pemuda Islam dan Kristen
dipimpin oleh Muspida Tingkat II Poso bergerak menuju tempat kerusuhan untuk
mengendalikan massa yang sudah terjadi bentrok tawuran, dalam keadaan hujan batu tersebut
massa tidak bisa diterobos terpaksa pasukan PPH Brimob dan Polisi melepaskan tembakan
peluru hampa dan peluru karet kemudian massa kembali lalu tokoh memberi nasehat dan
berdoa bersama kemudian bubar, namun dilain pihak massa masih terjadi tauran diarah
kelurahan Lawanga dengan Lombogia masih terjadi tauran sporadis sampai pagi hari.
Minggu, 27 desember 1998, Pukul 08.00 bupati bersama muspida dan tokoh agama dan
tokoh pemuda dan tokoh masyarakat begerak menuju pasar sentral untuk mensosialisasikan
kesepakan damai dan dinyatakan aman. Demikianlah tiem bergerak dari pasar kemasing-
masing kelurahan sampai tuntas kelurahan dan dinyatakan aman dan damai.
Pukul 18.30 malam hari sesudah buka puasa bupati bergerak bersama tiemnya menuju
desa Tagolu untuk mensosialisasikan perdamaian dengan massa yang dipimpin oleh Herman
parimo (tokoh GPST semasa perang dengan PERMESTA). Massa tersebut diperkirakan dari
12 desa dari kecamatan Pamona utara dan lage + 40 truk, namun herman ternyata acuh karena
sementara Bupati berpidato herman meninggalkan tempat sehingga bupati bersama tim
pulang kekota Poso.
Pukul 22.00 Pasukan herman parimo bergerak menuju kota Poso dan melakukan
demonstrasi kekuatan sambil melempar rumah-rumah dan toko-toko disekitar Jl. P.
Kalimantan dan Sumatra sehingga masyarakat gebangrejo kaget karena sudah damai dan
aman mengapa masih ada kerusuhan dengan serangan tiba-tiba sementara masyarakat sudah
tenang istirahat setelah sholat tarawih.
Pukul 22.30 Pasukan PPH mengundurkan pasukan massa Herman Parimo dan
diundurkan dari arah pasar sentral. Kantor Polres hingga jembatan sampai dibundaran ujung
utara jembatan poso. Massa Gebangrejo yang minus mengadakan perlawanan hanya puluhan
orang hingga pagi hari (Canolly, 2003:138).

2.5 Dampak Yang Diakibatkan Oleh Kerusuhan Poso


Kerusuhan yang terjadi di Poso menimbulkan dampak sosial yang cukup besar jika di liat
dari kerugian yang di akibatkan konflik tersebut. Selain kehilangan nyawa dan harta benda,
secara psikologis juga berdampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan itu, Dampak
psikologis tidak akan hilang dalam waktu singkat. Jika dilihat dari keseluruhan, kerusuhan
Poso bukan suatu kerusuhan biasa, melainkan merupakan suatu tragedi kemanusiaan sebagai
buah hasil perang sipil. Satu kerusuhan yang dilancarkan secara sepihak oleh kelompok
merah, terhadap penduduk muslim kota Poso dan minoritas penduduk muslim di pedalaman
kabupaten Poso yang tidak mengerti sama sekali dengan permasalahan yang muncul di kota
Poso.
Dampak kerusuhan poso dapat di bedakan dalam beberapa segi :
1. Bidang Budaya
 Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapai tujuan
politiknya.
 Runtuhnya nilai – nilai kebersamaan, kerukunan, dan kesatuan yang menjadi bingkai dalam
hubungan sosial masyarakat Poso.
2. Bidang Hukum
 Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Poso ke dalam dua kelompok yaitu kelompok
merah dan kelompok putih.
 Tidak dapat dipertahankan nilai-nilai kemanusiaan akibat terjadi kejahatan terhadap manusia
seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak serta orang tua dan
pelecehan seksual.
 Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hukum di masyarakat
Kabupaten Poso.
 Munculnya perasaan dendam dari korban-korban kerusuhan terhadap pelaku kerusuhan.
3. Bidang Politik
 Terhentinya roda pemerintahan.
 Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah di mata masyarakat.
 Hilangnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat masing –
masing kelompok kepentingan.
 Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya.
4. Dibidang Ekonomi
 Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat, seperti sawah,
tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya.
 Terhentinya roda perekonomian.
 Rawan pangan.
 Munculnya pengangguran dan kelangkaan kesempatan kerja
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Poso menyebar 13
kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus
penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan
agama. Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis, ebony, meranti,
besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo)
serta tambang mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan.
2. Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam dan
Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam. Baru kemudian disusul
Kristen masuk ke Poso. Keberagaman inilah yang menjadi salah satu pemantik seringnya
terjadi berbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang
sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatar belakang agama, seperti yang diklaim saat
kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjadi
kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.
3. Pembacokan Ahmad Yahya oleh Roy Tuntuh Bisa Lembah didalam masjid pesantren
Darusalam pada bulan ramadhan, pemusnahan dan pengusiran terhadap suku-suku pendatang
seperti Bugis, Jawa, dan Gorontalo, pemaksaan agama Kristen kepada masyarakat muslim di
daerah pedalaman kabupaten terutama di daerah Tentena dusun III, Salena, Sangira, Toinase,
Boe, dan Meko yang memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan
kristenisasi secara paksa yang mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD Tentena, terjadi
pembakaran rumah ibadah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak,
pembakaran rumah penduduk asli Poso di Lombogia, Sayo, dan Kasintuvu.
4. pada Jum’at, 25 Desember 1998 bulan Ramadhan 1419 H, Pukul. 02.00 Wita: Terjadi
penganiayaan di mesjid Darusalam Kel. Sayo lalu Sabtu, 26 Desember 1998. Pukul. 07.00
Wita. Massa dan Risma dari arah Gerbang Rejo, Kayamanya, Moenko bergerak mencari
Toko dan Gudang dan Minggu, 27 desember 1998, Pukul 08.00 bupati bersama muspida dan
tokoh agama dan tokoh pemuda dan tokoh masyarakat begerak menuju pasar sentral untuk
mensosialisasikan kesepakan damai dan dinyatakan aman.
5. Terhentinya roda pemerintahan, hilangnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap
perbedaan pendapat masing – masing kelompok kepentingan, legalisasi pemaksaan kehendak
kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya, lepas dan hilangnya faktor dan sumber
produksi ekonomi masyarakat, seperti sawah, tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor
tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya, terhentinya roda perekonomian, rawan
pangan dan munculnya pengangguran dan kelangkaan kesempatan kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Basueki, Soepranata.1984.Jangan Lupakan Poso.Jakarta:Kompas.


Canolly, Peter.2003.Aneka Pendekatan Study Agama.Yogyakarta:Ksi.
Dwa, Espul.2006.Tgmatisasi Teniris oleh Aparat.Bandung:Kompas.
http://hery15061993.blogspot.co.id/2012/01/penyebab-konflik-poso.html

Anda mungkin juga menyukai