Anda di halaman 1dari 68

BAB I.

PENGERTIAN ETNOGRAFI

1) Pengertian Etnografi
Etnografi atau etnography berasal dari bahasa Yunani
Ethnography berarti
yang terdiri dari dua kata ἔθνος ethnos yang artinya rakyat “Menggambarkan
(masyarakat) dan graphy atau grafi γραφία graphia yang artinya kehidupan suatu
1 masyarakat dalm satu
lukisan (gambaran) . Kata Etnografi kemudian interpretasi dan wiayah yang tersebar
di pahami sebagai; pertama: tulisan, laporan yang diseluruh muka bumi.
Etnografi adalah ilmu
menggambarkan suatu suku bangsa yang di tulis oleh seorang yang mengambarkan
antropolog berdasarkan hasil penelitian lapangan di satu suku di pola hidup manusia,
dengan mempelajari
satu wilayah. Penelitian ini dilakukan oleh antropolog selama kebudayaan-kebudayaan
berbulan-bulan bahkan ada yang bertahun-tahun. Kedua: dalam kehidupan
masyarakat dari
etnografi dipahami sebagai sebuah metode penelitian yang sebanyak mungkin suku
khas. Artinya seorang etnolog melakuan pengamatan tidak bangsa yang tersebar
diseluruh muka bumi
hanya dipermukaan saja, tetapi pengamatan itu dilakukan pada masa sekarang ini.
dengan pengkajian yang mendalam. Antropolog Clifford Geertz
menyatakan bahwa bagian penting dari etnografi adalah
deskripsi yang kaya, penjelasan yang spesifik dan rinci (sebagai
lawan dari ringkas, standar, dan general). 2 Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil
tersebut seorang peneliti harus dapat hidup secara khusus dalam waktu yang lama di dalam
suatu komunitas sosial.
Seorang antropolog akan diamati dan menganalisa perkembangan kehidupan suatu
suku, masyarakat, kemudian antropolog melakukan deskripsi gambaran pengamatan dari
berbagai konteks. Pengamatan dan analisa yang di lakukan tersebut menghasilkan laporan
khas etnografi.
Dalam perkembangan terdapat dua metode penelitian, yaitu
Dua metode penelitian
Ethnography:
metode yang satu menekankan kepada bidang diakronik (berarti
1.Diakronik: berarti berturut-turut dalam berjalannya waktu), sedangkan yang lain
berturut-turut dalam menekankan kepada bidang sinkronik (berarti berdampingan
berjalannya waktu
dalam waktu yang sama) dari kebudayaan umat manusia. Nama
2. Sinkrinik:
berarti berdampingan
yang tetap untuk kedua macam penelitian ini belum ada, tetapi
dalam waktu yang sering dapat kita lihat adanya nama-nama seperti Descriptive
sama Integration untuk penelitian-penelitian yang diakronik, dan
Generalizing Aproach untuk penelitian-penelitian yang sinkronik
(Koentjaraningrat, 1986, 14).
Descriptive Integration selalu mengenai suatu daerah tertentu.
Bahkan keterangan pokok yang diolah ke dalam deskriptif integrasi dari daerah itu adalah
terutama bahan keterangan etnografi, sedangkan bahan seperti fosil, ciri ras, artefak-
artefak, bahasa lokal diolah menjadi satu dan diintegrasikan menjadi satu dengan bahan
etnografi tadi. Descriptive Integration mempunyai tujuan untuk mencari pengertian tentang
sejarah perkembangan dari suatu daerah, artinya mencoba memandang suatu daerah pada
bidang diakroniknya juga (Koentjaraningrat, 1986, 15).
Generalizing Aproach bertujuan mencari azas persamaan dibelakang aneka warna
dalam beribu-ribu masyarakat dari kelompok-kelompok manusia dimuka bumi ini.
Pengertian tentang azas tersebut dapat dicapai dengan metode-metode yang dimasukan
kedalam dua golongan, yaitu:
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Etnografi
2
W. Lawrence Neuman, Social Research Methods (Qualitative and Quantitative Approaches), Ed.
5th.,  (Boston: Allyn and Bacon, 2003), hlm. 363.
ETNOGRAFI PAPUA 1
1. Golongan pertama terdiri dari metode sampel area sebanyak paling sedikit tiga
sampai lima masyarakat dan kebudayaan, dengan penelitian mendalam dan bulat.
2. Golongan kedua terdiri dari metode komparatif dengan 1. Descriptive Integration
mengambil unsur kebudayaan tertentu dan sebanyak mungkin mempunyai tujuan untuk
mencari pengertian tentang
masyarakat yang diteliti (dua-tiga ratus masyarakat yang sejarah perkembangan dari
diteliti atau lebih). (Koentjaraningrat, 1986, 15) suatu daerah, artinya
mencoba memandang suatu
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu daerah pada bidang
kebudayaan. Tujuan utama aktifitas ini adalah memahami diakroniknya juga
pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (Spradley 2. (Koentjaraningrat, 1986, 15).
Generalizing Aproach
J.P. 1997; 3). Malinowsky (1922;25) mengemukakan bahwa bertujuan mencari azas
tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli persamaan dibelakang aneka
warna dalam beribu-ribu
hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan masyarakat dari kelompok-
pandangannya mengenai dunianya. Oleh karena itu etnografi kelompok manusia dimuka
bumi ini.
melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia orang yang telah
belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan bertindak
dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat lebih dari itu
etnografi berarti belajar dari masyarakat (Spradley J.P.1997;3). Menurut Koentjaraningrat
(1986), perkembangan ilmu etnografi secara khusus terbagi kedalam 4 (empat) Fase yaitu
:

a) Fase pertama; ( Sebelum 1800 )


Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, suku-suku bangsa penduduk pribumi
di berbagai daerah di muka bumi ini mulai mendapat pengaruh dari negara-negara Eropa
Barat. Bersamaan dengan itu telah terbaca pelbagai laporan dari para musafir, pelaut,
pendeta, penerjemah kitab injil dan pegawai pemerintah jajahan.
Dalam laporan mereka terungkap deskripsi suku-suku bangsa, adat istiadat,
sistem sosial dan ciri-ciri fisik yang sangat berbeda dengan warga masyarakat Eropa.
Orang di luar Eropa dianggap aneh. Sebagai konsekuensi pengamatan mereka maka
muncul beberapa sikap, sebagai berikut :
a. Orang yang dijumpai bukan manusia, melainkan manusia liar, keturunan iblis. Sebagai
akibat pandangan ini muncul apa yang disebut “savage primitive”
b. Mereka merupakan contoh dari masyarakat yang murni, yang belum mengenal
kejahatan, sebagai mana yang terjadi pada masyarakat Eropa.
c. Informasi kondisi yang aneh-aneh ini menjadi bahan koleksi yang sangat populer dan
menarik untuk di pamerkan di Museum-Museum terkenal.

b) Fase Kedua; ( Pertengahan abad ke –19 )


Data-data yang telah terkumpul, laporan-laporan dianalisa oleh sejumlah
kelompok akademis. Dilingkungan akademis juga berkembang paham evolusi, sehingga
analisa-analisa akademispun ikut membenarkan hipotesa evolusionism. Seusai
munculnya teori Darwin, juga pandangan E.B Taylor, J Frazer dan L.H Morgan.
Kajian-kajian mereka menggugah banyak kelompok akademis, terutama
kelompok agamis/Teolog. Perbedaan pemahaman ini terjadi seputar asal usul umat
manusia. Menurut para Teolog bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang maha kuasa.
Menurut para evolusionis bahwa manusia terjadi sebagai akibat proses alam yang sangat
panjang. Atau dengan kata lain bahwa ada tingkat-tingkat perkembangan manusia dari
masa –ke masa. Kelompok manusia yang diamati di luar Eropa merupakan contoh dari
peradaban manusia yang sangat sederhana dan merupakan contoh manusia tahap pertama.
Untuk membuktikan pemahaman ini maka munculah suatu teori yang disebut dengan

ETNOGRAFI PAPUA 2
istilah Infancy of social life . Dipihak lain Masyarakat Eropa merupakan contoh suatu
manusia yang mengalami tingkat peradaban yang sangat tinggi

c) Fase Ke-Tiga; ( awal abad ke-20 )


Orang Eropa mulai menancapkan kekuasaannya dipelbagai tempat, di pelbagai
suku bangsa. Ilmu Antropologi dijadikan sebagai salah satu sarana yang ampuh untuk
menguasai hampir semua suku bangsa di luar Eropa. Pelbagai informasi yang pernah
didapati dari para musafir, pelaut, penterjemah kitab suci dan pegawai pemerintah
jajahan, dipelajari secara seksama diatas meja. Informasi seputar identitas suku bangsa,
sistem sosial, cara pengambilan keputusan secara tradisional dan mekanisme pengaturan
masyarakat dipelajari sebagai bahan yang sangat ampuh untuk melumpuhkan warga
masyarakat diluar Eropa. Pada tahap ini orang Eropa merasa semakin kuat posisi mereka
dalam pelbagai kehidupan sosial. Selain Belanda, Inggris, Spanyol , Portugis juga para
Imigran Inggris, Perancis yang bermigrasi ke Amnerikapun masih menggunakan paham
tersebut untuk menjajah orang pribumi Amerika, yaitu orang Indian.

d) Fase Ke- Empat (1930 )


Dari pelbagai pengalaman memperlihatkan bahwa ilmu Antropologi tidak lagi
digunakan sesuai dengan misi, misi dan tujuan yang benar sehingga para Antropolog
menyelenggarakan suatu konferensi yang bertujuan untuk mengembalikan citra ilmu
Antropologi. Pada tahap ini Fungsi ilmu ini tidak lagi digunakan sebagai sarana yang
ampuh untuk menguasai warga masyarakat non Eropa tetapi digunakan sebagai salah satu
ilmu yang mengkaji masyarakat secara utuh. Sebagai konsekuensi logisnya, maka para
antropolog telah kehilangan lapangan pekerjaan. Mengapa demikian, karena masyarakat
diluar Eropa sebagian besar teridentifikasi. Para Etnografer/Antropolog tidak pernah
diam, pada tahap/fase ini para ahli mulai memikirkan metode-metode, teori-teori,
konsep-konsep yang sesuai dengan masyarakat. Pandangan dan pendekatan yang
digunakan oleh Antropolog semakin membuat perubahan arah dan orientasi bidang kajian
yang lebih spesifik dan menarik.
Implikasi pemahaman demikian terhadap kehidupan umat manusia adalah:
1) Orang Eropa tidak sadar bahwa perbedaan-perbedaan ras, warna kulit tidak ada
hubungannya dengan masalah rohani/pengetahuan manusia. Masyarakat dimanapun ia
berada, kapanpun ia lahir bagaimanapun bentuknya memiliki kemampuan rohani
yang sama. Tidak ada kebudayaan yang superior dan tidak ada kebudayaan yang
inferior. Persoalan yang sangat utama adalah bahwa kesempatan yang tidak sama dan
seimbang membuat setiap umat manusia tidak menikmati perubahan secara wajar dan
manusiawi.
2) Paham evolusi yang berkembang pada saat itu sangat merugikan dan telah
mengancam kehidupan dan rasa kemerdekaan setiap umat manusia. Beberapa tulisan
seperti : Essai sur I’Inegalite des races humaines (1855) oleh J.A.Gubineau,
pengarang bangsawan perancis yang mengatakan dalam tulisannya bahwa “ ras
caucasoid yang mencapai mutu mental yang paling tinggi adalah orang Arya dan
orang Jerman serta penduduk Eropa Barat yang merupakan keturunan dari ras Arya.
Pandangan ini sangat didewakan oleh orang Eropa. Tulisan ini telah memberikan
angin segar kepada A.Hitler, seorang pemimpin dari Partai Nasional Sosialis yang
pernah membunuh orang Yahudi dalam peristiwa pembantaian Enam ribu orang dan
penjajajhan pelbagai bentuk dan manifestasi.

ETNOGRAFI PAPUA 3
2. Mengapa Etnografi Papua Penting Dipelajari
Sampai pada saat sekarang ini anggapan–anggapan mengenai racisme masih
dipraktekan dalam pelbagai bentuk dan manifestasinya. Ada sejumlah warga masyarakat
menggunakan paham etnis yang superior mengancam etnis yang inferior. Kondisi ini
kembali diperparah oleh kurang adanya informasi yang rinci terhadap masyarakat dan
kebudayaan orang Papua. Disatu sisi kondisi kelemahan ini digunakan sebagai alasan yang
ampuh untuk menggeneralisir kemampuan rohani orang papua. Disisi lain, kelemahan ini
dijadikan sebagai peta kelemahan untuk mengeksploitir pelbagai sumber daya alam.
Pelbagai macam tanggapan balik warga masyarakat lokal biasanya di eliminasi dengan
pressure politik, yaitu dengan kata kunci PKI, OPM dan sederetan organisasi
pemberontakan lainnya. Kita tidak pernah jujur mengatakan bahwa orang Papua butuh
waktu yang relatif cukup untuk mengetahui segala informasi agar mereka bisa menjadi
tuan diatas tanahnya sendiri.
Buku ini bermaksud mengingatkan, mengajak para pembaca dengan sadar melihat
masyarakat Papua secara objektif. Apa persoalan yang mereka sedang hadapi dan
bagaimana mereka dapat diberdayakan sehingga suatu ketika ia dapat membangun dirinya
sendiri menurut konsep tataruang budaya dengan model pembangunan yang pernah ia
nikmati.
Spradley mengatakan bahwa Etnografi bermakna untuk membangun suatu
pengertian yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dari perspektif orang
yang telah mempelajari kebudayaan itu (1997;12). Itu berarti
 Etnografi bermakna untuk
membangun suatu pengertian
terkandung bahwa etnografi dapat memberikan gambaran
yang sistematik mengenai diversitas kebudayaan Papua yang terdiri dari beratus
semua kebudayaan manusia
dari perspektif orang yang telah
kebudayaan.
mempelajari kebudayaan itu Etnografi dapat menerangkan teori-teori ikatan-
 etnografi dapat memberikan budaya seperti masing-masing kebudayaan memberikan
gambaran diversitas
kebudayaan Papua yang terdiri suatu cara untuk melihat dunia. Kebudayaan memberikan
dari beratus kebudayaan. kategori, tanda, dan juga mendefeniskan dunia dimana
 Etnografi dapat menerangkan
teori-teori ikatan-budaya orang itu hidup. Kebudayaan mencakup nilai-nilai yang
seperti masing-masing
kebudayaan memberikan suatu
menspesifikasikan hal-hal yang baik, benar, dan bisa
cara untuk melihat dunia. dipercaya. Apabila orang mempelajari kebudayaan, maka
 Etnografi dapat memahami sampai batas-batas tertentu dia terpenjara tanpa
perilaku manusia seperti apa mengetahuinya. Para ahli antropologi mengatakan hal ini
yang dilakukannya, mengapa ia
lakukan itu. sebagai ikatan budaya (Culture Bound). Itu berarti dengan
memahami kebudayaan Papua kita dapat mengerti apa yang
dipandang orang Papua terhadap fenomena dunia Papua yang sedang terjadi. Pandangan
inilah yang menjadi dasar untuk membangun orang Papua.
Etnografi berupaya untuk mendokumentasikan berbagai realitas alternative dan
mendeskripsikan realitas itu dalam batasan realitas itu sendiri. Dengan demikian dengan
Etnografi kita bisa melestarikan kebudyaan Papua secara turun temurun.
Etnografi dapat memahami perilaku manusia seperti apa yang dilakukannya,
mengapa ia lakukan itu. Penjelasan apapun mengenai tingkah laku yang mengabaikan apa
yang diketahui pelaku, masih merupakan penjelasan parsial. Alat-alat etnografi
menawarkan suatu cara untuk membahas kenyataan makna ini.

3. Kerangka Etnografi
Bidang-bidang yang selalu dikaji dalam sebuah buku etnografi, biasanya dibagi
kedalam unsur-unsur kebudayaan menurut suatu tata urut yang sudah baku, yaitu
(Koentjaraningrat, 1986;356):
1. Lokasi, lingkungan alam dan demografi
ETNOGRAFI PAPUA 4
 Iklim
 Topografi
 Suhu dan Curah Hujan
 Penyebaran penduduk
 Ciri Flora dan Fauna
 Peta desa
 Keadaan dan perkembangan penduduk

2. Asal mula dan sejarah suku bangsa


 Prasejarah dan Lokasi
 Mitologi dan cerita rakyat
 Naskah kuno (kalau ada)
3. Bahasa
 Bahasa lisan termasuk dialek
 Bahasa tertulis kalau ada
 Contoh perbendaharaan kata
4. Sistem Teknologi
 Alat-alat produksi
 Senjata
 Wadah
 Alat untuk menyalakan api
 Pakaian dan perhiasan
 Perumahan
 Alat transportasi
5. Sistem Ekonomi
 Sistem berburu
 Sistem bercocok tanam
 Sistem beternak
 Sistem berladang
 Sistem menangkap ikan
 Sistem perdagangan
6. Organisasi Sosial
 Kelompok Inti
 Keluarga luas
 Pola menetap
 Tipe kekerabatan
 Sistem kekerabatan
 Sistem perkawinan
 Sistem kepemimpinan
 Struktur social
 Sistem Hukum
 Sistem kepemilikan
7. Sistem Pengetahuan
 Pengetahuan tentang alam sekitarnya
 Pengetahuan tentang tumbuhan dan lingkungannya
 Pengetahuan tentang hewan dan lingkungannya
 Pengetahuan tentang berbagai bahan mentah

ETNOGRAFI PAPUA 5
 Pengetahuan tentang tubuh manusia
 Pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesame manusia
 Pengetahuan tentang ruang
 Pengetahuan tentang waktu
8. Kesenian
 Seni rupa
 seni suara
 seni tari
 Seni drama
9. Sistem Religi
 Sistem Kepercayaan
 Upacara-upacara religi
 Magic
 Pelaku religi
10. Perubahan Kebudayaan
 Perubahan dalam sistem sosial
 Perubahan dalam sistem hukum
 Perubahan dalam stratifikasi sosial
 Perubahan dalam pola-pola kepemimpinan
 Akulturasi
 Asimilasi

Kesepuluh unsur ini yang akan diuraikan dalam bagian pertama, secara garis
besar. Karena kebudayaan Papua sangat beraneka ragam maka akan sulit untuk membuat
generalisasi untuk setiap unsur-unsur dalam kerangka etnografi ini, oleh karena itu uraian
kebudayaan orang Papua hanya bersifat umum atau bersifat dominan saja dalam
kebudayaan Papua yang diuraikan dalam buku etnografi ini.

4. Konsep Kebudayaan
Dalam menulis Etnografi tidak terlepas dari pendeskripsian suatu kebudayaan.
Untuk memahami deskripsi kebudayaan itu, sebaiknya kita perlu mendapat pemahaman
tentang kebudayaan itu sendiri agar dalam memahami etnografi pembaca langsung
mengerti semua konsep-konsep yang terkandung dalam buku ini.
Banyak ahli membuat konsep dan definisi kebudayan yang bermacam-macam
satu dengan yang lainnya. Kita patut berterima kasih pada dua pakar Antropologi yaitu :
Kroeber dan Clyde Kluckhohn yang pernah mengumpulkan definisi kebudayaan yang di
tulis ahli-ahli Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat dan lain-lain sebanyak 160 buah
definisi dalam buku mereka berjudul “Culture a Critical Review Of Concepts And
Definitions’. Kroeber dan Kluckhohn mengkategori definisi-definisi kebudayaan itu
menjadi 7 golongan yaitu kebudayaan diartikan sebagai :
1) Suatu keseluruhan konsep yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti
pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecakapan yang
lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (menekankan kenyataan).
2) Kebudayaan sebagai warisan sosial atau tradisi (menekankan sejarah).
3) Kebudayaan bersifat normatif yaitu dianggap sebagai cara, aturan dan jalan hidup
manusia, cita-cita, nilai dan kelakuan (menekankan normatif).
4) Kebudayaan dianggap sebagai penyesuaian manusia kepada sekitarnya atau yang
sebenarnya sama juga atau cara menyelesaikan soal-soal, usaha-usaha belajar dan
pembiasaan (menekankan pendekatan secara psikologis).
ETNOGRAFI PAPUA 6
5) Kebudayaan dilihat sebagai pola-pola dan organisasi kebudayaan (menekankan yang
bersifat struktur).
6) Kebudayaan sebagai hasil perbuatan dan kecerdasan manusia, juga menekankan
pikiran-pikiran, lambang-lambang dan definisi-definisi atau “Residual Categori”
(menekankan hasil perbuatan dan kecerdasan).
7) Terjadi dari definisi-definisi yang tidak lengkap dan yang tidak harus dipertimbangkan
bersama-sama dengan definisi-definisi yang lebih bersistem.

Kategori kebudayaan ini menunjukkan bahwa banyak segi dan unsur dari pada
pengertian kebudayaan seperti kebudayaan ada fungsi Normatif, ada segi terstruktur dan ada
segi ilmu psikologis, kebudayaan terjadi dari berbagai unsur, bahwa kebudayaan warisan
sosial, dan kebudayaan adalah hasil kelakuan dan kecerdasan manusia. Berarti kita sadar
bahwa kebudayaan itu dapat diselidiki dari bermacam-macam pendirian.
Kebudayaan telah lama digeluti oleh para Antropolog. Konsep kebudayaan pertama
dimunculkan oleh Tylor, yang melihat kebudayaan sebagai “suatu kesatuan kompleks yang
terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, hokum, moralitas dan adapt-istiadat. Clifford Geertz
mencoba mempertajam pengertian kebudayaan sebagai “pola-pola arti yang terwujud
sebagai symbol-simbol yang diwariskan secara histories … dengan bantuan mana manusia
mengkomunikasikan, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap
hidup (1973;89).
Ahli antropologi Indonesia juga telah mencoba mengkosepsi kebudayaan sebagai
sumbangan terhadapa ilmu antropologi. Koentjaraningrat (1985:180) mendefenisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Parsudi
Suparlan (1986) mencoba melihat kebudyaan sebagai “pengetahuan yang bersifat
operasional, yaitu sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai
mahkluk social: yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang
secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang
dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya.
Konsep-konsep kebudayaan yang lebih mutahir muncul setelah konsep kebudayaan
interpretative yang dikemukakan Geertz adalah konsep kebudayaan yang sering dijuluki
dengan berbagai istilah seperti “Postmodernisme”, “Post-strukturalis, “Refleksif”, dan lain-
lain. Konsep kebudayaan mutahir yang muncul bisa dikategori dalam 4 macam, yaitu:
a. Kebudayaan sebagai Praksis
b. Kebudayaan sebagai Proses
c. Kebudayaan sebagai Konteks dan
d. Kebudayaan sebagai wacana

4.1. Konsep kebudayaan sebagai Praksis


Konsep kebudayaan sebagai praksis dikemukakan oleh Bourdieu (1977), konsep
“praksis” dibedakan dari konsep “tindakan” yang merupakan konstruk teoritis utama
sosiologi Weber yang cenderung dilihat sebagai pencerminan ide-ide yang terkandung
dalam kebudayaan, konsep kebudayaan sebagai praksis menekankan adanya hubungan
timbal balik antara si pelaku dan apa yang oleh Bourdiau disebut sebagai “struktur
obyektif” yang mencakup juga “kebudayaan” sebagai system konsepsi yang diwariskan
dari generasi ke generasi (Bourdieau 1977;83). Bourdieau menggambarkan hubungan
timbal-balik diantara keduanya sebagai :
1. Struktur obyektif direproduksi secara terus menerus dalam praksis para pelakunya
yang berada dalam kondisi histories tertentu.
ETNOGRAFI PAPUA 7
2. Dalam proses tersebut para pelaku mengartikulasikan dan mengapropriasi symbol-
simbol budaya yang terdapat dalam struktur obyektif sebagai tindakan strategis
dalam konteks social tertentu.
3. Sehingga proses timbale-balik secara terus-menerus antara praksis dan struktur
obyektif dapat menghasilkan baik perubahan maupun kontinuitas.
Implikasi utama dari konsep praksis bagi konsep kebudayaan ialah bahwa
symbol-simbol maupun konsepsi-konsepsi yang terkandung dalam suatu kebudayaan
senantiasa bersifat cair, dinamis dan sementara, karena keberadaanya tergantung pada
praksis para pelakunya yang berada pada konteks social tertentu.
1. Kebudayaan sebagai Proses
Kebudayaan senantiasa terwujud sebagai proses: proses interaksi timbal-balik antara
si pelaku dan symbol-simbol budaya dalam upaya si pelaku untuk mengartikulasikan
dan mengapropriasikan symbol-simbol tersebut demi kepentingannya.
2. Kebudayaan sebagai Konteks
Kebudayaan dalam arti konteks menawarkan sejumlah konsepsi yang menjadi bahan
pertimbangan si pelaku dalam menentukan tindakannya.
3. Kebudayaan sebagai Wacana
Wacana adalah suatu bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan
kepentingan si penutur, sehingga dapat merupakan suatu akumulasi konsep ideologis
yang didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga dan berbagai macam modus
penyebaran pengetahuan (Facoult, 1980). Perlu diperhatikan bahwa dalam arti
adanya keterlibatan “subyektivitas” demikian wacana dibedakan dari “teks” yang
merupakan penuturan verbal yang telah lepas dari posisi si penutur.
Setiap wacana tentang kebudayaan juga tidak terlepas dari “kepentingan” dan
“kekuasaan”. Kemudian dalam suatu masyarakatpun dapat dijumpai berbagai macam
wacana tentang kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang bisa saja saling
bertentangan, namun dengan mendapat dukungan dari kekuasaan, wacana tertentu dapat
menjadi wacana yang dominant.
Walaupun wacana-wacana antropologis mengenai kebudayaan juga tidak terlepas
dari kepentingan kepentingan tertentu seperti kepentingan akademis, karier dan lain-
lain, wacana antropologi dapat memberikan kontribusi tersendiri dengan membeberkan
adanya kepentingan-kepentingan tertentu dalam setiap wacana kebudayaan dan dengan
menggambarkan bagaimana kepentingan-kepentingan tersebut ikut mewarnai isi dari
setiap wacana.
Dalam JURNAL ANTROPOLOGI PAPUA Volume I, No. 1, April –Agustus
2002, Leonard Siregar menulis Artikelnya berjudul “ANTROPOLGI DAN KONSEP
KEBUDAYAAN” mengulas cukup detail mengenai Konsep Kebudayaan. Berikut ini
Konsep Kebudyaan dari artikel tersebut dikutip sebagai berikut :

4.2. Konsep Kebudayaan


Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan
Antropologi. Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk
menggunakan istilah ini. Seniman seperti penari atau pelukis dll juga memakai istilah
ini atau diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai
departemen untuk ini. Konsep ini memang sangat sering digunakan oleh Antropologi
dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa Antropologi bekerja atau meneliti apa
yang sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh
Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli Antropolgi
mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli Antropologi
yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat mengatakan ada sekitar
ETNOGRAFI PAPUA 8
160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari sekian
banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli
Antropologi tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam
Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi
kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-
hari:
“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya
mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih
diinginkan”.
Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi
cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari
kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk
tertentu.
Seperti semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan berhubungan dengan
beberapa aspek “di luar sana” yang hendak diteliti oleh seorang ilmuwan. Konsep-
konsep kebudayaan yang dibuat membantu peneliti dalam melakukan pekerjaannya
sehingga ia tahu apa yang harus dipelajari. Salah satu hal yang diperhatikan dalam
penelitian Antropologi adalah perbedaan dan persamaan mahluk manusia dengan
mahluk bukan manusia seperti simpanse atau orang-utan yang secara fisik banyak
mempunyai kesamaan-kesamaan. Bagaimana konsep kebudayaan membantu dalam
membandingkan mahluk-mahluk ini? Isu yang sangat penting disini adalah
kemampuan belajar dari berbagai mahluk hidup. Lebah melakukan aktifitasnya hari
demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap
jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara
kontinyu tanpa memperdulikan perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja
terus sibuk mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram
dalam gen mereka yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti perubahan
lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus menunggu
perubahan dalam gen nya. Hasilnya adalah tingkah-laku lebah menjadi tidak fleksibel.
Berbeda dengan manusia, tingkah laku manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena
kemampuan yang luar biasa dari manusia untuk belajar dari pengalamannya. Benar
bahwa manusia tidak terlalu istimewa dalam belajar karena mahluk lainnya pun ada
yang mampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari manusia sangat luar-biasa dan hal
lain yang juga sangat penting adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan apa
yang telah dipelajari itu.

4..2.1. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar


Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia
tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu
ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan
dengan perilaku mahluk lain yang tingkah-lakunya digerakan oleh insting.
Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut
digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam
kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan
makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk dalam kebudayaan.
Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan, bagaimana cara
memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan, tetapi
kebudayaan yang berbeda dari kelompok-kelompoknya menyebabkan manusia
melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara
makan yang berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan
ETNOGRAFI PAPUA 9
menggunakan tangannya saja, langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya,
tetapi cara tersebut perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang
sederhana dari kayu untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang
alat tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu
makan. Dulu manusia makan disembarang tempat, tetapi sekarang ada tempat-tempat
khusus dimana makanan itu dimakan. Hal ini semua terjadi karena manusia
mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh generasi sebelumya atau
lingkungan disekitarnya yang dianggap baik dan berguna dalam hidupnya.
Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut semut
yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan, walaupun
mereka mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi pekerjaannya,
membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya dilakukan tanpa
pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain. Pola kelakuan seperti
ini diwarisi secara genetis.

4.2.2. Kebudayaan Milik Bersama


Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan seorang
individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok manusia. Para ahli Antropologi
membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok mempunyai kebudayaan jika para
warganya memiliki secara bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan
yang sama yang didapat melalui proses belajar.
Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-
nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimiliki bersama oleh
para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian masyarakat sendiri dalam
Antropologi adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang
memakai suatu bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya.

4.2.3. Kebudayaan sebagai Pola


Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah pola-
pola budaya yang ideal dan pola-pola ini cenderung diperkuat dengan adanya
pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat
hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut diakui sebagai kewajiban
yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yalg sering
disebut dengan norma-norma, Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang
dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan
bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu
mematuhi dan mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak
akan ada apa yang disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian
dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku
sebenarnya karena pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang
dibiasakan oleh masyarakat.
Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para
pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu pendukungnya
selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh
kebudayaan itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika
dia ditentang atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu
pembatasan kebudayaan yang langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak
langsung. Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal
yang menurut kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau
bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan ada
ETNOGRAFI PAPUA 10
sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal yang
dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada,
akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata-
tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan dihukum dengan
aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya.
Contoh dari pembatasan langsung misalnya ketika seseorang melakukan
kegiatan seperti berpakaian yang tidak pantas kedalam gereja. Ada sejumlah aturan
dalam setiap kebudayaan yang mengatur tentang hal ini. Kalau si individu tersebut
hanya tidak mengenakan baju saja ketika ke gereja, mungkin dia hanya akan disindir
atau ditegur dengan pelan. Akan tetapi bila si individu tadi adalah seorang wanita
dan dia hanya mengenakan pakaian dalam untuk ke gereja, dia mungkin akan di
tangkap oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Dalam pembatasan-pembatasan tidak langsung, aktifitas yang dilakukan oleh orang
yang melanggar tidak dihalangi atau dibatasi secara langsung akan tetapi kegiatan
tersebut tidak akan mendapat respons atau tanggapan dari anggota kebudayaan yang
lain karena tindakan tersebut tidak dipahami atau dimengerti oleh mereka.
Contohnya: tidak akan ada orang yang melarang seseorang di pasar Hamadi,
Jayapura untuk berbelanja dengan menggunakan bahasa Polandia, akan tetapi dia
tidak akan dilayani karena tidak ada yang memahaminya.
Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan
kepribadian seseorang dalam kebudayaannya.Memangkadang-kadang pembatasan
kebudayaaan tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yang mengatur tata-kehidupan
yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti tekanan-tekanan sosial
tersebut menghalangi individu-individu yang mempunyai pendirian bebas. Mereka
yang mempunyai pendirian seperti ini akan tetap mempertahankan pendapat-
pendapat mereka, sekalipun mereka mendapat tentangan dari pendapat yang
mayoritas.
Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang
menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat
pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari
lingkungannya. Ini terjadi sebagai suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus
bertahan, karena kalau sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan
tertentu, kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang
meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya
merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode
yang baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri
dengan pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal
dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa
yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia
memberi pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut.

4.2.4. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif


Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan
melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan
fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-
geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam
hubungan tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada
kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat
ETNOGRAFI PAPUA 11
tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Misalnya,
orang akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks pada masyarakat
tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampai anak tersebut mencapai
usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan tersebut, pantangan tersebut susah
dimengerti, tetapi bagi masrakat pendukung kebudayaan yang melakukan pantangan-
pantangan seperti itu, hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada
lingkungan fisik dimana mereka berada.
Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu mudah memenuhi
kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategi memberikan gizi yang cukup
bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan tersebut. Hal ini nampaknya
merupakan hal yang sepele tetapi sebenarnya merupakan suatu pencapaian luar biasa
dari kelompok masyarakat tersebut untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi
dengan cara melakukan pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan
seperti ini dan penyesuaian yang dilakukan oleh kebudayaan tersebut membutuhkan
suatu pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk sampai
pada suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi. Begitu juga dengan
penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang awam mungkin
akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk membangun kampung jauh
diatas bukit atau kampung di atas air dan sebagainya, karena akan banyak sekali
kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila kita
melihat mungkin pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan
didapat sejumlah alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka
mendapat tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat disekitarnya
dalam bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus mempertahankan diri dan salah
satu cara terbaik dalam pilihan mereka adalah membangun kampung di puncak bukit.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara
penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian
tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan mungkin saja akan
memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Alasan mengapa
masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu masalah dan
bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah alasan dan
argumen. Alasan–alasan ini sangat banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu
penelitian untuk menjelaskannya.
Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu
menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada umumnya
orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau penyesuaian atas
suatu keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka,
hal itu tidak selalu terjadi. Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan
nilai budaya tertentu untuk menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan
masyarakatnya sendiri. Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini.
Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap
keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi kebudayaannya tetapi
mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat sebagai
penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar kebudayaannya malah
merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring budaya dalam
suatu kelompok masyarakat. Karena sekian banyak aturan, norma atau adat istiadat
yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja
dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya
itu merupakan suatu akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung
kebudayaan tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan
ETNOGRAFI PAPUA 12
dijalankan hingga sekarang karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan
masyarakat tersebut.
Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini
tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan melakukan penyaringan ini
juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan hasilnya juga berbeda pada setiap
masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara berbagai elemen dalam masyarakat,
perbedaan persepsi antara generasi tua dan muda, terpelajar dan yang kolot dan
banyak lagi lainnya.

4.3. Klasifikasi Kebudayaan-Kebudayaan di Papua


Uraian ini, membahas kategori-kategori Kebudayaan Papua yang pernah di buat
oleh ahli-ahli Antropologi dan Linguistik. Menurut SIL (Sumer Institute of Language)
bahwa Kebudayaan Papua, jika dikategori berdasarkan bahasa terdapat 251 bahasa (Peter
J.Zilzer & H.H Clouse, 1991). Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan di Papua
menunjukkan corak yang beraneka ragam yang disebut sebagai kebhinekaan masyarakat
tardisional Papua.
Dalam kepustakaan Antropologi, Papua di kenal sebagai masyarakat yang terdiri
atas suku-suku bangsa dan suku-suku yang beraneka ragam kebudayaannya. Menurut
Tim Peneliti Uncen (1991) telah di identifikasi adanya 44 suku bangsa yang masing-
masing merupakan sebuah satuan masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri
sendiri. Sebagian besar dari 44 suku bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 suku. Menurut
Held (1951,1953) dan Van Bal (1954), ciri-ciri yang mencolok dari Papua adalah
keanekaragaman kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut terdapat
kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka. Perbedaan-perbedaan kebudayaan yang terdapat
dalam masyarakat Papua dapat dilihat perwujudannya dalam bahasa, sistem-sistem
komunikasi, kehidupan ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan kesenian, struktur
pollitik dan struktur sosial, serta sistem kekerabatan yang di punyai oleh masing-masing
masyarkat tersebut sebagimana terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Walaupun terdapat keanekaragaman kebudayaan masyarakat di


Papua, tetapi di antara mereka itu juga terdapat ciri-cirinya yang
umum dan mendasar yang memperlihatkan kesamaan-
“KEBUDAYAAN
IMPROVISITOR” ciri-ciri
kesamaan dalam inti kebudayaan atau nilai-nilai budaya
kebudayaan orang Papua pada mereka. Held mengatakan bahwa kebudayaan orang Papua
umumnya “Improvisitor
kebudayaan“, yaitu
bersifat longgar. Strukturnya yang longgar itu disebabkan
mengambil alih unsur-unsur oleh ciri-ciri orang Papua pada umumnya “Improvisitor
kebudayaan dan
menyatukannya dengan
kebudayaan“, yaitu mengambil alih unsur-unsur
kebudayaannya sendiri tanpa kebudayaan dan menyatukannya dengan kebudayaannya
memikirkan untuk
mengintegrasikannya dengan
sendiri tanpa memikirkan untuk mengintegrasikannya
unsur-unsur yang sudah ada dengan unsur-unsur yang sudah ada dalam
dalam kebudayaannya, secara
menyeluruh (Parsudi
kebudayaannya, secara menyeluruh (Parsudi Suparland,
Suparland, 1994). 1994). Van Bal (1951) mengatakan bahwa ciri utama
kebudayaan Papua adalah tidak adanya integrasi yang kuat
dari kebudayaan-kebudayaan mereka. Ciri-ciri kebudayaan
tersebut muncul karena kebudayaan orang Papua yang rendah
tingkat teknologinya dan yang dihadapkan pada lingkungan hidup
yang keras sehingga dengan mudah menerima dan mengambil alih suatu unsur
kebudayaan lain yang lebih maju atau lebih cocok.
Kebudayaan-kebudayaan Papua juga terbentuk atas interaksi diantara masyarakat-
masyarakat Papua dan masyarakat di luar Papua. Interaksi dalam kategori yang terakhir
ETNOGRAFI PAPUA 13
diulas panjang lebar oleh Koentjaraningrat (1994). Dalam awal kontak interaksi yang
memberi dampak dalam kehidupan penduduk Papua dengan akibat terjadinya perubahan-
perubahan kebudayaan mereka adalah kontak interaksi dengan para pedagang yang
mencari burung Cenderawasih dan menukarnya dengan kain Timor dan Manik-manik,
para penyebar agama Kristen dan Katholik, yang mengkristenkan mereka melalui
pendidikan formal dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya; Penyebaran
teknologi dan penggunaan uang oleh pemerintahan jajahan Belanda di Papua dan
kemudian oleh pemerintah Republik Indonesia. Kontak-kontak dengan kebudayaan dari
luar telah memungkinkan orang Papua lebih terbuka dari sebelumnya, dan keterbukaan
suku bangsa atau suku ini telah dimungkinkan karena ciri-ciri mereka sebagai
“Improvisator” (Parsudi Suparlan, 1994).

ETNOGRAFI PAPUA 14
BAB II
METODE ETNOGRAFI

A. Pengantar
Perkembangan media dalam konteks sosial dan praktik budaya yang kian beragam
semakin mengukuhkan eksistensi paradigma kualitatif. Kemampuannya menghasilkan
produk analisis yang mendalam selaras dengan settingnya, diakui sebagai paradigma yang
patut diperhitungkan dalam rangka menghadirkan refleksi bagi kajian ilmu komunikasi.
Beberapa metode penelitian berbasis paradigma kualitatif ini– analisis wacana, studi kasus,
semiotik dan etnografi – kini mulai dilirik para ilmuwan maupun peneliti.
Etnografi – yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini – merupakan salah
satu metode penelitian kualitatif. Dalam kajian komunikasi, Etnografi digunakan untuk
meneliti perilaku-perilaku manusia berkaitan dengan perkembangan teknologi komunikasi
dalam setting sosial dan budaya tertentu, misalnya penelitian mengenai perilaku
penggunaan mobile phone oleh remaja di Norwegia (Rich, Ling, ___). Metode penelitian
etnografi dianggap mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber
yang luas. Dengan teknik “observatory participant”, etnografi menjadi sebuah metode
penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam
sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Yang lebih menarik, sejatinya metode
ini merupakan akar dari lahirnya ilmu antropologi yang kental dengan kajian masyaraktnya
itu.
Tidak seberuntung analisis wacana, studi kasus dan semiotik, selama ini belum
banyak buku-buku khusus yang membahas metode penelitian etnografi dalam komunikasi,
khususnya di Indonesia. Pun metode ini juga belum terlalu banyak diadaptasi oleh para
peneliti dalam kajian komunikasi – walaupun diakui sumbangsihnya dalam menyediakan
refleksi mengenai masyarakat dan perkembangan teknologi komunikasi terhitung tidak
sedikit. Beberapa keunikan dan fenomena yang mengikuti eksistensi metode penelitian
etnografi dalam komunikasi ini membuat penulis meliriknya sebagai salah satu metode
yang laik dikenalkan, dikembangkan dan dirujuk dalam penelitian budaya. Untuk itu,
dengan mengacu pada beberapa referensi buku, penulis akan memetakan secara ringkas
metode penelitian etnografi.
a. “Metode Etnografi” – James Spradley
Secara harafiah, etnografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa
yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama
sekian bulan atau sekian tahun. Etnografi, baik sebagai laporan penelitian maupun
sebagai metode penelitian, dianggap sebagai asal-ususl ilmu antropologi. Margareth
Mead menegaskan, “Anthropology as a science is entirely dependent upon field work
records made by individuals within living societies. Dalam buku “Metode Etnografi”
ini, James Spardley mengungkap perjalanan etnografi dari mula-mula sampai pada
bentuk etnografi baru. Kemudian dia sendiri juga memberikan langkah-langkah praktis
untuk mengadakan penelitian etnografi yang disebutnya sebagai etnografi baru ini.
Etnografi mula-mula (akhir abad ke-19). Etnografi mula-mula dilakukan untuk
membangun tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia
mulai muncul di permukaan bumi sampai ke masa terkini. Tak ubahnya analisis wacana,
mereka – ilmuwan antropologi pada waktu itu – melakukan kajian etnografi melalui
tulisan-tulisan dan referensi dari perpustakaan yang telah ada tanpa terjun ke lapangan.
Namun, pada akhir abad ke-19, legalitas penelitian semacam ini mulai dipertanyakan
karena tidak ada fakta yang mendukung interpretasi para peneliti. Akhirnya, muncul

ETNOGRAFI PAPUA 15
pemikiran baru bahwa seorang antropolog harus melihat sendiri alias berada dalam
kelompok masyarakat yang menjadi obyek kajiannya.

Etnografi Modern (1915-1925). Dipelopori oleh antropolog sosial Inggris,


Radclifffe-Brown dan B. Malinowski, etnografi modern dibedakan dengan etnografi
mula-mula berdasarkan ciri penting, yakni mereka tidak terlalu mamandang hal-ikhwal
yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat (Spradley,
1997). Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa kini, yaitu tentang the way
of life masayarakat tersebut. Menurut pandangan dua antropolog ini tujuan etnografi
adalah untuk mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu
masyarakat. Untuk itu peneliti tidak cukup hanya melakukan wawancara, namun
hendaknya berada bersama informan sambil melakukan observasi.
Ethnografi Baru Generasi Pertama (1960-an). Berakar dari ranah antropologi
kognitif, “etnografi baru” memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana
masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian
menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Analisis dalam penelitian ini tidak
didasarkan semata-mata pada interpretasi peneliti tetapi merupakan susunan pikiran dari
anggota masyarakat yang dikorek keluar oleh peneliti. Karena tujuannya adalah untuk
menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran dari suatu masyarakat, maka
pemahaman peneliti akan studi bahasa menjadi sangat penting dalam metode penelitian
ini. “Pengumpulan riwayat hidup atau suatu strategi campuran, bahasa akan muncul
dalam setiap fase dalam proses penelitian ini.
Ethnografi Baru Generasi Kedua. Inilah metode penelitian hasil sintesis
pemikiran Spardley yang dipaparkan dalam buku “Metode Etnografi” ini. Secara lebih
spesifik, Spardley mendefinisikan budaya – sebagai yang diamati dalam etnografi –
sebagai proses belajar yang mereka gunakan untuk megintepretasikan dunia sekeliling
mereka dan menyusun strategi perilaku untuk menghadapinya. Dalam pandangannya
ini, Spardley tidak lagi menganggap etnografi sebagai metode untuk meneliti “Other
culture”, masyarakat kecil yang terisolasi, namun juga masyarakat kita sendiri,
masyarakat multicultural di seluruh dunia. Pemikiran ini kemudian dia rangkum dalam
“Alur Penelitian Maju Bertahap” yang terdiri atas lima ,prinsip, yakni: Peneliti
dianjurkan hanya menggunakan satu teknik pengumpulan data; mengenali langkah-
langkah pokok dalam teknik tersebut., misalnya 12 langkah pokok dalam wawancara
etnografi dari Spardley.; setiap langkah pokok dijalankakn secra berurutan; praktik dan
latihan harus selalu dilakukan; memberikan problem solvingsebagia tanggung jawab
sosialnya, bukan lagi ilmu untuk ilmu.
Inti dari “Etnografi Baru” Spardley ini adalah upaya memperhatikan makna
tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami melalui kebudayaan
mereka. Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya
manusia dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang, (2) dari cara orang
bertidak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan. Namun, dalam buku ini, Spradley
memfokuskan secara khusus pembuatan keksimpulan dari apa yang dikatakan orang.
Wawancara etnografik dianggap lebih mampu menjelajah susunan pemikiran
masyarakat yang sedang diamati.
Sebagai metode penelitian kualitatif, etnografi dilakukan untuk tujuan-tujuan
tertentu. Spradley mengungkapkan beberapa tujuan penelitian etnografi, sbb: pertama,
untuk memahami rumpun manusia. Dalam hal ini, etnografi berperan dalam
menginformasikan teori-teori ikatan budaya; menawarkan suatu strategi yang baik
sekali untuk menemukan teorigrounded. Sebagaii contoh, etnografi mengenai anak-anak
dari lingkungan kebudayaan minoritas di Amerika Serikat yang berhasil di sekolah
ETNOGRAFI PAPUA 16
dapat mengembangkan teori groundedmengenai penyelenggaraan sekolah; etnografi
juga berperan untuk membantu memahami masyarakat yang kompleks.Kedua,
etnografi ditujukan guna melayani manusia. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip ke lima
yang dikemukakan Spradley di atas, yakni meyuguhkan problem solving bagi
permasalahan di masyarakat, bukan hanya sekadar ilmu untuk ilmu.
Ada beberapa konsep yang menjadi fondasi bagi metode penelitian etnografi ini.
Pertama, Spradley mengungkapkan pentingnya membahas konsep bahasa, baik dalam
melakukan proses penelitian maupun saat menuliskan hasilnya – dalam bentuk verbal.
Sesungguhnya adalah penting bagi peneliti untuk mempelajari bahasa setempat, namun,
Spredley telah menawarkan sebuah cara, yakni dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan etnografis. Konsep kedua adalah informan. Etnografer bekerja sama dengan
informan untuk menghasilkan sebuah deskripsi kebudayaan. Informan merupakan
sumber informasi; secara harafiah, mereka menjadi guru bagi etnografer (Spradley,
1997: 35).
Sisa dari buku yang ditulis Spradley ini mengungkap tentang langkah-langkah
melakukan wawancara etnografis – sebagai penyari kesimpulan penelitian dengan
metode etnografi. Langkah pertama adalah menetapkan seorang informan. Ada lima
syarat yang disarankan Spradley untuk memilih informan yang baik, yaitu: (1)
enkulturasi penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4)
waktu yang cukup, (5) non-analitis. Langkah kedua adalah melakukan wawancara
etnografis. Wawancara etnografis merupakan jenis peristiwa percakapan (speech event)
yang khusus (ibid, hal. 71). Tiga unsur yang penting dalam wawancara etnografis
adalah tujuan yang eksplisit, penjelasan dan pertanyaannya yang bersifat etnografis.
Langkah selanjutnya adalah membuat catatan etnografis. Sebuah catatan etnografis
meliputi catatan lapangan, alat perekam gambar, artefak dan benda lain yang
mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari. Langkah ke empat adalah
mengajukan pertayaan deskriptif. Pertanyaan deskriptif mengambil “keuntungan dari
kekuatan bahasa untuk menafsirkan setting” (frake 1964a: 143 dalam Spradley, 1991:
108). Etnografer perlu untuk mengetahui paling tidak satu setting yang di dalamnya
informan melakukan aktivitas rutinnya. Langkah ke lima adalah melakukan analisis
wawancara etnografis. Analisis ini merupakan penyelidikan berbagai bagian
sebagaimana yang dikonseptualisasikan oleh informan. Langkah ke enam, yakni
membuat analisis domain. Analisis ini dilakukan untuk mencari domain awal yang
memfokuskan pada domain-domain yang merupakan nama-nama benda. Langkah
ketujuh ditempuh dengan mengajukan pertanyaan struktural yang merupakan tahap
lanjut setelah mengidentifikasi domain. Langkah selanjutnya adalah membuat analisis
taksonomik. Langkah ke sembilan yakni mengajukan pertanyaan kontras dimana makna
sebuah simbol diyakini daoat ditemukan dengan menemukan bagaimana sebuah simbol
berbeda dari simbol-simbol yang lain. Langkah ke sepuluh membuat analisis
komponen. Analisis komponen merupakan suatu pencarian sistematik berbagai atribut
(komponen makna) yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya. Langkah ke
sebelas menemukan tema-tema budaya. Langkah terakhirnya yakni menulis sebuah
etnografi.
Pemikiran Spradley ini memberi pemetaan historis yang jelas mengenai metode
penelitian etnografi selain mamberi gambaran mengenai langkah-langkahnya. Dengan
cerdas, Spradley memaparkan bahwa etnografi baru bukan hanya dapat diadaptasi
sebagai metode penelitian dalam antropologi melainkan dapat digunakan secara luas
pada ranah ilmu yang lain. Penulis meletakkan pemikiran Spradley ini di bagian awal
dengan maksud agar kita memperoleh pemahaman awal mengenai metode etnografi
yang masih murni, umum, yang berasal dari akarnya, yakni ilmu antropologi. Berikut,
ETNOGRAFI PAPUA 17
penulis akan menyajikan pemikiran-pemikiran lain mengenai metode penelitian
etnografi dalam ranah kajian ilmu yang lebih spesifik, ilmu komunikasi.

b. “Metodologi Penelitian Kualitatif” – Deddy Mulyana


Istilah Etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dangraphy (menguraikan).
Etnografi yang akarnya adalah ilmu antropologi pada dasarnya adalah kegiatan
penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui
fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Menurut pemikiran yang dirangkum oleh
Deddy Mulyana ini, etnografi bertujuan menguraikan suatau budaya secara menyeluruh,
yakni semua aspek budaya baik yang bersifat material, seperti artefak budaya dan yang
bersifat abstrak, seperti pengalaman, kepervcayaan norma, dan system nilai kelompok
yang diteliti. Sedang Frey et al., (1992: 7 dalam Mulyana, 2001: 161) mengatakan
bahwa etnografi berguna untuk meneliti perilaku manusia dalam lingkungan spesifik
alamiah. Uraian tebal (thick description ) berdasarkan pengamatan yang terlibat
(Observatory participant) merupakan ciri utama etnografi (ibid: 161-162).
Pengamatan yang terlibat menekankan logika penemuan (logic of discovery),
suatu proses yang bertujuan menyarankan konsep-konsep atau membangun teori
berdasarkan realitas nyata manusia. Metode ini mematahkan keagungan metode
eksprimen dan survei dengan asumsi bahwa mengamati manusia tidak dapat dalam
sebuah laboratorium karena akan membiaskan perilaku mereka. Pengamatan hendaknya
dilakukan secara langsung dalam habitat hidup mereka yang alami.
Denzin menkategorikan jenis pengamat, sbb:participant as observer, complete
participant, observer as participant serta complete observer (I bid: 176). Etnografer
harus pandai memainkan peranan dalam berbagai situasi karena hubungan baik antara
peneliti dengan informaan merupakan kunci penting keberhasilan penelitian. Untuk
mewujudkan hubungan baik ini diperlukan ketrampilan, kepekaan dan seni. Selain
ketrampilan menulis, beberapa taktik yang disarankan adalah taktik “mencuri-dengar”
(eavesdropping) dan taktik “pelacak” (tracer), yakni mengikuti seseorang dalam
melakukan serangkaian kegiatan normalnya selama periode waktu tertentu.
Hampir sama dengan pemikiran sebelumnya, tulisan Deddy Mulyana ini
mengukuhkan wawancara secara mendalam dan tak terstruktur sebagai teknik
pengumpulan data dalam penelitian etnografi ini. Kedua jenis wawancara ini adalah
metode yang selaras dengan perspektif interaksionisme simbolik, karena
memungkinkan pihak yang diteliti untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan
lingkungannya, tidak sekadar manjawab pertanyaan peneliti. Pada tahap ini, wawancara
hendaknya dilakukan secara santai dan informal dengan tetap berpengang pada
pedoman wawancara yang telah dibuat peneliti.

Walaupun pemaparannya tidak jauh berbeda dengan Spradley di atas, namun


Deddy Mulyana lebih menekankan pendekatan interaksionisme simbolik untuk
membaca sebuah fenomena menggunakan metode etnografi ini. Menurut perspektif
interaksionisme simbolik, transformasi identitas menyangkut perubahan psikologis.
Pelakunya menjadi individu yang berbeda dari sebelumnya (Ibid: 230). Hal ini menjadi
perhatian dalam penggunaan metode penelitian etnografi. Peneliti disarankan untuk
mampu merunut riwayat sejarah informan sebelum melakukan penelitian, atau yang
sering dikenal dengan analisis dokumen.

ETNOGRAFI PAPUA 18
c. “A Hand Book of Methodologies For Mass Communication research” – Jensen and
Jankowski
Dalam bukunya “A Hand Book of Methodologies For Mass Communication
Research”, Jensen dan Jankowski menempatkan etnografi sebagai sebuah pendekatan.
Etnografi tidak dilihat sebagai alat untuk mengumpulkan data, tetapi sebuah cara untuk
mendekati data dalam meneliti fenomena komunikasi. Menurut Hammersley dan
Atkinson (1983: 2 dalam Jansen and jankowski, 1991: 153), etnografi dapat dipahami
sebagai
Simply one social research method, albeit an unusual one, drawing on a wide
range of sources information. The erhnographer participates in people’s lives for an
extended period of time, watching what happens, listeninf to what is said, asking
questions, collecting whatever data are available to throw light on issues with which
he or she concerned.
Etnografi secara alami dipandang sebagai penyelidikan mengenai aktivitas hidup
manusia. Oleh Greetz disebut sebagai “informal logic of actual life”. Berbasis
pandangan ini, seharusnya etnografi mampu menghasilkan deskripsi secara detail dari
pengalaman kongkrit dengan latar budaya dan aturan sosial tertentu, pola-pola yang ada
di dalamnya bukan berpatokan pada hukum yang universal (ibid: 8). Namun
kenyataannya, etnografi menjadi istilah yang totemic. Misalnya, dalam kajian mengenai
audiens akhir-akhir ini, tiba-tiba semua orang menjadi seorang etnografer.
Hal ini menggugah Lull untuk meneriakkan kembali tanggung jawab sebagai
seorang peneliti etnografi, yakni; pengamatan dan pencatatan secara langsung tingkah
laku yang rutin dari seluruh karakteristik individu yang dipelajari; pengamatan harus
dilakukan secara langsung dalam setting masyarakat yang diteliti – sebagai laboratorium
alaminya; Kesimpulan digambarkan secara hati-hati, tidak gegabah, perlu juga
memberikan perlakuan spesial terhadap hasil pengamatan dalam konteks yang berbeda-
beda.
Strategi penelitian kualitatif, seperti Etnografi ini dirancang untuk memasuki
ceruk-ceruk wilayah kehidupan alami serta aktivitas tertentu yang menjadi karakter
masyarakat yang akan diteliti. Kekuatan utama etnografi adalah contextual
understanding yang timbul dari hubungan antaraspek yang berbeda dari fenomena yang
diamati. Namun, yang masih dianggap sebagai kelemahannya ialah interpretasi peneliti
dalam menggambarkan hasil pengamatan. Karena peneliti barada bersama dengan para
informan, maka peneliti dituntut untuk reflektif dan mampu menjauhkan diri dari
kekerdilan interpretasi, ketidaklengkapan observasi dan dan gap- gap yang ada dalam
struktur yang diamati.
Sedang penelitian etnografi mulai dikembangkan, debat mengenai etnografi
postmodern terpusat di USA pun masih berlangsung. Perdebatan itu bermuara pada
hubungan antara siapa yang megnamati serta siapa yang diamati, dan kewenangan dasar
seorang etnografer untuk membuktikan sebuah pengalaman kultural orang lain.
Sesungguhnya ini adalah perdebatan klasik dalam kajian etnografi selama bertahun-
tahun, namun memang segala pendekatan yang berpangkal pada paradigma subyektivis
harus menemukan jalannya sendiri. Menanggapi perdebatan tersebut, Greetz dengan
bijak mengatakan bahwa being there as the founding authority of the ethnographic
account.. Walaupun mendapat cercaan dari penganut positivis, etnografi toh telah
membantu kita dalam memahami praktik-praktik menonton televisi dan
pengkonsumsian media lainnya yang tidak dapat dihindari selalu terjadi dalam konteks
kehidupan tsehari-hari.

B. Sebuah Tinjauan
ETNOGRAFI PAPUA 19
Etnografi, yang akarnya adalah ilmu antropologi pada dasarnya adalah kegiatan
penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui
fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Seperti layaknya penelitian kualitatif lainnya,
etnografi saat ini sudah mampu mengambil hati para ilmuwan komunikasi terutama
berkaitan dengan penelitian yang mengungkap praktik-praktik pengkonsumsian media,
perilaku dalam perkembangan teknologi komunikasi, dll. Metode penelitian etnografi
menyuguhkan refleksi yang mendalam bagi kajian-kajian semacam itu.
Metode etnografi memiliki ciri unik yang membedakannya dengan metode
penelitian kualitatif lainnya, yakni: observatory participant—sebagai teknik pengumpulan
data, jangka waktu penelitian yang relatif lama, berada dalam setting tertentu, wawancara
yang mendalam dan tak terstruktur serta mengikutsertakan interpretasi penelitinya. Yang
terakhir ini sepertinya masih menjadi perdebatan dengan penganut positivis. Untuk kasus-
kasus tertentu, kemampuan interpretasi peneliti diragukan – tanpa mereka sadari, sejatinya
interpretasi ilmuwan-ilmuwan etnografi berperan besar dalam menyajikan kesadaran-
kesadaran kritis atas perilaku bermedia masyarakat.
Ketidakberuntungan merode etnografi dibanding analisis wacana, semiotik serta
studi kasus adalah karena penelitian ini memerlukan waktu yang sangat lama, tenaga yang
besar – karena peneliti harus bergabung dengan informan, ketrampilan berkomunikasi
yang terlatih, serta kemampuan menuliskan interpretasi dengan baik. Di sisi lain, metode
etnografi telah membuktikan bahwa sebagai metode penelitian kualitatif, ia mampu
melaklukan analisis yang lebih mendalam serta menyajikan refleksi kritis secara detil
dalam lingkup mikro sebuah kehidupan manusia.
Bagaimanapun juga, metode penelitian etnografi hanyalah sebuah cara yang
dalam aplikasinya tentu tidak dapat meninggalkan metode penelitian lainnya, bahkan
metode penelitian kuantitatif sekalipun. Sebagai calon ilmuwan komunikasi, ada baiknya
kita mempelajari metode ini, karena di masa yang akan datang, ketika kultur mikro mulai
tereduksi oleh globalisasi makro, tentu refleksi-refleksi kritis sangat diperlukan. Dan
etnografi akan hadir sebagai metode penelitian kulaitatif yang akan menyelesaikannya.

C. Ciri-Ciri Metode Etnografi


Metode etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan
sebagaimana adanya. Metode ini berupaya mempelajari peristiwa budaya, yang
menyajikan pandangan hidup subyek sebagai obyek studi. Studi ini akan terkait begaimana
subyek berpikir, hidup, dan berperilaku. Tentu saja perlu dipilih peristiwa yang unik yang
jarang teramati oleh kebanyakan orang.
Penelitian etnografi adalah kegiatan pengumpulan bahan kete rangan atau data
yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan
berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Berbagai peristiwa dan kejadian unik
dari komunitas budaya akan menarik perhatian peneliti etnografi. Peneliti justru lebih
banyak belajar dari pemilik kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar
tentang budaya. Itulah sebabnya pengamatan terlibat menjadi penting dalam aktivitas
penelitian.
Metode etnografi cenderung mengarah ke kutub induktif, konstruktif,
transferabilitas, dan subyektif. Kecuali itu, juga lebih menekankan idiografik, dengan
cara mendeskripsikan budaya dan tradisi yang ada. Etnografi pada dasarnya lebih
memanfaatkan teknik pengumpulan data pengamatan berperan serta (partisipant observa
tion). Hal ini sejalan dengan pengertian istilah etnografi yang berasal dari kata ethno
(bangsa) dan graphy (menguraikan atau menggam barkan). Etnografi merupakan
ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan
bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari.
ETNOGRAFI PAPUA 20
Etnografi lazimnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara holistik,
yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. Dari sini akan terungkap pandangan
hidup dari sudut pandang penduduk setempat. Hal ini cukup bisa, dipahami, karena melalui
etnografi akan mengangkat keberadaan ‘ senyatanya dari fenomena budaya. Dengan
demikian akan ditemukan makna tindakan budaya suatu komunitas yang diekspresikan
melalui apa saja.
Ciri-ciri penelitian etnografi adalah analisis data yang dilakukan secara holistik,
bukan parsial. Ciri-ciri lain seperti dinyatakan Hutomo (Sudikan, 2001:85-86) antara lain:
(a) sumber data bersifat ilmiah, artinya peneliti harus memahami gejala empirik
(kenyataan) dalam kehidupan sehari-hari; (b) peneliti sendiri merupakan instrumen yang
paling penting dalam pengumpulan data; (c) bersifat pemerian (deskripsi), artinya,
mencatat secara teliti fenomena budaya yang dilihat, dibaca, lewat apa pun termasuk
dokumen resmi, kemudian mengkombinasikan, mengabstrakkan, dan menarik kesimpulan;
(c)digunakan untuk memahami bentuk-bentuk tertentu (shaping), atau studi kasus; (e)
analisis bersifat induktif; (f) di lapangan, peneliti harus berperilaku seperti masyarakat
yang ditelitinya; (g) data dan informan harus berasal dari tangan pertama; (h) kebenaran
data harus dicek dengan dengan data lain (data lisan dicek dengan data tulis); (i) orang
yang dijadikan subyek penelitian disebut partisipan (buku termasuk partisipan juga),
konsultan, serta teman sejawat; (j) titik berat perhatian harus pada pandangan emik,
artinya, peneliti harus menaruh perhatian pada masalah penting yang diteliti dari orang
yang diteliti, dan bukan dari etik, (k) dalam pengumpulan data menggu nakan purposive
sampling dan bukan probabilitas statistik; (1) dapat menggunakan data kualitatif maupun
kuantitatif, namun sebagian besar menggunakan kualitatif.
Dari ciri-ciri tersebut, dapat dipahami bahwa etnografi merupa kan model
penelitian budaya yang khas.Etnografi memandang budaya bukan semata-mata sebagai
produk, melainkan proses. Hal ini sejalan dengan konsep Marvin Harris (1992:19) bahwa
kebudayaan akan menyangkut nilai, motif, peranan moral etik, dan maknanya sebagai
sebuah sistem sosial. Kebudayaan tidak hanya cabang nilai, melainkan merupakan
keseluruhan institusi hidup manusia. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan hasil
belajar manusia termasuk di dalamnya tingkah laku. Karena itu, menurut Spradley
(1997:5) etnografi harus menyangkut hakikat kebudayaan, yaitu sebagai pengeta huan
yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpreta sikan pengalaman dan
melahirkan tingkah laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap seluruh
tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik.

D. Langkah-Langkah Penelitian Etnografi


1) Deskripsi Mendalam
Penentuan sampel pada penelitian kualitatif model etnografik, ada lima jenis
yaitu: (1) seleksi sederhana, artinya seleksi hanya menggunakan satu kriteria saja,
misalkan kriteria umur atau wilayah subyek; (2) seleksi komprehensif, artinya seleksi
bedasarkan kasus, tahap, dan unsur yang relevan; (3) seleksi quota, seleksi apabila populasi
besar jumlahnya, untuk itu populasi dijadikan beberapa kelompok misalnya menurut
pekerjaan dan jenis kelamin; (4) seleksi menggunakan jaringan, seleksi menggunakan
informasi dari salah satu warga pemilik budaya, dan (5) seleksi dengan perbandingan
antarkasus, dilakukan dengan membandingkan kasus-kasus yang ada, sehingga diperoleh
ciri-ciri tertentu, misalnya yang teladan, dan memiliki pengalaman khas.
Dari lima cara tersebut, peneliti budaya model etnografi dapat memilih salah satu
yang paling relevan dengan fenomena yang dihadapi. Namun demikian, menurut
pertimbangan penulis, seleksi secara komprehensif dipandang lebih akurat dibanding
empat kriteria seleksi yang lain. Melalui seleksi secara komprehensif, peneliti akan mampu
ETNOGRAFI PAPUA 21
menentukan langkah yang tepat sejalan dengan apa yang diteliti. Yang lebih penting lagi,
jika harus mengambil sampel, sebailrnya dilakukan secara pragmatik dan bukan secara
acak. Peneliti perlu tahu konteks masyarakat yang diteliti, tanpa membawa prakonsep atau
praduga atau teori yang dimilikinya. Peneliti etnogragi juga perlu mempertimbangkan
aspek-aspek lain yang mungkin belum terkover dalam unsur-unsur budaya tersebut.
Kecuali itu, peneliti juga perlu menggunakan skala prioritas. Artinya, unsur mana yang
menjadi titik perhatian, itulah yang dikemukakan lebih dahulu, sedangkan unsur lain hanya
penyerta.
Pelukisan etnografi dilakukan secara tick deskription (deskripsi tebal dan
mendalam). Namun demikian, tebal di sini lebih merupakan formulasi ke arah deskripsi
yang mendalam, sehingga lukisan lebih berarti, bukan sekedar data yang ditumpuk.
Memang etnografi bercirikan kelengkapan data, namun pembahasan juga
mengandalkan akal sehat. Peneliti berusaha menangkap sepenuh mungkin informasi
budaya menurut perspektif orang yang diteliti. Penelitian etnografi sering diasumsikan
sebagai penelitian yang relatif lama, peneliti harus tinggal pada salah satu tempa,
beradaptasi, dan seterusnya. Hal ini memang ideal dilakukan, namun masalah waktu
sebenarnya sangat relatif.
Bahan-bahan etnografi berasal dari masyarakat yang disusun secara deskriptif.
Deskripsi data diharapkan secara menyeluruh, menyangkut berbagai aspek kehidupan
untuk meninjau salah satu aspek yang diteliti. Deskripsi dipandang bersifat etnografis
apabila mampu melukiskan fenomena budaya selengkap-lengkapnya. Des kripsi etnografi
menurut Koentjaraningrat (1990:333) sudah baku, yaitu meliputi unsur-unsur kebudayaan
secara universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial,
sistem pengetahuan, kesenian dan sistem religi. Namun demikian, deskripsi semacam
ini tidak harus dipenuhi semua. Sebab, ini lebih didasarkan pada unsur kebudayaan secara
universal, dan kalau peneliti ingin menyederhanakan pun sebenarnya tidak dilarang.
Peneliti boleh saja mengungkapkan sub bab tertentu ayng dipandang spesifik dan langsung
pada sasaran. Yang penting deskripsi menyeluruh dapat tercapai.
Penetapan setting model etnografi memerlukan strategi khusus, yaitu: (a) jadilah
praktisi, artinya setting tidak perlu terlalu luas dan terlalu sempit, yang penting
mampu mewakili fenomena; (b) upayakan tempat yang asing dari peneliti, hal ini
untuk lebih mampu mengambil jarak dalam penelitian, tetapi juga memperhatikan
kemudahan masuk tidaknya ke dalam setting; (c) ketiga, jangan terlalu berpegang
kaku pada rencana peneliti, rencana bisa berubah setelah di lapangan, (d) pikirkan
sejumlah topik yang sulit dijangkau.
Dalam kaitan itu, pelukisan etnografi mengenal dua desain penelitian yaitu: (1)
studi kasus dan (2) multiple site and subject studies. Penerapan studi kasus akan
mencari keunikan budaya pada wilayah tertentu. Penyimpangan-penyimpangan budaya
yang merupa kan kasus spesial dan menarik, akan menjadi sorotan peneliti. Sedang kan
desain multiple site and subject studies cenderung untuk meneliti budaya dalam skup luas.
Peneliti dapat melukiskan budaya tertentu pada berbagai tempat. Dari dua desain demikian,
dapat dinyatakan bahwa etnografi adalah salah satu model penelitian budaya yang
mengangkat hal-hal khusus. Kekhususan penelitian budaya adalah pada kemampuan
memanfaatkan model etnografi sedetail mungkin.
Sebagai sebuah model, tentu saja etnografi memiliki karakteristik dan langkah-
langkah tersendiri. Langkah yang dimaksud adalah seperti dikemukakan Spradley
(1997) dalam buku Metode Etnografi, sebagai berikut:
1. Menetapkan informan. Ada lima syarat minimal untuk memilih informan, yaitu: (a)
enkulturasi penuh, artinya mengetahui budaya miliknya dengan baik, (b)
keterlibatan langsung, artinya (c) suasana budaya yang tidak dikenal, biasanya
ETNOGRAFI PAPUA 22
akan semakin menerima tindak budaya sebagaimana adanya, dia tidak akan
basa-basi, (d) memiliki waktu yang cukup, (e) non-analitis. Tentu saja, lima
syarat ini merupakan idealisme, sehingga kalau peneliti kebetulan hanya mampu
memenuhi dua sampai tiga syarat pun juga sah-sah saja. Apalagi, ketika
memasuki lapangan, peneliti juga masih menduga duga siapa yang pantas
menjadi informan yang tepat sesuai pene litiannya.
2. Melakukan wawancara kepada informan. Sebaiknya dilakukan dengan wawancara
yang penuh persahabatan. Pada saat awal wawancara perlu menginformasikan tujuan,
penjelasan etno grafis (meliputi perekaman, model wawancara, waktu dan dalam
suasana bahasa asli), penjelasan pertanyaan (meliputi pertanyaan deskriptif, struktural,
dan kontras). Wawancara hendaknya jangan sampai menimbulkan kecurigaan yang
berarti pada informan.
3. Membuat catatan etnografis. Catatan dapat berupa laporan ringkas, laporan yang
diperluas, jurnal lapangan, dan perlu diberikan analisis atau interpretasi. Catatan ini
juga sangat fleksibel, tidak harus menggunakan kertas ini itu atau buku ini itu,
melainkan cukup sederhana saja. Yang penting, peneliti bisa mencatat jelas ten tang
identitas informan.
4. Mengajukan pertanyaan deskriptif. Pertanyaan ini digunakan untuk merefleksikan
setempat. Pada saat mengajukan pertanyaan, bisa dimulai dari keprihatinan,
penjajagan, kerja sama, dan partispasi. Penjajagan bisa dilakukan dengan prinsip:
membuat penjelasan berulang, menegaskan kembali yang dikatakan informan, dan
jangan mencari makna melainkan kegunaannya.
5. Melakukan analisis wawancara etnografis. Analisis dikaitkan dengan simbol dan
makna yang disampaikan informan. Tugas peneliti adalah memberi sandi simbol-
simbol budaya serta mengidentifikasikan aturan-aturan penyandian dan mendasari.
6. Membuat analisis domain. Peneliti membuat istilah pencakup dari apa yang
dinyatakan informan. Istilah tersebut seharus nya memiliki hubungan semantis yang
jelas. Contoh domain, cara cara untuk melakukan pendekatan yang berasal dari
pertanyaan: “apa saja cara untuk melakukan pendekatan”.
7. Mengajukan pertanyaan struktural. Yakni, pertanyaan untuk melengkapi
pertanyaan deskriptif. Misalkan, orang tuli menggu nakan beberapa cara
berkomunikasi, apa saja itu?
8. Membuat analisis taksonomik. Taksonomi adalah upaya pemfokusan
pertanyaan yang telah diajukan. Ada lima langkah penting membuat taksonomi,
yaitu: (a) pilih sebuah domain analisis taksonomi, misalkan jenis penghuni penjara
(tukang peluru, tukang sapu, pemabuk, petugas elevator dll.), (b) identifikasi kerangka
substitusi yang tepat untuk analisis, (c) cari subset di antara beberapa istilah tercakup,
misalkan kepala tukang kunci: tukang kunci, (d) cari domain yang lebih besar, (f)
buatlah taksonomi sementara.
9. Mengajukan pertanyaan kontras. Kita bisa menga jukan pertanyaan yang kontras
untuk mencari makna yang berbeda, seperti wanita, gadis, perempuan, orang dewasa,
simpanan, dan sebagainya.
10. Membuat analisis komponen. Analisis komponen sebaiknya dilakukan ketika dan
setelah di lapangan. Hal ini untuk menghindari manakala ada hal-hal yang masih perlu
ditambah, segera dilakukan wawancara ulang kepada informan.
11. Menemukan tema-tema budaya. Penentuan tema budaya ini boleh dikatakan
merupakan puncak analisis etnografi. Keberhasilan seorang peneltii dalam
menciptakan tema budaya, berarti keberhasilan dalam penelitian. Tentu saja, akan
lebih baik justru peneliti mampu mengungkap tema-tema yang orisinal, dan bukan
tema-tema yang telah banyak dikemukakan peneliti sebelumnya.
ETNOGRAFI PAPUA 23
12. Menulis etnografi. Menulis etnografi sebaiknya dilakukan secara deskriftif, dengan
bahasa yang cair dan lancar. Jika kemungkinan harus berceritera tentang suatu
fenomena, sebailrnya dilukiskan yang enak dan tidak membosankan pembaca.
Penentuan informan kunci juga penting dalam penelitian etnografi. Informan
kunci dapat ditentukan menurut konsep Benard (1994:166) yaitu orang yang dapat
berceritera secara mudah, paham terhadap informasi yang dibutuhkan, dan dengan gembira
memberikan informasi kepada peneliti. Informan kunci adalah orang-orang yang memiliki
hubungan erat dengan terhormat dan berpengetahuan dalam langkah awal penelitian.
Orang semacam ini sangat dibutuhkan bagi peneliti etnografi. Orang tersebut diperlukan
untuk membukan jalan (gate keeper) peneliti berhubungan dengan responden, dapat juga
berfungsi sebagai pemberi ijin, pemberi data, penyebar ide, dan perantara. Bahkan,
akan lebih baik apabila informan kunci mau memperkenalkan peneliti kepada responden,
agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Bagi peneliti memang tidak mudah menentukan informan kunci. Karena itu,
berbagai hal perlu dipertimbangkan agar jendela dan pintu masuk peneliti semakin terbuka
dan peneliti mudah dipercaya oleli responden. Pertimbangan yang harus dilakukan dalam
menentukan informan kunci, antara lain: (a) orang yang bersangkutan memiliki
pengalaman pribadi tentang masalah yang diteliti, (b) usia telah dewasa, (c) sehat jasmani
rohani, (d) bersikap netral, tidak memiliki kepentingan pribadi, dan (e) berpengetahuan
luas. Pada saat etnografer ke lapangan, mengambil data, mereka akan mendengarkan dan
mengamati langsung maupun berperan serta, lalu mengambil keksimpulan. Setiap langkah
pengambilan data akan disertai pengam bilan kesimpulan sementara.
Pemilihan informan kunci ada strategi khusus, antara lain dapat melalui empat
macam cara, sebagai berikut:
(a) secara insidental, artinya peneliti menemui seseorang yang sama sekali belum
diketahui pada salah satu wilayah penelitian. Tentu cara semacam ini kurang begitu
menguntungkan, tetapi tetap strategis dilakukan. Peneliti bisa menyamar sebagai
pembeli atau penjual tertentu ke suatu wilayah. Yang penting, sikap dan perilaku
peneliti tidak menimbulkan kecurigaan;
(b) menggunakan modal orang-orang yang telah dikenal sebelumnya. Peneliti berusaha
menghubungi beberapa orang, mungkin melalui orang terdekat. Cara ini dipandang
lebih efektif, karena peneliti bisa mengemukakan maksudnya lebih leluasa. Melalui
orang dekat tersebut, peneliti bisa meyakinkan bahwa penelitiannya akan dihargai.
(c) sistem quota, artinya innforman kunci telah dirumuskan krite rianya, misalkan ketua
organisasi, ketua RT, dukun dan seba gainya.
(d) secara snowball, artinya informan kunci dimulai dengan jumlah kecil (satu orang),
kemudian atas rekomendasi orang tersebut, informan kunci menjajdi semakin besar
sampai jumlah tertentu. Informan akan berkembang terus, sampai memperoleh data
jenuh.
Dari cara-cara tersebut, peneliti dapat memilih salah satu yang paling cocok. Pemilihan
didasarkan pada aspek kemudahan peneliti memasuki setting dan pengumpulan data.
Jika cara yang telah ditem puh gagal, peneliti boleh juga menggunakan cara yang lain
sampai diperoleh data yang mantap.

ETNOGRAFI PAPUA 24
BAB III
ETNOGRAFI PAPUA

A. Asal Mula Dan Sejarah Orang Papua

Untuk mengetahui asal-usul orang Papua, kita bisa melihatnya dari segi Temuan-temuan
paleoantropologi;
a) Asal usul Orang Papua dikaji dari aspek Paleoantropologi

Ciri-ciri ras orang Papua termasuk dalam ras Australoid, Weddoid,


Cirri-ciri ras orang Papua Negroid/Negritoid, Melanesoid dan sejumlah kecil cirri-ciri ras
termasuk dalam ras Mongoloid. Kita bisa menelusuri asal-usul orang Papua dari bahan-
Australoid, Weddoid, bahan fosil manusia yang pernah di temukan di Indonesia. Yang
Negroid/Negritoid,
Melanesoid dan sejumlah menjadi pertanyaan dari manakah datangnya manusia Papua dengan
kecil cirri-ciri ras unsur-unsur ras tersebut di atas?
Mongoloid Teori yang dikembangkan untuk menjawab pertanyaan
ini, yaitu: Dengan melihat bahan-bahan Paleoantropologi dari
Asia Tenggara, Sumatra dan Jawa dapat memberi sedikit
keterangan kepada kita tantang asal-usul Manusia Papua:
a. Bekas-bekas manusia yang ditemukan di Malaya oleh Earl
dinyatakan mempunyai cirri-ciri Australoid dan Melanesoid;
b. Bekas-bekas manusia yang ditemukan oleh Van Stein Callenfels dibukit-bukit kerang
di Sumatera Timur, oleh Miesberg dinyatakan sebagai cirri-ciri Paleo-Melanesoid;
c. Snell yang menyelidiki dua tengkorak dari Gol Ba’it, Sungai Siput dan Malaya,
menyatakan bahwa tengkorak-tengkorak itu mempunyai cirri-ciri Melanesoid;
d. Collani yang menyelidiki Goa-goa dan bekas peninggalan disuatu delta 120 km dari
Tonkin, menyatakan bahwa rangka-rangka manusia yang ditemukan disitu dapat
digolongkan kedalam ras Austroloid, Paleo-Melanesoid, dan Mongoloid.
e. Mijsberg yang menyelidiki bekas-bekas manusia dari peninggalan pre-histori di
Sampung, Ponorogo menyatakan bahwa pada tengkorak itu terdapat cirri-ciri Papua-
Melanesoid dan Austroloid.
Disamping itu, penyelidikan-penyelidikan Antropologi Fisik yang pernah
dilakukan oleh pelbagai sarjana pada beberapa suku bangsa penduduk Indonesia, telah
dapat memberikan gambaran, bahwa:
a. Nyessen dalam penyelidikannya pada penduduk pegunungan di Priangan Selatan telah
menunjukan bukti-bukti, bahwa pada penduduk itu masih kedapatan tipe-tipe
Austroloid dan menyatakan bahwa orang-orang dengan cirri-ciri “Dravido Australian”
pernah menduduki pulau Jawa;
b. Bijlmer yang telah menyelidiki kepulauan timur dan Flores juga telah menunjukan,
bahwa individu-individu pada suku bangsa Belu menunjukan cirri-ciri ras Mongoloid
dan Negroid. Juga pada orang Kroe terdapat tipe-tipe “Papuan”. Sedangkan orang
Adanore sebelah Timur Flores, terdapat tipe-tipe “Semitic”, Negroid dan “Papuan”.
Dengan demikian, teori ini mau menyatakan bahwa Manusia Papua berasal dari
daerah-daerah tersebut di atas. Teori lain yang dikembangkan oleh Teuku Yacob (1967)
tentang asal-usul Manusia Papua dalam disertasinya, menyatakan bahwa di zaman es yang
terakhir, kira-kira 800.000 tahun y.l., ketika Papua masih menyatu dengan benua Australia,
ETNOGRAFI PAPUA 25
penduduknya yang merupakan nenek moyang penduduk Papua dan Melanesia, tetapi juga
nenek moyang penduduk asli Australia memiliki cirri-ciri fisik Paleo-Melanesoid.

Ketika zaman es berakhir dan permukaan laut menjadi lebih tinggi, maka
Australia terpisah dari Papua dan pulau-pulau lain di Nusantara ini. Ciri-ciri fisik
penduduk Papua dan Melanesia berkembang menjadi cirri-ciri Melanesoid yang kita kenal
sekarang, sedangkan cirri-ciri fisik penduduk Asli Australia berkembang menjadi cirri-ciri
fisik ras Austroloid sekarang.

B. Menelusuri Asal Usul Nama Papua


Nama “Papua” mula-mula dipakai oleh pelaut portugis Antonio
Pulau yang d’Arbreu yang mengunjungi pulau ini dalam tahun 1551. Nama itu
sekarang disebut
Papua berasal dari
kemudian dipakai oleh Antonio Pigafetta yang turut bertualang
bahasa melayu dengan Magalheins dalam perjalanannya mengelilingi bumi.
“pua-pua” yang Pigafetta berada di laut maluku sekitar tahun 1521. Kata “Papua”
artinya keriting
(Striling, 1943).
agaknya berasal dari bahasa melayu “pua-pua” yang artinya keriting
(Striling, 1943).
Semasa masih menjadi kekuasaan Belanda, Pulau ini disebut
Nieuw Guinea. Tetapi sebenarnya nama Nieuw Guinea ini mula-mula digunakan oleh
seorang pelaut Spanyol Ynigo Ortiz de Retes. Pada tahun 1545 Ynigo Ortiz de Retes
pernah mengunjungi pantai utara pulau ini dan menamakan daerah yang ia kunjungi Nueva
Guinea (Guinea Baru). Kulit penduduk di pulau ini yang berwarna hitam
mengingatkannya kepada penduduk pantai Guinea di benua Afrika. Sejak itu, sebutan tadi
dan atau variasinya , Nova Guinea tercantum pada peta-peta abad ke 16. Dalam peta-peta
Belanda digunakan sebutan Nieuw Guinea atau Guinee (Naber 1915 dalam
Koentjaraningrat, 1994).
Mengenai asal nama “Irian” (Iryan) yang popular setelah Irian Barat dibawah
naungan Negara kesatuan Republik Indonesia ada beberapa pendapat. Salah satu
diantaranya istilah “iryan” dan bukan “irian” diusulkan oleh F. Kaisepo dalam konperensi
Malino dalam tahun 1946. Menurut Koentjaraningrat (1994) kata “Iryan” yang dipakai
F.Kaisepo ini berasal dari kata bahasa Biak yang berarti “Sinar matahari yang menghalau
kabut dilaut”, sehingga ada “Harapan” bagi para nelayan Biak untuk mencapai tanah
daratan Irian di seberangnya.

C. Sejarah Kontak Antar Kebudayaan


Sejarah kontak orang luar dengan penduduk di daerah Papua dapat dibagi dalam
dua periode. Periode pertama adalah antara abad ke-8 sampai abad ke-16, yaitu kontak
antara orang Papua dengan daerah lain di Indonesia. Periode kedua adalah antara abad ke-
16 hingga abad ke-19, yaitu kontak antara orang Papua dengan bangsa Eropa. Periode
sesudah abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, yaitu kontak antara orang Papua
dengan penduduk lain di Kepulauan Indonesia dan dengan bangsa asing tidak diuraikan
dalam bagian ini karena masa yang pendek. Uraian ini dapat menunjukan bagaimana
proses perubahan kebudayaan pada masyarakat di Papua terjadi.

a) Periode Abad Ke-8 Sampai Abad Ke-16


Pada abad ke-8 (724 M): terlihat adanya hubungan langsung atau tidak
langsung antara Papua dengan kerajaan Sriwijaya, yang terbukti dari beberapa hadiah
seperti burung-burung dan seorang gadis yang berasal dari Seng-k’i dibawa oleh para
duta raja Sri Indrawarman dari Sriwijaya untuk dipersembahkan kepada Kaisar
Tiongkok pada masa Dinasti Tang. Dalam masa kejayaan kerajaan Sriwijaya Pulau Irian
ETNOGRAFI PAPUA 26
(Papua) disebut Janggi/ Jangge/ Zangge/ Sanji atau Seng-k’i oleh para penulis berita.
Keterangan ini dianggap sebagai keterangan tertulis pertama tentang adanya hubungan
antara penduduk di Papua dengan orang luar.

Pada abad ke-10 (915 M): keterangan dari seorang Arab bernama Marsudi,
dalam laporannya menyebut suatu lautan yang bernama Sanji, yang lalu ditafsirkan
sama dengan Jangge. Nama tersebut kemudian dihubungkan dengan penduduk negrito
sehingga dianggap sebagai petunjuk bahwa pada waktu itu ada orang asing yang
melakukan pelayaran di perairan tempat tinggal orang-orang negrito, atau dengan kata
lain pada waktu itu ada kontak orang asing dengan penduduk di perairan Sanji yang
tidak lain dari penduduk Papua.

Pada abad ke-13, seorang musafir Tiongkok, Chau Yu Kua, menulis berita
bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat suatu daerah bernama ‘Tung-ki’, yang
merupakan bagian dari suatu Negara di Maluku. Bilamana ‘Tung-ki’ adalah sebutan
Tiongkok untuk ‘Janggi’, maka berita dari Chau Yu Kua tadi juga memperlihatkan
bahwa antara Papua dan Maluku terdapat suatu hubungan yang erat. Memang jauh
sebelum orang Eropa mengunjungi Papua, penduduk di Kepulauan Raja Ampat,
Semenanjung Onin, dan Teluk Cenderawasih telah berhubungan dengan penduduk
Kepulauan Maluku yang terletak di sebelah baratnya melalui pertukaran hasil-hasil
hutan, hasil laut, dan burung cenderawasih.
Pada Tahun 1534 dan 1535: ada keterangan tentang adanya institusi kerajaan di
kepulauan Raja Ampat, yang menyatakan bahwa pada waktu itu Sultan Tidore
mengadakan persekutuan dengan raja-raja Papua di Vaigama (sama dengan
Waigama di Misol), Vaigue (sama dengan Waigeo), Quibibi (sama dengan Gebe atau
Kapiboi), Umka (di Saonek), untuk bersama-sama melawan orang-orang asing
(Portugis).
Diantara sejumlah nama daerah lainnya yang terletak di bagian Timur Kepulauan
Indonesia disebut nama ‘Wwanin’, ‘Sran’ dan Timur. Menurut para ahli Jawa Kuno,
‘Wwanin’ adalah nama lain daerah ‘Onin’, sedangkan ‘Sran’ adalah nama lain untuk
daerah ‘Kowiai’. ‘Timur’ dimungkinkan nama lain untuk daerah bagian timur Papua.
Oleh karena itu, pada abad ke-14 beberapa daerah di Papua merupakan bagian
kedaulatan kerajaaan Majapahit. Bahkan menurut cerita di Gunung Baik dekat Fakfak
dahulu ada ‘Benteng Jawa’. Oleh karena itu, besar kemungkinan Majapahit telah
membangun benteng di Fakfak.
b) Periode Abad Ke-16 Hingga Abad Ke-19
Tahun 1511: Orang Eropa pertama yang melihat Pulau New Guinea adalah
orang-orang Portugis yang bernama D’Abreu dan Serrano pada tahun 1511.
Tahun 1521: Orang pertama yang menyebut nama penduduk dan daerah New
Guinea dalam laporan tertulis adalah seorang pelaut Portugis yang bernama Antonio
Pigafetta yang mengikuti penjelajah Portugis Magelhaes dalam perjalanan
mengelilingi dunia, dan berada di sekitar laut Maluku pada tahun 1521. Dalam
laporannya Pagifetta menulis adanya raja Papua yang berkuasa di Pulau Gilolo
(Kepulauan Raja Ampat).
Tahun 1526: Orang Eropa pertama yang menginjakkan kakinya di Pulau New
Guinea adalah Gubernur Portugis yang bernama De Menezes yang terdampar di
Versiya (Warsa), suatu tempat di Kepala Burung, Papua, ketika melakukan
pelayaran dari Malaka ke Maluku pada tahun 1526. Para penjelajah berkebangsaan
Portugis itu walaupun melihat dan menginjakkan kakinya di Pulau New Guinea
namun mereka tidak mengetahui nama pulau tersebut.
ETNOGRAFI PAPUA 27
Tahun 1537: Lanvoogd (seorang wali negara) Portugis bernama Joao Fogoca,
diutus ke pulau-pulau di Papua (Kepulauan Raja Ampat), dan oleh usahanya,
sebagian dengan bujukan dan sebagainya dengan kekerasan senjata, dapat
menaklukkan raja-raja tersebut dan menempatkan mereka di bawah kekuasaan
Ternate.
Tahun 1528: Alvaro de Saavedra dengan kapal “Florida” diutus oleh Gunernur
Spanyol di Tidore berlayar ke Meksiko pada pertengahan tahun 1528. Akan tetapi
selama satu bulan dia harus menunggu angin baik di Pulau Haney ialah Ambai di
Serui, yang olehnya Pulau Serui diberi nama “Isla del Oro” atau “Pulau Emas”.
Selanjutnya, dikatakan bahwa dia tingal diantara orang-orang telanjang yang telah
mengenal alat-alat dari besi.
Tahun 1545: Pada tanggal 16 Mei Juni 1545 kapal “San Juan” yang dibawah
pimpinan Ortiz de Retes berangkat dari Tidore menuju Mexico. Pagi hari tanggal 13
Juni 1545 dia sampai di kedua pulau yang lalu diberi nama “La Sevillana” (Supiori)
dan ”La Callega” (Biak). Sore harinya dia melihat pulau lagi dan diberi nama “Los
Martiyres” (Pulau Numfor).
Kunjungan yang lebih penting terjadi
Nama-nama tempat di Papua yang diberikan pada tanggal 20 Juni 1545, ketika di salah
oleh pelaut Portugis, Spanyol, Perancis dan satu muara sungai Amberno (Sungai
belanda adalah: Mamberamo) di pantai utara Papua
1. Janggi/Jangge/Zangge/Sanji atau Seng-
ki’ adalah nama untuk Pulau Papua pada
berlabuh kapal ‘San Juan’ yang sedang
jaman kerajaan Sriwijaya berada dalam perjalanan ke Meksiko.
2. ‘Tung-ki’ adalah sebutan orang Tiongkok Pendaratan oleh orang Spanyol di kaki
untuk Pulau Papua pegunungan yang indah itu tidak
3. Vaigama (sama dengan Waigama di disaksikan oleh penduduk pribumi, karena
Misol), Vaigue (sama dengan Waigeo), daerah tersebut tidak dihuni. Di bawah
Quibibi (sama dengan Gebe atau Kapiboi),
Umka (di Saonek) sebutan yang dipakai
pimpinaan Ortiz de Retes, sejumlah orang
oleh orang tidore Spanyol mendarat untuk mengambil air
4. ‘Wwanin’, dan ‘Sran’ adalah nama lain dan kayu bakar. Tanpa ada gangguan, Ortiz
dari daerah Onin dan Kowiai yang de Retes mengadakan suatu upacara kecil,
digunakan oleh ahli Jawa Kuno. dan menyatakan pulau yang dijejaknya
5. Gilolo adalah nama untuk Pulau Raja sebagai milik raja Spanyol. Ortiz de
Ampat yang digunakan oleh Pagifetta
Retes-lah yang pertama-tama
dalam laporannya
6. Alfaro de Saaveldra yang memberi nama menamakan Papua itu Nueva Guinea
Pulau Yapen dengan sebutan “Isla del (Guinea Baru). Pemberian nama itu
Oro” karena baik daerahnya maupun
7. Ortis de Rettez member nama Pulau penduduknya mempunyai persamaan
Supiori dengan sebutan “La Sevillana” dengan Guinea di Afrika.
Pulau Biak dengan sebutan ”La Callega”
Meskipun Ortiz de Retes telah berusaha
dan Pulau Numfor dengan sebutan “Los
Martiyres”
menyatakan pulau Papua sebagai milik raja
8. Ortiz de Retez yang pertama kali member Spanyol, dalam kenyataan penguasa-penguasa
nama Papua dengan sebuta Nueva Guinea Spanyol di Maluku tidak dapat membela
9. “de deux Cyklopes” adalah nama yang kepentingan raja mereka di pulau tersebut.
diberikan oleh seorang pelaut Perancis Bahkan, penguasa Belanda di perairan Maluku
Louis Antonie Baron de Bougainville
berhasil meniadakan kemungkinan orang
10.“Homboldtbai” adalah nama yang Spanyol untuk memperoleh rempah-rempah
diberikan oleh seorang pelaut Perancis
yang hendak dijual di Eropa, sehingga akhirnya
Jules Sebastien Cesar Dumond yang
sekarang disebut Teluk Youtefa di Kta
penguasa Spanyol terpaksa meninggalkan
Jayapura d’Urville untuk Teluk Imbi Tidore dan seluruh perairan Maluku, dan
menarik diri ke Manila, Philipina dalam tahun
ETNOGRAFI PAPUA 28
1663. Dengan demikian penduduk pribumi Papua tidak lagi melihat wakil-wakil raja
Spanyol di daratan pula mereka. Sesudah Ortiz de Retes menyusul beberapa pelaut
Spanyol lain berkunjung ke Papua seperti: Miguel de Legaspi (1546), Alvaro Mendana de
Neyra (1567), Christoforo d’Acosta dan Nicolaas Nunez (1569), Marcos Prancudo, Joan
Roquillo (1580-1581), Antinio Marta (1591-1593), Ruy Gonzales de Siqiera, Miguel Roxo
de Brito, Alvaro de Medana de Nyeyra (1595), Joseph Hall (1605), Pedro Fernandez de
Quiros dan Luis Vaez de Torres (1605-1566).

Tahun 1768: Pelaut berkebangsaan Perancis yang bernama Louis Antonie Baron
de Bougainville singgah di Teluk Imbi yang indah dengan kapal layar “Boudeuse” dan
“d’ Etoile” tanggal 13 Agustus 1768. Kapal-kapal itu berangkat dari Nantes di Perancis
tanggal 15 Nopember 1766 untuk mengadakan penyelidikan dan pemetaan di daerah
Timur Jauh menuju Rio de Janeiro di Brasil. Sebagai penghormatan kepada pimpinan
kapal dunia ilmu pengetahuan memberi nama kembang Bougainville menurut namanya.
Terpesona melihat pegunungan dekat Teluk Yotefa dengan tiga puncaknya yang
merupakan gigi-gigi tajam dia memetakannya dengan nama: “de deux Cyklopes” atau
Pegunungan Cyklop, menurut nama seorang raksasa yang menyeramkan dengan hanya 1
mata dari mythology Yunani. Mungkin dia melihat pegunungan ini sebagai satu raksasa
yang muncul dari permukaan laut dan berdiri dengan pongahnya.
12 Agustus 1827: Jules Sebastien Cesar Dumond d’Urville dengan kapal layar
yang bernama “Astrolabe” yang berangkat dari Toulon di Perancis berlabuh di Teluk Imbi
yang indah dan ia namakan “Homboldtbai” sebagai penghargaan dan kenang-kenangan
terhadap sarjana penyelidik bangsa Jerman yang bernama F.H. Alexander Baron von
Humboldt yang terkenal dalam perjalanan antara tahun 1799-1805 melalui Amerika
Selatan – Tengah dan Teluk Imbi. Sejak saat itu nama Homboldbai dipakai sampai dengan
tanggal 1 Mei 1963 baru diganti dengan nama Teluk Yos Sudarso. Selanjutnya tanjung-
tanjung yang mengapit Teluk Humboldt dia beri nama Tanjung Bondpland (nama teman
seperjalanan Baron von Humboldt) dan Tanjung Caille. Kedua tanjung ini ialah
Tanjung Suaja dan Tanjung Suar di seberangnya.
Tahun 1793: Perhatian serius dari orang Eropa untuk menjadikan Pulau Nieuw
Guinea sebagai wilayah kekuasaannya sesungguhnya berasal dari orang Inggris. Pada tahu
1793, orang Inggris di bawah pimpinan John Hayes, Kapitan Court, dan Mac Cluer
mendirikan satu benteng di Teluk Dore yang diberi nama Coronation di
perkampungan “New Albion”, yang merupakan benteng pertama di di Pulau Nieuw
Guinea, dan lalu ditinggalkan pada tahun 1795 karena sikap bermusuhan penduduk
setempat. Benteng ini dilengkapi 12 meriam dan pagar sekeliling dengan balok-balok
kayu.
Tahun 1892: Willem Doherty, seorang Penghimpun jenis-jenis hewan (dieren
versamelaar) berkebangsaan Inggris singgah di Humboldtbai dan pada tahun yang sama
dapat menemukan danau Sentani
Tahun 1561: Pastor Marcos Prancunda mencatat bahwa pada waktu itu di Tanah
Papua terbagi dalam empat kerajaan, yaitu Miam, Misol, Ogneo (Waigeo), dan Noton
(nama yang dipakai waktu lampau untuk bagian barat tanah besar di Kepala Burung).
Tahun 1569: Nic. Nunez, seorang pendeta Yesuit melaporkan bahwa raja Bacan
(dari Maluku Utara) berteman akrab dengan beberaja raja Papua, dan bahwa Tanah Papua
adalah suatu tanah besar yang dikuasai banyak raja-raja dan mereka minta untuk
dibaptiskan menjadi Nasrani.
Tahun 1893: Utusan Zending G. L. Bink mengunjungi Teluk Homboldtbai dan
Danau Sentani.
ETNOGRAFI PAPUA 29
Tahun 1605: Kapal pertama VOC yang mengunjungi Nova Guinea ialah kapal
“Duyfke” dan perjalanan ini dilakukan karena mereka hanya mendengar kabar secara
samara-samar mengenain Nova Guinea karena dirahasiakan oleh Portugis dan Spanyol.
Kapal ini hanya sampai di Teluk Carpentaria dan segera kembali.
Tahun 1616: Jaques La Maire dan Willem Cornelius Schouten bertolak dari negri
Belanda dan mengunjungi bagian utara pulau-pulau Schouten dan Waigeo.
Tahun 1623: Gubernur Ambon mengirim kapal “Arnhem” dan “Pera” di bawah
komando Jan Cartensz dan melaporkan adanya gunung yang ditutup salju. Menurut
namanya puncak gunung itu diberi nama Cartenz – top, yang belakangan menjadi
puncak Sukarno.
Tahun 1636: Gerrit Thomas dan Pieterszoon dengan kapal “Cleen Wesel”
mengadakan perdagangan kulit kayu massoi. Akan tetapi, banyak anak buahnya
dibunuh penduduk di pantai barat Kumawa dan Otakwa, sehingga sungai tempat
pembunuhan itu dinamakan “Sungai Pembunuhan” (Doodslagers en
Moordenaarsrivier). Kemudian mereka juga tiba di Namatote, tetapi Pool dan
beberapa anak buahnya tewas diserang penduduk setempat, sehingga sungai tempat
peristiwa itu dinamakan “Sungai Maut” (Doodslag rivier).
Tahun 1698: Johannes Kreyts dengan kapal-kapal “de Pisang”, “Rogh”, “de
Spiering” mengunjungi Nova Guinea dan membagi-bagikan bendera Belanda di
tempat-tempat yahng merke kunjungi. Kontrak perdagangan pertama dilakukan di
Fatagar dan Karas.
Bulan Juli 1828: Untuk pertama kali penguasa Belanda melakukan upaya untuk
sungguh-sungguh menguasai Papua. Di pantai selatan, tepatnya di sebelah utara
Kepulauan Aru, dua kapal Belanda, yaitu ‘Triton’ dan “Iris’, berlabuh di teluk yang
terbentang di kaki Gunung Lamenciri. Kapal ‘Triton’ antara lain membawa A.J. van
Delden, seorang komisaris pemerintah Belanda yang dikirim oleh Gubernur Belanda
di Maluku untuk membangun suatu benteng yang dapat diduduki oleh suatu kesatuan
militer Belanda di Papua sebagai bukti bahwa Belanda yang menguasai daerah pantai
selatan, mulai dari garis 141* BT sampai Semenanjung Goede Hoop di pantai utara,
kecuali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sultan Tidore.
Tanggal 24 Agusutus 1828: Bertepatan dengan ulang tahun raja Willem I dari
Belanda, diadakan upacara peresmian berdirinya benteng ‘Fort Du Bus’ di Kampung
Lobo yang terletak di Teluk Triton pulau-pulau Aru sebagai benteng pertama Belanda
di Papua. Pemberian nama ini sebagai penghormatan kepada Gubernur Jenderal Du
Bus des Gisignes yang terkenal dalam Perang Diponegoro di Jawa. Di hadapan
sejumlah perwira, seperti kapten-letnan J.J. Steenboom komandan kesatuan yang
mendapat tugas mengiringi van Delden, serdadu, pegawai komisi peneliti ilmiah, dan
orang-orang pribumi, maka komisaris pemerintah van Delden membacakan suatu
proklamasi yang menyatakan bahwa “Atas nama dan untuk Sri Baginda Raja
Nederland, Pangeran Oranje Nassau, Hertog Agung Luxemburg…bagian daerah
Nieuw-Guinea serta daerah-daerah di pedalaman yang mulai pada garis 141* BT di
pantai selatan dan dari tempat tersebut di arah barat-laut, dan utara sampai
Semenanjung Goede Hoop di pantai utara, selain daerah Mansarai, Karondefer,
Ambarpura, dan Amberpon yang dimiliki oleh Sultan Tidore, dinyatakan sebagai
milik”. Sesudah proklamasi dibacakan, bendera Belanda di naikkan disertai dentuman
meriam sebanyak 21 kali. Demikianlah terwujud usaha Belanda yang pertama untuk
menguasai Papua sebagai jajahan kerajan Belanda.
Segera setelah upacara dilangsungkan , hubungan antara pihak Belanda dan
penduduk pribumi ditentukan dalam surat-surat perjanjian yang ditandatangani oleh
Sendawan raja Namatotte, Kassa raja Lakahia, dan Lutu orang kaya Lobo dan
ETNOGRAFI PAPUA 30
Mawara. Ketiga kepala daerah ini oleh Belanda masing-masing diberi surat
pengangkatan sebagai kepala daerah, berikut tongkat kekuasaan berkepala perak.
Selain ketiga kepala daerah ini diangkat pula 28 kepada daerah bawahan.
Benteng ‘Fort Du Bus’ dibongkar pada tahun 1835 karena kondisi geografis
(terutama iklimnya) yang tidak mendukung bagi keberadaan pasukan Belanda.
Juga karena penyakit dan serangan penduduk setempat mengakibatkan 10
perwira Belanda, 50 tentara Belanda totok, dan 50 tentara Belanda bangsa
Indonesia (KNIL) menemui ajalnya. Berbagai tempat di daratan Papua dikunjungi
kapal-kapal Belanda yang mencari tempat yang baik untuk mendirikan benteng baru,
tetapi baru dalam tahun 1861 pemerintah Belanda terpaksa mengambil keputusan
untuk tidak mendirikan benteng baru di Papua sebagai pengganti benteng “Du Bus’.
Usaha pertama untuk menegakkan kekuasaan Belanda di Papua untuk sementara
mengalami kegagalan.
Penelitian tahun 1846: oleh komisaris pemerintah A.L. Weddik yang ditugaskan
oleh Gubernur Jenderal Belanda di Batavia memperoleh keterangan bahwa kekuasaan
kerajaan Tidore di pantai utara Papua meliputi daerah yang lebih luas daripada yang
disangka semula, tidak hanya daerah Mansari, Karondifer, Amberpur dan Amberpon
saja, melainkan juga daerah pantai utara sampai ke Semenanjung Bonpland, sudut
timur dari teluk Humboldt, yang terletak di garis 140* 47’ BT.
Tahun 1849: Pangeran Amir sebagai wakil Sultan Tidore menyertai suatu
kesatuan Belanda yang dikirim ke pantai utara Papua untuk menempatkan tanda milik
Belanda di daerah Dorei, di Pulau Roon, serta di Pulau Ansus dan di Pulau Kurudu
yang masing-masing terletak di sebelah selatan dan disebelah timur Pulau Yapen.
Maksud untuk meneruskan perjalanan ke Teluk Homboldt (kini Teluk Yotefa), tidak
kesampaian.
Tahun 1850: Pangeran Ali sebagai wakil Sultan Tidore pergi mengunjungi
daerah pantai selatan Papua. Mula-mula ia mengunjungi Tanjung Sele, ujung terbarat
dari Papua, kemudian Ati-Ati, Kowiai, Kapia, dan daerah Merkusoord, bekas daerah
lokasi benteng Du Bus. Di daerah-daerah itu ia menempatlkan suatu tanda milik
Belanda, Maksud untuk meneruskan perjalanan ke Pulau Frederick Hendrick di
sebelah timur tidak terlaksana karena serangan badai dan arus menentang.
Tahun 1858: Kapal perang “Etna” dibawah pimpinan Lt. G. Rijn berlabuh di
Humboldtbai dengan membawa ekspedisi ilmiah dibawah pimpinan Residen dari
Bangka H.D.A. van der Goes.
Tanggal 11 Oktober 1871: Tanda batas wilayah jajahan Belanda di pantai utara
Papua ditempatkan oleh A. Smiths, komandan kapal Dasson di dekat Semenanjung
Bonpland, sudut timur Teluk Humboldt, antara sejumlah pohon kelapa di tempat yang
tidak dihuni. Tanda batas tersebut berbentuk suatu tiang besi dengan lambang kerajan
Belanda. A. Smits mendarat di pantai Teluk Humboldt beserta beberapa orang
pangeran Tidore. Menurut perhitungan A. Smits, tempat tanda batas itu didirikan pada
garis 141* 9’ BT.
Tanggal 7 Desember 1892: Didirikan suatu pos baru (jadi pos kedua sesudah
benteng Du Bus) di Selerika (Sairire) di daerah Merauke, dekat perbatasan, untuk
mengawasi penduduk Tugeri (Marind Anim) yang melakukan pengayauan kepala di
daerah kekuasaan Inggris. Pos baru ini juga hanya dalam beberapa hari saja
ditinggalkan bukan karena gangguan iklim dan kesehatan seperti yang terjadi di
benteng Du Bus, tetapi karena sikap bermusuhan penduduk setempat. Walaupun
demikian usaha untuk mendirikan pos baru ini merupakan satu langkah awal kea rah
penentuan garis batas yang jelas antara wilayah yang dikuasai oleh pemerintah
Belanda dengan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Inggris dan Jerman.
ETNOGRAFI PAPUA 31
Tahun 1900: Pembukaan Pos Pemerintah di Pulau Debi dekat Tobati di Teluk
Jotefa sebagai ibu kota. Selanjutnya, J.M. Dumas, seorang pedagang membuka
usahanya dan menetap di Pulau Debi, di sebelah barat Enggros di Teluk Yotefa. J.M.
Dumas memperdagangkan burung Cenderawasih, dammar dan lain-lain
Tahun 1901: L. A. van Oosterzee, Controleur Manokwari bersama anak buah
kapal Hr. Ms. Ceram, memuat danau Sentani ke dalam peta (kaart) setelah
mengunjungi dan menyaksikannya secara langsung dari dekat.
Tahun 1902: Dibuka pos pemerintah dengan nama Afdeling Zuid-Nieuw Guinea
di Merauke dengan menempatkan 160 orang tentara dibantu polisi dan orang-orang
rodi (kerja paksa).
Tahun 1903: Exspedisi Wichman yang diberangkatkan atau biaya Treub Institut
berkemah di Debi selama 4 bulan dan mereka tiba tanggal 13 Maret 1903 dengan
kalap G.S.S. Zeemeeuw dengan membawa rombogan peneliti: Prof. Dr. Wichmann
(Geolog), J. van der Sande (Kesehatan), L.F. de Beaufort (Kehewanan), J,M. Dumas
(Pedagang), Mas Djipja (dari Kebun raya Bogor), dan Prof. Dr. John (Kesehatan).
Oleh karenma itu, dari tulisan-tulisan mereka kita mendapatkan banyak data-data
tentang Teluk Humboldt, Danau Sentani, dan sekitarnya.
Tahun 1906: Pemerintah Nederlandsch Nieuw Guinea menempatkan P.
Windhouwer di Pulau Debi sebagai post-houder sebagai persiapan penentuan
perbatasan antara Nederlandsch Nieuw Guinea dan Nieuw Guinea Jerman.
Tahun 1909: Tepatnya tanggal 28 September 1909 kapal “Edi” mendaratkan
satu detasemen tentara dibawah komando Kapten Infantri F.J.P. Sache di dekat
sungai Numbai. Selanjutnya mereka membuat pemukiman pertama yang terdiri dari
tenda-tenda dan perumahan yang dihuni oleh 4 perwira, 80 tentara, 60 pemikul,
beberapa pembantu dan istri-istri tentara, sehingga jumlah total penghuni sebanyak
290 orang. Pemukiman (bivak) tersebut kemudian dikenal sebagai Hollandia
(Jayapura) sejak 10 Maret 1910.
D. Pemetaan Suku-Suku Bangsa Di Papua
Dalam uraian ini, saya akan membahas Kategori-kategori Kebudayaan Papua
yang pernah di buat oleh ahli-ahli Antropologi dan Linguistik. Menurut SIL (Sumer
Institute of Language) bahwa Kebudayaan Papua, jika dikategori berdasarkan bahasa maka
di Papua terdapat 251 bahasa (Peter J.Zilzer & H.H Clouse, 1991).
Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan di Papua menunjukkan corak yang
beraneka ragam yang disebut sebagai kebhinekaan masyarakat tardisioanal Papua.
Dalam kepustakaan Antropologi, Papua di kenal sebagai masyarakat yang terdiri
atas suku-suku bangsa dan suku-suku yang beraneka ragam kebudayaannya. Menurut Tim
Peneliti Uncen (1991) telah di identifikasi adanya 44 suku bangsa yang masing-masing
merupakan sebuah satuan masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri sendiri.
Sebagian besar dari 44 suku bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 suku. Menurut Held
(1951,1953) dan Van Bal (1954), ciri-ciri yang mencolok dari Papua adalah
keanekaragaman kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut terdapat
kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka. Perbedaan-perbedaan kebudayaan yang terdapat
dalam masyarakat Papua dapat dilihat perwujudannya dalam bahasa, sistem-sistem
komunikasi, kehidupan ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan kesenian, struktur
pollitik dan struktur sosial, serta sistem kekerabatan yang di punyai oleh masing-masing
masyarkat tersebut sebagimana terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Mientje De Roembiak (1993;1) membagi kebudayaan di Papua dalam 11
kategori daerah kebudayaan berdasarkan lingkungan ekologisnya, yaitu:
1. Kebudayaan Penduduk di daerah kepualauan Pesisir Teluk Cenderawasih;

ETNOGRAFI PAPUA 32
2. Kebudayaan Penduduk Pesisir Pantai Utara;
3. Kebudayaan Penduduk Pulau-pulau Raja Ampat;
4. Kebudayaan Penduduk Kawasan Teluk Bintuni; Fakfak dan Kaimana;
5. Kebudayaan Penduduk di daerah Hutan Dataran Rendah (disekitar danau Sentani
sampai wilayah pesisir pantai menuju ke perbatasan Negara PNG)
6. Kebudayaan penduduk di daerah sungai-sungai dan rawa-rawa dibagian selatan Papua;
7. Kebudayaan Penduduk di daerah sabana di sekitas Merauke utara dan Nimboran);
8. Kebudayaan penduduk di daerah kaki Selatan pegunungan Jayawijaya;
9. Kebudayaan Penduduk di daerah punggung pegunungan Jayawijaya, daerah Arfak dan
kawasan Danau Ayamaru;
10. Kebudayaan Penduduk kawasan pedalaman sungai-sungai didaerah Mamberamo –
Rouffaer – Idenburg;
11. Kebudayaan Penduduk Papua yang telah bermigrasi ke kota dan pesisir pantai.
Peter J. Silzer dan Heija Heikinen Clouse (1991) membagi kebudayaan Papua
berdasarkan bahasa menjadi 251 bahasa. Kebudayaan-kebudayaan ini kalau di petakan
berdasarkan administrasi pemerintahan Propinsi Papua maka penyebaran kebudayaan
Papua adalah sebagai berikut:
1. Kabupaten Biak Numfor (1 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Biak
2. Kabupaten Fak-fak (21 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Arguni
2. Kebudayaan Baham
3. Kebudayaan Bedoanas
4. Kebudayaan Buruwai
5. Kebudayaan Erokwanas
6. Kebudayaan Iha
7. Kebudayaan Irarutu
8. Kebudayaan Kamberau
9. Kebudayaan Kamoro
10. Kebudayaan Karas
11. Kebudayaan Kowiai
12. Kebudayaan Mairasi
13. Kebudayaan Mor
14. Kebudayaan Mer
15. Kebudayaan Nabi
16. Kebudayaan Nduga
17. Kebudayaan Onin
18. Kebudayaan Sekar
19. Kebudayaan Semimi
20. Kebudayaan Sempan
21. Kebudayaan Uruangnirin
3. Kabupaten Jayapura (85 kebudayaan)
1. Kebudayaan Airoran
2. Kebudayaan Anus
3. Kebudayaan Awyi
4. Kebudayaan Baguasa
5. Kebudayaan Bapu
6. Kebudayaan Baso
7. Kebudayaan Bauzi
ETNOGRAFI PAPUA 33
8. Kebudayaan Berik
9. Kebudayaan Betaf
10. Kebudayaan Biritai
11. Kebudayaan Bonerif
12. Kebudayaan Bonggo
13. Kebudayaan Burmeso
14. Kebudayaan Dabe
15. Kebudayaan Dabra
16. Kebudayaan Demta
17. Kebudayaan Dera
18. Kebudayaan Doutai
19. Kebudayaan Dubu
20. Kebudayaan Emumu
21. Kebudayaan Eritai
22. Kebudayaan Foau
23. Kebudayaan Foya
24. Kebudayaan Gresi
25. Kebudayaan Isirawa
26. Kebudayaan Itik
27. Kebudayaan Kai
28. Kebudayaan Kapitiauw
29. Kebudayaan Kapori
30. Kebudayaan Kaure
31. Kebudayaan Kauwerawek
32. Kebudayaan Kayu Pulau
33. Kebudayaan Keder
34. Kebudayaan Kemtuk
35. Kebudayaan Kwansu
36. Kebudayaan Kwerba
37. Kebudayaan Kwerisa
38. Kebudayaan Kwesten
39. Kebudayaan Liki
40. Kebudayaan Mander
41. Kebudayaan Manem
42. Kebudayaan Maremgi
43. Kebudayaan Masimasi
44. Kebudayaan Massep
45. Kebudayaan Mawes
46. Kebudayaan Mekwei
47. Kebudayaan Molof
48. Kebudayaan Morwap
49. Kebudayaan Nafri
50. Kebudayaan Narau
51. Kebudayaan Nimboran
52. Kebudayaan Nopuk
53. Kebudayaan Obukuitai
54. Kebudayaan Ormu
55. Kebudayaan Orya
56. Kebudayaan Papasena
57. Kebudayaan Pauwi
ETNOGRAFI PAPUA 34
58. Kebudayaan Podena
59. Kebudayaan Samarokena
60. Kebudayaan Sangke
61. Kebudayaan Sause
62. Kebudayaan Senggi
63. Kebudayaan Sentani
64. Kebudayaan Sikaritai
65. Kebudayaan Sko
66. Kebudayaan Sobei
67. KebudayaanTabla
68. Kebudayaan Taikat
69. Kebudayaan Tarpia
70. Kebudayaan Taworta
71. Kebudayaan Tobati
72. Kebudayaan Tofanma
73. Kebudayaan Towei
74. Kebudayaan Turu
75. Kebudayaan Usku
76. Kebudayaan Waina
77. Kebudayaan Wakde
78. Kebudayaan Warembori
79. Kebudayaan Wares
80. Kebudayaan Waris
81. Kebudayaan Waritai
82. Kebudayaan Yafi
83. Kebudayaan Yamna
84. Kebudayaan Yarsun
85. Kebudayaan Yoki
4. Kabupaten Jayawijaya (27 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Biksi
2. Kebudayaan Dani (Grand Valley)
3. Kebudayaan Dani (Western)
4. Kebudayaan Eipomek
5. Kebudayaan Hupla
6. Kebudayaan Kembra
7. Kebudayaan Ketengban
8. Kebudayaan Kimki
9. Kebudayaan Kimyal
10. Kebudayaan Kopka
11. Kebudayaan Kosare
12. Kebudayaan Lepki
13. Kebudayaan Momuna
14. Kebudayaan Mukim
15. Kebudayaan Narca
16. Kebudayaan Nduga
17. Kebudayaan Ngalum
18. Kebudayaan Nggem
19. Kebudayaan Nipsan
20. Kebudayaan Pyu
21. Kebudayaan Silimo
ETNOGRAFI PAPUA 35
22. Kebudayaan Tofanma
23. Kebudayaan Una
24. Kebudayaan Walak
25. Kebudayaan Yale
26. Kebudayaan Yali
27. Kebudayaan Yetfa
5. Kabupaten Manokwari (19 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Arandai
2. Kebudayaan Dusner
3. Kebudayaan Hatam
4. KebudayaanIrarutu
5. Kebudayaan Kaburi
6. Kebudayaan Kemberano
7. Kebudayaan Maibrat
8. Kebudayaan Mantion
9. Kebudayaan Meoswar
10. Kebudayaan Mer
11. Kebudayaan Meyakh
12. Kebudayaan Moskona
13. Kebudayaan Mpur
14. Kebudayaan Nabi
15. Kebudayaan Ron
16. Kebudayaan Tanah Merah
17. Kebudayaan Tandia
18. Kebudayaan Wandamen
19. Kebudayaan Yeretuar

6. Kabupaten Merauke (42 Kebudayaan)


1. Kebudayaan Aghu
2. Kebudayaan Asmat (Causarian Coast)
3. Kebudayaan Asmat (Central)
4. Kebudayaan Asmat (North)
5. Kebudayaan Asmat (Yaosakor)
6. Kebudayaan Atohwaim
7. Kebudayaan Awyu
8. Kebudayaan Bian Marind
9. Kebudayaan Citak
10. Kebudayaan Iwur
11. Kebudayaan Kanum
12. Kebudayaan Kauwol
13. Kebudayaan Kayagar
14. Kebudayaan Kimaghama
15. Kebudayaan Kombai
16. Kebudayaan Koneraw
17. Kebudayaan Korowai
18. Kebudayaan Makleu
19. Kebudayaan Mandobo
20. Kebudayaan Marind
21. Kebudayaan Mombun
ETNOGRAFI PAPUA 36
22. Kebudayaan Momuna
23. Kebudayaan Moraori
24. Kebudayaan Muyu (North)
25. Kebudayaan Muyu (South)
26. Kebudayaan Ndom
27. Kebudayaan Nduga
28. Kebudayaan Ninggerum
29. Kebudayaan Pisa
30. Kebudayaan Riantana
31. Kebudayaan Sawi
32. Kebudayaan Siagha-Yenimu
33. Kebudayaan Tamagario
34. Kebudayaan Tamnim
35. Kebudayaan Tsak Wambo
36. Kebudayaan Wambon
37. Kebudayaan Warkay-Bipim
38. Kebudayaan Yair
39. Kebudayaan Yaqhay
40. Kebudayaan Yelmek
41. Kebudayaan Yei
42. Kebudayaan Yonggom
7. Kabupaten Paniai (21 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Auye
2. Kebudayaan Damal
3. Kebudayaan Dani (Western)
4. Kebudayaan Dao
5. Kebudayaan Dem
6. Kebudayaan Duvle
7. Kebudayaan Edopi
8. Kebudayaan Ekari
9. Kebudayaan Fayu
10. Kebudayaan Iresim
11. Kebudayaan Kirikiri
12. Kebudayaan Moni
13. Kebudayaan Mor2
14. Kebudayaan Nduga
15. Kebudayaan Tarunggare
16. Kebudayaan Tause
17. Kebudayaan Turu
18. Kebudayaan Wano
19. Kebudayaan Waropen
20. Kebudayaan Wolani
21. Kebudayaan Yaur
8. Kabupaten Sorong (22 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Abun
2. Kebudayaan As
3. Kebudayaan Amber
4. Kebudayaan Duriankere
5. Kebudayaan Gebe
ETNOGRAFI PAPUA 37
6. Kebudayaan Kais
7. Kebudayaan Kalabra
8. Kebudayaan Karon Dori
9. Kebudayaan Kokoda
10. Kebudayaan Kawe
11. Kebudayaan Konda
12. Kebudayaan Legenyem
13. Kebudayaan Maybrat
14. Kebudayaan Matbat
15. Kebudayaan Moi
16. Kebudayaan Morait
17. Kebudayaan Puragi
18. Kebudayaan Salawati
19. Kebudayaan Seget
20. Kebudayaan Suabo
21. Kebudayaan Tehit
22. Kebudayaan Yahadian

9. Kabupaten Yapen Waropen (28 Kebudayaan)


1. Kebudayaan Ambai
2. Kebudayaan Ansus
3. Kebudayaan Awera
4. Kebudayaan Barapase
5. Kebudayaan Bauzi
6. Kebudayaan Burate
7. Kebudayaan Busami
8. Kebudayaan Demisa
9. Kebudayaan Kufei
10. Kebudayaan Kurudu
11. Kebudayaan Marau
12. Kebudayaan Munggumi
13. Kebudayaan Nisa
14. Kebudayaan Papama
15. Kebudayaan Pom
16. Kebudayaan Rasawa
17. Kebudayaan Saponi
18. Kebudayaan Sauri
19. Kebudayaan Saweru
20. Kebudayaan Serui laut
21. Kebudayaan Tause
22. Kebudayaan Tefaro
23. Kebudayaan Warembori
24. Kebudayaan Waropen
25. Kebudayaan Woi
26. Kebudayaan Woria
27. Kebudayaan Woriasi
28. Kebudayaan Yawa
Dengan demikian di Papua, kalau kita memetakan kebudayaan berdasarkan
bahasa dengan pendekatan administrasi pemerintahan, maka ada sekitar:

ETNOGRAFI PAPUA 38
Kabupaten Jumlah Kebudayaan
Biak Numfor 1 Kebudayaan
Fakfak 21 Kebudayaan
Jayapura 85 Kebudayaan
Jayawijaya 27 Kebudayaan
Manokwari 19 Kebudayaan
Merauke 42 Kebudayaan
Paniai 21 Kebudayaan
Sorong 22 Kebudayaan
Yapen Waropen 28 Kebudayaan
Jumlah Kebudayaan 266 Kebudayaan*
* Jumlah kebudayaan bukan 251 karena suatu kebudayaan secara administrasi
pemerintahan, ia bisa terletak di dua, bahkan sampai tiga kabupaten.

E. Keanekaragaman Sosio-Budaya Penduduk Papua


Propinsi Papua pada waktu sekarang merupakan propinsi dengan luas wilayah
yang tersebar diseluruh repoblik Indonesia (luas propinsi Papua adalah 416.000 kilometer
persegi atau sama dengan tiga kali luas pulau Jawa). Di Propinsi yang amat luas ini
berdiam hanya sekitar 2.013.620 juta orang dengan tingkat kepadatan penduduk terjarang
di Indonesia, yaitu kurang lebih 4 jiwa per kilometer persegi (Sensus 1995). Angka-angka
ini menunjukan betapa sedikitnya jumlah penduduk di Papua. Meskipun penduduk Papua
tergolong sangat sedikit jumlahnya namun dari segi kesukubangsaan dan budaya, mereka
memperlihatkan suatu kebinekaan yang amat besardibandingkan dengan penduduk pulau
atau propinsi manapun dinegara kepulauan nusantara ini. Kebhinekaan suku bangsa di
Papua itu tercermin dalam berbagai unsur budaya seperti bahasa, struktur organisasi sosial,
sistem-sistem kepemimpinan, agama dan sistem mata pencaharian hidup berdasarkan
mintakad ekologi daerah tersebut.
a) Bahasa
Secara umum penduduk Papua dibagi dalam dua kelompok besar menurut
pembagian bahasa yang digunakannya. Adapun dua bahasa itu ialah bahasa
Austronesia dan bahasa Non-austronesia. Bahasa-bahasa yang termasuk dalam
kelompok bahasa yang disebut pertama seringkali disebut juga dengan nama bahsa-
bahasa Papua. Dua bahasa ini merupakan bahasa induk yang kedalamnya tergolong
bahasa-bahasa lokal yang terdapat di Papua. Jumlah bahasa-bahasa lokal yang ada di
papua seperti yang dilaporkan oleh ahli-ahli bahasa yang bekerja di Papua dibawah
organisasi Summer Institute for Linguistics (SIL), adalah berjumlah kurang lebih 251
buah bahasa (Silzer 1986). Oleh karena bahasa digunakan sebagai wahana untuk
berkomunikasi antara warga kelompok dan sekaligus dipakai sebagai simbol untuk
menyatakan identitas diri kelompok, maka tiap kelompok atau etnik pengujar bahasa
tertentu selalu membedakan diri mereka dari kelompok pengujar bahasa lain. Dengan
demikian dari segi kebahasaan terdapat kurang lebih 251 kelompok etnik yang
masing-masing merasakan dirinya berbeda dari kelompok-kelompok lainnya.
Pembagian bahasa berdasarkan klasifikasi bahasa-bahasa di Papua berdasarkan
familinya, maka di Papua dapat di kategori menjadi 12 kategori familinya, yaitu:
1) Trans New Guinea Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Iwur, Muyu, Ninggerum,
Yonggom, Kauwol, Ngalum, Awyu, Aghu, Pisa, Tsakwambo, Siagha-yenimu,
Mandobo, Wambon, Sawi, Korowai, Kombai, Asmat, Mombun, Koneraw,
Momuna, Ekari, Wolani, Moni, Auye, Dao, Damal, Dani, Yali, KwerbaSaberi,
ETNOGRAFI PAPUA 39
Samarokena, Massep, Mairasi, Sentani, Tabla, Nafri, Demta, Yei, Kanum, Maraori,
Yelmek, Makleu, Kimam, Kayagar, Marind, Yaghay, Iha, Baham, Mor,
Kemberano, Arandai, Kaburi, Puragi, Kais, Kokoda, Inawatan, Konda, Tor, Turu,
Mawes, Uria, Sause, Keder, Awyi, Taikat, Waris, Manem, Senggi, Waina,
Nimboran, Kemtuk, Gresi, Kwansu, Dera, Dubu, Towei, Emumu, Yafi, Yali,
Nipsan, Nalca, Kimyal, Eipomek, Ketengban, Morwab, Molof, Usku, Tofamna,
Dem.
2) West Papuan Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Tehit, Kalabra, Moi,
Moraid, Seget, Abun (Karon), Maibrat, Mpur, Hattam.
3) Geelvink Bay Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Bauzi, Tarunggare,
Barapasi, Kofei, Sauri, Bapu, Nisa, Tefaro, Demisa, Woria, Burate, Awera,
Rasawa, Saponi dan Yawa.
4) East Birds Head Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Meyakh, Moskona,
Mation.
5) Sko Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Skow dan Sangke.
6) Kwomtari Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Phyu
7) Sepik-Ramu Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Bhiksy
8) Warembori Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Warembori
9) Taurap Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah bahasa Burumeso
10) Pauwi Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah bahasa Pauwi
11) Klasifikasi bahasa Papua yang tidak diketahui
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah bahasa Duvle, Fayu,
Kirikiri, Tause, Baso, Betaf, Foya, Yoki, Yair, Kimki, Murkim, Yepki, Kembra,
Yetfa, dan Saweru
12) Austronesian Languages
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah Arguni, Bedoanas,
Erokwanas, Kowiai, onin, sekar, Uruangnirin, Anus, Bonggo, Kayu Pulau, Lik,
Masi-masi, Ormu, Podena, Sobei, Tarpia, Tobati, Wakde, Yamna, Yarsun, Dusner,
Irarutu, Meswar, Nabi, Ron, Tandia, Wandamen, Yeretuar, Biak, Ambai, Ansus,
Busami, Kurudu, Marau, Munggui, Papuma, Pom, Serui Laut, Waropen, Woi,
Woriasi, Mor2, Iresim, Yaur, Amber, Kawe, Legenyem, Matbat, Salawi, Gebe, dan
As.
F. Struktur Sosial
Struktur sosial disini mengacu pada bentuk-bentuk hubungan sosial yang menata
kehidupan bermasyarakat suatu kesatuan sosial tertentu. Bentuk-bentuk hubungan yang

ETNOGRAFI PAPUA 40
mengatur relasi atara para warga itu bersumber pada hubungan kekerabatan dan
diwujudkan dalam sistem istilah kekerabatan maupun prinsip pewarisan keturunan.
Pemahaman terhadap sistem istilah kekerabatan suatu kelompok etnis tertentu
penting sebab istilah-istilah itu mensyaratkan hak dan kewajiban yang harus diperankan
oleh masing-masing anggota kerabat terhadap anggota kerabat lain. Hak dan kewajiban itu
merupakan unsur pengikat yang menyatukan para warga kedalam suatu kesatuan sosial.
Unsur-unsur pengikat tadi tidak selalu sama pada kelompok-kelompok etnis yang berbeda.
Atas dasar studi-studi antropologi yang telah dilakukan di Papua, Power (1966)
menunjukan didalam pengelompokannya bahwa orang Papua paling sedikit dapat dibagi
dalam empat golongan berdasarkan sistem istilah kekerabatan yang dianutnya:
1. Tipe Irequois; termasuk kedalam golongan ini orang Biak, orang Iha, orang Waropen,
orang Senggi, orang Marind-Anim, orang Teluk Humboldt dan orang Mee/Ekari.
Masyarakat penganut tipe ini mengklasifikasikan anggota kerabat saudara sepupu
pararel dengan istilah yang sama dengan saudara kandung, berbeda dengan istilah
yang digunakan untuk saudara sepupu silang. Ciri lain yang biasa dipakai juga untuk
menunjukan sistem ini ialah penggunaan istilah yang sama untuk menyebut ayah
maupun untuk semua saudara laki-laki ayah dan semua saudara laki-laki ibu.
2. Tipe Hawaian; adalah suatu sistem pengelompokan yang menggunakan istilah yang
sama untuk menyebut saudara-saudara sekandung dan semua saudara sepupu silang
dan pararel. Golongan-golongan etnik yang tergolong kedalam sistem ini adalah orang
Mairasi, orang Mimika, Orang Hatam-Manikion, orang Asmat, Orang Kimam dan
Orang Pantai Timur Sarmi.
3. Tipe Omaha; adalah suatu sistem yang mengklasifikasikan saudara-saudara sepupu
silang matrilateral dan patrilateral dengan istilah-istilah yang berbeda dan istilah-
istilah untuk saudara sepupu silang itu dipengaruhi oleh tingkatan generasi dan bersifat
tidak simetris, sehingga istilah untuk anak laki-laki saudara laki-laki ibu (MBS) adalah
sama dengan saudara laki-laki ibu (MB) dan istilah untuk anak laki-laki saudara
perempuan ayah (FZS) adalah sama untuk anak laki-laki saudara perempuan (ZS).
Termasuk dalam golongan ini adalah orang Awyu, orang Dani, orang Meybrat, orang
Mek dipegunungan Bintang dan orang Muyu.
4. Tipe Iroquois-Hawaian; Termasuk golongan ini adalah Bintuni, orang Tor, dan orang
Pantai Barat Sarmi(Pouwer, 1966)
Kecuali penggolongan penduduk Papua menurut sistem istilah kekerabatan di
atas, mereka juga dapat dibedakan berdasarkan prinsip-prinsip pewarisan keturunan yang
orang Papua anut atau kenal. Ada tiga prinsip pewarisan keturunan yang dikenal diantara
orang Papua:
1. Prinsip Patrilinial; Prinsip ini dikenal dan dianut oleh orang
Meybrat, Me, Dani, Biak, Waropen, Wandamen, Sentani, Marind-Anim dan Orang
Nimboran.
2. Prinsip Bilateral; Prinsip ini dikenal dan dianut oleh masyarakat
pedalaman Sarmi
3. Prinsip Ambilateral atau Ambilineal; Prinsip ini terdapat pada
orang Mimika, orang Mapi dan orang Manikion (De Bruijin 1959:11;cf. Van der
Leeden 1954; Pouwer 1966)
Selain sifat-sifat tersebut diatas sifat lain yang dapat dijadikan unsur pembeda
adalah dikenal atau tidak dikenalnya prinsip pembagian masyarakat kedalam phatry atau
moety. Diantara orang Papua terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang membagi
masyarakatnya kedalam kelompok-kelompok moety, misalnya pada orang asmat (aipmu
dan aipem), orang Dani (waita dan waya), dan orang waropen (buriworaydan buriferai)

ETNOGRAFI PAPUA 41
tetapi ada juga yang tidak mengenal prinsip seperti itu, misalnya pada orang Muyu dan
orang Biak (Heider 1979, 1980; Mansoben 1974; Held 1947; Kamma 1972; Schoorl 1957).

g. Hak Ulayat Tanah


Sifat kemajemukan penduduk Papua itu dapat dilihat juga pada prinsip-prinsip hak ulayat
tanah yang mereka kenal. Diantara penduduk Papua bisa diklasifikasi atas dua kategori
pemilikan tanah, yaitu:
1. Terdapat kolektif-kolektif etnik yang disamping mengatur sistem hak ulayat tanahnya
melalui clan, jadi merupakan komunal; Termasuk dalam kategori ini adalah orang Dani,
orang Biak, orang Auwyu, orang Yawa dan orang Waropen.
2. Terdapat pula kolektif-kolektif lain yang mengatur hak ulayat melalui keluarga inti
atau hak individual; termasuk dalam kategori ini adalah orang Me (Pouwer 1970; Galis
1970; Schoorl 1970; Verschueren 1970; De Bruijn 1970; Ploeg 1970; cf. Lavalin
International Inc. dan PT Hasfarm Dian Konsultant 1988).

h. Sistem Politik
Ciri kemajemukan lain yang sangat penting ialah tipe-tipe sistem politi atau sistem
kepemimpinan politik yang ada pada orang Papua. Untuk mengetahui sistem-sistem politik
tradisional yang dikenal oleh orang Papua, Mansoben (1985) mengaplikasikan model
kontinum yang diajukan oleh sahlins (1963) terhadap data etnografi yang ada dan yang
telah mencatat adanya empat sistem atau tipe politik. Ke empat sistem atau tipe politik
yang dimaksud adalah:
1. Sistem Big man atau Pria Berwibawa;
2. Sistem Kerjaan;
3. Sistem Ondoafi
4. Sistem Campuran
Model analisis yang diajukan oleh Sahlins (1963) itu menggunakan garis kontinum.
Pada salah satu ujung kutub garis kontinum tersebut kita jumpai suatu sistem politik yang
ditandai ciri ascription, atau pewarisan, dan pada ujung kutub yang lain terdapat sistem
politik yang bercirikan achievment, pencapaian. Pada ujung garis kontinum yang
berdirikan pewarisan itu adalah sistem kepemimpinan yang disebut chief (kepala suku),
sedangkan ujung kutub lain dari garis kontinum yang bercirikan pencapaian itu adalah
sistem kepemimpinan yang disebut Big man (pria berwibawa).
Menggunakan dikhotomi tersebut untuk mengklasifikasikan sistem-sistem politik
yang ada di Papua, Mansoben (1985) mencatat bahwa selain sistem yang berada pada
kedua ekstrem tersebut, terdapat juga suatu sistem lain yang menampakan ciri-ciri
pencapaian maupun pewarisan, sehingga tidak dapat digolongkan secara mutlak kedalam
salah satu ekstrem. Oleh karena sifat demikian maka sistem itu disebut sistem
percampuran. Selain itu didalam sistem kepemimpinan yang bercirikan pewarisan dan
yang disebut Sahlins sebagai cief itu dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu sistem kerajaan
dan sistem ondoafi. Perbedaan pokok antara dua sistem terletak pada unsur luas jangkauan
kekuasaan dan orientasi politiknya. Uraian singkat dibawah ini memperlihatkan ciri-ciri
utama serta perbedaan-perbedaan pokok diantara sistem-sistem tersebut.
Sistem politik tradisional pertama yang akan dibicarakan disini adalah sistem politik
pria berwibawa. Ciri utama dari sistem ini ialah kedudkan pemimpin diperoleh melalui
pencapaian. Sumber kekuasaan dari tipe politik ini terletak pada kemampuan individual
yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk nyata seperti keberhasilan mengalokasi dan
mendistribusikan kekayaan (kekayaan material), kepandaian berdiplomasi dan berpidato,
keberanian memimpin perang, memiliki fisik tubuh yang berukuran besar dan tegap
ETNOGRAFI PAPUA 42
dibandingkan dengan anggota-anggota lain didalam masyarakatnya dan memiliki sifat
bermurah hati (Sahlins 1963; Koentjaraningrat 1970, 1984). Ciri kedua dari sistem politik
ini ialah pelaksanaan kekuasaan dijalankan oleh hanya satu orang saja, yaitu pemimpin itu
sendiri, jadi secara tunggal, autonomous. Contoh masyarakat pendukung ini adalah orang
Dani, orang Asmat, orang Me, orang Meybrat dan orang Muyu.
Sistem kedua adalah sistem politik kerajaan. Ciri utama dari sistem ini ialah
pewarisan kedudukan pemimpin, ascribed status. Pewarisan kedudukan disini bersifat
senioritas baik dilihat dari urutan kelahiran maupun klen. Ciri lain dari sistem ini adalah
pelaksanaan kekuasaan pada masyarakat tradisional seperti ini disebut oleh Weber
(1972:126) sebagai birokrasi patrimonial atau birokrasi tradisional, peranannya adalah
sebagai mesin politik, yaitu alat untuk menjalankan perintah-perintah dari penguasa.
Didalam birokrasi itu terdapat pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemimpin
dan para pembantu yang berperan sebagai pegawai. Seperti halnya dengan kedudukan
pemimpin yang diwariskan, disinipun kedudukan para pembantu diwariskan, Jika tidak
kepada anak yang sulung, maka kedudukan tersebut dapat dijabat oleh salah seorang
kerabat didalam klan sendiri yang memenuhi persyaratan yang dituntut. Masyarakat sistem
ini terdapat bagian barat daya Papua, meliputi kepulauan Raja Ampat, Semenanjung Onim,
Teluk MacCluer dan daerah Kaimana.
Tipe ketiga adalah sistem politik Ondoafi. Ciri-ciri utama sistem politik ondoafi
adalah pewarisan kedudukan dan birokrasi tradisional, jadi sama dengan sistem politik
kerajaan seperti yang sudah dibicarakan di atas. Namun demikian sistem ondoafi berbeda
dari sistem kerajaan disebbabkan oleh faktor-fator teritorial dan orientasi politik. Wilayah
atau teritorial kekuasaan seorang pemimpin pada sistem politik ondoafi meliputi atau
hanya terbatas pada satu Yo atau kampung saja dan kesatuan sosialnya hanya terdiri dari
satu golongan atau sub golongan saja. Sebaliknya wilayah atau teritorial yang dikuasai
oleh seorang pemimpin pada sistem kerajaan tidak terbatas pada satu kampung saja,
melainkan meliputi suatu wilayah gegrafis yang lebih luas dan didalamnya terdapat
kesatuan-kesatuan sosial berupa golongan-golongan etnik yang berbeda satu sama lain.
Perbedaan lain adalah jika pada sistem politik kerajaan pusat orientasi kekuasaannya
adalah perdagangan, maka pada sistem politik ondoafi pusat orientasi kekuasaan adalah
religi. Sistem politik ondoafi terdapat dibagian timur laut Papua, dengan masyarakat
pendukungnya masing-masing orang Sentani, orang Genyem, Penduduk Teluk Humbolt,
orang Tabla, orang Yaona, orang Yakari-Skouw dan orang Arso-Waris.
Sistem kermpat adalah sistem kepemimpinan percampuran. Ciri-ciri sistem
percampuran adalah kedudukan pemimpin diperoleh melalui pewarisan dan pencapaian.
Atau dengan kata lain, didalam sistem ini seseorang dapat menjadi pemimpin masyarakat
berdasarkan kemampuan individualnya, jadi berdasarkan prestasi dan juga berdasarkan
keturunan.
Para pemimpin yang tergolong pada golongan pertama (berdasarkan prestasi) itu
biasanya muncul pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat adanya peperangan anatara
kampung atau wilayah, atau pada saat terjadi bencana alam seperti pada musim kelaparan,
wabah penyakit atau pada saat terjadi dekadensi kebudayaan. Mereka yang tergolong
dalam kategori ini disebut sebagai pemimpin situasional, karena mereka berperan sebagai
pemimpin pada situasi-situasi tertentu yang menuntut penampilan seorang
pemimpindengan kemampuan-kemampuan khusus untuk menjawab tantangan yang terjadi
pada situasi tertentu
Kedudukan pemimpin yang didasarkan atas sifat pewarisan yang terdapat di dalam
sistem percampuran biasanya terjadi apabila masyarakat tidak mengalami berbagai macam
gangguan baik yang bersifat bencana alam maupun bukan bencana alam, misalnya
peperangan. Dalam keadaan “aman” muncul pemimpin-pemimpin yang berasal dari
ETNOGRAFI PAPUA 43
keturunan pendiri kampung. Seperti yang sudah dikemukakan di atas bahwa kedudukan ini
diwariskan dalam klen pendiri kampung, tetapi berbeda dengan sistem pewarisan
kedudukan baik pada sistem kerajaan maupun sistem ondoafi karena pada sistem
percampuran tidak dikenal “birokrasi”. Masyarakat pendukung sistem percampuran
terdapat terutama pada penduduk Teluk Cenderawasih, seperti orang Biak, orang
Wandamen, orang Waropen, orang Yawa dan orang Maya.

i. Sistem Kepercayaan dan Agama


Sebelum agama-agama besar seperti Islam dan Kristen masuk Papua, tiap
golongan etnik mempunyai sistem kepercayaan tertentu yang kita sebut saja dengan nama
sistem kepercayaan tradisi untuk membedakannya dengan agama-agama besar dari luar
yang disebut tadi. Masing-masing golongan etnik mempunyai sistem kepercayaan tradisi
masing-masing tetapi pada umumnya mereka percaya akan adanya satu dewa.atau Tuhan
yang lebih berkuasa di atas dewa-dewa yang lain. Tuhan atau dewa tertinggi itu disebut
dengan nama yang berbeda-beda, misalnya:

Dearah Kebudayaan Tuhan dalam Kepercayaan


Biak-Numfor Mansren Nanggi
Orang Moi Fun Nah
Orang Seget Fun Naha
Orang Waropen Naninggi
Orang Wandamen Syen Allah
Marind Anim Dema
Orang Asmat Mbiwiripitsy
Orang Mee Ugatame

Berbagai keterangan etnografi tentang sistem kepercayaan orang Papua menunjukan


bahwa dewa atau tuhan tertinggi itu diakui dan dihormati karena dianggap sebagai dewa
penciptayang mempunyai kekuasaan mutlak atas nasib kehidupan manusia, namun ada
juga kesan kuat bahwa kekuasaan dewa itu telah dikuasakan pada mahkluk-mahkluk yang
tidak nampak tetapi terdapat didalam unsur alam tertentu seperti misalnya angin, hujan,
dan petir atau berdiam dalam benda tertentu disekitar alam tempat tinggal manusia seperti
dalam pohon-pohon besar, dalam sungai, pusaran air sungai, dasar laut atau tanjung
tertentu.
Oleh karena mahkluk-mahkluk halus ini memiliki kekuatan yang mengontrol
kehidupan manusia, maka merekapun harus ditakuti dan dihormati. Demikianlah orang
papua selalu melakukan berbagai cara untuk menyatakan rasa takut dan hormatnya kepada
mahkluk-mahkluk halus itu melalui pemberian sesaji atau pelaksanaan ritus tertentu.
Tindakan seperti ini menyatakan pengakuan manusia terhadap kehadiran dan kekuasaan
roh-roh halus.
Orang Papua mengharapkan perbuatan seperti ini menyebabkan kekuatan-kekuatan
alam berbaik hati terhadap kehidupannya. Atau dengan perkataan lain kekuatan-kekuatan
alam itu dibujuk untuk melindungi manusia melalui upacara ritus atau pemberian sesaji.
Juga menurut kepercayaan tradisi itu, orang Papua percaya bahwa roh-roh dari orang yang
telah mati mendapat kekuatan dari dewa pencipta untuk menguasai manusia yang hidup.
Itulah sebabnya orang yang masih hidup harus menjalin hubungan baik dengan orang yang
telah mati agar mereka terlindung dari bermacam-macam malapetaka yang dapat
diakibatkan oleh roh-roh orang mati.
Di sinilah letaknya kepercayaan atau pemujaan patung korwar dan upacara mon di
daerah kebudayaan Biak-Numfor, ritus pembayaran tengkorak pada orang Meybrat atau
ETNOGRAFI PAPUA 44
upacara mbis pada orang Asmat. Sistem-sistem kepercayaan tradisi ini sudah tidak
dilaksanakan secara intensif lagi sejak penduduk memeluk agama Islam atau Kristen,
namun dalam menghadapi persoalan-persoalan mendasar yang menimpa kehidupan
manusia seperti tertimpa kecelakaan, sakit dan mati, masih banyak orang Irian mencoba
mencari jawabannya melalui sistem kepercayaan tradisi.

Agama-agama besar seperti Islam dan Kristen masuk di daerah Papua pada periode
waktu yang berbeda-beda. Agama besar pertama yang masuk di Papua adalah Agama
Islam. Agama Islam yang masuk di Papua, yaitu di daerah kepulauan Raja Ampat dan
daerah Fak-fak berasal dari Kepulauan Maluku dan disebarkan melalui hubungan
perdagangan yang terjadi antara kedua daerah tersebut. Menurut Van der Leeden
(1980:22), agama Islam masuk di kepulauan Raja Ampat ketika daerah tersebut mendapat
pengaruh dari Kesultanan Tidore tidak lama sesudah agama tersebut masuk di Maluku
pada abad ke 13. Walaupun agama Islam lebih lama masuk di daerah-daerah tersebut di
atas, namun tidak disebarkan secara luas kepada penduduk, melainkan hanya dipeluk oleh
golongan-golongan tertentu saja dalam masyarakat ialah golongan penguasa terutama di
kalangan keluarga raja-raja dan pembantunya.
Sejak masuknya agama Islam di daerah Papua hingga sekarang tidak ada usaha
penyebaran ajaran agama tersebut kepada penduduk Irian sehingga pemeluknya tetap
terbatas pada lingkungan pemeluk agama tersebut speerti pada saat permulaan. Pada tahun-
tahun terakhir ini baru ada usaha penyebaran agama Islam di luar daerah-daerah tersebut
tadi, seperti misalnya upaya yang dilakukan oleh Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS)
untuk mendirikan persekolahan umum dan pengajian bagi orang-orang Dani di daerah
Walesi, Lembah Baliem sejak tahun 1990-an. Menurut Sensus Penduduk 1990, penduduk
di Papua (penduduk asli dan penduduk yang berasal dari daerah lainnuya di Indonesia)
yang memeluk agama Islam berjumlah 405.725 jiwa atau 20,5% dari total penduduk
Papua.
Agama besar lain yang datang dari luar adalah agama Kristen, Agama Kristen masuk
di Papua pada pertengahan abad ke 19, jadi kurang lebih enam abad sesudah agama Islan
dikenal oleh sebagian besar penduduk Papua. Meskipun agama Nasrani masuk di Papua
hampir setengah abad lalu, namun penyebaran dan penerimaannya berbeda antara satu
golongan etnik lainnya, sebab ada golongan etnik yang menerima pada masa awal
penyebarannya, misalnya penduduk di Teluk Doreri, Manokwari, penduduk di sepanjang
Teluk Wandamen dan pulau-pulau yang terletak di Teluk Cenderawasih (Kamma 1953),
tetapi ada juga yang baru menerimanya tidak lebih beberapa belas tahun yang lalu,
terutama di antara di antara penduduk yang berdiam di pegunungan Tengah, misalnya
orang Mek di Lembah Selah yang baru mengenal dan menerima agama Nasrani pada tahun
1980 (Godschalk 1993:23).
Para pekabar injil Nasrani pertama yang membawa masuk agama Kristen di daerah
Papua adalah Ottow dan Geisler. Dua orang penginjil ini diutus oleh Pdt Gossner dari
Berlin, Jerman atas inisiatif Pdt. Heldring untuk pekabaran Injil di New Guinea (Kamma
1953:96). Para pekabar injil, Ottow dan Geisler, tiba di Pulau Mansinam, Teluk Doreri di
Papua pada tanggal 5 Februari 1855. Penginjil Ottow bekerja kurang lebih tujuh tahun
lamanya (1855-1962), meninggal dunia dan dikubur di Kwawi, Manokwari, sedangkan
penginjil Geisler bekerja lebih 14 tahun (1855 1870), kemudian kembali dan meninggal di
negeri asalnya, Jerman. Usaha pengkristenan yang dilakukan oleh Ottow dan Geisler, yang
pada mulanya kurang berkembang itu, kemudian dilanjutkan oleh pendeta-pendeta Belanda
yang diutus oleh badan pekabaran injil bernama Utrechtsche Zendings Vereniging (UZV)
yang tiba di Mansinam pada tahun 1862.

ETNOGRAFI PAPUA 45
Meskipun upaya pengkristenan pada limapuluh tahun pertama kurang berhasil, hal
ini dapat dilihat pada jumlah orang yang dibaptis hanya berjumlah 260 orang saja (Kamma
1953:101), namun limapuluh tahun berikutnya terjadi perubahan besar sebab banyak orang
Papua menerima agama Kristen. Pada tahun 1956 orang Papua mendirikan suatu gereja
yang berdiri sendiri Gereja Kristen Injili (GKI) dan waktu sekarang Gereja Kristen Injili di
Papua merupakan Gereja yang paling besar jumlah anggotanya dibanding engan gereja-
gereja Protestan lainnya. Kegiatan Gereja Kristen Injil di Papua pada waktu sekarang
meliputi delapan wilayah pelayanan dan 24 klasis.
Pekabaran agama Nasrani di Papua yang diawali oleh badan Zending Utrechtsche
Zendingsvereniging pada pertengahan abad lalu itu kemudian disusul oleh berbagai aliran
gereja Protestan lainnya seperti Unevangelized Field Mission (UFM) yang mulai
pekabarannya di daerah belakang Jayapura pada tahun 1951, aliran Gereja Pantekostan
Bethel di Sorong pada pertengahan tahun 1930 – an, Christian and Missionary Alliance
(CMA) di Enarotali (Danau-Danau Paniai) pada tahun 1939, Gereja Baptis di daerah
Inanwatan dan Ayamaru pada tahun 1940-an, Regions Beyond Missionary Union (RBMU)
pada tahun 1952 dan Gereja Protestan Maluku di Fak-fak pada tahun 1930 (Kamma
1953:112-130).
Pada waktu sekarang, selain badan gereja-gereja tersebut di atas, bermacam-macam
aliran gereja protestan lainnya seperti gereja Advent, Gereja Pantekosta Indonesia, Jahova,
Gereja Alkitab Indonesia dan Gereja Kemah Injil Masehi Indonesia juga bekerja di Papua.
Hasil pengkristenan yang dimulai kurang lebih satu setengah abad laludi Papua oleh
bermacam-macam aliran gereja protestan, menurut sensus penduduk tahun 1995, jumlah
penduduk papua beragama kristen adalah 1.130.021 orang atau 57% dari total penduduk
Papua yang menjadi dari anggota gereja-gereja protestan tersebut (Sensus Penduduk 1980,
Seri I, BPS, Jakarta).
Berbeda dengan agam kristen protestan yang melalui pekabaran injilnyadibagian
utara Papua, maka agama Roma Khatolik melakukan misi pekabaran injilnya di bagian
selatan Papua. Kegiatan misi Roma khatolik di bagian selatan Papua ditandai oleh
kedatangan Pastor Le Cocq d’Armandville S.J. di Kapaur dekat Fak-Fak pada tahun 1894.
Le Cocq d’Armandville S.J. adalah Pastor Yesuit pertama yang diutus oleh ordo Yesuit
yang sudah bekerja satu abad sebelumnya di daerah lain dikepulauan Indonesia untuk
membuka lapangan pekabaran injil di Nieuw Guinea, Ia tidak bekerja lama di daerah
tersebut sebab satu tahun kemudian tenggelam di daerah Mimika dalam satu perjalanan
orientasinya, menyebabkan berhenti untuk sementara waktu.(Verschueren 1953;183).
Meskipun ada beberapa kunjungan yang dilakukan oleh para misionaris Yesuit di
daerah Merauke antara 1892 dan 1902, namun kegiatan resmi misi Roma Khatolik di
daerah ini dimulai pada tahun 1902 ketika ordo Misi Hati Kudus (Missionarissen van het
Heilige Hart) dari negeri Belanda yang perwakilannya berkedudukan di Langgur,
Kepulauan Kei, mendapat hak untuk melakukan kegiatan misi di daerah tersebut.
Sungguhpun demikian kegiatan misi baru dilakukan secara nyata setelah dua orang pastor
bersama dua orang broeder tiba di Merauke pada tanggal 14 Agustus 1905 (Verschueren
1953: 183).
Kegiatan misi yang dimulai di daeran Merauke itu relatig lebih cepat berkembang
dengan kegiatan zending dibagian utara Papua, karena dalam kurun waktu lebih 50 tahun,
telah menjadi vikariat sendiri pada tahun 1920, kemudian berkembang menjadi dua
vikariat, masing-masing vikariat merauke pada tahun 1950 dan vikariat Holandia
(Jayapura) pada tahun 1954. Perkembangan lebih lanjut adalah pembagian daerah Papua
menjadi tiga wilayah administrasi keuskupan pada tahun 1966, masing-masing Keuskupan
Agung Merauke (meliputi daerah Merauke), Keuskupan Jayapura (meliputi daerah
Jayapura, Wamena, Mimika dan Paniai) dan Keuskupan Menokwari (meliputi daerah
ETNOGRAFI PAPUA 46
Manokwari, Sorong dan Fak-Fak). Selain itu terbentuk juga keuskupan Agats pada tahun
1969. Pembagian keuskupan seperti tersebut diatas didasarkan atas ordo yang melakukan
kegiatan misi di daerah tertenut. Dengan demikiandaerah keusukupan Agung Merauke
merupakan daerah kerja Ordo Hati kUdus (MSC), Keuskupan Jayapura merupakan daerah
kerja Ordo Fransiskan, Ordo Fransiscanen Missionaries (OFM), daerah Keuskupan
Manokwari merupakan daerah kerja Ordo Agustinus (OSA) dan Keuskupan Agats
merupakan daerah kerja Ordo Salib Suci, Ordo Sacred Cross (OSC).
Hasil upaya pengkristenan yang dilakukan oleh misi Roma Katolik di daerah Papua
selama hampir satu abad lamanya dapat dilihat pada jumlah pemeluk agama Roma Katolik
yang ada. Menurut Sensus Pendudukan 1995 jumlah orang Irian yang memeluk agama
Kristen Roma Katolik adalah sebanyak 430.011 jiwa tau 21,80% daro total penduduk
Papua.
Sejak tahun 1960-an agama Hindu dan agama Budha masuk juga di Papua, tetapi
para pendukungnya berasal dari suku-suku bangsa di luar Papua yang datang bekerja
sebagai pegawai pemerintah atau swasta. Jumlah pemeluk agama Budha pada tahun 1995
adalah 2.702 orang atau 0.13% dari pemeluk agam Hindu sebanyak 3.644 orang atau
0.18% dari pemeluk agama di Papua.
Uraian diatas tadi menunjukkan kepada kita bahwa aspek agama menambah dimensi
kemajemukan (diversitas) orang Irian yang terdiri dari berbagai etnis atau suku-suku
bangsa itu. Di satu pihak aspek agama tertentu (misalnya Islam atau Kristen Protestan)
menyatukan para anggotanya yang berasal dari berbagai golongan etnis ke dalam satu
kesatuan umat agama, tetapi pada pihak yang lain justru agama memecahkan anggota-
anggota datu satu golongan etnis ke dalam umat yang berbeda-beda berdasarkan agama
yang dipeluknya.

j. Pemerintahan dan Ketenagakerjaan


Selain keanekaragaman penduduk Papua menurut ciri-ciri yang telahdisebutkan
diatas, jika kita memperhatikan penduduk Papua berdasarkan tempat tinggal menurut
wilayah pemerintahan, persebaran penduduk dan pencari kerja maka keadaannya adalah
seperti berikut di bawah ini.
Pemerintah daerah Propinsi Papua yang merupakan tempat tinggal orang Irian terdiri
dari 10 daerah tingkat II, ditambah satu kota administrasi (Sorong) dan tiga kabupaten
administrasi (Timika, Paniai dan Puncak Jaya) yang selanjutnya terbagi ke dalam 170
kecamatan dan 2232 desa/kelurahan.
Selanjutnya jika kita melihat persebaran penduduk menurut tempat tinggal di kota
dan di desa, maka jumlah penduduk Papua pada tahun 1995 yang berjumlah 2.031.620
orang itu tersebar menjadi 562.500 orang (27%) bertempat tinggal di daerah perkotaan,
sedangkan 1.494.450 orang (73%) bertempat tinggal di pedesaan. Angka-angka di atas ini
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Papua tinggal di desa.
Lebih lanjut jika kita memperhatikan jumlah angkatan tenaga kerja penduduk
berumur diantara 10-65 tahun di Papua, menurut Biro Statistik Propinsi Papua adalah
Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan tahun 1999 sebanyak 81.232 orang, dan
jumlah yang mendaftarkan pada tahun 1999 sebanyak 7.319 orang.
Jumlah pencari kerja berdasarkan registrasi pencari kerja yang terdapat di Kanwil
Tenaga Kerja dan pencari kerja tersebut belum ditempatkan sebagai berikut:

No Pendidikan Jumlah Persen


1. SLTP ke bawah 12.214 15,04
2. SLTA Umum 22.865 28,15
3. SLTA Kejuruan 37.092 45,67
ETNOGRAFI PAPUA 47
4. Sajana Muda 2.622 3,23
5 Sarjana 6.439 7,93
Jumlah 81.232 100
Sumber: Perencanaan Tenaga Kerja Daerah Propinsi Papua 2000/2001
Dari pencari kerja yang mendaftarkan tahun 1999 baru barhasil ditempatkan 2.753
orang.
k. Pandangan Hidup
Nilai budaya yang bermanifestasi dalam bentuk etika, moral, peraturan, hukum dan
aturan-aturan khusus yang menjadi pedoman bai manusia itu berbeda dari satu masyarakat
kebudayaan dengan masyarakat kebudayaan lainnya. Apa yang dianggap bernilai tinggi
oleh masyarakat kebudayaan A belum tentu dianggap baik oleh masyarakat kebudayaan B.
Apa yang dianggap patut dipatuhi oleh masyarakat kebudayaan C belum tentu dianggap
penting untuk dipatuhi oleh masyarakat kebudayaan Dv demikian seterusnya. Bermacam-
macam pandangan dari kebudayaan-kebudayaan yang berbeda terhadap apa yang dinilai
baik dan apa yang dinilai tidak baik, menurut model analisis yang diajukan oleh
Kluckhohn dan Stodbeck (1961), secara universal, bersumber dari konsepsi yang berbeda
terhadap lima hal atau prinsip dasar. Kelima prinsip dasar itu adalah:
1. Konsepsi terhadap hakekat hidup. Semua kebudayaan di dunia ini, niscaya memiliki
konsep tentang apa yang disebut hidup. Apa arti hidup ini, apa tujuannya dan bagaimana
menjalaninya. Biasanya agama-agama memberikan tuntunan terhadap seseorang
sehingga terbentuk persepsinya terhadap hakekat hidup itu. Terhadap hakekat hidup,
terdapat bermacam-macam tanggapan, ada memandang dan menanggapi hidup ini
sebagai kesengsaraan yang harus diterima sebagai ketentuan yang tak dapat dihindari:
sebagai hidup untuk menebus suatu dosa; sebagai kesempatan untuk menggembirakan
diri; menerima sebagaimana adanya; dan berbagai tanggapan lainnya.
2. Konsepsi terhadap karya manusia. Tanggapan tentang arti karya terdapat banyak variasi
yang ditampilkan oleh berbagai kebudayaan. Ada yang memandang karya atau bekerja
itu sebagai sesuatu yang memberikan suatu kedudukan yang terhormat dalam
masyarakat atau mempunyai arti bagi kehidupan; bekerja itu adalah pernyataan tentang
kehidupan; bekerja adalah intensifikasi dari kehidupan untuk menghasilkan lebih
banyak kerja lagi; dan berbagai macam konsepsi lainnya yang menunjukkan bagaimana
manusia hidup dalam kebudayaan tertentu memandang dan menghargai karya itu.
3. Konsepsi terhadap alam. Bagaimana manusia harus menghadapi alam, juga terdapat
persepsi yang berbeda-beda menurut tiap-tiap kebudayaan. Ada yang memandang alam
ini sebagai sesuatu yang potensial dapat memberikan kehidupan yang bahagia
bagimanusia dengan mengolahnya; ada yang memandang alam ini sebagai suatu yang
harus dipelihara keseimbangannya sehingga harus diikuti saja hukum-hukumnya; ada
yang memandang alam ini sebagai sesuatu yang sakral dan maha dahsyat sehingga
manusia itu pada hakekatnya hanya bisa bersifat menyerah saja dan orang harus
menerima sebagaimana adanya tanpa berbuat banyak untuk mengolah alam; dan
berbagai tanggapan lainnya.
4. Tanggapan terhadap waktu. Ada berbagai tanggapan tentang soal waktu menurut
masing-masing kebudayaan. Ada tanggapan bahwa yang sebaik-baiknya adalah masa
lalu yang memberikan pedoman kebijaksanaan dalam hidupnya; ada yang beranggapan
bahwa orientasi ke masa depan itulah yang terbaik untuk kehidupan ini. Dalam
kebudayaan serupa itu perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat penting.
Sebaliknya adapula kebudayaan-kebudayaan yang hanya mempunyai suatu pandangan
waktu yang sempit, mereka memandang waktu sekarang adalah waktu yang terpenting.
Warga dari kebudayaan serupa itu tidak akan memusingkan diri dengan memikirkan
ETNOGRAFI PAPUA 48
zaman yang lampau maupun masa yang akan datang. Mereka hidup menurut keadaan
yang ada pada masa sekarang ini.
5. Tanggapan terhadap sesama manusia. Ada kebudayaan-kebudayaan yang menanamkan
pada warga masyarakatnya pandangan-pandangan terhadap sesama manusia bahwa
hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya adalah amat penting. Dalam pola
kelakuannya, manusia yang hidup dalam kebudayaan serupa itu akan berpedoman
kepada tokoh-tokoh pemimpin dan orang-orang senior, sehingga orang atasan selalu
dijadikan panutan bagi warganya. Ada yang menanamkan pandangan bahwa hubungan
horizontal antara manusia dengan sesamanya sebagai yang terbaik. Orang dalam suatu
kebudayaan serupa itu akan merasa tergantung kepada sesamanya, dan usaha untuk
memelihara hubungan baik dengan tetangganya dan sesama kaum kerabat dianggap
amat penting dalam hidup. Sebaliknya ada kebudayaan yang berorientasi bahwa
menggantungkan diri pada orang lain adalah bukan hal yang baik. Dalam kebudayaan
serupa itu individualisme amat dipentingkan dan sangat menghargai orang yang
mencapai banyak tujuan dalam hidupnya dengan hanya sedikit bantuan dari orang lain.
Kelima prinsip diatas dijadikan alat untuk memeriksa dan mengukur sikap seseorang
atau masyarakat tertentu dalam menghadapi kehidupan di dunia ini, dalam dunia yang
sedang mengalami perubahan dari yang lama kepada yang baru dan dari kehidupan yang
sederhana kepada kehidupan yang kompleks, pendeknya kehidupan dalam suatu dunia yang
sedang membangun.
Bertalian dengan lima prinsip yang menjadi dasar orientasi seperti yang sudah
dibicarakan diatas, Koentjaraningrat mencatat bahwa nilai-nilai budaya yang dianggap
penting karena merupakan aset budaya yang dapat dipakai untuk menunjang pembangunan
adalah: (1) nilai budaya yang berorientasi ke masa depan; (2) nilai budaya yang berhasrat
untuk mengexplorasi lingkungan alam; (3) nilai budaya yang menilai tinggi hasil dari karya
manusia; (4) nilai budaya yang menghargai usaha orang untuk mencapai hasil atas usaha
sendiri (Koentjaraningrat 1974: 38-42)

l.Nilai Budaya Orang Papua


Sekarang marilah kita melihat secara umum orientasi nilai budaya yang manakah
baik dan yang manakah kurang dalam kebudayaa-kebudayaan orang Irian untuk kepentingan
pembangunan berdasarkan kerangka tersebut diatas. Tentu saja dalam makalah ini tidak
akan diberikan suatu uraian yang lengkap dan mendetail sebab di satu pihak akan menjadi
sangat panjang dan akan menyita waktu yan memang tidak tersedia dalam kegiatan seperti
yang kita hadapi bersama sekarang di tempat ini, dan pada pihak yang lain hal itu tidak
mungkin dilakukan mengingat amat besarnya diversitas kebudayaan di Papua. Oleh karena
itu beberapa contoh yang akan dikemukakan di sini amat bersifat umum. Namun demikian
diharapkan sifat keumuman itu dapat memberikan suatu gambaran kepada kitan tentang
nilai-nilai budaya apa yang ada dan relevan bagi pembangunan pada masa sekarang
sehingga harus dilestarikan dan nilai-nilai budaya manakah yang memang cocok dengan
pembangunan tetapi belum dimiliki sehingga diupayakan agar dimiliki serta nilai-nilai
budaya manakah yang ada tetapi tidak cocok dengan pembangunan sekarang sehingga harus
dihindari.
Nilai budaya yang berorientasi ke masa depan adalah suatu nilai budaya yang
mendorong manusia untuk melihat dan merencanalan masa depannya dengan lebih seksama
dan teliti, dan oleh karena itu akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan untuk
berhemat. Kita semua tahu bahwa sifat hemat yang meluas amat perlu untuk memungkinkan
suatu bangsa menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk mengakumulasi modal. Jika
kita mempelajari berbagai keterangan etnografi yang telah ada tentang kebudayaan-
kebudayaan di Papua, kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa orientasi serupa itu
ETNOGRAFI PAPUA 49
tidak dijumpai pada kebudayaan-kebudayaan di Papua. Memang ada beberapa suku bangsa
di Papua yang mengenal prinsip akumulasi modal, seperti misalnya orang Meybrat, orang
Mee dan orang Muyu, namun modal yang telah diakumulasi itu dipakai habis untuk
penyelenggaraan upacara-upacara adat seperti upacara inisiasi (pada orang Mee), upacara
pemakaman kembali (pada orang Muyu) dan upacara pembayaran tengkorak (pada orang
Meybrat). Adanya kecenderungan umum untuk selalu menyelenggarakan upacara-upacara
baik yang bersifat ritus maupun pesta biasa dalam suasana meriah yang berlebihan sehingga
menghabiskan tenaga dan biaya besar pada orang Irian, guna mendapat nama baik
dikalangan kaum kerabat sendiri ataupun diantara kenalan-kenalan, menunjukkan tidak
adanya orientasi ke masa depan. Mental dan sikap untuk menghabiskan tenaga dan modal
seperti tersebut di atas tidak cocok untuk pembangunan di masa sekarang. Sebaliknya
upacara-upacara meriah yang tentu menelan biaya besar itu dihindari dan dengan demikian
ada kemungkinan untuk menabung guna masa depan.
Selanjutnya orientasu nilai budaya yang berhasrat mengeksplorasikan lingkungan
alam dan kekuatan-kekuatan alam yang akan menambah inovasi, terutama inovasi teknologi.
Pembangunan yang memerlukan usaha mengintensifkan produksi tentu tak bisa tidak harus
memanfaatkan teknologi yang makin lama main disempurnakan. Penggunaan teknologi
asing tidak bisa begitu saja kita pakai, tetapi memerlukan suatu adaptasi yang seksama.
Usaha mengadaptasi teknologi juga memerlukan suatu mentalitas yang selain menilai tinggi
hasrat bereksplorasi, juga menilai tinggi mutu dan ketelitian.
Berbagai kajian tentang kebudayaan-kebudayaan di Papua menunjukkan bahwa
orientasi nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam guna
berinovasi kurang menonjol. Hal ini bersumber pada kepercayaan tradisional yang sampai
sekarang belum hilang sama sekali dalam banyak kebudayaan di Papua bahwa di alam
sekitar tempat hidup manusia terdapat kekuatan-kekuatan gaib yang harus ditakuti dan
dihormati karena mengontrol kehidupan manusia, menyebabkan suatu nilai budaya yang
tidak aktif terhadap lingkungan alam. Di satu pihak pandangan untuk harus hidup harmonis
dengan lingkungan alam adalah baik karena searah denga pandangan globalisasi sekarang
yang berwawasan lingkungan, namum dipihak lain pandangan tersebut mematikan daya
cipta orang untuk berinovasi. Walaupun ada pengetahuan tentang produk-produk alam
tertentu misalnya jenis-jenis tanaman atau tumbuhan tertentu yang dapat digunakan untuk
pengobatan tradidional, namun pengetahuan serupa itu biasanya terbatas dalam lingkungan
keluarga sendiri atau dalam kelompok tertentu daja dan tidak dikembangkan dan
disempurnakan sebagai pengetahuain umum yang berguna bagi kepentingan bersama.
Walaupun ada hasrat untuk memanfaatkan sumber-sumber alam dalam berbagai aktivitas
ekonomi, namun kegiatan-kegiatan itu terbatas hanya pada tingkat kepentingan keluarga
inti, kalau lebih tinggi hanya sampai pada tingkat keluarga luas saja, tetapi tidak ada upaya
ke arah peningkatan yang lebih tinggi yangmencakup masyarakat secara keseluruhan.
Meskipun pada umumnya kebudayaan-kebudayaan di Papua menunjukkan apa yang
diuraikan di atas, tetapi toh ada beberapa kebudayaan, terutama kebudayaan-kebudayaan di
Teluk Cenderawasih, menunjukkan adanya orientasi nilai budaya yang berhasrat
mengeksplorasi lingkungan alam. Orientasi seperti ini dapat dilihat misalnya pada
penjelajahan pelayaran dilakukan ke berbagai tempat yang jauh letaknya, baik di kawasan
pesisir pantai di Papua sendiri maupun ke tempat-tempat yang letaknya di kepulauan
Maluku dan Sulawesi. Nilai orientasi demikian menyebabkan dikembangkannya tekonologi
pembuatan perahu yang baik sehingga mampu digunakan untuk mengarungi lautan yang
luas dan dikembangkannya sistem pengetahuan navigasi yang tinggi memungkinkan mereka
untuk melakukan pelayaran-pelayaran yang jauh.
Menilai tinggi usaha atau karya orang yang dapat mencapai hasil, sedapat mungkin
atau usahanya sendiri adalah sautu manisfestasi dari orientasi nilai budaya menghargai karya
ETNOGRAFI PAPUA 50
manusia. Sikap untuk menilai tinggia usaha seseorang dalam masyarakat mendorong orang
untuk mengintensifkan usahanya sedapat mungkin untuk memberikan hasil yang lebih baik.
Hal ini disatu pihak menumbuhkan rasa percaya diri untuk berdiri sendiri dan berkarya
sendiri dan pada pihak lain menimbulkan tumbuhnya rasa tanggung jawab.
Menurut catatan kita diatas orientasi seperti ini penting sebab berguna bagi
pembanguna. Apabila kita menggunakan unsur budaya sistem kepemimpinan tradisional di
Papua sebagai “pintu masuk” untuk memahami kebudayaan-kebudayaan orang Irian, kita
akan menjumpai bahwa orientasi nilai budaya menilai tinggi upaya orang terapdat pada
banyak kebudayaan di Papua. Misalnya pada orang Meybrat, orang Mee, orang Muyu, orang
Dani dan orang Asmat yang mengenal kepemimpinan tradisional yang dalam kajian-kajian
antropologi dan sosiologi dikenal dengan sebutan sistem big man atau pria berwibawa.
Dalam kebudayaan-kebudayaan itu kita jumpai bahwa kedudukan pemipin didasarkan atas
usaha perorangan. Dalam kebudayaan orang Meybrat, seorang yang berhasil dalan upayanya
untuk melaksanakan dan mengintensifkan sistem pertukaran kain timur berupacara sangat
dihargai oleh masyarakatnya. Wujud nyata dari penghargaan itu adalah pengakuan terhadap
orang yang berhasil sebagai pemimpin masyarakat, disebut bobot. Jadi kedudukan pimpinan
dalam masyarakat ditentukan berdasarkan kemampuan usaha seseorang, keduduk seperti ini
disebut kedudukan upaya pencapaian (achieved status). Demikian pula halnya dalam
kebudayaan orang Mee, disamping pandai berdiplomasi, bermurah hati dan jujur seseorang
yang berhasil terutama dalam bidang ekonomi (mempunyai banyak kebun yang luas, banyak
“uang” yang terdiri dari kulit kerang atau courie sheel , memelihara banyak babi dan
mempunyai banyak isteri sangat dihargai dan diakui sebagai pemimpin dalam masyarakat.
Orang seperti itu disebut tonowi dan sonowi, yang bearti pemimpin dan orang kaya.
Orientasi menilai tinggi usaha prang terdapat juga pada orang Muyu. Hal ni dapt dilihat pada
penghargaan yang diberikan kepada seseorang untuk menduduki posisi pemimpin, kayepak,
dalam masyarakat karena keberhasilan usahanya untuk menyelenggarakan upacara pesta
babi yang menjadi fokus kebudayaan orang Muyu.
Juga orientasi nilai budaya menghargai usaha orang terdapat pada kebudayaan orang
Dani dan orang Asmat. Pada orang Dani maupun pada orang Asmat upaya seseorang untuk
menampilkan dan mengukuhkan diri sebagai seorang pemimpin perang sangat dihargai dan
dinilai tinggi sebab perang merupakan sarana untuk memperlancara berbagai aktivitas
kehidupan manusia, baik yang bersifat kegiatan ekonomi maupun upacara-upacara ritus.
Penghargaan terhadap orang-orang yang berhasil menjadikan dirinya pemimpin perang
adalah pengakuan masyarakat terhadap mereka bukan saja sebagai pemimpin perang tetapi
juga pemimpin masyarakat.
Orientasi nilai budaya serupa terdapat juga pada berbagai suku bangsa yang terdapat
di kawasan Teluk Cenderawasih, seperti orang Biak, orang Waropen, penduduk pulau
Yapen, dan orang Wandamen, yang menurut pembagian tipe sistem kepemimpinan di Papua
mengenal suatu sistem kepemimpinan yang disebut tipe pecampuran, mixed type
(Mansoben, 1994). Disamping kedudukan pemimpin yang didasarkan atas pewarisan,
ascribement, tolok ukur untuk menempatkan seseorang sebagai pemimpin dalam masyarakat
adalah kemampuan berupaya dalam bentuk nyata seperti keberhasilan dalam bidang
ekonomi, keberanian memimpin perang, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih
luas dari warga masyarakat lain. Keberhasilan seseorang untuk memiliki kualitas-kualitas
tersebut diatas menyebabkan penilaian tinggi yang bermanifestasi dalam bentuk pengakuan
terhadap orang yang bersangkutan untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat.
Dalam kebudayaan-kebudayaan ini berkembang suatu sikap bersaing untuk merebut
suatu kedudukan atau untuk mencapai hal tertentu, menyebabkan bahwa orientasi nilai
budaya menghargai upaya atau karya manusia sangat cocok untuk pembangunan.

ETNOGRAFI PAPUA 51
Selanjutnya kajian-kajian antropologi tentang kebudayaan-kebudayaan di Papua
menunjukan bahwa ada dua macam persepsi tentang hubungan manusia dengan manusia
menurut kerangka Kluckhohn. Pertama adalah kebudayaan-kebudayaan yang sangat kuat
berorientasi vertikal. Hal ini terutama terdapat pada kebudayaan-kebudayaan yang mengenal
system kepemimpinan berbentuk kerajaan, seperti misalnya kebudayaan-kebudayaan yang
terdapat di semenanjung Onin dan daerah Kowiai serta Kepulauan Raja Ampat dan
kebudyaan-kebudayaan yang mengenal system Kepemimpinan Kepala Klan atau
kepemimpinan Ondoafi yang didukung oleh suku-suku bangsa yang berdiam di bagian timur
laut Papua, misalnya orang Tabla, Orang Skow, Orang Nimboran, orang Sentani dan
penduduk Teluk Yos Sudarso.
Menurut Tradisi seorang pemimpin dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut di atas
adalah turuunan moyang mitos yang berperan sebagai mediator untuk menjaga hubungan
antara duunia nyata dengan dunia gaib, menyebabkan sang pemimpin dianggap sakti dan
oleh karena itu kekuasaannya bersifat Magis. Kedudukan demikian menyebabkan adalanya
nilai yang terlampau berorientasi vertical kea rah sang pemimpin, atasan, orang yang senior
dan yang selalu dimintai restu terlebih dahulu sebelum berbuat sesuatu.
Nilai yang berorientasi vertical kea rah atasan, menurut Koentjaraningrat, akan
mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri dan akan menyebabkan timbulnya sikap tak
percaya pada diri sendiri. Nilai seperti tiu juga akan menghambat tumbuhnya rasa disiplin
pribaaadi yang murni, karena orang hanya taat kalau ada dpengawasan dari atas, tetapi akan
merasa tak terikat lagi kalau pengawasan tadi menjadi kendor atau pergi. Akhirnya nilai
yang terlampau berorientasi ke arah atasan akan juga mematikan rasa tanggungjawab
sendiri, tetapi akan menimbulkan rasa condong untuk selalu melemparkan tanggungjawab
ke atas, kalau tidak bisa untuk selalu membagi tanggungjawab itu dengan orang lain
sehingga rasa tanggungjawab itu menjadi sekecil mungkin (Koentjaraningrat;1974;41).
Sungguhpun orientasi nilai budaya itu menyebabkan timbulnya mentalitas tidak disiplin,
tidak berinovasi, tidak percaya diri dan tidak bertanggungjawab, kurang cocok untuk
pembangunan, namun disisi lain ada sisi positif , yaitu para pemimpin dan para senior dalam
masyarakat akan mempermudah partisipasi rakyatnya dalam pembangunan asal saja di satu
pihak mereka bersedia dan pada pihak yang lain ada kesediaan dari pelaksana program
untuk melibatkan mereka berperan aktif dalam program-program pembangunan.
Kedua, bahwa ada kebudayaan-kebudayaan di Papua yang sangat kuat berorientasi
horizontal. Dalam kebudayaan-kebudayaan seperti ini, misalnya pada orang Biak hubungan
antara warga dalam kelompok kekerabatan amat kuat menyababkan kepentingan kelompok
kekerabatan lebih diutamakan dari kepentingan individu. Diantara para warga kelompok
kekerabatan terdapat perasaan solidaritas yang amat tinggi yang didasarkan pada pandangan
“pars-prototo” artinya sebagian berarti keseluruhan. Pada demikian menimbulkan rasa aman
pada diri warga kelompok kekerabatan karena akan selalu dibantu pada waktu mengalami
kesulitan. Sebaliknya pandangan ini menimbulkan kewajiban untuk terus menerus berusah
memelihara hubungan baik sesamanya dan sedapat mungkin membagi keuntungan-
keuntungan dengan sesamanya. Prinsip membagi keuntungan dengan sesame para anggota
kerabt ini tentu saja tidak memberi peluang bagi orang untuk mengakumulasi modal guna
kepentingan dihari depan. Dengan demikian orientasi Horisontal yang amat kuat tidak cocok
untuk pembangunan.
Suatu masyarakat bisa menerima berbagai program pembangunan yang diterapkan
pemerintah pada mereka apabila terdapat keselarasan pikiran, pandangan dan saling
menghargai antara pemerintah dan masyarakat. Memahami dan memanfaatkan alam pikiran
suatu masyarakat yang menjadi acuan mereka dalam berperilaku, merupakan kunci untuk
menciptakan keadaan adil dan makmur bagi penduduk asli Papua.

ETNOGRAFI PAPUA 52
Dalam tulisan J. Boelars (1987 ; 75-80), mengungkapkan bahwa system nilai budaya
orang Papua dalam kaitannya dengan pembangunan dapat disebutkan sebagai berikuti
(terutama ia hanya melihat nilai tertinggi dalam kepribadian masing-masing suku di Papua):
Identitas itu di lihat dari partisipasi kedalam kehidupan alam semesta yang dihayati
dan dicapai melalui berbagai jalan.

SUKU BANGSA IDENTITAS


Marind Menghayati partisipasi itu dalam kehidupan seksual
melalui jalan kesuburan.
Yahray Menghayatinya dalam proses pembauran courage-
to-be melalui jalan keberanian.
Asmat Menghayatinya dalam hubungan timbal-balik antara
orang-orang hidup dan mati melalui jalan keadilan.
Muyu Menghayatinya dalam sikap pantang mundur dan
dapat disebut sebagai jalan menggunakan
kemungkinan-kemungkinan yang masih diberi.
Dani Menghayatinya dalam mempertahankan pola hidup
nenek moyang mereka melalui jalan gengsi yang
diperoleh dari kaidah-kaidah tradisional.
Ayfat Menghayatinya dengan menegaskan unsur-unsur
kejantanan dan kewanitaan dalam kosmos ini jalan
seluruh permainan kehidupan sosial dan komersial.
Ekari Menghayatinya dalam memanipulasi kekuatan-
kekuatan jasmani rohani dengan sepragmatis
mungkin

m.Etos Kerja
Konsep etos kerja mengandug pengertian tentang nilai yang melandasi norma-norma
social tentang kerja. Dalam pengertian umum etos kerja dapat diartikan sebagai semangat
kerja ysng menjadi cirri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok. Dengan demikian
konsep ini mengacu pada watak dasar suatu masyarakat yang diwujudkan dalam norma
social berupa penilaian tinggi terhadap kerja. Dengan perkataan lain pengertian ini mengacu
pada kegiatan-kegiatan produktif yang dapat menghasilakan sesuatu untuk dinikmati.
Penilaian demikian menyebabkan bahwa orang tidak melakukan suatu kegiatan produktif
untuk dinikmati hasilnya dinilai mempunyai status social yang rendah.
Oleh karena konsep tersebut mempunyai pemahaman yang berkaitan dengan
kegiatan yang menghasilkan sesuatu untuk dinikmati hasilnya, terutama dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasar manusia agar tetap mempertahankan hidupnya, maka
pemahaman kita tentang etos kerja suatu kelompok tertentu dapat dicapai melalui pengertian
kita tentang kegiatan-kegiatan produktif apa yang dilakukan oleh setiap orang atau
kelompok dalam rangka mempertahankan dan melanjutkan hidupnya. Bertolak dari dasar
pemikiran di atas, etos kerja orang Papua dapat kita pahami melalui kegiatan-kegiatan apa
yang dilakukan oleh mereka untuk mempertahankan hidupnya.
Pada bagian yang membicarakan diversitas kebudayaan orang Papua dalam makalah
ini, seperti yang telah diuraikan di atas, dijelaskan bahwa kegiatan yang menyangkut system
ekonomi orang Papua sangat ditentukan oleh lingkungan atau mintakad ekologi yang ada di
daerah ini. Misalnya penduduk yang bertempat tinggal di daerah berawa menjadikan
meramu sagu sebagai kegiatan atau usaha ekonomi utama mereka. Berbeda dengan
penduduk yang hidup di daerah pegunungan tinggi dan dataran kaki-kaki bukit yang

ETNOGRAFI PAPUA 53
menjadikan bercocok tanam sebagai usaha ekonomi utama mereka. Perbedaan jenis usaha
ekonomi ini sangat mempengaruhi bentuk etos kerja masing-masing kelompok
Pada kelompok-kelompok masyarakat yang tergolong dalam masyarakat peramu
seperti misalnya orang Asmat, orang Komoro, orang Waropen, orang Bauzi, orang Inawatan
yang hidup di dataran rawa-rawa dan yang sangat menggantungkan hidupnya pada usaha
ekonomi berbentuk meramu sagu, mempunyai etos kerja yang berbeda dengan penduduk
Papua lainnya yang menggantungkan hidupnya pada usaha ekonomi berladang. Etos kerja
pada kelompok peramu orang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar sesaat saja.
Atau lebih jelas lagi dapat dikatakan orang bekerja untuk menghasilakan makanan yang
cukup untuk kebutuhan saat itu juga atau cukup untuk makan satu hari saja.
Etos kerja seperti ini dilandasi oleh pemikiran dasar bahwa tujuan hidup ini adalah
untuk dinikmati. Dengan demikian menurut pandangan mereka, untuk apa harus bersusah
payah untuk mengumpulkan berlebihan jika yang telah dikumpulkan memang sudah cukup
untuk dinikamati. Pandangan demikian cukup beralasan sebab tiap keluarga yang berfungsi
sebagai kelompok produksi dalam masyarakat peramu melakukan hal yang sama, tidak
terdapat diverensiasi kerja, sehingga masing-masing keluarga itu secara ekonomi berddiri
sendiri, tidak tergantung dari keluarga atau kelompok produksi lain.
Penekanan kerja pada kelompok peramu adalah mengumpulkan hasil yang telah
tersedia di alam, belum pada tingkat usah untuk memproduksi dan memelihara produksi
yang telah dihasilakan.
Etos kerja seperti ini dapat dirubah jika diciptakan diferensiasi kerja diantara mereka
dengan memanfaatkan potensi-potensi yang tersidia dilingkungan alam setempat. Disamping
itu perlu diberikan bantuan –bantuan yang dapat memudahkan mereka terlibat dalam
ekonomi pasar seperti misalnya memberdayakan mereka untuk dapat beralih dari usaha
mengumpulkan hasil yang telah tersedia di alam kepada tingkat usaha untuk memproduksi
dan memudahkan terjualnya hasil-hasil yang telah diproduksi di pusat-pusat pasar.
Memberdayakan penduduk untuk memanfaatkan potensi alam yang tersedia guna
ekonomi pasar disini berarti memperkenalkan sekaligus mendidik penduduk untuk
menggunakan teknologi tepat guna dalam mengolah sumberdaya alam yang tersedia guna
ekonomi pasar.
Berbeda dari etos kerja yang terdapat pada penduduk peramu, maka etos kerja pada
penduduk yang menggantungkan hidupnya adalah orang bekerja bukan untuk memenuhi
kebutuhan saat ini tetapi orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan diwaktu mendatang.
Kegiatan membuka sebidang lahan menjadi lading, memerlukan suatu proses yang
lama mulai dari membersihkan/menebang pohon, menanam, merawat, menyiangi, sampai
pada saat memanen hasil. Keseluruhan proses ini memerlukan waktu bervariasi antara enam
sampai sepuluh bulan, kadang-kadang lebih dari sepuluh bulan, tergantung dari jenis
tanaman yang diusahakan.
Fase kerja melalui proses yang panjang mulai dari saat membuka suatu lahan baru
sampai pada saat memanen hasilnya membutuhkan ketekunan dan kerajinan kerja
seseorang. Hal ini menunjukan bahwa etos kerja pada penduduk peladang di Papua dapat
dikategori sebagai etos kerja keras. Hal ini dibenarkan oleh berbagai kajian antropologi dan
sosiologi tentang etos kerja pada penduduk peladang di Papua.
Meskipun dikatakan bahwa pada penduduk berladang terdapat etos kerja yang keras,
namun harus dicatat bahwa ukuran etos kerja keras itu hanya pada batas pemenuhan
kebutuhan ekonomi rumah tangga sendiri, bukan untuk kebutuhan ekonomi pasar.
Penekanan terhadap kerja untuk masa depan seperti yang terdapat pada masyarakat
peladang ini sesungguhnya merupakan modal positif. Persoalannya sekarang ialah
bagaimana memberikan stimulasi yang dapat memacu tingkat etos kerja yang sudah ada
menjadi lebih tinggi lagi, untuk mengakumulasi hasil, yang lebih banyak lagi untuk
ETNOGRAFI PAPUA 54
keperluan pasar yang pada gilirannya akan menghasilkan modal yang dapat digunakan untuk
pengembangan lebih lanjut.
Kecuali bentuk-bentuk etos kerja penduduk Papua, seperti yang terungkap di atas,
satu hal yang perlu pula dikemukakan disini karena mempunyai keterkaitan dengan etos
kerja adalah tentang sifat bersaing yang terdapat pada orang Papua.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian lain dalam makalah ini bahwa sebagian
besar kelompok-kelompok etnik papua seperti misalnya orang Meybrat, Orang Me, orang
Muyu, orang Biak, dan penduduk Waropen dan Serui di teluk cenderawasih serta orang
Dani, memiliki sifat bersaing yang amat kuat di antara mereka.
Mereka bersaing untuk menjadi orang yang terpandang dalam kalangan mereka
sendiri seperti menjadi orang terkaya, orang yang paling pandai berdiplomasi, orang yang
paling pandai menyusun strategi perang, menjadi orang yang paling tahu tentang masalah-
masalah adapt, paling pandai berorganisasi atau paling kuat dalam ilmu sihir. Penjelasan di
atas menunjukan bahwa sifat bersaing, suatu sifat yang memang dinilai amat baik dalam
kehidupan modern, dimiliki oleh orang lain.
Seperti sudah disebutkan diatas bahwa etos kerja merupakan nilai yang mendorong
semangat kerja seseorang atau kelompok orang. Selaing mengungkapkan etos kerja orang
Papua berikut ini kami juga menyajikan etos kerja antara orang Papua dengan orang
Pendatang yang tinggal di Papua.

n. Kepribadian Orang Papua dan Orang Pendatang


Dalam memahami kepribadian orang Papua, perlu juga kita bandingkan dengan
kepribadian orang Pendatang, agar bisa memahami kepribadian itu dari segi keuntungan dan
kerugian dalam berpartisipasi dalam pembangunan. Kepribadian itu bisa dikaji dari aspek
sikap terhadap alam semesta dan sikap terhadap sesama.
1. Sikap terhadap alam semesta (Aspek ekonomis)
Masyarakat Papua Masyarakat Pendatang
Gaya hidup konsumtif artinya memenuhi Hidupnya bersifat produktif dalam suatu
kebutuhan secepat mungkin yaitu pada dunia yang mereka ciptakan sendiri lebih
hari yang sama. Ini artinya dunia yang dahulu. Dengan memakai perencanaan
sesaat dan setempat itulah yang mereka jangka panjang, mereka menikmati
nikmati. penghasilan dengan sangat prihatin. Jadi
mereka mencapai pemuasan yang tidak
langsung.
Memecahkan masalah dalam situasi Memecahkan masalah dalam situasi gawat
gawat dengan berpindah tempat.Mereka dengan sikap bertahan dan tetap tinggal
tertarik pada suatu cara hidup yang “tak ditempat yang semula. Ini berarti membuat
terjamin” dan “penuh sensasi”. mereka berkembang dalam memelihara dan
memperbaiki nasib dengan tabah dan tekun,
dengan disiplin dan bertahan dalam kerja
rutin.
Dalam merebut rezeki sehari-hari, ia Bersandar pada kolektivitas atau
berdiri sendiri tidak menggantungkan diri kebersamaan dalam hal produksi dan
pada bantuan orang lain (kecuali dalam konsumsi bahan resekinya. Jadi dalam hidup
keadaan darurat). Individualis. berkelompok ia merasa diri terjamin dan
aman sentosa.

2. Sikap terhadap lingkungan sesama


Penduduk Asli Penduduk Pendatang
ETNOGRAFI PAPUA 55
Menilai sesama berdasarkan prinsip Mengharapkan bantuan teman berupa
bermanfaat atau tidak. Ikatan akan sesama materi atau tenaga, akan tetapi hal ini
tidak didasarkan akan kebutuhan akan didasarkan atas kebutuhan akan hubungan.
kebersamaan, melainkan kebutuhan akan
keadaan darurat.
Pergaulan horisontal dengan kawan dan Menjunjung tinggi kebersamaan,
vertikal dengan atasan berjalan sesuai kekeluargaan dan keramahtamahan,
dengan kebutuhan yang sewaktu dan mengakui atasan sebagai faktor pemersatu
setempat. Orang tidak merasa terikat oleh yang mutlak. Rela berkorban untuk
siapapun. Hanya demi survival suatu kepentingan umum.
ikatan diperlukan. Atasan hanya diakui
selama ia memperlihatkan kemahirannya,
tetapi jika ia berlagak otoriter atau
bertindak dengan sewenang-wenang akan
dibunuh atau disingkirkan. Rela berkorban
untuk kepentingan sendiri.

o. Sistem Mata Pencaharian Hidup dan Lingkungan Ekonomi


Wilayah Papua yang luasnya kurang lebih 3,5 kali pulau Jawa secara ekologis terdiri
atas empat zona yang masing-masing menunjukan diversifikasi terhadap sistem mata
pencaharian mereka berdasarkan kebudayaan dan sebaran suku bangsa- suku bangsanya.
Menurut Malcoln dan Mansoben (1987;1990), kelompok etnik yang beraneka ragam di
Papau tersebar pada empat zona ekolog yaitu : (1) zona ekologi rawa dan Swampy Areas,
Daerah Pantai dan Muara Sungai atau Coastal & Riverine, (2) Zona Ekologi Daerah
Pantai atau Coastal Lowland Areas, (3) Zona Ekologi kaki-kaki gunung serta lembah-
lembah kecil atau Foothills and Small Valleys, dan (4) Zona Ekologi Pegunungan Tinggi
dan Highlands.
Orang-orang Papua yang hidup pada zaman mitakat atau zona ekologi yang berbeda
ini mewujudkan pola-pola kehidupan yang bervariasi sampai kepada berbeda satu sama
lainnya. Penduduk yang hidup di Wilayah zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara
sungai sebagaimana terdapat di (1) Jayapura (teluk Humboldt : Skou, Yotefa, Imbi, Tanah
Merah : Ormu, Tbla, Demta; Pantai Utara : Bonggo, Podena, Yarsum, Betaf; Tor : Mander,
Berik, Kwersupen; Sarmi : Kwerba, Isirawa, Sobei, Samarokena, Masep Mamberamo :
Warembori, Pauwe, Wawerek, Bauzi, Nopuk; Sentani : Sentani, Dosai, Maribu), kelompok
suku-suku bangsa ini semuanya mempunyai mata pencaharian utama sebagai peramu sagu
dan sebagai pendamping kebun kecil, menangkap ikan (sungai dan laut). (2) Yapen
Waropen (Mamberamo Barat: Karema, Nita; Waropen : Sauri, Waropen, Kofei, Tefaro,
Siromi, Baropasi, Bonefa; kelompok suku bangsa ini mempunyai mata pencaharian
sebagai peramu sagu, kebun kecil, menangkap ikan disungai dan dilaut. Krudu : Krudu,
Munggui, Marau, Pupui; kelompok suku bangsa ini mempunyai mata pencaharian utama
sebagai peramu sagu, ditambah dengan kebun kecil, menangkap ikan disungai dan laut
sebagai pendamping. (3) Biak Numfor; dengan mata pencaharian sebagai peramu sagu,
ladang berpindah dan menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping. (4) Paniai ;
Nabire : Windesi, Mor, Yaur, Mer, Yeretuar, kelompok ini bermata pencaharian utama
ladang berpindah dengan pendamping meramu sagu, menangkap ikan di sungai dan laut.
(5) Manokwari : Roon, Mioswar, Rumberpon, Wandamen, Arfak : Mantion, Hatam, Borai;
Amberbaken, kelompok ini bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah, dan
ETNOGRAFI PAPUA 56
pendamping menangkap ikan disungai dan laut. Sedangkan Bintuni : Tanah Merah, Babo,
Arandai, Kemberano, Meninggo, Kaburi, kelompok ini bermata pencaharian utama
meramu sagu, ladang berpindah, menangkap ikan dilaut dan sungai sebagai pendamping
(6) Sorong : Karon bermata pencaharian utama ladang berpindah, menangkap ikan
disungai dan laut sebagai pendamping; Moi : bermata pencaharian utama ladang
berpindah-pindah, meramu sagu dan menangkap ikan disungai dan laut sebagai
pendamping. Raja Ampat : Kawe, bermata pencaharian utama meramu sagu dan
menangkap ikan dilaut dan sungai serta kebun kecil sebagai pendamping. Sedangkan orang
Maya, Beser/Biak, Matbat bermata pencaharian utama meramu sagu, ladang berpindah-
pindah serta menangkap ikan dilaut dan sungai sebagai pendamping. Seget; Teminabuan :
Kalabra, Tehit, Kon, Yahadian, Kais; Inanwatan : Suabau, Puragi, Kokoda, kelompok ini
bermata pencaharian utama meramu sagu, kebun kecil serta menangkap ikan di laut dan
sungai sebagai pendamping. (7) Fakfak : Onin, Iha, Karas, Baham, Buruwai; Kaimana :
Mairasi, Semini, Koiwai bermata pencaharian utama meramu sagu, menangkap ikan dilaut
dan sungai sebagai pendamping; Arguni : Kamberau, Irarutu, Mairasi bermata pencaharian
utama meramu sagu, berkebun kecil serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai
pendamping. Mimika : Kamoro bermata pencaharian utama, meramu sagu, berkebun kecil,
menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping. (8) Merauke; Asmat, Awyu,
Yagai Citak bermata pencaharian utama meramu sagu dan berkebun kecil serta menangkap
ikan di laut dan sungai sebagai pendamping. Kimaam : Riantana, Kimaghama, Koneraw;
Marind-anim : Yab-anim, Maklew-anim, Kanum-anim, Bian-anim bermata pencaharian
meramu sagu dan kebun kecil, serta menangkap ikan disungai dan lut sebagai pendamping.
Adapun wilayah yang masuk dalam zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil (1)
Jayapura, Nimboran : Genyem, Nimboran, Kemtuk Gresi; Arso;Waris; Foya dan Uta
bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan
berburu sebagai pendamping. (2) Peniai dengan suku bangsa Timorini : Dou, Kiri-kiri,
Turu, Taori-Kei fayu bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta
menangkap ikan di sungai dan berburu sebagai pendamping. (3) Manokwari dengan suku
bangsanya Arfak : Hatam, Meyah, mantion/Sough; Amberbaken bermata pencaharian
utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan disungai dan berburu serta beternak
babi sebagai pendamping. (4) Sorong dengan suku bangsanya karon, Madik, Meibrat,
Maroid bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta ternak babi, menangkap
ikan disungai dan berburu sebagai pendamping. (5) Fakfak dengan suku bangsa Fakfak :
Baham, Irarutu, Amungme, bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah, beternak
babi dan menangkap ikan disungai serta berburu sebagai pendamping. (6) Merauke dengan
suku bangsa Muyu, Mandobo bermata pencaharian utama ladang berpindah, beternak babi
dan berburu serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.
Adapun wilayah yang penduduknya berada pada zona daerah pantai umumnya
bermata pencaharian utama meramu sagu dan menangkap ikan dilaut serta berkebun kecil
dan berburu sebagai pendamping. Disamping itu pula ada upaya lain berupa berdagang.
Sedangkan penduduknya termasuk wilayah zona pegunungan dengan suku bangsa
Paniai : Ekari bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta beternak Babi dan
berburu sebagai pendamping. Jayawijaya, Dani, Mek, Ketengban, Ngalum bermata
pencaharian utama ladang menetap serta beternak babi dan berburu sebagai pendamping.
Lingkungan ekologi yang berpengaruh terhadap pola-pola adaptasi yang tercermin
didalam sistem mata pencaharian meliputi sistem teknologinya juga berpengaruh terhadap
aspek-aspek budaya lain seperti misalnya organisasi sosial dan sistem ideologi atau sistem
kepercayaannya. Didalam sistem organisasi sosial, misalnya di zona ekologi pegunungan
tengah kita jumpai penduduk yang hidup dalam rumah-rumah besar dalam hubungan-
hubungan keluarga luas dengan jaringan luas dan sistem klen, gabungan klen dan federasi
ETNOGRAFI PAPUA 57
yang kompleks (Dani). Sebaliknya pada zona ekologi muara sungai, kepulauan dan pesisir
pantai, kita jumpai penduduk yang hidup dalam keluarga-leluarga inti kecil (rata-rata 4
sampai 5 individu) yang amat bersifat individualistis. Disamping kedua tipe masyarakat
yang berbeda karena ekologi alam yang berlainan itu, terdapat berbagai masyarakat yang
organisasi sosialnya menampakkan sifat-sifat yang berbeda diantara sifat-sifat dari kedua
kelompok atau tipe yang disebut pertama. Penduduk yang hidup di Mintikat ekologi muara
sungai dan dataran pedalaman. Mereka ini hidup dalam keluarga-keluarga yang lebih (rata-
rata 10-15 individu). Contoh lain sebagaimana dikatakan oleh J. Van Baal, bahwa orang
Papua yang hidup dari meramu sagu umumnya menyelenggarakan upacara-upacara
keagamaan yang lebih meriah dibandingkan dengan orang Papua yang makan umbi-
umbian. Implikasinya ialah kompleksitas sistem ritus dan keagamaan pada orang Papua
yang berbeda dipengaruhi oleh lingkungan alam yang berbeda. Implikasi lainnya yaitu
menurut V. De Bruijn bahwa mobilitas penduduk Biak Numfor untuk berlayar dan
berdagang, mengayau kapal jauh sampai ke Indonesia Timur, Maluku, Sulawesi dan
akhirnya menetap pada berbagai tempat di pantai utara Papua, Kepala Burung, Kepulauan
Raja Ampat dan Halmahera.
Hal ini mengakibatkan sistem pengetahuan bintang dan teknologi membuat perahu
yang besar kuat bertahan lama yang mengakibatkan terjadinya perubahan mata
pencaharian berupa berdagang melalui pelayaran.

p. Demografi: Urbanisasi Dan Marginalisasi


Pertumbuhan penduduk di Papua sebenarnya sangat pesat. Ini terlihat pertumbuhan
penduduk dari tahun ke tahun. Penduduk tahun 1980 adalah 1.173.875 orang sampai tahun
1994 jumlah penduduk Papua 1.892.200. Hanya dalam waktu 14 tahun, penduduk Irian
bertambah 61.2% dari seluruh jumlah penduduk ini. Pertumbuhan yang sangat pesat ini
disebabkan oleh beraneka ragam faktor, antara lain sebagai berikut:
1. Faktor pertumbuhan alami, yakni hasil perbedaan angka kematian dan angka
kelahiran. Untuk propinsi Papua, angka ini besarnya sekitar 2,8% pertahun.
2. Faktor perpindahan penduduk dari daerah lain ke Papua. Pemindahan ini sengaja
dilakukan pemerintah melalui program transmigrasi. Dewasa ini jumlah transmigrasi ke
Papua rata-rata sekitar 6000 KK per tahun. Setiap KK beranggotakan rata-rata 3,9
jiwa.
3. Faktor perpindahan penduduk secara spontan dari pulau-pulau lainnya ke tanah
Papua. Dalam hal ini mereka bisa disebut para in-migran. Jumlahnya sekitar 10.000
orang per tahun.
4. Pertumbuhan penduduk juga bisa terjadi karena faktor administratif, yakni
perbaikan metode registrasi penduduk. Dalam hal ini , secara administrasi terjadi
perbaikan metode pencatatan sehingga jumlah penduduk yang tidak terhitung dalam
metode lama bisa masuk dalam hitungan.

a) Transmigrasi
Sekitar 20% pertambahan penduduk adalah hasil kedatangan orang-orang dari luar
tanah Papua. Angka ini menurut perkiraan saya masih rendah, angka sebenarnya jauh
lebih tinggi. Dari tahun 1964 sampai 31 Maret 1996 jumlah transmigran yang datang
ke Papua sebanyak 240.722. Berarti ada 12,66% dari jumlah penduduk di
Papua.Pelaksanaan program transmigrasi tahun 1964 sampai 1980 orientasinya hanya
mempatkan orang-orang dari daerah padat ke daerah yang kurang penduduk. Hal ini
mendapat kritikan cukup keras baik dari dalam maupun luar negri terutama terhadap
dampak politis dan kultural yang dibawa oleh program transmigrasi seperti Jawanisasi
dan manfaat program ini untuk penduduk setempat. Sejak tahun 1980 an orientasi
ETNOGRAFI PAPUA 58
program transmigrasi diarahkan kepada apa yang dinamakan Second stage
development. Artinya, program yang dilakukan adalh memperbaiki atau
mengambangkan lebih lanjut pemukiman-pemukiman yang telah ada. Namun pola
second stage Development ini juga sudah mulai di tinggalkan. Akjir-akhir ini program
transmigrasi bentuk lama yang pernah diterapkan dijalankan lagi dengan full speed.

b) Imigran
Jumlah inmigran spontan cukup tinggi (lebih kurang sekitar 80%), mereka
menetap di daerah perkotaan. Mereka bergerak disektor ekonomi nonformal
(perdagangan), disektor birokarasi dan administrasi pemerintah serta disektor
formal seperti konstruksi dan pemborong bangunan.
Jumlah inmigran makin hari makin bertambah. Pertambahan paling pesat terjadi
dalam tahun-tahun terakhir ini. Ini dimungkinkan karena kemudahan transportasi.
Disamping itu ada beberapa hal yang sangat menarik untuk diperhatikan dalam
soal kedatangan para inmigran. Sebagian besar inmigran yang datang di Papua adalah
mereka yang berpendidikan rendah. Kenyataan ini memiliki konsekuaensi yang sangat
serius bagi perimbangan ekonomi dan tenaga kerja yang dimiliki penduduk pribumi.
Sebagian besar lahan ekonomi dan lapangan kerja yang seharusnya dimiliki penduduk
pribumi akhirnya direbut oleh para inmigran ini. Kenyataan inilah yang pada akhirnya
menciptakan iklim sosial yang konfliktif dan mempertebal kepekaan primordial
masyarakat pribumi.
Kelompok inmigran cenderung untuk menetap didaerah daerah dimana terdapat
peluang ekonomi secara nyata. Pada tahun 1980 jumlah penduduk di kota yang tidak
lahir di Papua telah mencapai angka 30% dari seluruh jumah penduduk perkotaan.
Namun, pada tahun 1987 jumlah penduduk perkotaan yang tidak lahir di Papua telah
mencapai sekitar 65% dari seluruh jumlah penduduk yang menghuni daerah
perkotaan. Angka ini diperkuat kembali oleh Intercensal Survey yang dilakukan pada
tahun 1987. Dua per tiga dari seluruh jumlah penduduk yang tidak lahir di Papua.

c) Kemajemukan Etnis
Dari gambaran di atas terlihat jelas bahwa masyarakat Papua semakin majemuk
warnanya. Ini terjadi khususnya di daerah-daerah perkotaan, dimana berbagai
kelompok etnis harus hidup berdampingan..
Kemajemukan etnis ini menuntut perubahan sikap masing-masing orang dan
golongan. Perjumpaan antar kelompok etnis sering kali memunculkan masalah.
Keunikan kebudayaan yang dimiliki etnis tertentu seringkali ditafsirkan secara
berbeda oleh kelompok etnis lain. Bahkan adakalanya keunikan budaya tersebut
dirasakan mengganggu dan mengancam eksistensi kelompok lain. Kadangkala,
masing-masing kelompok menganggap kebudayaannya sendirilah “yang paling baik”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan yang positif hanya dapat diharapkan
jika terdapat keseimbangan antara beragam kebudayaan etnis tersebut. Ini dapat
tercapai jika terdapat penghargaan atas identitas masing-masing kelompok.
d) Marjinalisasi Sejumlah Kelompok
Perkembangan pesat sejumlah kota terutama jayapura dan sorong menuntut
adanya public service yang memadai menyangkut perumahan, air minum, sarana
angkutan, sarana persekolahaan dan pembinaan pastoral (keagamaan), penyediaan
lapangan kerja, kebutuhan untuk berpartisipasi dalam struktur pemerintahan, dan laon
sebagainya.

ETNOGRAFI PAPUA 59
Ternyata kebutuhan yang digambarkan secara singkat diatas tidak dapat dipenuhi
dengan baik. Akibatnya, keadaan dikota-kota yang sedang tumbuh semakin lama
semakin ditandai dengan terjadinya persaingan sengit untuk memperebutkan peluang-
peluang ekonomi yang jumlahnya terbatas. Dalam proses persaingan ini akan ada
pihak yang kalah dan menang. Dari pihak yang kalah ini akan muncul “kelompok-
kelompok masyarakat termarjinalkan” oleh kompetisi yang sengit itu. Persaingan
demikian ini hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang telah cukup dibekali dengan
pendidikan, ketrampilan, dan keterbukaan budaya untuk “mampu bersaing”.
Karena tidak dapat bertahan dalam suasana persaingan yang sengit tersebut,
sejumlah orang makin hari makin pindah ke pinggiran kota. Malah ada kemungkinan
mereka ini akan digeser ke luar kota. Dengan demikian mereka akan kehilangan segala
peluang untuk berkembang dan untuk turut berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Tidaklah mengherankan jika justru kelompok pribumi yang dari dulu sudah mendiami
daerah kota atau yang menjadi migran dari daerah pedalaman paling terwakili dalam
kelompok-kelompok yang sedang menjadi kelompok pinggiran/marginal tersebut.

q. Kebudayaan: Peluang Atau Ancaman


a. Keadaan Sosial-budaya Secara Umum
Sekitar 55% seluruh penduduk Papua digolongkan orang Pribumi. Mereka
memiliki variasi kebudayaan yang sangat menonjol, yaitu adanya 252 ragam bahasa
yang dipakai oleh berbagai suku. Selain perbedaan bahasa, perbedaan antar suku juga
meliputi perbedaan dalam organisasi sosial, pola kepemimpinan, pola pemukiman dan
sistem ekonominya.
Sering terdengar bahwa masyarakat Papua masih sangat terbelakang.
Sesungguhnya ungkjapan demikian memiliki konotasi yang tidak terlalu positif karena
tidak jelas apa tolok ukur yang dipakai untuk menentukan keterbelakangan tersebut.
Penilaian demikian itu seringkali hasil dari sikap etnosentris orang-orang yang datang
dari luar. Sudah barang tentu pemakaian cap yang demikian itu tidak membantu
tumbuhnya pengertian yang baik dan konstruktif terhadap kondisi sosial budaya
masyarakat Papua.

b. Sejumlah Nilai Budaya Yang Ditantang Pengertian akan “Pekerjaan”


Dalam masyarakat Papua adalah menjalankan suatu pekerjaan hanya dinilai dalam
suatu kerangka fungsional. Artinya pekerjaan dijalankan sejauh dinilai perlu untuk
mencapai sesuatu. Pekerjaan tidak mempunyai arti dalam diri sendiri. Oleh karena itu
konsep kerja dalam kebudayaan masyarakat Papua sangat berbeda dengan konsep kerja
yang dimiliki oleh orang barat modern. Bagi orang Barat, kerja adalah eksistensi
manusia. Dengan kata lain “orang harus tetap sibuk, harus tetap mengerjakan sesuatu,
karena jika tidak berbuat apa-apa, akibatnya akan tidak baik bagi manusia”. Konsep
kerja seperti itu tentu saja kurang masuk akal bagi penduduk pribumi Papua. Orang-
orang Papua umumnya senang bersantai, mengisi waktu luang dengan bercerita satu
sama lain. Sehingga konsep kerja yang dimiliki oleh kebudayaan Papua tidak bisa
dikaitkan dengan efisiensi.Orang papua amat mudah meninggalkan pekerjaannya bila
merasa disekitarnya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Tentulah pemaknaan
masyarakat pribumi teerhadap kerja seperti itu sangat memusingkan banyak pengusaha
atau tenaga kerja dari kebudayaan lain, terutama yang ingin menjalankan suatu proyek.
Keputusan untuk melibatkan masyarakat pribumi kedalam usaha-usaha atau proyek-
proyek sepenuhnya didasarkan atas pertimbangan efisiensi. Karena itu, ada kesenjangan
antara nilai kerja orang papua dengan nilai efisiensi. Yang dipakai sebagai ukuran
dalam pengerjaan suatu proyek.
ETNOGRAFI PAPUA 60
c. Pengertian akan waktu
Oleh kebanyakan masyarakat Papua waktu tidak dinilai sebagai sesuatu yang
“berharga “. Jumlah waktu dinilai sebagai sesuatu yang tak terbatas sehingga tidak
menjadi soal penting jika waktu diboroskan. Secara tradisional, orang Papua umumnya
tidak mengenal pembagian waktu. Misalnya satu hari bisa dibagi kedalam tiga periode
waktu: waktu kerja waktu istirahat dan waktu rekreasi. Pendeknya tidak ada waktu
untuk bekerja secara intensif, untuk bersantai, dan waktu untuk bercerita panjang lebar
atau istirahat. Bagi orang Papua suatu pekerjaan lasimnya tidak dijalankan secara
perorangan namun merupakan peristiwa sosial. Karena itu sulit diharapkan masyarkat
pribumi akan mudah menempatkan diri dalam suatu irama pembagian waktu yang
tajam. Sikap ini juga terkait dengan lama bekerja, sikap untuk menepati janji, dan lain-
lain. Pendeknya orang kurang menghargai waktu.

d. Pengertian akan Tanah.


Tanah merupakan dasar hidup setiap orang, baik untuk tempat tinggal maupun
diolah untuk menghasilkan sesuatu yang berarti secara ekonomis. Bagi masyarakat
tradisional tanah memiliki makna yang sangat berbeda dibandingkan dengan
masyarakat yang hidup dalam tata ekonomi modern.
Dalam pengertian masyarakat pribumi di Papua tanah adalah milik kelompok.
Akan tetapi dalam hal ini kelompokpun harus dilihat secara luas. Konsep kelompok
tidak meliputi mereka yang hidup sekarang saja, melainkan termasuk juga mereka yang
saat ini belum lahir. Oleh karena itulah tanah juga memiliki fungsi sebagai jaminan
kelangsungan hidup kelompok. Tanah adalah milik “abadi” suatu kelompok yang tidak
dapat dialihtangankan. Tanah hanya dapat dipinjamkan untuk sementara waktu kepada
pihak ke tiga untuk “dipakai”.
Dalam konsep ini, tanah dihayati sebagai bagian integral dari kepribadian
seseorang. Nilai terhadap tanah adalah “tanpa tanah saya tidak ada”. Dalam masyarakat
Papua ikatan batin terhadap tanah sangat kuat namun tanah tidak dipandang sebagai
sesuatu yang suci. Kesucian itu justru terletak pada hubungan batin antara orang dengan
tanahnya.
Pengertian atas tanah seperti diungkapkan di atas, pastilah akan bertabrakan
dengan pengertian atas tanah sebagai “barang ekonomis belaka”. Tidak terlalu
mengherankan jika sangat banyak perkara tanah yang dihadapi dewasa ini di Papua.
Memang ada banyak transaksi jual-beli atau pengalihan kepemilikan tanah. Namun ada
perbedaan persepsi yang sangat tajam antara konsep transaksi dipihak pembeli dan
penduduk pribumi.

e. Pengertian akan Jaminan sosial


Terdapat mekanisme sosial untuk menjamin hidup para anggotanya, termasuk
yang kurang mampu. Sikap kesetiakawanan sosial macam ini sudah menjadi darah
daging setiap warga masyarakat dan akan dibawah kemana-mana sekalipun mereka
pindah jauh dari kampung asalnya. Kesetiakawanan sosial muncul jika salah satu
anggota mengalami kesulitan, biasanya bersifat primordial. Mental seperti ini tidak
membuat orang menjadi mandiri karena sekalipun kekurangan toh ada yang menjamin
hidupnya.

f. Pengertian akan perencanaan Jangka panjang.


Dalam masyarakat Papua perencanaan jangka panjang dalam pengertian masyarakat
modern, bukan merupakan suatu mental yang hidup dalam masyarakat tradisional
ETNOGRAFI PAPUA 61
Papua. Orientasinya adalah subsistens artinya apa yang diperoleh dipergunakan untuk
hari ini hari esok akan dicari lagi.

r. Kebudayaan Suatu Kekayaan Atau Hambatan


Berhadapan dengan dunia dan kebudayaan modern, membuat orang selalu bertanya-
tanya apakah kebudayaan yang dimiliki penduduk pribumi merupakan suatu kekayaan atau
justru hambatan? Persoalan ini sangat substansial untuk dikaji. Selain itu juga penting
untuk menghindari penilaian yang terlalu memudahkan persoalan (simplistis), bahkan
etnosentris, terhadap masyarakat yang masih secara ketat memelihara tradisinya.
Sejumlah hal yang menjadi “kekayaan” budaya milik orang Papua di atas sering
dianggap sebagai penghambat dalam proses transformasi sosial. Namun, secara jujur perlu
diajukan pertanyaan sejauh manakah sebagian dari nilai-nilai tradisional tadi perlu
dihilangkan? Sejauh manakah pengertian tentang kemajuan, pembangunan, modernisasi
juga dapat dipersoalkan sehubungan dengan nilai-nilai yang hedak dipromosikan untuk
mengganti nilai-nilai tradisional tersebut? Tidak mustahil bahwa pengertian yang lazim
mengenai kemajuan dan pembangunan secara tidak langsung akan melenyapkan berbagai
macam kekayaan yang masih dimiliki masyarakat tradisional. Sementara itu masyarakat
modern sesungguhnya sudah tidak lagi mengenal kekayaan tersebut. Seluruh pengertian
yang biasa mengenai kemajuan pada gilirannya juga diwarnai nilai-nilai yang berat sebelah
dan patut dipersoalkan secara kritis, sebelum dijadikan tolok ukur terhadap nilai-nilai
masyarakat tradisional.
Cap bahwa masyarakat Papua adalah “masyarakat yang terbelakang” yang serba
miskin, yang serba tidak tahu”, sering didengungkan baik dimedia masa, pemerintah
maupun swasta. Cap ini senantiasa diucapkan berulang-ulang dalam berbagai kesempatan
sampai-sampai setiap orang mulai menerima seakan-akan kenyataannya memang demikian
sehingga “kepunahan nanti” diterima sebagai sesuatu hal yang agak pasti.
Jika penilaian seperti di atas keluar dari mulut seseorang yang berasal dari luar (entah
dari luar negri atau seseorang yang berasal dari luar Papua) mungkin masih bisa
dimengerti. Namun, makin lama makin tampak kesan bahwa masyarakat Papua sendiri
sudah mulai memasang istilah-istilah penilaian tadi pada dirinya sendiri dan mulai
menganggap diri terbelakang, miskin, bodoh dan sebagainya. Hal demikian sangat
membahayakan harga diri masyarakat Papua serta akan sangat menghalangi segala daya
kreatifitas dan partisipasi mereka dalam pembangunan.
Bahaya tersebut akan semakin bertambah karena sikap ini tidak jarang dikawinkan
dengan sikap “minta tolong” dan masyarakat sudah terlalu lama dididik (termasuk oleh
gereja) untuk hanya minta bantuan saja. Semakin lama sikap masyarakat semakin dibentuk
oleh keyakinan bahwa segala macam bantuan tersebut adalah hak mereka. Sikap demikian
akan mematikan seluruh daya kreasi mereka.
Jika masyarakat hendak maju, hal pertama yang perlu dihilangkan adalah
kecenderungan masyarakat menilai diri mereka sendiri sebagai “bodoh, miskin dan
terbelakang”. Jika penilaian tersebut masih saja ada dan malahan makin diperkuat, semua
pihak yang membantu akan tetap bertindak sebagai pihak yang lebih kuat, lebih tahu, lebih
superior. Sementara itu pihak yang dibantu akan tetap menghayati diri sebagai orang
minder dan tidak berdaya. Untuk itu kiranya bahasa yang hanya yang hanya merendahkan
diri tersebut diubah sehingga mampu menunjukan bahwa masyarakat pribumi sebenarnya
mampu dan berdaya untuk mengelolah kekayaan yang mereka miliki. Menurut saya
memberi pengakuan dan menerima seseorang sebagai orang dewasa adalah dasar utama
dari pembangunan.

ETNOGRAFI PAPUA 62
s. Studi Kasus Kebudayaan Papua : Kain Timur Sebagai Alat Pembayaran Mas Kawin
Dalam Kebudayaan Hattam (Enos Rumansara)
1. Asal Usul Kain Timur (minyas) menurut orang Hattam.
Kain timur (minyas) menurut orang Hattam dan juga suku-suku lainnya(Moile,
Meyakh,Sough) yang berada di wilayah pegunungan Arfak, bahwa benda tersebut berasal
dari Bintuni, sebuah wilayah disebelah selatan kabupaten Manokwari. Dalam versi
ceriteranya bahwa ada seorang laki-laki bernama Bomiyow yang penuh dengan borok
dan hidupnya di dalam gua. Orang inilah yang membuat kain timur tersebut. Mengenai
tersebarnya kain ini hingga berada pada suku-suku di wilayah pegunungan Arfak, bahwa
dahulu kala orang tua pergi ke Bintuni untuk menukar tembakau dengan kain timur
(minyas) tersebut. Cara pertukaran ini modelnya “silent trade” perdagangan bisu yang
bagi orang Hattam lebih dikenal dengan istilah iriweiyam (baku tukar). Mereka yang
datang membawa daun tembakau akan meletakkannya pada tempat tertentu yang telah
diketahui bersama oleh pihak yang akan datang mengambil dan menukar dengan kain
timur. Satu ikat daun tembakau ditukar dengan satu kain timor. Adapun mengenai
beredarnya kain timor ini hingga menjadi alat tukar dan mas kawin yang mempunyai nilai
yang tinggi sekali dalam masyarakat ini karena masyarakat ini sering menukar kain timur
dengan babi untuk mengadakan pesta jika mereka pulang dari kegiatan baku tukar
(iriweiyam). Orang Hattam mengaku bahwa mereka juga menerima kain ini dari suku
Sough dan Meyakh.

2. Asal-Usul Kain Timur Menurut Tulisan Ilmiah


Menurut J.C. van Leur (1955:1-40) yang berbicara tentang perdagangan dan masyarakat
Indonesia dalam Sejarah Ekonomi di Asia, dan M.A.P. Mellink-Roelofsz (1962:1-47)
tentarig sistem perdagangan di antara orang Asia sendiri serta pengaruh orang Europa di
Indonesia antara abad XV-XVI. Kedua penulis itu menyebutkan bahwa pada masa itu
"kain-kain sebagai medium utama dari Asia bagian Barat (India, China, Berigali-Bangla
Desh, Burma) dan rempah-rempah serta kayu cendana sebagai medium utama dan Asia
bagian Timur (Indonesia) dimana di dalam pertemuannya sebagai obyek komunikasi dalam
kegiatan dagang tukar-menukar. Ketika itu tidak ada pasar di bagian India Tenggara
(Southern India).Tulisan Toos van Dijk dan Nico de Yong (1985:4), bahwa pada masa
abad XVI Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan produksi rempah-rempah dan
kayu cendana, sehingga terjadilah "intern-Asian commercial relationshipl". Pelabuhan
Malakka sebagai bandar pusat perdagangan antara kedua belah pihak. Komoditi utama
dan arus lalu lintas perdagangan dari kedua belah pihak tersebut, adalah sebagai berikut:
Main commodities:
1. Pepper/spices to China/porcelin to Malacca
2. Spices/sandalwood to Berigal - cloth/foodstruffs to Malacca
3. Sandalwood to Coromandel - cloth to Malacca
4. Spices to Gujarat - cloth/wester comodities to Malacca
5. Spices/sandalwood/paper/nce to Malacca - cloth to Jawa
6. Rice to Sumatera - pepper to Jawanese cloth trading
7. Cloves to Jawa - cloth & porcelin to the Moluccas
8. Sandalwood to Jawa - cloth, porcelai to Timor
9. Paper to Bali, excharige for se fabncs to Banda spices to Jawa
10. Fine cloth to Seram - Spices to Jawa.
11. Cloth to Seram - Sago to Band
12. Cloth to Kai, Aru, Irian Jaya, Tanimbar - sago to Banda
13. Cloth to Moluccas - cloves to Banda
14. Cloth to Moluccas - cloves to Jawa
ETNOGRAFI PAPUA 63
(Sumber: Dijk de Yong, 1985:11)
Di dalain konteks kepentingan-kepentingan hubungan perdagangan itu-lah, terjadi
proses penyebaran kain-kain dapat merembes masuk ke daerah orang Meybrat di Kepala
Burung-Irian Jaya melalui Fak-Fak.
Arah arus perjalanan sejarah lalu lintas perdagangan, khususnya asal-usul kain-kain
yang digunakan di daerah Kepala Burung Irian Jaya sebagai fokus (pusat) kebudayaan
Meybrat (termasuk suku-suku Mooi, Tehit, Klabra, Madik, Kebar, Hatam, Mey-ach,
Souh/Manikion, Moskona, seperti terlihat pada gambar berikut, adalah berasal dari pelbagai
daerah produksi di Asia dan Timur Tengah. Proses penyebaran itu terjadi ketika hubungan
dagang antar para saudagar kaya dari Asia sebelah timur (termasuk Indonesia) yang berpusat
di Malakka. Gambar Perjalanan sejarah Asal-usul Kain Timur yang menjadi pusat
kebudayaan di daerah Kepala Burung Irian Jaya.

Persebaran Kain Timur

India

China
Maluku

Bangali Bandar Malakka Banda PAPUA

Cromandel

Sumatera Jawa Bali

Gujarat Kai Aru

Timor Barbar Tanimbar

Dan gambar di atas, dapat terlihat bahwa kain-kain yang dapat diadopsi sebagai bagian
dan kebudayaan di daerah Kepala Burung Irian Jaya, khususnya pada masyarakat Heybrat
fokus kebudayaan mereka, adalah menyebar dan Malaka - Jawa - Banda - melalui daerah
Onim Fak-Fak - Kokas (Teluk Patipi) Teluk Bintuni - Kepala Burung.

ETNOGRAFI PAPUA 64
Dalam konteks ini, Toos van Dijk dan Nico de Yong (1986:7) menyebut babwa pada
masa itu orang Banda secara ekonomi tergantung pada kain-kain dan Porcelin Melalui
saudagar-saudagar Jawa, kemudian mereka berdagang ke Aru, Kai, Tanimbar, Seram dan
Buru, dan Irian Jaya antuk mengimport kayu cendana, rempah, dan sagu-sagu dari Irian.
Dikatakan, karena pada waktu itu sagu selain merupaaan makanan pokok orang banda,
sagu juga merupakan alat pembayaran maskawin dalam kebudayaan Banda. Pelayaran
Saudagar Jawa dan Melayu ke Banda dikatakan secara ekslusif dan reguler, karena Banda
sangat tertarik dan tergantung kepada kain-kain import yang masuk melalui Bandar
Malakka.
Situasi dan proses sejarah tersebut di atas, menurut J.M.Schoorl (1979:166) terjadi pada
abad ke XVII melalui saudagar-saudagar (raja-raja) di Onim Fak-Fak, selanjutnya memasuki
Teluk Bintuni melalui penduduk di muara-muara pesisir pantai Teluk dalam kontak hubungan
tukar--menukar barang dan pembelian budak-budak dengan penduduk daerah pedalaman
Kepala Burung. Benda-benda tukaran yang sangat menarik, indah, dan dan dianggap hampir
sama dengan bo (kain kulit kayu) yang dimiliki oleh orang di pedalaman adalah kain-kain
tenunan & tekstil. Kain kain itu dipandang berharga dan bernilai tinggi sekali, sehingga
akhirnya oleh pemerintah yang berkuasa ketika itu disebut "kain timur", karena berasal dan
berbagai daerah produksi di Asia (timur) yang dibedakan dan daerah barat (Europa).

a) Motif-Motif Kain Timur.


1) Kain Toba (kebiserai)

Kain timor jenis ini tergolong kain timor kelas satu,


dengan jenis motif yang mana ditentukan oleh warna
mata kain yang berada di tengah kain timor tersebut
yang biasanya warna yang menunjukkan mata kain lebih
terang dari lainnya. Bagi mereka jika bagian warna ini
lebih besar maka harganyapun lebih mahal. Nilai dari
kain timor jenis ini bila dikonversikan ke nilai uang
rupiah atau binatang lain yang dianggap berharga bagi
mereka seperti babi maka bernilai sebagai berikut :
Kain toba (kebiserai) yang mempunyai empat mata dihargai dengan Rp 10 juta
atau 20 ekor babi; tiga mata dihargai dengan Rp 6 juta atau 15 ekor babi; 2 mata
dihargai dengan Rp 2 juta atau 10 ekor babi; 1 mata dihargai dengan uang Rp1,5 juta
atau babi 5 ekor.

2) Kain Timur Panjang (Bancunjei).


Kain timur jenis ini terbagi lagi menjadi 2 bagian
yakni 2 mata yang bentuknya besar (nentij) yang
bila dihargai dengan uang Rp 10 juta atau babi 10

ETNOGRAFI PAPUA 65
ekor. Kemudian yang hanya 1 mata bentuknya kecil (Nemien) yang bila dihargai
dengan uang Rp 5 juta atau babi 5 ekor.
3) Kain Timur Ntip
Kain timur golongan ini terdiri dari dua jenis mata yakni, kain timor yang memiliki
satu mata dan kain timur yang memiliki 2 mata dan masing-masing dari kedua jenis
ini kalau dihargai dengan uang 1 mata dua juta rupiah dan 2 mata dua juta rupiah.
4) Kain Timor Biasa (Bancun).
Kain timur jenis ini adalah kain timur yang dibuat oleh
transmigran asal Nusa Tenggara Timur di wilayah
kecamatan Prafi Manokwari. Kain timur ini
mempunyai motif yang sama dengan kain timur mula-
mula (seperti kebeserai). Kain timur hasil modifikasi
orang NTT ini terdiri dari dua jenis yakni : yang
memiliki mata satu dan mata dua. Dengan nilai yang
bila dikonversikan dengan uang rupiah masing-masing
1juta dan 2 juta.
Beberapa jenis kain timur golongan bancun ini juga
adalah sebagai berikut :
1. Brenap (terdapat rumbai-rumbai pada kain bagian
atas dan bawah).
2. Gianho Nti
3. Gianho Mien
4. Brenyuak
5. Nuawiem (kain timur yang warnanya hitam).
6. Menghasmum (kain timur yang sisi bagian atas hitam dan juga sisi bagian
bawahnya hitam).
7. Menghei (kain timur yang sisi atas maupun bawahnya bawahnya merah).

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bachtiar Alam., (1998). Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan. Dalam
Majalah Antropologi Indonesia No. 54. Th XXI Desember 1997 – April 1998, Halaman 1-10.
Beanal, Lydya. N., (1999). Arti Tanah Menurut Suku Amungme. Forum Lorentz, Timika.
Boelaars, Jan. (1992) Manusia Irian: Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Gramedia. Jakarta.
------------------,(1984) Kepribadian Indonesia Modern: Suatu Penelitian Antropologi Budaya.
Gramedia Jakarta.
Duivenvoorde, J. MSC. (1999). Sejarah Gereja Katolik di Papua. Keuskupan Agung Merauke.
Merauke.
Flassy, Don A.L. (1997). Toro: A Name Beyond Languange And Culture Fusion Doberai Peninsula
New Guinea (Papua). Pemda Tingkat I. Papua. Jayapura
Griapon, Alexander, dkk., (1986). Nimboran dan Sekitarnya Dalam Relegi: Antara Dongeng dan
Kebenaran. LITBANG GKI. Jayapura.
Godschalk, Jan. A., (1993)., Sela Valley: An Ethnography of a Mek Society in the Eastern Highlands,
Papua, Indonesia. CIP-Gegevens Koninklijke Bibliotheek, Den Haag.
Haenen, Paul (1991). Weefsels van Wederkerigheid: Sociale Structuur Bij De Moi van Papua.
Sekolah Menengah Teknologi Grafika Desa Putera. Jakarta.
------------------, dkk., (1993). Vrienden en Verwanten. DSALCUL/IRIS. Leiden Jakarta.
Haviland, Wiliam A., (1988) Antropologi (terjemahan). Erlangga. Jakarta.
ETNOGRAFI PAPUA 66
Iskandar, Anwas. (1964). Irian Barat: Pembangunan Suku Mukoko. Universitas Tjenderawasih-
KODAM XVII Tjenderawasih. Jayapura.
James Spradley. (1997) Metode Etnografi. PT Tiara Wacana. Yogyakarta.
Jensen, Klaus Bruhn and Nicholas W. Jankowski. 1991. A Hand Book of Methodologies For Mass
Communication research.
Keesing, Roger M. (1992) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Edisi 1,2.
(terjemahan). Erlangga. Jakarta.
Koentjaraningrat, (1993) Papua: Membangun Masyarakat Majemuk. Djambatan. Jakarta.
-------------------, dkk. ,(1993). Masyarakat Terasing di Indonesia. Gramedia. Jakarta.
-------------------,dkk. (1963). Penduduk Irian Barat. PT. Penerbit Universitas. Jakarta.
------------------, (1980). Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru, Jakarta.
Mansoben, J.R. (1995), Sistem Politik Tradisional di Papua. Jakarta. LIPI. Jakarta, dan Leiden
University, Netherlands.
-----------------, (1998). Membangun Manusia Papua Yang Majemuk (Suatu Tinjauan Antropologi).
LEMLIT-UNCEN. Jayapura.
Mansinambow, EKM., (`1995), Masyarakat Indonesia: Kebudayaan Lain-lain dalam Masyarakat
Indonesia. LIPI., Jakarta.
-------------------, (1984). Maluku dan Papua. LIPI. Jakarta.
-------------------, (1980). Halmahera dan Raja Ampat Konsep dan Strategi Penelitian. LEKNAS-LIPI.
Jakarta.
-------------------dkk., (1994). Kebudayaan dan Pembangunan di Papua. LIPI Jakarta, Leiden
University. Netherlands.
May, R.J., dkk., (1982). Melanesia: Beyond Diversity. Vol. I, II. Australian National University,
Canberra.
Mampioper, A. (1972) Jayapura Ketika Perang Pasifik. Pemda Propinsi Irian Barat.
-------------------, (2000). Amungme: Manusia Utama Dari Nemangkawi Pegunungan Carstensz. PT
Freeport Inc. Timika.
Miedema, Jelle, (1986). Pre-Capitalism and Cosmology: Description and Analysis of the Meybrat
Fihery and Kain Timur-Complex. Foris Pubh. Dordrecht- Holland/Riverton-USA.
Mulyana, Deddy. 2001. metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Bandung: PT remaja Rosdakarya
Overweel, J.A. (1993). The Marind In A Changing Environment. A Study on social-economic change
in Marind society to assist in the formulation of a long term strategy for the Foundation for
Social, Ekconomic and Environmental Development., YAPSEL. Merauke.
Pusat Penelitian UNCEN, (1997). Pemetaan Sosial Budaya di Kabupaten Daerah Tingkat II Merauke,
Fakfak, dan Jayawijaya. PUSLIT-UNCEN.
Ramandei, Jan.H. (1998). Dari Samudranta Ke Iriyan Jaya. CV. Bulan Bintang. Abepura, Jayapura.
-------------------.(1997). Negeri Puyakha. CV. Satya Jaya Jayapura. Jayapura.
Raharjo, Yufita. (1995), Proseding Seminar: Membangun Masyarakat Papua. LIPI, PPT-LIPI,
Jakarta.
Samaduda, M. dkk., (2000). Profil Kawasan Teluk Berau dan Teluk Bintuni. UNCEN-YPMD,
Jayapura.

ETNOGRAFI PAPUA 67
Sefa, E.D. (1989). Mengenal Suku Armati : di Pedalaman Sarmi Papua Bagian Utara. Penerbit
Aurora. Jakarta.
Schoorl, J.W., (1997). Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu Dalam Arus Modernisasi Papua.
Gramedia. Jakarta.,
Silzer Peter. J., dkk. (1986) Peta Lokasi Bahasa-Bahasa Daerah di Propinsi Papua. Percetakan
UNCEN. Jayapura.
Tarwotjo. (1994) Suatu Tantangan Penelitian Kualitatif.
Van Baal. J. (1987). Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970).
Volume I, II., PT. Gramedia. Jakarta.
Widjojo, Muridan. S., (1997). Orang Kamoro dan Perubahan: Lingkungan Sosial Budaya di Timika
Papua. LIPI Jakarta.
Walker, Malcoln., dkk. (1987). Regional Development Planning for Papua. Anthropology Sector
Report. Lavalin International Inc. PT. Hasfarm Dian Konsultan. Jayapura.

Biodata Penulis
Djekky R. Djoht, lahir di Merauke Papua menyelesaikan program sarjananya di Jurusan
Antropologi Universitas Cenderawasih Tahun 2002 dan Program Pasca Sarjana di Jurusan Promosi
dan Perilaku Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Tahun 1997.
Saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih. Tahun
2006 mengikuti konfrensi Internasional AIDS di Toronto Kanada. Kemudian Juli, 2007 mengikuti
konfrensi Sexual Health Asia Pacific di Sidney Australia dengan membawa makalah berjudul “ Geo-
Epidemiology AIDS in Papua”. September 2008 mengikuti The inaugural meeting of the Asia-Pacific
Regional Network of HIV Social Researchers di Perth Australia dengan mempresentasi makalah
“Kebutuhan Penelitian AIDS di Papua”.
Sejak tahun 1991 sampai saat ini sudah sudah banyak penelitian antropologi, Kependudukan,
Kesehatan, Gender dan kebijakan pembangunan yang dilakukannya. Ia adalah salah satu penulis
dalam Buku “Making Sense Of AIDS: Sexuality, Culture and Power in Melanesia” dengan Editor
Leslie Butt dan Richard Eves. Buku tersebut di terbitkan oleh Hawai University Press Amerika Juli
2008.

ETNOGRAFI PAPUA 68

Anda mungkin juga menyukai