PENGERTIAN ETNOGRAFI
1) Pengertian Etnografi
Etnografi atau etnography berasal dari bahasa Yunani
Ethnography berarti
yang terdiri dari dua kata ἔθνος ethnos yang artinya rakyat “Menggambarkan
(masyarakat) dan graphy atau grafi γραφία graphia yang artinya kehidupan suatu
1 masyarakat dalm satu
lukisan (gambaran) . Kata Etnografi kemudian interpretasi dan wiayah yang tersebar
di pahami sebagai; pertama: tulisan, laporan yang diseluruh muka bumi.
Etnografi adalah ilmu
menggambarkan suatu suku bangsa yang di tulis oleh seorang yang mengambarkan
antropolog berdasarkan hasil penelitian lapangan di satu suku di pola hidup manusia,
dengan mempelajari
satu wilayah. Penelitian ini dilakukan oleh antropolog selama kebudayaan-kebudayaan
berbulan-bulan bahkan ada yang bertahun-tahun. Kedua: dalam kehidupan
masyarakat dari
etnografi dipahami sebagai sebuah metode penelitian yang sebanyak mungkin suku
khas. Artinya seorang etnolog melakuan pengamatan tidak bangsa yang tersebar
diseluruh muka bumi
hanya dipermukaan saja, tetapi pengamatan itu dilakukan pada masa sekarang ini.
dengan pengkajian yang mendalam. Antropolog Clifford Geertz
menyatakan bahwa bagian penting dari etnografi adalah
deskripsi yang kaya, penjelasan yang spesifik dan rinci (sebagai
lawan dari ringkas, standar, dan general). 2 Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil
tersebut seorang peneliti harus dapat hidup secara khusus dalam waktu yang lama di dalam
suatu komunitas sosial.
Seorang antropolog akan diamati dan menganalisa perkembangan kehidupan suatu
suku, masyarakat, kemudian antropolog melakukan deskripsi gambaran pengamatan dari
berbagai konteks. Pengamatan dan analisa yang di lakukan tersebut menghasilkan laporan
khas etnografi.
Dalam perkembangan terdapat dua metode penelitian, yaitu
Dua metode penelitian
Ethnography:
metode yang satu menekankan kepada bidang diakronik (berarti
1.Diakronik: berarti berturut-turut dalam berjalannya waktu), sedangkan yang lain
berturut-turut dalam menekankan kepada bidang sinkronik (berarti berdampingan
berjalannya waktu
dalam waktu yang sama) dari kebudayaan umat manusia. Nama
2. Sinkrinik:
berarti berdampingan
yang tetap untuk kedua macam penelitian ini belum ada, tetapi
dalam waktu yang sering dapat kita lihat adanya nama-nama seperti Descriptive
sama Integration untuk penelitian-penelitian yang diakronik, dan
Generalizing Aproach untuk penelitian-penelitian yang sinkronik
(Koentjaraningrat, 1986, 14).
Descriptive Integration selalu mengenai suatu daerah tertentu.
Bahkan keterangan pokok yang diolah ke dalam deskriptif integrasi dari daerah itu adalah
terutama bahan keterangan etnografi, sedangkan bahan seperti fosil, ciri ras, artefak-
artefak, bahasa lokal diolah menjadi satu dan diintegrasikan menjadi satu dengan bahan
etnografi tadi. Descriptive Integration mempunyai tujuan untuk mencari pengertian tentang
sejarah perkembangan dari suatu daerah, artinya mencoba memandang suatu daerah pada
bidang diakroniknya juga (Koentjaraningrat, 1986, 15).
Generalizing Aproach bertujuan mencari azas persamaan dibelakang aneka warna
dalam beribu-ribu masyarakat dari kelompok-kelompok manusia dimuka bumi ini.
Pengertian tentang azas tersebut dapat dicapai dengan metode-metode yang dimasukan
kedalam dua golongan, yaitu:
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Etnografi
2
W. Lawrence Neuman, Social Research Methods (Qualitative and Quantitative Approaches), Ed.
5th., (Boston: Allyn and Bacon, 2003), hlm. 363.
ETNOGRAFI PAPUA 1
1. Golongan pertama terdiri dari metode sampel area sebanyak paling sedikit tiga
sampai lima masyarakat dan kebudayaan, dengan penelitian mendalam dan bulat.
2. Golongan kedua terdiri dari metode komparatif dengan 1. Descriptive Integration
mengambil unsur kebudayaan tertentu dan sebanyak mungkin mempunyai tujuan untuk
mencari pengertian tentang
masyarakat yang diteliti (dua-tiga ratus masyarakat yang sejarah perkembangan dari
diteliti atau lebih). (Koentjaraningrat, 1986, 15) suatu daerah, artinya
mencoba memandang suatu
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu daerah pada bidang
kebudayaan. Tujuan utama aktifitas ini adalah memahami diakroniknya juga
pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (Spradley 2. (Koentjaraningrat, 1986, 15).
Generalizing Aproach
J.P. 1997; 3). Malinowsky (1922;25) mengemukakan bahwa bertujuan mencari azas
tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli persamaan dibelakang aneka
warna dalam beribu-ribu
hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan masyarakat dari kelompok-
pandangannya mengenai dunianya. Oleh karena itu etnografi kelompok manusia dimuka
bumi ini.
melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia orang yang telah
belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan bertindak
dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat lebih dari itu
etnografi berarti belajar dari masyarakat (Spradley J.P.1997;3). Menurut Koentjaraningrat
(1986), perkembangan ilmu etnografi secara khusus terbagi kedalam 4 (empat) Fase yaitu
:
ETNOGRAFI PAPUA 2
istilah Infancy of social life . Dipihak lain Masyarakat Eropa merupakan contoh suatu
manusia yang mengalami tingkat peradaban yang sangat tinggi
ETNOGRAFI PAPUA 3
2. Mengapa Etnografi Papua Penting Dipelajari
Sampai pada saat sekarang ini anggapan–anggapan mengenai racisme masih
dipraktekan dalam pelbagai bentuk dan manifestasinya. Ada sejumlah warga masyarakat
menggunakan paham etnis yang superior mengancam etnis yang inferior. Kondisi ini
kembali diperparah oleh kurang adanya informasi yang rinci terhadap masyarakat dan
kebudayaan orang Papua. Disatu sisi kondisi kelemahan ini digunakan sebagai alasan yang
ampuh untuk menggeneralisir kemampuan rohani orang papua. Disisi lain, kelemahan ini
dijadikan sebagai peta kelemahan untuk mengeksploitir pelbagai sumber daya alam.
Pelbagai macam tanggapan balik warga masyarakat lokal biasanya di eliminasi dengan
pressure politik, yaitu dengan kata kunci PKI, OPM dan sederetan organisasi
pemberontakan lainnya. Kita tidak pernah jujur mengatakan bahwa orang Papua butuh
waktu yang relatif cukup untuk mengetahui segala informasi agar mereka bisa menjadi
tuan diatas tanahnya sendiri.
Buku ini bermaksud mengingatkan, mengajak para pembaca dengan sadar melihat
masyarakat Papua secara objektif. Apa persoalan yang mereka sedang hadapi dan
bagaimana mereka dapat diberdayakan sehingga suatu ketika ia dapat membangun dirinya
sendiri menurut konsep tataruang budaya dengan model pembangunan yang pernah ia
nikmati.
Spradley mengatakan bahwa Etnografi bermakna untuk membangun suatu
pengertian yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dari perspektif orang
yang telah mempelajari kebudayaan itu (1997;12). Itu berarti
Etnografi bermakna untuk
membangun suatu pengertian
terkandung bahwa etnografi dapat memberikan gambaran
yang sistematik mengenai diversitas kebudayaan Papua yang terdiri dari beratus
semua kebudayaan manusia
dari perspektif orang yang telah
kebudayaan.
mempelajari kebudayaan itu Etnografi dapat menerangkan teori-teori ikatan-
etnografi dapat memberikan budaya seperti masing-masing kebudayaan memberikan
gambaran diversitas
kebudayaan Papua yang terdiri suatu cara untuk melihat dunia. Kebudayaan memberikan
dari beratus kebudayaan. kategori, tanda, dan juga mendefeniskan dunia dimana
Etnografi dapat menerangkan
teori-teori ikatan-budaya orang itu hidup. Kebudayaan mencakup nilai-nilai yang
seperti masing-masing
kebudayaan memberikan suatu
menspesifikasikan hal-hal yang baik, benar, dan bisa
cara untuk melihat dunia. dipercaya. Apabila orang mempelajari kebudayaan, maka
Etnografi dapat memahami sampai batas-batas tertentu dia terpenjara tanpa
perilaku manusia seperti apa mengetahuinya. Para ahli antropologi mengatakan hal ini
yang dilakukannya, mengapa ia
lakukan itu. sebagai ikatan budaya (Culture Bound). Itu berarti dengan
memahami kebudayaan Papua kita dapat mengerti apa yang
dipandang orang Papua terhadap fenomena dunia Papua yang sedang terjadi. Pandangan
inilah yang menjadi dasar untuk membangun orang Papua.
Etnografi berupaya untuk mendokumentasikan berbagai realitas alternative dan
mendeskripsikan realitas itu dalam batasan realitas itu sendiri. Dengan demikian dengan
Etnografi kita bisa melestarikan kebudyaan Papua secara turun temurun.
Etnografi dapat memahami perilaku manusia seperti apa yang dilakukannya,
mengapa ia lakukan itu. Penjelasan apapun mengenai tingkah laku yang mengabaikan apa
yang diketahui pelaku, masih merupakan penjelasan parsial. Alat-alat etnografi
menawarkan suatu cara untuk membahas kenyataan makna ini.
3. Kerangka Etnografi
Bidang-bidang yang selalu dikaji dalam sebuah buku etnografi, biasanya dibagi
kedalam unsur-unsur kebudayaan menurut suatu tata urut yang sudah baku, yaitu
(Koentjaraningrat, 1986;356):
1. Lokasi, lingkungan alam dan demografi
ETNOGRAFI PAPUA 4
Iklim
Topografi
Suhu dan Curah Hujan
Penyebaran penduduk
Ciri Flora dan Fauna
Peta desa
Keadaan dan perkembangan penduduk
ETNOGRAFI PAPUA 5
Pengetahuan tentang tubuh manusia
Pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesame manusia
Pengetahuan tentang ruang
Pengetahuan tentang waktu
8. Kesenian
Seni rupa
seni suara
seni tari
Seni drama
9. Sistem Religi
Sistem Kepercayaan
Upacara-upacara religi
Magic
Pelaku religi
10. Perubahan Kebudayaan
Perubahan dalam sistem sosial
Perubahan dalam sistem hukum
Perubahan dalam stratifikasi sosial
Perubahan dalam pola-pola kepemimpinan
Akulturasi
Asimilasi
Kesepuluh unsur ini yang akan diuraikan dalam bagian pertama, secara garis
besar. Karena kebudayaan Papua sangat beraneka ragam maka akan sulit untuk membuat
generalisasi untuk setiap unsur-unsur dalam kerangka etnografi ini, oleh karena itu uraian
kebudayaan orang Papua hanya bersifat umum atau bersifat dominan saja dalam
kebudayaan Papua yang diuraikan dalam buku etnografi ini.
4. Konsep Kebudayaan
Dalam menulis Etnografi tidak terlepas dari pendeskripsian suatu kebudayaan.
Untuk memahami deskripsi kebudayaan itu, sebaiknya kita perlu mendapat pemahaman
tentang kebudayaan itu sendiri agar dalam memahami etnografi pembaca langsung
mengerti semua konsep-konsep yang terkandung dalam buku ini.
Banyak ahli membuat konsep dan definisi kebudayan yang bermacam-macam
satu dengan yang lainnya. Kita patut berterima kasih pada dua pakar Antropologi yaitu :
Kroeber dan Clyde Kluckhohn yang pernah mengumpulkan definisi kebudayaan yang di
tulis ahli-ahli Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat dan lain-lain sebanyak 160 buah
definisi dalam buku mereka berjudul “Culture a Critical Review Of Concepts And
Definitions’. Kroeber dan Kluckhohn mengkategori definisi-definisi kebudayaan itu
menjadi 7 golongan yaitu kebudayaan diartikan sebagai :
1) Suatu keseluruhan konsep yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti
pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecakapan yang
lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (menekankan kenyataan).
2) Kebudayaan sebagai warisan sosial atau tradisi (menekankan sejarah).
3) Kebudayaan bersifat normatif yaitu dianggap sebagai cara, aturan dan jalan hidup
manusia, cita-cita, nilai dan kelakuan (menekankan normatif).
4) Kebudayaan dianggap sebagai penyesuaian manusia kepada sekitarnya atau yang
sebenarnya sama juga atau cara menyelesaikan soal-soal, usaha-usaha belajar dan
pembiasaan (menekankan pendekatan secara psikologis).
ETNOGRAFI PAPUA 6
5) Kebudayaan dilihat sebagai pola-pola dan organisasi kebudayaan (menekankan yang
bersifat struktur).
6) Kebudayaan sebagai hasil perbuatan dan kecerdasan manusia, juga menekankan
pikiran-pikiran, lambang-lambang dan definisi-definisi atau “Residual Categori”
(menekankan hasil perbuatan dan kecerdasan).
7) Terjadi dari definisi-definisi yang tidak lengkap dan yang tidak harus dipertimbangkan
bersama-sama dengan definisi-definisi yang lebih bersistem.
Kategori kebudayaan ini menunjukkan bahwa banyak segi dan unsur dari pada
pengertian kebudayaan seperti kebudayaan ada fungsi Normatif, ada segi terstruktur dan ada
segi ilmu psikologis, kebudayaan terjadi dari berbagai unsur, bahwa kebudayaan warisan
sosial, dan kebudayaan adalah hasil kelakuan dan kecerdasan manusia. Berarti kita sadar
bahwa kebudayaan itu dapat diselidiki dari bermacam-macam pendirian.
Kebudayaan telah lama digeluti oleh para Antropolog. Konsep kebudayaan pertama
dimunculkan oleh Tylor, yang melihat kebudayaan sebagai “suatu kesatuan kompleks yang
terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, hokum, moralitas dan adapt-istiadat. Clifford Geertz
mencoba mempertajam pengertian kebudayaan sebagai “pola-pola arti yang terwujud
sebagai symbol-simbol yang diwariskan secara histories … dengan bantuan mana manusia
mengkomunikasikan, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap
hidup (1973;89).
Ahli antropologi Indonesia juga telah mencoba mengkosepsi kebudayaan sebagai
sumbangan terhadapa ilmu antropologi. Koentjaraningrat (1985:180) mendefenisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Parsudi
Suparlan (1986) mencoba melihat kebudyaan sebagai “pengetahuan yang bersifat
operasional, yaitu sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai
mahkluk social: yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang
secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang
dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya.
Konsep-konsep kebudayaan yang lebih mutahir muncul setelah konsep kebudayaan
interpretative yang dikemukakan Geertz adalah konsep kebudayaan yang sering dijuluki
dengan berbagai istilah seperti “Postmodernisme”, “Post-strukturalis, “Refleksif”, dan lain-
lain. Konsep kebudayaan mutahir yang muncul bisa dikategori dalam 4 macam, yaitu:
a. Kebudayaan sebagai Praksis
b. Kebudayaan sebagai Proses
c. Kebudayaan sebagai Konteks dan
d. Kebudayaan sebagai wacana
ETNOGRAFI PAPUA 14
BAB II
METODE ETNOGRAFI
A. Pengantar
Perkembangan media dalam konteks sosial dan praktik budaya yang kian beragam
semakin mengukuhkan eksistensi paradigma kualitatif. Kemampuannya menghasilkan
produk analisis yang mendalam selaras dengan settingnya, diakui sebagai paradigma yang
patut diperhitungkan dalam rangka menghadirkan refleksi bagi kajian ilmu komunikasi.
Beberapa metode penelitian berbasis paradigma kualitatif ini– analisis wacana, studi kasus,
semiotik dan etnografi – kini mulai dilirik para ilmuwan maupun peneliti.
Etnografi – yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini – merupakan salah
satu metode penelitian kualitatif. Dalam kajian komunikasi, Etnografi digunakan untuk
meneliti perilaku-perilaku manusia berkaitan dengan perkembangan teknologi komunikasi
dalam setting sosial dan budaya tertentu, misalnya penelitian mengenai perilaku
penggunaan mobile phone oleh remaja di Norwegia (Rich, Ling, ___). Metode penelitian
etnografi dianggap mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber
yang luas. Dengan teknik “observatory participant”, etnografi menjadi sebuah metode
penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam
sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Yang lebih menarik, sejatinya metode
ini merupakan akar dari lahirnya ilmu antropologi yang kental dengan kajian masyaraktnya
itu.
Tidak seberuntung analisis wacana, studi kasus dan semiotik, selama ini belum
banyak buku-buku khusus yang membahas metode penelitian etnografi dalam komunikasi,
khususnya di Indonesia. Pun metode ini juga belum terlalu banyak diadaptasi oleh para
peneliti dalam kajian komunikasi – walaupun diakui sumbangsihnya dalam menyediakan
refleksi mengenai masyarakat dan perkembangan teknologi komunikasi terhitung tidak
sedikit. Beberapa keunikan dan fenomena yang mengikuti eksistensi metode penelitian
etnografi dalam komunikasi ini membuat penulis meliriknya sebagai salah satu metode
yang laik dikenalkan, dikembangkan dan dirujuk dalam penelitian budaya. Untuk itu,
dengan mengacu pada beberapa referensi buku, penulis akan memetakan secara ringkas
metode penelitian etnografi.
a. “Metode Etnografi” – James Spradley
Secara harafiah, etnografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa
yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama
sekian bulan atau sekian tahun. Etnografi, baik sebagai laporan penelitian maupun
sebagai metode penelitian, dianggap sebagai asal-ususl ilmu antropologi. Margareth
Mead menegaskan, “Anthropology as a science is entirely dependent upon field work
records made by individuals within living societies. Dalam buku “Metode Etnografi”
ini, James Spardley mengungkap perjalanan etnografi dari mula-mula sampai pada
bentuk etnografi baru. Kemudian dia sendiri juga memberikan langkah-langkah praktis
untuk mengadakan penelitian etnografi yang disebutnya sebagai etnografi baru ini.
Etnografi mula-mula (akhir abad ke-19). Etnografi mula-mula dilakukan untuk
membangun tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia
mulai muncul di permukaan bumi sampai ke masa terkini. Tak ubahnya analisis wacana,
mereka – ilmuwan antropologi pada waktu itu – melakukan kajian etnografi melalui
tulisan-tulisan dan referensi dari perpustakaan yang telah ada tanpa terjun ke lapangan.
Namun, pada akhir abad ke-19, legalitas penelitian semacam ini mulai dipertanyakan
karena tidak ada fakta yang mendukung interpretasi para peneliti. Akhirnya, muncul
ETNOGRAFI PAPUA 15
pemikiran baru bahwa seorang antropolog harus melihat sendiri alias berada dalam
kelompok masyarakat yang menjadi obyek kajiannya.
ETNOGRAFI PAPUA 18
c. “A Hand Book of Methodologies For Mass Communication research” – Jensen and
Jankowski
Dalam bukunya “A Hand Book of Methodologies For Mass Communication
Research”, Jensen dan Jankowski menempatkan etnografi sebagai sebuah pendekatan.
Etnografi tidak dilihat sebagai alat untuk mengumpulkan data, tetapi sebuah cara untuk
mendekati data dalam meneliti fenomena komunikasi. Menurut Hammersley dan
Atkinson (1983: 2 dalam Jansen and jankowski, 1991: 153), etnografi dapat dipahami
sebagai
Simply one social research method, albeit an unusual one, drawing on a wide
range of sources information. The erhnographer participates in people’s lives for an
extended period of time, watching what happens, listeninf to what is said, asking
questions, collecting whatever data are available to throw light on issues with which
he or she concerned.
Etnografi secara alami dipandang sebagai penyelidikan mengenai aktivitas hidup
manusia. Oleh Greetz disebut sebagai “informal logic of actual life”. Berbasis
pandangan ini, seharusnya etnografi mampu menghasilkan deskripsi secara detail dari
pengalaman kongkrit dengan latar budaya dan aturan sosial tertentu, pola-pola yang ada
di dalamnya bukan berpatokan pada hukum yang universal (ibid: 8). Namun
kenyataannya, etnografi menjadi istilah yang totemic. Misalnya, dalam kajian mengenai
audiens akhir-akhir ini, tiba-tiba semua orang menjadi seorang etnografer.
Hal ini menggugah Lull untuk meneriakkan kembali tanggung jawab sebagai
seorang peneliti etnografi, yakni; pengamatan dan pencatatan secara langsung tingkah
laku yang rutin dari seluruh karakteristik individu yang dipelajari; pengamatan harus
dilakukan secara langsung dalam setting masyarakat yang diteliti – sebagai laboratorium
alaminya; Kesimpulan digambarkan secara hati-hati, tidak gegabah, perlu juga
memberikan perlakuan spesial terhadap hasil pengamatan dalam konteks yang berbeda-
beda.
Strategi penelitian kualitatif, seperti Etnografi ini dirancang untuk memasuki
ceruk-ceruk wilayah kehidupan alami serta aktivitas tertentu yang menjadi karakter
masyarakat yang akan diteliti. Kekuatan utama etnografi adalah contextual
understanding yang timbul dari hubungan antaraspek yang berbeda dari fenomena yang
diamati. Namun, yang masih dianggap sebagai kelemahannya ialah interpretasi peneliti
dalam menggambarkan hasil pengamatan. Karena peneliti barada bersama dengan para
informan, maka peneliti dituntut untuk reflektif dan mampu menjauhkan diri dari
kekerdilan interpretasi, ketidaklengkapan observasi dan dan gap- gap yang ada dalam
struktur yang diamati.
Sedang penelitian etnografi mulai dikembangkan, debat mengenai etnografi
postmodern terpusat di USA pun masih berlangsung. Perdebatan itu bermuara pada
hubungan antara siapa yang megnamati serta siapa yang diamati, dan kewenangan dasar
seorang etnografer untuk membuktikan sebuah pengalaman kultural orang lain.
Sesungguhnya ini adalah perdebatan klasik dalam kajian etnografi selama bertahun-
tahun, namun memang segala pendekatan yang berpangkal pada paradigma subyektivis
harus menemukan jalannya sendiri. Menanggapi perdebatan tersebut, Greetz dengan
bijak mengatakan bahwa being there as the founding authority of the ethnographic
account.. Walaupun mendapat cercaan dari penganut positivis, etnografi toh telah
membantu kita dalam memahami praktik-praktik menonton televisi dan
pengkonsumsian media lainnya yang tidak dapat dihindari selalu terjadi dalam konteks
kehidupan tsehari-hari.
B. Sebuah Tinjauan
ETNOGRAFI PAPUA 19
Etnografi, yang akarnya adalah ilmu antropologi pada dasarnya adalah kegiatan
penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui
fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Seperti layaknya penelitian kualitatif lainnya,
etnografi saat ini sudah mampu mengambil hati para ilmuwan komunikasi terutama
berkaitan dengan penelitian yang mengungkap praktik-praktik pengkonsumsian media,
perilaku dalam perkembangan teknologi komunikasi, dll. Metode penelitian etnografi
menyuguhkan refleksi yang mendalam bagi kajian-kajian semacam itu.
Metode etnografi memiliki ciri unik yang membedakannya dengan metode
penelitian kualitatif lainnya, yakni: observatory participant—sebagai teknik pengumpulan
data, jangka waktu penelitian yang relatif lama, berada dalam setting tertentu, wawancara
yang mendalam dan tak terstruktur serta mengikutsertakan interpretasi penelitinya. Yang
terakhir ini sepertinya masih menjadi perdebatan dengan penganut positivis. Untuk kasus-
kasus tertentu, kemampuan interpretasi peneliti diragukan – tanpa mereka sadari, sejatinya
interpretasi ilmuwan-ilmuwan etnografi berperan besar dalam menyajikan kesadaran-
kesadaran kritis atas perilaku bermedia masyarakat.
Ketidakberuntungan merode etnografi dibanding analisis wacana, semiotik serta
studi kasus adalah karena penelitian ini memerlukan waktu yang sangat lama, tenaga yang
besar – karena peneliti harus bergabung dengan informan, ketrampilan berkomunikasi
yang terlatih, serta kemampuan menuliskan interpretasi dengan baik. Di sisi lain, metode
etnografi telah membuktikan bahwa sebagai metode penelitian kualitatif, ia mampu
melaklukan analisis yang lebih mendalam serta menyajikan refleksi kritis secara detil
dalam lingkup mikro sebuah kehidupan manusia.
Bagaimanapun juga, metode penelitian etnografi hanyalah sebuah cara yang
dalam aplikasinya tentu tidak dapat meninggalkan metode penelitian lainnya, bahkan
metode penelitian kuantitatif sekalipun. Sebagai calon ilmuwan komunikasi, ada baiknya
kita mempelajari metode ini, karena di masa yang akan datang, ketika kultur mikro mulai
tereduksi oleh globalisasi makro, tentu refleksi-refleksi kritis sangat diperlukan. Dan
etnografi akan hadir sebagai metode penelitian kulaitatif yang akan menyelesaikannya.
ETNOGRAFI PAPUA 24
BAB III
ETNOGRAFI PAPUA
Untuk mengetahui asal-usul orang Papua, kita bisa melihatnya dari segi Temuan-temuan
paleoantropologi;
a) Asal usul Orang Papua dikaji dari aspek Paleoantropologi
Ketika zaman es berakhir dan permukaan laut menjadi lebih tinggi, maka
Australia terpisah dari Papua dan pulau-pulau lain di Nusantara ini. Ciri-ciri fisik
penduduk Papua dan Melanesia berkembang menjadi cirri-ciri Melanesoid yang kita kenal
sekarang, sedangkan cirri-ciri fisik penduduk Asli Australia berkembang menjadi cirri-ciri
fisik ras Austroloid sekarang.
Pada abad ke-10 (915 M): keterangan dari seorang Arab bernama Marsudi,
dalam laporannya menyebut suatu lautan yang bernama Sanji, yang lalu ditafsirkan
sama dengan Jangge. Nama tersebut kemudian dihubungkan dengan penduduk negrito
sehingga dianggap sebagai petunjuk bahwa pada waktu itu ada orang asing yang
melakukan pelayaran di perairan tempat tinggal orang-orang negrito, atau dengan kata
lain pada waktu itu ada kontak orang asing dengan penduduk di perairan Sanji yang
tidak lain dari penduduk Papua.
Pada abad ke-13, seorang musafir Tiongkok, Chau Yu Kua, menulis berita
bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat suatu daerah bernama ‘Tung-ki’, yang
merupakan bagian dari suatu Negara di Maluku. Bilamana ‘Tung-ki’ adalah sebutan
Tiongkok untuk ‘Janggi’, maka berita dari Chau Yu Kua tadi juga memperlihatkan
bahwa antara Papua dan Maluku terdapat suatu hubungan yang erat. Memang jauh
sebelum orang Eropa mengunjungi Papua, penduduk di Kepulauan Raja Ampat,
Semenanjung Onin, dan Teluk Cenderawasih telah berhubungan dengan penduduk
Kepulauan Maluku yang terletak di sebelah baratnya melalui pertukaran hasil-hasil
hutan, hasil laut, dan burung cenderawasih.
Pada Tahun 1534 dan 1535: ada keterangan tentang adanya institusi kerajaan di
kepulauan Raja Ampat, yang menyatakan bahwa pada waktu itu Sultan Tidore
mengadakan persekutuan dengan raja-raja Papua di Vaigama (sama dengan
Waigama di Misol), Vaigue (sama dengan Waigeo), Quibibi (sama dengan Gebe atau
Kapiboi), Umka (di Saonek), untuk bersama-sama melawan orang-orang asing
(Portugis).
Diantara sejumlah nama daerah lainnya yang terletak di bagian Timur Kepulauan
Indonesia disebut nama ‘Wwanin’, ‘Sran’ dan Timur. Menurut para ahli Jawa Kuno,
‘Wwanin’ adalah nama lain daerah ‘Onin’, sedangkan ‘Sran’ adalah nama lain untuk
daerah ‘Kowiai’. ‘Timur’ dimungkinkan nama lain untuk daerah bagian timur Papua.
Oleh karena itu, pada abad ke-14 beberapa daerah di Papua merupakan bagian
kedaulatan kerajaaan Majapahit. Bahkan menurut cerita di Gunung Baik dekat Fakfak
dahulu ada ‘Benteng Jawa’. Oleh karena itu, besar kemungkinan Majapahit telah
membangun benteng di Fakfak.
b) Periode Abad Ke-16 Hingga Abad Ke-19
Tahun 1511: Orang Eropa pertama yang melihat Pulau New Guinea adalah
orang-orang Portugis yang bernama D’Abreu dan Serrano pada tahun 1511.
Tahun 1521: Orang pertama yang menyebut nama penduduk dan daerah New
Guinea dalam laporan tertulis adalah seorang pelaut Portugis yang bernama Antonio
Pigafetta yang mengikuti penjelajah Portugis Magelhaes dalam perjalanan
mengelilingi dunia, dan berada di sekitar laut Maluku pada tahun 1521. Dalam
laporannya Pagifetta menulis adanya raja Papua yang berkuasa di Pulau Gilolo
(Kepulauan Raja Ampat).
Tahun 1526: Orang Eropa pertama yang menginjakkan kakinya di Pulau New
Guinea adalah Gubernur Portugis yang bernama De Menezes yang terdampar di
Versiya (Warsa), suatu tempat di Kepala Burung, Papua, ketika melakukan
pelayaran dari Malaka ke Maluku pada tahun 1526. Para penjelajah berkebangsaan
Portugis itu walaupun melihat dan menginjakkan kakinya di Pulau New Guinea
namun mereka tidak mengetahui nama pulau tersebut.
ETNOGRAFI PAPUA 27
Tahun 1537: Lanvoogd (seorang wali negara) Portugis bernama Joao Fogoca,
diutus ke pulau-pulau di Papua (Kepulauan Raja Ampat), dan oleh usahanya,
sebagian dengan bujukan dan sebagainya dengan kekerasan senjata, dapat
menaklukkan raja-raja tersebut dan menempatkan mereka di bawah kekuasaan
Ternate.
Tahun 1528: Alvaro de Saavedra dengan kapal “Florida” diutus oleh Gunernur
Spanyol di Tidore berlayar ke Meksiko pada pertengahan tahun 1528. Akan tetapi
selama satu bulan dia harus menunggu angin baik di Pulau Haney ialah Ambai di
Serui, yang olehnya Pulau Serui diberi nama “Isla del Oro” atau “Pulau Emas”.
Selanjutnya, dikatakan bahwa dia tingal diantara orang-orang telanjang yang telah
mengenal alat-alat dari besi.
Tahun 1545: Pada tanggal 16 Mei Juni 1545 kapal “San Juan” yang dibawah
pimpinan Ortiz de Retes berangkat dari Tidore menuju Mexico. Pagi hari tanggal 13
Juni 1545 dia sampai di kedua pulau yang lalu diberi nama “La Sevillana” (Supiori)
dan ”La Callega” (Biak). Sore harinya dia melihat pulau lagi dan diberi nama “Los
Martiyres” (Pulau Numfor).
Kunjungan yang lebih penting terjadi
Nama-nama tempat di Papua yang diberikan pada tanggal 20 Juni 1545, ketika di salah
oleh pelaut Portugis, Spanyol, Perancis dan satu muara sungai Amberno (Sungai
belanda adalah: Mamberamo) di pantai utara Papua
1. Janggi/Jangge/Zangge/Sanji atau Seng-
ki’ adalah nama untuk Pulau Papua pada
berlabuh kapal ‘San Juan’ yang sedang
jaman kerajaan Sriwijaya berada dalam perjalanan ke Meksiko.
2. ‘Tung-ki’ adalah sebutan orang Tiongkok Pendaratan oleh orang Spanyol di kaki
untuk Pulau Papua pegunungan yang indah itu tidak
3. Vaigama (sama dengan Waigama di disaksikan oleh penduduk pribumi, karena
Misol), Vaigue (sama dengan Waigeo), daerah tersebut tidak dihuni. Di bawah
Quibibi (sama dengan Gebe atau Kapiboi),
Umka (di Saonek) sebutan yang dipakai
pimpinaan Ortiz de Retes, sejumlah orang
oleh orang tidore Spanyol mendarat untuk mengambil air
4. ‘Wwanin’, dan ‘Sran’ adalah nama lain dan kayu bakar. Tanpa ada gangguan, Ortiz
dari daerah Onin dan Kowiai yang de Retes mengadakan suatu upacara kecil,
digunakan oleh ahli Jawa Kuno. dan menyatakan pulau yang dijejaknya
5. Gilolo adalah nama untuk Pulau Raja sebagai milik raja Spanyol. Ortiz de
Ampat yang digunakan oleh Pagifetta
Retes-lah yang pertama-tama
dalam laporannya
6. Alfaro de Saaveldra yang memberi nama menamakan Papua itu Nueva Guinea
Pulau Yapen dengan sebutan “Isla del (Guinea Baru). Pemberian nama itu
Oro” karena baik daerahnya maupun
7. Ortis de Rettez member nama Pulau penduduknya mempunyai persamaan
Supiori dengan sebutan “La Sevillana” dengan Guinea di Afrika.
Pulau Biak dengan sebutan ”La Callega”
Meskipun Ortiz de Retes telah berusaha
dan Pulau Numfor dengan sebutan “Los
Martiyres”
menyatakan pulau Papua sebagai milik raja
8. Ortiz de Retez yang pertama kali member Spanyol, dalam kenyataan penguasa-penguasa
nama Papua dengan sebuta Nueva Guinea Spanyol di Maluku tidak dapat membela
9. “de deux Cyklopes” adalah nama yang kepentingan raja mereka di pulau tersebut.
diberikan oleh seorang pelaut Perancis Bahkan, penguasa Belanda di perairan Maluku
Louis Antonie Baron de Bougainville
berhasil meniadakan kemungkinan orang
10.“Homboldtbai” adalah nama yang Spanyol untuk memperoleh rempah-rempah
diberikan oleh seorang pelaut Perancis
yang hendak dijual di Eropa, sehingga akhirnya
Jules Sebastien Cesar Dumond yang
sekarang disebut Teluk Youtefa di Kta
penguasa Spanyol terpaksa meninggalkan
Jayapura d’Urville untuk Teluk Imbi Tidore dan seluruh perairan Maluku, dan
menarik diri ke Manila, Philipina dalam tahun
ETNOGRAFI PAPUA 28
1663. Dengan demikian penduduk pribumi Papua tidak lagi melihat wakil-wakil raja
Spanyol di daratan pula mereka. Sesudah Ortiz de Retes menyusul beberapa pelaut
Spanyol lain berkunjung ke Papua seperti: Miguel de Legaspi (1546), Alvaro Mendana de
Neyra (1567), Christoforo d’Acosta dan Nicolaas Nunez (1569), Marcos Prancudo, Joan
Roquillo (1580-1581), Antinio Marta (1591-1593), Ruy Gonzales de Siqiera, Miguel Roxo
de Brito, Alvaro de Medana de Nyeyra (1595), Joseph Hall (1605), Pedro Fernandez de
Quiros dan Luis Vaez de Torres (1605-1566).
Tahun 1768: Pelaut berkebangsaan Perancis yang bernama Louis Antonie Baron
de Bougainville singgah di Teluk Imbi yang indah dengan kapal layar “Boudeuse” dan
“d’ Etoile” tanggal 13 Agustus 1768. Kapal-kapal itu berangkat dari Nantes di Perancis
tanggal 15 Nopember 1766 untuk mengadakan penyelidikan dan pemetaan di daerah
Timur Jauh menuju Rio de Janeiro di Brasil. Sebagai penghormatan kepada pimpinan
kapal dunia ilmu pengetahuan memberi nama kembang Bougainville menurut namanya.
Terpesona melihat pegunungan dekat Teluk Yotefa dengan tiga puncaknya yang
merupakan gigi-gigi tajam dia memetakannya dengan nama: “de deux Cyklopes” atau
Pegunungan Cyklop, menurut nama seorang raksasa yang menyeramkan dengan hanya 1
mata dari mythology Yunani. Mungkin dia melihat pegunungan ini sebagai satu raksasa
yang muncul dari permukaan laut dan berdiri dengan pongahnya.
12 Agustus 1827: Jules Sebastien Cesar Dumond d’Urville dengan kapal layar
yang bernama “Astrolabe” yang berangkat dari Toulon di Perancis berlabuh di Teluk Imbi
yang indah dan ia namakan “Homboldtbai” sebagai penghargaan dan kenang-kenangan
terhadap sarjana penyelidik bangsa Jerman yang bernama F.H. Alexander Baron von
Humboldt yang terkenal dalam perjalanan antara tahun 1799-1805 melalui Amerika
Selatan – Tengah dan Teluk Imbi. Sejak saat itu nama Homboldbai dipakai sampai dengan
tanggal 1 Mei 1963 baru diganti dengan nama Teluk Yos Sudarso. Selanjutnya tanjung-
tanjung yang mengapit Teluk Humboldt dia beri nama Tanjung Bondpland (nama teman
seperjalanan Baron von Humboldt) dan Tanjung Caille. Kedua tanjung ini ialah
Tanjung Suaja dan Tanjung Suar di seberangnya.
Tahun 1793: Perhatian serius dari orang Eropa untuk menjadikan Pulau Nieuw
Guinea sebagai wilayah kekuasaannya sesungguhnya berasal dari orang Inggris. Pada tahu
1793, orang Inggris di bawah pimpinan John Hayes, Kapitan Court, dan Mac Cluer
mendirikan satu benteng di Teluk Dore yang diberi nama Coronation di
perkampungan “New Albion”, yang merupakan benteng pertama di di Pulau Nieuw
Guinea, dan lalu ditinggalkan pada tahun 1795 karena sikap bermusuhan penduduk
setempat. Benteng ini dilengkapi 12 meriam dan pagar sekeliling dengan balok-balok
kayu.
Tahun 1892: Willem Doherty, seorang Penghimpun jenis-jenis hewan (dieren
versamelaar) berkebangsaan Inggris singgah di Humboldtbai dan pada tahun yang sama
dapat menemukan danau Sentani
Tahun 1561: Pastor Marcos Prancunda mencatat bahwa pada waktu itu di Tanah
Papua terbagi dalam empat kerajaan, yaitu Miam, Misol, Ogneo (Waigeo), dan Noton
(nama yang dipakai waktu lampau untuk bagian barat tanah besar di Kepala Burung).
Tahun 1569: Nic. Nunez, seorang pendeta Yesuit melaporkan bahwa raja Bacan
(dari Maluku Utara) berteman akrab dengan beberaja raja Papua, dan bahwa Tanah Papua
adalah suatu tanah besar yang dikuasai banyak raja-raja dan mereka minta untuk
dibaptiskan menjadi Nasrani.
Tahun 1893: Utusan Zending G. L. Bink mengunjungi Teluk Homboldtbai dan
Danau Sentani.
ETNOGRAFI PAPUA 29
Tahun 1605: Kapal pertama VOC yang mengunjungi Nova Guinea ialah kapal
“Duyfke” dan perjalanan ini dilakukan karena mereka hanya mendengar kabar secara
samara-samar mengenain Nova Guinea karena dirahasiakan oleh Portugis dan Spanyol.
Kapal ini hanya sampai di Teluk Carpentaria dan segera kembali.
Tahun 1616: Jaques La Maire dan Willem Cornelius Schouten bertolak dari negri
Belanda dan mengunjungi bagian utara pulau-pulau Schouten dan Waigeo.
Tahun 1623: Gubernur Ambon mengirim kapal “Arnhem” dan “Pera” di bawah
komando Jan Cartensz dan melaporkan adanya gunung yang ditutup salju. Menurut
namanya puncak gunung itu diberi nama Cartenz – top, yang belakangan menjadi
puncak Sukarno.
Tahun 1636: Gerrit Thomas dan Pieterszoon dengan kapal “Cleen Wesel”
mengadakan perdagangan kulit kayu massoi. Akan tetapi, banyak anak buahnya
dibunuh penduduk di pantai barat Kumawa dan Otakwa, sehingga sungai tempat
pembunuhan itu dinamakan “Sungai Pembunuhan” (Doodslagers en
Moordenaarsrivier). Kemudian mereka juga tiba di Namatote, tetapi Pool dan
beberapa anak buahnya tewas diserang penduduk setempat, sehingga sungai tempat
peristiwa itu dinamakan “Sungai Maut” (Doodslag rivier).
Tahun 1698: Johannes Kreyts dengan kapal-kapal “de Pisang”, “Rogh”, “de
Spiering” mengunjungi Nova Guinea dan membagi-bagikan bendera Belanda di
tempat-tempat yahng merke kunjungi. Kontrak perdagangan pertama dilakukan di
Fatagar dan Karas.
Bulan Juli 1828: Untuk pertama kali penguasa Belanda melakukan upaya untuk
sungguh-sungguh menguasai Papua. Di pantai selatan, tepatnya di sebelah utara
Kepulauan Aru, dua kapal Belanda, yaitu ‘Triton’ dan “Iris’, berlabuh di teluk yang
terbentang di kaki Gunung Lamenciri. Kapal ‘Triton’ antara lain membawa A.J. van
Delden, seorang komisaris pemerintah Belanda yang dikirim oleh Gubernur Belanda
di Maluku untuk membangun suatu benteng yang dapat diduduki oleh suatu kesatuan
militer Belanda di Papua sebagai bukti bahwa Belanda yang menguasai daerah pantai
selatan, mulai dari garis 141* BT sampai Semenanjung Goede Hoop di pantai utara,
kecuali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sultan Tidore.
Tanggal 24 Agusutus 1828: Bertepatan dengan ulang tahun raja Willem I dari
Belanda, diadakan upacara peresmian berdirinya benteng ‘Fort Du Bus’ di Kampung
Lobo yang terletak di Teluk Triton pulau-pulau Aru sebagai benteng pertama Belanda
di Papua. Pemberian nama ini sebagai penghormatan kepada Gubernur Jenderal Du
Bus des Gisignes yang terkenal dalam Perang Diponegoro di Jawa. Di hadapan
sejumlah perwira, seperti kapten-letnan J.J. Steenboom komandan kesatuan yang
mendapat tugas mengiringi van Delden, serdadu, pegawai komisi peneliti ilmiah, dan
orang-orang pribumi, maka komisaris pemerintah van Delden membacakan suatu
proklamasi yang menyatakan bahwa “Atas nama dan untuk Sri Baginda Raja
Nederland, Pangeran Oranje Nassau, Hertog Agung Luxemburg…bagian daerah
Nieuw-Guinea serta daerah-daerah di pedalaman yang mulai pada garis 141* BT di
pantai selatan dan dari tempat tersebut di arah barat-laut, dan utara sampai
Semenanjung Goede Hoop di pantai utara, selain daerah Mansarai, Karondefer,
Ambarpura, dan Amberpon yang dimiliki oleh Sultan Tidore, dinyatakan sebagai
milik”. Sesudah proklamasi dibacakan, bendera Belanda di naikkan disertai dentuman
meriam sebanyak 21 kali. Demikianlah terwujud usaha Belanda yang pertama untuk
menguasai Papua sebagai jajahan kerajan Belanda.
Segera setelah upacara dilangsungkan , hubungan antara pihak Belanda dan
penduduk pribumi ditentukan dalam surat-surat perjanjian yang ditandatangani oleh
Sendawan raja Namatotte, Kassa raja Lakahia, dan Lutu orang kaya Lobo dan
ETNOGRAFI PAPUA 30
Mawara. Ketiga kepala daerah ini oleh Belanda masing-masing diberi surat
pengangkatan sebagai kepala daerah, berikut tongkat kekuasaan berkepala perak.
Selain ketiga kepala daerah ini diangkat pula 28 kepada daerah bawahan.
Benteng ‘Fort Du Bus’ dibongkar pada tahun 1835 karena kondisi geografis
(terutama iklimnya) yang tidak mendukung bagi keberadaan pasukan Belanda.
Juga karena penyakit dan serangan penduduk setempat mengakibatkan 10
perwira Belanda, 50 tentara Belanda totok, dan 50 tentara Belanda bangsa
Indonesia (KNIL) menemui ajalnya. Berbagai tempat di daratan Papua dikunjungi
kapal-kapal Belanda yang mencari tempat yang baik untuk mendirikan benteng baru,
tetapi baru dalam tahun 1861 pemerintah Belanda terpaksa mengambil keputusan
untuk tidak mendirikan benteng baru di Papua sebagai pengganti benteng “Du Bus’.
Usaha pertama untuk menegakkan kekuasaan Belanda di Papua untuk sementara
mengalami kegagalan.
Penelitian tahun 1846: oleh komisaris pemerintah A.L. Weddik yang ditugaskan
oleh Gubernur Jenderal Belanda di Batavia memperoleh keterangan bahwa kekuasaan
kerajaan Tidore di pantai utara Papua meliputi daerah yang lebih luas daripada yang
disangka semula, tidak hanya daerah Mansari, Karondifer, Amberpur dan Amberpon
saja, melainkan juga daerah pantai utara sampai ke Semenanjung Bonpland, sudut
timur dari teluk Humboldt, yang terletak di garis 140* 47’ BT.
Tahun 1849: Pangeran Amir sebagai wakil Sultan Tidore menyertai suatu
kesatuan Belanda yang dikirim ke pantai utara Papua untuk menempatkan tanda milik
Belanda di daerah Dorei, di Pulau Roon, serta di Pulau Ansus dan di Pulau Kurudu
yang masing-masing terletak di sebelah selatan dan disebelah timur Pulau Yapen.
Maksud untuk meneruskan perjalanan ke Teluk Homboldt (kini Teluk Yotefa), tidak
kesampaian.
Tahun 1850: Pangeran Ali sebagai wakil Sultan Tidore pergi mengunjungi
daerah pantai selatan Papua. Mula-mula ia mengunjungi Tanjung Sele, ujung terbarat
dari Papua, kemudian Ati-Ati, Kowiai, Kapia, dan daerah Merkusoord, bekas daerah
lokasi benteng Du Bus. Di daerah-daerah itu ia menempatlkan suatu tanda milik
Belanda, Maksud untuk meneruskan perjalanan ke Pulau Frederick Hendrick di
sebelah timur tidak terlaksana karena serangan badai dan arus menentang.
Tahun 1858: Kapal perang “Etna” dibawah pimpinan Lt. G. Rijn berlabuh di
Humboldtbai dengan membawa ekspedisi ilmiah dibawah pimpinan Residen dari
Bangka H.D.A. van der Goes.
Tanggal 11 Oktober 1871: Tanda batas wilayah jajahan Belanda di pantai utara
Papua ditempatkan oleh A. Smiths, komandan kapal Dasson di dekat Semenanjung
Bonpland, sudut timur Teluk Humboldt, antara sejumlah pohon kelapa di tempat yang
tidak dihuni. Tanda batas tersebut berbentuk suatu tiang besi dengan lambang kerajan
Belanda. A. Smits mendarat di pantai Teluk Humboldt beserta beberapa orang
pangeran Tidore. Menurut perhitungan A. Smits, tempat tanda batas itu didirikan pada
garis 141* 9’ BT.
Tanggal 7 Desember 1892: Didirikan suatu pos baru (jadi pos kedua sesudah
benteng Du Bus) di Selerika (Sairire) di daerah Merauke, dekat perbatasan, untuk
mengawasi penduduk Tugeri (Marind Anim) yang melakukan pengayauan kepala di
daerah kekuasaan Inggris. Pos baru ini juga hanya dalam beberapa hari saja
ditinggalkan bukan karena gangguan iklim dan kesehatan seperti yang terjadi di
benteng Du Bus, tetapi karena sikap bermusuhan penduduk setempat. Walaupun
demikian usaha untuk mendirikan pos baru ini merupakan satu langkah awal kea rah
penentuan garis batas yang jelas antara wilayah yang dikuasai oleh pemerintah
Belanda dengan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Inggris dan Jerman.
ETNOGRAFI PAPUA 31
Tahun 1900: Pembukaan Pos Pemerintah di Pulau Debi dekat Tobati di Teluk
Jotefa sebagai ibu kota. Selanjutnya, J.M. Dumas, seorang pedagang membuka
usahanya dan menetap di Pulau Debi, di sebelah barat Enggros di Teluk Yotefa. J.M.
Dumas memperdagangkan burung Cenderawasih, dammar dan lain-lain
Tahun 1901: L. A. van Oosterzee, Controleur Manokwari bersama anak buah
kapal Hr. Ms. Ceram, memuat danau Sentani ke dalam peta (kaart) setelah
mengunjungi dan menyaksikannya secara langsung dari dekat.
Tahun 1902: Dibuka pos pemerintah dengan nama Afdeling Zuid-Nieuw Guinea
di Merauke dengan menempatkan 160 orang tentara dibantu polisi dan orang-orang
rodi (kerja paksa).
Tahun 1903: Exspedisi Wichman yang diberangkatkan atau biaya Treub Institut
berkemah di Debi selama 4 bulan dan mereka tiba tanggal 13 Maret 1903 dengan
kalap G.S.S. Zeemeeuw dengan membawa rombogan peneliti: Prof. Dr. Wichmann
(Geolog), J. van der Sande (Kesehatan), L.F. de Beaufort (Kehewanan), J,M. Dumas
(Pedagang), Mas Djipja (dari Kebun raya Bogor), dan Prof. Dr. John (Kesehatan).
Oleh karenma itu, dari tulisan-tulisan mereka kita mendapatkan banyak data-data
tentang Teluk Humboldt, Danau Sentani, dan sekitarnya.
Tahun 1906: Pemerintah Nederlandsch Nieuw Guinea menempatkan P.
Windhouwer di Pulau Debi sebagai post-houder sebagai persiapan penentuan
perbatasan antara Nederlandsch Nieuw Guinea dan Nieuw Guinea Jerman.
Tahun 1909: Tepatnya tanggal 28 September 1909 kapal “Edi” mendaratkan
satu detasemen tentara dibawah komando Kapten Infantri F.J.P. Sache di dekat
sungai Numbai. Selanjutnya mereka membuat pemukiman pertama yang terdiri dari
tenda-tenda dan perumahan yang dihuni oleh 4 perwira, 80 tentara, 60 pemikul,
beberapa pembantu dan istri-istri tentara, sehingga jumlah total penghuni sebanyak
290 orang. Pemukiman (bivak) tersebut kemudian dikenal sebagai Hollandia
(Jayapura) sejak 10 Maret 1910.
D. Pemetaan Suku-Suku Bangsa Di Papua
Dalam uraian ini, saya akan membahas Kategori-kategori Kebudayaan Papua
yang pernah di buat oleh ahli-ahli Antropologi dan Linguistik. Menurut SIL (Sumer
Institute of Language) bahwa Kebudayaan Papua, jika dikategori berdasarkan bahasa maka
di Papua terdapat 251 bahasa (Peter J.Zilzer & H.H Clouse, 1991).
Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan di Papua menunjukkan corak yang
beraneka ragam yang disebut sebagai kebhinekaan masyarakat tardisioanal Papua.
Dalam kepustakaan Antropologi, Papua di kenal sebagai masyarakat yang terdiri
atas suku-suku bangsa dan suku-suku yang beraneka ragam kebudayaannya. Menurut Tim
Peneliti Uncen (1991) telah di identifikasi adanya 44 suku bangsa yang masing-masing
merupakan sebuah satuan masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri sendiri.
Sebagian besar dari 44 suku bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 suku. Menurut Held
(1951,1953) dan Van Bal (1954), ciri-ciri yang mencolok dari Papua adalah
keanekaragaman kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut terdapat
kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka. Perbedaan-perbedaan kebudayaan yang terdapat
dalam masyarakat Papua dapat dilihat perwujudannya dalam bahasa, sistem-sistem
komunikasi, kehidupan ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan kesenian, struktur
pollitik dan struktur sosial, serta sistem kekerabatan yang di punyai oleh masing-masing
masyarkat tersebut sebagimana terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Mientje De Roembiak (1993;1) membagi kebudayaan di Papua dalam 11
kategori daerah kebudayaan berdasarkan lingkungan ekologisnya, yaitu:
1. Kebudayaan Penduduk di daerah kepualauan Pesisir Teluk Cenderawasih;
ETNOGRAFI PAPUA 32
2. Kebudayaan Penduduk Pesisir Pantai Utara;
3. Kebudayaan Penduduk Pulau-pulau Raja Ampat;
4. Kebudayaan Penduduk Kawasan Teluk Bintuni; Fakfak dan Kaimana;
5. Kebudayaan Penduduk di daerah Hutan Dataran Rendah (disekitar danau Sentani
sampai wilayah pesisir pantai menuju ke perbatasan Negara PNG)
6. Kebudayaan penduduk di daerah sungai-sungai dan rawa-rawa dibagian selatan Papua;
7. Kebudayaan Penduduk di daerah sabana di sekitas Merauke utara dan Nimboran);
8. Kebudayaan penduduk di daerah kaki Selatan pegunungan Jayawijaya;
9. Kebudayaan Penduduk di daerah punggung pegunungan Jayawijaya, daerah Arfak dan
kawasan Danau Ayamaru;
10. Kebudayaan Penduduk kawasan pedalaman sungai-sungai didaerah Mamberamo –
Rouffaer – Idenburg;
11. Kebudayaan Penduduk Papua yang telah bermigrasi ke kota dan pesisir pantai.
Peter J. Silzer dan Heija Heikinen Clouse (1991) membagi kebudayaan Papua
berdasarkan bahasa menjadi 251 bahasa. Kebudayaan-kebudayaan ini kalau di petakan
berdasarkan administrasi pemerintahan Propinsi Papua maka penyebaran kebudayaan
Papua adalah sebagai berikut:
1. Kabupaten Biak Numfor (1 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Biak
2. Kabupaten Fak-fak (21 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Arguni
2. Kebudayaan Baham
3. Kebudayaan Bedoanas
4. Kebudayaan Buruwai
5. Kebudayaan Erokwanas
6. Kebudayaan Iha
7. Kebudayaan Irarutu
8. Kebudayaan Kamberau
9. Kebudayaan Kamoro
10. Kebudayaan Karas
11. Kebudayaan Kowiai
12. Kebudayaan Mairasi
13. Kebudayaan Mor
14. Kebudayaan Mer
15. Kebudayaan Nabi
16. Kebudayaan Nduga
17. Kebudayaan Onin
18. Kebudayaan Sekar
19. Kebudayaan Semimi
20. Kebudayaan Sempan
21. Kebudayaan Uruangnirin
3. Kabupaten Jayapura (85 kebudayaan)
1. Kebudayaan Airoran
2. Kebudayaan Anus
3. Kebudayaan Awyi
4. Kebudayaan Baguasa
5. Kebudayaan Bapu
6. Kebudayaan Baso
7. Kebudayaan Bauzi
ETNOGRAFI PAPUA 33
8. Kebudayaan Berik
9. Kebudayaan Betaf
10. Kebudayaan Biritai
11. Kebudayaan Bonerif
12. Kebudayaan Bonggo
13. Kebudayaan Burmeso
14. Kebudayaan Dabe
15. Kebudayaan Dabra
16. Kebudayaan Demta
17. Kebudayaan Dera
18. Kebudayaan Doutai
19. Kebudayaan Dubu
20. Kebudayaan Emumu
21. Kebudayaan Eritai
22. Kebudayaan Foau
23. Kebudayaan Foya
24. Kebudayaan Gresi
25. Kebudayaan Isirawa
26. Kebudayaan Itik
27. Kebudayaan Kai
28. Kebudayaan Kapitiauw
29. Kebudayaan Kapori
30. Kebudayaan Kaure
31. Kebudayaan Kauwerawek
32. Kebudayaan Kayu Pulau
33. Kebudayaan Keder
34. Kebudayaan Kemtuk
35. Kebudayaan Kwansu
36. Kebudayaan Kwerba
37. Kebudayaan Kwerisa
38. Kebudayaan Kwesten
39. Kebudayaan Liki
40. Kebudayaan Mander
41. Kebudayaan Manem
42. Kebudayaan Maremgi
43. Kebudayaan Masimasi
44. Kebudayaan Massep
45. Kebudayaan Mawes
46. Kebudayaan Mekwei
47. Kebudayaan Molof
48. Kebudayaan Morwap
49. Kebudayaan Nafri
50. Kebudayaan Narau
51. Kebudayaan Nimboran
52. Kebudayaan Nopuk
53. Kebudayaan Obukuitai
54. Kebudayaan Ormu
55. Kebudayaan Orya
56. Kebudayaan Papasena
57. Kebudayaan Pauwi
ETNOGRAFI PAPUA 34
58. Kebudayaan Podena
59. Kebudayaan Samarokena
60. Kebudayaan Sangke
61. Kebudayaan Sause
62. Kebudayaan Senggi
63. Kebudayaan Sentani
64. Kebudayaan Sikaritai
65. Kebudayaan Sko
66. Kebudayaan Sobei
67. KebudayaanTabla
68. Kebudayaan Taikat
69. Kebudayaan Tarpia
70. Kebudayaan Taworta
71. Kebudayaan Tobati
72. Kebudayaan Tofanma
73. Kebudayaan Towei
74. Kebudayaan Turu
75. Kebudayaan Usku
76. Kebudayaan Waina
77. Kebudayaan Wakde
78. Kebudayaan Warembori
79. Kebudayaan Wares
80. Kebudayaan Waris
81. Kebudayaan Waritai
82. Kebudayaan Yafi
83. Kebudayaan Yamna
84. Kebudayaan Yarsun
85. Kebudayaan Yoki
4. Kabupaten Jayawijaya (27 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Biksi
2. Kebudayaan Dani (Grand Valley)
3. Kebudayaan Dani (Western)
4. Kebudayaan Eipomek
5. Kebudayaan Hupla
6. Kebudayaan Kembra
7. Kebudayaan Ketengban
8. Kebudayaan Kimki
9. Kebudayaan Kimyal
10. Kebudayaan Kopka
11. Kebudayaan Kosare
12. Kebudayaan Lepki
13. Kebudayaan Momuna
14. Kebudayaan Mukim
15. Kebudayaan Narca
16. Kebudayaan Nduga
17. Kebudayaan Ngalum
18. Kebudayaan Nggem
19. Kebudayaan Nipsan
20. Kebudayaan Pyu
21. Kebudayaan Silimo
ETNOGRAFI PAPUA 35
22. Kebudayaan Tofanma
23. Kebudayaan Una
24. Kebudayaan Walak
25. Kebudayaan Yale
26. Kebudayaan Yali
27. Kebudayaan Yetfa
5. Kabupaten Manokwari (19 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Arandai
2. Kebudayaan Dusner
3. Kebudayaan Hatam
4. KebudayaanIrarutu
5. Kebudayaan Kaburi
6. Kebudayaan Kemberano
7. Kebudayaan Maibrat
8. Kebudayaan Mantion
9. Kebudayaan Meoswar
10. Kebudayaan Mer
11. Kebudayaan Meyakh
12. Kebudayaan Moskona
13. Kebudayaan Mpur
14. Kebudayaan Nabi
15. Kebudayaan Ron
16. Kebudayaan Tanah Merah
17. Kebudayaan Tandia
18. Kebudayaan Wandamen
19. Kebudayaan Yeretuar
ETNOGRAFI PAPUA 38
Kabupaten Jumlah Kebudayaan
Biak Numfor 1 Kebudayaan
Fakfak 21 Kebudayaan
Jayapura 85 Kebudayaan
Jayawijaya 27 Kebudayaan
Manokwari 19 Kebudayaan
Merauke 42 Kebudayaan
Paniai 21 Kebudayaan
Sorong 22 Kebudayaan
Yapen Waropen 28 Kebudayaan
Jumlah Kebudayaan 266 Kebudayaan*
* Jumlah kebudayaan bukan 251 karena suatu kebudayaan secara administrasi
pemerintahan, ia bisa terletak di dua, bahkan sampai tiga kabupaten.
ETNOGRAFI PAPUA 40
mengatur relasi atara para warga itu bersumber pada hubungan kekerabatan dan
diwujudkan dalam sistem istilah kekerabatan maupun prinsip pewarisan keturunan.
Pemahaman terhadap sistem istilah kekerabatan suatu kelompok etnis tertentu
penting sebab istilah-istilah itu mensyaratkan hak dan kewajiban yang harus diperankan
oleh masing-masing anggota kerabat terhadap anggota kerabat lain. Hak dan kewajiban itu
merupakan unsur pengikat yang menyatukan para warga kedalam suatu kesatuan sosial.
Unsur-unsur pengikat tadi tidak selalu sama pada kelompok-kelompok etnis yang berbeda.
Atas dasar studi-studi antropologi yang telah dilakukan di Papua, Power (1966)
menunjukan didalam pengelompokannya bahwa orang Papua paling sedikit dapat dibagi
dalam empat golongan berdasarkan sistem istilah kekerabatan yang dianutnya:
1. Tipe Irequois; termasuk kedalam golongan ini orang Biak, orang Iha, orang Waropen,
orang Senggi, orang Marind-Anim, orang Teluk Humboldt dan orang Mee/Ekari.
Masyarakat penganut tipe ini mengklasifikasikan anggota kerabat saudara sepupu
pararel dengan istilah yang sama dengan saudara kandung, berbeda dengan istilah
yang digunakan untuk saudara sepupu silang. Ciri lain yang biasa dipakai juga untuk
menunjukan sistem ini ialah penggunaan istilah yang sama untuk menyebut ayah
maupun untuk semua saudara laki-laki ayah dan semua saudara laki-laki ibu.
2. Tipe Hawaian; adalah suatu sistem pengelompokan yang menggunakan istilah yang
sama untuk menyebut saudara-saudara sekandung dan semua saudara sepupu silang
dan pararel. Golongan-golongan etnik yang tergolong kedalam sistem ini adalah orang
Mairasi, orang Mimika, Orang Hatam-Manikion, orang Asmat, Orang Kimam dan
Orang Pantai Timur Sarmi.
3. Tipe Omaha; adalah suatu sistem yang mengklasifikasikan saudara-saudara sepupu
silang matrilateral dan patrilateral dengan istilah-istilah yang berbeda dan istilah-
istilah untuk saudara sepupu silang itu dipengaruhi oleh tingkatan generasi dan bersifat
tidak simetris, sehingga istilah untuk anak laki-laki saudara laki-laki ibu (MBS) adalah
sama dengan saudara laki-laki ibu (MB) dan istilah untuk anak laki-laki saudara
perempuan ayah (FZS) adalah sama untuk anak laki-laki saudara perempuan (ZS).
Termasuk dalam golongan ini adalah orang Awyu, orang Dani, orang Meybrat, orang
Mek dipegunungan Bintang dan orang Muyu.
4. Tipe Iroquois-Hawaian; Termasuk golongan ini adalah Bintuni, orang Tor, dan orang
Pantai Barat Sarmi(Pouwer, 1966)
Kecuali penggolongan penduduk Papua menurut sistem istilah kekerabatan di
atas, mereka juga dapat dibedakan berdasarkan prinsip-prinsip pewarisan keturunan yang
orang Papua anut atau kenal. Ada tiga prinsip pewarisan keturunan yang dikenal diantara
orang Papua:
1. Prinsip Patrilinial; Prinsip ini dikenal dan dianut oleh orang
Meybrat, Me, Dani, Biak, Waropen, Wandamen, Sentani, Marind-Anim dan Orang
Nimboran.
2. Prinsip Bilateral; Prinsip ini dikenal dan dianut oleh masyarakat
pedalaman Sarmi
3. Prinsip Ambilateral atau Ambilineal; Prinsip ini terdapat pada
orang Mimika, orang Mapi dan orang Manikion (De Bruijin 1959:11;cf. Van der
Leeden 1954; Pouwer 1966)
Selain sifat-sifat tersebut diatas sifat lain yang dapat dijadikan unsur pembeda
adalah dikenal atau tidak dikenalnya prinsip pembagian masyarakat kedalam phatry atau
moety. Diantara orang Papua terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang membagi
masyarakatnya kedalam kelompok-kelompok moety, misalnya pada orang asmat (aipmu
dan aipem), orang Dani (waita dan waya), dan orang waropen (buriworaydan buriferai)
ETNOGRAFI PAPUA 41
tetapi ada juga yang tidak mengenal prinsip seperti itu, misalnya pada orang Muyu dan
orang Biak (Heider 1979, 1980; Mansoben 1974; Held 1947; Kamma 1972; Schoorl 1957).
h. Sistem Politik
Ciri kemajemukan lain yang sangat penting ialah tipe-tipe sistem politi atau sistem
kepemimpinan politik yang ada pada orang Papua. Untuk mengetahui sistem-sistem politik
tradisional yang dikenal oleh orang Papua, Mansoben (1985) mengaplikasikan model
kontinum yang diajukan oleh sahlins (1963) terhadap data etnografi yang ada dan yang
telah mencatat adanya empat sistem atau tipe politik. Ke empat sistem atau tipe politik
yang dimaksud adalah:
1. Sistem Big man atau Pria Berwibawa;
2. Sistem Kerjaan;
3. Sistem Ondoafi
4. Sistem Campuran
Model analisis yang diajukan oleh Sahlins (1963) itu menggunakan garis kontinum.
Pada salah satu ujung kutub garis kontinum tersebut kita jumpai suatu sistem politik yang
ditandai ciri ascription, atau pewarisan, dan pada ujung kutub yang lain terdapat sistem
politik yang bercirikan achievment, pencapaian. Pada ujung garis kontinum yang
berdirikan pewarisan itu adalah sistem kepemimpinan yang disebut chief (kepala suku),
sedangkan ujung kutub lain dari garis kontinum yang bercirikan pencapaian itu adalah
sistem kepemimpinan yang disebut Big man (pria berwibawa).
Menggunakan dikhotomi tersebut untuk mengklasifikasikan sistem-sistem politik
yang ada di Papua, Mansoben (1985) mencatat bahwa selain sistem yang berada pada
kedua ekstrem tersebut, terdapat juga suatu sistem lain yang menampakan ciri-ciri
pencapaian maupun pewarisan, sehingga tidak dapat digolongkan secara mutlak kedalam
salah satu ekstrem. Oleh karena sifat demikian maka sistem itu disebut sistem
percampuran. Selain itu didalam sistem kepemimpinan yang bercirikan pewarisan dan
yang disebut Sahlins sebagai cief itu dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu sistem kerajaan
dan sistem ondoafi. Perbedaan pokok antara dua sistem terletak pada unsur luas jangkauan
kekuasaan dan orientasi politiknya. Uraian singkat dibawah ini memperlihatkan ciri-ciri
utama serta perbedaan-perbedaan pokok diantara sistem-sistem tersebut.
Sistem politik tradisional pertama yang akan dibicarakan disini adalah sistem politik
pria berwibawa. Ciri utama dari sistem ini ialah kedudkan pemimpin diperoleh melalui
pencapaian. Sumber kekuasaan dari tipe politik ini terletak pada kemampuan individual
yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk nyata seperti keberhasilan mengalokasi dan
mendistribusikan kekayaan (kekayaan material), kepandaian berdiplomasi dan berpidato,
keberanian memimpin perang, memiliki fisik tubuh yang berukuran besar dan tegap
ETNOGRAFI PAPUA 42
dibandingkan dengan anggota-anggota lain didalam masyarakatnya dan memiliki sifat
bermurah hati (Sahlins 1963; Koentjaraningrat 1970, 1984). Ciri kedua dari sistem politik
ini ialah pelaksanaan kekuasaan dijalankan oleh hanya satu orang saja, yaitu pemimpin itu
sendiri, jadi secara tunggal, autonomous. Contoh masyarakat pendukung ini adalah orang
Dani, orang Asmat, orang Me, orang Meybrat dan orang Muyu.
Sistem kedua adalah sistem politik kerajaan. Ciri utama dari sistem ini ialah
pewarisan kedudukan pemimpin, ascribed status. Pewarisan kedudukan disini bersifat
senioritas baik dilihat dari urutan kelahiran maupun klen. Ciri lain dari sistem ini adalah
pelaksanaan kekuasaan pada masyarakat tradisional seperti ini disebut oleh Weber
(1972:126) sebagai birokrasi patrimonial atau birokrasi tradisional, peranannya adalah
sebagai mesin politik, yaitu alat untuk menjalankan perintah-perintah dari penguasa.
Didalam birokrasi itu terdapat pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemimpin
dan para pembantu yang berperan sebagai pegawai. Seperti halnya dengan kedudukan
pemimpin yang diwariskan, disinipun kedudukan para pembantu diwariskan, Jika tidak
kepada anak yang sulung, maka kedudukan tersebut dapat dijabat oleh salah seorang
kerabat didalam klan sendiri yang memenuhi persyaratan yang dituntut. Masyarakat sistem
ini terdapat bagian barat daya Papua, meliputi kepulauan Raja Ampat, Semenanjung Onim,
Teluk MacCluer dan daerah Kaimana.
Tipe ketiga adalah sistem politik Ondoafi. Ciri-ciri utama sistem politik ondoafi
adalah pewarisan kedudukan dan birokrasi tradisional, jadi sama dengan sistem politik
kerajaan seperti yang sudah dibicarakan di atas. Namun demikian sistem ondoafi berbeda
dari sistem kerajaan disebbabkan oleh faktor-fator teritorial dan orientasi politik. Wilayah
atau teritorial kekuasaan seorang pemimpin pada sistem politik ondoafi meliputi atau
hanya terbatas pada satu Yo atau kampung saja dan kesatuan sosialnya hanya terdiri dari
satu golongan atau sub golongan saja. Sebaliknya wilayah atau teritorial yang dikuasai
oleh seorang pemimpin pada sistem kerajaan tidak terbatas pada satu kampung saja,
melainkan meliputi suatu wilayah gegrafis yang lebih luas dan didalamnya terdapat
kesatuan-kesatuan sosial berupa golongan-golongan etnik yang berbeda satu sama lain.
Perbedaan lain adalah jika pada sistem politik kerajaan pusat orientasi kekuasaannya
adalah perdagangan, maka pada sistem politik ondoafi pusat orientasi kekuasaan adalah
religi. Sistem politik ondoafi terdapat dibagian timur laut Papua, dengan masyarakat
pendukungnya masing-masing orang Sentani, orang Genyem, Penduduk Teluk Humbolt,
orang Tabla, orang Yaona, orang Yakari-Skouw dan orang Arso-Waris.
Sistem kermpat adalah sistem kepemimpinan percampuran. Ciri-ciri sistem
percampuran adalah kedudukan pemimpin diperoleh melalui pewarisan dan pencapaian.
Atau dengan kata lain, didalam sistem ini seseorang dapat menjadi pemimpin masyarakat
berdasarkan kemampuan individualnya, jadi berdasarkan prestasi dan juga berdasarkan
keturunan.
Para pemimpin yang tergolong pada golongan pertama (berdasarkan prestasi) itu
biasanya muncul pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat adanya peperangan anatara
kampung atau wilayah, atau pada saat terjadi bencana alam seperti pada musim kelaparan,
wabah penyakit atau pada saat terjadi dekadensi kebudayaan. Mereka yang tergolong
dalam kategori ini disebut sebagai pemimpin situasional, karena mereka berperan sebagai
pemimpin pada situasi-situasi tertentu yang menuntut penampilan seorang
pemimpindengan kemampuan-kemampuan khusus untuk menjawab tantangan yang terjadi
pada situasi tertentu
Kedudukan pemimpin yang didasarkan atas sifat pewarisan yang terdapat di dalam
sistem percampuran biasanya terjadi apabila masyarakat tidak mengalami berbagai macam
gangguan baik yang bersifat bencana alam maupun bukan bencana alam, misalnya
peperangan. Dalam keadaan “aman” muncul pemimpin-pemimpin yang berasal dari
ETNOGRAFI PAPUA 43
keturunan pendiri kampung. Seperti yang sudah dikemukakan di atas bahwa kedudukan ini
diwariskan dalam klen pendiri kampung, tetapi berbeda dengan sistem pewarisan
kedudukan baik pada sistem kerajaan maupun sistem ondoafi karena pada sistem
percampuran tidak dikenal “birokrasi”. Masyarakat pendukung sistem percampuran
terdapat terutama pada penduduk Teluk Cenderawasih, seperti orang Biak, orang
Wandamen, orang Waropen, orang Yawa dan orang Maya.
Agama-agama besar seperti Islam dan Kristen masuk di daerah Papua pada periode
waktu yang berbeda-beda. Agama besar pertama yang masuk di Papua adalah Agama
Islam. Agama Islam yang masuk di Papua, yaitu di daerah kepulauan Raja Ampat dan
daerah Fak-fak berasal dari Kepulauan Maluku dan disebarkan melalui hubungan
perdagangan yang terjadi antara kedua daerah tersebut. Menurut Van der Leeden
(1980:22), agama Islam masuk di kepulauan Raja Ampat ketika daerah tersebut mendapat
pengaruh dari Kesultanan Tidore tidak lama sesudah agama tersebut masuk di Maluku
pada abad ke 13. Walaupun agama Islam lebih lama masuk di daerah-daerah tersebut di
atas, namun tidak disebarkan secara luas kepada penduduk, melainkan hanya dipeluk oleh
golongan-golongan tertentu saja dalam masyarakat ialah golongan penguasa terutama di
kalangan keluarga raja-raja dan pembantunya.
Sejak masuknya agama Islam di daerah Papua hingga sekarang tidak ada usaha
penyebaran ajaran agama tersebut kepada penduduk Irian sehingga pemeluknya tetap
terbatas pada lingkungan pemeluk agama tersebut speerti pada saat permulaan. Pada tahun-
tahun terakhir ini baru ada usaha penyebaran agama Islam di luar daerah-daerah tersebut
tadi, seperti misalnya upaya yang dilakukan oleh Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS)
untuk mendirikan persekolahan umum dan pengajian bagi orang-orang Dani di daerah
Walesi, Lembah Baliem sejak tahun 1990-an. Menurut Sensus Penduduk 1990, penduduk
di Papua (penduduk asli dan penduduk yang berasal dari daerah lainnuya di Indonesia)
yang memeluk agama Islam berjumlah 405.725 jiwa atau 20,5% dari total penduduk
Papua.
Agama besar lain yang datang dari luar adalah agama Kristen, Agama Kristen masuk
di Papua pada pertengahan abad ke 19, jadi kurang lebih enam abad sesudah agama Islan
dikenal oleh sebagian besar penduduk Papua. Meskipun agama Nasrani masuk di Papua
hampir setengah abad lalu, namun penyebaran dan penerimaannya berbeda antara satu
golongan etnik lainnya, sebab ada golongan etnik yang menerima pada masa awal
penyebarannya, misalnya penduduk di Teluk Doreri, Manokwari, penduduk di sepanjang
Teluk Wandamen dan pulau-pulau yang terletak di Teluk Cenderawasih (Kamma 1953),
tetapi ada juga yang baru menerimanya tidak lebih beberapa belas tahun yang lalu,
terutama di antara di antara penduduk yang berdiam di pegunungan Tengah, misalnya
orang Mek di Lembah Selah yang baru mengenal dan menerima agama Nasrani pada tahun
1980 (Godschalk 1993:23).
Para pekabar injil Nasrani pertama yang membawa masuk agama Kristen di daerah
Papua adalah Ottow dan Geisler. Dua orang penginjil ini diutus oleh Pdt Gossner dari
Berlin, Jerman atas inisiatif Pdt. Heldring untuk pekabaran Injil di New Guinea (Kamma
1953:96). Para pekabar injil, Ottow dan Geisler, tiba di Pulau Mansinam, Teluk Doreri di
Papua pada tanggal 5 Februari 1855. Penginjil Ottow bekerja kurang lebih tujuh tahun
lamanya (1855-1962), meninggal dunia dan dikubur di Kwawi, Manokwari, sedangkan
penginjil Geisler bekerja lebih 14 tahun (1855 1870), kemudian kembali dan meninggal di
negeri asalnya, Jerman. Usaha pengkristenan yang dilakukan oleh Ottow dan Geisler, yang
pada mulanya kurang berkembang itu, kemudian dilanjutkan oleh pendeta-pendeta Belanda
yang diutus oleh badan pekabaran injil bernama Utrechtsche Zendings Vereniging (UZV)
yang tiba di Mansinam pada tahun 1862.
ETNOGRAFI PAPUA 45
Meskipun upaya pengkristenan pada limapuluh tahun pertama kurang berhasil, hal
ini dapat dilihat pada jumlah orang yang dibaptis hanya berjumlah 260 orang saja (Kamma
1953:101), namun limapuluh tahun berikutnya terjadi perubahan besar sebab banyak orang
Papua menerima agama Kristen. Pada tahun 1956 orang Papua mendirikan suatu gereja
yang berdiri sendiri Gereja Kristen Injili (GKI) dan waktu sekarang Gereja Kristen Injili di
Papua merupakan Gereja yang paling besar jumlah anggotanya dibanding engan gereja-
gereja Protestan lainnya. Kegiatan Gereja Kristen Injil di Papua pada waktu sekarang
meliputi delapan wilayah pelayanan dan 24 klasis.
Pekabaran agama Nasrani di Papua yang diawali oleh badan Zending Utrechtsche
Zendingsvereniging pada pertengahan abad lalu itu kemudian disusul oleh berbagai aliran
gereja Protestan lainnya seperti Unevangelized Field Mission (UFM) yang mulai
pekabarannya di daerah belakang Jayapura pada tahun 1951, aliran Gereja Pantekostan
Bethel di Sorong pada pertengahan tahun 1930 – an, Christian and Missionary Alliance
(CMA) di Enarotali (Danau-Danau Paniai) pada tahun 1939, Gereja Baptis di daerah
Inanwatan dan Ayamaru pada tahun 1940-an, Regions Beyond Missionary Union (RBMU)
pada tahun 1952 dan Gereja Protestan Maluku di Fak-fak pada tahun 1930 (Kamma
1953:112-130).
Pada waktu sekarang, selain badan gereja-gereja tersebut di atas, bermacam-macam
aliran gereja protestan lainnya seperti gereja Advent, Gereja Pantekosta Indonesia, Jahova,
Gereja Alkitab Indonesia dan Gereja Kemah Injil Masehi Indonesia juga bekerja di Papua.
Hasil pengkristenan yang dimulai kurang lebih satu setengah abad laludi Papua oleh
bermacam-macam aliran gereja protestan, menurut sensus penduduk tahun 1995, jumlah
penduduk papua beragama kristen adalah 1.130.021 orang atau 57% dari total penduduk
Papua yang menjadi dari anggota gereja-gereja protestan tersebut (Sensus Penduduk 1980,
Seri I, BPS, Jakarta).
Berbeda dengan agam kristen protestan yang melalui pekabaran injilnyadibagian
utara Papua, maka agama Roma Khatolik melakukan misi pekabaran injilnya di bagian
selatan Papua. Kegiatan misi Roma khatolik di bagian selatan Papua ditandai oleh
kedatangan Pastor Le Cocq d’Armandville S.J. di Kapaur dekat Fak-Fak pada tahun 1894.
Le Cocq d’Armandville S.J. adalah Pastor Yesuit pertama yang diutus oleh ordo Yesuit
yang sudah bekerja satu abad sebelumnya di daerah lain dikepulauan Indonesia untuk
membuka lapangan pekabaran injil di Nieuw Guinea, Ia tidak bekerja lama di daerah
tersebut sebab satu tahun kemudian tenggelam di daerah Mimika dalam satu perjalanan
orientasinya, menyebabkan berhenti untuk sementara waktu.(Verschueren 1953;183).
Meskipun ada beberapa kunjungan yang dilakukan oleh para misionaris Yesuit di
daerah Merauke antara 1892 dan 1902, namun kegiatan resmi misi Roma Khatolik di
daerah ini dimulai pada tahun 1902 ketika ordo Misi Hati Kudus (Missionarissen van het
Heilige Hart) dari negeri Belanda yang perwakilannya berkedudukan di Langgur,
Kepulauan Kei, mendapat hak untuk melakukan kegiatan misi di daerah tersebut.
Sungguhpun demikian kegiatan misi baru dilakukan secara nyata setelah dua orang pastor
bersama dua orang broeder tiba di Merauke pada tanggal 14 Agustus 1905 (Verschueren
1953: 183).
Kegiatan misi yang dimulai di daeran Merauke itu relatig lebih cepat berkembang
dengan kegiatan zending dibagian utara Papua, karena dalam kurun waktu lebih 50 tahun,
telah menjadi vikariat sendiri pada tahun 1920, kemudian berkembang menjadi dua
vikariat, masing-masing vikariat merauke pada tahun 1950 dan vikariat Holandia
(Jayapura) pada tahun 1954. Perkembangan lebih lanjut adalah pembagian daerah Papua
menjadi tiga wilayah administrasi keuskupan pada tahun 1966, masing-masing Keuskupan
Agung Merauke (meliputi daerah Merauke), Keuskupan Jayapura (meliputi daerah
Jayapura, Wamena, Mimika dan Paniai) dan Keuskupan Menokwari (meliputi daerah
ETNOGRAFI PAPUA 46
Manokwari, Sorong dan Fak-Fak). Selain itu terbentuk juga keuskupan Agats pada tahun
1969. Pembagian keuskupan seperti tersebut diatas didasarkan atas ordo yang melakukan
kegiatan misi di daerah tertenut. Dengan demikiandaerah keusukupan Agung Merauke
merupakan daerah kerja Ordo Hati kUdus (MSC), Keuskupan Jayapura merupakan daerah
kerja Ordo Fransiskan, Ordo Fransiscanen Missionaries (OFM), daerah Keuskupan
Manokwari merupakan daerah kerja Ordo Agustinus (OSA) dan Keuskupan Agats
merupakan daerah kerja Ordo Salib Suci, Ordo Sacred Cross (OSC).
Hasil upaya pengkristenan yang dilakukan oleh misi Roma Katolik di daerah Papua
selama hampir satu abad lamanya dapat dilihat pada jumlah pemeluk agama Roma Katolik
yang ada. Menurut Sensus Pendudukan 1995 jumlah orang Irian yang memeluk agama
Kristen Roma Katolik adalah sebanyak 430.011 jiwa tau 21,80% daro total penduduk
Papua.
Sejak tahun 1960-an agama Hindu dan agama Budha masuk juga di Papua, tetapi
para pendukungnya berasal dari suku-suku bangsa di luar Papua yang datang bekerja
sebagai pegawai pemerintah atau swasta. Jumlah pemeluk agama Budha pada tahun 1995
adalah 2.702 orang atau 0.13% dari pemeluk agam Hindu sebanyak 3.644 orang atau
0.18% dari pemeluk agama di Papua.
Uraian diatas tadi menunjukkan kepada kita bahwa aspek agama menambah dimensi
kemajemukan (diversitas) orang Irian yang terdiri dari berbagai etnis atau suku-suku
bangsa itu. Di satu pihak aspek agama tertentu (misalnya Islam atau Kristen Protestan)
menyatukan para anggotanya yang berasal dari berbagai golongan etnis ke dalam satu
kesatuan umat agama, tetapi pada pihak yang lain justru agama memecahkan anggota-
anggota datu satu golongan etnis ke dalam umat yang berbeda-beda berdasarkan agama
yang dipeluknya.
ETNOGRAFI PAPUA 51
Selanjutnya kajian-kajian antropologi tentang kebudayaan-kebudayaan di Papua
menunjukan bahwa ada dua macam persepsi tentang hubungan manusia dengan manusia
menurut kerangka Kluckhohn. Pertama adalah kebudayaan-kebudayaan yang sangat kuat
berorientasi vertikal. Hal ini terutama terdapat pada kebudayaan-kebudayaan yang mengenal
system kepemimpinan berbentuk kerajaan, seperti misalnya kebudayaan-kebudayaan yang
terdapat di semenanjung Onin dan daerah Kowiai serta Kepulauan Raja Ampat dan
kebudyaan-kebudayaan yang mengenal system Kepemimpinan Kepala Klan atau
kepemimpinan Ondoafi yang didukung oleh suku-suku bangsa yang berdiam di bagian timur
laut Papua, misalnya orang Tabla, Orang Skow, Orang Nimboran, orang Sentani dan
penduduk Teluk Yos Sudarso.
Menurut Tradisi seorang pemimpin dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut di atas
adalah turuunan moyang mitos yang berperan sebagai mediator untuk menjaga hubungan
antara duunia nyata dengan dunia gaib, menyebabkan sang pemimpin dianggap sakti dan
oleh karena itu kekuasaannya bersifat Magis. Kedudukan demikian menyebabkan adalanya
nilai yang terlampau berorientasi vertical kea rah sang pemimpin, atasan, orang yang senior
dan yang selalu dimintai restu terlebih dahulu sebelum berbuat sesuatu.
Nilai yang berorientasi vertical kea rah atasan, menurut Koentjaraningrat, akan
mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri dan akan menyebabkan timbulnya sikap tak
percaya pada diri sendiri. Nilai seperti tiu juga akan menghambat tumbuhnya rasa disiplin
pribaaadi yang murni, karena orang hanya taat kalau ada dpengawasan dari atas, tetapi akan
merasa tak terikat lagi kalau pengawasan tadi menjadi kendor atau pergi. Akhirnya nilai
yang terlampau berorientasi ke arah atasan akan juga mematikan rasa tanggungjawab
sendiri, tetapi akan menimbulkan rasa condong untuk selalu melemparkan tanggungjawab
ke atas, kalau tidak bisa untuk selalu membagi tanggungjawab itu dengan orang lain
sehingga rasa tanggungjawab itu menjadi sekecil mungkin (Koentjaraningrat;1974;41).
Sungguhpun orientasi nilai budaya itu menyebabkan timbulnya mentalitas tidak disiplin,
tidak berinovasi, tidak percaya diri dan tidak bertanggungjawab, kurang cocok untuk
pembangunan, namun disisi lain ada sisi positif , yaitu para pemimpin dan para senior dalam
masyarakat akan mempermudah partisipasi rakyatnya dalam pembangunan asal saja di satu
pihak mereka bersedia dan pada pihak yang lain ada kesediaan dari pelaksana program
untuk melibatkan mereka berperan aktif dalam program-program pembangunan.
Kedua, bahwa ada kebudayaan-kebudayaan di Papua yang sangat kuat berorientasi
horizontal. Dalam kebudayaan-kebudayaan seperti ini, misalnya pada orang Biak hubungan
antara warga dalam kelompok kekerabatan amat kuat menyababkan kepentingan kelompok
kekerabatan lebih diutamakan dari kepentingan individu. Diantara para warga kelompok
kekerabatan terdapat perasaan solidaritas yang amat tinggi yang didasarkan pada pandangan
“pars-prototo” artinya sebagian berarti keseluruhan. Pada demikian menimbulkan rasa aman
pada diri warga kelompok kekerabatan karena akan selalu dibantu pada waktu mengalami
kesulitan. Sebaliknya pandangan ini menimbulkan kewajiban untuk terus menerus berusah
memelihara hubungan baik sesamanya dan sedapat mungkin membagi keuntungan-
keuntungan dengan sesamanya. Prinsip membagi keuntungan dengan sesame para anggota
kerabt ini tentu saja tidak memberi peluang bagi orang untuk mengakumulasi modal guna
kepentingan dihari depan. Dengan demikian orientasi Horisontal yang amat kuat tidak cocok
untuk pembangunan.
Suatu masyarakat bisa menerima berbagai program pembangunan yang diterapkan
pemerintah pada mereka apabila terdapat keselarasan pikiran, pandangan dan saling
menghargai antara pemerintah dan masyarakat. Memahami dan memanfaatkan alam pikiran
suatu masyarakat yang menjadi acuan mereka dalam berperilaku, merupakan kunci untuk
menciptakan keadaan adil dan makmur bagi penduduk asli Papua.
ETNOGRAFI PAPUA 52
Dalam tulisan J. Boelars (1987 ; 75-80), mengungkapkan bahwa system nilai budaya
orang Papua dalam kaitannya dengan pembangunan dapat disebutkan sebagai berikuti
(terutama ia hanya melihat nilai tertinggi dalam kepribadian masing-masing suku di Papua):
Identitas itu di lihat dari partisipasi kedalam kehidupan alam semesta yang dihayati
dan dicapai melalui berbagai jalan.
m.Etos Kerja
Konsep etos kerja mengandug pengertian tentang nilai yang melandasi norma-norma
social tentang kerja. Dalam pengertian umum etos kerja dapat diartikan sebagai semangat
kerja ysng menjadi cirri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok. Dengan demikian
konsep ini mengacu pada watak dasar suatu masyarakat yang diwujudkan dalam norma
social berupa penilaian tinggi terhadap kerja. Dengan perkataan lain pengertian ini mengacu
pada kegiatan-kegiatan produktif yang dapat menghasilakan sesuatu untuk dinikmati.
Penilaian demikian menyebabkan bahwa orang tidak melakukan suatu kegiatan produktif
untuk dinikmati hasilnya dinilai mempunyai status social yang rendah.
Oleh karena konsep tersebut mempunyai pemahaman yang berkaitan dengan
kegiatan yang menghasilkan sesuatu untuk dinikmati hasilnya, terutama dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasar manusia agar tetap mempertahankan hidupnya, maka
pemahaman kita tentang etos kerja suatu kelompok tertentu dapat dicapai melalui pengertian
kita tentang kegiatan-kegiatan produktif apa yang dilakukan oleh setiap orang atau
kelompok dalam rangka mempertahankan dan melanjutkan hidupnya. Bertolak dari dasar
pemikiran di atas, etos kerja orang Papua dapat kita pahami melalui kegiatan-kegiatan apa
yang dilakukan oleh mereka untuk mempertahankan hidupnya.
Pada bagian yang membicarakan diversitas kebudayaan orang Papua dalam makalah
ini, seperti yang telah diuraikan di atas, dijelaskan bahwa kegiatan yang menyangkut system
ekonomi orang Papua sangat ditentukan oleh lingkungan atau mintakad ekologi yang ada di
daerah ini. Misalnya penduduk yang bertempat tinggal di daerah berawa menjadikan
meramu sagu sebagai kegiatan atau usaha ekonomi utama mereka. Berbeda dengan
penduduk yang hidup di daerah pegunungan tinggi dan dataran kaki-kaki bukit yang
ETNOGRAFI PAPUA 53
menjadikan bercocok tanam sebagai usaha ekonomi utama mereka. Perbedaan jenis usaha
ekonomi ini sangat mempengaruhi bentuk etos kerja masing-masing kelompok
Pada kelompok-kelompok masyarakat yang tergolong dalam masyarakat peramu
seperti misalnya orang Asmat, orang Komoro, orang Waropen, orang Bauzi, orang Inawatan
yang hidup di dataran rawa-rawa dan yang sangat menggantungkan hidupnya pada usaha
ekonomi berbentuk meramu sagu, mempunyai etos kerja yang berbeda dengan penduduk
Papua lainnya yang menggantungkan hidupnya pada usaha ekonomi berladang. Etos kerja
pada kelompok peramu orang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar sesaat saja.
Atau lebih jelas lagi dapat dikatakan orang bekerja untuk menghasilakan makanan yang
cukup untuk kebutuhan saat itu juga atau cukup untuk makan satu hari saja.
Etos kerja seperti ini dilandasi oleh pemikiran dasar bahwa tujuan hidup ini adalah
untuk dinikmati. Dengan demikian menurut pandangan mereka, untuk apa harus bersusah
payah untuk mengumpulkan berlebihan jika yang telah dikumpulkan memang sudah cukup
untuk dinikamati. Pandangan demikian cukup beralasan sebab tiap keluarga yang berfungsi
sebagai kelompok produksi dalam masyarakat peramu melakukan hal yang sama, tidak
terdapat diverensiasi kerja, sehingga masing-masing keluarga itu secara ekonomi berddiri
sendiri, tidak tergantung dari keluarga atau kelompok produksi lain.
Penekanan kerja pada kelompok peramu adalah mengumpulkan hasil yang telah
tersedia di alam, belum pada tingkat usah untuk memproduksi dan memelihara produksi
yang telah dihasilakan.
Etos kerja seperti ini dapat dirubah jika diciptakan diferensiasi kerja diantara mereka
dengan memanfaatkan potensi-potensi yang tersidia dilingkungan alam setempat. Disamping
itu perlu diberikan bantuan –bantuan yang dapat memudahkan mereka terlibat dalam
ekonomi pasar seperti misalnya memberdayakan mereka untuk dapat beralih dari usaha
mengumpulkan hasil yang telah tersedia di alam kepada tingkat usaha untuk memproduksi
dan memudahkan terjualnya hasil-hasil yang telah diproduksi di pusat-pusat pasar.
Memberdayakan penduduk untuk memanfaatkan potensi alam yang tersedia guna
ekonomi pasar disini berarti memperkenalkan sekaligus mendidik penduduk untuk
menggunakan teknologi tepat guna dalam mengolah sumberdaya alam yang tersedia guna
ekonomi pasar.
Berbeda dari etos kerja yang terdapat pada penduduk peramu, maka etos kerja pada
penduduk yang menggantungkan hidupnya adalah orang bekerja bukan untuk memenuhi
kebutuhan saat ini tetapi orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan diwaktu mendatang.
Kegiatan membuka sebidang lahan menjadi lading, memerlukan suatu proses yang
lama mulai dari membersihkan/menebang pohon, menanam, merawat, menyiangi, sampai
pada saat memanen hasil. Keseluruhan proses ini memerlukan waktu bervariasi antara enam
sampai sepuluh bulan, kadang-kadang lebih dari sepuluh bulan, tergantung dari jenis
tanaman yang diusahakan.
Fase kerja melalui proses yang panjang mulai dari saat membuka suatu lahan baru
sampai pada saat memanen hasilnya membutuhkan ketekunan dan kerajinan kerja
seseorang. Hal ini menunjukan bahwa etos kerja pada penduduk peladang di Papua dapat
dikategori sebagai etos kerja keras. Hal ini dibenarkan oleh berbagai kajian antropologi dan
sosiologi tentang etos kerja pada penduduk peladang di Papua.
Meskipun dikatakan bahwa pada penduduk berladang terdapat etos kerja yang keras,
namun harus dicatat bahwa ukuran etos kerja keras itu hanya pada batas pemenuhan
kebutuhan ekonomi rumah tangga sendiri, bukan untuk kebutuhan ekonomi pasar.
Penekanan terhadap kerja untuk masa depan seperti yang terdapat pada masyarakat
peladang ini sesungguhnya merupakan modal positif. Persoalannya sekarang ialah
bagaimana memberikan stimulasi yang dapat memacu tingkat etos kerja yang sudah ada
menjadi lebih tinggi lagi, untuk mengakumulasi hasil, yang lebih banyak lagi untuk
ETNOGRAFI PAPUA 54
keperluan pasar yang pada gilirannya akan menghasilkan modal yang dapat digunakan untuk
pengembangan lebih lanjut.
Kecuali bentuk-bentuk etos kerja penduduk Papua, seperti yang terungkap di atas,
satu hal yang perlu pula dikemukakan disini karena mempunyai keterkaitan dengan etos
kerja adalah tentang sifat bersaing yang terdapat pada orang Papua.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian lain dalam makalah ini bahwa sebagian
besar kelompok-kelompok etnik papua seperti misalnya orang Meybrat, Orang Me, orang
Muyu, orang Biak, dan penduduk Waropen dan Serui di teluk cenderawasih serta orang
Dani, memiliki sifat bersaing yang amat kuat di antara mereka.
Mereka bersaing untuk menjadi orang yang terpandang dalam kalangan mereka
sendiri seperti menjadi orang terkaya, orang yang paling pandai berdiplomasi, orang yang
paling pandai menyusun strategi perang, menjadi orang yang paling tahu tentang masalah-
masalah adapt, paling pandai berorganisasi atau paling kuat dalam ilmu sihir. Penjelasan di
atas menunjukan bahwa sifat bersaing, suatu sifat yang memang dinilai amat baik dalam
kehidupan modern, dimiliki oleh orang lain.
Seperti sudah disebutkan diatas bahwa etos kerja merupakan nilai yang mendorong
semangat kerja seseorang atau kelompok orang. Selaing mengungkapkan etos kerja orang
Papua berikut ini kami juga menyajikan etos kerja antara orang Papua dengan orang
Pendatang yang tinggal di Papua.
a) Transmigrasi
Sekitar 20% pertambahan penduduk adalah hasil kedatangan orang-orang dari luar
tanah Papua. Angka ini menurut perkiraan saya masih rendah, angka sebenarnya jauh
lebih tinggi. Dari tahun 1964 sampai 31 Maret 1996 jumlah transmigran yang datang
ke Papua sebanyak 240.722. Berarti ada 12,66% dari jumlah penduduk di
Papua.Pelaksanaan program transmigrasi tahun 1964 sampai 1980 orientasinya hanya
mempatkan orang-orang dari daerah padat ke daerah yang kurang penduduk. Hal ini
mendapat kritikan cukup keras baik dari dalam maupun luar negri terutama terhadap
dampak politis dan kultural yang dibawa oleh program transmigrasi seperti Jawanisasi
dan manfaat program ini untuk penduduk setempat. Sejak tahun 1980 an orientasi
ETNOGRAFI PAPUA 58
program transmigrasi diarahkan kepada apa yang dinamakan Second stage
development. Artinya, program yang dilakukan adalh memperbaiki atau
mengambangkan lebih lanjut pemukiman-pemukiman yang telah ada. Namun pola
second stage Development ini juga sudah mulai di tinggalkan. Akjir-akhir ini program
transmigrasi bentuk lama yang pernah diterapkan dijalankan lagi dengan full speed.
b) Imigran
Jumlah inmigran spontan cukup tinggi (lebih kurang sekitar 80%), mereka
menetap di daerah perkotaan. Mereka bergerak disektor ekonomi nonformal
(perdagangan), disektor birokarasi dan administrasi pemerintah serta disektor
formal seperti konstruksi dan pemborong bangunan.
Jumlah inmigran makin hari makin bertambah. Pertambahan paling pesat terjadi
dalam tahun-tahun terakhir ini. Ini dimungkinkan karena kemudahan transportasi.
Disamping itu ada beberapa hal yang sangat menarik untuk diperhatikan dalam
soal kedatangan para inmigran. Sebagian besar inmigran yang datang di Papua adalah
mereka yang berpendidikan rendah. Kenyataan ini memiliki konsekuaensi yang sangat
serius bagi perimbangan ekonomi dan tenaga kerja yang dimiliki penduduk pribumi.
Sebagian besar lahan ekonomi dan lapangan kerja yang seharusnya dimiliki penduduk
pribumi akhirnya direbut oleh para inmigran ini. Kenyataan inilah yang pada akhirnya
menciptakan iklim sosial yang konfliktif dan mempertebal kepekaan primordial
masyarakat pribumi.
Kelompok inmigran cenderung untuk menetap didaerah daerah dimana terdapat
peluang ekonomi secara nyata. Pada tahun 1980 jumlah penduduk di kota yang tidak
lahir di Papua telah mencapai angka 30% dari seluruh jumah penduduk perkotaan.
Namun, pada tahun 1987 jumlah penduduk perkotaan yang tidak lahir di Papua telah
mencapai sekitar 65% dari seluruh jumlah penduduk yang menghuni daerah
perkotaan. Angka ini diperkuat kembali oleh Intercensal Survey yang dilakukan pada
tahun 1987. Dua per tiga dari seluruh jumlah penduduk yang tidak lahir di Papua.
c) Kemajemukan Etnis
Dari gambaran di atas terlihat jelas bahwa masyarakat Papua semakin majemuk
warnanya. Ini terjadi khususnya di daerah-daerah perkotaan, dimana berbagai
kelompok etnis harus hidup berdampingan..
Kemajemukan etnis ini menuntut perubahan sikap masing-masing orang dan
golongan. Perjumpaan antar kelompok etnis sering kali memunculkan masalah.
Keunikan kebudayaan yang dimiliki etnis tertentu seringkali ditafsirkan secara
berbeda oleh kelompok etnis lain. Bahkan adakalanya keunikan budaya tersebut
dirasakan mengganggu dan mengancam eksistensi kelompok lain. Kadangkala,
masing-masing kelompok menganggap kebudayaannya sendirilah “yang paling baik”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan yang positif hanya dapat diharapkan
jika terdapat keseimbangan antara beragam kebudayaan etnis tersebut. Ini dapat
tercapai jika terdapat penghargaan atas identitas masing-masing kelompok.
d) Marjinalisasi Sejumlah Kelompok
Perkembangan pesat sejumlah kota terutama jayapura dan sorong menuntut
adanya public service yang memadai menyangkut perumahan, air minum, sarana
angkutan, sarana persekolahaan dan pembinaan pastoral (keagamaan), penyediaan
lapangan kerja, kebutuhan untuk berpartisipasi dalam struktur pemerintahan, dan laon
sebagainya.
ETNOGRAFI PAPUA 59
Ternyata kebutuhan yang digambarkan secara singkat diatas tidak dapat dipenuhi
dengan baik. Akibatnya, keadaan dikota-kota yang sedang tumbuh semakin lama
semakin ditandai dengan terjadinya persaingan sengit untuk memperebutkan peluang-
peluang ekonomi yang jumlahnya terbatas. Dalam proses persaingan ini akan ada
pihak yang kalah dan menang. Dari pihak yang kalah ini akan muncul “kelompok-
kelompok masyarakat termarjinalkan” oleh kompetisi yang sengit itu. Persaingan
demikian ini hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang telah cukup dibekali dengan
pendidikan, ketrampilan, dan keterbukaan budaya untuk “mampu bersaing”.
Karena tidak dapat bertahan dalam suasana persaingan yang sengit tersebut,
sejumlah orang makin hari makin pindah ke pinggiran kota. Malah ada kemungkinan
mereka ini akan digeser ke luar kota. Dengan demikian mereka akan kehilangan segala
peluang untuk berkembang dan untuk turut berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Tidaklah mengherankan jika justru kelompok pribumi yang dari dulu sudah mendiami
daerah kota atau yang menjadi migran dari daerah pedalaman paling terwakili dalam
kelompok-kelompok yang sedang menjadi kelompok pinggiran/marginal tersebut.
ETNOGRAFI PAPUA 62
s. Studi Kasus Kebudayaan Papua : Kain Timur Sebagai Alat Pembayaran Mas Kawin
Dalam Kebudayaan Hattam (Enos Rumansara)
1. Asal Usul Kain Timur (minyas) menurut orang Hattam.
Kain timur (minyas) menurut orang Hattam dan juga suku-suku lainnya(Moile,
Meyakh,Sough) yang berada di wilayah pegunungan Arfak, bahwa benda tersebut berasal
dari Bintuni, sebuah wilayah disebelah selatan kabupaten Manokwari. Dalam versi
ceriteranya bahwa ada seorang laki-laki bernama Bomiyow yang penuh dengan borok
dan hidupnya di dalam gua. Orang inilah yang membuat kain timur tersebut. Mengenai
tersebarnya kain ini hingga berada pada suku-suku di wilayah pegunungan Arfak, bahwa
dahulu kala orang tua pergi ke Bintuni untuk menukar tembakau dengan kain timur
(minyas) tersebut. Cara pertukaran ini modelnya “silent trade” perdagangan bisu yang
bagi orang Hattam lebih dikenal dengan istilah iriweiyam (baku tukar). Mereka yang
datang membawa daun tembakau akan meletakkannya pada tempat tertentu yang telah
diketahui bersama oleh pihak yang akan datang mengambil dan menukar dengan kain
timur. Satu ikat daun tembakau ditukar dengan satu kain timor. Adapun mengenai
beredarnya kain timor ini hingga menjadi alat tukar dan mas kawin yang mempunyai nilai
yang tinggi sekali dalam masyarakat ini karena masyarakat ini sering menukar kain timur
dengan babi untuk mengadakan pesta jika mereka pulang dari kegiatan baku tukar
(iriweiyam). Orang Hattam mengaku bahwa mereka juga menerima kain ini dari suku
Sough dan Meyakh.
India
China
Maluku
Cromandel
Dan gambar di atas, dapat terlihat bahwa kain-kain yang dapat diadopsi sebagai bagian
dan kebudayaan di daerah Kepala Burung Irian Jaya, khususnya pada masyarakat Heybrat
fokus kebudayaan mereka, adalah menyebar dan Malaka - Jawa - Banda - melalui daerah
Onim Fak-Fak - Kokas (Teluk Patipi) Teluk Bintuni - Kepala Burung.
ETNOGRAFI PAPUA 64
Dalam konteks ini, Toos van Dijk dan Nico de Yong (1986:7) menyebut babwa pada
masa itu orang Banda secara ekonomi tergantung pada kain-kain dan Porcelin Melalui
saudagar-saudagar Jawa, kemudian mereka berdagang ke Aru, Kai, Tanimbar, Seram dan
Buru, dan Irian Jaya antuk mengimport kayu cendana, rempah, dan sagu-sagu dari Irian.
Dikatakan, karena pada waktu itu sagu selain merupaaan makanan pokok orang banda,
sagu juga merupakan alat pembayaran maskawin dalam kebudayaan Banda. Pelayaran
Saudagar Jawa dan Melayu ke Banda dikatakan secara ekslusif dan reguler, karena Banda
sangat tertarik dan tergantung kepada kain-kain import yang masuk melalui Bandar
Malakka.
Situasi dan proses sejarah tersebut di atas, menurut J.M.Schoorl (1979:166) terjadi pada
abad ke XVII melalui saudagar-saudagar (raja-raja) di Onim Fak-Fak, selanjutnya memasuki
Teluk Bintuni melalui penduduk di muara-muara pesisir pantai Teluk dalam kontak hubungan
tukar--menukar barang dan pembelian budak-budak dengan penduduk daerah pedalaman
Kepala Burung. Benda-benda tukaran yang sangat menarik, indah, dan dan dianggap hampir
sama dengan bo (kain kulit kayu) yang dimiliki oleh orang di pedalaman adalah kain-kain
tenunan & tekstil. Kain kain itu dipandang berharga dan bernilai tinggi sekali, sehingga
akhirnya oleh pemerintah yang berkuasa ketika itu disebut "kain timur", karena berasal dan
berbagai daerah produksi di Asia (timur) yang dibedakan dan daerah barat (Europa).
ETNOGRAFI PAPUA 65
ekor. Kemudian yang hanya 1 mata bentuknya kecil (Nemien) yang bila dihargai
dengan uang Rp 5 juta atau babi 5 ekor.
3) Kain Timur Ntip
Kain timur golongan ini terdiri dari dua jenis mata yakni, kain timor yang memiliki
satu mata dan kain timur yang memiliki 2 mata dan masing-masing dari kedua jenis
ini kalau dihargai dengan uang 1 mata dua juta rupiah dan 2 mata dua juta rupiah.
4) Kain Timor Biasa (Bancun).
Kain timur jenis ini adalah kain timur yang dibuat oleh
transmigran asal Nusa Tenggara Timur di wilayah
kecamatan Prafi Manokwari. Kain timur ini
mempunyai motif yang sama dengan kain timur mula-
mula (seperti kebeserai). Kain timur hasil modifikasi
orang NTT ini terdiri dari dua jenis yakni : yang
memiliki mata satu dan mata dua. Dengan nilai yang
bila dikonversikan dengan uang rupiah masing-masing
1juta dan 2 juta.
Beberapa jenis kain timur golongan bancun ini juga
adalah sebagai berikut :
1. Brenap (terdapat rumbai-rumbai pada kain bagian
atas dan bawah).
2. Gianho Nti
3. Gianho Mien
4. Brenyuak
5. Nuawiem (kain timur yang warnanya hitam).
6. Menghasmum (kain timur yang sisi bagian atas hitam dan juga sisi bagian
bawahnya hitam).
7. Menghei (kain timur yang sisi atas maupun bawahnya bawahnya merah).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bachtiar Alam., (1998). Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan. Dalam
Majalah Antropologi Indonesia No. 54. Th XXI Desember 1997 – April 1998, Halaman 1-10.
Beanal, Lydya. N., (1999). Arti Tanah Menurut Suku Amungme. Forum Lorentz, Timika.
Boelaars, Jan. (1992) Manusia Irian: Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Gramedia. Jakarta.
------------------,(1984) Kepribadian Indonesia Modern: Suatu Penelitian Antropologi Budaya.
Gramedia Jakarta.
Duivenvoorde, J. MSC. (1999). Sejarah Gereja Katolik di Papua. Keuskupan Agung Merauke.
Merauke.
Flassy, Don A.L. (1997). Toro: A Name Beyond Languange And Culture Fusion Doberai Peninsula
New Guinea (Papua). Pemda Tingkat I. Papua. Jayapura
Griapon, Alexander, dkk., (1986). Nimboran dan Sekitarnya Dalam Relegi: Antara Dongeng dan
Kebenaran. LITBANG GKI. Jayapura.
Godschalk, Jan. A., (1993)., Sela Valley: An Ethnography of a Mek Society in the Eastern Highlands,
Papua, Indonesia. CIP-Gegevens Koninklijke Bibliotheek, Den Haag.
Haenen, Paul (1991). Weefsels van Wederkerigheid: Sociale Structuur Bij De Moi van Papua.
Sekolah Menengah Teknologi Grafika Desa Putera. Jakarta.
------------------, dkk., (1993). Vrienden en Verwanten. DSALCUL/IRIS. Leiden Jakarta.
Haviland, Wiliam A., (1988) Antropologi (terjemahan). Erlangga. Jakarta.
ETNOGRAFI PAPUA 66
Iskandar, Anwas. (1964). Irian Barat: Pembangunan Suku Mukoko. Universitas Tjenderawasih-
KODAM XVII Tjenderawasih. Jayapura.
James Spradley. (1997) Metode Etnografi. PT Tiara Wacana. Yogyakarta.
Jensen, Klaus Bruhn and Nicholas W. Jankowski. 1991. A Hand Book of Methodologies For Mass
Communication research.
Keesing, Roger M. (1992) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Edisi 1,2.
(terjemahan). Erlangga. Jakarta.
Koentjaraningrat, (1993) Papua: Membangun Masyarakat Majemuk. Djambatan. Jakarta.
-------------------, dkk. ,(1993). Masyarakat Terasing di Indonesia. Gramedia. Jakarta.
-------------------,dkk. (1963). Penduduk Irian Barat. PT. Penerbit Universitas. Jakarta.
------------------, (1980). Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru, Jakarta.
Mansoben, J.R. (1995), Sistem Politik Tradisional di Papua. Jakarta. LIPI. Jakarta, dan Leiden
University, Netherlands.
-----------------, (1998). Membangun Manusia Papua Yang Majemuk (Suatu Tinjauan Antropologi).
LEMLIT-UNCEN. Jayapura.
Mansinambow, EKM., (`1995), Masyarakat Indonesia: Kebudayaan Lain-lain dalam Masyarakat
Indonesia. LIPI., Jakarta.
-------------------, (1984). Maluku dan Papua. LIPI. Jakarta.
-------------------, (1980). Halmahera dan Raja Ampat Konsep dan Strategi Penelitian. LEKNAS-LIPI.
Jakarta.
-------------------dkk., (1994). Kebudayaan dan Pembangunan di Papua. LIPI Jakarta, Leiden
University. Netherlands.
May, R.J., dkk., (1982). Melanesia: Beyond Diversity. Vol. I, II. Australian National University,
Canberra.
Mampioper, A. (1972) Jayapura Ketika Perang Pasifik. Pemda Propinsi Irian Barat.
-------------------, (2000). Amungme: Manusia Utama Dari Nemangkawi Pegunungan Carstensz. PT
Freeport Inc. Timika.
Miedema, Jelle, (1986). Pre-Capitalism and Cosmology: Description and Analysis of the Meybrat
Fihery and Kain Timur-Complex. Foris Pubh. Dordrecht- Holland/Riverton-USA.
Mulyana, Deddy. 2001. metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Bandung: PT remaja Rosdakarya
Overweel, J.A. (1993). The Marind In A Changing Environment. A Study on social-economic change
in Marind society to assist in the formulation of a long term strategy for the Foundation for
Social, Ekconomic and Environmental Development., YAPSEL. Merauke.
Pusat Penelitian UNCEN, (1997). Pemetaan Sosial Budaya di Kabupaten Daerah Tingkat II Merauke,
Fakfak, dan Jayawijaya. PUSLIT-UNCEN.
Ramandei, Jan.H. (1998). Dari Samudranta Ke Iriyan Jaya. CV. Bulan Bintang. Abepura, Jayapura.
-------------------.(1997). Negeri Puyakha. CV. Satya Jaya Jayapura. Jayapura.
Raharjo, Yufita. (1995), Proseding Seminar: Membangun Masyarakat Papua. LIPI, PPT-LIPI,
Jakarta.
Samaduda, M. dkk., (2000). Profil Kawasan Teluk Berau dan Teluk Bintuni. UNCEN-YPMD,
Jayapura.
ETNOGRAFI PAPUA 67
Sefa, E.D. (1989). Mengenal Suku Armati : di Pedalaman Sarmi Papua Bagian Utara. Penerbit
Aurora. Jakarta.
Schoorl, J.W., (1997). Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu Dalam Arus Modernisasi Papua.
Gramedia. Jakarta.,
Silzer Peter. J., dkk. (1986) Peta Lokasi Bahasa-Bahasa Daerah di Propinsi Papua. Percetakan
UNCEN. Jayapura.
Tarwotjo. (1994) Suatu Tantangan Penelitian Kualitatif.
Van Baal. J. (1987). Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970).
Volume I, II., PT. Gramedia. Jakarta.
Widjojo, Muridan. S., (1997). Orang Kamoro dan Perubahan: Lingkungan Sosial Budaya di Timika
Papua. LIPI Jakarta.
Walker, Malcoln., dkk. (1987). Regional Development Planning for Papua. Anthropology Sector
Report. Lavalin International Inc. PT. Hasfarm Dian Konsultan. Jayapura.
Biodata Penulis
Djekky R. Djoht, lahir di Merauke Papua menyelesaikan program sarjananya di Jurusan
Antropologi Universitas Cenderawasih Tahun 2002 dan Program Pasca Sarjana di Jurusan Promosi
dan Perilaku Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Tahun 1997.
Saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih. Tahun
2006 mengikuti konfrensi Internasional AIDS di Toronto Kanada. Kemudian Juli, 2007 mengikuti
konfrensi Sexual Health Asia Pacific di Sidney Australia dengan membawa makalah berjudul “ Geo-
Epidemiology AIDS in Papua”. September 2008 mengikuti The inaugural meeting of the Asia-Pacific
Regional Network of HIV Social Researchers di Perth Australia dengan mempresentasi makalah
“Kebutuhan Penelitian AIDS di Papua”.
Sejak tahun 1991 sampai saat ini sudah sudah banyak penelitian antropologi, Kependudukan,
Kesehatan, Gender dan kebijakan pembangunan yang dilakukannya. Ia adalah salah satu penulis
dalam Buku “Making Sense Of AIDS: Sexuality, Culture and Power in Melanesia” dengan Editor
Leslie Butt dan Richard Eves. Buku tersebut di terbitkan oleh Hawai University Press Amerika Juli
2008.
ETNOGRAFI PAPUA 68