Anda di halaman 1dari 16

KONSEP PEMIKIRAN ARUNG BILA

SEBAGAI SUMBER KEARIFAN LOKAL

Oleh : Dafirah
Jurusan Sastra Daerah Fak. Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
e-mail : dafirah_asad@yahoo.com

Abstrak

Arung Bila adalah salah seorang cendekiawan Bugis tepatnya Kabupaten Soppeng yang
diperkirakan hidup sekitar penghujung abad ke- 16. Arung Bila pada dasarnya nama gelar yang
berarti raja di Bila. Pemikiran-pemikiran beliau dituangkan dalam bentuk pesan kepada anak
cucu, bahkan kepada masyarakatnya.
Pesan Arung Bila yang tertuang dalam bentuk pappaseng (pesan) pada ummnya
menunjukkan perhatian beliau pada masalah adat (pangadereng), kelangsungan kehidupan
keluarga dan masyarakat, pemimpin yang baik, dan segala sesuatunya yang tidak terlepas dari,
hidup dan kehidupan manusia. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari peran beliau sebagai seorang
Raja (di samping sebagai cendekiawan) yang menangani dan menemukan solusi berbagai
persoalan kehidupan sehari-hari masyarakat dan wilayah yang dipimpinnya.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman beliau itulah yang dituangkan dalam pappaseng
agar bias terwariskan sampai generasi sekarang, meskipun tentu disesuaikan dengan kondisi
kekinian.

Kata Kunci : Arung Bila, Kearifan Lokal, Pappaseng


KONSEP PEMIKIRAN ARUNG BILA
SEBAGAI SUMBER KEARIFAN LOKAL
Oleh :Dafirah
JurusanSastra Daerah Fak. IlmuBudayaUniversitasHasanuddin
e-mail :dafirah_asad@yahoo.com

PENDAHULUAN
Lontarak bagi masyarakat Bugis dapat dipahami dari dua sudut pandang. Pertama sebagai
aksara dan kedua sebagai kitab yang menggunakan aksara lontarak. Pada pemahaman kedua,
dalam masyarakat Bugis ditemukan ratusan lontarak yang mengandung aneka macam isi, mulai
dari masalah primbon, agama, petanian, pengobatan, sejarah, pesan, dan lain sebagainya.
Salah satu lontarak yang berisi tentang pesan terutama yang berasal dari para
cendekiawan Bugis masa lalu dapat dilihat pada Boegeenesche Chrestomatie (Matthes, 1872).
Selain itu dapat pula dilihat pada lontarak milik Arung Bettempola A.Makkaraka yang
diwariskan kepada Drs. H.A. Syamsurida Mungkace. Lontarak tersebut lebih dikenal dengan
nama Latowa.
Arung Bila dari Soppeng, Kajaolaliddong dari Bone, dan Maccae dari Luwu adalah
nama-nama cendekiawan Bugis yang ditemukan dalam lontarak Latowa. Berbagai pesan, petuah,
dan nasihat yang dikemukakan oleh cendekiawan tersebut dengan gaya masing-masing.
Kajaolaliddong dan Maccae ri Luwu melontarkan pemikiran-pemikirannya saat berdialog,
sedangkan Arung Bila mengungkapkan pikiran-pikirannya dalam bentuk pesan.
Arung Bila pada dasarnya adalah nama gelar yang berarti Raja Bila, yaitu raja di sebuah
wilayah yang bernama Bila yang letaknya di Kabupaten Soppeng (sekarang). Nama asli dari
Arung Bila yang ditemukan dalam lontarak adalah La Waniaga. Sebagai seorang raja, tentu saja
Arung Bila tidak terlepas dari berbagai masalah pemerintahan, dan kondisi masyarakatnya. Hal
tersebut sangat jelas dalam pesan, ajaran, ataupun nasihat-nasihat yang dilontarkan oleh beliau.
Menurut Mattulada (2015:149) Arung Bila merupakan salah seorang pembesar dan orang
bijaksana Kerajaan Soppeng. Salah seorang Bugis terkemuka pada zaman dahulu yang banyak
disebut namanya dalam berbagai lontarak di Bone, Wajo, dan Soppeng.
Pemikiran-pemikiran Arung Bila ditemukan dalam bentuk pesan (pappaseng) secara
tidak beraturan. Maksudnya, antara pesan yang satu dengan pesan yang lainnya kadang tidak
terkait, namun kadang pula terkait. Hal tersebut menunjukkan bahwa pesan dilontarkan
berdasarkan kebutuhan dan situasi kondisi wilayah serta masyarakat yang dipimpinnya. Namun
dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menguraikannya berdasarkan tema dan isi pesan yang
disampaikan.

HAKIKAT MANUSIA
Di dalam sebuah pesannya, Arung Bila mengemukakan bahwa pada dasarnya manusia
ibarat permata yang bersinar apabila memiliki empat unsur. Hal tersebut disampaikan oleh
Arung Bila seperti berikut:
Eppai wawangenna paramata mattappa. Seuwani, lempuqe. Maduwanna ada
tongennge sibawa tette. Matellunna, sirie sibawa getteng. Maeppana, akkalennge
sibawa nyamekkininnawa.
Terjemahan:
Ada empat macam permata yang bercahaya. Pertama kejujuran; kedua perkataan
benar yang disertai ketetapan; ketiga siri (malu) yang disertai dengan keteguhan;
dan keempat akal yang disertai dengan kemurahan hati.

Namun demikian permata yang bersinar tersebut akan redup karena ditutupi oleh empat
hal yaitu: perbuatan semena-mena, kebohongan, ketamakan, dan kemarahan. Untuk lebih
jelasnya berikut adalah ungkapan Arung Bila seperti berikut.
Naiya sampowenngi lempuqe gauq bawannge. Naiya sampowenngi ada tongennge
belle. Naiya sampowenngi sirie, ngowae. Naiya sampowenngi akkalennge
paccairennge.
Terjemahan:
Adapun yang menutupi kejujuran adalah perbuatan semena-mena; adapun
yang menutupi perkataan benar adalah kebohongan; adapun yang
menutupi rasa malu adalah keserakahan; dan adapun yang menutupi akal
adalah kemarahan.

Disadari atau tidak, pada pesan di atas Arung Bila memberikan dua pilihan kepada
manusia, ingin menjadi permata yang bercahaya atau ingin menjadi permata yang redup atau
tertutupi. Permata yang bercahaya diandaikan kepada manusia yang jujur, teguh pada pendirian,
tegas, memiliki rasa malu sehingga menjaga sikap dan tuturannya, dan berakal sehingga mampu
menimbang yang baik dan buruk. Di pihak lain manusia yang berperilaku semena-mena kepada
sesamanya, serakah, pembohong, dan pemarah adalah tipe manusia yang tertutupi cahaya yang
ada pada dirinya.

HUKUM
Arung Bila dalam pesannya juga membahas tentang hukum bahkan pada awal pesannya
dibuka dengan larangan melakukan pelanggaran hukum dan/atau pangadereng (Ibrahim,
2003:92). Menurut Mattulada (2015:416), panngadereng adalah wujud kebudayaan yang selain
mencakup pengertian sistem norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib, juga mengandung
unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan manusia bertingkah laku dan mengatur prasarana
kehidupan berupa peralatan-peralatan material dan non materiil. Oleh Arung Bila diungkapkan
seprti berikut:
Naiya riyasennge pangadereng limai wawangenna. Seuwani, adeq maraja.
Maduwanna, adeq pura onro. Matellunna, tuppu. Maeppana, wari. Malimanna,
rapang.
Terjemahan:
Adapun yang disebut pangaderenga ada lima macam. Pertama adekmaraja (adek
besar); kedua adek yang kekal; ketiga ketetapan; keempat tata cara; dan kelima ibarat.

Keempat macam panngadereng tersebut dijelaskan secara detail oleh Arung Bila.
Pada kesempatan lain, Arung Bila membahas tentang proses penegakan hukum yang
terkait dengan peradilan seperti berikut:
Naiya riyasennge bicara ritanngai tutuwe wali-wali, sabbiye wali-wali, onrowe
wali-wali, barangkaue wali-wali. Naiya riyasennge barangkau tellui wawangenna
seuwani, barangkaunna lilae, maduwanna barangkauna atiye, matellunna
barangkauna resowe. Naiya barangkauna lilae tellu toi wawangenna. Seuwani,
deq napabbelleng. Maduwanna, deq naeloriwi mappau sala, betuwanna ada
majaqe deq tuju-tujunna. Matellunna, deq naeloriwi tanrowenngi alena. Naiya
barangkauna atiye tellu toi wawangenna. Seuwani, deq namasiriyati ripadanna
tau. Maduwanna, deq namaceko ripadanna tau. Matellunna, deq
natakabboro. Naiya barangkau makkaresowe tellu towi wawangenna. Seuwani,
makkaresowanngi lise bolana. Maduwanna, nakkaresoiwi seyajing
sempanuwanna. Matellunna, nakkaresowinna pakkasuwiyanna ri yadeqe
enrennge ri yarajannge.
Terjemahan:
Adapun yang disebut bicara (peradilan), perhatikan tuturan kedua belah pihak,
saksi kedua belah pihak, pendirian kedua belah pihak, dan perbuatan dari kedua
belah pihak. Adapun perbuatan mencakup tiga hal yaitu perbuatan lidah, perbuatan
hati, dan perbuatan usaha. Adapun perbuatan lidah ada tiga macam juga yaitu:
pertama bukan pembohong; kedua tidak senang berkata-kata tidak benat yang
tidak ada manfaatnya; dan ketiga tidak suka menyumpahi dirinya. Perbuatan hati
juga ada tiga macam yaitu: pertama tidak sirik kepada sesamanya; kedua tidak
curang kepada sesamanya; ketiga tidak takabbur. Perbuatan usaha/jerih payah ada
tiga juga yaitu, pertama berusaha untuk isi rumahnya; kedua berusaha untuk
kerabatnya; dan ketiga berusaha sebagai wujud pengabdian kepada adat dan
pemimpinnya.

Menjadi seorang penegak hukum bagi Arung Bila bukanlah pekerjaan yang mudah.
Harus berlaku sangat bijak dalam mengambil sebuah keputusan. Pertimbangan harus betul-betul
matang agar bisa berlaku adil. Yang salah dinyatakan bersalah dan yang benar dikatakan benar.
Seorang penegak hukum harus mencermati tuturan, kesaksian, dan perbuatan kedua belah pihak.

NEGARA DAN SISTEM KEPEMIMPINAN


Sebagai seorang raja, Arung Bila banyak membahas tentang Negara dan sistem
pemerintahan. Hal tersebut disesuaikan dengan pengalamannya mengelola sebuah wilayah.
Menurut Arung Bila, sebuah wilayah akan baik dipimpin apabila memiliki empat kategori
yaitu;
Naiya riyasennge wanuwa, iyapa namadeceng riyakkarungi, engkapi eppae
wawangenna ri lalempanua. Seuwani, adeq ripeesseriye. Maduwanna, wari
riyatutuwiye. Matellunna, rapang ripannennungennge. Maeppana, janci
tenriallupaiye.
Terjemahan:
Adapun yang disebut wilayah/kampong, dikatakan baik dipimpin apabila
memiliki empat hal. Pertama adek (adat) yang dikokohkan/dikuatkan; kedua
wari yang terjaga dengan baik; ketiga rapang yang dikekalkan, dan keempat
janji yang tidak terlupakan.
Apabila sebuah wilayah memiliki keempat unsur tersebut maka pemimpinnya akan mampu
menjalankan roda pemerintahan dengan baik.
Iyapa nariyaseng onrong madeceng wanuwae, engkapi ennennge wawangenna.
Seuwani, engkapa arung riwanuwae namalempuq. Maduwanna, engkapa
uwaetuwona. Matellunna, malowappi assurenna, bettuwanna malowappi galunna
enrennge addarekenna. Maeppana, engkapa pasana. Malimanna, engkapa
tomatowanna namacca namalempuq. Maennenna, engkapa sanro.
Terjemahan:
Barulah sebuah wilayah disebut tempat yang baik apabila memiliki enam unsur.
Pertama memiliki raja/pemimpin dalam wilayah dan jujur; kedua memiliki mata
air; ketiga luas jalan keluarnya, artinya memiliki sawah dan kebun yang luas;
keempat memiliki pasar; kelima memiliki orang yang cerdas dan jujur; keenam
memiliki dukun.
Unsur pimpinan merupakan unsur utama dalam sebuah wilayah, karena pimpinanlah
yang akan mengayomi masyarakatnya. Dan pemimpin yang baik adalah pemimpin yang
jujur, baik kepada dirinya, kepada masyarakat, maupun kepada sang pencipta. Selanjutnya,
sumber mata air merupakan sumber kehidupana manusia karena merupakan kebutuhan
pokok manusia. Sawah dan kebun merupakan sumber penghidupan yang dapat dikelola
oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Pasar merupakan tempat terjadinya
transaksi jual beli dan dalam hal ini terkait dengan roda perekonomian masyarakat.
Sedangkan sanro (dukun) yang akan menjaga kesehatan raja/pemimpin dan masyarakatnya.
Sehubungan dengan criteria seorang raja/pemimpin, Arung Bila memiliki
delapan criteria seseorang yang tidak pantas dijadikan raja/pemimpin. Kriteria tersebut
diungkapkan seperti berikut:
Aruwaiwawangennagauqnatauwe, nadeqakkullenariyalapakkedariwanuwae, muni
nabbattirimunariyalaepakkeda. Seuwani, liluwe sakka mana. Maduwanna, malae
olo. Matellunna, massakarennge anaq. Maeppana engkae apolenna ri to maja
appongennge. Malimanna, purae nanre passeyo. Maennenna, purae lengeng
palenna ri padanna orowane. Mapituna, purae natunai bicara. Maruwanna,
puraenna riretteq tigeroqna.
Terjemahan:
Delapan macam perilaku seseoramg sehingga tidak bisa dijadikan juru bicara di
dalam sebuah negeri, meskipun turunan juru bicara. Pertama serakah dalam
memburu warisan; kedua selalu ingin nerada di depan meskipun itu bukan
tempatnya; ketiga mengingkari anak; keempat berasal dari orang buruk asal-
usulnya; kelima pernah dihukum; keenam pernah menengadahkan tangan kepada
sesama lelaki; ketujuh pernah dihinakan oleh peradilan; dan kedelapan pernah
dipecat dari jabatannya.

Selain itu, Arung Bila juga mengemukakan kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang
jika akan dijadikan sebagai pejabat sebuah wilayah. Kriteria tersebut diuraikan oleh Arung Bila
sebagai berikut:
Iyapa nakkulle riyala parewa ri tanae misseng majeppuwiyenngi pituwe
wawangenna. Seuwani, najeppuwipi adeqe. Maduwanna, misseppi bettuwang.
Matellunna, magetteppi. Maeppana, mataupi ri Dewatae. Malimanna, naisseppi
riyasennge wari. Maennenna, najeppuwipi riyasennge rapang. Mapitunna,
naisseng majeppupi riyasennge bicara.
Terjemahan:
Barulah bisa diangkat menjadi petugas negara/wilayah apabila
memahami tujuh macam syarat. Pertama memahami adat; kedua
memiliki pemahaman/pengetahuan; ketiga memiliki ketegasan; keempat
takut kepada Dewata; kelima memahami norma; keenam memahami
ibarat (rapang); ketujuh memahami dengan baik masalah
hukum/peradilan.

Menurut Arung Bila seorang pejabat negara/wilayah apabila tidak memahami


dengan baik tentang adat maka dengan sendirinya akan mengacaubalaukan masalah
hukum terutama peradilan. Dan seorang pejabat yang tidak memiliki pengetahuan
maka cepat atau lambat akan dipermalukan di hadapan orang banyak dan tentu saja
menurunkan wibawa pemerintah. Dan apabila tidak memiliki rasa takut kepada Sang
Khalik, maka dengan mudah mempermainkan hukum misalnya menerima upah atau
sogokan, dan pejabat yang tidak tegas akan mudah mengngkari janji. Demikian juga
jika tidak memahami dengan baik (wari) tentang norma/aturan tidak tertutup
kemungkinan akan mempertukarkan tanah milik masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal.1999a. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang
:Hasanuddin University Press

--------------------------- 1999b.Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang:


Hasanuddin University Press

Daeng Patunru, Abdurrazak. 2004. Bingkisan Patunru, SejarahLokal Sulawesi Selatan.


Makassar::PusatKajian Indonesia Timur.

Hamid, Pananrangi. 1983. Sejarah Soppeng. Makassar: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Sulsel

Ibrahim, Anwar. 2003. Sulesana, Kumpulan Esai Tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal.
Makassar: Lephas
Mathes. 1872. Boeginishe Christomathie. Amsterdam

Mattulada. 2015. Latoa, Antropologi Politik Orang Bugis. Jogyakarta: Ombak.

Nur, Rafiuddin. 2003.Lontara’na Marioriwawo, Soppeng dari Pattoriolong hingga


Panngadereng. Makassar: Rumah Ide

Pelras, Christian. 1996. The Bugis. USA: Blackwell Publishers

Rahim, A.Rahman. 2011. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Yogyakarta: Ombak

Tangke, A.Wanua. 2001. Soppeng Merangkai Esok. Makassar: PustakaRefleksi


THE CONCEPT OF THINKING FROM ARUNG BILA
AS A SOURCE OF LOCAL WISDOM

By : Dafirah
Jurusan Sastra Daerah Fak. Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
e-mail : dafirah_asad@yahoo.com

Abstract

Arung Bila was one of the scholars Bugis precisely Soppeng are estimated to life around
the end of the 16th century. Basically Arung Bila a title name means king in Bila. His thoughts
manifested in a message to posterity, even to the people.
Arung Bila messages contained in the form pappaseng (messages) in general showed his
attention on indigenous issues (pangadereng), continuity of family and community life, a good
leader, and everything that can not be separated from, life and human life. It is certainly not
independent of his role as a King (on the side as a scholar) who handle and find solutions to
various problems of everyday life of communities and regions lead.
Based on his experiences that were outlined in order to massages which are called pappaseng
until the current generation, though of course adapted to contemporary conditions.

Keywords: Arung Bila, Local Wisdom, Pappaseng


THE CONCEPT OF THINKING FROM ARUNG BILA
AS A SOURCE OF LOCAL WISDOM

By : Dafirah
Jurusan Sastra Daerah Fak. Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
e-mail : dafirah_asad@yahoo.com

PRELIMINARY
Lontarak for Bugis society can be understood from two perspectives. First as a script and
a second as a book that uses characters lontarak. On the second point, the Bugis people found
hundreds lontarak containing a wide variety of content, ranging from horoscope, religion,
agricultural, medicine, history, messages, and so forth.
One lontarak that contains the message, especially coming from scholars Bugis past can be seen
in Boegeenesche Chrestomatie (Matthes, 1872). Moreover, it can also be seen on the property of
Arung Bettempola A.Makkaraka inherited by Drs. HA. Syamsurida Mungkace. Lontarak is
better known by the name of Latowa.

Arung Bila from Soppeng, Kajaolaliddong from Bone and Maccae from Luwu, of the
names found in the Bugis scholar found in lontarak Latowa. Various messages, advice, and the
counsel raised by the scholars with their respective styles. Kajaolaliddong and Maccae ri Luwu
catapult his thoughts when discuss, and Arung Bila expressing his thoughts in the form of a
message.

Basically, arung Bila the name of the title, which means King in Bila, the king in an area
called Bila that is located in Soppeng (now). The original name of Arung Bila found in lontarak
is La Waniaga. As a king, of course Arung Bila is not in spite of the various problems of
governance, and the condition of the society. It is very clear in the message, the teachings or
advice were raised by him. According Mattulada (2015: 149) Arung Bila was one of his officials
and ordinary people in Kerajaan Soppeng. One of the leading Bugis in ancient times that many
named in various lontarak in Bone, Wajo and Soppeng.

Thoughts Arung Bila found in the form of messages (pappaseng) irregularly. That is, between
one message with another message sometimes unrelated, but sometimes too concerned. It shows
that the message expressed by the needs and situation of the region as well as the conditions that
lead people. But in this paper, the author will try to parse them by theme and content of the
message.

ESSENCE OF HUMAN
In a message, Arung Bila told that basically, humans are like a jewel that shines when has four
elements. It was delivered by Arung Bila as follows:

Eppai wawangenna paramata mattappa. Seuwani, lempuqe. Maduwanna ada


tongennge sibawa tette. Matellunna, sirie sibawa getteng. Maeppana, akkalennge
sibawa nyamekkininnawa.

Translation:
There are four kinds of gems that glow. First honesty; second right speech that
accompanied the decree; The third series (shame), accompanied by firmness; and the
fourth reason is accompanied by generosity.

Nevertheless shining gems will be dimmed because it is covered by four things: the act
arbitrarily, lies, greed, and anger. For more details, here is an expression of Arung Bila as
follows.
Naiya sampowenngi lempuqe gauq bawannge. Naiya sampowenngi ada tongennge
belle. Naiya sampowenngi sirie, ngowae. Naiya sampowenngi akkalennge
paccairennge.
Translation:
As for the cover of honesty is an act arbitrarily; As for covering the true word is a lie; As
for covering the shame is greed; and as for covering sense is anger.

Knowingly or not, the above message Arung Bila giving two options to man, wants to be
a shining jewel or gem want to be dimmed or covered. A luminous jewel supposed to man the
honest, steadfast on the establishment, firm, shame, so maintaining the attitude and tuturannya,
and understanding so as to weigh the good and the bad. On the other hand people who behave
arbitrarily to others, greedy, liar, and ill-tempered is the type of man who covered the light in
him.

LAW
The message of Arung Bila also talks about the law, even at the beginning of the message
is opened by a ban on violations of law and / or pangadereng (Ibrahim, 2003: 92). According
Mattulada (2015: 416), panngadereng is a form of culture which in addition includes the notion
of system of norms and customary rules and discipline, it also contains elements that covers all
human activities to behave and organize life infrastructure such as equipment material and non
material. When the bleak disclosed by Arung Bila following:

Naiya riyasennge pangadereng limai wawangenna. Seuwani, adeq maraja.


Maduwanna, adeq pura onro. Matellunna, tuppu. Maeppana, wari. Malimanna,
rapang.
Translation:
As for the so-called pangadereng five kinds. First Adek maraja ( large adek ); The
second adek eternal; The third ordinance; The fourth ordinance; and the fifth is
supposition.

The four types of Panngadereng are described in detail by Arung Bila.


On another occasion, White When discussing about law enforcement processes related to justice
as follows:

Naiya riyasennge bicara ritanngai tutuwe wali-wali, sabbiye wali-wali, onrowe


wali-wali, barangkaue wali-wali. Naiya riyasennge barangkau tellui wawangenna
seuwani, barangkaunna lilae, maduwanna barangkauna atiye, matellunna
barangkauna resowe. Naiya barangkauna lilae tellu toi wawangenna. Seuwani,
deq napabbelleng. Maduwanna, deq naeloriwi mappau sala, betuwanna ada
majaqe deq tuju-tujunna. Matellunna, deq naeloriwi tanrowenngi alena. Naiya
barangkauna atiye tellu toi wawangenna. Seuwani, deq namasiriyati ripadanna
tau. Maduwanna, deq namaceko ripadanna tau. Matellunna, deq
natakabboro. Naiya barangkau makkaresowe tellu towi wawangenna. Seuwani,
makkaresowanngi lise bolana. Maduwanna, nakkaresoiwi seyajing
sempanuwanna. Matellunna, nakkaresowinna pakkasuwiyanna ri yadeqe
enrennge ri yarajannge.
Translation:
As for the so-called speech (justice), note speech of both parties, the witnesses of both
parties, the establishment of both parties, and actions of both sides. The act includes
three things: the act of the tongue, liver acts and deeds effort. The action of the tongue
there are three types also, namely: the first was not a liar; The second is not happy
speechless Benat not that there is no benefit; and a third do not like cursing himself.
Deeds heart there are also three kinds: the first is not envious to others; The second is
not cheating to one another; The third is not takabbur. Acts of business / labor there also
are three, first trying to fill his house; The second seeks to relatives; and a third attempt
as a form of devotion to tradition and its leaders.
Being a lawyer enforcement for Arung Bila If not an easy job. Must apply very wise
preformance take a decision. Consideration must truly mature in order to be fair. That one was
convicted and which was said to be true. A law enforcement should note speech, testimony, and
actions of both sides.

STATE AND LEADERSHIP SYSTEM

As a king, Arung Bila a great deal about the state and system of government. It
modified with experience managing a territory.

According to White When, a region will be well led when has four categories namely:
Naiya riyasennge wanuwa, iyapa namadeceng riyakkarungi, engkapi eppae
wawangenna ri lalempanua. Seuwani, adeq ripeesseriye. Maduwanna, wari
riyatutuwiye. Matellunna, rapang ripannennungennge. Maeppana, janci
tenriallupaiye.
Translation:
As for the so-called area / village, said to be well led when four things. First adek
(custom) affirmed / strengthened; The second wari well preserved; the third rapang are
conserved and fourth appointments are not forgotten.

If an area has four elements, the leaders will be able to run the government well.

Iyapa nariyaseng onrong madeceng wanuwae, engkapi ennennge wawangenna.


Seuwani, engkapa arung riwanuwae namalempuq. Maduwanna, engkapa
uwaetuwona. Matellunna, malowappi assurenna, bettuwanna malowappi galunna
enrennge addarekenna. Maeppana, engkapa pasana. Malimanna, engkapa
tomatowanna namacca namalempuq. Maennenna, engkapa sanro.
Translation:
Only an area called a good place if it has six elements. The first has a king / leader in the
region and honest; The second has a spring; spacious third way out, means to have broad
fields and gardens; The fourth has a market; The fifth had an intelligent and honest man;
The sixth has a shaman.

Leadership element is a key element in an area, because pimpinanlah which will protect
society. And a good leader is a leader who is honest, kind to himself, to the community, and to
the creator. Furthermore, the water source is a source of human kehidupana because it is the
basic human needs. Fields and gardens are a source of livelihood that can be managed by
humans in their food. The market was the scene of trading transactions and in this case related to
the economy of the community. While sanro (shaman) that will maintain the health of the king /
leader and the people.
In connection with the criteria of a king / leader, White has eight criteria When someone
who does not deserves to be king / leader. Those criteria are expressed as follows:
Aruwaiwawangennagauqnatauwe, nadeqakkullenariyalapakkedariwanuwae, muni
nabbattirimunariyalaepakkeda. Seuwani, liluwe sakka mana. Maduwanna, malae
olo. Matellunna, massakarennge anaq. Maeppana engkae apolenna ri to maja
appongennge. Malimanna, purae nanre passeyo. Maennenna, purae lengeng
palenna ri padanna orowane. Mapituna, purae natunai bicara. Maruwanna,
puraenna riretteq tigeroqna.
Translation:
Eight kinds of behavior that can not serve as a spokesman in a country, although
derivative spokesman. First greedy in hunting heritage; both always wanted nerada in
front even though it was not his place; deny three children; The fourth came from the
bad origins; Fifth been punished; The sixth ever lifted a hand to his fellow man; seventh
humiliated by the judiciary; and the eighth had been fired from his post.

An addition,Arung Bila also argued When the criteria that must be owned by a person if
it will serve as official of a region. The criteria outlined by the Arung Bila following:

Iyapa nakkulle riyala parewa ri tanae misseng majeppuwiyenngi pituwe wawangenna.


Seuwani, najeppuwipi adeqe. Maduwanna, misseppi bettuwang. Matellunna,
magetteppi. Maeppana, mataupi ri Dewatae. Malimanna, naisseppi riyasennge wari.
Maennenna, najeppuwipi riyasennge rapang. Mapitunna, naisseng majeppupi
riyasennge bicara.
Translation:
Then be appointed as officers of the state / region if understand the seven kinds of
requirements. First understand customary; both have an understanding / knowledge; The
third has a firmness; Fourth afraid of the Gods; The fifth understands the norm; The
sixth understand like (rapang); seventh a good understanding of legal issues / justice.

According to an official Arung Bila country / region, if not better understand the custom then
by itself will confuse legal issues, especially the judiciary. And an officer who had no knowledge
sooner or later will be humiliated in front of the crowd and of course lowers the authority of the
government. And if it does not have the fear of the Creator, then it is easy with the law, for
example wage or bribes, and officials are not going to be easy mengngkari firm promise.
Likewise, if you do not understand well (wari) norms / rules does not exclude recourse exchange
community owned land.

BIBLIOGRAPHY

Abidin, Andi Zainal.1999a. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang
:Hasanuddin University Press

--------------------------- 1999b.Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang:


Hasanuddin University Press

Daeng Patunru, Abdurrazak. 2004. Bingkisan Patunru, SejarahLokal Sulawesi Selatan.


Makassar::PusatKajian Indonesia Timur.

Hamid, Pananrangi. 1983. Sejarah Soppeng. Makassar: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Sulsel

Ibrahim, Anwar. 2003. Sulesana, Kumpulan Esai Tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal.
Makassar: Lephas

Mathes. 1872. Boeginishe Christomathie. Amsterdam

Mattulada. 2015. Latoa, Antropologi Politik Orang Bugis. Jogyakarta: Ombak.

Nur, Rafiuddin. 2003.Lontara’na Marioriwawo, Soppeng dari Pattoriolong hingga


Panngadereng. Makassar: Rumah Ide

Pelras, Christian. 1996. The Bugis. USA: Blackwell Publishers

Rahim, A.Rahman. 2011. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Yogyakarta: Ombak

Tangke, A.Wanua. 2001. Soppeng Merangkai Esok. Makassar: PustakaRefleksi

Anda mungkin juga menyukai