Sehubungan dengan kegiatan Lokakarya Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak yang
diselenggarakan Kantor Bahasa Provinsi Lampung, saya diminta untuk memberikan
pembekalan kepada para peserta dengan materi kearifan lokal Lampung sebagai bahan
penulisan cerita anak. Untuk itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu konsep “kearifan lokal” yang
juga dikenal dengan “kearifan tradisional” atau “sistem pengetahuan lokal” (indigenous
knowledge system). Artinya, pengetahuan khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu
yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal balik antara manusia
dengan lingkungannya. Karena lingkungannya terdapat di Lampung, maka disebut “kearifan
lokal Lampung” atau “kearifan tradisional Lampung” atau “sistem pengetahuan lokal Lampung.”
Kearifan lokal ini misalnya terdapat di dalam kitab-kitab hukum adat yang dipergunakan
masyarakat adat Lampung seperti Kuntara Raja Niti (Pubiyan), Kuntara Raja Asa (Waikanan),
Kuntara Tulangbawang, dan Kuntara Abung (Abung Seputih). Yaitu berupa nilai-nilai misalnya
1) Harga diri, 2) Berbudi pekerti, 3) Teguh pendirian, 4) Larangan sumpah palsu, 5) Ramah, 6)
Saling Menghormati, 7) Cara berucap, 8) Akhlak Bujang gadis, 9) Menjaga lingkungan alam, 10)
Bersihnya desa.
Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga dapat kita temukan dan diungkapkan dalam sastra
Lampung klasik, seperti dalam adi-adi (pantun) yaitu:
Tandani ulun Lampung,
wat piil-pusanggiri,
Mulia heno sehitung,
wat liom ghega dighi,
Piil Pesenggiri yaitu falsafah hidup masyarakat adat Lampung di dalam menjalani kehidupan
mereka. Falsafah hidup masyarakat Lampung mengandung hal yang berhubungan dengan
kehormatan diri, keluarga, dan kesatuan kelompok masyarakat Adat Lampung. Falsafah ini
disebut Pill Pesenggiri. Piil Pesenggiri berisi lima unsur pokok yang terdiri dari: 1. Pill
Pesenggiri, yaitu keharusan hidup bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, dan kewajiban. 2.
Sakai Sambayan, yaitu keharusan hidup berjiwa sosial, tolong menolong tanpa pamrih, dan
bergotong royong. 3. Nemui Nyimah, yaitu keharusan berperilaku sopan santun terhadap
sesama anggota masyarakat dan terbuka tangan baik moril maupun material kepada siapa saja.
4. Nengah Nyappur, yaitu keharusan ikut bergaul dalam masyarakat, ikut memberikan
sumbangan pikiran, serta pendapat dan inisiatif bagi kebaikan hidup bersama. 5. Bejuluk
Beadek, yaitu terpatri makna keharusan berjuang meningkatkan kesempurnaan hidup, bertata
tertib, dan bertata krama yang baik (Hadikusuma. 1977: 77).
Kamus Bahasa Lampung yang disusun oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung (2009: 204)
mendefinisikan piil sebagai 'perilaku’. Namun, menurut Hadikusuma (1989: 102), piil berarti
'pengendalian diri' atau 'harga diri'. Sedangkan pesenggiri diartikan sebagai ‘tidak mundur’. Jadi,
dapat dikatakan bahwa Piil Pesenggiri adalah pandangan hidup yang mengarahkan masyarakat
Lampung untuk menjaga harga diri atau ‘pengendalian diri’.
Dalam Kamus Bahasa Lampung (1994: 110) Hilman Hadikusuma juga menulis demikian,
“pik-il /Abung/ pi-il /Tulangbawang/ pik-il-pesenggirei, rasa harga diri, juluk-adek nama besar-
gelar; nemui nyimah, suka bertamu suka melayani; nengah nyappur, suka bercampur gaul; sakai
sambayan, kerjasama tolong menolong. pik-il mulei ngejagow direi, kepribadian gadis menjaga
diri.”
Menurut A. Fauzie Nurdin (2009:45), Piil Pesenggiri versi masyarakat Pesisir Lampung
mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) khepot delom mufakat (asas persatuan); (2)
tengah tetenggah (asas persamaan); (3) bupudak waya (asas hormat); (4) khopkhama delom
bekekhja (prinsip kerja keras); (5) bupiil bupesenggiri (prinsip cita-cita dan kesuksesan).
Sementara itu, dalam komunitas Pepadun, Piil Pesenggiri memiliki rumusan sebagai berikut: (1)
pesenggiri (asas hormat); (2) juluk-adek (gelar dan prinsip sukses); (3) nemui nyimah (prinsip
penghargaan); (4) nengah nyappur (prinsip kesetaraan dan akomodatif); (5) sakai sambayan
(prinsip gotong-royong).
Penjelasan ini dapat melengkapi Hilman Hadikusuma (1989: 102) tentang falsafah hidup Piil
Pesenggiri.
Penerapan kelima unsur pokok yang terkandung dalam falsafah hidup masyarakat Lampung
ini terlihat di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lampung. Unsur Piil Pesenggiri yang
mengharuskan setiap masyarakat Lampung berjiwa besar, mengetahui kedudukan diri sendiri,
dan bersatu terpancar dalam pepatah sai tuha malah cawou, sai sunak malah kiwak (yang tua
mengalah bicara, yang muda mengalah tenaga).
Kelima unsur pokok di atas mengatur hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat
Lampung, baik kehidupan individu maupun kehidupan sosialnya, seperti yang terkandung
dalam konsep bejuluk beadek. Unsur ini lebih menonjolkan adanya pengakuan hak individu.
Masyarakat Lampung sangat menjunjung tinggi asas persaudaraan, kebersamaan, kekeluargaan,
dan kegotongroyongan dalam kehidupan sosial (Karsiwan, 2019: 85). Hal ini tampak pada
tanggung jawab saudara, yang diberikan kepada saudaranya yang lain. Seperti, tanggung jawab
yang diberikan saudara kepada saudaranya yang lain yang mengalami hambatan di dalam
menyelesaikan pelajarannya (sekolah).
Terhadap Kuntara Abung, Hi. A. Rifa’i Wahid telah melakukan alih bahasa dan alih aksara
dari aksara Lampung dan bahasa Lampung ke aksara Latin bahasa Indonesia dan diterbitkan
oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lampung Timur (2001) di bawah judul
Ketaro Adat Lampung. Buku tebal itu berisi tiga bagian. Bagian pertama dalam bahasa Lampung
beraksara ka-ga-nga, bagian kedua dalam aksara Latin bahasa Indonesia. Bab pertama terdiri
atas 31 pasal di antaranya mengatur tentang biaya untuk menebus seorang budak, sarana
mendirikan sebuah pepadon, pokok pepadon, pengajin (penghargaan yang diberikan
punyimbangnya yang harus dibayar sebagai imbalan) budak meningkat menjadi ningrat (kaya),
pekerjaan punyimbang yang membawa pepadonnya menjadi karam, kelakuan punyimbang
yang membawakan pepadonnya kotor, hukum adat perkawinan dan perceraian, dan
sebagainya. Bab kedua terdiri atas 3 pasal tentang asal-usul keturunan orang Lampung dari Tali
Tunggal sampai Buai Unyai.
***
Nilai-nilai kearifan lokal Lampung sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab hukum adat di
atas antara lain: 1. Harga diri. Masyarakat Lampung memiliki harga diri yang dikenal sebagai
lima nilai utama, yakni 1) Piil Pesenggiri: piil (dari bahasa Arab fiil berarti perilaku), pesenggiri
(peerilaku terpuji, luhur dan tahu diri). Dahulu, sejak dibentuknya IGOB (Indlandsche Gemeente
Ordonantie Buiten Gewesten) pada 1928, setiap kepala adat atau punyimbang megou (marga)
dijadikan pesirah [kepala dalam kekuasaan wilayah marga] sehingga ia mempunyai
kewenangan dalam segla aspek kehidupan masyarakat: politik, ekonomi, perkawinan, dan
hukum. Sejak dibubarkannya IGOB pada 1951 oleh pemerintah Indonesia dan pemilihan kepala
desa dilakukan berdasarkan pemilihan oleh warga desa, kepala adat tidak lagi mempunyai
wewenang dalam pemerintahan desa. Akibatnya, terjadi kekurangan pendapatan bagi kepala
adat dan terjadi praktik jual-beli pepadun berdasarkan asas mupakat kepunyimbangan (lihat
Adat Rechtbundels XXXV, Sumatra, 1932). Oleh karena itu, pemilikan pepadun tidak terbatas
pada punyimbang megou, tiyuh, dan suku dalam garis keturunan laki-laki, tetapi bagia siapa saja
yang mampu membut pesta adat membayar uang adat kepada punyimbang megou, serta niat itu
memang disepakati oleh prowatin (majelis atau sidang adat), akan dapat memiliki gelar
pepadun.
Hal ini berdampak pada filsafat hidup yang dianggap luhur itu yang mengalami kemerosotan
nilai atau deformasi ke arah nilai-nilai lain. Pada mulanya, filsafat tersebut mengharuskan
orang bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri dan tahu kewajiban. Pada masa kini, filsafat piil
berubah menjadi suatu perasaan ingin dihargai dan bergengsi, serta dicerminkan dalam gelar-
gelar adat, harta kekayaaan, pekerjaaan, senjata, pembicaraan serta status dan peranannya di
tengah masyarakat yang menggambarkan kebesaran. Orang Belanda menyebutnya ijdelheid.
2) Juluk Adok, memiliki kepribadian sesuai dengan gelar adat yang dimilikinya. Juluk adalah
gelar untuk orang Lampung yang belum kawin; adok adalah gelar untuk orang Lampung setelah
kawin. Van Hoevel dalam de Lampongsche distrikten op het eiland Sumatra menjelaskan bahwa
gelar-gelar yang digunakan oleh para penyimbang di Lampung adalah atas pemberian Sultan
Banten di dalam konteks perdagangan lada yang berlangsung dari 1568 sampai 1808 (kurang
lebih 240 tahun). Pada mulanya punyimbang megou mendapatkan gelar pangeran atau kiay
aria. Tetapi tingkat gelar ini juga tergantung dari pemberian upeti lada yang diberikan kepada
Sultan Banten. Selain gelar, para punyimbang diberi piagam tembaga (dalung),1 satu perangkat
pakaian Jawa, keris, tombak. Yang bukan penyimbang diberi gelar temanggung dan ngabehi,
pakaian dan senjata tetapi tanpa piagam.
Dalam perjalanan waktu selanjutnya, misalnya di Kampung Ujung Gunung, Menggala, gelar
temanggung dan ngabehi dihapus karena kurang disukai. Orang lebih memilih gelar pangeran.
Untuk mendapatkan gelar pangeran dan kedudukan dalam adat, seseorang harus membayar
kepada punyimbang megou. Tingkat gelar dan kedudukan dalam adat yang dapat diperoleh
tergantung dari jumlah uang adat yang harus dibayarkan kepada prowatin adat. Setelah
kerajaan Banten bubar, maka gelar sutan, suntan dan semacamnya juga terpakai. Mengenai
pemberian gelar oleh Sultan Banten pada masa perdagangan lada, peneliti Jerman Friedrich
Wilhelm. Funke, menyebutnya sebagai “pembangsawaan orang Lampung.”
3) Nemui nyimah bermakna bahwa masyarakat lampung suka bersilaturahmi sekaligus
melekat aspek memuliakan tamu, serta saling berkunjung
5) Sakai Sambaian bermakna bahwa masyarakat Lampung gemar membantu sesama dan
memiliki jiwa gotong royong yang tinggi.
2. Teguh pendirian. Masyarakat adat Lampung merupakan kelompok masyarakat adat yang
teguh memegang prinsip dan pendirian hidup. Apabila dalam memutuskan suatu perkara, maka
mereka akan memegang teguh prinsip hidupnya.
7. Cara berbicara. Dalam bertutur kata, masyarakat Lampung dianjurkan untuk berkata
secukupnya, tidak melebih-lebihkan, karena dalam berucap terdapat aturan yang dimuat dalam
Kitab Kuntara Raja Niti yakni, “berbicara janganlah lebih, jika lebih menjadi pembohong, jika
kurang menjadi belantik” (Hadikusuma, 1986: 35). Apabila akan berkata-kata, maka pada setiap
pembicaraan orang Lampung dituntut supaya ketika berbicara jangan dilebihkan, dan yang
tidak perlu janganlah dikemukakan, jika pembicaraanya bagus ungkapkan sekaligus. Ini
menunjukkan ketinggian budi pekerti masyarakat Lampung untuk selalu berkata apa adanya,
dan jujur dalam berucap. Karena kata-kata yang telah terlanjur terucap, maka malulah kita
menariknya kembali.
8. Menjaga lingkungan alam. Bahwa setiap warga masyarakat Lampung dilarang untuk
membakar kayu dan sejenisnya yang berakibat pada kerusakan harta benda orang lain dengan
konsekuensi apabila melanggar ketentuan ini akan diberikan denda sebanyak 16 Rial
(Hadikusuma, 1986: 47). Sedangkan dalam menjaga kelestarian hutan, maka setiap masyarakat
dilarang merusak lingkungan baik untuk membuat lahan perladangan maupun untuk keperluan
pembuatan rumah dengan cara menebang hutan (nebas utan). Adapun menebang hutan
hendaknya memperhatikan lingkungan sekitar agar tidak merugikan ladang milik orang lain.
Nilai-nilai di atas dapat dimanfaatkan sebagai bahan penulisan cerita anak Lampung melalui
kegiatan Lokakarya Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak yang diselenggarakan Kantor
Bahasa Provinsi Lampung. ♦
Catatan:
1 Terhadap Piagam Dalung Kuripan, dalam disertasinya “Tinjauan Kritis tentang Sajarah
Banten: Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa” Hoesein Djajadiningrat
dalam Dalil VIII menulis, “Lempengan tembaga Lampung yang diumumkan oleh Dr. G.A. J. Hazeu
(TBG/Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap van Kunten en Wetenschappen, XLVIII,
halaman 1 dan seterusnya) adalah sesuatu yang tidak asli, yang dibuat kira-kira pada
permulaan abad ke-19 dengan suatu maksud tertentu untuk kepentingan Raden Inten.”
Jika penilaian atas Piagam Dalung Kuripan yang disampaikan oleh Husein Djajadiningrat ini
benar adanya, maka berlakulah yang disinyalir oleh Henri Pirenne, “Sane l’hypothese et la
synthese. l’histoire reste un passe-temps d’antiquares, sane la critique et l’erudition, elle pard pied
dans la domaine de la fantatsie’” (“Tanpa hipotesis dan antitesis, sejarah tetap merupakan
hiburan bagi antiquarian, tanpa kritik dan pengetahuan, ia [sejarah] kehilangan diri dalam
ranah fantasi”).
Daftar Pustaka
A. Fauzie Nurdin, Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah Menuju Masyarakat Bermartabat,
Gama Media, Yogyakarta, 2009.
Agus Iswanto, “Building Hamony through Religious Reception in Culture: Lesson Learned from
Radin Jambat Folktale of Lampung” dalam Analisa Journal of Social Science and Religion,
Volume 02 Number 02 December 2017, hlm. 183-199, Website Journal:
http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa
http://dx.doi.org/10.18784/analisa.v2i2.474
Citra Ayyuhda dan Karsiwan, “Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kitab Kuntara Raja Niti Sebagai
Pedoman Laku Masyarakat Lampung,” Social Pedagogy: Journal of Social Science
Education Vol. 1 No. 1 Tahun 2020, hlm. 1-8
Friedrich W. Funke, Orang Abung: Volkstum Sud Sumatra in Wandel (Orang Abung: Cerita
Rakyat Sumatra Selatan dari Waktu ke Waktu), Volume I: Sejarah Budaya Suku Abung
dari Zaman Megalitikum hingga Masa Kini), penerjemah Tim Ise, Penerbit Thafa Media
bekerjasama dengan IMC Publishing, Cetakan Pertama, 2018.
Hilman Hadikusuma, Kamus Bahasa Lampung, Penerbit Mandar Maju, Cetakan I, 1994,
Hoesein Djajadiningrat, Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten: Bijdrage ter kenschetsing
van de Javaansche gescheidschrijven (Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten:
Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat penulisan Sejarah Jawa), penerjemah Koninklijk
Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkune (KITLV) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Penerbit Djambatan, Jakarta, 1983.
Iwan Nurdaya-Djafar, Lampung Tempo Doeloe, Cipta Prima Nusantara, Cet. pertama, 2021.
Iwan Nurdaya-Djafar, 240 Tahun Banten Berdaulat di Lampung, 1568-1808 (manuskrip buku
belum diterbitkan).
Julia Maria, Kebudayaan Orang Menggala, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Cetakan
Pertama, 1993.