Anda di halaman 1dari 9

Kearifan Lokal Lampung

sebagai Bahan Penulisan Cerita Anak

oleh Iwan Nurdaya-Djafar


Lokakarya Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak
Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Hotel Whiz Prime, Bandarlampung, 29-31 Mei 2023

Sehubungan dengan kegiatan Lokakarya Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak yang
diselenggarakan Kantor Bahasa Provinsi Lampung, saya diminta untuk memberikan
pembekalan kepada para peserta dengan materi kearifan lokal Lampung sebagai bahan
penulisan cerita anak. Untuk itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu konsep “kearifan lokal” yang
juga dikenal dengan “kearifan tradisional” atau “sistem pengetahuan lokal” (indigenous
knowledge system). Artinya, pengetahuan khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu
yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal balik antara manusia
dengan lingkungannya. Karena lingkungannya terdapat di Lampung, maka disebut “kearifan
lokal Lampung” atau “kearifan tradisional Lampung” atau “sistem pengetahuan lokal Lampung.”

Kearifan lokal ini misalnya terdapat di dalam kitab-kitab hukum adat yang dipergunakan
masyarakat adat Lampung seperti Kuntara Raja Niti (Pubiyan), Kuntara Raja Asa (Waikanan),
Kuntara Tulangbawang, dan Kuntara Abung (Abung Seputih). Yaitu berupa nilai-nilai misalnya
1) Harga diri, 2) Berbudi pekerti, 3) Teguh pendirian, 4) Larangan sumpah palsu, 5) Ramah, 6)
Saling Menghormati, 7) Cara berucap, 8) Akhlak Bujang gadis, 9) Menjaga lingkungan alam, 10)
Bersihnya desa.

Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga dapat kita temukan dan diungkapkan dalam sastra
Lampung klasik, seperti dalam adi-adi (pantun) yaitu:
Tandani ulun Lampung,
wat piil-pusanggiri,
Mulia heno sehitung,
wat liom ghega dighi,

Juluk-adok gham pegung,


nemui-nyimah muaghi
Nengah-nyampugh mak ngungkung,
sakai-sambaian gawi (Hadikusuma. 1977: 45).

[“Tandanya orang Lampung,


terdapat piil pusanggiri,
Mulia hina dihitung,
terdapat rasa malu harga diri,
Juluk-adok kita pegang,
nemui-nyimah adat bersaudara,
Nengah-nyampur tidak ngungkung,
sakai sambaian dikerjakan.”]

Piil Pesenggiri yaitu falsafah hidup masyarakat adat Lampung di dalam menjalani kehidupan
mereka. Falsafah hidup masyarakat Lampung mengandung hal yang berhubungan dengan
kehormatan diri, keluarga, dan kesatuan kelompok masyarakat Adat Lampung. Falsafah ini
disebut Pill Pesenggiri. Piil Pesenggiri berisi lima unsur pokok yang terdiri dari: 1. Pill
Pesenggiri, yaitu keharusan hidup bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, dan kewajiban. 2.
Sakai Sambayan, yaitu keharusan hidup berjiwa sosial, tolong menolong tanpa pamrih, dan
bergotong royong. 3. Nemui Nyimah, yaitu keharusan berperilaku sopan santun terhadap
sesama anggota masyarakat dan terbuka tangan baik moril maupun material kepada siapa saja.
4. Nengah Nyappur, yaitu keharusan ikut bergaul dalam masyarakat, ikut memberikan
sumbangan pikiran, serta pendapat dan inisiatif bagi kebaikan hidup bersama. 5. Bejuluk
Beadek, yaitu terpatri makna keharusan berjuang meningkatkan kesempurnaan hidup, bertata
tertib, dan bertata krama yang baik (Hadikusuma. 1977: 77).

Kamus Bahasa Lampung yang disusun oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung (2009: 204)
mendefinisikan piil sebagai 'perilaku’. Namun, menurut Hadikusuma (1989: 102), piil berarti
'pengendalian diri' atau 'harga diri'. Sedangkan pesenggiri diartikan sebagai ‘tidak mundur’. Jadi,
dapat dikatakan bahwa Piil Pesenggiri adalah pandangan hidup yang mengarahkan masyarakat
Lampung untuk menjaga harga diri atau ‘pengendalian diri’.

Dalam Kamus Bahasa Lampung (1994: 110) Hilman Hadikusuma juga menulis demikian,
“pik-il /Abung/ pi-il /Tulangbawang/ pik-il-pesenggirei, rasa harga diri, juluk-adek nama besar-
gelar; nemui nyimah, suka bertamu suka melayani; nengah nyappur, suka bercampur gaul; sakai
sambayan, kerjasama tolong menolong. pik-il mulei ngejagow direi, kepribadian gadis menjaga
diri.”

Piil Pesenggiri mencerminkan karakteristik masyarakat Lampung sehingga dalam


masyarakat Lampung terdapat pepatah “ulah Piil jadi helau, ulah Piil ngeguwai selisih” (karena
piil menjadi baik, karena piil membuat kejahatan), atau “ulah Piil jadei wawai, ulah Piil
menguwai jahel” (karena piil menjadi baik, karena piil menjadikan kejahatan) (Nurdin, 2009:
45).

Menurut A. Fauzie Nurdin (2009:45), Piil Pesenggiri versi masyarakat Pesisir Lampung
mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) khepot delom mufakat (asas persatuan); (2)
tengah tetenggah (asas persamaan); (3) bupudak waya (asas hormat); (4) khopkhama delom
bekekhja (prinsip kerja keras); (5) bupiil bupesenggiri (prinsip cita-cita dan kesuksesan).
Sementara itu, dalam komunitas Pepadun, Piil Pesenggiri memiliki rumusan sebagai berikut: (1)
pesenggiri (asas hormat); (2) juluk-adek (gelar dan prinsip sukses); (3) nemui nyimah (prinsip
penghargaan); (4) nengah nyappur (prinsip kesetaraan dan akomodatif); (5) sakai sambayan
(prinsip gotong-royong).

Penjelasan ini dapat melengkapi Hilman Hadikusuma (1989: 102) tentang falsafah hidup Piil
Pesenggiri.

Penerapan kelima unsur pokok yang terkandung dalam falsafah hidup masyarakat Lampung
ini terlihat di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lampung. Unsur Piil Pesenggiri yang
mengharuskan setiap masyarakat Lampung berjiwa besar, mengetahui kedudukan diri sendiri,
dan bersatu terpancar dalam pepatah sai tuha malah cawou, sai sunak malah kiwak (yang tua
mengalah bicara, yang muda mengalah tenaga).

Kelima unsur pokok di atas mengatur hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat
Lampung, baik kehidupan individu maupun kehidupan sosialnya, seperti yang terkandung
dalam konsep bejuluk beadek. Unsur ini lebih menonjolkan adanya pengakuan hak individu.
Masyarakat Lampung sangat menjunjung tinggi asas persaudaraan, kebersamaan, kekeluargaan,
dan kegotongroyongan dalam kehidupan sosial (Karsiwan, 2019: 85). Hal ini tampak pada
tanggung jawab saudara, yang diberikan kepada saudaranya yang lain. Seperti, tanggung jawab
yang diberikan saudara kepada saudaranya yang lain yang mengalami hambatan di dalam
menyelesaikan pelajarannya (sekolah).

Otoritas dan persoalan kepemimpinan, masyarakat Lampung sangat menonjolkan asas


mufakat seperti tercermin dalam pepatah Sai tuha malah cawou, sai sanak malah kiwak.
Pemegang otoritas tertinggi dalam masyarakat Lampung adalah musyawarah para penyimbang
atau perwatin adat yang berarti perwujudan demokrasi adat (Arifin, 1985: 24). Nilai-nilai adat
istiadat masyarakat Lampung senantiasa terjaga karena setiap punyimbang (pun sai simbang,
pemimpin yang meneruskan (kekuasaan bapak) kepala adat kekerabatan) dan pemangku adat
mampu menjaga dan mewariskannya kepada generasi penerus. Kepada merekalah kita masih
dapat bertanya, mengungkap kearifan nilai dari setiap aturan yang ada. Bahkan sebagian
masyarakat juga masih menjaga nilai dan aturan hidup tersebut. Salah satu hasil karya
perundang-undangan yang dimiliki masyarakat Lampung di masa lalu adalah kitab-kitab hukum
adat seperti Kuntara Raja Niti, Kuntara Raja Asa, Kuntara Tulangbawang, Kuntara Abung. Kitab-
kitab ini bukan semata mengatur acara adat sebagai seremonial, melainkan juga hubungan
antara manusia yang satu dan lainnya, antartetangga, antarmasyarakat, juga hubungan antara
rakyat dan rajanya. Dalam perundang-undangan Kuntara, masyarakat juga diatur untuk
bersikap baik pada bumi dan alam sekitar. Kuntara atau kutara berasal dari bahasa Sanskerta
yang bermakna ‘naskah hukum’ atau ‘kitab hukum.’ Lidah Lampung mengejanya menjadi
ketarow (logat Tulangbawang), kutarow (logat Abung), kuntara (dialek Pemanggilan).

Dalam tulisannya “Sejarah Islam dan Perkembangan di Daerah Lampung,” Hilman


Hadikusuma menulis, “Di masa Gajah Mada kerajaan Hindu berkembang dengan pesat, berbagai
candi dipelihara dan aturan negara dilaksanakan dengan undang-unndang Kutaramanawa
[lengkapnya: Kutara Manawasarwwaraja] dari zaman Kediri. Ketika Gajah Mada dengan
pasukannya singgah di Lampung (di Jabung dekat muara Way Sekampung) di daerah kekuasaan
Ratu Pugung dalam rangka penyerangan terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai [Aceh] tahun
1349, di antara yang ditinggalkan Gajah Mada ialah perundangan Kutara. Dari Kutaramanawa
itulah agaknya kitab-kitab adat Lampung yang kemudian bernama Kuntara Raja Niti, Kuntara
Raja Asa, Kuntara Adat Lampung (Abung Seputih), Kuntara Adat Tulangbawang. Kitab-kitab ini
kemudian di zaman Banten dipengaruhi ajaran-ajaran Islam.” (Kanwil Departemen Agama
Propinsi Lampung, Sekelumit Catatan Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Lampung,
1988, hlm. 3).

Terhadap Kuntara Abung, Hi. A. Rifa’i Wahid telah melakukan alih bahasa dan alih aksara
dari aksara Lampung dan bahasa Lampung ke aksara Latin bahasa Indonesia dan diterbitkan
oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lampung Timur (2001) di bawah judul
Ketaro Adat Lampung. Buku tebal itu berisi tiga bagian. Bagian pertama dalam bahasa Lampung
beraksara ka-ga-nga, bagian kedua dalam aksara Latin bahasa Indonesia. Bab pertama terdiri
atas 31 pasal di antaranya mengatur tentang biaya untuk menebus seorang budak, sarana
mendirikan sebuah pepadon, pokok pepadon, pengajin (penghargaan yang diberikan
punyimbangnya yang harus dibayar sebagai imbalan) budak meningkat menjadi ningrat (kaya),
pekerjaan punyimbang yang membawa pepadonnya menjadi karam, kelakuan punyimbang
yang membawakan pepadonnya kotor, hukum adat perkawinan dan perceraian, dan
sebagainya. Bab kedua terdiri atas 3 pasal tentang asal-usul keturunan orang Lampung dari Tali
Tunggal sampai Buai Unyai.

***

Nilai-nilai kearifan lokal Lampung sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab hukum adat di
atas antara lain: 1. Harga diri. Masyarakat Lampung memiliki harga diri yang dikenal sebagai
lima nilai utama, yakni 1) Piil Pesenggiri: piil (dari bahasa Arab fiil berarti perilaku), pesenggiri
(peerilaku terpuji, luhur dan tahu diri). Dahulu, sejak dibentuknya IGOB (Indlandsche Gemeente
Ordonantie Buiten Gewesten) pada 1928, setiap kepala adat atau punyimbang megou (marga)
dijadikan pesirah [kepala dalam kekuasaan wilayah marga] sehingga ia mempunyai
kewenangan dalam segla aspek kehidupan masyarakat: politik, ekonomi, perkawinan, dan
hukum. Sejak dibubarkannya IGOB pada 1951 oleh pemerintah Indonesia dan pemilihan kepala
desa dilakukan berdasarkan pemilihan oleh warga desa, kepala adat tidak lagi mempunyai
wewenang dalam pemerintahan desa. Akibatnya, terjadi kekurangan pendapatan bagi kepala
adat dan terjadi praktik jual-beli pepadun berdasarkan asas mupakat kepunyimbangan (lihat
Adat Rechtbundels XXXV, Sumatra, 1932). Oleh karena itu, pemilikan pepadun tidak terbatas
pada punyimbang megou, tiyuh, dan suku dalam garis keturunan laki-laki, tetapi bagia siapa saja
yang mampu membut pesta adat membayar uang adat kepada punyimbang megou, serta niat itu
memang disepakati oleh prowatin (majelis atau sidang adat), akan dapat memiliki gelar
pepadun.

Hal ini berdampak pada filsafat hidup yang dianggap luhur itu yang mengalami kemerosotan
nilai atau deformasi ke arah nilai-nilai lain. Pada mulanya, filsafat tersebut mengharuskan
orang bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri dan tahu kewajiban. Pada masa kini, filsafat piil
berubah menjadi suatu perasaan ingin dihargai dan bergengsi, serta dicerminkan dalam gelar-
gelar adat, harta kekayaaan, pekerjaaan, senjata, pembicaraan serta status dan peranannya di
tengah masyarakat yang menggambarkan kebesaran. Orang Belanda menyebutnya ijdelheid.

2) Juluk Adok, memiliki kepribadian sesuai dengan gelar adat yang dimilikinya. Juluk adalah
gelar untuk orang Lampung yang belum kawin; adok adalah gelar untuk orang Lampung setelah
kawin. Van Hoevel dalam de Lampongsche distrikten op het eiland Sumatra menjelaskan bahwa
gelar-gelar yang digunakan oleh para penyimbang di Lampung adalah atas pemberian Sultan
Banten di dalam konteks perdagangan lada yang berlangsung dari 1568 sampai 1808 (kurang
lebih 240 tahun). Pada mulanya punyimbang megou mendapatkan gelar pangeran atau kiay
aria. Tetapi tingkat gelar ini juga tergantung dari pemberian upeti lada yang diberikan kepada
Sultan Banten. Selain gelar, para punyimbang diberi piagam tembaga (dalung),1 satu perangkat
pakaian Jawa, keris, tombak. Yang bukan penyimbang diberi gelar temanggung dan ngabehi,
pakaian dan senjata tetapi tanpa piagam.

Dalam perjalanan waktu selanjutnya, misalnya di Kampung Ujung Gunung, Menggala, gelar
temanggung dan ngabehi dihapus karena kurang disukai. Orang lebih memilih gelar pangeran.
Untuk mendapatkan gelar pangeran dan kedudukan dalam adat, seseorang harus membayar
kepada punyimbang megou. Tingkat gelar dan kedudukan dalam adat yang dapat diperoleh
tergantung dari jumlah uang adat yang harus dibayarkan kepada prowatin adat. Setelah
kerajaan Banten bubar, maka gelar sutan, suntan dan semacamnya juga terpakai. Mengenai
pemberian gelar oleh Sultan Banten pada masa perdagangan lada, peneliti Jerman Friedrich
Wilhelm. Funke, menyebutnya sebagai “pembangsawaan orang Lampung.”
3) Nemui nyimah bermakna bahwa masyarakat lampung suka bersilaturahmi sekaligus
melekat aspek memuliakan tamu, serta saling berkunjung

4) Nengah Nyappur berarti setiap masyarakat Lampung suka bergaul di tengah-tengah


masyarakat, keberagaman dan kemajemukan, dan terakhir

5) Sakai Sambaian bermakna bahwa masyarakat Lampung gemar membantu sesama dan
memiliki jiwa gotong royong yang tinggi.

2. Teguh pendirian. Masyarakat adat Lampung merupakan kelompok masyarakat adat yang
teguh memegang prinsip dan pendirian hidup. Apabila dalam memutuskan suatu perkara, maka
mereka akan memegang teguh prinsip hidupnya.

3. Berbudi Pekerti. Masyarakat adat Lampung sangat menjunjung tinggi nilai-nilai


kemanusiaan dan budi pekerti. Kitab Kuntara Raja Niti menggambarkan sikap seseorang yang
memiliki berbudi pekerti seperti “sesorang yang menjalankan perilaku dengan akal, bagaikan
burung sedang terbang bulunya sudah ditangan” (Hadikusuma, 1986: 18). Ini menunjukkan
tingginya budi pekerti masyarakat Lampung, dalam bertingkah laku selalu mendahulukan
pikiran daripada tindakan. Dalamnya ungkapan dalam budi pekerti ini sebagaimana dalam
Kuntara Raja Niti “ombak bergulung nantikan tenang, api menyala ada waktu padam, bumi yang
luas ada batasnya.” Mengandung makna yang amat mendalam, bahwa segala sesuatu ini ada
masanya, ada waktunya, maka pergunakanlah selagi bisa.

4. Larangan memberikan sumpah palsu. Dalam persoalan persaksian yang menyangkut


tentang persoalan hukum dan keadilan maka persoalan ini diatur dalam kitab Kuntara Raja Niti
Pasal 166, bahwa apabila terdapat orang yang bersumpah, kemudian diketahui bahwa sumpah
itu palsu, maka yang bersangkutan di hukum denda 120 real (Hadikusuma, 1986: 56).
Konsekuensi memberikan suatu pengajaran bahwa sumpah palsu adalah sesuatu perbuatan
tercela, dan hina. Hal ini karena sumpah palsu dianggap dapat merusak tatanan hukum adat
pada masyarakat Lampung baik Pepadun maupun Peminggir/Saibatin.

5. Ramah. Keramahan masyarakat Lampung tercermin dalam aktivitas sehari-hari, yakni


suka saling berkunjung dan bersilaturahmi, serta sangat ramah dalam menerima tamu. Bahkan
masyarakat Lampung akan merasa malu apabila tidak mampu memberikan jamuan dan
hidangan yang terbaik, meskipun terkadang harus dilakukan dengan cara berutang, hal ini
semata-mata untuk mengikuti tuntutan adat, dan berlandaskan Islam bahwa memuliakan tamu
adalah suatu amal perbuatan yang baik.
6. Saling menghormati. Masyarakat Lampung selalu diajarkan untuk senantiasa
menghormati orang yang lebih tua, bahkan kepada anak muda yang cerdas dan berilmu pun
masyarakat Lampung akan memberikan penghormatan. Sebagaimana nilai-nilai kearifan lokal
dalam kitab Kuntara Raja Niti, bahwa apabila ada seorang anak yang pandai maka diminta
untuk tampil ke depan memimpin rombongan meskipun di dalamnya terdapat orang yang lebih
tua, ia berguna sebagai penunjuk jalan dengan penuh pengawasan dan ketelitian (Hadikusuma,
1986: 27).

7. Cara berbicara. Dalam bertutur kata, masyarakat Lampung dianjurkan untuk berkata
secukupnya, tidak melebih-lebihkan, karena dalam berucap terdapat aturan yang dimuat dalam
Kitab Kuntara Raja Niti yakni, “berbicara janganlah lebih, jika lebih menjadi pembohong, jika
kurang menjadi belantik” (Hadikusuma, 1986: 35). Apabila akan berkata-kata, maka pada setiap
pembicaraan orang Lampung dituntut supaya ketika berbicara jangan dilebihkan, dan yang
tidak perlu janganlah dikemukakan, jika pembicaraanya bagus ungkapkan sekaligus. Ini
menunjukkan ketinggian budi pekerti masyarakat Lampung untuk selalu berkata apa adanya,
dan jujur dalam berucap. Karena kata-kata yang telah terlanjur terucap, maka malulah kita
menariknya kembali.

8. Menjaga lingkungan alam. Bahwa setiap warga masyarakat Lampung dilarang untuk
membakar kayu dan sejenisnya yang berakibat pada kerusakan harta benda orang lain dengan
konsekuensi apabila melanggar ketentuan ini akan diberikan denda sebanyak 16 Rial
(Hadikusuma, 1986: 47). Sedangkan dalam menjaga kelestarian hutan, maka setiap masyarakat
dilarang merusak lingkungan baik untuk membuat lahan perladangan maupun untuk keperluan
pembuatan rumah dengan cara menebang hutan (nebas utan). Adapun menebang hutan
hendaknya memperhatikan lingkungan sekitar agar tidak merugikan ladang milik orang lain.

Nilai-nilai di atas dapat dimanfaatkan sebagai bahan penulisan cerita anak Lampung melalui
kegiatan Lokakarya Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak yang diselenggarakan Kantor
Bahasa Provinsi Lampung. ♦

Catatan:

1 Terhadap Piagam Dalung Kuripan, dalam disertasinya “Tinjauan Kritis tentang Sajarah
Banten: Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa” Hoesein Djajadiningrat
dalam Dalil VIII menulis, “Lempengan tembaga Lampung yang diumumkan oleh Dr. G.A. J. Hazeu
(TBG/Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap van Kunten en Wetenschappen, XLVIII,
halaman 1 dan seterusnya) adalah sesuatu yang tidak asli, yang dibuat kira-kira pada
permulaan abad ke-19 dengan suatu maksud tertentu untuk kepentingan Raden Inten.”
Jika penilaian atas Piagam Dalung Kuripan yang disampaikan oleh Husein Djajadiningrat ini
benar adanya, maka berlakulah yang disinyalir oleh Henri Pirenne, “Sane l’hypothese et la
synthese. l’histoire reste un passe-temps d’antiquares, sane la critique et l’erudition, elle pard pied
dans la domaine de la fantatsie’” (“Tanpa hipotesis dan antitesis, sejarah tetap merupakan
hiburan bagi antiquarian, tanpa kritik dan pengetahuan, ia [sejarah] kehilangan diri dalam
ranah fantasi”).

Daftar Pustaka

A. Fauzie Nurdin, Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah Menuju Masyarakat Bermartabat,
Gama Media, Yogyakarta, 2009.

Agus Iswanto, “Building Hamony through Religious Reception in Culture: Lesson Learned from
Radin Jambat Folktale of Lampung” dalam Analisa Journal of Social Science and Religion,
Volume 02 Number 02 December 2017, hlm. 183-199, Website Journal:
http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa
http://dx.doi.org/10.18784/analisa.v2i2.474

Citra Ayyuhda dan Karsiwan, “Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kitab Kuntara Raja Niti Sebagai
Pedoman Laku Masyarakat Lampung,” Social Pedagogy: Journal of Social Science
Education Vol. 1 No. 1 Tahun 2020, hlm. 1-8

Friedrich W. Funke, Orang Abung: Volkstum Sud Sumatra in Wandel (Orang Abung: Cerita
Rakyat Sumatra Selatan dari Waktu ke Waktu), Volume I: Sejarah Budaya Suku Abung
dari Zaman Megalitikum hingga Masa Kini), penerjemah Tim Ise, Penerbit Thafa Media
bekerjasama dengan IMC Publishing, Cetakan Pertama, 2018.

Hilman Hadikusuma, Kamus Bahasa Lampung, Penerbit Mandar Maju, Cetakan I, 1994,

Hoesein Djajadiningrat, Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten: Bijdrage ter kenschetsing
van de Javaansche gescheidschrijven (Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten:
Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat penulisan Sejarah Jawa), penerjemah Koninklijk
Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkune (KITLV) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Penerbit Djambatan, Jakarta, 1983.

Iwan Nurdaya-Djafar, Lampung Tempo Doeloe, Cipta Prima Nusantara, Cet. pertama, 2021.

Iwan Nurdaya-Djafar, 240 Tahun Banten Berdaulat di Lampung, 1568-1808 (manuskrip buku
belum diterbitkan).

Julia Maria, Kebudayaan Orang Menggala, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Cetakan
Pertama, 1993.

Anda mungkin juga menyukai