Anda di halaman 1dari 15

Nama: ELIVIA PASMA PUTRI

Nim: 07011182328112
Kelas : C Administrasi Publik, Indralaya, Angkatan 2023
Dosen Pembimbing : Dr. Rudi Kurniawan, S.TH.I, M.SI

ANALISIS TUJUH UNSUR KEBUDAYAAN


MASYARAKAT LAMPUNG ADAT PEPADUN

Bagaikan sisi mata uang yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan karena saling
mempengaruhi, itulah makna kebudayaan. Kebudayaan adalah rangkaian dari hasil cipta,
karya, dan karsanya manusia yang diakui dan dianut oleh masyarakat. Kebudayaan dan
masyarakat adalah satu kesatuan yang akan terus menyatu seperti simpul yang diikat.
Kebudayan akan selalu ada dalam masyarakat, tidak ada kebudayaan yang tercipta tanpa
adanya masyarakat. Sedangkan masyarakat yang nalurinya selalu terus berkembang tidak
mungkin tidak menghasilkan kebudayaan.

Dalam menciptakan sebuah kebudayan, terdapat sebuah unsur-unsur yang


membangun kebudayan itu sendiri dan unsur-unsur tersebut merupakan patokan atau
penentu yang dapat ditemukan dalam setiap kebudayaan yang ada di seluruh penjuru
dunia. Di dalam buku yang berjudul Universal Categories of Cultural, kluchon membagi
sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau cultural universal.
Menurut Koenjraningrat kata universal tersebut memiliki makna bahwa unsur
kebudayaan dapat ditemukan dalam setiap kebudayan semua bangsa di seluruh penjuru
dunia. Tujuh unsur kebudayaan tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, sistem
organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi dan mata
pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.

Dalam artikel di atas, kebudayaan yang saya analisis adalah tentang masyarakat
lampung adat pepadun. Nama “Pepadun” berasal dari perangkat adat yang digunakan
dalam prosesi Cakak Pepadun. “Pepadun” adalah bangku atau singgasana kayu yang
merupakan simbol status sosial tertentu dalam keluarga. Dalam sejarahnya masyarakat
adat pepadun duluanya lahir berasal dari pagaruyung keturunan Putri Kayangan dari
Kuala Tungkal, kerabat mereka menetap di Skala Brak, maka cucunya Umpu Serunting
(Sidenting) menurunkan lima orang anak laki-laki, yaitu Indra Gajah (menurunkan orang
abung), Belenguh (menurunkan orang pesisir), Pa’lang (menurunkan orang pubian),
Panan (menghilang), dan Sangkan (diragukan dimana keberadaannya).

Dalam kisahnya deretan Skala Brak pada awalnya dihuni oleh suku Tumi yang kala itu
masih menganut paham animisme. Suku bangsa ini mengagungkan sebuah pohon yang
bernama lemasa kepampang yaitu pohon nangka bercabang dua. Cabang pertama berupa
nangka dan yang satunya lagi sejenis pohon yang bergetah (sebukau). Keistimewaan
lemasa kepampang menurut cerita rakyat yang berkembang adalah apabila terkena getah
dari cabang kayu sebukau akan menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya,
untuk mengobatinya harus dengan getah cabang satunya. Selanjutnya kayu lemasa
kepampang ini dijadikan sebagai pohon yang dikeramatkan.

Setelah masuknya Islam yang disebarkan oleh empat orang putra raja pagaruyung
di Skala Brak yaitu Umpu Berjalan di Way, Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu
Peranong, dibantu oleh seorang penduduk yang bernama si Bulan, mereka membentuk
sebuah persatuan yang bernama Paksi Pak (4 bersaudara), mereka merupakan cikal bakal
Paksi Pak, sebagaimana yang diungkapkan dalam buku naskah kuno yang bernama
Kuntara Raja Niti (Kitab Hukum Adat). Tetapi dalam persi buku tersebut nama-nama
mereka adalah Inder Gajah, Paklang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati. Dan keempat Umpu
tersebutlah yang membawa agamaIslam dan bersahabat dengan Puteri Bulan.

Suku tumi mereka kalahkan dan pohon lemasa kepampang tersebut ditebang dan
dibuat menjadi Pepadun (tempat singgasana seorang raja), sejak saat itulah paham
animisme terkikis dari tanah Skala Brak, dan hingga saat ini suku Lampung merupakan
penganut agama Islam mayoritas. Pepadun mempunyai dua makna, yaitu bermakna
memadukan pengesahan atau pengaduan untuk mentasbihkan bahwa orang yang duduk
diatasnya adalah raja, dan bermakna tempat mengadukan segala hal ihwal dan mengambil
keputusan bagi mereka yang pernah mendudukinya. Fungsinya hanya diperuntukan bagi
raja yang memerintah di Skala Brak ketika itu. Pepadun diabadikan menjadi salah satu
nama adat istiadat Lampung yaitu adat Lampung Pepadun yang abadi hingga sekarang.

Ketujuh unsur yang terdapat dalam masyarakat adat lampung pepadun antara lain,
sebagai berikut:
1. BAHASA
Sesuatu yang berawal dari hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai
lisan untuk mempermudah komunikasi antar sesama manusia. Begitulah pentingnya
bahasa. Bahasa-bahasa yang digunakan oleh Masyarakat Lampung merupakan
cabang sundik yakni berasal dari rumpun Bahasa Melayu-Polinesia Barat. Bahasa
ini tidak hanya digunakan di Provinsi Lampung saja, tetapi juga terdapat juga
sumatera bagian selatan misalnya Palembang dan pantai barat Banten. Oleh karena
itu, pelafalan logat yang digunakan di masyarakat lampung khusnya adat pepadun
hampir sama dengan Bahasa Palembang yang berdialek “O”
Lampung Pepadun memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat
Lampung Saibatin. Masyarakat Lampung Adat Pepadun memiliki karakteristik
bahasa yang berdialek “O”. Pelafalan yang diucapkan oleh masyarakat adat pepadun
ini adalah pelafalan dengan irama atau intonasi yang mengayun dan menekan. Tak
jarang penggunaan bahasa dialek “O” dimaknai sebagai masyarakat kurang ramah
(kasar) oleh sebagian masyarakat awam terutama daerah suku jawa (yang lembut).
Namun, ada beberapa daerah masyarakat Lampung Pepadun yang juga menggunakan
bahasa dialek “A” dalam bahasa percakapan sehari-hari. Contoh penggunaan bahasa
adat pepadun dialek “O”yaitu : (O) /Ikam Ago Dak Sekulah (saya mau ke sekolah)
dan nyo kabagh (apa kabar).
Perwujudan dari bahasa yang digunakan oleh Masyarakat Lampung adat pepadun
tidak jauh berbeda oleh masyarakat adat lampung lainnya, yaitu dalam bentuk aksara
yang dinamakan Had Lampung (kaganga). Aksara ini juga mengadopsi unsur-unsur
kearaban yaitu adanya tanda kasroh, fathah dan sukun dalam memberikan imbuhan
pada aksara tersebut.

2. KESENIAN
Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat
memuaskan. Begitu pula masyarakat lampung pepadun yang memiiki kesenian
sebagai wujud dari naluri masyarakat yang selalu berkembang.
Masyarakat lampung adat pepadun memiliki kebudayan yang tidak kalah menarik
dengan masyarakat adat lainnya. Masyarakat Lampung Adat Pepadun memiliki
kesenian, salah satunya adalah Tari Sembah yang paling terkenal. Tari Sembah
ditampilkan biasanya pada peringatan upacara adat ataupun penyambutan tamu
terhormat. Tari sembah mengandung gerakan lemah-gemulai, lembut dan
keanggunan yang memiliki makna kerahmahtamahan dalam memuliakan para tamu.
Seiring berjalannya waktu, tari sembah telah dikreasikan dengan perpaduan
masyarakat lampung adat saibatin, Tari kreasi ini yang sekarang dikenal dengan
sebutan Tari Sigeh Pengunten. Ciri khas utama dari tari kreasi sigeh pengunten ini
adalah penggunaan mahkota adat, yaitu Siger yang melambangkan kemegahan dan
keelokan perempuan lampung.
Selain tari sembah, masyarakat lampung adat pepadun juga memiliki tari cangget
atau yang dikenal cangget pepadun (mencerminkan gadis lampung yang elok dan
anggun). Tarian ini biasanya ditampilkan pada acara pernikahan dan pesta adat
lampung. Terdapat lima macam tari cangget yang sesuai dengan fungsinya, yaitu
cengget nyambuk temui (dibawakan untu upacara menyambut tamu agung yang
berkunjung), cangget bakha (saat bulan purnama atau selesai panen), cangget
penganggik (saat menerma anggota baru dari anak-anak ke dewasa). cangget
pilangan (melepas anggota keluarga yang akan menikah), cangget agung (dimainkan
saat ada upacara adat pengangkatan seseorang menjadi kepala adat). Adanya tari
cangget, masyarakat lampung adat pepadun menghasilkan lagu yang sekarang
dikenal menjadi lagu daerah khas lampung, yaitu Cangget Agung.
Seni musik yang digunakan oleh masyarakat lampung adat pepadun dalam
melaksanakan upacara adat atau tari penyambutan tidak jauh berbeda dengan
masyarakat lampung adat lainnya yang bersumber dari alat musik, seperti gambus
lampung, gamelan, kompang atau khaddap, (hampir mirip dengan kompang atau
gendang), bende (mirip dengan gong), membling (hampir mirip dengan hasapi
sumatera utara), serdam (seruling yang hanya memiliki lima lubang), kerenceng atau
terbangan, talo balak (biasanya disebut kelittang tabo balak), sekhdap atau bekhdah
(dua kali lipat ukuran dari terbangan).
Masyarakat lampung adat pepadun juga memiliki seni sastra yang diwujudkan
dalam bentuk lisan. Sastra yang diwujudkan dalam bentuk lisan oleh masyarakat
pepadun, yaitu Sesikun/Sak, iman (peribahasa), Seganing/teteduhan (teka-teki),
Memang (mantra), Warahan (cerita rakyat), dan puisi. Untuk Puisi Lampung Adat
Pepadun dibagi lagi menjadi lima jenis puisi, yaitu (1) paradinei/paghadini; (2)
pepaccur/pepaccogh/; (3) pantun/Segata/Adi-adi; (4) bebandung; (5) wayak.
Terdapat satu lagi seni sastra masyarakat adat pepadun yang diwujudkan dalam
bentuk lisan yang disebut dengan panggeh. Panggeh biasanya digunakan baik dalam
upacara pernikahan ataupun dalam pengambilan gelar adat melalui upacara begawi
cakak pepadun. Fungsi panggeh, yaitu pemberian sapaan disertai identitas dan
harapan, Kata pembuka didalam tarian adalah ajakan kepada semua penari untuk
memulai tarian, menyampaikan nasihat, menyatakan nilai-nilai karakter dalam piil
pesengiri, penghargaan terhadap tamu, dan sebagai hiburan. Makna panggeh
mengandung nilai karakter yaitu bertanggung jawab, berkeadilan, kepemimpinan dan
kedisiplinan.

3. SISTEM ORGANISASI SOSIAL


Sistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa meskipun diciptakan
sebagai makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki kelemahan dan
kelebihan masing-masing antar individu sehingga timbul rasa utuk berorganisasi dan
bersatu.
Sistem organisasi masyarakat lampung pepadun dapat dilihat dari lembaga
kemasyarakatan dan sistem kekerabatan.
A. Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga perwatin dan kepunyimbangan merupakan irisan dan lapisan
penting dalam diagram struktur sosial masyarakat Lampung. Lembaga ini
merupakan mekanisme dan bentuk pemerintahan lokal yang terkait dengan
proses kepemimpinan dalam penyelenggaraan sistem kemasyarakatan (Societal
System). Kepunyimbangan ke-Buay-an merupakan mekanisme rekrutmen
kepemimpinan yang didasarkan atas silsilah asal-usul keturunan kekerabatan
tertua (generasi pertama) yang menempati suatu wilayah teritorial tertentu
(tiyuh). Generasi pertama ini yang melahirkan generasi-generasi selanjutnya dan
menyebar dengan cara membuka pembagian wilayah garapan
perladanganperkebunan dan permukiman (huma, umbul).
Sitem lembaga perwatin dan kepunyimbangan tersebut melahirkan sistem
kekerabatan yang menempati wilayah di Lampung. Masyarakat pepadun secara
kekerabatan terdiri dari empat klen besar yang masing-masing dapat dibagi lagi
menjadi kelompok-kelompok kerabat yang disebut Buay. Kelompok- kelompok
masyarakat itu adalah :
1. Abung Siwo Megou, Meliputi:
Buay Nunyai, lokasinya di daerah Kota Bumi.
Buay Unyi, lokasinya di daerah Gunung sugih.
Buay Nuban, lokasinya di daerah Sukadana.
Buay Subing, lokasinya di daerah Terbanggi Besar.
Buay kunang, lokasinya di daerah Abung Barat.
Buay Selagai, lokasinya di daerah Terbanggi Besar.
Buay Selaga, lokasinya di daerah Abung Barat.
Buay Tuha, lokasinya di daerah di daerah Padang Ratu.
Buay Nyerupa, lokasinya di daerah Gunung sugih.

2. Megou pak Tulang Bawang meliputi:


Buay balau, lokasinya di daerah Menggala
Buay Umpu, lokasinya di daerah Tulang Bawang Tengah.
Buay Tegamoan, lokasinya di daerah Tulang bawang Tengah.
Buay aji, lokasinya di daerah Tulang Bawang tengah.

3. Buay Lima (Way Kanan/ Sungkai), meliputi:


Buay Barasakti, lokasinya di daerah Barasakti.
Buay Semenguk, lokasinya di daerah Blambangan umpu.
Buay Baradatu, lokasinya di daerah Baradatu.
Buay Pemuko, lokasinya di daerah Pakuan ratu.
Buay Bahugo, lokasinya di daerah Bahuga.

4. Pubian Telu Suku, meliputi:


Buay Manyarakat, lokasinya di daerah Gedong tataan, Pagelaran, dan
Buay Tambapupus, lokasinya didaerah pagelaran dan gedong tataan.
Buay bukujadi, lokasinya di daerah Natar.
B. Sistem kekerabatan bertalian darah

Masyarakat Pepadun menganut sistem kekerabatan patrilineal yang mengikuti


garis keturunan bapak. Dalam suatu keluarga, kedudukan adat tertinggi berada
pada anak laki-laki tertua dari keturunan tertua, yang disebut “Penyimbang”.
Gelar Penyimbang ini akan menjadikan pemimpin dalam pengambilan keputusan
dan selalu diturunkan kepada anak laki-laki tertua dari Penyimbang, dan seperti
itu seterusnya.

Sistem penyimbang tersebut hingga pada akhirnya melahirkan sistem


kekerabatan yang bertalian darah, seperti berikut ini.

1. Kelompok Warei
Kelompok Warei ini terdiri atas saudara-saudara seayah-seibu atau saudara-
saudara seayah lain ibu, ditarik menurut garis laki-laki ke atas dan ke samping
termasuk saudara-saudara perempuan yang belum menikah atau yang bersaudara
datuk (kakek) menurut garis laki-laki. Artinya semua anak keturunan dari ayah
baik dari istri pertama maupun istri kedua dan seterusnya merupakan kelompok
warei. Panggilan pada setiap kelompok warei tersebut mengikuti urutan dari yang
tua, misalnya Minak, Wan, Kiyay, Adin, Batin, dst.

2. Kelompok Apak Kemaman

Kelompok ini terdiri atas semua saudara laki-laki ayah dan paman baik yang
sekandung atau yang bersaudara dari datuk atau kakek menurut garis laki-laki.
Dalam hubungannya dengan Apak Kemaman, penyimbang berhak untuk meminta
pendapat atau nasehat dan berkewajiban untuk mengurus dan memelihara Apak
Kemaman. Sebaliknya Apak Kemaman berhak diurus dan berkewajiban untuk
menasehati.

Kedudukan Apak kemaman terletak pada adik beradik ayah pada semua anak
keturunan ayah. Jadi, semua keturunan dari anaknya adik beradik ayah memiliki
hubungan peralian darah apak kemaman. Kedudukan apak kemaman begitu
seterusnya mengikuti garis keturunan dari ayah sebagai penyimbang. Panggilan
pada setiap kelompok apak kemaman tersebut mengikuti urutan dari yang tua,
misalnya Wak Menak (tua), Wak Eghan, Pak Pangkal, Paksu (bungsu), dst.

3. Kelompok Adek Warei

Kelompok ini terdiri atas semua laki-laki yang bersaudara dengan penyimbang
(laki-laki tertua dari keturunan tertua) baik yang telah berkeluarga maupun yang
belum berkeluarga. Kedudukan Adek Warei terletak pada semua keturunan dari
kakek dan adik beradik kakek sampai keturunan seterusnya. Semuanya itu
merupaka Adek Warei. Panggilan pada setiap kelompok Adek Warei tersebut
mengikuti urutan dari yang tua, misalnya Wak Menak (tua), Buya Tuan (tua), Pak
Pangkal (nomor dua), Paksu (bungsu), dst.

4. Kelompok anak

Kelompok ini terdiri atas anak-anak kandung. Kedudukan anak kandung adalah
mewarisi dan menggantikan kedudukan orang tua atau ayah kandungnya.
Panggilan atau juluk terhadap anak tergantung pada kedudukan orangtua. Jika
ayahnya penyimbang, maka anak akan mendapatkan kedudukan yang sama,
begitu pula sebaliknya.

Jika ayah kedudukannya sebagai penyimbang, maka semua anak keturunan laki-
laki memiliki kedudukan yang sama yaitu sebagai penyimbang. Panggilan pada
setiap kelompok anak tersebut mengikuti urutan dari yang tua, misalnya Minak,
Wan, Kiyay, Adin, Batin, dst.

4. SISTEM EKONOMI DAN MATA PENCAHARIAN


Sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan barang – barang dan
sesuatu yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan membedakan manusia
dengam makhluk hidup yang lain.
Pada awalnya Masyarakat lampung adat pepadun banyak mempati tempat tinggal
di dataran tinggi. Akan tetapi, banyak penduduk yang terus berkembang mengakibatkan
masyarakat lampung adat pepadun banyak melakukan mobilisasi hingga ke daerah
dataran rendah. Mobilisasi tersebut tidak membuat masyarakat adat lampung pepadun
beralih ke pekerjaan lain. Sistem mata pencaharian masyarakat lampung sangatlah
mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan. Masyarakat lampung adat pepadun
baik yang tinggal di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi banyak yang bekerja
sebagai petani/ pekebun dengan komoditas utamanya adalah kopi, teh, lada, cengkih,
singkong, tebu, jagung dan padi.

5. SISTEM RELIGI
Kepercayaan manusia terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang muncul karena
kesadaran bahwa ada zat yang lebih dan Maha Kuasa. Pada mulanya masyarakat
lampung adat pepadun yang menempati wilayah skala brak banyak menganut paham
animisme yang dipengaruhi oleh suku tumi, penguasa skala brak saat itu dengan pohon
nangka yang diyakini sebagai sesembahan karena merupakan tempat bersemayangnya
para ruh. Pohon tersebut diberi nama lemasa kepampang. Akan tetapi, setelah
penyebaran islam masuk ke wilayah lampung pada akhirnya suku tumi berha sil
dikalahkan dan pohon lemasa kepampang ditebang hingga akhirnya diganti oleh
pepadun (tempat singasana para raja) hingga saat itulah masyarakat adat pepadun
banyak yang menganut agama islam. Meskipun demikian agama seperti hindu, budha,
Kristen, katholik juga dianut oleh masyarakat lampung adat pepadut, tetapi agama yang
mayoritas dianutnya adalah islam sehingga bukti-bukti sejarah religi banyak yang
bernuansa islam ditemukan pada sistem adat istiadat masyarakat lampung adat pepadun.
Berikut ini adalah bukti agama islam yang terdapat dalam sistem adat istiadat
masyarakat lampung adat pepadun.

 Hukum warisan masyarakat lampung adat pepadun


Praktik warisan merupakan konsep dalam islam yang disebut dengan al-urf.
Masyarakat lampung adat pepadun telah mengenal konsep warisan (al-urf)
meskipun dalam penerapannya tidak sesuai dengan hukum syara islam. Hal
tersebut dikarenakan konsep warisan dalam masyarakat pepadun hanya
berdasarkan pada keturunan dari pihak laki-laki (patrinial). Sedangkan konsep
hukum warisan (al-urf) islam tidak hanya berdasarkan pada keturunan, tetapi juga
ada sebaab lain sehingga disini wanita dalam hukum pewarisan islam
mendapatkan haknya.
 Konsep Pernikahan Masyarakat Lampung Adat Pepadun
Sebelumnya, masyarakat lampung adat pepadun memiliki dua konsep
pernikahan yaitu dengan cara lamaran (rasan tuho) dan sebambangan (larian).
Kedua macam pernikahan tersebut masing-masing memiliki simbol keislaman.
Hal tersebut dibuktikan adanya prosesi khitbah (lamaran) yang dalam masyarakat
lampung adat pepadun itu diberi nama (rasan tuho). Dalam proses rasan tuho,
keluarga dari pihak mempelai laki-laki memberikan hibah (hadiah) berupa uang
jujur yang dapat digunakan untuk membeli peralatan kebutuhan rumah tangga.
Untuk tradisi sebambangan, dilakukan dengan membawa kabur perempuan
yang akan dinikahinya dengan persetujuan si wanita tersebut untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat menghambat pernikahan mereka
biasanya untuk menghindari biaya adat yang mahal (jika menggunakan cara rasan
tuho). Konsep islam yang digunakan dalam tradisi ini yaitu adanya bentuk
pertanggung jawaban perdaimaian berupa pemberian uang denda (dau) kepada
pihak perempuan dan adanya sistem musyawarah yang menggunakan pihak
ketiga yang disebut (celumut).

 Konsep larangan perceraian dalam masyarakat lampung adat pepadun


Islam sendiri sejatinya memperbolehkan perceraian, namun tidak dianjurkan dan
Allah membenci perbuatan tersebut karena memutus tali siraturahmi.
Sebagaimana hadist Abi Dawud dan Ibu Majah.
‫َض ِإلَيْ ِه ِم ْن ه‬
ِ ‫الط ََل‬
‫ق‬ َ ‫شيْئًا أ َ ْبغ‬ ‫سله َم َما أ َ َح هل ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫علَيْ ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫سو ُل َّللاه‬
ُ ‫َر‬
Yang artinya :
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah Allah menghalalkan
sesuatu yang lebih Dia benci daripada perceraian."
Begitupula dalam masyarakat lampung adat pepadun menganut larangan
perceraian yang disebut dengan “Mak Dijuk Siang” (dilarang pisah) karena
dianggap sebagai aib dan telah melanggar hukum adat setempat. Hal tersebut
sejalan dengan konsep sakinah, mawadah dan warohmah yang mampu
menjunjung tinggi nilai-nilai keharmonisan dalam berumah tangga.
 Tasyakuran
Islam menganjurkan kita untuk bersedekah, salah satunya dalam bentuk syukuran.
Masyarakat Lampung memiliki konsep tersebut yang disebut Nabor Sagun
sebagai wujud syukur atas nikmat karena telah diberikan rezeki bayi yang telah
lahir ke dunia.

6. SISTEM TEKNOLOGI DAN PERALATAN HIDUP


Sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan barang – barang dan
sesuatu yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan membedakan manusia
dengam makhluk hidup yang lain.
Masyarakat lampung adat pepadun memiliki teknologi dan peralatan hidup antara
lain baju adat pepadun, tapis lampung, senjata tradisional serta peralatan lain.
Penjelasan mengenai peralatan terseut sebagai berikut.
Baju adat
Masyarakat lampung adat pepadun memiliki baju adat yang digunakan
dalam acara resmi dan memiliki karakteristik tersendiri, antara lain siger
(mahkota adat lampung), kopiah emas (berbentuk kerucut dengan ujungnya
rucing dengan bahan kuningan), seroja bulan (mahkota kecil berbentuk bunga
yang terbuat dari kuningan), bulan temenggal (hiasan berbentuk tanduk tanpa
motif yang menghiasi baju), buah jukun (rangkaian untaian bunga yang terbuat
dari buah-buahan kecil yang dikenakan pria diatas kain), babe (sulaman motif
bunga dari kain halus yang berlubang-lubang bagian pinggirnya), gelang kano (
gelang yang terbuat dari kuningan), bulu seranti dan pending (ikat pinggang
dalam baju adat ), rambai ringgit (uang ringgit gambar ratu belanda yang
digantungkan melingkari kain tapis, buah mangkus (bentuk bulat yang dipegang
pengantin pria dan wanita), gelang burung (gelang berbentuk burung bersayap),
keris (senjata tradisional lampung).

Tapis lampung adat pepadun


Kain tapis merupakan hasil budaya dan merupakan peralatan sekaligus
perlengkapan yang digunakan untuk menunjang kehidupan masyarakat lampung
adat pepadun. Tapis terbuat dari tenunan benang kapas dengan hiasan motif,
sulaman benang emas atau perak. Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik ibu
rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk
mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat
yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan
ragam hias yang bermacam-macam sebagai barang komoditi yang memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi.
Tapis dapat dibedakan menurut pemakaiannya, seperti contohnya:
Tapis Jung Sarat: Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan
adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang
menghadiri upacara mengambil gelar, serta muli cangget (gadis penari) pada
upacara adat.
Tapis Bidak Cukkil: Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat
menghadiri upacara-upacara adat.
Tapis Silung: Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat
pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan
lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin
Tapis Tuho: Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang
mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang
sedang mengambil gelar sutan serta oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara
pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.

Jangat
Jangat adalah alat untuk menghaluskan belahan-belahan rotan. Dibuat dari
bahan besi lengkung tipis dan tajam yang ditancapkan di atas potongan batang
kayu. Mata pisaunya dibuat sendiri atau dapat dibeli. Cara pemakaiannya adalah:
belahan-belahan rotan yang panjang dimasukkan di antara kedua pisau besi itu,
kemudian silih berganti ditarik.

Senjata tradisional masyarakat lampung pepadun


Senjata tradisional yang digunakan oleh masyarakat lampung pepadun atau
dapat juga difungsikan untuk menunjang aktivitas rumah tangga, yaitu terapang
(keris gabus sebagai alat perlindungan diri menghadapi musuh), badik (lambing
kejantanan digunakan untuk alat perlindungan dan sebagai senjata pusaka),
candung (golok lampung yang digunakan untuk menunjang aktivitas mereka dan
dapat digunakan untuk berkebun).

7. SISTEM ILMU PENGETAHUAN


Sistem yang terlahir karena setiap manusia memiliki akal dan pikiran yang
berbeda sehingga memunculkan dan mendapatkan sesuatu yang berbeda pula,
sehingga perlu disampaikan agar yang lain juga mengerti.
Masyarakat lampung adat pepadun memiliki rangkaian ilmu yang tersusun
sistematis sehingga melahirkan konsep pengetahuan yang unik. Adapun sistem
pengetahuan masyarakat lampung adat pepadun sebagai berikut.
 Sistem Arsitektur
Bagi masyarakat Lampung yang beradat Pepadun atau yang menganut Sistem
Kepenyimbangan, rumah adatnya dikenal dengan sebutan Nuwo, ada dua jenis
rumah adat yaitu Nuwo Balak dan Nuwo Sesat. Nuwo Balak aslinya merupakan
rumah tinggal bagi para Kepala Adat atau Penyimbang yang dalam bahasa
Lampung juga disebut Balai Keratun. Bangunan ini terdiri dari beberapa bagian
seperti Lawang Kuri, yaitu gapura masuk, Pusiban sebagai tempat tamu melapor.
Selanjutnya Ijan Geladak adalah tangga naik ke rumah, Anjung-anjung
merupakan serambi depan tempat menerima tamu. Serambi Tengahadalah tempat
duduk anggota kerabat pria, sedangkan Lapang Agung tempat kerabat wanita
berkumpul. Kebik Temen atau Kebik Kerumpu merupakan kamar tidur bagi anak
Penyimbang Bumi atau anak tertua,Kebik Rangek merupakan kamar tidur bagi
anak Penyimbang Ratu atau anak kedua, Kebik Tengah yaitu kamar tidur untuk
anak Penyimbang Batin atau anak ketiga.
Bangunan lain adalah Nuwo Sesat pada dasarnya merupakan balai pertemuan
adat tempat para Perwatin pada saat mengadakan Pepungatau musyawarah adat,
karenanya itu juga disebut sebagai Sesat Balai Agung. Bagian bagian dari
bangunan ini adalah Ijan Geladak, tangga masuk yang dilengkapi dengan atap
yang disebut Rurung Agung. Selanjutnya adalah Anjungan, yaitu serambi yang
digunakan untuk pertemuan kecil, lalu Pusiban sebagai ruang tempat musyawarah
resmi. Ruang Tetabuhan merupakan tempat menyimpan alat musik tradisional dan
Ruang Gajah Merem sebagai tempat istirahat bagi para Penyimbang. Hal lain yang
khas di rumah sesat ini adalah hiasan paying-payung besar di atapnya.

 Sistem Hukum
Masyarakat lampung pepadun ilmu pengetahuannya juga telah menciptakan
sistem hukum adat yang mengatur semua tata kelola kemasyarakatan yang dikenal
juga dengan hukum nuwo tuho yaitu hukum yang mengatur tentang konsep
kepemilikan rumah adat yang diteruskan secara turun temurun kepada anak lelaki
tertua.
Selain hukum nuwo tuho, masyarakat lampung adat pepadun juga telah
memiliki hukum yang mengatur kehidupan mereka yang dikenal dengan istilah
piil pesenggiri. Piil pesenggiri merupakan pandangan hidup atau filsafah hidup
dari masyarakat suku lampung yang dijadikan sebagai landasan berpikir,
bertindak dan berperilaku oleh masyarakat lampung dimanapun mereka berada.

 Sistem Gelar adat


Masyarakat Lampung adat pepadun memiliki pengetahuan tentang pemberian
gelar adat yang sekaligus juga melambangkan status sosial. Status sosial dalam
masyarakat pepadun diperoleh melalui keturunan dari laki-laki tertua keluarga
tertua dan gelarnya diturunkan sampai ke generasi seterusnya. Akan tetapi, status
sosial tersebut juga tidak hanya diperoleh dari garis keturunan, karena setiap orang
juga memiliki peluang untuk memiliki status sosial tertentu, selama orang tersebut
dapat menyelenggarakan upacara adat Cakak Pepadun. Gelar atau status sosial
yang dapat diperoleh melalui Cakak Pepadun diantaranya gelar Suttan, Raja,
Pangeran, dan lain-lain.
Dalam upacara tersebut, anggota masyarakat yang ingin menaikkan statusnya
harus membayarkan sejumlah uang (“Dau”) dan memotong sejumlah kerbau.
Prosesi Cakak Pepadun ini diselenggarakan di “Rumah Sessat” dan dipimpin oleh
seorang Penyimbang atau pimpinan adat yang posisinya paling tinggi.
BUKTI ARTIKEL

Anda mungkin juga menyukai