Nim: 07011182328112
Kelas : C Administrasi Publik, Indralaya, Angkatan 2023
Dosen Pembimbing : Dr. Rudi Kurniawan, S.TH.I, M.SI
Bagaikan sisi mata uang yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan karena saling
mempengaruhi, itulah makna kebudayaan. Kebudayaan adalah rangkaian dari hasil cipta,
karya, dan karsanya manusia yang diakui dan dianut oleh masyarakat. Kebudayaan dan
masyarakat adalah satu kesatuan yang akan terus menyatu seperti simpul yang diikat.
Kebudayan akan selalu ada dalam masyarakat, tidak ada kebudayaan yang tercipta tanpa
adanya masyarakat. Sedangkan masyarakat yang nalurinya selalu terus berkembang tidak
mungkin tidak menghasilkan kebudayaan.
Dalam artikel di atas, kebudayaan yang saya analisis adalah tentang masyarakat
lampung adat pepadun. Nama “Pepadun” berasal dari perangkat adat yang digunakan
dalam prosesi Cakak Pepadun. “Pepadun” adalah bangku atau singgasana kayu yang
merupakan simbol status sosial tertentu dalam keluarga. Dalam sejarahnya masyarakat
adat pepadun duluanya lahir berasal dari pagaruyung keturunan Putri Kayangan dari
Kuala Tungkal, kerabat mereka menetap di Skala Brak, maka cucunya Umpu Serunting
(Sidenting) menurunkan lima orang anak laki-laki, yaitu Indra Gajah (menurunkan orang
abung), Belenguh (menurunkan orang pesisir), Pa’lang (menurunkan orang pubian),
Panan (menghilang), dan Sangkan (diragukan dimana keberadaannya).
Dalam kisahnya deretan Skala Brak pada awalnya dihuni oleh suku Tumi yang kala itu
masih menganut paham animisme. Suku bangsa ini mengagungkan sebuah pohon yang
bernama lemasa kepampang yaitu pohon nangka bercabang dua. Cabang pertama berupa
nangka dan yang satunya lagi sejenis pohon yang bergetah (sebukau). Keistimewaan
lemasa kepampang menurut cerita rakyat yang berkembang adalah apabila terkena getah
dari cabang kayu sebukau akan menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya,
untuk mengobatinya harus dengan getah cabang satunya. Selanjutnya kayu lemasa
kepampang ini dijadikan sebagai pohon yang dikeramatkan.
Setelah masuknya Islam yang disebarkan oleh empat orang putra raja pagaruyung
di Skala Brak yaitu Umpu Berjalan di Way, Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu
Peranong, dibantu oleh seorang penduduk yang bernama si Bulan, mereka membentuk
sebuah persatuan yang bernama Paksi Pak (4 bersaudara), mereka merupakan cikal bakal
Paksi Pak, sebagaimana yang diungkapkan dalam buku naskah kuno yang bernama
Kuntara Raja Niti (Kitab Hukum Adat). Tetapi dalam persi buku tersebut nama-nama
mereka adalah Inder Gajah, Paklang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati. Dan keempat Umpu
tersebutlah yang membawa agamaIslam dan bersahabat dengan Puteri Bulan.
Suku tumi mereka kalahkan dan pohon lemasa kepampang tersebut ditebang dan
dibuat menjadi Pepadun (tempat singgasana seorang raja), sejak saat itulah paham
animisme terkikis dari tanah Skala Brak, dan hingga saat ini suku Lampung merupakan
penganut agama Islam mayoritas. Pepadun mempunyai dua makna, yaitu bermakna
memadukan pengesahan atau pengaduan untuk mentasbihkan bahwa orang yang duduk
diatasnya adalah raja, dan bermakna tempat mengadukan segala hal ihwal dan mengambil
keputusan bagi mereka yang pernah mendudukinya. Fungsinya hanya diperuntukan bagi
raja yang memerintah di Skala Brak ketika itu. Pepadun diabadikan menjadi salah satu
nama adat istiadat Lampung yaitu adat Lampung Pepadun yang abadi hingga sekarang.
Ketujuh unsur yang terdapat dalam masyarakat adat lampung pepadun antara lain,
sebagai berikut:
1. BAHASA
Sesuatu yang berawal dari hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai
lisan untuk mempermudah komunikasi antar sesama manusia. Begitulah pentingnya
bahasa. Bahasa-bahasa yang digunakan oleh Masyarakat Lampung merupakan
cabang sundik yakni berasal dari rumpun Bahasa Melayu-Polinesia Barat. Bahasa
ini tidak hanya digunakan di Provinsi Lampung saja, tetapi juga terdapat juga
sumatera bagian selatan misalnya Palembang dan pantai barat Banten. Oleh karena
itu, pelafalan logat yang digunakan di masyarakat lampung khusnya adat pepadun
hampir sama dengan Bahasa Palembang yang berdialek “O”
Lampung Pepadun memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat
Lampung Saibatin. Masyarakat Lampung Adat Pepadun memiliki karakteristik
bahasa yang berdialek “O”. Pelafalan yang diucapkan oleh masyarakat adat pepadun
ini adalah pelafalan dengan irama atau intonasi yang mengayun dan menekan. Tak
jarang penggunaan bahasa dialek “O” dimaknai sebagai masyarakat kurang ramah
(kasar) oleh sebagian masyarakat awam terutama daerah suku jawa (yang lembut).
Namun, ada beberapa daerah masyarakat Lampung Pepadun yang juga menggunakan
bahasa dialek “A” dalam bahasa percakapan sehari-hari. Contoh penggunaan bahasa
adat pepadun dialek “O”yaitu : (O) /Ikam Ago Dak Sekulah (saya mau ke sekolah)
dan nyo kabagh (apa kabar).
Perwujudan dari bahasa yang digunakan oleh Masyarakat Lampung adat pepadun
tidak jauh berbeda oleh masyarakat adat lampung lainnya, yaitu dalam bentuk aksara
yang dinamakan Had Lampung (kaganga). Aksara ini juga mengadopsi unsur-unsur
kearaban yaitu adanya tanda kasroh, fathah dan sukun dalam memberikan imbuhan
pada aksara tersebut.
2. KESENIAN
Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat
memuaskan. Begitu pula masyarakat lampung pepadun yang memiiki kesenian
sebagai wujud dari naluri masyarakat yang selalu berkembang.
Masyarakat lampung adat pepadun memiliki kebudayan yang tidak kalah menarik
dengan masyarakat adat lainnya. Masyarakat Lampung Adat Pepadun memiliki
kesenian, salah satunya adalah Tari Sembah yang paling terkenal. Tari Sembah
ditampilkan biasanya pada peringatan upacara adat ataupun penyambutan tamu
terhormat. Tari sembah mengandung gerakan lemah-gemulai, lembut dan
keanggunan yang memiliki makna kerahmahtamahan dalam memuliakan para tamu.
Seiring berjalannya waktu, tari sembah telah dikreasikan dengan perpaduan
masyarakat lampung adat saibatin, Tari kreasi ini yang sekarang dikenal dengan
sebutan Tari Sigeh Pengunten. Ciri khas utama dari tari kreasi sigeh pengunten ini
adalah penggunaan mahkota adat, yaitu Siger yang melambangkan kemegahan dan
keelokan perempuan lampung.
Selain tari sembah, masyarakat lampung adat pepadun juga memiliki tari cangget
atau yang dikenal cangget pepadun (mencerminkan gadis lampung yang elok dan
anggun). Tarian ini biasanya ditampilkan pada acara pernikahan dan pesta adat
lampung. Terdapat lima macam tari cangget yang sesuai dengan fungsinya, yaitu
cengget nyambuk temui (dibawakan untu upacara menyambut tamu agung yang
berkunjung), cangget bakha (saat bulan purnama atau selesai panen), cangget
penganggik (saat menerma anggota baru dari anak-anak ke dewasa). cangget
pilangan (melepas anggota keluarga yang akan menikah), cangget agung (dimainkan
saat ada upacara adat pengangkatan seseorang menjadi kepala adat). Adanya tari
cangget, masyarakat lampung adat pepadun menghasilkan lagu yang sekarang
dikenal menjadi lagu daerah khas lampung, yaitu Cangget Agung.
Seni musik yang digunakan oleh masyarakat lampung adat pepadun dalam
melaksanakan upacara adat atau tari penyambutan tidak jauh berbeda dengan
masyarakat lampung adat lainnya yang bersumber dari alat musik, seperti gambus
lampung, gamelan, kompang atau khaddap, (hampir mirip dengan kompang atau
gendang), bende (mirip dengan gong), membling (hampir mirip dengan hasapi
sumatera utara), serdam (seruling yang hanya memiliki lima lubang), kerenceng atau
terbangan, talo balak (biasanya disebut kelittang tabo balak), sekhdap atau bekhdah
(dua kali lipat ukuran dari terbangan).
Masyarakat lampung adat pepadun juga memiliki seni sastra yang diwujudkan
dalam bentuk lisan. Sastra yang diwujudkan dalam bentuk lisan oleh masyarakat
pepadun, yaitu Sesikun/Sak, iman (peribahasa), Seganing/teteduhan (teka-teki),
Memang (mantra), Warahan (cerita rakyat), dan puisi. Untuk Puisi Lampung Adat
Pepadun dibagi lagi menjadi lima jenis puisi, yaitu (1) paradinei/paghadini; (2)
pepaccur/pepaccogh/; (3) pantun/Segata/Adi-adi; (4) bebandung; (5) wayak.
Terdapat satu lagi seni sastra masyarakat adat pepadun yang diwujudkan dalam
bentuk lisan yang disebut dengan panggeh. Panggeh biasanya digunakan baik dalam
upacara pernikahan ataupun dalam pengambilan gelar adat melalui upacara begawi
cakak pepadun. Fungsi panggeh, yaitu pemberian sapaan disertai identitas dan
harapan, Kata pembuka didalam tarian adalah ajakan kepada semua penari untuk
memulai tarian, menyampaikan nasihat, menyatakan nilai-nilai karakter dalam piil
pesengiri, penghargaan terhadap tamu, dan sebagai hiburan. Makna panggeh
mengandung nilai karakter yaitu bertanggung jawab, berkeadilan, kepemimpinan dan
kedisiplinan.
1. Kelompok Warei
Kelompok Warei ini terdiri atas saudara-saudara seayah-seibu atau saudara-
saudara seayah lain ibu, ditarik menurut garis laki-laki ke atas dan ke samping
termasuk saudara-saudara perempuan yang belum menikah atau yang bersaudara
datuk (kakek) menurut garis laki-laki. Artinya semua anak keturunan dari ayah
baik dari istri pertama maupun istri kedua dan seterusnya merupakan kelompok
warei. Panggilan pada setiap kelompok warei tersebut mengikuti urutan dari yang
tua, misalnya Minak, Wan, Kiyay, Adin, Batin, dst.
Kelompok ini terdiri atas semua saudara laki-laki ayah dan paman baik yang
sekandung atau yang bersaudara dari datuk atau kakek menurut garis laki-laki.
Dalam hubungannya dengan Apak Kemaman, penyimbang berhak untuk meminta
pendapat atau nasehat dan berkewajiban untuk mengurus dan memelihara Apak
Kemaman. Sebaliknya Apak Kemaman berhak diurus dan berkewajiban untuk
menasehati.
Kedudukan Apak kemaman terletak pada adik beradik ayah pada semua anak
keturunan ayah. Jadi, semua keturunan dari anaknya adik beradik ayah memiliki
hubungan peralian darah apak kemaman. Kedudukan apak kemaman begitu
seterusnya mengikuti garis keturunan dari ayah sebagai penyimbang. Panggilan
pada setiap kelompok apak kemaman tersebut mengikuti urutan dari yang tua,
misalnya Wak Menak (tua), Wak Eghan, Pak Pangkal, Paksu (bungsu), dst.
Kelompok ini terdiri atas semua laki-laki yang bersaudara dengan penyimbang
(laki-laki tertua dari keturunan tertua) baik yang telah berkeluarga maupun yang
belum berkeluarga. Kedudukan Adek Warei terletak pada semua keturunan dari
kakek dan adik beradik kakek sampai keturunan seterusnya. Semuanya itu
merupaka Adek Warei. Panggilan pada setiap kelompok Adek Warei tersebut
mengikuti urutan dari yang tua, misalnya Wak Menak (tua), Buya Tuan (tua), Pak
Pangkal (nomor dua), Paksu (bungsu), dst.
4. Kelompok anak
Kelompok ini terdiri atas anak-anak kandung. Kedudukan anak kandung adalah
mewarisi dan menggantikan kedudukan orang tua atau ayah kandungnya.
Panggilan atau juluk terhadap anak tergantung pada kedudukan orangtua. Jika
ayahnya penyimbang, maka anak akan mendapatkan kedudukan yang sama,
begitu pula sebaliknya.
Jika ayah kedudukannya sebagai penyimbang, maka semua anak keturunan laki-
laki memiliki kedudukan yang sama yaitu sebagai penyimbang. Panggilan pada
setiap kelompok anak tersebut mengikuti urutan dari yang tua, misalnya Minak,
Wan, Kiyay, Adin, Batin, dst.
5. SISTEM RELIGI
Kepercayaan manusia terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang muncul karena
kesadaran bahwa ada zat yang lebih dan Maha Kuasa. Pada mulanya masyarakat
lampung adat pepadun yang menempati wilayah skala brak banyak menganut paham
animisme yang dipengaruhi oleh suku tumi, penguasa skala brak saat itu dengan pohon
nangka yang diyakini sebagai sesembahan karena merupakan tempat bersemayangnya
para ruh. Pohon tersebut diberi nama lemasa kepampang. Akan tetapi, setelah
penyebaran islam masuk ke wilayah lampung pada akhirnya suku tumi berha sil
dikalahkan dan pohon lemasa kepampang ditebang hingga akhirnya diganti oleh
pepadun (tempat singasana para raja) hingga saat itulah masyarakat adat pepadun
banyak yang menganut agama islam. Meskipun demikian agama seperti hindu, budha,
Kristen, katholik juga dianut oleh masyarakat lampung adat pepadut, tetapi agama yang
mayoritas dianutnya adalah islam sehingga bukti-bukti sejarah religi banyak yang
bernuansa islam ditemukan pada sistem adat istiadat masyarakat lampung adat pepadun.
Berikut ini adalah bukti agama islam yang terdapat dalam sistem adat istiadat
masyarakat lampung adat pepadun.
Jangat
Jangat adalah alat untuk menghaluskan belahan-belahan rotan. Dibuat dari
bahan besi lengkung tipis dan tajam yang ditancapkan di atas potongan batang
kayu. Mata pisaunya dibuat sendiri atau dapat dibeli. Cara pemakaiannya adalah:
belahan-belahan rotan yang panjang dimasukkan di antara kedua pisau besi itu,
kemudian silih berganti ditarik.
Sistem Hukum
Masyarakat lampung pepadun ilmu pengetahuannya juga telah menciptakan
sistem hukum adat yang mengatur semua tata kelola kemasyarakatan yang dikenal
juga dengan hukum nuwo tuho yaitu hukum yang mengatur tentang konsep
kepemilikan rumah adat yang diteruskan secara turun temurun kepada anak lelaki
tertua.
Selain hukum nuwo tuho, masyarakat lampung adat pepadun juga telah
memiliki hukum yang mengatur kehidupan mereka yang dikenal dengan istilah
piil pesenggiri. Piil pesenggiri merupakan pandangan hidup atau filsafah hidup
dari masyarakat suku lampung yang dijadikan sebagai landasan berpikir,
bertindak dan berperilaku oleh masyarakat lampung dimanapun mereka berada.