PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
Rumpun bahasa Lampung adalah sekelompok bahasa yang dipertuturkan oleh Ulun
Lampung di Provinsi Lampung, selatan palembang dan pantai barat Banten. Rumpun
ini terdiri dari :
Bahasa Komering,
Bahasa Lampung Api dan
Bahasa Lampung Nyo.
Sistem Arsitektur
Rumah orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan berjajar sepanjang jalan
utama yang membelah kampung, yang disebut tiyuh. Setiap tiyuh terbagi lagi ke
5
dalam beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat berdiam buway . Bangunan
beberapa buway membentuk kesatuan teritorial-genealogis yang disebut marga.
Dalam setiap bilik terdapat sebuah rumah klen yang besar disebut nuwou menyanak.
Rumah ini selalu dihuni oleh kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin
keluarga.
Bangunan lain adalah Nuwou Sesat. Bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan
adat tempat para purwatin (penyimbang) pada saat mengadakan pepung adat
(musyawarah). Karena itu balai ini juga disebut Sesat Balai Agung. Bagian bagian
dari bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan atap).
Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan (serambi yang digunakan untuk
pertemuan kecil, pusiban (ruang dalam tempat musyawarah resmi), ruang tetabuhan
(tempat menyimpan alat musik tradisional), dan ruang Gajah Merem ( tempat
istirahat bagi para penyimbang) . Hal lain yang khas di rumah sesat ini adalah hiasan
payung-payung besar di atapnya (rurung agung), yang berwarna putih, kuning, dan
merah, yang melambangkan tingkat kepenyimbangan bagi masyarakat tradisional
Lampung Pepadun.
6
Sistem kemasyarakatan
1. Tapis
Tapis adalah kain khas Lampung yang terbuat dari tenunan benang kapas dengan
hiasan motif, sulaman benang emas atau perak. Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik
ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi
waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap
sakral. Kain Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang
7
Tapis Jung Sarat: Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan
adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang
menghadiri upacara mengambil gelar, serta muli cangget (gadis penari) pada
upacara adat.
Tapis Bidak Cukkil: Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat
menghadiri upacara-upacara adat.
Tapis Silung: Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat
pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan
dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin
Tapis Tuho: Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang
mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao)
yang sedang mengambil gelar sutan serta oleh isteri sutan dalam menghadiri
upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.
2. Jangat
Jangat adalah alat untuk menghaluskan belahan-belahan rotan. Dibuat dari bahan besi
lengkung tipis dan tajam yang ditancapkan di atas potongan batang kayu. Mata
pisaunya dibuat sendiri atau dapat dibeli. Cara pemakaiannya adalah: belahan-
belahan rotan yang panjang dimasukkan di antara kedua pisau besi itu, kemudian silih
berganti ditarik.
kopinya. Penghasil utama di bidang pertanian adalah padi, minyak kelapa, kopi,
cengkeh, dan hasil pertanian lainnya, peternakan dan perikanan. Produksi kopi,
minyak kelapa, dan makanan dalam kemasan, minyak, kayu lapis dan produksi kayu
lainnya. Selain itu, Lampung juga penghasil buah-buahan tropis seperti : mangga,
rambutan, durian, pisang, nanas, dan jeruk. Hasil panen utama yang lain adalah
kelapa, karet mentah, minyak kelapa, coklat, lada dan sejenisnya.
Masyarakat Lampung didominasi oleh agama Islam, namun terdapat juga agama
Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Untuk Lampung, persatuan adat, kekerabatan,
kerajaan, (ke)marga(an), dan semacamnya memang lebih kental dalam bentukan
identitas kolektif. Aspek agama Islam, ternyata memberikan warna dan pencitraan
tersendiri dalam kaidah kelembagaan maupun kebudayaan.
Faktor alamiah, yang membuat identifikasi awal misalnya pranata sosial masyarakat
dengan mentalitas Islam, religiositas tradisi, kebajikan-kebajikan sosial,
kecenderungan untuk hidup bersama, kehalusan budi, dan conformism merupakan
ciri-ciri peradaban Islam yang melekat dalam adat Lampung. Aplikasi nilai-nilai
agama juga ternyata berpengaruh menimbulkan transformasi manusia dan
kebudayaan di Lampung.
Masyarakat Lampung mengenal berbagai tradisi atau upacara yang tidak trerlepas
dari unsur keagamaan. Dalam masyarakat Lampung ada beberapa bagian siklus
9
Sastra lisan merupakan salah satu tradisi khas masyarakat Lampung. Ada berbagai
jenis syair yang dikenal masyarakat Lampung, diantaranya pattun (pantun), pepatcur,
pisaan, adi-adi, segata, sesikun, memmang, wawancan, hahiwang,dan wayak. Sifat-
sifat orang Lampung juga diungkapkan dalam sebuah adi-adi (pantun):
Sifat yang tergambar dalam pantun di atas antara lain: piil-pusanggiri (malu
melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri), juluk-adok
(mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), nemui-
nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu),
nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan
sakai-sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat
lainnya.
A. Piil Pesenggiri
Piil Pesenggiri yang merupakan falsafah hidup orang Lampung memiliki arti harga
diri, maknanya prinsip prinsip yang harus dianut agar seorang itu memiliki eksistensi
atau harga diri.
Piil Pesenggiri bagi masyarakat Lampung memiliki makna sebagai cara hidup (Way
of Life). Ini bermakna, setiap gerak dan langkah kehidupan orang Lampung dalam
10
kehidupan sehari-hari dilandasi dengan kebersihan jiwa. Dari tindakan ini tercermin
hubungan vertical dan horizontal dalam masyarakat Lampung berupa keimanan pada
Tuhan dan pergaulan sosial pada sesama. Etos dan spirit kelampungan inilah yang
harus ditumbuhkembangkan untuk membangun eksistensi orang Lampung dan
penanda kearifan lokal di era keragaman global saat ini.
Suku Lampung dalam jejak rekam sejarah tercatat sebagai salah satu suku bangsa
yang memiliki peradaban tinggi. Bukti nyatanya suku Lampung memiliki aksara baca
tulis yang bernama Ka Ga Nga, bahasa dalam dua dialek Nyow dan Api, tatanan
acuan pemerintahan dalam kitab kuntara raja niti (kitab hukum tata negara), tradisi,
arsitektur, sastra dan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang turun temurun.
Selain itu, salah satu penanda atau cirri suatu masyarakat memikiki peradaban juga
ditandai dengan adanya filsafat dan falsafah hidup sebagai refleksi atas kesemestaan.
Artinya, setiap titi gemati atau budaya pasti memiliki dasar filosofi yang mengandung
hikmah bagi masyarakatnya. Adat Lampung pun mempunyai Piil Pesenggiri sebagai
dasar filosofiinya.
Kearifan lokal masyarakat Lampung yang terkandung dalam Piil Pesenggiri ini biasa
dijadikan modal dalam menggiatkan pembangunan bumi Lampung. Falsafah ini pula
yang meng-inspirasi dan menjadikan spirit lahirnya motto ‘Sai Bumi Ruwa Jurai’ =
Satu Bumi Dua Jurai (Suku) – yakni suku Lampung Asli (Pepadun dan Saibatin) dan
suku pendatang (beragam suku yang datang dari luar provinsi Lampung). Motto Sai
Bumi Ruwa Jurai itulah yang menggambarkan masyarakat etnis Lampung memiliki
11
keterbukaan untuk menerima dan melindungi eksistensi jurai atau suku pendatang
untuk bersama sama tinggal berdampingan dan membangun bumi Lampung.
Lampung juga merupakan daerah terbuka terhadap pendatang, buktinya Lampung
merupakan daerah transmigrasi pertama di nusantara. Kehadiran transmigrasi pertama
dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1905 di daerah Bagelen – Gedong Tataan yang
kini masuk kabupaten Pesawaran.
B. Nemui Nyimah
Nemui berarti Tamu Nyimah atau Simah berarti Santun. Bagian Nemui Nyimah ini
sebagai perlambang kala masyarakat Lampung menjamu kehadiran tamu. Simah
adalah sebagai penentu. Keterbukaan terhadap seluruh masyarakat yang menjalin
hubungan saat bertamu. Sikap sopan santun kala bertamu termasuk didalamnya
menjamu tamu yang datang berkunjung pun menjadi perhatian masyarakat Lampung.
Tindakan ini merupakan penerapan prinsip membina tali silaturahmi baik terhadap
generasi sebelumnya maupun generasi mendatang.
C. Nengah Nyapur
Nengah memiliki arti kerja keras, berketerampilan dan bertanding. Kata Nengah
haruslah bersanding dengan kata Nyapur yang berarti tenggang rasa dan jiwa
kompetitif. Nengah Nyapur juga merupakan salah satu upaya masyarakat lampung
membekali diri dengan kemampuan dalam mengarungi kehidupan untuk kemudian
dimanfaatkan secara optimal bagi kemakmuran umat manusia. Termasuk tekad untuk
terus menerus belajar baik belajar dibidang akademik maupun belajar melalui
pengalaman.
D. Bejuluk Beadek
Bejuluk atau Juluk berarti nama baru ketika seseorang mampu mencapai cita citanya.
Adek berarti gelar atau nama baru yang di sandang.
Bejuluk Beadek pun kemudian menjadi bagian dari tata cara pemberian gelar.
Pemberian gelar atau nama biasanya melalui acara Seghak Sepei untuk Juluk dan
12
upacara Mepadun untuk Adek. Nama-nama baru hanya diberikan ketika ada sesuatu
yang baru. Dengan demikian maskayarat Lampung selalu menginginkan terjadinya
perubahan pembaharuan dan inovasi. Bejuluk Beadek juga merupakan salah satu
sikap dari masyarakat Lampung yang mencerminkan pada kerendahatian dan
kebesaran jiwa untuk saling menghormati baik dalam keluarga maupun lingkungan
masyarakat.
E. Sakai Sambaian
Sakai atau Akai berarti terbuka dan bisa menerima sesuatu yang datang dari luar.
Sambai atau Sumbai (utusan) berarti memberi. Sakai Sambaian dapat diartikan
sebagai sifat kooperatif, gotong royong atau urun rembuk masyarakat Lampung pada
lingkungan dimana mereka bertempat-tinggal.
Tari Tuping atau Topeng adalah jenis tarian yang berkembang sejak zaman
perlawanan Pangeran Raden Inten II di daerah Penengahan Lampung Selatan .
Tuping yang dikenakan merupakan sebuah ungkapan penyembunyian identitas asli
pemakainya sewaktu melaksanakan tugas pada masa melawan penjajah Belanda di
kaki Gunung Rajabasa.
Dilihat dari segi penokohannya topeng dalam Drama Tari Tupping terdiri dari:
kesatria, kesatria kasar, kesatria sakti, kesatria putrid, tokoh pelawak, dan tokoh bijak
dan sakti. Tari tupping juga dilakukan pada rangkaian pesta perkawinan atau pada
acara penyambutan tamu besar.
Tupping yang ada di daerah Lampung, khususnya di Canti dan Kuripan, jumlahnya
hanya 12 buah. Tidak bisa lebih, tidak bisa kurang, dan tidak boleh ditiru. Tupping-
tupping ini diyakini memilki kekuatan gaib dan tidak semua orang boleh
13
memakainya. Dan, meskipun sekarang sudah jadi bagian kesenian, berbagai ritual
khusus harus dilakukan sebelum mengenakan topeng-topeng ini.
Topeng Kuripan hanya bisa dikenakan oleh keturunan 12 punggawa yang antara lain
berada di Desa Tataan, Taman Baru dan Kuripan. Di daerah Canti tupping hanya bisa
dikenakan oleh lelaki yang berumur 20 tahun. Kalau ada warga yang ingin memakai,
mereka bisa minta izin pada Dalom Marga Ratu.
Kelalaian dalam mentaati aturan-aturan ini akan mengakibatkan kejadian yang tidak
diinginkan pada yang memakainya. Kedua topeng ini, baik Topeng Kuripan dan
Topeng Canti diyakini menyimpan beragam muatan seperti histories, simbol budaya,
nilai ritual, dan struktur sosial politik.
Hingga kini tari tuping terus dilestarikan dan bahkan dalam kegiatan kegiatan di
Lampung Selatan tari tuping ini selalu disajikan. Jika dilihat sekilas maka akan
terlihat jelas para penari tersebut menggunakan berbagai atribut diantaranya tombak
dari bambu, rumbai rumbai yang beberapa dantaranya bahkan menggunakan daun
daun kering yang sejarahnya merupakan pakaian untuk kamuflase.
Tarian ini kini dilestarikan dan menjadi salah satu kekayaan tradisi di Lampung dan
Lampung Selatan khususnya yang merupakan warisan historis perjuangan masyarakat
Lampung Selatan. Tak salah jika di Kabupaten Lampung Selatan berdiri dengan
kokoh tugu tuping yang ada di pertigaan jalan menuju ke area kantor Pemerintahan
Kabupaten Lampung Selatan di Kalianda.
Dalam sejarahnya, ada sebanyak 12 tuping wajah yang berdasarkan sisi historis
memiliki makna mendalam bagi para pejuang yang ada di Lampung Selatan saat
perlawanan Pahlawan Raden Inten II melawan penjajah Belanda. Tuping tersebut
memiliki makna dan tugas tersendiri.
14
Nama-nama Tupping 12 Wajah Dari Keratuan Darah Putih yang berada di Desa
Kuripan Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan ciri khas
tuping yang dimaksud yakni:
5. Berciri Khas : Banguk Khabit (Mulut Sompel) Tugas : Gunung Cukkih Selat
Sunda, Dipakai Oleh : Kakhya Yuda Negara (Kekiling)
7. Berciri Khas : Mata Sipit (Mata Sipit) Tugas : Batu Payung Dipakai Oleh :
Temunggung Agung Khaja (Ds.Ruang Tengah)
10. Berciri Khas : Mata Sipit / Kedugok (Mata Ngantuk) Tugas : Anjak
Kekhatuan Tugok Matakhani Minjak (Timur) Dipakai Oleh : Kakhya
Sangunda (Ds.Tetaan)
15
11. Berciri Khas : Mata Kicong (Mata Sebelah) Tugas : Tuku Tiga Dipakai Oleh
: Kakhya Kiyai Sebuai (Ds.Tetaan)
12. Berciri Khas : Ikhung Pisek (Hidung Pesek) Tugas : Sumokh Kucing Dipakai
Oleh : Khaja Temunggung (Ds.Tetaan)
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masyarakat adat Lampung terdiri atas dua golongan, yaitu masyarakat Pepadun
(Pedalaman) dan Pesisir. Kedua masyarakat tersebut mempunyai tempat bermukim
yang berbeda. Keduanya pun memiliki adat istiadat serta sifat yang sedikit berbeda.
Semenara, kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia. Perwujudan kebudayaan meliputi
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, baik
berupa pla perilaku, bahasa maupun benda-benda atau hasil ciptaan manusia lainnya,
seperti peralatan hidup, organisasi sosial, religi, dan seni. Kesemuanya ditujukan
untuk membantu manusi dalam mempertahankan hidupnya. Berdasarkan wujudnya,
kebudayaan dapat digolongkan atas kebudayaan yang bersifat abstrak dan
kebudayaan yang bersifat kokonkri.
Tari Tupping awalnya hanya dinamakan “Tupping” saja. Tupping menurut sejarah
penciptaannya (Darmawan) merupakan tarian sakral yang dulunya hanya boleh
ditarikan oleh kaum bangsawan atau keturunan dari Radin petinggi yang ada di
Lampung, yang di yu ambil dari cerita zaman dahulu yang berawal dari penjajahan
Belanda terhadap masyarakat Desa Kuripan Kecamatan Penengahan Kabupaten
Lampung Selatan.
17
DAFTAR PUSTAKA
Lampung.http://nenysofiany07.blogspot.com/2016/11/ringkasan-ungsur-ungsur-
budaya-lampung.html.(Diakses pada: Kamis, 11 April 2019 , pukul : 19.29 Wib).