Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masyarakat adat Lampung terdiri atas dua golongan, yaitu masyarakat


Pepadun (Pedalaman) dan Pesisir. Kedua masyarakat tersebut mempunyai
tempat bermukim yang berbeda. Keduanya pun memiliki adat istiadat serta
sifat yang sedikit berbeda, sehingga menarik untuk dipelajari dan dilihat
perbedaannya lebih lanjut. Di sebelah utara, Lampung berbatasan dengan
propinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sedangkan bagian baratnya dibatasi
oleh Samudera Indonesia. Selat Sunda membatasi bagian selatan wilayah ini,
sedangkan bagian timur dibatasi oleh Laut Jawa. Letak wilayah Lampung
secara geografis tersebut dianggap cukup strategis karena berperan sebagai
penghubung antar pulau Jawa dan Sumatera.

Semenara, kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem


ide atau gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia. Perwujudan
kebudayaan meliputi benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, baik berupa pla perilaku, bahasa maupun benda-
benda atau hasil ciptaan manusia lainnya, seperti peralatan hidup, organisasi
sosial, religi, dan seni. Kesemuanya ditujukan untuk membantu manusi
dalam mempertahankan hidupnya. Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat
digolongkan atas kebudayaan yang bersifat abstrak dan kebudayaan yang
bersifat kokonkri.
2

Tari Tupping awalnya hanya dinamakan “Tupping” saja. Tupping menurut


sejarah penciptaannya (Darmawan) merupakan tarian sakral yang dulunya
hanya boleh ditarikan oleh kaum bangsawan atau keturunan dari Radin
petinggi yang ada di Lampung, yang di yu ambil dari cerita zaman dahulu
yang berawal dari penjajahan Belanda terhadap masyarakat Desa Kuripan
Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan. Menurut sejarahnya
zaman penjajahan Belanda, Radin Intan melakukan pengintaian dan
pengawasan guna untuk melindungi dan mengelabui penjajah. Dadaunan
yang berwarna hijau digunakan penutup baju atau tubuh agar tidak di ketahui
bahwa ada pengintai dari masyarakat Desa Kuripan terhadap penjajah
Belanda. Masyarakat Lampung memiliki istilah yang disebut Radin. Radin
merupakan sebuah gelar atau jabatan untuk keturunan Raja yang ada di
Lampung. Jika di Jawa, Radin itu sama halnya dengan Raden.

Tupping pada awalnya hanya dapat ditarikan oleh kaum bangsawan


(keturunan Radin Intan). Kini mengalami perubahan dan mulai
berkembang keluar tembok keraton, dan kini bisa dipelajarai dan ditarikan
oleh remaja atau masyarakat desa tersebut dan bisa dipadatkan
berdasarkan kebutuhan zaman. Saat Tupping dipertunjukkan, sesajen
merupakan bagian yang harus ada, apabila sesajen itu tidak sesuai dengan
ketentuan atau di langgar, maka dipercaya akan adanya musibah/berakibat
dari salah satu penari mengalami kesurupan (tidak sadarkan diri).

Semakin berkembangnya zaman, maka kondisi dan situasi sangat


mempengaruhi seni tradisi daerah yang mempunyai seni tradisi yang
diagungkan ditandai dengan berubahnya nama Tupping menjadi Tari
Tupping. Perubahan ini berawal pada tahun 1984 seorang budayawan
yang bernama Bapak Darmawan mempunyai ide untuk membuat Tari
Tupping. Pertunjukan Tari Tupping dibawakan oleh 12 orang penari laki-
laki yang mengenakan Tupping (topeng). Garap gerak Tari Tupping
3

menggambarkan pasukan perang yang sedang berjaga-jaga dengan


karakter jenaka dengan isi garap untuk mengelabuhi lawan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana unsur – unsur kebudayaan masyarakat lampung ?

2. Bagaimana perkembangan kesenian tari tupping di Lampung Selatan


?

1.3 Tujuan

1. Untuk menguraikan unsur – unsur kebudayaan masyarakat lampung.

2. Untuk menguraikan perkembangan kesenian tari tupping di Lampung


Selatan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Unsur – Unsur Kebudayaan Masyarakat Lampung

Bahasa Suku Lampung

Rumpun bahasa Lampung adalah sekelompok bahasa yang dipertuturkan oleh Ulun
Lampung di Provinsi Lampung, selatan palembang dan pantai barat Banten. Rumpun
ini terdiri dari :

 Bahasa Komering,
 Bahasa Lampung Api dan
 Bahasa Lampung Nyo.

Sistem Pengetahuan Suku Lampung.

Sistem Arsitektur

Arsitektur tradisional Lampung umumnya terdiri dari bangunan tempat tinggal


disebut Lamban, Lambahana atau Nuwou, bangunan ibadah yang disebut Mesjid,
Mesigit, Surau, Rang Ngaji, atau Pok Ngajei, bangunan musyawarah yang disebut
sesat atau bantaian, dan bangunan penyimpanan bahan makanan dan benda pusaka
yang disebut Lamban Pamanohan.

Rumah orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan berjajar sepanjang jalan
utama yang membelah kampung, yang disebut tiyuh. Setiap tiyuh terbagi lagi ke
5

dalam beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat berdiam buway . Bangunan
beberapa buway membentuk kesatuan teritorial-genealogis yang disebut marga.
Dalam setiap bilik terdapat sebuah rumah klen yang besar disebut nuwou menyanak.
Rumah ini selalu dihuni oleh kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin
keluarga.

Arsitektur lainnya adalah “lamban pesagi” yang merupakan rumah tradisional


berbentuk panggung yang sebagian besar terdiri dari bahan kayu dan atap ijuk.
Rumah ini berasal dari desa Kenali Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat..
Ada dua jenis rumah adat Nuwou Balak aslinya merupakan rumah tinggal bagi para
Kepala Adat (penyimbang adat), yang dalam bahasa Lampung juga disebut Balai
Keratun. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu Lawang Kuri (gapura),
Pusiban (tempat tamu melapor) dan Ijan Geladak (tangga “naik” ke rumah); Anjung-
anjung (serambi depan tempat menerima tamu), Serambi Tengah (tempat duduk
anggota kerabat pria), Lapang Agung (tempat kerabat wanita berkumpul), Kebik
Temen atau kebik kerumpu (kamar tidur bagi anak penyimbang bumi atau anak
tertua), kebik rangek (kamar tidur bagi anak penyimbang ratu atau anak kedua), kebik
tengah (yaitu kamar tidur untuk anak penyimbang batin atau anak ketiga).

Bangunan lain adalah Nuwou Sesat. Bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan
adat tempat para purwatin (penyimbang) pada saat mengadakan pepung adat
(musyawarah). Karena itu balai ini juga disebut Sesat Balai Agung. Bagian bagian
dari bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan atap).
Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan (serambi yang digunakan untuk
pertemuan kecil, pusiban (ruang dalam tempat musyawarah resmi), ruang tetabuhan
(tempat menyimpan alat musik tradisional), dan ruang Gajah Merem ( tempat
istirahat bagi para penyimbang) . Hal lain yang khas di rumah sesat ini adalah hiasan
payung-payung besar di atapnya (rurung agung), yang berwarna putih, kuning, dan
merah, yang melambangkan tingkat kepenyimbangan bagi masyarakat tradisional
Lampung Pepadun.
6

Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial Suku Lampung

Prinsip masyarakat yang melakukan penarikan garis keturunan yang bersifat


patrilineal. Pada masyarakat saibatin pengelompokan dalam satu kampung
membentuk sebuah klen kecil yang disebut juga sebatin yang terbentuk atas dasar
keturunan atau perkawinan. Dan secara umum anak laki-laki tertua dari keturunan
yang lebih tua mempunyai kedudukan istimewa, yaitu sebagai ahli waris keluarganya.
.

Sistem kemasyarakatan

Pada masyarakat lampung saibatin, pemimpin saibatin disebut juga dengan


penyimbang sebatin. Dan sedangkan pada masyarakat lampung pepadun, dipimpin
oleh penyimbang tiyuh. Beberapa tiyuh tergabung kedalam kesatuan lebih besar
yang disebut buay atau kebuayan. Pada masyarakat lampung pepadun berlaku
hukum adat yang didasarkan dengan piagam adat lampung siwo migo. Pelanggaran
terhadap ketentuan adat ini akan dikenai sanksi berupa denda atau keharusan
melaksanakan upacara adat.

Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi Suku Lampung

1. Tapis

Tapis adalah kain khas Lampung yang terbuat dari tenunan benang kapas dengan
hiasan motif, sulaman benang emas atau perak. Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik
ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi
waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap
sakral. Kain Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang
7

bermacam-macam sebagai barang komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang


cukup tinggi.

Tapis dapat dibedakan menurut pemakaiannya, seperti contohnya:

 Tapis Jung Sarat: Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan
adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang
menghadiri upacara mengambil gelar, serta muli cangget (gadis penari) pada
upacara adat.
 Tapis Bidak Cukkil: Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat
menghadiri upacara-upacara adat.
 Tapis Silung: Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat
pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan
dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin
 Tapis Tuho: Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang
mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao)
yang sedang mengambil gelar sutan serta oleh isteri sutan dalam menghadiri
upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.

2. Jangat

Jangat adalah alat untuk menghaluskan belahan-belahan rotan. Dibuat dari bahan besi
lengkung tipis dan tajam yang ditancapkan di atas potongan batang kayu. Mata
pisaunya dibuat sendiri atau dapat dibeli. Cara pemakaiannya adalah: belahan-
belahan rotan yang panjang dimasukkan di antara kedua pisau besi itu, kemudian silih
berganti ditarik.

Sistem Mata Pencaharian Hidup Suku Lampung

Aktifitas produksi di Lampung yang utama adalah pertanian, termasuk perkebunan,


kehutanan dan budidaya perikanan. Propinsi Lampung adalah penghasil utama kopi
Robusta; dimana Lampung adalah salah satu yang terluas daerah perkebunan
8

kopinya. Penghasil utama di bidang pertanian adalah padi, minyak kelapa, kopi,
cengkeh, dan hasil pertanian lainnya, peternakan dan perikanan. Produksi kopi,
minyak kelapa, dan makanan dalam kemasan, minyak, kayu lapis dan produksi kayu
lainnya. Selain itu, Lampung juga penghasil buah-buahan tropis seperti : mangga,
rambutan, durian, pisang, nanas, dan jeruk. Hasil panen utama yang lain adalah
kelapa, karet mentah, minyak kelapa, coklat, lada dan sejenisnya.

Sistem Religi Suku Lampung

Menurut salah satu teori asal-usul terbentuknya masyarakat Lampung, penduduk


Lampung yang berasal dari Sekala Brak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat
disebut Tumi (Buay Tumi) menganut kepercayaan dinamis, yang dipengaruhi ajaran
Hindu Bairawa. Buai Tumi kemudian kemudian dapat dipengaruhi empat orang
pembawa Islam berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana.

Masyarakat Lampung didominasi oleh agama Islam, namun terdapat juga agama
Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Untuk Lampung, persatuan adat, kekerabatan,
kerajaan, (ke)marga(an), dan semacamnya memang lebih kental dalam bentukan
identitas kolektif. Aspek agama Islam, ternyata memberikan warna dan pencitraan
tersendiri dalam kaidah kelembagaan maupun kebudayaan.

Faktor alamiah, yang membuat identifikasi awal misalnya pranata sosial masyarakat
dengan mentalitas Islam, religiositas tradisi, kebajikan-kebajikan sosial,
kecenderungan untuk hidup bersama, kehalusan budi, dan conformism merupakan
ciri-ciri peradaban Islam yang melekat dalam adat Lampung. Aplikasi nilai-nilai
agama juga ternyata berpengaruh menimbulkan transformasi manusia dan
kebudayaan di Lampung.

Masyarakat Lampung mengenal berbagai tradisi atau upacara yang tidak trerlepas
dari unsur keagamaan. Dalam masyarakat Lampung ada beberapa bagian siklus
9

kehidupan seseorang yang dianggap penting sehingga perlu diadakan upacara-


upacara adat yang bercampur dengan unsur agama Islam.

Kesenian Suku Lampung

Sastra lisan merupakan salah satu tradisi khas masyarakat Lampung. Ada berbagai
jenis syair yang dikenal masyarakat Lampung, diantaranya pattun (pantun), pepatcur,
pisaan, adi-adi, segata, sesikun, memmang, wawancan, hahiwang,dan wayak. Sifat-
sifat orang Lampung juga diungkapkan dalam sebuah adi-adi (pantun):

Tandani hulun Lampung, wat piil-pusanggiri


Mulia hina sehitung, wat malu rega diri
Juluk-adok ram pegung, nemui-nyimah muwari
Nengah-nyampur mak ngungkung, sakai-sambaian gawi.

Sifat yang tergambar dalam pantun di atas antara lain: piil-pusanggiri (malu
melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri), juluk-adok
(mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), nemui-
nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu),
nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan
sakai-sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat
lainnya.

Falsafah Hidup Suku Lampung

A. Piil Pesenggiri

Piil Pesenggiri yang merupakan falsafah hidup orang Lampung memiliki arti harga
diri, maknanya prinsip prinsip yang harus dianut agar seorang itu memiliki eksistensi
atau harga diri.

Piil Pesenggiri bagi masyarakat Lampung memiliki makna sebagai cara hidup (Way
of Life). Ini bermakna, setiap gerak dan langkah kehidupan orang Lampung dalam
10

kehidupan sehari-hari dilandasi dengan kebersihan jiwa. Dari tindakan ini tercermin
hubungan vertical dan horizontal dalam masyarakat Lampung berupa keimanan pada
Tuhan dan pergaulan sosial pada sesama. Etos dan spirit kelampungan inilah yang
harus ditumbuhkembangkan untuk membangun eksistensi orang Lampung dan
penanda kearifan lokal di era keragaman global saat ini.
Suku Lampung dalam jejak rekam sejarah tercatat sebagai salah satu suku bangsa
yang memiliki peradaban tinggi. Bukti nyatanya suku Lampung memiliki aksara baca
tulis yang bernama Ka Ga Nga, bahasa dalam dua dialek Nyow dan Api, tatanan
acuan pemerintahan dalam kitab kuntara raja niti (kitab hukum tata negara), tradisi,
arsitektur, sastra dan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang turun temurun.
Selain itu, salah satu penanda atau cirri suatu masyarakat memikiki peradaban juga
ditandai dengan adanya filsafat dan falsafah hidup sebagai refleksi atas kesemestaan.
Artinya, setiap titi gemati atau budaya pasti memiliki dasar filosofi yang mengandung
hikmah bagi masyarakatnya. Adat Lampung pun mempunyai Piil Pesenggiri sebagai
dasar filosofiinya.

Orang Lampung Pesisir menyebutnya : Ghepot Dalom Mufakat (prinsip persatuan);


Teranggah Tetanggah (prinsip persamaan); Bupudak Waya (prinsip penghormatan);
Ghopghama Delom Bekeghja (prinsip kerja keras); Bupil Bupesenggiri (prinsip
bercita-cita dan keberhasilan).
Kemudian Lampung Pepadun menyebut ; Piil Pesenggiri (prinsip kehormatan); Juluk
Adek (prinsip keberhasilan) Nemui Nyimah (prinsip penghargaan); Nengah Nyapur
(prinsip persamaan); Sakai Sambayan (prinsip kerjasama).

Kearifan lokal masyarakat Lampung yang terkandung dalam Piil Pesenggiri ini biasa
dijadikan modal dalam menggiatkan pembangunan bumi Lampung. Falsafah ini pula
yang meng-inspirasi dan menjadikan spirit lahirnya motto ‘Sai Bumi Ruwa Jurai’ =
Satu Bumi Dua Jurai (Suku) – yakni suku Lampung Asli (Pepadun dan Saibatin) dan
suku pendatang (beragam suku yang datang dari luar provinsi Lampung). Motto Sai
Bumi Ruwa Jurai itulah yang menggambarkan masyarakat etnis Lampung memiliki
11

keterbukaan untuk menerima dan melindungi eksistensi jurai atau suku pendatang
untuk bersama sama tinggal berdampingan dan membangun bumi Lampung.
Lampung juga merupakan daerah terbuka terhadap pendatang, buktinya Lampung
merupakan daerah transmigrasi pertama di nusantara. Kehadiran transmigrasi pertama
dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1905 di daerah Bagelen – Gedong Tataan yang
kini masuk kabupaten Pesawaran.

B. Nemui Nyimah
Nemui berarti Tamu Nyimah atau Simah berarti Santun. Bagian Nemui Nyimah ini
sebagai perlambang kala masyarakat Lampung menjamu kehadiran tamu. Simah
adalah sebagai penentu. Keterbukaan terhadap seluruh masyarakat yang menjalin
hubungan saat bertamu. Sikap sopan santun kala bertamu termasuk didalamnya
menjamu tamu yang datang berkunjung pun menjadi perhatian masyarakat Lampung.
Tindakan ini merupakan penerapan prinsip membina tali silaturahmi baik terhadap
generasi sebelumnya maupun generasi mendatang.

C. Nengah Nyapur
Nengah memiliki arti kerja keras, berketerampilan dan bertanding. Kata Nengah
haruslah bersanding dengan kata Nyapur yang berarti tenggang rasa dan jiwa
kompetitif. Nengah Nyapur juga merupakan salah satu upaya masyarakat lampung
membekali diri dengan kemampuan dalam mengarungi kehidupan untuk kemudian
dimanfaatkan secara optimal bagi kemakmuran umat manusia. Termasuk tekad untuk
terus menerus belajar baik belajar dibidang akademik maupun belajar melalui
pengalaman.

D. Bejuluk Beadek
Bejuluk atau Juluk berarti nama baru ketika seseorang mampu mencapai cita citanya.
Adek berarti gelar atau nama baru yang di sandang.
Bejuluk Beadek pun kemudian menjadi bagian dari tata cara pemberian gelar.
Pemberian gelar atau nama biasanya melalui acara Seghak Sepei untuk Juluk dan
12

upacara Mepadun untuk Adek. Nama-nama baru hanya diberikan ketika ada sesuatu
yang baru. Dengan demikian maskayarat Lampung selalu menginginkan terjadinya
perubahan pembaharuan dan inovasi. Bejuluk Beadek juga merupakan salah satu
sikap dari masyarakat Lampung yang mencerminkan pada kerendahatian dan
kebesaran jiwa untuk saling menghormati baik dalam keluarga maupun lingkungan
masyarakat.

E. Sakai Sambaian
Sakai atau Akai berarti terbuka dan bisa menerima sesuatu yang datang dari luar.
Sambai atau Sumbai (utusan) berarti memberi. Sakai Sambaian dapat diartikan
sebagai sifat kooperatif, gotong royong atau urun rembuk masyarakat Lampung pada
lingkungan dimana mereka bertempat-tinggal.

2.2 Perkembangan Kesenian Tari Tupping di Lampung Selatan

Tari Tuping atau Topeng adalah jenis tarian yang berkembang sejak zaman
perlawanan Pangeran Raden Inten II di daerah Penengahan Lampung Selatan .
Tuping yang dikenakan merupakan sebuah ungkapan penyembunyian identitas asli
pemakainya sewaktu melaksanakan tugas pada masa melawan penjajah Belanda di
kaki Gunung Rajabasa.

Dilihat dari segi penokohannya topeng dalam Drama Tari Tupping terdiri dari:
kesatria, kesatria kasar, kesatria sakti, kesatria putrid, tokoh pelawak, dan tokoh bijak
dan sakti. Tari tupping juga dilakukan pada rangkaian pesta perkawinan atau pada
acara penyambutan tamu besar.

Tupping yang ada di daerah Lampung, khususnya di Canti dan Kuripan, jumlahnya
hanya 12 buah. Tidak bisa lebih, tidak bisa kurang, dan tidak boleh ditiru. Tupping-
tupping ini diyakini memilki kekuatan gaib dan tidak semua orang boleh
13

memakainya. Dan, meskipun sekarang sudah jadi bagian kesenian, berbagai ritual
khusus harus dilakukan sebelum mengenakan topeng-topeng ini.

Topeng Kuripan hanya bisa dikenakan oleh keturunan 12 punggawa yang antara lain
berada di Desa Tataan, Taman Baru dan Kuripan. Di daerah Canti tupping hanya bisa
dikenakan oleh lelaki yang berumur 20 tahun. Kalau ada warga yang ingin memakai,
mereka bisa minta izin pada Dalom Marga Ratu.

Kelalaian dalam mentaati aturan-aturan ini akan mengakibatkan kejadian yang tidak
diinginkan pada yang memakainya. Kedua topeng ini, baik Topeng Kuripan dan
Topeng Canti diyakini menyimpan beragam muatan seperti histories, simbol budaya,
nilai ritual, dan struktur sosial politik.

Hingga kini tari tuping terus dilestarikan dan bahkan dalam kegiatan kegiatan di
Lampung Selatan tari tuping ini selalu disajikan. Jika dilihat sekilas maka akan
terlihat jelas para penari tersebut menggunakan berbagai atribut diantaranya tombak
dari bambu, rumbai rumbai yang beberapa dantaranya bahkan menggunakan daun
daun kering yang sejarahnya merupakan pakaian untuk kamuflase.

Tarian ini kini dilestarikan dan menjadi salah satu kekayaan tradisi di Lampung dan
Lampung Selatan khususnya yang merupakan warisan historis perjuangan masyarakat
Lampung Selatan. Tak salah jika di Kabupaten Lampung Selatan berdiri dengan
kokoh tugu tuping yang ada di pertigaan jalan menuju ke area kantor Pemerintahan
Kabupaten Lampung Selatan di Kalianda.

Dalam sejarahnya, ada sebanyak 12 tuping wajah yang berdasarkan sisi historis
memiliki makna mendalam bagi para pejuang yang ada di Lampung Selatan saat
perlawanan Pahlawan Raden Inten II melawan penjajah Belanda. Tuping tersebut
memiliki makna dan tugas tersendiri.
14

Nama-nama Tupping 12 Wajah Dari Keratuan Darah Putih yang berada di Desa
Kuripan Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan ciri khas
tuping yang dimaksud yakni:

1. Berciri Khas : Ikhung Tebak (Hidung Melintang) Tugas : Di Gunung


Rajabasa (Buai Tambal) Dipakai Oleh : Kakhya Jaksa (Ds.Kuripan)
2. Berciri Khas : Ikhung Cungak (Hidung Mendongak) Tugas : Di Tanjung
Tua (Tupai Tanoh) Dipakai Oleh : Kakhya Khadin Patih (Ds.Kuripan)
3. Berciri khas : Luah Takhing (Keluar Taring) Tugas : Anjak Kekhatuan
Mit Matakhani Mati (Barat) Dipakai Oleh : Kakhya Menanti Khatu
(Ds.kuripan)
4. Berciri Khas : Jangguk Khawing (Janggut Panjang) Tugas : Seragi Sampai
Way Sekampung Dipakai Oleh : Kakhya Jaga Pati (Ds.Kekiling)

5. Berciri Khas : Banguk Khabit (Mulut Sompel) Tugas : Gunung Cukkih Selat
Sunda, Dipakai Oleh : Kakhya Yuda Negara (Kekiling)

6. Berciri Khas : Bekhak Banguk (Mulut Lebar) Tugas : Keliling Gunung


Dipakai Oleh : Kakhya Jaga Pamuk (Ds. Ruang Tengah)

7. Berciri Khas : Mata Sipit (Mata Sipit) Tugas : Batu Payung Dipakai Oleh :
Temunggung Agung Khaja (Ds.Ruang Tengah)

8. Berciri Khas : Banguk Kicut (Mulut Mengot) Tugas : Gunung Kakhang


Dipakai Oleh : Ngabihi Paksi (Ds.Ruang Tengah)

9. Berciri Khas : Pudak Bebai (Muka Perempuan) Tugas : Tanjung Selaki


Dipakai Oleh : Kakhya Bangsa Saka (Ds.Ruang Tengah)

10. Berciri Khas : Mata Sipit / Kedugok (Mata Ngantuk) Tugas : Anjak
Kekhatuan Tugok Matakhani Minjak (Timur) Dipakai Oleh : Kakhya
Sangunda (Ds.Tetaan)
15

11. Berciri Khas : Mata Kicong (Mata Sebelah) Tugas : Tuku Tiga Dipakai Oleh
: Kakhya Kiyai Sebuai (Ds.Tetaan)

12. Berciri Khas : Ikhung Pisek (Hidung Pesek) Tugas : Sumokh Kucing Dipakai
Oleh : Khaja Temunggung (Ds.Tetaan)
16

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Masyarakat adat Lampung terdiri atas dua golongan, yaitu masyarakat Pepadun
(Pedalaman) dan Pesisir. Kedua masyarakat tersebut mempunyai tempat bermukim
yang berbeda. Keduanya pun memiliki adat istiadat serta sifat yang sedikit berbeda.

Semenara, kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia. Perwujudan kebudayaan meliputi
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, baik
berupa pla perilaku, bahasa maupun benda-benda atau hasil ciptaan manusia lainnya,
seperti peralatan hidup, organisasi sosial, religi, dan seni. Kesemuanya ditujukan
untuk membantu manusi dalam mempertahankan hidupnya. Berdasarkan wujudnya,
kebudayaan dapat digolongkan atas kebudayaan yang bersifat abstrak dan
kebudayaan yang bersifat kokonkri.

Tari Tupping awalnya hanya dinamakan “Tupping” saja. Tupping menurut sejarah
penciptaannya (Darmawan) merupakan tarian sakral yang dulunya hanya boleh
ditarikan oleh kaum bangsawan atau keturunan dari Radin petinggi yang ada di
Lampung, yang di yu ambil dari cerita zaman dahulu yang berawal dari penjajahan
Belanda terhadap masyarakat Desa Kuripan Kecamatan Penengahan Kabupaten
Lampung Selatan.
17

DAFTAR PUSTAKA

Neny Sofiany .206. Ringkasan Unsur-unsur Budaya

Lampung.http://nenysofiany07.blogspot.com/2016/11/ringkasan-ungsur-ungsur-
budaya-lampung.html.(Diakses pada: Kamis, 11 April 2019 , pukul : 19.29 Wib).

Wikipedia.2019.Rumpun Bahasa Lampung.

https://id.wikipedia.org/wiki/Rumpun_bahasa_Lampung.(Diakses pada: Kamis,11


April 2019, pukul:19.24 Wib).

Wikipedia.2018. Tari Tupping Lampung

https://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Tupping_Lampung_.(Diakses pada: Kamis,11


April 2019, pukul:18.20 Wib).

Anda mungkin juga menyukai