1. PENDAHULUAN
a. Latar belakang hal yang menjadi dasar bagi saya untuk membahas mengenai sejarah
dan kebudayaan suku mandailing ialah karena suku ini memiliki khasanah budaya yang
luar biasa dan unik baik dari segi adat istiadat nya, system marga nya, pakaian adatnya dan
lain-lain. Tidak hanya itu, yang menjadi penggerak hati saya untuk membahas mengenai
suku ini ialah karena suku ini juga menyimpan keunikan sejarah yang mungkin dapat
membuka pikiran kita mengenai suku mandailing yang sebenarnya.
b. Rumusan masalahYang menjadi rumusan masalah dalam makalah saya ini ialah,
2. Apakah mandailing itu suku atau etnis yang berdiri sendiri dan bukan merupakan sub
etnis ?
c. Tujuan pembahasanTujuan dari pembahasan saya ini ialah untuk membuka wawasan
kita lebih luas lagi mengenai suku mandailing yang sebenarnya serta untuk menambah
pengetahuan kita mengenai kebudayaan mandailing.
1. Adat pernikahan
Dalam pelaksanaan upacara adat pernikahan mandailing,biasanya diperlukan
perlengkapan upacara adat, seperti sirih (napuran/burangir) terdiri dari sirih, sentang
(gambir), tembakau, soda, pinang, yang semuanya dimasukkan ke dalam sebuah tepak.
Lalu, sebagai simbol kebesaran (paragat) disiapkan payung rarangan, pedang dan tombak,
bendera adat (tonggol) dan langit-langit dengan tabir.Adat pada suku Mandailing
melibatkan banyak orang dari dalian na tolu, seperti mora, kahanggi dan anak boru. Prosesi
upacara pernikahan dimulai dari musyawarah adat yang disebut makkobar/makkatai,
yaitu berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik. Setiap anggota berbalas
tutur, seperti berbalas pantun secara bergiliran. Orang pertama yang membuka
pembicaraan adalah juru bicara yang punya hajat (suhut), dilanjutkan dengan menantu
yang punya hajat (anak boru suhut), ipar dari anak boru (pisang raut), peserta
musyawarah yang turut hadir (paralok-alok), raja adat di kampung tersebut (hatobangan),
raja adat dari kambpung sebelah (raja torbing balok) dan raja diraja adat/pimpinan sidang
(raja panusunan bulang).Setelah itu, dilaksanakan acara tradisi yang dikenal dengan nama
mangupa atau mangupa tondi dohot badan. Acara ini dilaksanakan sejak agama Islam
masuk dan dianut oleh etnis Mandailing dengan mengacu kepada ajaran Islam dan adat.
Biasanya ada kata-kata nasihat yang disampaikan saat acara ini. Tujuannya untuk
memulihkan dan atau menguatkan semangat serta badan. Pangupa atau bahan untuk
mangupa, berupa hidangan yang diletakkan ke dalam tampah besar dan diisi dengan nasi,
telur dan ayam kampung dan garam.Masing-masing hidangan memiliki makna secara
simbolik. Contohnya, telur bulat yang terdiri dari kuning dan putih telur mencerminkan
kebulatan (keutuhan) badan (tondi). Pangupa tersebut harus dimakan oleh pengantin
sebagai tanda bahwa dalam menjalin rumah tangga nantinya akan ada tantangan berupa
manis, pahit, asam dan asin kehidupan. Untuk itu, pengantin harus siap dan dapat
menjalani dengan baik hubungan tersebut.
1. Marga
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun
matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing
hanya dikenal belasan marga saja, antara lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan,
Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia,
Daulay, Matondang, dan Hutasuhut. Bila orang Batak mengenal pelarangan kawin semarga,
maka orang Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin semarga. Hal ini lah yang
menyebabkan marga orang Batak bertambah banyak, karena setiap ada kawin semarga,
maka mereka membuat marga yang baru. Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing
apabila terjadi perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban melakukan
upacara korban, berupa ayam, kambing atau kerbau, tergantung status sosial mereka di
masyarakat, namun aturan adat itu sekarang tidak lagi dipenuhi, karena nilai-nilai status
sosial masyarakat Mandailing sudah berubah, terutama di perantauan.
Berdasarkan pada pembahasan kita diatas, terjawab sudah rumusan masalah kita bahwa
pada dasarnya orang mandailing menolak untuk disamakan dengan orang batak dan hal ini
sudah pernah terjadi pada masa colonial belanda. Permasalahan ini pun juga telah
diputuskan oleh pengadilan hindia belanda di Batavia pada tahun 1925 yang menyatakan
bahwa mandailing ialah etnis yang terpisah dari batak.