Adat istiadat
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat
Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat.
Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak,
yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf
pallawa, bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara
Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan akasara nusantara lainnya.
Meskipun Suku Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulaktulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut
pustaha(pustaka). Namun amat sulit menemukan catatan sejarah mengenai
Mandailing sebelum abad ke-19. Umumnya pustaka-pustaka ini berisi
catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang
waktu yang baik dan buruk, serta ramalan mimpi.
Adat pernikahan
Dalam pelaksanaan upacara adat pernikahan mandailing,biasanya
diperlukan perlengkapan upacara adat, seperti sirih
(napuran/burangir) terdiri dari sirih, sentang (gambir),
tembakau, soda, pinang, yang semuanya dimasukkan ke dalam
sebuah tepak. Lalu, sebagai simbol kebesaran (paragat)
disiapkan payung rarangan, pedang dan tombak, bendera adat
(tonggol) dan langit-langit dengan tabir.Adat pada suku
Mandailing melibatkan banyak orang dari dalian na tolu,
seperti mora, kahanggi dan anak boru. Prosesi upacara
pernikahan dimulai dari musyawarah adat yang disebut
makkobar/makkatai, yaitu berbicara dalam tutur sapa yang
sangat khusus dan unik. Setiap anggota berbalas tutur,
seperti berbalas pantun secara bergiliran. Orang pertama yang
membuka pembicaraan adalah juru bicara yang punya hajat
(suhut), dilanjutkan dengan menantu yang punya hajat (anak
boru suhut), ipar dari anak boru (pisang raut), peserta
musyawarah yang turut hadir (paralok-alok), raja adat di
kampung tersebut (hatobangan), raja adat dari kambpung
sebelah (raja torbing balok) dan raja diraja adat/pimpinan
Marga
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik
patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang
Mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan
marga saja, antara lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan,
Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe,
Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut.
Bila orang Batak mengenal pelarangan kawin semarga, maka orang
Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin semarga. Hal ini
lah yang menyebabkan marga orang Batak bertambah banyak,
karena setiap ada kawin semarga, maka mereka membuat marga
yang baru. Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing apabila
terjadi perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban
melakukan upacara korban, berupa ayam, kambing atau kerbau,
tergantung status sosial mereka di masyarakat, namun aturan adat
2.
Tor-Tor Raja-Raja.
3.
4.
5.Tor-Tor Sibaso.
Sudah tidak pernah lagi dilaksanakan karena tor-tor ini yang manortor harus
manyarama atau kesurupan sehingga dinilai bertentangan dengan ajaran
agama Islam).
Pada pernikahan
adat
mandailing,
biasanya
pengantin Mandailing
Sejarah
Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo,
yang kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur, utara dan
selatan dari Luhak Nan Tigo.[2] Saat ini wilayah budaya Minangkabau
meliputi Sumatera Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan Singingi,
Rokan Hulu), pesisir barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga, dan
Barus), bagian barat Jambi (Kerinci, Bungo), bagian utara Bengkulu
(Mukomuko), bagian barat daya Aceh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan,
Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Tenggara), hingga Negeri
Sembilan di Malaysia.
Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan
Hindu-Budha. Kemudian sejak kedatangan para reformis Islam dari Timur
Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan budaya Minangkabau yang tidak
sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori oleh
Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk
mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat
kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat
Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak,
diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang
berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di
Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik
pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada
syariat Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat
bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak
reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan
pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai
Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau
memiliki masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga.
Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di
surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik
berupa ilmu bela diri pencak silat.
Harta pusaka
Dalam budaya Minangkabau terdapat dua jenis harta pusaka, yakni harta
pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan
warisan turun-temurun dari leluhur yang dimiliki oleh suatu keluarga atau
kaum, sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian
seseorang yang diwariskan menurut hukum Islam.
Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota keluarga yang
diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan. Harta ini berupa
rumah, sawah, ladang, kolam, dan hutan. Anggota kaum memiliki hak pakai
dan biasanya pengelolaan diatur oleh datuk kepala kaum. Hak pakai dari
harta pusaka tinggi ini antara lain; hak membuka tanah, memungut hasil,
mendirikan rumah, menangkap ikan hasil kolam, dan hak menggembala.
Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh
digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan
setelah dimusyawarahkan di antara petinggi kaum, diutamakan di gadaikan
kepada suku yang sama tetapi dapat juga di gadaikan kepada suku lain.
Tergadainya harta pusaka tinggi karena empat hal:
Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang belum bersuami)
Tarian
Tari-tarian merupakan salah satu corak budaya Minangkabau yang sering
digunakan dalam pesta adat ataupun perayaan pernikahan. Tari Minangkabau
tidak hanya dimainkan oleh kaum perempuan tapi juga oleh laki-laki. Ciri
khas tari Minangkabau adalah cepat, keras, menghentak, dan dinamis.
Adapula tarian yang memasukkan gerakan silat ke dalamnya, yang disebut
randai. Tari-tarian Minangkabau lahir dari kehidupan masyarakat
Minangkabau yang egaliter dan saling menghormati. Dalam pesta adat
ataupun perkawinan, masyarakat Minangkabau memberikan persembahan
dan hormat kepada para tamu dan menyambutnya dengan tarian galombang.
Jenis tari Minangkabau antara lain:
Tari Piring,
Tari Payung,
Tari Pasambahan,
Tari Indang.
Bela diri
Silat Minangkabau
Pencak Silat adalah seni bela diri khas masyarakat Minangkabau yang
diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Pada mulanya
silat merupakan bekal bagi perantau untuk menjaga diri dari hal-hal terburuk
selama di perjalanan atau di perantauan. Selain untuk menjaga diri, silat juga
merupakan sistem pertahanan nagari (parik paga dalam nagari).
Pencak silat memiliki dua filosofi dalam satu gerakan. Pencak (mancak)
yang berarti bunga silat merupakan gerakan tarian yang dipamerkan dalam
acara adat atau seremoni lainnya. Gerakan-gerakan mancak diupayakan
seindah dan sebagus mungkin karena untuk pertunjukkan.[17] Sedangkan
silat merupakan suatu seni pertempuran yang dipergunakan untuk
mempertahankan diri dari serangan musuh, sehingga gerakan-gerakannya
diupayakan sesedikit mungkin, cepat, tepat, dan melumpuhkan lawan.[18]
Orang yang mahir bermain silat dinamakan pendekar (pandeka). Gelar
pendekar ini pada zaman dahulunya dikukuhkan secara adat oleh ninik
mamak dari nagari yang bersangkutan. Kini pencak silat tidak hanya
diajarkan kepada generasi muda Minangkabau saja, namun juga telah
menyebar ke seluruh Nusantara bahkan ke Eropa dan Amerika Serikat.[19]
Musik
Musik Minang
Budaya Minangkabau juga melahirkan banyak jenis alat musik dan lagu. Di
antara alat musik khas Minangkabau adalah saluang, talempong, rabab, serta
bansi. Keempat alat musik ini biasanya dimainkan dalam pesta adat dan
perkawinan. Kini musik Minang tidak terbatas dimainkan dengan
menggunakan empat alat musik tersebut. Namun juga menggunakan
istrumen musik modern seperti orgen, piano, gitar, dan drum. Lagu-lagu
Tabuik
Makan bajamba
Turun mandi
Batagak pangulu
Turun ka sawah
Manyabik
Hari Rayo
Pacu jawi