Percobaan pertama diusahakan berhasil karena tindakan yang dilakukan berulang-ulang dapt
meningkatkan risiko komplikasi.
Terkadang pada pasien yang tidak stabil harus ditentukan prioritas terkebih dahulu untuk menangani A-
B-C-D nya. Keputusan untuk menentukan langkah apa yang harus diambilkan dapat ditentukan dari:
Preoksigenasi lebih sulit dilakukan pada pasien kritis karena ventilasi sopntan yang tidak efektif,
penurunan perfusi pulmoner dan ssitemik, tingginya ekstraksi oksigen, dan terbatasnya peralatan.
Meskipun saturasi haemoglobin bertanggung jawab atas konten oksigen dalam darah, namun oksigenasi
sistemik dipengaruhi oleh jantung, sehingga walaupun oksigenasi sudah optimal, saturasi sangat
bergantung dengan status kardiovaskular dan ekstraksi oksigen sistemik. Kondisi yang telah membaik
secara klinis malah dapat menjadi tanda kemunduruan dalam periode apneic normoxia untuk
memenuhi intubasi. Hiperkapnia selama intubasi juga dapat mengeksaserbasi asidemia, makin lama
makin meningkatkan risikonya.
Optimisasi hemodinamik
Pasien sakit kritis biasanya mengalami masalah dalam keseimbangan cairan sehingga
memperparah efek agen induksi dan tekanan positif intratorakik. Gangguan volume ini dipresipitasi oleh
berkurangnya volume (misalnya shock hemoragik), kelebihan volume (edema pulmoner nefrogenik),
abnormalitas vascular (Penurunan resistensi sistemik pada sepsis) atau disfungsi jantung (edema
pulmoner kardioegenik, kegagalan ventrikel kanan). Sehingga perlu pertimbangan khusus dalam
melakukan resusitasi berdasarkan patofisiologinya.
Akses intravena yang adekuat harus didapatkan agar resusitasi agresif dapat dilakukan. Respon
tubuh terhadap terapi dievaluasi, untuk melihat apakah pasien berespon, dan juga melihat adanya
overload cairan. Pada pasien yang menjalani resusitasi cairan dan tidak responsive setelah dievaluasi,
maka dapat diberikan obat vaspospressor. Pada pasien yang tidak stabil sebelum intubasi, maka infus
continues lebih dipilih untuk diberikan daripada infus bolus. Pada pasien yang berisiko tinggi mengalami
hipotensi postintubasi maka vasopressor harus disiapkan dan segera diberikan jika diperlukan.
Pasien-pasien dengan krisis hemodinamik perlu dimonitor secara ketat. Pengawasan terus-
menerus terhadap jantung dengan pengukuran tekanan darah noninvasif dilakukan paling tidak setiap 3
hingga 5 menit pada masa peri-intubasi. Monitoring juga perlu dilakukan pada masa preintubasi pasien
dengan risiko tinggi. Harus diingat bahwa tekanan darah tidak sama dengan aliran darah (cardiac output
dan delivery oksigen). Bradikardi progresif yang munculnya tidak berhubungan dengan hipoksia dan
laringoskopi merupakan tanda shock berat dan impending cardiac arrest.
Induksi
Obat yang digunakan untuk induksi bisa jadi pisau bermata dua, karena dapat membantu intubasi
namun memliki dampak kardiovaskular yang bisa memicu shock dan cardiac arrest. Pasien dengan
hypovolemia, vasodilatasi, dan gangguan jantung merupakan pasien yang memiliki risiko ketika
dilakukan manajemen airway.
Agen induksi memacu simpatolisis dan manipulasi pada laring juga dapat menghentikan reflex
simpatis. Opiod sering diberikan sebagai agen induksi preintubasi pada pasien dengan hipertensi
emergency, namun dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan ,kardiovaskular termasuk pada
shock terkompensasi. Semua obat yang bersifat menghentikan respon katekolamin termasuk obat
sedatif-hipnotik, menyebabkan turunnya tonus simpatik, sehingga terjadi vasodilatasi arteri dan vena.
Yang kemudian berakhir dengan menurunnya venous return dan hipotensi. Beberapa obat anestesi juga
menyebabkan depresi myocardial.
Penurunan venous return juga akan diperburuk oleh pemberian ventilasi tekanan positif,
sehingga pada beberapa pasien kritis, awake intubation dengan respirasi spontan lebih baik untuk
dilakukan. Obat induksi sedative memiliki efek simpatolisis yang sama namun berperan penting untuk
memfasilitasi RSI. Efek kardiovaskular bergantung oada dosis dan jenis agennya. Dosis obat pada pasien
dengan status hemodinamik normal bisa membahayakan pada pasien kritis. Hipotensi Frank atau shock
terkompensasi membutuhkan pengurangan dosis hingga setengahnya dari yang direkomendasikan.
Efek hemodinamik obat sedative-hipnotik bervariasi. Etomidate dan ketamine merupakan obat
yang paling stabil secara hemodinamik, namun tetap membutuhkan pengurangan dosis untuk pasien
dengan shock (etomidate 0.1-0.15/kg BB ata ketamin 0.5-0.75 mg/kg BB). Lebih baik untuk mengurangi
dosis daripada memberikan dosis yang berlebihan. Manajer airway juga harus mengantisipasi efek dari
penurunan dosis, yaitu onset obat yang lebih lambat.
NMBA memiliki risiko hemodiamik yang lebih rendah dan dapat diberikan dengan dosis normal.
Suksinilkolin dan rocuronium merupakan NMBA yang stabil secra hemodinamik. Pada pasien yang
teridentifikasi dengan difficult airway, awake intubation menggunakan flexible endoscope, yang
difasilitasi dengan anestesi topical dan sedasi yang sedikit (bahkan tidak digunakan sama sekali),
meruakan cara untuk mengatasi difficult airway dan juga untuk menghindari efek hipotensi agen
induksi. Intubasi dengna suksinilkolin saja tidak biasa dilakukan namun bisa saja dilakukan pada pasien
yang obtunded dengan shock berat, yang membutuhkan relaksasi untuk intubasi namun tidak dapat
mentolerir sedikit pun dosis agen induksi. Intubasi tanpa medikasi apapun hanya dapat dilakukan pada
pasien yag arrest dan sangat kritis. Namun, kedua situasi ini tetap memerlukan perhatia saat ventilasi
untuk meminimalisir efek negative kardiovakular akibat ventilasi tekanan positif.
Manajemen postintubasi
Ventilai mekanis
Setelah intubasi, ventilasi mekanis harus dilakukan dengan hati-hati, karena tekanan positif intratorakik
dapat mengurangi venous return ke jantung. Kondisi seperti tension pneumothorax dan auto PEEP
mengeksaserbasi tekanan intratorakik dan menimbulkan efek negative hemodinamik. Hiperinflasi
intensiona dapat menjadi hiperinflasi dinamik jika waktu ekspirasi tidak cukup untuk eleminasi secara
komplit volume tidal (VT). Hiperiflasi dinmaik ini akan menyebabkan tertahannya volume intratorakik,
yang menyebabkan auto-PEEP. Risiko hiperinflasi dinamik akan meningkat pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif, namun semua pasien berisiko mengalami auto-PEEP.
Setelah intubasi hiperventilasi sering terjadi terutama menggunakan bag ventilation manual. Hal yang
oenting untuk dilakukan adalah meyakinkan bahwa skiprasi terjadi dengan sempurna. Yang perlu
dilakukan adalah memberikan volume dengan tidak berlebihan (dengan merasakan pengembangan bag)
dan memperhatikan lajunya (dengan melakukan perhitungan 1, 2, 3, 4, 5, nafas, 1, 2, 3, 4, 5, nafas dam
seterusnya). Tindakan lain yang dapat dilakukan yaitu dengan mendengarkan suara nafas pasien. Ketika
suara nafas tidak terdengar, berarti ekspirasi sudah sempurna dan nafas berikutnya dapat diberikan.
Waktu yang pas akan menyediakan waktu ekspirasi yang cukup. Monitoring menggunakan grafik
ventilator time-flow bisa digunakan untuk konfirmasi tuntasnya 1 siklus nafas sebelum nafas beriktunya
terjadi.
Sedasi postintubasi
Benzodiazepine sering digunakan daripada propofol karena efek hipotensiya yang lebih baik, namun
titrasi dosis tetap penting untuk dilakukan. Pemberian opioid intermiten maupun continuous
merupakan pilihan pertama untuk sedasi post intubasi. Pada pasien yang tidak menjalani prosedur
invasif, maka sedasi ringan lebih dipilih untuk mempertahankan toleransi pasien terhadap intubasi
daripada sedasi yang dalam. Etomidate tidak boleh digunakan untuk sedasi postintubasi karena
berpotensi meningkatkan risiko supresi adrenal berat.
PIH sering terjadi tetap harus dianggap sebagai sesuatu komplikasi yang berbahaya. PIH terjadi pada ¼
pasien yang menjalani intubasi dan kasus yang berat terjadi pada 10% kasus (SBP< 70 mmHg). PIH
berhubungan dengan peningkatan kematian di rumah sakit. Eesusitasi hemodinmaik segera perlu
dilakukan sama seperti pada kasus yang tidak berhubungan denga manajemen airway.