Anda di halaman 1dari 7

The Unstable Patient: Cardiopulmonary Optimization for

Emergency Airway Management


 Intubasi pada pasien kritis tidak seperti intubasi elektif pada kamar operasi karena pasien
mengalami gangguan pada fisiologi kardiorespirasi, sehingga dapat terjadi komplikasi seperi
apnea dan gangguan hemodinamik akibat induksi dan ventilasi tekanan positif.
 Selain itu, kegagalan dalam mempertahankan oksigenasi dan ventilasi selama manajemen
airway dapat menyebabkan gangguan hemodinamik dan cardiac arrest.
 Pasien yang tidak stabil berisiko untuk mengalami dekompensasi selama dan setelah prosedur
sehingga teknik intubasi pada pasien tidak stabil penting untuk dilakukan

Optimisasi pada percobaan pertama laringoskopi

 Percobaan pertama diusahakan berhasil karena tindakan yang dilakukan berulang-ulang dapt
meningkatkan risiko komplikasi.

Timing of Airway Management

Terkadang pada pasien yang tidak stabil harus ditentukan prioritas terkebih dahulu untuk menangani A-
B-C-D nya. Keputusan untuk menentukan langkah apa yang harus diambilkan dapat ditentukan dari:

1. Apakah masalah pernapasan bersifat reversible dan seberapa beratnya?


Dengan memahami patofisiologinya maka akan membantu dalam memilih tindakan yang tepat.
Misalnya pada edema pulmo akut kardiogenik yang sifatnya reversible (disebabkan hipertensi
tidak terkontrol atau overload cairan) dapat diberikan terapi medis dan tidak diperlukan
intubasi. Sedangkan pada kasus hipoksemia akibat pneumonia atau acute respiratory distress
syndrome (ARDS) perlu dipertimbangkan intubasi segera untuk menghindari pertukaran gas
yang makin buruk dan kondisi preintubasi yang makin sulit. Adanya intrapulmonary shunt malah
menyebabkan preoksigenasi menjadi sulit. Pasien seperti ini dapat mengalami desaturasi yang
cepat selama intubasi, yang mana dapat menyebabkan kolaps kardiovaskular setelah intubasi
terpasang.
Ventilasi tekanan positif noninvasif dan nasal kanul beraliran tinggi efektif dalam
mengatasi gagal respirasi akut. Namun penting untuk mengidentifikasi apakah pasien responsif
dengan modalitas ini dan apakah diperlukan intubasi. Pasien yang membutuhkan FiO2 tinggi
untuk mempertahankan saturasi di atas 92% mengindikasikan adanya intrapulmonary shunt
yang berat dan intubasi perlu dilakukan agar kondisi dapat membaik dengan segera. Menunda
intubasi hingga akhirnya terjadi hipoksemia berhubungan degan tingginya komplikasi
periintubasi dan kejadian tidak diinginkan.
Kegagalan respirasi akut akibat penyakit obstruktif seperti asma dan COPD, sering
berespon terhadap ventilasi non invasif. Ventilasi mekanis sulit dilakukan dan intubasi dilakukan
sebagai usaha akhir jika ventilasi noninvasif dan dukungan medis gagal. Namun tanda-tanda
asidosis hiperkapnia berat perlu dimonitor agar intubasi tidak terlambat untuk dilakukan.
Pada pasien dengan asidosis metabolic manajemen yang diberikan dapat bervariasi.
Pada pasien dengan demand metabolic yang tidak dapat dikompensasi tubuh akibat shock
(misal sepsis), maka intubasi diperlukan untuk mengurangi work of breathing (WoB) dan
konsumsi oksigen oleh otot bantu pernapasan. Namun pada kasus akibat terbentuknya asam
organic, seperti pada diabetes ketoasidsis atau keracunan salisilat, maka mempertahankan
respirasi spontan adalah pilihan terbaik.
2. Bagaimana status kardiovaskular dan risiko penurunan kondisi peri-intubasi?
Instabilitas hemodinamik preintubasi meningkatkan kemungkinan komplikasi intubasi
seperti cardiac arrest. Hipotensi post intubasi terjadi pada 25% kasus intubasi emergency dan
berhubungan kuat dengan kematian. RSI dan ventilasi mekanis dapat memiliki dampak negative
terhadap pasien yang rentan secara hemodinamik.
Pasien dengan shock dapat menghabiskan lebih dari 20% cardiac output untuk ventilasi.
Sehingga pasien yang gagal dalam resusitasi kardiovaskular disarankan untuk diintubasi agar
membantu redistribusi darah ke organ vital. Penyebab shock penting untuk diketahui untuk
menentukan perlunya dan waktu pemasangan intubasi. Efek ventilasi tekanan positif pada
fungsi jantung bergantung pada kondisi kardiovaskular. Tekanan positif intratorakik mengurangi
tekanan kardiak transmural dan mengurangi afterload pada ventrikel kiri. Hal ini dapat
meringankan disfungsi yang berat pada ventrikel kiri.
Namun, pasien dengan penurunan fungsi yang ringan malah akan memperlambat
venous return. Terapi cairan dan penggunaan vasopressor penting untuk mempertahankan
tekanan sitemik dan venous return selama induksi simpatolisis untuk pasien ini, terutama pada
pasien dengan vasodilatasi yang berlebihan (misalnya pada sepsi, sirosis, dan anafilaksis).
Selain itu, sebenarnya induksi dan ventilasi mekanis dapat menimbulkan kolaps
kardiovaskular dalam bentuk shock yang lain. Gagal jantung kanan yang mengalami
dekompensasi sangat sensitif terhadap peningkatan resistensi vascular pulmoner, yang mana
dapat dicetuskan oleh ventilasi mekanis. Venous return pada pasien dengan tamponade cordis
akan terselamatkan akibat vasoknstriksi perifer yang intense. HIlangnya tonus simpatis akibat
induksi dan ventilasi mekanis dihubungkan dengan kolaps kardiovaskular dan menggunakan
terapi yang lebih efektif (misal perikardiosentesis) lebih diutamakan dari intubasi.
Ekokardiografi berguna untuk mengevaluasi status hemodinamik pasie kritis dan dapat
meperidiksi respon hemodinamik ketika intubasi.
Kebanyakan pasien dengan shock yang terkompensasi memiliki tekanan nadi yang
sempit namun masih normotensi. Hipotensi yang episodic merupakan tanda-tanda
uncompensated shock, dan merupakan tanda hipoperfusi akibat mekanisme normal tidak bisa
berjalan. Mean arterial pressure (MAP) < 65 mmHG, tekanan darah sistolik (SBP) < 90 mmHG
atau MAP > 20 mm Hg di bawah baseline merupakan tanda yang penting bahkan tanpa tanda
adanya hipoperfusi klinis. Cardiac arrest peri intubasi terjadi pada 15% pasien yag menjalani
intubasi emergency pada kondisi shock hipotensif.
Namun, SBP merupakan indicator stats kardiovaskular yang tidak sempurna dan tekanan darah
normal tidak bisa langsung diinterpretasikan sebagai perfusi yang adekuat. Shock indec
(HR/SBP), merupakan marker untuk mengidentifikasi pasien yang rentan walaupun tekanan
darahnya normal. Meningkatnya SI dihubungkan dengan penurunan status kardiovaskular. SI
preintubasi ≥ 0.8 merupakan peringatan gangguan hemonimaik peri-intubasi. Namun 1/3 pasien
yang mengalami penrurunan kondisi peri-intubasi di bawah ambang tersut dan semua pasien
yang menjalani intubsi emergency dianggap berisiko.
Pasien yang tidak teroksigenasi secaa adekuat memiliki risiko mengalami desaturase selama
intubasi, yang mana dapat meningkatkan risiko dekompensai hemodinamik.
Medikasi dan ventilasi tekanan positif dapat menurunkan kerja kardiovaskular dan dapat
menimbulkan dekompensasi yang irreversible. Sehingga pemakaian obat-obatan dan VTP harus
hati-hati.
Pernapasan spontan yang tidak adekuat akan muncul terlambat pada shock. Kegagalan respirasi
pada pasien shock, terutama hipoventilasi mendadak (misalnya bradypnea atau apnea) sering
memperburuk cardiac arrest dan membutuhkan tindakan segera. Support repirasi perlu
dilakukan namun harus dikoordinasikan dengan support kadiovaskular. Pasien dengan penyakit
yang lebih ringan cukup diberikan suplementasi oksige atau BMV untuk mendukugng
preoksigenasi, dengan terus diberikan cairan kristaloid dan vasopressor untuk meningkatkan
status kardiovaskular.
3. Kondisi yang harus diantisipasi?
Pasien kritis yang mendapatkan resusitasi akan menunjukkan perlambatan disfungsi organ dan
shock, namun bisa saja diikuti dengan penurunan kondisi beberapa jam kemudian. Setelah
resusitasi dianggap berhasil bisa saja terjadi kegagalan respirasi akibat edema maupun usaha
nafas kumulatif. Penilaian kondisi pasien perlu sering dilakukan untuk memperhatikan status
respirasi. Meningkatnya kebutuhan oksigen dan usaha nafas akan memperburuk cedera paru
akut. Status hemodinamis mungkin saja terlihat normal namun secara drastic dapat menurun,
terlihat dari adanya malperfusi dan meningkatnya penggunaan vasopressor. Intubasi harus
dilakukan segera ketika penurunan mulai terjadi daripada menunggu hingga kegagalan
kardiovaskular dan repirasi terjadi.

Preeoksigenasi pada pasien tidak stabil

Preoksigenasi lebih sulit dilakukan pada pasien kritis karena ventilasi sopntan yang tidak efektif,
penurunan perfusi pulmoner dan ssitemik, tingginya ekstraksi oksigen, dan terbatasnya peralatan.
Meskipun saturasi haemoglobin bertanggung jawab atas konten oksigen dalam darah, namun oksigenasi
sistemik dipengaruhi oleh jantung, sehingga walaupun oksigenasi sudah optimal, saturasi sangat
bergantung dengan status kardiovaskular dan ekstraksi oksigen sistemik. Kondisi yang telah membaik
secara klinis malah dapat menjadi tanda kemunduruan dalam periode apneic normoxia untuk
memenuhi intubasi. Hiperkapnia selama intubasi juga dapat mengeksaserbasi asidemia, makin lama
makin meningkatkan risikonya.

Optimisasi hemodinamik

Pasien sakit kritis biasanya mengalami masalah dalam keseimbangan cairan sehingga
memperparah efek agen induksi dan tekanan positif intratorakik. Gangguan volume ini dipresipitasi oleh
berkurangnya volume (misalnya shock hemoragik), kelebihan volume (edema pulmoner nefrogenik),
abnormalitas vascular (Penurunan resistensi sistemik pada sepsis) atau disfungsi jantung (edema
pulmoner kardioegenik, kegagalan ventrikel kanan). Sehingga perlu pertimbangan khusus dalam
melakukan resusitasi berdasarkan patofisiologinya.

Akses intravena yang adekuat harus didapatkan agar resusitasi agresif dapat dilakukan. Respon
tubuh terhadap terapi dievaluasi, untuk melihat apakah pasien berespon, dan juga melihat adanya
overload cairan. Pada pasien yang menjalani resusitasi cairan dan tidak responsive setelah dievaluasi,
maka dapat diberikan obat vaspospressor. Pada pasien yang tidak stabil sebelum intubasi, maka infus
continues lebih dipilih untuk diberikan daripada infus bolus. Pada pasien yang berisiko tinggi mengalami
hipotensi postintubasi maka vasopressor harus disiapkan dan segera diberikan jika diperlukan.
Pasien-pasien dengan krisis hemodinamik perlu dimonitor secara ketat. Pengawasan terus-
menerus terhadap jantung dengan pengukuran tekanan darah noninvasif dilakukan paling tidak setiap 3
hingga 5 menit pada masa peri-intubasi. Monitoring juga perlu dilakukan pada masa preintubasi pasien
dengan risiko tinggi. Harus diingat bahwa tekanan darah tidak sama dengan aliran darah (cardiac output
dan delivery oksigen). Bradikardi progresif yang munculnya tidak berhubungan dengan hipoksia dan
laringoskopi merupakan tanda shock berat dan impending cardiac arrest.

Induksi

Obat yang digunakan untuk induksi bisa jadi pisau bermata dua, karena dapat membantu intubasi
namun memliki dampak kardiovaskular yang bisa memicu shock dan cardiac arrest. Pasien dengan
hypovolemia, vasodilatasi, dan gangguan jantung merupakan pasien yang memiliki risiko ketika
dilakukan manajemen airway.

Agen induksi memacu simpatolisis dan manipulasi pada laring juga dapat menghentikan reflex
simpatis. Opiod sering diberikan sebagai agen induksi preintubasi pada pasien dengan hipertensi
emergency, namun dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan ,kardiovaskular termasuk pada
shock terkompensasi. Semua obat yang bersifat menghentikan respon katekolamin termasuk obat
sedatif-hipnotik, menyebabkan turunnya tonus simpatik, sehingga terjadi vasodilatasi arteri dan vena.
Yang kemudian berakhir dengan menurunnya venous return dan hipotensi. Beberapa obat anestesi juga
menyebabkan depresi myocardial.

Penurunan venous return juga akan diperburuk oleh pemberian ventilasi tekanan positif,
sehingga pada beberapa pasien kritis, awake intubation dengan respirasi spontan lebih baik untuk
dilakukan. Obat induksi sedative memiliki efek simpatolisis yang sama namun berperan penting untuk
memfasilitasi RSI. Efek kardiovaskular bergantung oada dosis dan jenis agennya. Dosis obat pada pasien
dengan status hemodinamik normal bisa membahayakan pada pasien kritis. Hipotensi Frank atau shock
terkompensasi membutuhkan pengurangan dosis hingga setengahnya dari yang direkomendasikan.

Efek hemodinamik obat sedative-hipnotik bervariasi. Etomidate dan ketamine merupakan obat
yang paling stabil secara hemodinamik, namun tetap membutuhkan pengurangan dosis untuk pasien
dengan shock (etomidate 0.1-0.15/kg BB ata ketamin 0.5-0.75 mg/kg BB). Lebih baik untuk mengurangi
dosis daripada memberikan dosis yang berlebihan. Manajer airway juga harus mengantisipasi efek dari
penurunan dosis, yaitu onset obat yang lebih lambat.

NMBA memiliki risiko hemodiamik yang lebih rendah dan dapat diberikan dengan dosis normal.
Suksinilkolin dan rocuronium merupakan NMBA yang stabil secra hemodinamik. Pada pasien yang
teridentifikasi dengan difficult airway, awake intubation menggunakan flexible endoscope, yang
difasilitasi dengan anestesi topical dan sedasi yang sedikit (bahkan tidak digunakan sama sekali),
meruakan cara untuk mengatasi difficult airway dan juga untuk menghindari efek hipotensi agen
induksi. Intubasi dengna suksinilkolin saja tidak biasa dilakukan namun bisa saja dilakukan pada pasien
yang obtunded dengan shock berat, yang membutuhkan relaksasi untuk intubasi namun tidak dapat
mentolerir sedikit pun dosis agen induksi. Intubasi tanpa medikasi apapun hanya dapat dilakukan pada
pasien yag arrest dan sangat kritis. Namun, kedua situasi ini tetap memerlukan perhatia saat ventilasi
untuk meminimalisir efek negative kardiovakular akibat ventilasi tekanan positif.

Manajemen postintubasi
Ventilai mekanis

Setelah intubasi, ventilasi mekanis harus dilakukan dengan hati-hati, karena tekanan positif intratorakik
dapat mengurangi venous return ke jantung. Kondisi seperti tension pneumothorax dan auto PEEP
mengeksaserbasi tekanan intratorakik dan menimbulkan efek negative hemodinamik. Hiperinflasi
intensiona dapat menjadi hiperinflasi dinamik jika waktu ekspirasi tidak cukup untuk eleminasi secara
komplit volume tidal (VT). Hiperiflasi dinmaik ini akan menyebabkan tertahannya volume intratorakik,
yang menyebabkan auto-PEEP. Risiko hiperinflasi dinamik akan meningkat pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif, namun semua pasien berisiko mengalami auto-PEEP.

Setelah intubasi hiperventilasi sering terjadi terutama menggunakan bag ventilation manual. Hal yang
oenting untuk dilakukan adalah meyakinkan bahwa skiprasi terjadi dengan sempurna. Yang perlu
dilakukan adalah memberikan volume dengan tidak berlebihan (dengan merasakan pengembangan bag)
dan memperhatikan lajunya (dengan melakukan perhitungan 1, 2, 3, 4, 5, nafas, 1, 2, 3, 4, 5, nafas dam
seterusnya). Tindakan lain yang dapat dilakukan yaitu dengan mendengarkan suara nafas pasien. Ketika
suara nafas tidak terdengar, berarti ekspirasi sudah sempurna dan nafas berikutnya dapat diberikan.
Waktu yang pas akan menyediakan waktu ekspirasi yang cukup. Monitoring menggunakan grafik
ventilator time-flow bisa digunakan untuk konfirmasi tuntasnya 1 siklus nafas sebelum nafas beriktunya
terjadi.

Strategi ventilasi mekanis bergantung pada patofisiologinya. Lung-protective ventilation diberikan


volume tidal sebesar ≤7 mL/kg BB ideal untuk semua pasien.

Sedasi postintubasi

Benzodiazepine sering digunakan daripada propofol karena efek hipotensiya yang lebih baik, namun
titrasi dosis tetap penting untuk dilakukan. Pemberian opioid intermiten maupun continuous
merupakan pilihan pertama untuk sedasi post intubasi. Pada pasien yang tidak menjalani prosedur
invasif, maka sedasi ringan lebih dipilih untuk mempertahankan toleransi pasien terhadap intubasi
daripada sedasi yang dalam. Etomidate tidak boleh digunakan untuk sedasi postintubasi karena
berpotensi meningkatkan risiko supresi adrenal berat.

PIH sering terjadi tetap harus dianggap sebagai sesuatu komplikasi yang berbahaya. PIH terjadi pada ¼
pasien yang menjalani intubasi dan kasus yang berat terjadi pada 10% kasus (SBP< 70 mmHg). PIH
berhubungan dengan peningkatan kematian di rumah sakit. Eesusitasi hemodinmaik segera perlu
dilakukan sama seperti pada kasus yang tidak berhubungan denga manajemen airway.

Preoksigenasi Optimisasi hemodinamik Induksi Manajemen


postintubasi
Shock - Facemask + nasal - Bolus cepat cairan - Sedatif yang
hipovolemik kanul - Transfursi segera netral secara
- HFNC jika dibutuhkan hemodinamik
- Tekanan positif - Akses IV - RSI
akan
memperburuk
hipotensi hingga
resusitasi cairan
dilakukan
Shock septik - Facemask + nasal - Resusitasi cairan - Sedatif yang
kanul empiric netral secara
- HFNC - Penilaian dinamis hemodinamik
- NIPPV jika respon terhadap - RSI
pneumonia/ARDS cairan
- Berikan cairan jika
responsive
- Infus norepinferin
Tamponade - Facemask + nasal - Resusitasi cairan - Sedatif yang
cordis kanul - Penundaan netral secara
- HFNC intubasi, hemodinamik
- NIPPV prioritaskan dengan dosis
pericardiocentesis yang
jika dimungkinkan diturunkan
- RSI
Gagal - Facemask + nasal - Bedside USG - Sedatif yang
jantung kanul untuk penilaian netral secara
kanan - HFNC fungsi ventrikel hemodinamik
- NIPPV dengan kanan - RSI
PEEP rendah - Pemberian cairan
perlahan-lahan
- Pemberian
vasopressor
segera
- Vasodilator
pulmoner
Severe - Facemask + nasal - Alkalinisasi - Hindari
metabolic kanul dengan cairan NMBA jika
acidemia - HFNC intravena untuk menit
(MA) - NIPPV mencegah ventilasi
perburukan MA tinggi (> 30
- Drip insulin jika L/menit)
DKA
- Pertimbangkan
hemodialisis jika
terjadi toksisitas
terkait MA
Gagal nafas - Lebih dipilih - Penilaian dinamis - Sedatif yang
hipokesmia NIPPV respon terhadap netral secara
- HFNC cairan hemodinamik
- Facemask+nasal - Batas pemberian - RSI
kanul cairan intravena
- Infus
norepinephrine

Anda mungkin juga menyukai