Adat nan sabana adat adalah kenyataan yang berlaku tetap di alam, tidak pernah
berubah keadaan tempat dan waktu. Kenyataan itu mengandung nilai-nilai, norma, dan
hukum. Di dalam ungkapan Minangkabau dinyatakan sebagai adat nan indak lakang
dek paneh, indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak mati; atau adat
babuhua mati. Adat nan sabana adat bersumber dari alam.
Pada hakikatnya, adat ini ialah kelaziman yang terjadi sesuai dengan kehendak Allah.
Maka, adat Minangkabau tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu melahirkan
konsep dasar pelaksanaan adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, yakni adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah dan syarak mangato, adat mamakai. Dari
konsep itu lahir pulalah falsafah dasar orang Minangkabau yakni alam takambang jadi
guru.
Adat nan sabana adat menempati kedudukan tertinggi dari empat jenis adat di
Minangkabau, sebagai landasan utama dari norma, hukum, dan aturan-aturan
masyarakat Minangkabau. Semua hukum adat, ketentuan adat, norma kemasyarakatan,
dan peraturan-peraturan yang berlaku di Minangkabau bersumber dari adat nan sabana
adat.
Adat nan taradat adalah ketentuan adat yang disusun di nagari untuk melaksanakan adat
nan sabana adat dan adat nan diadatkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan nagarinya.
Adat ini disusun oleh para tokoh dan pemuka masyarakat nagari melalui musyawarah dan
mufakat. Dari pengertian itu lahirlah istilah adat salingka nagari.
Adat nan taradat disebut juga adat babuhua sentak, artinya dapat diperbaiki, diubah, dan
diganti. Fungsi utamanya sebagai peraturan pelaksanaan dari adat Minangkabau. Contoh
penerapannya antara lain dalam upacara batagak pangulu, turun mandi, sunat rasul, dan
perkawinan, yang selalu dipagari oleh ketentuan agama, di mana syarak mangato adaik
mamakaikan.
4. Adat Istiadat
Adat istiadat merupakan aturan adat yang dibuat dengan mufakat niniak mamak dalam
suatu nagari. Peraturan ini menampung segala kemauan anak nagari yang sesuai menurut
alua jo patuik, patuik jo mungkin. Adat istiadat umumnya tampak dalam bentuk
kesenangan anak nagari seperti kesenian, langgam dan tari, dan olahraga.
B. SUMPAH SATI BUKIK MARAPALAM
Kurang kepastian tahun tertulis sehingga tidak pula ada kepastian waktu, tempat, dan
pelaku peristiwa pencetusan piagam sumpah satie Bukik Marapalam yang pasti. Namun
masyarakat meyakini bahwa piagam sumpah satie Bukik Marapalam atau lebih populer
disebut sumpah satie Bukik Marapalam disepakati oleh para pemuka adat dan ulama di puncak
bukit itu masa perkembangan Islam di Minangkabau (selanjutnya ditulis Minang).
Konsensus itu didasari oleh sifat egaliter masyarakatnya. Piagam sumpah satie tersebut
diyakini berbunyi adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullahdisingkat dengan ABS-SBK
(adat bersendi agama Islam, Islam bersendikan Al Quran.).
Namun karena berbagai versi juga ada yang menyatakan konsensus pertama antara kaum
adat dan ulama berbunyi “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik” (adat bersendi agama
Islam, Islam bersendi adat).
Namun setidaknya apa yang ditulis oleh Buya Masud Abidin dapat memberikan
pencerahan kepada kita. Dibawah ini uraian tersebut kami ambil kutipannya dalam Blog
beliau sebagai berikut( Masud Abidin. 2015):
Ketidakpastian peristiwa itu dan hampir tidak adanya tulisan Belanda mengundang
munculnya beragam versi sejumlah peneliti, pemerhati agama dan adat di Minang. Bahkan
perhatian mereka tentang hubungan antara variabel adat dan agama dewasa ini juga
berkembang untuk kasus-kasus di luar dan dalam masyarakat Minang. Misalnya karya Hamka
(terbit pada pertengahan 1946) “Islam dan Adat Minangkabau”; karya Ratno Lukito (1998)
tentang Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia; sejumlah karya C. Snouck
Hurgronje; Taufik Abdullah; penelitian dan seminar yang didanai oleh Pemerintah Daerah
(Pemda) Tingkat I Sumatera Barat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Andalas
Padang tahun 1991.
Konsensus tersebut muncul sebagai sintesa dari proses dialogis antara kedua kaum itu.
Namun sintesa tersebut bukan untuk menyatukan ajaran Islam dengan adat Minang, tetapi
untuk saling melengkapi dan menyesuaikan. Periode kemunculan ABSSBK itu ialah antara
permulaan masuknya Islam sampai waktu masyarakat Minang menghadapi kolonial Belanda
hingga pasca perang Paderi, dan Belanda memanfaatkan kesempatan itu dengan menggunakan
pendekatan konflik.
Piagam sumpah satie tersebut adalah sebuah konsep dalam tataran ideologis dan dijadikan
sebagai falsafah atau pedoman dalam kehidupan sosial, budaya, agama dan politik masyarakat
Minang. Konsep tersebut relevan dengan Minang dalam konteks sosial-budaya, sehingga
falsafah itu berlaku untuk masyarakat Islam etnis Minang.
Falsafah itu hampir sama dengan falsafah di daerah lain seperti di Aceh yang
diekspresikan dengan“hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sifeut”(hukum adat dan
Islam tidak dapat dipisahkan, seperti zat dan sifat suatu benda), atau di Ambon dikenal “adat
dibikin di mesjid” (adat dibuat di dalam mesjid).
Sebagian besar masyarakat Minang meyakini perjanjian itu terjadi di puncak Bukit
Marapalam. Nama bukit itu awalnya sebuah istilah, berdasarkan foklor berasal dari kata
“Merapatkan Alam” yaitu merapat atau terhubung dengan alam Luhak nan Tigo.. Asumsi lain
tentang nama itu ialah rapat untuk mencari penyelesaian konflik kaum adat dengan ulama atau
antar ulama yang berbeda mazhab dan tariqat.
Puncak bukit tertinggi di Kabupaten Tanah Datar berada di puncak Bukit Marapalam,
dinamakan Puncak Pato. Nama itu berasal dari istilah fakto atau pakta (puncak untuk membuat
perjanjian). Asumsi lain ialah berasal dari kata patongahan(pertengahan) antara kedudukan
Tuanku Lintau di Lintau dengan Yang Dipertuan Agung Raja Pagarruyung di Pagaruyung.
Daerah tersebut strategis karena terletak di daerah perbukitan yaitu antara Kecamatan
Lintau dengan Kecamatan Sungayang. Kaum Paderi maupun pasukan PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia) menggunakan wilayah itu sebagai pertahanan gerilya.
Daerah tersebut relatif dekat dengan Luhak nan Tigo sehingga mudah memantau musuh jika
bergerak dari Nagari Sungayang, Tanjung, Andalas, dan Marabukit untuk menuju Bukit
Marapalam. Belanda sendiri pada masa perang Paderi sulit membobol pertahanan kaum
Paderi, sehingga Belanda harus mengerahkan sekitar 150 tentara untuk menaklukannya dan
merebut daerah tersebut. Daerah itu juga strategis untuk persediaan logistik, karena Lintau
dikenal sebagai penghasil beras di Minang. Selain itu daerah tersebut termasuk kekuasaan
Tuanku Lintau yang berkedudukan di Tepi Selo Lintau.
Beberapa versi di sini berdasarkan laporan penelitian dan seminar tentang Sumpah Satie
Bukik Marapalam (1991). Versi pertama tentang peristiwa kemunculan piagam sumpah satie
itu terjadi pada masa Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam di tengah-tengah kuatnya
pengaruh adat di alam Minang. Hamka (1984) bahwa evolusi perkembangan Islam (secara
tersirat ia memperkirakan masa Syekh Burhanuddin) masih berlaku konsensus pertama yaitu
“adaik basandi syarak, syarak basandi adaik”.
Ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang telah menyebarkan agama
Hindu ke Nusantara dari abad ke-7 hingga ke-13 M. Masuknya Islam pada masa itu
menimbulkan persaingan perdagangan sekaligus pengaruh untuk mengembangkan agama
masing-masing.Sebagaimana pernah terjadi persaingan sengit antara angkatan Laut Sriwijaya
dengan pedagang Islam di Malaka. Pedagang muslim Arab dan Parsi akhirnya menuju pesisir
timur dan barat Sumatera. Kemudian akibat ‘perkawinan politik’ antara saudagar Islam
dengan putri kerajaan setempat, maka terbentuklah kerajaan Islam Perlak dengan sultan
pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut Islam Syiah (840 M-888/913
M). Namun akhirnya di Perlak juga berkembang aliran Sunni.
Sriwijaya kembali menyerang Perlak namun kemudian dimenangkan oleh Perlak. Setelah
itu Perlak dipimpin oleh seorang Sunni yaitu Sultan Makhudum Alaiddin Malik Ibrahim Syah
Johan berdaulat (1006 M). Sriwijaya kemudian berhadapan dengan Kerajaan Darma Wangsa
di Pulau Jawa, setelah itu dengan Majapahit, dan Majapahit menang sejak tahun 1477 M.
Seluruh Pantai Timur Minang jatuh ke tangan Majapahit sampai akhirnya Majapahit lemah
setelah raja Hayam Wuruk meninggal. Semenjak itu pula kerajaan Pagarruyung diperintah
oleh putera mahkota pertama Majapahit keturunan Kertanegara dan Dara Petak dari Minang,
yaitu Adityawarman.
Sementara itu tahun 1400 Malaka dan Samudera Pasai, masing-masingnya menjadi kota
dagang dan kerajaan Islam. Pengaruh Islam berkembang sampai ke Pantai Barat Minang.
Akan tetapi, dinamika perkembangan dakwah Islamiyah agak lamban di sana, sebab sering
terjadi pertentangan mazhab Syiah dengan Sunni di Aceh dan masalah perebutan Selat
Malaka.
Terutama setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang meninggal,
raja melimpahkan kekuasaannya kepada raja-raja muda yang disebut rajo kaciak (raja kecil)
dan (atau) penghuludi rantau. Raja (kingship) berbentuk kuasa tiga serangkai (trium virate),
disebut juga Rajo Tigo Seloyang bersemayam di Pagarruyung di Luhak Tanah Datar. Mereka
adalah Rajo Alam (sebagaiprimus inter pares dari ketiga kuasa itu), namun yang lainnya yaitu
Rajo Adat dan Rajo Ibadat sesungguhnya berkedudukan dan mempunyai daerah masing-
masing di Buo dan di Sumpur Kudus.
Kekuasaan tiga serangkai itu diperkuat oleh dewan menteri yang disebut Basa Ampek
Balai.Sistem tersebut dicontoh dari Kerajaan Majapahit yang pernah dipimpin hanya oleh
Patih Gdjah Mada sendiri. Mereka adalah Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari
Padang Ganting, Mangkudum dari Suruaso dan Indomo dari Sumanik. Kuasa mereka
diperkuat pula oleh Tuan Gadang dari Batipuh untuk urusan pertahanan.
Sebelum kerajaan Pagaruyung diruntuhkan Belanda, dalam tahun 1821 Sultan Begagar
Alamsyah telah mempermaklumkan kepada seluruh rakyat di Minangkabau untuk angkat
senjata, perang melawan penjajah Sejak itu perang Paderi telah berubah bentuk menjadi
perang Minangkabau.
Sesungguhnya kesepakatan antara kaum adat dan kaum agama sudah terlaksana, sebagai
realisasi dari piagam Bukik Marapalam dan Kesepakatan Tandikat.Jauh sebelum perang
Paderi, pernah tercatat tahun 1411 M raja Pagarruyung keempat Dewang Pandan Sutowono
(Raja-raja Pagarruyung yaitu Adityawarman, Anggawarman_anaknya, Dewang Duato
Doewano_ keponakan pertama, Dewang Pandan Sutowono_ keponakan kedua) dan
permaisurinya sudah memeluk Islam dan mereka berguru kepada Tuanku Syekh Magribi atau
dikenal juga Syekh Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim).
Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam dengan adat setempat.
Kemudian datanglah Syekh Burhanuddin yang bernama asli Pono. Ia berguru kepada
Syekh Abdurrauf di Aceh. Ia berdakwah ke Minang dengan membuka sekolah agama seperti
di Ulakan Pariaman dan di Kapeh Kapeh Pandai Sikek Padangpanjang yang ramai dikunjungi
oleh murid dari Luhak nan Tigo. Ia juga berusaha memurnikan ajaran Islam dari pengaruh
budaya Hindu-Budha seperti minum tuak, menyabung ayam atau berkaul ke tempat keramat.
Istana Pagarruyung juga menjadi sasarannya dan ia berhasil. Keberhasilan itu membuat dia
dikenal sebagai ulama besar di Minang.
Masa itu sempat terjadi perbedaan pendapat antara penghulusendiri, dan di antara yang
tidak setuju itu kemudian menentang ulama. Namun kesepakatan damai tercipta antara
paraPenghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang.Kesepakatan itu bertujuan untuk saling
mengakui eksistensi ulama dengan penghulu, sehingga ulama bukan bawahan Penghulu
seperti panungkek, mantidan dubalang,
Para kaum adat dan ulama yaitu Syekh Burhanuddin sebagai penggagas piagam sumpah satie
tersebut dengan dua muridnya (salah satu muridnya Idris Majolelo) bersama penghulu Ulakan
menemui Yang Dipertan Agung Pagaruyung.
Seterusnya mereka bersama Rajo nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai melakukan
upacara pemotongan kerbau. Mereka memakan dagingnya, dikacau(menebarkan) darahnya,
ditanam tanduknya,dilacak pinang danditapung batu, ‘diikat’ dengan Al Fatihah, dikarang
sumpah jo satie, siapa yang melanggar akan dimakan biso kawi di atas dunia, dimakan kutuk
Kalammu`llah pada akhirat dan disudahi dengan doa selamat.
C. NILAI-NILAI FILOSOFI ABS SBK
Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun. Saciok bak ayam, sadanciang bak
basi. Mandapek samo balabo, kahilangan samo marugi, dan lain-lainnya yang semakna
tentang arti tolong menolong dan kerjasama. Hal-hal tersebut di atas erat kaitannya dengan
pesan-pesan Allah SWT di dalam Alquran tentang betapa pentingnya mewujudkan
kebersamaan, persatuan dan kekompakan serta menjauhi perpecahan dan cerai berai,
seperti firman Allah berikut: Dan berpegangteguhlah kamu dengan tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai... (QS. Ali Imran:103). Dan, barangkali inilah pula yang
terangkum dalam pepatah adat yang mengingatkan, bahwa duduak surang ba sampik-
sampik, duduak basamo ba lapang-lapang dengan muatan makna yang dalam, dan dalam
arti yang seluas-luasnya. PERANAN TUNGKU NAN TIGO SAJARANGAN Tungku nan
Tigo Sajarangan adalah tiga unsur pimpinan atau elit tradisonal Minangkabau yang saling
melengkapi dalam mempertahankan dan meningkat kualitas serta penerapan ABS-SBK
dalam kehidupan seharihari masyarakat. Mereka terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama
dan Cadiak Pandai. Masing-masing elit ini memiliki wewenang atau otoritas dibidang
masing-masing secara fungsional, walaupun tidak secara ketat, mengingat kemampuan
mereka dalam bidang adat, agama dan ilmu pengetahuan sebagai wilayah wewenang
mereka saling tumpang tindih dan saling mengisi. Dalam arti,bahwa seseorang karena
status yang disandangnya, dia adalah ninik mamak. Karena itu wewenangnya ada pada
bidang adat. Tetapi, karena dia berpendidikan dan berwawasan luas, dia adalah juga
cadiak pandai, dan begitu sebaliknya, seorang ulama, dia adalah juga datuk, atau
sebaliknya. Karena itu, pembagian itu hanyalah untuk memperlihatkan peran utama
masing-masing unsur. Selanjutnya dapat dilihat secara sepintas perang masing-masing elit
tersebut secara sederhana, seperti berikut: 1. Ninik Mamak Ninik Mamak adalah salah satu
unsur elit yang berperan menjaga dan mempertahankan nilai-nilai ABS-SBK di nagari-
nagari di Minangkabu serta meningkatkannya secara berkesinambungan dari generasi ke
generasi. Peranan mereka seperti tergambar dalam falsafah adat seperti pepatah berikut:
Baringin gadang di tangah koto Ureknyo tampek baselo Batangnyo tampek basanda
Ureknyo tampek baselo Dahannyo tampek bagantuang Daunnyo tampek bataduah Kapai
tampek batanyo Kapulang tampek babarito Tempat berpijak seorang penghulu ninik
mamak adalah berdasarkan undang-undang dan hukum adat. Sudah menjadi tugas
penghulu menurut alua jo patuak, jalan nan pasa, mamaliharo harato pusako serta
membimbing anak kemenakan dalam arti luas. Artinya, seorang penghulu itu bertugas
memelihara, menjaga, serta menjalankan seluk beluk adat.tidak saja bertanggungjawab
terhadap kaum dan kemenakannya, tapi, sekaligus juga terhadap pelksanaan nilai-nilai
ABS-
D. KENDALI DIRI
1. Sumbang 12
Minangkabau adalah salah suku bangsa yang secara geneologis memakai sistem
kekerabatan matrilineal. Sistem matrilineal termasuk unik di dunia. Hanya ada lima
suku bangsa yang memakai sistem penarikan garis keturunan melalui ibu ini. Adalah
suku bangsa Indian di Apache barat, suku Khasi di India timur laut, suku Nakhi di
Tiongkok, suku Trobrian di Papua Nugini dan suku Minangkabau di Sumatera Barat.
Matrilineal berasal dari bahasa latin, yaitu mater yang berarti ibu, dan linea yang
berarti garis. Jadi, matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak
ibu.
Secara umum, sistem matrilineal juga memberikan legalitas kepada perempuan untuk
berkuasa (matriakat). Oleh sebab itu sistem adat matrilineal tidak hanya pada
penarikan garis keturunan berdasarkan garis ibu, akan tetapi kekuasaan juga berada di
tangan perempuan.
Berdasarkan falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (ABS SBK),
maka bagi orang Minangkabau, menghormati perempuan sama halnya dengan
menjalankan perintah agama Islam. Dalam Islam, perempuan sangat dihormati,
perempuan adalah ibu yang melahirkan kita, ganerasi di masa lalu, sekarang dan yang
akan datang.
Sedangkan berdasarkan status sosialnya sebagai seorang ibu, maka wanita disebut
juga dengan mande, ande atau mandeh. Sedangkan yang dituakan diantara mereka dan
ditunjuk dengan mekanisme adat, disebut juga dengan mande soko. Mande Soko
(terkadang juga disamakan dengan Bundo Kanduang) memegang peranan penting
dalam menjaga marwah suku atau kaumnya dalam kehidupan masyarakat. Ia dipercaya
dalam mengawasi, mengatur segala sesuatu yang terkait dengan tugas wanita secara
adat. Ia adalah sumber teladan dan panutan dalam menjaga sikap dan prilaku generasi
penerusnya terutama wanita.
Bagi orang Minang, wanita adalah simbol yang terhormat dan harus dijaga. Malu
seorang wanita idealnya adalah malu suku atau kaumnya itu sendiri. Sekaitan dengan
ini, Parpatih (2002) menggambarkan keadaan tersebut sebagai berikut.
Hino mulia suatu kaum tagantuang dek nan padusi. Tuak parang bisa badamai, tikam
bunuah dibari maaf, rabuik rampeh dilimaui. Tapi, kok padusi diagiah malu, jando
diguguang urang tabang, gadih tapakiak dalam samak, mako tatutuiklah sagalo pintu
damai, tasintak sagalo kaum, jago suku, bangun dubalang, disiko nan cadiak
kabapakaro, nan bagak kamalalahan, nan kayo tajun jo harato. Pendeknyo, malu masti
tabangkik. Kama hanyuik kama dipinteh, walau ka dalam lauik basah. Dima hilang
dima dicari, bia ka suduik-suduik bumi. Tak lalu dandang di aia, di gurun kaditajakan,
jiko ndak mungkin di nan lahia, di batin dilaluan.
Maksudnya:
Hina mulianya suatu kaum tergantung oleh wanita. Kalau berperang bisa berdamai,
kasus pembunuhan bisa diberi maaf dan seterusnya. Akan tetapi kalau wanita yang
sudah diberi malu, akan membuat malu kaum dan suku. Maka semua unsur akan ikut
terlibat menyelesaikannya.
Suku bangsa Minangkabau memiliki sitem nilai, norma, atau kearifan lokal (local
wisdome) dalam menjaga kehormatan seorang wanita atau perempuan. Sistem nilai
tersebut dikenal juga dengan istilah “Sumbang Duobaleh” (Sumbang Duabelas).
Sumbang Duobaleh adalah panduan untuk mengatur tingkah laku seorang wanita, agar
tidak menyimpang dari kodrat dan status sosialnya di dalam masyarakat. Sumbang,
jangga atau cando, adalah perbuatan yang kurang baik dan harus dihindari oleh wanita
di Minangkabau karena akan mendatangkan malu bagi suku dan kaumnya. Wanita
yang sering melakukan Sumbang Duobaleh dianggap sebagai wanita yang tidak sopan
atau dalam istilah Minang indak bataratik.
Seringnya wanita melakukan prilaku sumbang akan membuat dia terjatuh kedalam
prilaku salah yang akan menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai wanita
terhormat. Dua belas prilaku sumbang yang harus dihindari oleh wanita Minangkabau
tersebut adalah (1) sumbang duduak, (2) sumbang tagak, (3) sumbang bajalan, (4)
sumbang kato, (5) sumbang caliak, (6) sumbang makan, (7) sumbang pakai, (8)
sumbang karajo, (9) sumbang tanyo, (10) sumbang jawek, (11) sumbang bagaua, dan
(12) sumbang kurenah.
Sumbang Duobaleh secara umum mengatur wanita dalam berprilaku dalam kehidupan
sehari-hari. Jika prilaku sumbang ini dapat dihindari, maka seorang wanita dapat
dipandang baik dan dihormati di dalam suku dan kaumnya. Seperti yang dikatakan
dalam pepatah adat :
Budi baiak baso katuju, muluik manih kucindan murah. Dibagak urang ndak takuik,
dikayo urang ndak arok, dicadiak urang ndak ajan, dirancak urang ndak ingin, di budi
urang takanai. Sasuai bak bunyi pantun, Babelok babilin-bilin, dicapo tumbuahlah
padi, dek elok urang tak ingin, dek baso luluahlah hati. Nan kuriak Lundi , nan merah
sago, nan baiak budi, nan indah baso.
Maksudnya:
Budi dan bahasa yang baik akan disukai orang. Walau pemberani orang tidak takut,
walau kaya orang tak meminta, walau pintar orang tak hormat, walau cantik orang tak
suka. Akan tetapi dengan budi dan bahasa baik orang akan tertarik.
Beberapa contoh prilaku sumbang tersebut antara lain adalah, sumbang wanita itu
duduk bersila (baselo) seperti laki-laki. Idealnya wanita itu duduknya bersimpuh
(basimpuah). Sumbang bagi wanita duduk berdua-duaan dengan laki-laki yag bukan
muhrimnya ditempat yang sepi. Sumbang bagi seorang wanita berdiri di pinggir jalan
sendirian tanpa ada tujuan yang jelas. Sumbang bagi wanita jika memakai pakaian
sempit yang membentuk lekuk-lekuk tubuhnya. Sumbang bagi perempuan berjalan
sendirian, berjalan tergesa-gesa dan berjalan di depan laki-laki. Sumbang bagi wanita
berbisik-bisik di depan orang ramai. Sumbang bagi wanita berkata kasar, dan lain-
lainya.
Sepertinya apa yang diungkapkan oleh Soekanto (1990), dalam bukunya “Sosiologi
Suatu Pengantar”, ada benarnya. Ia mengatakan bahwa, “perubahan-perubahan
masyarakat dapat mengenai nilai –nilai sosial, norma-norma, pola-pola prilaku
organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, kekuasaan dan wewenang, interaksi
sosial dan sebagainya.”
Derasnya kemajuan teknologi dan informasi telah hampir menggantikan ruang-ruang
public kedalam ruang-ruang maya dan telah membentuk komunitas yang besar secara
fungsional (lihat tulisan saya, Ummat Smartphone). Melalui internet, media sosial dan
sebagainya telah membawa perubahan sosial (social exchange) di tengah kehidupan
masyarakat.
Perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Ia akan berdampak
kepada kebudayaan suatu suku bangsa. Ia bisa berbentuk akulturasi yang berujung
kepada reorientasi nilai, atau ia bisa pula berbentuk asimilasi yang mengikis habis
identitas asli kedalam bentuk lain sebagai budaya baru dan dipraktekkan secara massal
pada komunitas tertentu. Nah, hal ini akan menghilangkan identitas sosial masyarakat
dalam suatu komunitas budaya yang homogen. Hilangnya idenditas kelompok ini
terkadang tanpa disadari oleh masyarakat pendukung suatu kebudayaan. Perubahan
pola prilaku individu (personal attitude) akan mengakibatkan perubahan prilaku
kelompok (comunal attitude). Pada akhirnya, lemahnya kontrol sosial (social control)
yang mengakibatkan terjadinya pembiaran telah mempercepat proses degradasi
identitas, nilai dan budaya masyarakat.
Sumbang Duobaleh sebagai sebuah sistem nilai, akhir-kahir ini kembali ramai
diperbincangkan. Ia menjadi topik yang selalu hangat di meja-meja diskusi di kalangan
akademisi, seminar, workshop, artikel, makalah, dan bahkan ciloteh (bicara lepas,
biasanya di lapau) di program televisi. Nampaknya ada ketertarikan dan kecendrungan
untuk kembali mempelajari dan mengkaji kearifan lokal tersebut. Ada keinginan untuk
menghidupkan kembali romantisme masa lalu ditengah hantaman globalisasi.
Tidak dapat dipungkiri, prilaku wanita di Minangkabau saat ini sudah mulai bergeser
mengikuti tren atau perkembangan zaman. Apa yang dianggap baru atau “modern”
secara perlahan telah menggerus nilai-nilai “tradisional” yang sudah ada sebelumnya.
Saat ini wanita di Minangkabau banyak yang tidak tahu lagi dengan Sumbang
Duobaleh. Prilaku wanita, terutama (gadih) bukan sekedar sumbang (janggal) akan
tetapi sudah ada yang salah menurut norma adat.
Sebagai generasi milenial, anak gadih Minang saat ini lebih cepat mengetahui,
menerima dan mencontoh nilai-nilai baru, tren-tren baru terkait dengan gaya hidup,
mode, makanan, tokoh idola dan lain sebagainya. Mereka sangat mudah menemukan
semua itu melalui gadget canggih yang ada di tangannya. Sebut saja Facebook,
WhatsApp, IG, Tweeter, Line dan sejenisnya telah menjadi ruang baru dalam
berkomunikasi. Hubungan melalui medsos itu terjadi antara individu dengan individu
yang dikenal dengan istilah chat, japri dan bahkan bicara langsung yang dikenal
dengan istilah VC. Hubungan antara individu dengan kelompok dengan identitas yang
sama juga dapat dwngan mudah terealisasi melalui grup-group yang beragam di sosial
media.
Mudahnya akses informasi secara global telah memberikan andil besar dalam
perubahan prilaku wanita atau gadih Minang saat ini. Mereka lebih mahir
menggunakan jari-jarinya dalam mengusap smartphone dibandingkan menghapal dan
memahami Sumbang Duobaleh sebagai kontrol mereka agar tetap menjadi wanita
terhormat dan bermartabat. Lemahnya kontrol sosial pada wanita baik dalam keluarga
inti (nuclear family) maupun dalam keluarga luas (extended family) kelihatannya juga
menjadi pendorong maraknya prilaku sumbang dan salah tersebut.
Masih jelas dalam ingatan kita, kasus dua orang penari streaptise yang ditangkap oleh
jajaran satpol PP pada September tahun 2011 disebuah cafe di Padang. Pada tahun
2015, 10 pasang ABG juga ditangkap berbuat mesum di beberapa hotel melati di kota
padang. Dan yang paling spektakuler adalah berita penangkapan 48 pasangan mesum
pada malam pergantian tahun 2018 ke tahun 2019. Mereka ada yang ditangkap di
hotel, tempat kos, dan bahkan ada yang tertangkap di parkiran SPBU (detik news,
Edisi: 1 januari 2019). Mengkhawatirkan memang, apabila hal ini tidak ditangani
secara bijak dan arif maka akan berdampak pada prilaku-prilaku menyimpang,
kekerasan seksual, dan penyakit masyarakat lainnya.
Idealnya, secara struktural dan fungsional sudah ada mekanisme yang terbentuk
secara alamiah dalam mengontrol prilaku sosial dalam masyarakat. Di Minangkabau
dikenal dengan istilah “Tungku Tigo Sajarangan, tali tigo sapilin”. Ini merupakan
istilah untuk tiga orang unsur pemimpin yang sangat menentukan dalam sitem nilai
dan norma yang mengatur aktivitas sosial masyarakat.
Tiga unsur itu adalah Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai. Masing-masing
mempunyai fungsi sosial berdasarkan status sosial mereka di tengah masyarakat. Ninik
Mamak, adalah laki-laki yang dituakan secara adat, berdasarkan tingkatanya biasa
disebut dengan Mamak Kapalo Warih (mamak kepala suku), mamak kapalo kaum,
mamak kapalo paruik dan penghulu sebagai pimpinan tertinggi satu suku. Cadiak
Pandai adalah laki-laki yang dianggap memiliki ilmu dan wawasan yang sangat luas
dalam berbagai aspek kehidupan. Dan Alim Ulama adalah laki-laki yang dituakan dan
memiliki kemampuan yang cukup dalam dalam hal keagamaan. Sedangkan Mande
Soko dan Bundo Kanduang juga termasuk orang yang dituakan secara adat dan
berperan dalam mendidik generasi penerus dan hal-hal lain yang terkait status dan
peran sosial wanita secara adat.
Akan tetapi, realitas yang ada sekarang menunjukkan sistem nilai itu sudah bergeser,
jangankan menghukum perbuatan yang salah, untuk menegur perbuatan yang sumbang
saja, seolah berat untuk melakukannya. Kenapa?? Tentu berbagai macam pula
alasannya. Bisa jadi karena merasa bukan dia yang pantas menegur, karena status
sosial yang rendah, kekurangan ilmu atau bisa karena cuek dan tidak mau tahu.
Apalagi, kalau ibu, bapak dan mamaknya, yang secara adat memiliki tanggung jawab
penuh, tidak mempermasalahkan prilaku sumbang atau salah yang dilakukan oleh anak
dan kemenakannya tersebut.
Agaknya perubahan sosial dan kultur masyarakat Minangkabau yang terbuka (open
society) telah menggeser eksistensi pranata sosial yang ada sebagai sebuah regulasi
ideal bagi masyarakat. Peran Ayah, Ibu dan Ninik Mamak secara adat semakin
melemah. Padahal mereka adalah orang terdekat dalam hal pewarisan kebudayaan dan
sosial kontrol dalam keluarga inti dan keluarga luas.
Jika ini dibiarkan, maka badai globalisasi yang membawa nilai yang berbeda dan
tidak cocok dengan budaya Minangkabau akan mengikis seluruh sistem sosial yang
ada. Pembiaran akan hal ini akan berdampak pada degradasi budaya Minangkabau.
Alangkah banyaknya nanti generasi-generasi muda yang kehilangan jati diri dan
menjadi wanita yang tidak tahu sopan santun atau disebut juga dengan gadih nan indak
bataratik.
Peran cadiak pandai dan alim ulama sebagai duo tungku penyangga lainnya dalam
sistem nilai budaya Minangkabau, juga tidak boleh melemah dan harus tetap diberikan
penguatan.
Selanjutnya penguatan keluarga inti (nuclear family), keluarga luas (extennded
family). Penguatan pranata pendidikan formal dan non formal sebagai lembaga
edukasi kultural. Penguatan pemangku adat di nagari, dalam hal ini “urang ampek
jinih, dan urang bajinih ampek” (orang empat jenis dan orang berjenis empat). Yaitu
Penghulu, Malin, Manti dan Dubalang. Serta empat orang perangkat Malin dalam
menjalankan tugas keagamaan, yaitu Bilal, Khatib, Imam dan Khadi. Serta penguatan
Mande Soko dan Bundo Kanduang.
2. Sopan Santun
Proses integrasi seseorang dengan orang lain dalam pergaulan di Minangkabau sering
diumpamakan dengan suatu “jalan”. Untuk membentuk keharmonisan dalam
kehidupan perlu dipedomani 4 jalan pergaulan, yaitu :
a. Jalan mendaki adalah tata cara seseorang dalam bersikap, bertingkah laku kepada
orang yang lebih tua atau dituakan, seperti anak kepada orang tuanya, murid kepada
gurunya, kemenakan kepada mamaknya, adik kepada kakaknya. Contoh : apabila kita
berjalan, seiring dengan orang yang lebih tua dan ingin mendahului mereka mintalah
izin terlebih dahulu. Menurut format pergaulan, seseorang yang lebih muda harus
menghormati yang lebih tua atau dituakan seperti petitih menyatakan “bakato di
bawah-bawah, manyauak di hilie-hilie”.
b. Jalan menurun adalah sikap sopan santun dari yang tuda terhadap yang lebih muda
seperti sebaliknya contoh di atas mengatakan.
“jalan manurun ta antak-antak, ingek-ingek nan di bawah kok tasingguang, jago kato
kok manganai”
Perlu diperhatikan, hindarkan menghardik menghantam tanah “mangareh bakato
surang”.
Perhatikan juga petitih berikut ini :
“ingek-ingek nan di ateh, nan di bawah kok maimpok, tirih kok datang dari lantai,
galodo kok tibo dari muaro”.
Pedoman penting bagi atasan/yang dituakan bahwa jangan terlalu cepat emosi, jangan
mencaci maki, jangan mengajari anak buah/murid yang bersifat pribadi di tempat
ramai (sifat utama bagi yang tua adalah “bapandang lapang, ba alam laweh, bahati
lapang paham salasai” perhatikan juga pituah berikut ini :
“nak tinggi naiakkan budi, nak mulie tapek-i janji, nak taguah paham dikunci”.
c. Jalan mendatar, ialah tata cara pergaulan sesama besar, baik dipandang dari usia maupun
status. Dalam pergaulan sama besar perlu diingat “saling menghargai” dipakai kata merendah,
dijauhi kata yang kasar. “muluik manih kucindan murah, budi baik baso katuju, lamak bak
santan jo tanguli, pandai bagaua samo gadang, ingek runding kok manganai, jago sandiang
kok malukoi”. Dalam pergaulan sama besar/ dengan teman sering timbul perselisihan karena
masing-masing merasa lebih kuat. Oleh sebab itu pergaulan yang memerlukan perhatian lebih
adalah di kelompok ini, apalagi dalam usia remaja, usia rawan.
d. Jalan melereng adalah sopan santun melalui kiasan, pantun, mamang, bidal, pepatah-petitih.
Ucapan atau kata kiasan dipergunakan dalam pergaulan “segan menyegani” umpama dengan
ipar, besan, mamak rumah, sumando. Dalam pergaulan sehari-hari penggunaan kata kiasan ini
memerlukan kearifan menanggapinya. Arif dan bijaksana dalam adat disebut “kato bayang”
seperti contoh “alun bakilek, alah bakalam, bulan di sangko tigo puluah, takilek ikan dalam
aie, ikan takileh jalo tibo, lah tantu jantan bantinonyo”.
E. UNGKAPAN TRADISIONAL (KIEH)
Saat ini generasi muda di Minangkabau sudah banyak yang kurang mengerti dengan
kieh jo kato. Di keluarga kita saja, menghardik anak sebuah solusi ketika kieh jo kato tidak
lagi menjadi senjata ampuh untuk menyelesaikan suatu masalah. Padahal kieh jo kato ini
merupakan salah-satu metode dalam mendidik yang bertujuan membentuk karakter orang
Minangkabau dengan berdasarkan falsafah alam takambang jadi guru. Kieh adalah cara
menyampaikan sesuatu dengan tidak berterus terang atau menggunakan perumpamaan,
bisa dengan sindiran yang bersifat pujian maupun cemoohan. Navis (1984) dengan
menariknya menjelaskan bahwa kieh juga dikenal dengan istilah sindia, hereanggendeang,
dan kato malereang. Penggunaan kieh biasanya menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi
sehingga orang yang diajak berkomunikasi tidak merasa direndahkan. Sedangkan kato
adalah cara menyampaikan sesuatu dengan berterus terang atau terbuka akan tetapi tetap
memperhatikan pemilihan kata-kata yang digunakan.
Sebagai orang Minangkabau, dalam berbahasa sudah seharusnya mengerti akan kieh
jo kato seperti ungkapan tau di kieh kato sampai. Di dalam berinteraksi antara sesama
dengan melakukan sebuah komunikasi, tentu terdapat adab sopan santun dalam berbahasa
agar interaksi tersebut dapat berjalan dengan baik. Jika dalam berinteraksi, komunikasi
yang digunakan tidak sopan, maka bisa dibayangkan akan terjadi kesalahpahaman yang
bukan tidak mungkin berujung pertumpahan darah. Oleh karena itu sangat perlu
diperhatikan dengan siapa kita berkomunikasi, dalam situasi apa dan dengan pemilihan
bahasa yang tepat. Hal ini dilakukan agar maksud yang akan disampaikan dalam
berkomunikasi dapat tersampaikan dengan baik.
Penggunaan bahasa kieh pada orang Minangkabau sangat tertata rapi dalam ragam
bahasa adat. Hal ini terlihat dalam setiap penyelenggaraan prosesi adat baik itu kelahiran,
perkawinan, penobatan gala sampai pada prosesi kematian. Penggunakan kieh berlaku di
semua daerah di Minangkabau dan dapat dilihat pada petatah petitih, pidato adat atau
nasehat yang diungkapkakan dalam setiap rangkaian prosesi tersebut.
Oktavianus dan Ike Revita (2013: 130) mengungkapkan bahwa orang Minangkabau
yang menggunakan bahasa kiasan (kieh) menggambarkan sebagai masyarakat yang
memiliki budaya yang bersifat dinamis, terbuka dan fleksibel. Penggunaan metafora dalam
kieh menunjukkan kesantunan yang mampu menjaga harga diri masing-masing pihak agar
terhindar dari konflik. Biasanya konflik terjadi berawal dari kesalahpahaman dalam
pemakaian bahasa. Oleh karena itu masyarakat Minangkabau dalam berkomunikasi sangat
dianjurkan untuk berhati-hati seperti ungkapan bakato siang caliak-caliak, bakato malam
danga-dangaan.
Kieh sangat dikenal dalam sastra Minangkabau, dan juga berlaku dalam ruang lingkup
kebudayaan Minangkabau secara luas. Hal ini sesuai dengan falsafah yang dianut oleh
orang Minangkabau yakni alam takambang jadi guru. Alam menjadi sumber inspirasi dan
berperilaku dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu gambaran alam
akan menjadi perumpamaan yang sangat tepat bagi orang Minangkabau yang hidupnya
sangat bergantung dengan alam.
Karakter
Karakter seseorang dibentuk semenjak usia dini. Oleh karena itu apabila yang ditanam
kebaikan maka akan menuai kebaikan kelak di masa pertumbuhan dan perkembangannya
menuju kedewasaan. Thomas Lickona (1991) mengungkapkan bahwa kualitas karakter
suatu masyarakat dicirikan dari kualitas karakter generasi mudanya. Hal ini bisa menjadi
indikator penting apakah suatu bangsa bisa maju atau tidak. 10 tanda dari karakter
generasi muda yang perlu dicemaskan karena akan mendatangkan kehancuran salah
satunya yakni penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk.
Penananam karakter yang berkualitas menjadi sangat penting dilakukan sejak usia
dini. Terlebih dengan semakin kuatnya arus globalisasi yang sulit untuk dibendung.
Tempat pendidikan karakter yang paling pertama dan utama adalah keluarga. Perihal ini
berkenaan dengan pentransferan kieh jo kato. Pentransferan kieh jo kato tersebut memiliki
metode, begitu juga dengan orang Minangkabau sebagai penganut matrilineal.
Metode kieh jo kato dalam pendidikan masyarakat matrilineal sudah diajarkan nenek
moyang masyarakat Minangkabau. Metode ini bertujuan dalam menyampaikan pesan-
pesan yang bernilai edukatif dari seorang mamak, ibu dan anggota kerabatnya. Kieh jo
kato yang bersumber dari alam menjadi pedoman masyarakat dalam memupuk ketajaman
berfikir yang membentuk karakter seseorang. Ungkapan-ungkapan kieh dapat bernilai
positif seperti ibaraik ilmu padi, makin barisi makin tunduk (ibarat ilmu padi, makin berisi
makin tunduk). Kieh ini mengajarkan agar orang-orang yang tinggi ilmunya tidak menjadi
orang yang sombong [Jamna,?].
Kieh yang diajarkan dalam sistem matrilineal orang Minangkabau salah satunya
alasan menjadi penting adalah dikarenakan sistem keluarga luas yang dianut. Adanya pola
hubungan kekerabatan ipa bisan, anak kemenakan, minantu mintuo, dimana hubungan
yang tercipta jika tidak disikapi dengan baik akan mudah menimbulkan konflik. Begitu
juga sebaliknya, jika anggota keluarga luas semakin bisa menyikapi dengan ketajaman
berfikir dari kesopanan berbahasa dalam menggunakan kieh jo kato maka akan
menciptakan hubungan keluarga yang harmonis. Meskipun kieh yang akan disampaikan
tujuannya untuk menyindir atau bahkan mencemooh pihak lain, akan tetapi dengan
penyampaian menggunakan kieh maka tidak akan secara langsung membuat emosi
seseorang tidak terkendali dikarenakan merasa direndahkan. Itulah keistimewaan
penggunaan bahasa kieh yang menjadi kebanggaan budi bahasa, terutama orang
Minangkabau.
Berbeda halnya dengan metode kato yang menyampaikan pesan atau maksud dengan
menggunakan kata-kata secara langsung berterus terang. Aggota keluarga luas juga
menerapkan pendidikan karakter dengan keterbukaan atau jujur. Jika ada suatu pesan yang
disampaikan maka akan diungkapkan tidak menggunakan kieh. Penggunaan kato harus
memperhatikan kepada siapa ditujukan, dimana tempat menyampaikan dan situasi dalam
penyampaian kato tersebut. Hal ini dikarenakan akan berdampak langsung kepada pihak
yang akan menerima pesan. Meskipun orang Minangkabau sangat menyukai keterbukaan,
yang lebih diutamakan adalah kehati-hatian dalam memilih kata-kata yang akan
disampaikan. Seperti ungkapan kok mangecek maagak-agak, pikiakan kalau bakato, tapi
usah katokan nan tapikia, sabab luko di pisau tampak darah, duo tigo taweh panawa, tapi
luko di lidah sulik ubeknyo. Ungkapan itu sangat ditekankan kepada anak kemenakan
sebagai jiwa-jiwa yang penuh gejolak yang terkadang dengan sangat emosional dalam
mengungkapkan isi hatinya, sehingga kurang memikirkan akibat di belakangnya.
Harapan ke depannya, kieh jo kato menjadi hal yang penting untuk dipelajari,
dipahami dan dilaksanakan. Hal ini bertujuan dalam pembentukan karakter seseorang
terutama generasi muda menjadi karakter yang berkualitas.
Anguak anggak geleng amuah, unjuak nan tidak babarikan.
SILAT
Silat adalah seni beladiri tradisional Minangkabau. Ada dua macam:
1. Pencak silat, yaitu silat yang biasa digunakan untuk tari-tarian pertunjukan.
Pemainnya disebut anak silek. Pencak silat dilakukan dua orang. Gayanya seperti
gerakan silat, tapi tidak untuk menciderai lawan, tetapi hanya sebagai hiburan.
2. Silat (silek), yaitu yang bertujuan untuk bela diri. Pesilat disebut pandeka. Ia punya
aturan sendiri, yaitu musuah indak dicari, jikok basuo pantang diilakkan.
RANDAI
Randai dilaksanakan dalam bentuk teater arena. Permainan randai dilakukan dengan
membentuk lingkaran, kemudian melangkah kecil-kecil secara perlahan, sambil
menyampaikan cerita lewat nyanyian secara berganti-gantian. Cerita randai biasanya diambil
dari kenyataan hidup di tengah masyarakat. Fungsinya sebagai seni pertunjukan untuk
hiburan; sebagai penyampai pesan, nasihat, dan pendidikan. Semua gerakan randai dituntun
oleh aba-aba salah seorang di antaranya, disebut janang.
SEPAK RAGO
Sepak rago merupakan sebuah olahraga tradisional. Permainannya mirip sepak takraw.
Bedanya, bola sepak rago terbuat dari daun kelapa muda yang dianyam dan berbentuk kubus.
Jumlah pemain antara 5 – 10 orang.
Dalam permainan sepak rago terdapat ajaran budi yang sangat tinggi, yakni seseorang dalam
kehidupan memang harus lebih banyak berdialog dengan dirinya sendiri, berdiskusi, berbuat
sesuatu untuk kesejahteraan hidupnya, dan tidak lupa bahwa ia berada di tengah masyarakat.
TARIAN RAKYAT
Tarian tradisional yang bersifat klasik di Minangkabau umumnya memiliki gerakan aktif
dinamis, namun tetap berada dalam alur dan tatanan yang khas. Kekhasan ini terletak pada
prinsip tari Minangkabau yang belajar kepada alam. Oleh karena itu, dinamisme gerakan tari-
tari tradisi Minangkabau selalu merupakan perlambang dari unsur alam. Pengaruh agama
Islam, keunikan adat matrilineal, dan kebiasan merantau masyarakat juga memberi pengaruh
besar dalam jiwa sebuah tari.
Secara garis besar ada tiga macam tarian rakyat Minangkabau, yaitu:
1. Tarian pencak, yaitu tarian yang gerakan dan prinsipnya menyerupai pencak.
Contoh : tari sewah, tari alo ambek, tari galombang.
Di samping itu juga, bahasa yang lain yakni Tamil, Sanskerta, Persia dan Arab
pula terserap masuk dalam bahasa Minang. Dengan dilihat dari sebagian prasasti di
Minangkabau ditulis memakai kosakata Tamil dan Sanskerta. Dan juga aksara Arab
saat dulu sering dipakai oleh masyarakat Minang sebelum ganti jadi Alfabet Latin.
a. SAKO
Sako artinya warisan yang tidak bersifat benda seperti gelar pusako. sako juga berarti asal,
atau tua, seperti dalam kalimat berikut.
Sako dalam pengertian adat Minangkabau adalah segala kekayaan asal atau harta tua berupa
hak atau kekayaan tanpa wujud.
1. Gelar panghulu;
2. Garis keturunan dari ibu yang juga disebut dengan “Sako Induak”;
perilaku atau pribawa yang diterima dari aliran darah sepanjang garis keturunan ibu juga di
sebut soko. Istilah soko induak ini dipersamakan dengan istilah matrilinial;
3. Pepatah petitih
4. Pidato adat
5. Hukum adat;
6. Tata krama dan hukum sopan santun diwariskan kepada semua anak kemenakan
dalam suatu nagari, dan kepada seluruh ranah Minangkabau.
7. Sifat perangai bawaan juga di sebut dengan soko
Soko sebagai kekayaan tanpa wujud merupakan rohnya adat dan memegang peranan yang
sangat menentukan dalam membentuk moralitas orang Silungkang dan kelestarian adat
salingka nagari dan adat Minangkabau pada umumnya.
b. PUSAKO
Pusako atau Harato Pusako adalah segala kekayaan materi dan harta benda yang juga disebut
dengan Pusako Harato. Yang termasuk Pusako Harato ini seperti :
1. Hutan tanah;
2. Sawah Ladang;
3. Kolam dan padang;
4. Rumah dan pekarangan;
5. Pandam perkuburan (Tanah perkuburan yang dimiliki oleh suku, oleh kaum,
kampung );
6. Perhiasan dan uang;
7. Balai mesjid dan surau
8. Peralatan dan lain-lain.
9. Banda buatan jo batang aie
10. Lambang kebesaran seperti keris baju kebesaran, soluak, deta dll
Pusako ini merupakan jaminan utama untuk kehidupan dan perlengkapan bagi anak
kamanakan di Silungkang dan Minangkabau, terutama untuk kehidupan yang berlatar
belakang kehidupan desa yang agraris.
c. SANGSAKO
Sebagai orang minang, baik yang mendiami tanah minagkabau (Sumatera Barat)
maupun didaerah rantau tentu harusnya paham tentang asal usul minangkabau. Karena
itulah sejatinya jati diri mereka. Darimana mereka berasal. Minangkabau, atau juga sering
disebut dengan minang adalah salah suku bangsa yang menghuni daerah sumatera bagian
tengah. Secara geografis adalah orang-orang yang menempati wilayah Sumatera Barat,
sebagian wilayah Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara hingga ke bagian barat daya aceh.
Tidak hanya di daratan sumatera, pengaruhnya sampai ke wilayah negeri jiran Malaysia.
Wilayah asli minangkabau terbagi menjadi 3, yaitu wilayah darek, rantau dan pesisir.
Wilayah darek adalah wilayah daratan yang merupakan tempat awal mula orang
minangkabau berasal. Daerah ini biasa dikenal dengan sebutan Luhak Nan Tigo. Daerah
tersebut adalah luhak (sekarang disebut kabupaten) Tanah Datar, Agam dan Lima puluh
Kota.
Sedangkan wilayah yang berada diluar ketiga wilayah tersebut disebut dengan nama daerah
rantau. Persebaran (wilayah rantau) orang minangkabau ini tak hanya ke luar daerah bahkan
hingga menyebrang pulau dan batas negara.
Berdasarkan tambo minangkabau, Minangkabau diambil dari kisah adu kerbau. Akar kata
minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang (manang/ menang) dan kabau (kerbau).
Minangkabau dahulunya berbetuk kerajaan yang berpusat di Luhak nan Tuo yang dipimpin
oleh Raja Adityawarman. Suatu masa, datanglah utusan pasukan kerajaan Majapahit yang
ingin menginvasi minangkabau. Salah satu jalan untuk mempertahanan tanah ulayat adalah
dengan peperangan. Namun kemudian para ninik mamak dan petinggi kerajaan mengadakan
musyawarah mufakat menanggapi persoalan tersebut.
K. TAU JO DIRI
Frase ini lahir di Minangkabau dan ini terpaut dalam diri orang Minang. Tak heran
orang Minang mampu berbaur di mana pun mereka berada. Frase ini termasuk ke
dalam salah satu pepatah-petitih orang Minang di antara pepatah-petitih lainnya.
Selain berpepatah, orang Minang juga terkenal dengan kemampuannya berpantun dan
berkias, termasuk juga berkilah.
Berdasarkan prinsip ini, orang Minang menjadi punya pedoman dalam bertindak.
Mereka betul-betul berhati-hati dalam bersosialisasi. Kehati-hatian dalam bertindak
itulah yang membuat orang Minang mudah bersosialisasi dan berbaur dengan orang
dari latar belakang apa pun, sehingga orang Minang tidak asing dengan kata-kata
seperti: KANCIANG, AMAK ANG DEANG, CIRIK, BALA, DEN PIJAK LIHIA
ANG, DEN PACAHAN KAPALO ANG, DEN AMPEHAN KAPALO ANG,
INDAK BAUTAK ANG MAH, ANJIANG, DEN LADO MUNCUANG ANG.
Tipu-menipu adalah hal yang biasa terjadi, begitu juga dengan khianat-mengkhianati.
Jika kita tidak benar-benar dengan cermat memperhatikan gerak-gerik mereka dalam
berinteraksi, hati-hati, barang-barang Anda akan hilang dipakai seenaknya,
dikembalikan seenaknya, dan bahkan tidak dikembalikan. “Jo kawan surang pilik bana
waang tu. Den baka barang-barang ang tu ko”. Begitulah tanggapan mereka jika
dikomplain. Berhati-hatilah curhat atau menceritakan rahasia ke orang yang Anda
anggap teman di sana. Sangat mungkin rahasia Anda diceritakan ke orang lain dan
ditambah embel-embel untuk membuat diri Anda terlihat sangat jelek, menyedihkan,
dan memalukan. Karena jiwa sosialisasi mereka yang tinggi, pangecek (suka
berbicara), paota (banyak omong/pembohong/pembual).
Sumbang Duo Baleh adalah peraturan tidak tertulis dalam adat minang yang berisi
tentang tata krama dan nilai sopan santun. Di dalamnya termuat dua belas ketentuan
dan larangan yang mesti ditaati oleh setiap perempuan minang. Melanggar aturan ini
akan berakibat hukuman malu, tidak hanya kepada dirinya sendiri, tapi juga mamak
dan keluarganya.
Adat kebiasaan mengatur bahwa duduk yang paling pantas bagi perempuan adalah
bersimpuh. Tidak boleh bersila seperti lelaki, tidak boleh mengangkat kaki,
berjongkok.
Saat berdiripun, perempuan diatur untuk berdiri dengan sopan, tidak berkacak
pinggang. Dilarang berdiri di tangga ataupun di depan pintu. Dilarang untuk berdiri di
pinggir jalan jika tidak ada yang dinanti, dan tentunya dilarang berdiri berdua dengan
yang bukan muhrim.
Berkata haruslah dengan sopan dan memiliki tujuan, haruslah mengerti kato nan
ampek.
Perempuan yang telah gadih (gadis) dilarang untuk bersitatap dengan lelaki
yang bukan muhrimnya, ia haruslah menundukkan dan menjaga pandangannya. Saat
ada tamu, sebisa mungkin untuk tidak melihat jam terlalu sering.
Pakaian haruslah sopan, bersih dan rapi. Jangan memakai pakaian yang jarang dan
ketat, apalagi sampai mencetak lekuk tubuh.
Idealnya pekerjaan perempuan adalah pekerjaan yang ringan dan mudah. Pekerjaan
kasar dan berat hendaknya diserahkan kepada kaum lelaki, ataupun dimintakan tolong
kepada laki-laki yang ada.
Dalam bertanya, dengarlah terlebih dahulu penjelasan orang lain, barulah bertanya
dengan sopan. Maksudnya sopan adalah tidak menguji apalagi merendahkan orang
lain.
Pergaulan perempuan dewasa minang haruslah terjaga. Ia tidak boleh bergaul terlalu
dekat dengan bukan muhrimnya apalagi berjalan berduaan. Selain itu akan terlihat
sumbang bila perempuan dewasa bergaul dengan anak kecil, apalagi ikut permainan
mereka.
Dalam bertingkah laku sehari-hari haruslah tetap bisa menjaga perasaan orang lain.
Jangan berkata berbisik bisik, menutup hidung dalam keramaian, tertawa terbahak-
bahak dan sejenisnya. Jaga lisan dari hal yang akan menyinggung banyak orang.
1) Kato Mandaki (Kata Mendaki), maksudnya bagaimana kita menyatakan pikiran
kita baik dalam komunikasi dengan maupun ketika kita membicarakan tentang
seseorang yang posisi tawarnya lebih tinggi dari kita, seperti orang tua, guru, ulama,
tokoh masyarakat, termasuk pemimpin negara. Merupakan hal yang terlarang kita
menyebut mereka dengan namanya saja, atau memberi kata sandang ‘Si’.
2) Kato Manurun (kata menurun) adalah cara berkomunikasi dengan atau
membicarakan tentang seseorang yang posisi tawarnya di bawah kita, terutama yang
umurnya lebih muda atau memang kepada remaja dan bocah.
3) Kato Mandata (kata mendatar), merupakan cara berbahasa dengan teman sebaya
dalam pergaulan.
4) Kato Malereng (kata melereng), adalah bagaimana cara berkomunikasi dengan
pihak yang rasanya janggal apabila mengungkapkan perasaan/ pikiran kepadanya
secara gamblang dan terus terang. Dalam kata melereng ini digunakan kata-kata
berkiasbanding. Umpama komunikasi antara mertua dengan menantu dan sebaliknya.
(*)