Anda di halaman 1dari 2

SEJARAH LAHIRNYA PIAGAM BUKIK MARAPALAM

Sebelum Islam masuk ke wilayah Sumatra Barat, mayarakat Minang mengambil pedoman dalam


menjalani hidup dengan melihat alam sebagai guru. Mereka menggali nilai-nilai yang diberikan
alam untuk dijadikan landasan hidup. Ketika agama Islam masuk, masyarakat Minang dapat
dengan mudah menerimanya karena ajaran Islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-
nilai yang sudah dianut oleh masyarakat Minang itu sendiri.

Istilah "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah", yang bermakna adat bersendi agama
Islam, Islam bersendikan Alquran adalah sebuah kesepakatan di kalangan kaum adat dan kaum
agama di Minangkabau yang merupakan substansi dari Lahirnya Piagam Bukik Marapalam.

Sebagian besar masyarakat Minang meyakini Piagam Bukik Marapalam atau disebut juga
perjanjian Sumpah Satie Bukik Marapalam itu terjadi di puncak Bukit Marapalam. Nama bukit itu
awalnya sebuah istilah, berdasarkan folklor berasal dari kata "Merapatkan Alam" yaitu merapat
atau terhubung dengan alam Luhak nan Tigo. Puncak bukit tertinggi di Kabupaten Tanah Datar
berada di puncak Bukit Marapalam, dinamakan Puncak Pato. Nama itu berasal dari istilah fakto
atau pakta (puncak untuk membuat perjanjian). Memang, ada beberapa versi terkait waktu
terjadinya Sumpah Satie Bukik Marapalam. Namun, falsafah "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi
Kitabullah" bisa disebut sebagai subtansi dari Sumpah Satie Bukik Marapalam tersebut.

Kalimat "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah" itu bisa dimaknai dalam pepatah syarak
mandaki, adat manurun; syarak mangato, adat mamakai. "Maksudnya, agama masuk ke darek
(pedalaman Minangkabau) dan adat turun dari darek ke pesisir Minangkabau. Maka, agama dan
adat di Minangkabau tidak dapat dipisahkan.

Falsafah ini muncul pertama kali ketika peristiwa Sumpah Satie Bukik Marapalam didengungkan
tahun 1837. Peristiwa ini terjadi seusai Perang Paderi. Sumpah ini lahir demi mempertautkan
kembali Minangkabau yang terbelah akibat Perang Paderi. Setelah sumpah ini digemakan, kaum
adat dan kaum agama pun saling berangkulan dan melupakan konflik di antara mereka yang
berlangsung lebih dari 30 tahun akibat dari adu domba oleh Belanda.
Hasil dari Sumpah Satie Bukik Marapalam itu dituangkan dalam filsafat adat berbunyi "Adat
Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah". Syara' mangato-Adat mamakai. Adat yang buruk
dibuang, adat yang baik dipakai. Syara' jo adat bak aua jo tabiang-sanda manyanda kaduonyo.

Adat yang baik adalah sesuai dengan norma-norma Islam, harus dipertahankan. Sementara adat
yang buruk, yang bertentangan dengan Islam, harus dibuang. Antara syara' (agama) dan adat tidak
dipertentangkan sebagai filosofi pandangan hidup orang Minangkabau.

Adat lebih dahulu hadir di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Ketika Islam masuk ke
Minangkabau, pada dasarnya sudah berhadapan langsung dengan masyarakat yang mengenal
konsep Tuhan yang disebut dengan "Nan Bana", yang berdiri dengan sendirinya.

Adat dan syara' mengandung nilai-nilai yang mengatur hidup masyarakat Minangkabau.
Pengaturan adat lebih bersifat duniawi. Nilai-nilai syara' mengatur secara seimbang antara hidup
di dunia dan akhirat. Dengan demikian, ajaran Islam yang bersumber dari Allah dan Rasul diakui
lebih sempurna dibanding adat,

Piagam Bukik Marapalam ini melahirkan konsep ideologis masyarakat Minang, yang kemudian
dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sosial, budaya, dan politik.

Anda mungkin juga menyukai