Anda di halaman 1dari 5

A.

ASAL USUL PARMALIM

Secara historis, religi Parmalim pertama kali diprakarsai oleh seorang datu bernama Guru Somaliang
Pardede (Horsting 1914; Tichelman 1937; Helbig 1935), seorang yang sangat dekat dengan
Sisingamangaraja XII (raja terakhir dari dinasti Sisingamangaraja). Menurut beberapa penulis Barat,
ajaran ini dijalankan oleh para pengikut Sisingamangaraja (khususnya oleh dua orang pemimpin
perangnya, Guru Somaliang dan Raja Mulia Naipospos), dengan tujuan untuk melindungi
kepercayaan dan kebudayaan tradisional Batak Toba dari pengaruh Kristen, Islam, dan kolonialis
Belanda (Sidjabat 1983:326).

Di dalam kehidupan masa lalunya Somaliang Pardede pernah bertemu dengan Dr. Modigliani—
seorang pendeta Katolik, sekaligus juga seorang ahli tumbuhan, berkebangsaan Itali-yang bekerja di
tanah Toba sejak 1889 hinga 1891. Hubungan Somaliang dengan orang Aceh pada dasarnya
merupakan suatu kolaborasi untuk menghadapi opresi kolonial Belanda di wilayah utara Sumatera.
Karena Somaliang telah diasumsikan oleh Belanda sebagai seorang ekstrimis yang berbahaya, ia
akhirnya ditangkap dan dibuang ke Pulau Jawa pada tahun 1896. Namun demikian, ajaran Parmalim
tetap dipraktekkan oleh murid-murid Somaliang dan pengikutnya yang lain setelah pengasingannya.
Tetapi mereka menghadapi opresi yang baru, yakni berbagai tekanan dari misionaris Kristen
(Horsting 1914:163).

Tichelman (1937:27-28) menyatakan bahwa terjadinya kontak kebudayaan telah mempengaruhi


terbentuknya ajaran Parmalim, dan menghasilkan produk religi ‘sinkretis’ sebagai contoh dapat
ditemukan beberapa elemen Katolik di dalamnya, seperti ‘Jahowa’ (Jehovah, nama Tuhan dalam
ajaran Katolik), ‘Maria, Yesus’, dan nama-nama orang suci dalam ajaran Katolik. Pengaruh Islam juga
terdapat di dalam ajaran tersebut. Nama ‘parmalim’ itu sendiri berasal dari kata ‘malim’, yakni dari
kata Melayu ‘malim’ yang berarti “ahli dalam pengetahuan agama’ (dalam bahasa Arab, ‘muallim’).
Tidak seperti Tichelman, interpretasi Horsting (1914) terhadap historiografi religi Parmalim sedikit
berbeda. Ia menyatakan, religi Parmalim merupakan percampuran (blend) dari ajaran Jahudi,
Katolik, Islam dan ajaran Sipelebegu9 . Tuhan mereka adalah Jehowah yang mengirim/menghadirkan
Si Singamangaraja untuk menggantikan diriNya. Setelah kematiannya, para pengikut Parmalim
percaya bahwa jiwanya mendapat tempat ‘di sisi tangan kanan dari Jahowa’ (Horsting 1914:1963-
164; lihat juga Helbig 1935). Pendapat dan pandangan mengenai keberadaan religi Parmalim juga
banyak dibicarakan oleh para peneliti penduduk asli Batak Toba sendiri; di antaranya Nurmasita R.
Gultom (1990), Bernard Purba (1986); dan Gerfarius Aritonang (1991). Gultom (1990) menyatakan
bahwa ‘agama’ tradisional Batak Toba dikombinasikan dalam beberapa organisasi religius yang di
antaranya disebut Parmalim, Si Raja Batak, dan kelompok masyarakat tradisional yang tidak
memeluk satu pun dari keduanya. Setelah agama Kristen dan Islam masuk ke tanah Batak, sebagian
masyarakat menerima dan berpindah ke salah satu dari kedua agama tersebut. Meskipun mereka
telah menganut salah satu agama, berbagai konsep berasal dari kepercayaan tradisional tetap
dipraktekkan, khususnya pada masyarakat yang berdiam di pedesaan. Kebanyakan masyarakat
menganggap, konsep maupun perilaku tradisional tersebut hanya sebagai ‘adat’. Kenyataannya, sulit
untuk membedakan/memisahkan antara ‘adat’ dan ‘religi’ dalam kehidupan orang Batak Toba.
Kedua aspek tersebut menyatu di dalam kebudayaan spiritualnya.
Parmalim adalah agama yang dianut khususnya di Sumatera Utara. Tuhan sebagai “debata mulajadi
nabolon”—pencipta manusia, bumi, langit, dan segala isi semesta yang disembah oleh “Umat
Ugamo Malim”.

Dari kalangan masyarakat Batak sendiri menyebutkan bahwa menurut cerita lisan yang berkembang
dilingkungan masyarakatBatak menyebutkan asal usul Parmalim itu di mulai sejak Raja
Sisingamangaraja XII yang berkuasa menggantikan kedudukan ayahnya Sisingamangaraja XI yang
meninggal dunia tahun 1875.

Dewasa ini penganut kepercayaan Parmalim yang berpusat di Hutatinggi, Laguboti, Toba samosir,
Tapanuli Utara, tersebar diberbagai wilayah di Sumatra dan di Jawa termasuk di daerah Aceh
Selatan, antara lain; di Barus, DKI Jakarta dan Kawasan Sumatra sendiri.

B. Ritual Parmalim

Tiap tahun ada dua kali ritual besar bagi Umat Parmalim. Pertama, Parningotan Hatutubu ni Tuhan
atau Sipaha Sada. Ritual ini dilangsungkan saat masuk tahun baru Batak, yaitu di awal Maret. Ritual
lainnya bernama Pameleon Bolon atau Sipaha Lima, yang dilangsungkan antara bulan Juni-Juli. Ritual
Sipaha Lima dilakukan setiap bulan kelima dalam kalender Batak. Ini dilakukan untuk bersyukur atas
panen yang mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun dana sosial
bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan warga yang membutuhkan.
Misalnya, untuk modal anak muda yang baru menikah, tetapi tidak punya uang atau menyantuni
warga yang tidak mampu. Seperti diutarakan Monang Naipospos, Pengurus Pusat Parmalim.

Di tengah lingkaran, berdiri Raja Marnakkok Naipospos dan keluarga besarnya, memimpin ritual
Sipaha Lima—salah satu ritual tahunan dalam agama Malim, yang diselenggarakan pada setiap bulan
lima dalam kalender Batak untuk mempersembahkan sesaji bagi Mula Jadi Na Bolon (Tuhan Yang
Maha Besar) dan para dewa yang dianggap sebagai pemilik kerajaan Tuhan.

Pengucapan doa-doa dalam bahasa Batak Toba ini berlangsung sekitar 1,5 jam. Berkali-kali terdengar
kata Tuhan, Debata, Ompung, dan Raja nami. Sebanyak 23 patik atau perintah Tuhan diucapkan.
Tidak ada alunan musik keyboard atau gondang, tidak ada kidung rohani. Di ujung doa, “Nabonar
junjunganhu …,” ucap Martogi mengakhiri. Ritual pun usai. Dalam keyakinan Parmalim, Raja
Sisingamangaraja adalah nabi atau rasul Tuhan yang ber tugas menyebarkan patik dan ajaran
hamalimon dari Mulajadi Nabolon. “Jadi tidak benar kami menyembah Sisingamangaraja sebagai
Tuhan,” kata Martogi.[1]

Parmalim melakukan peribadatan setiap hari sabtu dan memiliki dua hari peringatan besar setiap
tahunnya yaitu: Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Kosmologi asli masyarakat Batak terdapat pada
Pustaha yakni suatu kumpulan ilmu Batak. Isinya meliputi tumbaga Huling yang mencakup
keagamaan, kerajaan dan adat istiadat. Disamping itu ada satu lagi yang disebut suraagong yakni
yang terdiri dari pikiran dalam kegelapan yang isinya mencakup peperangan,kerjaan,dan kedukunan.
Penganut sipelebegu menganggap kedua hal tersebut sebagai kitab suci mereka.sedangkan bagi
penganut islam dan Kristen memandangnya sebagai kitab pusaka yang mengandung tuah atau
kesaktian ‘’mana’’.untuk memahami tumbaga holing ataupun untuk suro agong,masyarakat
menyebut ahlinya ialah ‘’datu’’.

Adapun isi kosmologi yang dipahami masyarakat Batak meliputi kehidupan di Dunia makro kosmos
yaitu tempatnya berbagai kekuatan supranatural dengan alam gaibnya. Tempat ini terdiri dari dunia
atas, bawah dan tengah.

C. Struktur Sosial Masyarakat Batak

Untuk dipahami dari kehidupan masyarakat Batak hingga kini ialah menyangkut system kekerabatan
mereka, yakni berdasarkan asas Partrilineal. Berdasarkan atas asas tersebut maka hubungan
kekerabatan di lingkungan masyarakat Batak yang anut menurut garis ayah dan semua kerabat pria.
Ada tiga unsur yang menjadi dasar dari pemahaman system kekerabatan ini. 1). Hula-hula, 2). Unsur
boru, dan 3). Unsur dongan sabutuha. Konsep ini mengacu apa yang disebut pengertian tungku yakni
tempat api yang digunakan untuk memasak makanan di dalam rumah tangga Batak. Konsep struktur
sosial masyarakat Batak terkandung pandangan dan sikap sebagai refleksi hubungan antara satu
unsur dengan unsur lainnya.

D. Kelompok Sosial dan Marga

Kehidupan sosial masyarakat orang Batak sudah sejak dahulu hidup dalam satu wilayah
perkampungan yang didasarkan kepada ikatan dengan pendiri kampong tersebut yang kemudian
membentuk sebuah marga. Perkampungan orang Batak biasanya ditengarai dengan diberi tembok
yang dibuat dari tanah dan diatasnya ditanam bamboo berduri dan berbagai pohon-pohonan.

Kebiasaan nenek moyang mereka membangun rumah-rumah didalam huta berjumlah antara 20-
30an buah rumah. Rumah-rumah tersebut berdiri berjejer dua deret membujur saling berhadap-
hadapan. Adapun rumah kepala kampong berdiri menghadap gunung atau tempat keramat yang
dikeramatkan oleh masyarakat. Dari sinilah ikatan kekerabatan diantara penduduk induk kuta
dengan sosor-sosornya dijalin hubungan terus menerus secara turun temurun dengan erat.

E. Religi dan Pandangan Hidup Masyarakat Batak

Bagi orang Batak kepercayaan aka adanya tuhan yang disebut Ompu Debata Mulajadi Na Bolon
sudah tertanam sejak lama. Tuhan didalam pandangan mereka secara fungsional terbagi tiga dan
dengan menamai tiga sebutan pula yaitu: Tuan Bubi Nabolon, Ompu Silaon Na Bolon, dan Tuan Pane
Na Bolon.

Pada sisi lain kehidupan orang batak juga menyiratkan adanya pengaruh yang kuat dalam pandangan
hidup mereka yang meliputi tiga aspek, yaitu: Hasangapon, Hagabeon, dan Hamoraon. Bagi ornag
Batak untuk menjadi orang yang terhormat dan dimuliakan oleh orang lain dikelak kemudian hari di
dunia roh orang-orang yang telah meninggal dunia, maka iya perlu memiliki keturunan baik laki-laki
dan perempuan yang mamora, menyebar di desha Na walu yakni ke delapan penjuru angin.

Menurut Rusmin Tumanggor bahwa bagi orang Batak untuk meraih kemulian hidup yang disebut
Sarimatua yakni berketurunan, hidup rukun dan damai, makmur, panjang usia, terhormat baik disisi
manusia dan dikalangan arwah ornag yang telah meninggal dan dalam pandangan Tuhan juga
makhluk ghoib lainnya, maka seseorang harus memiliki cita-cita hidup dan bisa melakukan apa yang
disebut dengan Si Sia-Sia Na Lima.

F. Pandangan Terhadap Alam, Lingkungan dan Masyarakat

Agama Parmalim terletak pada hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya. Alam terjadi
berdasarkan kehendak Muljadi Na Bolon. Ialah yang menjado penguasa alam sekaligus dapat
membuat hukum alam.

Paradigma keagamaan semacam ini terlihat dari eratnya kaitan manusia dengan bumi atau alam di
mana mereka hidup. Manusia selalu tergantung kepada alam. Alam seringkali dapat memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Manusia tak akan berarti bila alam tidak memberikan manfaat terhadap
kehidupan manusia. Dengan demikian, alam menjadi salah satu yang setral dalam kehidupan dan
menjadi acuan hidup.

Oleh karena itu, dalam pandangan hidup mereka yang kemudia menjadi semacam pegangan
kepercayaan di kalangan mereka bahwa alam perlu dijaga. Melestarikan alam seolah menjadi
kewajiban yang dibebankan pada pundak manusia.

Alam dan juga hukum alam sering pula terimplikasi pada aktivitas keagamaan mereka. Artinya, alam
menjadi semacam pedoman hidup mereka dan contoh acuan perilaku, adat, penghargaan, doa,
pandangan dan sebagainya.

G. Ulos dan Upacara Kematian

Ulos dapat diartikan semacam selimut, tapi pengertian ini bukan berarti selimut untuk orang tidur.
Namun merupakan selimut jiwa atau ruh dan merupakan sarana penyelamat. Artinya ulos telah
telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Batak. Selain itu kain ini kerapkali
menjadi sacral karena sering dipergunakan upacara keagamaan asli ornag Batak. Ulos merupakan
pakaian yang menjadi salah satu symbol penting masyarakat Batak ini dipergunakan dalam pelbagai
peristiwa penting seperti upacara adat, perkawinan menyambut tamu-tamu terhormat dan
sebagainya. Namun kain adat ini juga dipergunakan dalam upacara leluhur dan upacara magis.
Pada saat kematian masa dahulu yaitu sebelum orang Batak menganut agama besar, kepada jenazah
yang terbaring diletakkan benda-benda sesuai dengan kepercayaan yang dianut nenek moyang yang
sudah turun-menurun.

H. Pelaksanaan Ibadah

Parmalim melaksanakan upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan
dosa, serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat melaksanakan
kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim.

Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7 aturan Ugamo Malim dengan
melakukan ritual (doa). Ke-7 aturan tersebut adalah:

Martutuaek (kelahiran)

Pasahat Tondi (kematian)

Mararisantu (peribadatan setiap hari sabtu)

Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)

Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa)

Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi)

Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan / kurban)

Selain ke-7 aturan wajib di atas, seorang “Parmalim” harus menjunjung tinggi nilai – nilai
kemanusiaan seperti menghormati dan mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin, tidak
boleh berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri, dan lain sebagainya.

Diluar hal tersebut, seorang “Parmalim” juga diharamkan memakan daging babi, daging anjing dan
binatang liar lainnya, serta binatang yang berdarah.

Tak terasa, malam semakin larut. Waktu terasa sangat singkat saat pak Sirait menjelaskan detail
demi detail soal “Parmalim”.

Anda mungkin juga menyukai