NIM: 19/449311/PSA/08580
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
1. Latar Belakang
Jauh sebelum agama resmi yang diakui pemerintah masuk ke Indonesia, masyarakat
di berbagai wilayah menganut agama lokal. Agama ini dipeluk oleh masyarakat di
daerah tertentu seperti Islam Kaum Tua di Talaud—Sulawesi Utara, Kaharingan di
Kalimantan Tengah, Aluk to Dolo di Tana Toraja, Sunda Wiwitan untuk Suku Baduy
di Banten, Kejawen di Jawa Tengah, Tonas Walian di Minahasa—Sulawesi Utara,
Wetu Telu di Lombok, hingga Naurus di Pulau Seram (https://id.wikipedia.org)
Karena jumlahnya kecil atau secara ekonomi lemah, kelompok agama lokal ini kerap
tidak mendapatkan pengakuan secara politik. Kelompok ini menjadi minoritas di
Indonesia. Menurut Aftab Alam (2015), kata minoritas sendiri kerap menjadi
perdebatan. Hingga saat ini, belum ada definisi baku secara internasional mengenai
kata minoritas. Salah satu definisi paling kerap dipakai diajukan oleh Francesco
Capotorti. Ia mendefinisikan minoritas sebagai sebuah grup yang secara jumlah
inferior terhadap keseluruhan populasi dan tidak berada dalam posisi dominan.
Angota kelompok ini secara etnik, agama, atau karalter bahasa berbeda dengan
keseluruhan populasi.
Isu terhadap hak minoritas dianggap penting dalam beberapa dekade ini karena
muncul banyak pemahaman terhadap perbedaan agama, ras, budaya, bahasa, dan
suku. Meskipun banyak Negara bangsa memiliki keberagaman, belum tentu
pemerintah memberi perhatian pada hak minoritas. Kerapkali kelompok minoritas
mengalami diskriminasi, kerugian ekonomi, pengecualian dalam politik,
pembatasan budaya, pelarangan praktek agama, praktek kebudayaan, hingga
pelarangan mendirikan kelompok budaya (Gurr, dalam Verkuyten dan Yildiz, 2006)
Suku Bangsa Batak dan penduduk asli lainnya di Indonesia memiliki ide dasar yang
mirip animisme dan dualisme antara dunia di atas dan dunia di bawah. Suku Bangsa
Batak percaya jika semua benda di alam memiliki tondi—roh. Suku Bangsa Batak
beranggapan jika tondi seseorang akan menentukan nasibnya. Untuk menjaga
tondi, seorang Batak akan menemui datu—dukun. Dukun ini memiliki pengetahuan
tentang teks suci dan pengobatan tradisional, juga dapat berhubungan dengan roh
nenek moyang dan para dewa. Masyarakat akan memanggil datu saat mereka
menderita penyakit, kekeringan, atau mengalami gagal panen (Hirosue, 1994).
Pada masa Sisingamangaraja XII, Belanda mulai datang dan berusaha menguasai
Tanah Batak. Penyebutan agama Parmalim timbul untuk membendung pengaruh
penjajahan Belanda di Tapanuli Utara (1877–1907) serta kedatangan I.L. Nomensen
tahun 1863 yang aktif mengembangkan agama Kristen. Penyebutan Agama
Parmalim dibuat oleh Si Singamangaraja karena adanya usaha para misionaris juga
Belanda untuk melenyapkan kebudayaan Batak Toba (Gultom, 2018) Pada masa
hidupnya, Sisingamangaraja XII membuat aturan adat, patik dan uhum (hukum) bagi
Suku Bangsa Batak yang dipakai sebagai panduan hidup bermasyarakat. Aturan-
aturan dan undang-undang tersebut kemudian dikumpulkan dalam Arsip Bakara
dan Arsip Dairi (Poerba, 2008) Dengan demikian, Sisimangaraja menjadi pimpinan
agama sekaligus politik bagi Suku Bangsa Batak. Beliau juga memulai peperangan
terhadap Belanda pada tahun 1878.
Ugamo Malim berasal dari kata ugamo dan malim. Ugamo adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan ngolu partondion (alam spritual) yang mengatur tata
cara hubungan manusia dengan alam roh. Sedangkan malim artinya suci. Dengan
demikian, Ugamo Malim menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan
Debata Mula Jadi Na Bolon (Suharyanto, 2011). Setiap hari sabtu, Agama Permalim
melarang pemeluknya untuk bekerja. Umat dalam satu punguan berkumpul untuk
bersembahyang bersama. Mereka mengucapkan puji-pujian kepada Debata
Mulajadi Na Bolon dalam Bahasa Batak. Upacara ini disebut mararisabtu.
Umat Permalim percaya jika aturan ini diciptakan oleh Tuhan dan memiliki
kesucian. Mereka akan mendapat hukuman dari roh halus atau nenek moyang jika
melanggar. Keturunannya akan mengalami penyakit, infertilitas, atau kehilangan
kekayaan. Orang yang melanggar adat akan mendapat hukuman sosial dari
masyarakat. Seseorang yang tidak ikut menyumbang saat upacara adat, tidak datang
saat diundang, atau tidak memenuhi kewajiban kekerabatannya akan mendapat
cemooh dan kritikan tajam. Ia akan disebut na so maradat—tidak tahu adat—hinaan
yang buruk untuk orang Batak (Bruner, 1961).
3. Upacara Permalim
Saat perayaan ini umat dari berbagai penjuru datang ke Balai Pasogit. Dari tahun
1921 hingga 2016, perayaan ini dipusatkan di Huta Tinggi Laguboti. Setelah Raja
Marnangkok Naipospos meninggal, kedua upacara tersebut dipindahkan di Huta
Halasan. Umat menyumbang dan menginap selama tiga hari untuk melakukan
upacara. Sepanjang upacara, mereka mengucapkan doa-doa dalam Bahasa Batak.
Laki-laki dan perempuan yang belum menikah mengenakan sarung dan ulos yang
disampirkan di bahu. Pria yang sudah menikah mengenakan ulos dengan surban
berwarna putih yang diikatkan di kepala. Perempuan yang sudah menikah mamakai
ulos, selendang, kebaya, dan menyanggul rambutnya. Laki-laki dan perempuan
duduk terpisah. Kelompok laki-laki ada di sebelah kanan barisan.
Hingga kini masih banyak pemeluk Kristen yang menganggap umat Permalim
adalah kelompok yang belum bertobat. Mereka menyebut umat Permalim
dengan istiah sipele begu. Secara ekomomi, kebanyakan umat Permalim
merupakan petani miskin, berbeda dengan penganut Kristen arau Katolik yang
lebih terdidik dan bisa mengakses pekerjaan formal. Hal tersebut kerap
membuat Pendeta menawarkan biaya sekolah atau pekerjaan asal umat
Permalim mau mengubah agamanya.
Umat Pemalim belajar di sekolah umum. Karena jumlahnya sedikit, tidak ada
guru Agama Permalim khusus untuk murid Permalim. Aturan dunia pendidikan
mewajibkan murid untuk mengikuti pendidikan agama membuat murid
Permalim mengikuti agama lain. Kadang murid Permalim juga mendapat
pengucilan karena agamanya berbeda dengan kebanyakan murid lain.
- Oleh Negara
Pada masa Orde Baru, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) memasukkan
agama lokal dalam aliran kepercayaan. Pembinaan aliran kepercayaan diarahkan
agar menginduk kepada agama yang diakui. Agama lokal seperti Kaharingan
(Dayak), Aluk To Dolo (Tana Toraja) digabung-kan ke dalam agama Hindu.
Agama Khonghucu digabungkan ke dalam agama Buddha. Karena kebijakan
pemerintah waktu itu sangat represif, pemeluk agama lokal sangat terpaksa
bergabung ke dalam agama tersebut (Rosidi, 2011)
- Oleh Masyarakat
Umat Permalim yang awalnya petani dan hanya hidup di seputaran Danau Toba, kini
mulai merantau. Sebagian umat bergaul dengan lebih banyak orang dan menempuh
pendidikan lebih tinggi. Hal tersebut membuat umat Permalim memiliki kesadaran
untuk mendapatkan kesetaraan. Berikut upaya yang mereka lakukan agar mendapat
pengakuan dari Negara dan masyarakat.
- Ihutan, Raja Adat dan seorang Pengacara menjadi bagian dari Batak Centre—
lembaga yang melakukan kampanye terhadap budaya Batak. Hal ini membuat
Suku Batak yang berada di luar Danau Toba mulai mengenal kembali Agama
Permalim. Raja Adat menghibahkan tanah di samping Bale Parsantian untuk
membangun Museum Batak. Kelak, jika ada banyak orang dating ke museum ini,
mereka juga mengenal Agama Permalim.
Alam, Aftab., (2015) Minority Rights Under International Law, Journal of the Indian Law
Institute, Vol. 57, No. 3
Aritonang, Jan Sihar, and Karel Steenbrink, editors. (2008) “THE SHARP CONTRASTS OF
SUMATRA.” A History of Christianity in Indonesia, vol. 35, Brill, LEIDEN; BOSTON.
Bruner, Edward M., (1961) Urbanization and Ethnic Identity in North Sumatra Author,
American Anthropologist, New Series, Vol. 63, No. 3 , pp. 508-521
Gultom, Ibrahim., (2018) Malim Religion: A Local Religion in Indonesia. International Journal
of Sociology and Anthropology Research Vol.4, No.2, pp.1-10.
Hirosue, Masashi. (1994) The Batak Millenarian Response to the Colonial Order, Journal of
Southeast Asian Studies, Vol. 25, No. 2
Hirschfeld, L.A., (1979) Notes on the Toba Batak (Sumatra) L'Homme, T. 19, No. 1 (Jan. -
Mar., 1979), pp. 141-144
https://id.wikipedia.org/
Loeb, E.M. (1933) Patrilineal and Matrilineal Organization in Sumatra: The Batak and the
Minangkabau, American Anthropologist, New Series, Vol. 35, No. 1
Pardosi, Benny Rafael., (2010) Studi Deskriptif Mengenai Strategi Adaptasi Penganut Agama
Malim di Kota Medan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara.
Suharyanto, A., (2016), Pusat Aktivitas Ritual Kepercayaan Parmalim di Huta Tinggi
Laguboti, Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik, 4 (2):186-195.
UUD 45 Amandemen IV
Verkuyten, M., & Yildiz, A. (2006). The Endorsement of Minority Rights: The Role of Group
Position, National Context, and Ideological Beliefs. Political Psychology, 27(4), 527-
548.
Wiflihani, & Agung S., (2011), Upacara Sipaha Sada Pada Agama Parmalim Di Masyarakat
Batak Toba Dalam Kajian Semiotika, JUPIIS, 3 (1): 103-112
www.tempo.co