Anda di halaman 1dari 11

KELOMPOK-KELOMPOK MARGINAL

TUGAS AKHIR SEMESTER

Nama: Lutfi Retno Wahyudyanti

NIM: 19/449311/PSA/08580

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

TAHUN AJARAN 2019/2021

UNIVERSITAS GADJAH MADA


Agama Permalim di Tanah Batak

1. Latar Belakang

Jauh sebelum agama resmi yang diakui pemerintah masuk ke Indonesia, masyarakat
di berbagai wilayah menganut agama lokal. Agama ini dipeluk oleh masyarakat di
daerah tertentu seperti Islam Kaum Tua di Talaud—Sulawesi Utara, Kaharingan di
Kalimantan Tengah, Aluk to Dolo di Tana Toraja, Sunda Wiwitan untuk Suku Baduy
di Banten, Kejawen di Jawa Tengah, Tonas Walian di Minahasa—Sulawesi Utara,
Wetu Telu di Lombok, hingga Naurus di Pulau Seram (https://id.wikipedia.org)

Karena jumlahnya kecil atau secara ekonomi lemah, kelompok agama lokal ini kerap
tidak mendapatkan pengakuan secara politik. Kelompok ini menjadi minoritas di
Indonesia. Menurut Aftab Alam (2015), kata minoritas sendiri kerap menjadi
perdebatan. Hingga saat ini, belum ada definisi baku secara internasional mengenai
kata minoritas. Salah satu definisi paling kerap dipakai diajukan oleh Francesco
Capotorti. Ia mendefinisikan minoritas sebagai sebuah grup yang secara jumlah
inferior terhadap keseluruhan populasi dan tidak berada dalam posisi dominan.
Angota kelompok ini secara etnik, agama, atau karalter bahasa berbeda dengan
keseluruhan populasi.

Isu terhadap hak minoritas dianggap penting dalam beberapa dekade ini karena
muncul banyak pemahaman terhadap perbedaan agama, ras, budaya, bahasa, dan
suku. Meskipun banyak Negara bangsa memiliki keberagaman, belum tentu
pemerintah memberi perhatian pada hak minoritas. Kerapkali kelompok minoritas
mengalami diskriminasi, kerugian ekonomi, pengecualian dalam politik,
pembatasan budaya, pelarangan praktek agama, praktek kebudayaan, hingga
pelarangan mendirikan kelompok budaya (Gurr, dalam Verkuyten dan Yildiz, 2006)

Meskipun UUD 45 menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk agama dan


beribadat menurut agamanya (pasal 28 E, pasal 28 I, serta pasal 29 ayat 2), hingga
kini pemeluk agama lokal kerap mengalami marginalisasi. Seperti yang dialami oleh
umat Agama Permalim. Ugamo Malim awalnya muncul di Tanah Batak sebagai
gerakan untuk mempertahankan adat-istiadat dan kepercayaan lokal yang terancam
keberadaannya karena kehadiran agama baru yang dibawa oleh Belanda (Hirosue
dalam Siregar, 2015).

2. Suku Batak dan Agama Permalim

Awalnya, kata Batak dipakai untuk membedakan penduduk di sekitar Sumatera


Utara dengan pemeluk Islam yang mulai masuk dibawa pedagang ke Pulau
Sumatera. Meski asal kata Batak sendiri tidak tidak diketahui, istilah ini sudah
dipakai sejak abad 17. Suku Bangsa Batak terbagi atas beberapa kelompok berdasar
bahasa yang digunakan. Yakni Singkil, Pakpak, Dairi, Toba, Karo, dan Mandailing
(Joustra dalam Loeb, 1933). Umumnya ada beberapa marga dalam sebuah desa yang
berasal dari moyang yang sama. Suku Batak mengenal hubungan saudara tua dan
muda berdasar marganya. Umumnya mereka tidak melakukan pernikahan dengan
perempuan yang ada di garis keturunannya (Hirschfeld, 1979).

Suku Bangsa Batak dan penduduk asli lainnya di Indonesia memiliki ide dasar yang
mirip animisme dan dualisme antara dunia di atas dan dunia di bawah. Suku Bangsa
Batak percaya jika semua benda di alam memiliki tondi—roh. Suku Bangsa Batak
beranggapan jika tondi seseorang akan menentukan nasibnya. Untuk menjaga
tondi, seorang Batak akan menemui datu—dukun. Dukun ini memiliki pengetahuan
tentang teks suci dan pengobatan tradisional, juga dapat berhubungan dengan roh
nenek moyang dan para dewa. Masyarakat akan memanggil datu saat mereka
menderita penyakit, kekeringan, atau mengalami gagal panen (Hirosue, 1994).

Pada masa Sisingamangaraja XII, Belanda mulai datang dan berusaha menguasai
Tanah Batak. Penyebutan agama Parmalim timbul untuk membendung pengaruh
penjajahan Belanda di Tapanuli Utara (1877–1907) serta kedatangan I.L. Nomensen
tahun 1863 yang aktif mengembangkan agama Kristen. Penyebutan Agama
Parmalim dibuat oleh Si Singamangaraja karena adanya usaha para misionaris juga
Belanda untuk melenyapkan kebudayaan Batak Toba (Gultom, 2018) Pada masa
hidupnya, Sisingamangaraja XII membuat aturan adat, patik dan uhum (hukum) bagi
Suku Bangsa Batak yang dipakai sebagai panduan hidup bermasyarakat. Aturan-
aturan dan undang-undang tersebut kemudian dikumpulkan dalam Arsip Bakara
dan Arsip Dairi (Poerba, 2008) Dengan demikian, Sisimangaraja menjadi pimpinan
agama sekaligus politik bagi Suku Bangsa Batak. Beliau juga memulai peperangan
terhadap Belanda pada tahun 1878.

Sepanjang hidupnya, Sisingamangaraja XII menentang kolonialisme Belanda. Beliau


meninggal pada 17 Juni 1907, pada pertempuran yang berlangsung di desa Si Onom
Hudon, perbatasan Kabupatren Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi. Meninggalnya
Sisimangaraja mengakhiri Perang Batak setelah berkecamuk selama 29 tahun
(Poerba 2008).

Pimpinan tertinggi Agama Permalim kemudian dilanjutkan oleh Raja Mulia


Naipospos, salah satu panglima perang Sisingamangaraja. Beliau memindahkan
pusat peribadatan Agama Permalim ke Huta Tinggi Laguboti. Raja Mulia Naipospos
meninggal pada tanggal 3 Mei 1958 dalam usia lebih dari 120 tahun. Sebelum wafat
Raja Mulia Naipospos memberikan wasiat kepada anaknya Raja Ungkap Naipospos
(Suharyanto, 2016). Setelah itu, pimpinan tertinggi agama Permalim dilanjutkan
oleh Raja Marnangkok Naipospos, putra Raja Ungkap Naipospos. Selain Agama
Permalim yang dilanjutkan oleh keluarga Naipospos, ada juga kelompok Permalim
dalam jumlah kecil yang mengikuti ajaran Somalaing, salah satu datu
Sisingamangaraja XII.

Ugamo Malim berasal dari kata ugamo dan malim. Ugamo adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan ngolu partondion (alam spritual) yang mengatur tata
cara hubungan manusia dengan alam roh. Sedangkan malim artinya suci. Dengan
demikian, Ugamo Malim menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan
Debata Mula Jadi Na Bolon (Suharyanto, 2011). Setiap hari sabtu, Agama Permalim
melarang pemeluknya untuk bekerja. Umat dalam satu punguan berkumpul untuk
bersembahyang bersama. Mereka mengucapkan puji-pujian kepada Debata
Mulajadi Na Bolon dalam Bahasa Batak. Upacara ini disebut mararisabtu.

Agama Malim mengajarkan lima kesopanan secara turun-temurun. Anak-anak muda


Permalim datang ke sekolah agama untuk belajar Poda Hamalimon—lima aturan
kesopanan. Yakni:
1. Ingkon Malim Parhundulon --harus sopan duduk: atau tidak mengambil tempat
orang lain, tidak mengambil harta orang lain, dan tidak mengangkat dengkul di
depan banyak orang.
2. Ingkon Malim Parmanganon--Harus sopan makan: atau jangan mencuri, jangan
berdusta, tidak boleh rakus, jangan berjudi karena akan menyusahkan
keturunan.
3. Ingkon Malim Pamerengon--Harus sopan penglihatan: artinya jangan serong,
jangan memandang rendah orang lain, jangan membuat iri hati.
4. Ingkon Malim Panghataion--Harus Sopan Berkata-kata: atau tidak mengucapkan
kata yang kotor, tidak sombong, tidak menjelek-jelekkan.
5. Ingkon Malim Pardalanon--Harus sopan melangkah/ perjalanan: atau harus
menjalani kehidupan dengan baik (Situmorang, 2017)

Umat Permalim percaya jika aturan ini diciptakan oleh Tuhan dan memiliki
kesucian. Mereka akan mendapat hukuman dari roh halus atau nenek moyang jika
melanggar. Keturunannya akan mengalami penyakit, infertilitas, atau kehilangan
kekayaan. Orang yang melanggar adat akan mendapat hukuman sosial dari
masyarakat. Seseorang yang tidak ikut menyumbang saat upacara adat, tidak datang
saat diundang, atau tidak memenuhi kewajiban kekerabatannya akan mendapat
cemooh dan kritikan tajam. Ia akan disebut na so maradat—tidak tahu adat—hinaan
yang buruk untuk orang Batak (Bruner, 1961).
3. Upacara Permalim

Pemimpin Agama Permalim disebut Ihutan yang diterjemahkan sebagai “yang


diikuti”. Komunitas ritual dalam tradisi Parmalim terbagi atas beberapa sub
kelompok yang disebut punguan. Masing-masing punguan dipimpin oleh seorang
pimpinan kelompok berdasarkan wilayah persebaran dimana masyarakat Parmalim
berdomisili. Mereka disebut Uluan atau “yang mengarahkan”. Ulu Punguan dipilih
oleh jemaat Parmalim berdasarkan hasil musyawarah (Sudaryanto, 2016). Dalam
satu tahun menurut kalender Batak, umat Permalim merayakan dua upacara besar:
Sipada Sada atau upacara tahun baru dan Sipaha Lima atau upacara paska panen
yang jatuh pada bulan kelima.

Saat perayaan ini umat dari berbagai penjuru datang ke Balai Pasogit. Dari tahun
1921 hingga 2016, perayaan ini dipusatkan di Huta Tinggi Laguboti. Setelah Raja
Marnangkok Naipospos meninggal, kedua upacara tersebut dipindahkan di Huta
Halasan. Umat menyumbang dan menginap selama tiga hari untuk melakukan
upacara. Sepanjang upacara, mereka mengucapkan doa-doa dalam Bahasa Batak.
Laki-laki dan perempuan yang belum menikah mengenakan sarung dan ulos yang
disampirkan di bahu. Pria yang sudah menikah mengenakan ulos dengan surban
berwarna putih yang diikatkan di kepala. Perempuan yang sudah menikah mamakai
ulos, selendang, kebaya, dan menyanggul rambutnya. Laki-laki dan perempuan
duduk terpisah. Kelompok laki-laki ada di sebelah kanan barisan.

4. Pemarginalan yang dialami

Umat Permalim dapat diterima masyarakat di seputaran Laguboti, Sumatera Utara


karena masih banyak keluarga Permalim yang ada di daerah tersebut. Desa ini
menjadi pusat agama Permalim dari tahun 1921 hingga 2016. Di luar wilayah
tersebut, umat Permalim kerap mengalami diskriminasi.
- Oleh Agama Kristen
Kristenisasi dan penjajahan memiliki kontribusi besar terhadap perubahan
sosial di masyarakat Batak sejak 1860an hingga kini. Agama Kristen dilindungi
oleh penjajahan dan memonopoli aktivitas misionarisme hingga 1930an.
Kesuksesan dakwah misionaris Jerman di Toba membuat slogan “menjadi Batak
berarti menjadi Kristen”. Hingga kini, Gereja Batak Protestan merupakan yang
kelompok Kristen terbesar di Asia Tenggara. Untuk menjaga agamanya, Gereja
melarang pembunyian gondang—alat musik yang dipakai dalam upacara adat
dan manotor—menari dari 1879 hingga 1938. Para misionaris takut jika
kekuatan gondang menyebabkan kesurupan akan mengembalikan kembali umat
Kristen menjadi sipele begu—penyembah berhala (Purba, 2005)

Hingga kini masih banyak pemeluk Kristen yang menganggap umat Permalim
adalah kelompok yang belum bertobat. Mereka menyebut umat Permalim
dengan istiah sipele begu. Secara ekomomi, kebanyakan umat Permalim
merupakan petani miskin, berbeda dengan penganut Kristen arau Katolik yang
lebih terdidik dan bisa mengakses pekerjaan formal. Hal tersebut kerap
membuat Pendeta menawarkan biaya sekolah atau pekerjaan asal umat
Permalim mau mengubah agamanya.

- Oleh Dunia Pendidikan

Umat Pemalim belajar di sekolah umum. Karena jumlahnya sedikit, tidak ada
guru Agama Permalim khusus untuk murid Permalim. Aturan dunia pendidikan
mewajibkan murid untuk mengikuti pendidikan agama membuat murid
Permalim mengikuti agama lain. Kadang murid Permalim juga mendapat
pengucilan karena agamanya berbeda dengan kebanyakan murid lain. 
- Oleh Negara

Pada masa Orde Baru, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) memasukkan
agama lokal dalam aliran kepercayaan. Pembinaan aliran kepercayaan diarahkan
agar menginduk kepada agama yang diakui. Agama lokal seperti Kaharingan
(Dayak), Aluk To Dolo (Tana Toraja) digabung-kan ke dalam agama Hindu.
Agama Khonghucu digabungkan ke dalam agama Buddha. Karena kebijakan
pemerintah waktu itu sangat represif, pemeluk agama lokal sangat terpaksa
bergabung ke dalam agama tersebut (Rosidi, 2011)

Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang


Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan
pengisian kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (Pardosi, 2010). Warga negara
yang tidak memeluk agama bisa kehilangan hak-haknya. Tidak punya KTP, tidak
bisa menikah secara syah, anak kesulitan untuk memiliki akta lahir, sulit untuk
masuk sekolah atau mencari kerja.

- Oleh Masyarakat

Umat Permalim kesulitan untuk melakukan ibadahnya di luar kawasan Toba.


Pada tahun 2006, sekelompok warga sempat melarang pendirian Bale Pasogit di
Jalan Air Bersih, Medan. Pihak Pemerintah Kecamatan Medan Denai meminta
pembangunan Bale Persaktian—tempat beribadah Parmalim dihentikan karena
mendapat protes warga. Padahal tempat peribadatan itu didirikan di atas tanah
wakaf pemeluk Ugamo Malim. Tapi setelah adanya sosialisasi secara terbuka dan
komunikasi lancar akhirnya masyarakat di Jalan Air Bersih ijin keluar tahun
2011 (Sudaryanto, 2016).
5. Upaya untuk Mengatasi Pemarginalan

Umat Permalim yang awalnya petani dan hanya hidup di seputaran Danau Toba, kini
mulai merantau. Sebagian umat bergaul dengan lebih banyak orang dan menempuh
pendidikan lebih tinggi. Hal tersebut membuat umat Permalim memiliki kesadaran
untuk mendapatkan kesetaraan. Berikut upaya yang mereka lakukan agar mendapat
pengakuan dari Negara dan masyarakat.

- Umat Permalim bernama Pagar Demanra Sirait bersama perwakilan komunitas


Marapu, penganut Ugamo Bangsa Batak, dan Penganut Sapto Darmo menggugat
Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan. Hasilnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI
tertanggal 7 November 2017 dengan No. 97/PUU-XIV/2016, mengijinkan
kelompok-kelompok penghayat kepercayaan untuk mencantumkan “penghayat
kepercayaan” dalam dokumen kependudukan mereka (www.tempo.co)

- Bergabung dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk


melakukan advokasi terhadap agama lokal.

- Ihutan, Raja Adat dan seorang Pengacara menjadi bagian dari Batak Centre—
lembaga yang melakukan kampanye terhadap budaya Batak. Hal ini membuat
Suku Batak yang berada di luar Danau Toba mulai mengenal kembali Agama
Permalim. Raja Adat menghibahkan tanah di samping Bale Parsantian untuk
membangun Museum Batak. Kelak, jika ada banyak orang dating ke museum ini,
mereka juga mengenal Agama Permalim.

- Melobi Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI) untuk memberi pengakuan


terhadap Agama Permalim. MUKI mulai mengadakan seminar-seminar yang
isinya memberikan pengakuan terhadap agama lokal. Meski hal ini banyak
ditentang oleh Umat Kristen garis keras.

- Anak-anak muda Permalim bersekolah di luar daerah supaya dapat


memperkenalkan jati dirinya ke dunia luar.
Daftar Pustaka:

Alam, Aftab., (2015) Minority Rights Under International Law, Journal of the Indian Law
Institute, Vol. 57, No. 3

Aritonang, Jan Sihar, and Karel Steenbrink, editors. (2008) “THE SHARP CONTRASTS OF
SUMATRA.” A History of Christianity in Indonesia, vol. 35, Brill, LEIDEN; BOSTON.

Bruner, Edward M., (1961) Urbanization and Ethnic Identity in North Sumatra Author,
American Anthropologist, New Series, Vol. 63, No. 3 , pp. 508-521

Gultom, Ibrahim., (2018) Malim Religion: A Local Religion in Indonesia. International Journal
of Sociology and Anthropology Research Vol.4, No.2, pp.1-10.

Hirosue, Masashi. (1994) The Batak Millenarian Response to the Colonial Order, Journal of
Southeast Asian Studies, Vol. 25, No. 2

Hirschfeld, L.A., (1979) Notes on the Toba Batak (Sumatra) L'Homme, T. 19, No. 1 (Jan. -
Mar., 1979), pp. 141-144

https://id.wikipedia.org/

Loeb, E.M. (1933) Patrilineal and Matrilineal Organization in Sumatra: The Batak and the
Minangkabau, American Anthropologist, New Series, Vol. 35, No. 1

Niessen, S. A (1983) Toba-Batak Matriliny: A Deception. Bijdragen tot de Taal-, Land- en


Volkenkunde, Deel 139, 4de Afl.

Pardosi, Benny Rafael., (2010) Studi Deskriptif Mengenai Strategi Adaptasi Penganut Agama
Malim di Kota Medan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara.

Poerba, Chris., (2008) Warisan Raja Namaruhum, Namarhatua (Sisingamangaraja XII),


Majalah Tapian Edisi November 2008
Purba, Mauly. (2005) From Conflict to Reconciliation: The Case of the "Gondang
Sabangunan" in the Order of Discipline of the Toba Batak Protestant Church, Journal
of Southeast Asian Studies, Vol. 36, No. 2

Situmorang, Nelita. (2017), EKSISTENSI AGAMA LOKAL PARMALIM Studi Kasus di


Nomonatif Pengahayat Nomor Punguan 35 Desa Air Kulim Mandau Bengkalis,
Jurusan Sosiologi - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kampus Bina Widya

Rosidi, Achmad (ed) (2011) Perkembangan paham keagamaan lokal di Indonesia,


Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI. Cet. 1. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

Siregar, Vina Notriani., (2015) Pandangan Masyarakat terhadap Parmalim di Desa


Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Pendidikan Sosiologi
dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Suharyanto, A., (2016), Pusat Aktivitas Ritual Kepercayaan Parmalim di Huta Tinggi
Laguboti, Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik, 4 (2):186-195.

UUD 45 Amandemen IV

Verkuyten, M., & Yildiz, A. (2006). The Endorsement of Minority Rights: The Role of Group
Position, National Context, and Ideological Beliefs. Political Psychology, 27(4), 527-
548.

Wiflihani, & Agung S., (2011), Upacara Sipaha Sada Pada Agama Parmalim Di Masyarakat
Batak Toba Dalam Kajian Semiotika, JUPIIS, 3 (1): 103-112

www.tempo.co

Anda mungkin juga menyukai