Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH AGAMA

KONFLIK SAMPANG

Kelompok 5 (1B) :

1. Aulia Fajrina Azhari (20011)


2. Galih Akbar (20034)
3. Nur Eka Saputri (20062)
4. Shafa Putri Rahmadina (20085)

AKADEMI KEPERAWATAN FATMAWATI


JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat limpahan karunia
nikmat-Nya. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Konflik Tolikara”. Harapan penyusun semoga makalah ini dapat membantu
menambah pengetahuan bagi para pembaca. Untuk itu kami mengucapkan
terimakasih kepada :

1. Ns. DWS Suarse Dewi, M.Kep, Sp.Kep.MB. selaku Direktur Akademi


Keperawatan Fatmawati Jakarta dan Dosen Pengajar.
2. Ns. Siti Utami Dewi, M. Kes selaku Penanggung Jawab Mata Kuliah Agama.
3. Drs. Zainuddin, M.Pd selaku Dosen Pengajar Mata Kuliah Agama.
4. Ns. Sestramita Tuah, M.Kep. selaku Wali Kelas Angkatan 23.
5. Orang tua yang mendukung kami baik secara moril maupun materil.

Meski demikian, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan
di dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi.
Sehingga penulis secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif dari
pembaca. Demikian apa yang dapat saya sampaikan.

Jakarta, 16 September 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang

B. Tujuan Penulisan

C. Metode Penulisan

D. Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konflik Agama

1. Definisi

2. Faktor Konflik

3. Dampak Konflik Umat Beragama

B. Konflik Sampang

1. Kronologi Kekerasan Sampang

2.

3.

4.

5.

6.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri tidak pernah terlepas
dari hadirnya konflik yang dapat mengancam keutuhan kesatuan negara Indonesia.
Integrasi bangsa Indonesia terancam karena permasalahan konflik. Beberapa konflik
yang terjadi di negara Indonesia adalah mengenai perbedaan agama, ras, dan suku.
Konflik ini sering terjadi diberbagai daerah di Indonesia, khususnya daerah yang
masih kental dengan adat dan istiadat dan daerah golongan minoritas. Menyeruaknya
konflik bernuansa agama yang terjadi di negeri ini mengundang keprihatinan
berbagai pihak, termasuk diantaranya adalah pemerintah. Munculnya konflik seperti
itu bertolak belakang dengan pandangan masyarakat dunia yang melihat Indonesia
sebagai contoh bangsa yan menjunjung tinggi toleransi beragama. Kenyataannya
memang demikian, bahwa masyarakat Indonesia lebih dikenal dunia dengan
keberagaman ras, agama, dan suku bangsa.

Preposisi tentang Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama


islam sudah tidak dapat terbantahkan lagi. Namun, selain Islam. Ada lima agama lain
yang sudah diakui sebagai agama nasional yaitu: Kristen Katholik, Kristen Protestan,
Hindu, Budha, dan Konghucu. Penduduk muslim kebanyakan berada di pulau Jawa
dan Sumatera (wilayah barat di Indonesia), sedangkan agama lainnya tersebar
diseluruh wilayah Indonesia. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari
237.641.326 penduduk Indonesia adalah muslim, 6,96% beragama Kristen protestan,
2,9% beragama Kristen Katholik, 1,96% memeluk agama Hindu, 0,72% beragama
Budha, 0,05% beragama Konghucu, 0,13% agama lainnya, 0,38% tidak diketahui
jelas. (Buyung Sukron, 2017)

Indonesia dikenal dengan negara yang bersifat majemuk dalam hal agama dan
keyakinan. Kemajemukan ini mengandung dua dampak yang positif dan negatif
sekaligus. Dampak kemajemukan bermakna positif karena keragaman agama yang
dipeluk warga menjadi faktor integratif bagi Indonesia. Pada sisi lain, keragaman

1
agama seperti ini juga menjadi factor disintegrasi bangsa karena perbedaan
kepehaman dan kepercayaan masing-masing sehingga menimbulkan konflik.

Tercatat cukup banyak sekali tejadi konflik yang menarik perhatian di Indonesia.
Tidak sedikit juga menelan korban jiwa akibat konflik ini. Seperti salah satu contoh
konflik yang terjadi di Poso yang dimuali dari tahun 1998 dan hingga 2001-2002.
Pada konflik ini, terjadi perang gerilya secara terus menerus dan pembakaran dengan
korban dan penderitaan dari masing-masing pihak. Untuk menangani konflik ini
pemerintah melibatkan semua pihak yang ikut andil dalam konflik ini. Guna Melerai
konflik ini pemerintah menghidupkan kembali kelompok kerja Malino dalam rangka
meningkatkan silaturahmi dan dialog antartokoh agama dan masyarakat. Selain itu
pemerintah juga diperkuat dengan pembentukan tim investigasi pencari fakta,
pejabat dari Kementrian Politik, Hukum, dan Keamanan dengan melibatkan TNI,
Polri, dan Majelis Ulama Indonesia (Rifki Priuhutomo, 2015).

(Rachmah, 2015) Berdasarkan jenisnya, konflik yang terjadi di Indonesia ini


sebagian besar merupakan konflik social berlatar belakang SARA (Suku, Agama,
Ras, dan Antar Golongan). Seperti konflik sosial berlatar belakang agama di Ambon
(1999-2002) dan di Poso (1998-2001). Selain beberapa kasus konflik besar yang
terjadi di Indonesia, suatu konflik bermotif suku atau etnis terjadi di Sampit (2001)
yaitu antara suku Dayak dan Madura sebagai pendatang. Konflik inter-religius
Sunni-Syiah di Sampang, di tahun 2012 merupakan konflik atas eksistensi
kelompok/identitas yang makin menguat di kalangan komunitas Sampang. Secara
sosio-budaya, perbedaan identitas dan religious dikalangan kelompok-kelompok
sosial yang hidup bersama di kawasan ini menjelaskan mengapa konflik harus
berlangsung.

Dengan berbagai persoalan terkait dengan konflik intra-religius Sunni-Syiah yang


terjadi di Sampang, Madura, maka perlunya untuk mengetahui akar-permasalahan
dan hal-hal terkait pandangan, persepsi, dan upaya-upaya yang telah dan sedang
dilakukan oleh para pemangku kepentingan pada komunitaskomunitas yang
berkonflik yakni Muslim Sunni dan Syiah di Kecamatan Omben dan Karang Penang,
Sampang terkait dengan esensi dan persoalan terkait ajaran Sunni dan Syiah yang
selama ini telah dijalankan di daerah tersebut, untuk kemudian melihat dampak yang
terjadi terhadap komunikasi intra-religius di daerah berkonflik.

B. Tujuan penulisan
a. Tujuan umum
Adapun dalam penulisan ini diharapkan mahasiswa mengetahui tentang konflik
yang terjadi di Sampang.
b. Tujuan khusus
Diharapkan mahasiswa mampu:
1) Menjelaskan tentang pengertian konflik.
2) Menjelaskan tentang pengertian konflik agama.
3) Menjelaskan tentang faktor yang mendasari suatu konflik.
4) Menjelaskan tentang penyebab insiden konflik di Sampang.
5) Menjelaskan solusi dan penanganan konflik di Sampang.

C. Metode penulisan
Dalam makalah ini penulis menggunakan metode penulisan, yaitu dengan
menggunakan studi pustaka dari literatur yang ada di internet serta media informasi
lainnya yang diperlukan dalam pembuatan makalah ini.

D. Sistematika penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan yaitu
BAB I Pendahuluan: Terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Teori: Terdiri dari konflik agama,
konflik di Sampang. BAB III Penutup: Terdiri dari kesimpulan dan saran. Serta
Daftar Pustaka.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konflik Agama
1. Definisi
Konflik merupakan bentuk ketidakharmonisan antara manusia satu dengan
manusia yang lainnya atau suatu kelompok dengan kelompok lainnya karena
perbedaan kepahaman, kepercayaan, atau keyakinan. Konflik pada umumnya
tidak akan pernah hilang, karena sejatinya manusia selalu merasa tidak puas
terhadap sesuatu yang dianggap tidak sejalan dengan pikiran, rasionalitas, dan
keinginan. Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang
memiliki kesamaan persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan,
kehendak, tujuan, dan lain-lain. Hal ini yang akan merujuk pada sebuah
pertikaian yang dikenal dengan istilah konflik.

Anthonius (2011) memaparkan bahwa definisi konflik sangatlah berkaitan erat


dengan kepentingan masing-masing orang dan kelompok dalam masyarakat.
Kepentingan dapat dideskripsikan seperti kebuthan akan rasa aman, identitas
social, kebahagian, kejelasan, dan harkat kemanusiaan yang bersifat fisik.

(Rifki, Prihutomo, 2015) Sedangkan yang dimaksud dengan konflik agama


adalah pertikaian atau perselisihan paham antar umat beragama yang disebabkan
oleh berbagai alasan dalam mengintrepetasikan sumber yang dicampuri atau
didukun oleh aspek-aspek lain misalnya politik, ekonomi, dan sebagainya.
Perbedaan tersebut menajam semakin jelas ketika masyarat mengimplikasikan
keperbedaan pahamyang ada. Jadi dapat dikatakan disini bahwa agama dapat
pula memberi andil terjadinya pertikaian hubungan antar umat beragama.
2. Faktor Konflik

Konflik agama merupakan konflik yang sering terjadi di indonesia ,tidak jarang nilai
sejarah berupa perlakuan pemerintah menjadi di indonesia cikal bakal mengenai
penguatan eksistensi agama yang kemudian mengundang terjadi kesalahphaman
antar agama. Menurut Bertrand (2012: hal 118) selama periode Orde Baru,identitas
agama muncul sebagai bentuk identitas etnis yang paling penting. Dengan
menekankan pada kekhasan dari berbagai bentuk keagamaan atau konflik bernuansa
agama,kita dimungkinkan untuk menjelaskan mengapa suatu bentuk konflik
keagamaan muncul pada waktu dan lokasi tertentu. Sementara bentuk lainnya terjadi
pada waktu dan lokasi tertentu,sementara bentuk lainnya terjadi pada waktu dan
tempat yang lain.
Agama sebagai sebuah kesadaran makna dan legitimasi tindakan bagi
pemeluknya dalam interaksi sosialnya justru mengalami konflik interpretasi,
sehingga disinilah sebuah konflik itu mucul. Konflik antar pemeluk agama
menganung muatan kompleks dan tidak sekedar menyentuh dimensi
keyakinan dari agama yang dipeluk. Tetapi juga terkait dengan kepentingan
sosial,ekonomi,politik dan sebagainya. Konflik antar pemeluk agama amat
mudah ditunggangi kelompok kepentingan, sehingga konflik yang terjadi
adalah konflik yang terjadi adalah konflik kepentingan yang
mengatasnamakan Tuhan dan agama.

3. Fungsi dan Dampak Konflik Umat Beragama

(Febby, 2019) Menelaah kasus-kasus konflik umat Islam dalam artikel


Bowen ini, dapat dipahami bahwa agama bukan semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan manusia terhadap jawaban atas ketidakpastian dan
berbagai hal buruk yang tidak diinginkan dalam kehidupan. Agama dengan
serangkaian ritualnya bukan hanya soal hubungan dengan Tuhan dan sesama
manusia, demi terwujudnya kedamaian hidup di dunia, tetapi juga melekat di
dalamnya berbagai konflik perebutan kekuasaan dan sumber daya.
Dalam ketiga kasus konflik antarsesama muslim yang dijelaskan dengan
sangat rinci oleh Bowen, kita dapat memahami bahwa konflik memang tidak
akan pernah hilang dari kehidupan beragama. Kasus Bowen juga menegaskan
bahwa konflik tidak hanya terjadi antara agama yang berbeda, tetapi juga
antar umat-agama yang sama. Meskipun Bowen sendiri tidak menjelaskan
kasus yang ia teliti dengan teori fungsionalisme konflik, namun kita tetap
dapat menggunakan teori Coser terhadap kasus Bowen.

1
a. Memperkuat integrasi kelompok. Konflik yang diakibatkan oleh perbedaan
penafsiran makna sholat antara kelompok POESA dan kelompok Habib di
Seunagan telah memperkuat integrasi anggota kelompok ke dalam group
mereka masing-masing. Demikian juga halnya dengan kasus konflik di
Tanah Tinggi Gayo, dimana konflik dengan pihak luar telah menyebabkan
masyarakat menyadari arti penting adat dalam kehidupan mereka.
b. Meningkatkan motivasi untuk belajar ilmu agama. Dalam semua kasus
konflik agama yang dijelaskan Bowen, terlihat bahwa konflik agama telah
mendorong umat Islam yang terlibat di dalamnya untuk semakin
mempelajari ajaran Islam yang mereka yakini, dan berdampak positif pada
peningkatan keimanan mereka.
c. Mendorong tumbuhnya beragam komunitas baru. Dalam kasus konflik di
Tanah Tinggi Gayo, konflik yang terjadi telah menyebabkan terbentuknya
aliansi baru, dimana sebagian dari anggota kelompok membentuk komunitas
baru di daerah yang baru. Hal ini menurut Coser dapat menambah dinamika
dalam masyarakat.
d. Menjaga konsensus sosial. Kasus konflik di Jakarta jelas menunjukkan
bahwa konflik yang terjadi berfungsi menjaga solidaritas, dan sikap
keterbukaan dalam masyarakat yang telah menjadi suatu konsensus. Konflik
yang terjadi juga mendorong orang-orang untuk bersosialisasi dalam
masyarakat dimana ia tinggal.

Contoh konflik beragama yang disampaikan Bowen menyentuh inti sistem


masyarakat karena konflikkonflik tersebut disebabkan oleh perbedaan keyakinan dan
nilai agama. Meskipun menyentuh inti sistem ternyata konflik-konflik ini tetap
bersifat fungsional, dan tidak bersifat disfungsional seperti diteorikan oleh Coser.
Coser benar bahwa dalam konflik yang demikian cenderung sulit melahirkan
integrasi, namun tidak berarti disfungsional karena integrasi internal kelompok yang
berkonflik tetap terbangun. Pada saat konflik berakhir, dengan kemenangan salah
satu pihak, pada saat itu juga berlaku konsensus, meskipun sifatnya hanya sementara.
(Abu Hapsin, 2014) Jika konflik terus berkepanjangan terjadi maka, jelaslah ini akan
berkaitan dengan keberlangsungan NKRI, serta kenyamanan dan kedamaian waga
tidak akan tercipta. Terlebih lagi kekerasan yang terjadi akan menghancurkan
integrase bangsa sendiri. Maka dari itu konflik harus dicegah atau diminimalisir.

B. Konflik Sampang
1. Kronologi Konflik Sampang
(Handrini, 2012) Konflik yang meletus pada 26 Agustus 2012 sekitar pukul 09.00
WIB diawali dengan penyerbuan warga syiah di Sampang oleh kurang lebih 200
orang warga yang mengakibatkan dua orang tewas dan 15 rumah hangus terbakar.
Melihat dari latar belakang terjadinya konflik Sampang dapat diketahui bahwa
konflik tersebut justru berawal dari level pimpinan yaitu merupakan konflik
perebutan basis otoritas kepemimpinan agama. Para kyai Sunni/NU adalah
kelompok superordinat yang selama ini menikmati posisinya sebagai pemimpin
agama karena diakuinya nilai-nilai ke-sunni-an/ke-NU-an sebagai nilai-nilai
keagamaan bersama yang absah. Berbagai pendapat yang disebarkan dengan
mengatakan syi’ah sebagai kelompok sesat adalah upaya mendelitimasi syi’ah
telah menimbulkan stereotip yang begitu kuat dalam masyarakat. Kelompok Tajul
Muluk menjadi kelompok yang tidak disukai sehingga berujung pada
menajamnya konfrontasi yang berakhir pada konflik terbuka dari tahun ke tahun
diantaranya pada Desember 2010 beberapa warga melaporkan aktivitas ustad
Tajul Muluk dan jamaah syiahnya ke MUI. Para warga melaporkan ustad Tajul
Muluk dengan komunitas syiahnya karena dianggap telah meresahkan
masyarakat, yang diikuti dengan peristiwa pembubaran perayaraan Maulid Nabi
pada 4 April 2011 hingga konflik terbuka yang terjadi terakhir pada 26 Agustus
2012 berupa pembakaran 37 rumah warga penganut kelompok syiah.

Perbedaan Syiah menurut pengikut Sunni adalah karena orang-orang Syiah lebih
mengagungkan Ali bin Abi-Thalib yang merupakan menantu Nabi Muhammad
SAW, sebagai khalifah pengganti Muhammad. Mereka dianggap oleh pengikut
Sunni tidak mempercayai sahabat-sahabat Nabi yang lain seperti Abu Bakar,
Utsman bin-Affan, dan Umar bin-Khatab. Inilah yang membuat orang-orang
Sunni merasa bahwa pengikut Syiah mengkhianati kebenaran Islam. Menurut

1
warga Sunni di desa Bluuran dan Karang Gayam dianggap sudah melenceng dari
ajaran agama Islam yang benar menurut pengikut Sunni. Seperti yang dituturkan
oleh Faturossi, pengikut Syiah di Bluuran tidak seperti Syiah yang sebenarnya.
Misalnya, warga Syiah di Bluuran melanggar Rukun Iman yang dipercaya oleh
orang Sunni. Menurut warga ini orang Syiah setelah percaya pada Allah, mereka
percaya pada Sayyidina Ali, bukan Rasulullah Muhammad. Di kalangan orang
Syiah, menurut Faturossi, memiliki kitab suci Al-Qur‘an yang ayat-ayatnya lebih
banyak daripada Al-Qur‘an yang digunakan orang Sunni. Walaupun ketika
peneliti menanyakan apakah Faturossi melihat sendiri kitab Al-Qur‘an yang
digunakan orang Syiah, dia menyatakan belum pernah. Hampir sama dengan
Faturossi, beberapa warga Sunni yang ditemui di Desa Bluuran dan Karang
Gayam memang mempunyai kesamaan pandangan, penilaian, dan persepsi
terhadap warga
2. Isu-Isu Keagamaan Yang Terlibat

(Ida dan Dyson, 2015) Bagi pengikut Syiah, Sayiddina Ali dan keluarganya (istri dan
dua anaknya, Hasan dan Husain) adalah yang lebih dihormati. Pemahaman terhadap
ajaran Syiah sendiri, bagi pemeluk di luar Syiah, terutama pengikut Sunni
menginterpretasi Syiah secara berbeda. Bagi pengikut Sunni apa yang dilakukan oleh
Syiah adalah aliran sesat. Itulah mengapa orang Syiah dicap kafir oleh pengikut
Sunni karena dianggap tidak mempercayai sahabat Nabi Muhammad yang empat
orang tersebut. Persepsi yang kurang begitu dipahami akibat tidak memperlajari
langsung ajaran Syiah, ditambah dengan rumor-rumor dan katanya membuat ulama
Sunni di Sampang dan warga Sunni di Sampang semakin terbawa arus yang
mengerucut pada pemutarbalikkan fakta yang ada. Kondisi yang pada akhirnya
menyebabkan konflik berdarah yang berkepanjangan ketika kedua pihak yang
berkonflik saling merasa benar dan tidak mau disamakan. Konflik Sunni-Syiah di
Sampang yang berkembang isunya juga menyatakan bahwa karena dakwah yang
dilakukan oleh Tajul Muluk secara terbuka dengan menjelek-jelekkan sahabat Nabi
melalui pengeras suara dari masjidnya. Hal ini menimbulkan warga Sunni merasa
gerah. Sehingga mereka merasa dihina oleh Tajul. Tahun 2011 ketika Tajul
dipenjara, tuduhannya adalah menghina agama. Roisul pun membuat pernyataan
yang sama bahwa dakwah yang dilakukan Tajul dilakukan dengan terang-terang dan
mengolok-olok orang Sunni. Ketika peneliti, mengonfirmasi hal ini kepada warga
pengungsi Syiah, mereka menolak tuduhan itu. Menurut warga Syiah, ustadz Tajul
tidak pernah melakukan itu. Itu hanya fitnah yang dilakukan oleh kelompok Roisul
dan orang-orang yang tidak suka dengan mereka. Namun, keyakinan Syiah yang
dianggap benar oleh kelompok Tajul dan pengikutnya dianggap bukan sebagai
agama, atau Syiah yang sebenarnya oleh para ulama Sunni yang ada di Sampang.

3. Dampak Terhadap Komunikasi Antar-Budaya

Konflik Sunni-Syiah yang terjadi di Sampang pada tahun 2012 lalu tidak saja
berdampak secara fisik dan psikologis kepada warga Syiah yang menjadi sasaran
objek penyerangan massa yang anarkis. Namun konflik ini juga berdampak pada
penyebaran atau perluasan diskusi publik nasional tentang Sunni dan Syiah yang
dianggap berseberangan secara aqidah. Berbagai dampak yang terjadi akibat konflik
ini tidak hanya kehilangan rumah dan kepemilikan, melainkan juga kehilangan
identitas dan hak-hak kewarganegaraan dalam memeluk agama dan menjalankan
ibadah mereka di masyarakat. Hasil penelitian Hazim menyebutkan ada delapan
dampak sosial yang terjadi akibat konflik bernuansa Sara antara kelompok Islam
Syiah dan kelompok Islam Sunni di Sampang, Madura, Jawa Timur itu:

1.) Kehilangan tempat tinggal untuk sementara waktu, bahkan tidak menutup
kemungkinan bisa terjadi untuk seterusnya jika penduduk di wilayah konflik
ini tidak tercipta kesepakatan yang memungkinkan kedua belah pihak bisa
hidup berdampingan secara aman dan damai kembali. Berdasarkan informasi
dari Iklil (Koordinator Pengungsi Syiah) sebanyak sekitar 80 rumah warga
Syiah yang terbakar dari dua Desa juga belum ada pihak yang membantu
merehab kembali. Sementara itu, dari Pemerintah belum memberikan
kepastian alternatif solusi, apakah akan disiapkan tempat tinggal baru, atau
dipulangkan, atau alternatif pemecahan yang lain.
2.) Kehilangan sumber mata pencaharian. Sebelumnya, mayoritas mereka adalah
petani yang sangat tergantung dengan lahan yang dimiliki di Desanya sebagai
sumber ekonomi. Ketika mereka pindah dari desanya dan harus tinggal di

1
pengungsian, mereka sudah tidak memungkinkan lagi menggarap lahannya di
desa asal sementara ternaknya terpaksa harus dijual untuk menyelamatkan
asetnya.
3.) Ketiga, Tercipta ketergantungan dengan pihak lain. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya di pengungsian mereka mendapat disubsidi dari
Pemerintah Propinsi Jawa Timur, berupa uang sebesarRp709.000 perjiwa.
Hanya saja pengungsi tidak tahu hingga kapan subsidi ini akan diberikan.
4.) Keempat, Terganggunya pendidikan anak-anak dalam pengungsian. Saat ini,
terdapat 1 anak SMA, 2 anak SMP, dan 50 anak duduk di bangku SD.
5.) Kelima. Bagi anak-anak, mengalami gangguan psikologis karena mereka
berada dalam pusaran konflik secara berulang-ulang. Dampaknya anak-anak
akan terbiasa dalam kondisi kekerasan, sehingga bukan tidak mungkin
mereka kelak akan tumbuh menjadi anak yang bermental kasar dan frontal
yang diakibatkan oleh akumulasi pengalaman kekerasan yang dialami.
6.) Keenam, terpasung kebebasan dasar mereka.
7.) Ketujuh,Terbatasnya akses layanan sosial kesehatan
8.) Kedelapan, dampak lain yang harus menjadi perhatian dalam jangka panjang
adalah terjadi pemiskinan yang akan dialami oleh para pengungsi, karena
mereka tidak memiliki kepastian penghasilan maupun kepemilikan aset.

4. Peran Pemerintah Dan Berbagai Tokoh Dalam Penyelesaian Konflik


(Handrini, 2012) Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, M. Nasser yang menyatakan,
dalam tragedi Sampang, polisi sudah berusaha menghindarkan bentrok, namun tak ada
peran serta pemerintah daerah dalam mengupayakan perdamaian yang menyebabkan
konflik Sampang berulang 17 hendaknya disikapi secara tegas oleh pemerintah pusat
dengan mengembalikan penyelesaian permasalahan koordinasi kepada UU No.7 Tahun
2012 tentang Penangganan Konflik Sosial dan menegaskan kembali tentang peran dan
tanggungjawab masing-masing institusi dalam upaya melakukan tindakan pencegahan
terjadinya konflik.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 maka Pemerintah, Pemerintah Daerah
dan masyarakat berkewajiban untuk melakukan pencegahan terjadinya konflik
antara lain dengan cara memelihara kondisi damai di masyarakat,
mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi
konflik serta mengembangkan sistem peringatan dini. 18 Kebijakan lain yang
dilakukan bersamaan adalah melakukan proses akomodasi yang merupakan
proses sosial yang menunjukkan pada suatu keadaan yang seimbang dalam
interaksi sosial antara individu dan antar kelompok di dalam masyarakat terutama
yang ada hubungannya dengan norma-norma atau nilai-nilai sosial yang berlaku
di masyarakat Sampang yaitu antara kelompok sunni dan syiah.
Kejadian di Sampang Madura membuat berbagai pihak masuk untuk ikut
menyelesaikan pertikaian dua kubu yang berkonflik. Tidak hanya aparat Brimob,
Polresta, dan juga pemerintah daerah, propinsi, dan pusat yang terlibat. Namun
juga, lembaga-lembaga LSM pendamping yang melakukan advokasi bagi warga
Syiah juga turut terlibat. Bahkan forum ulama (kyai), pengurus PCNU Sampang,
MUI Sampang, dan juga lembaga keagaamaan Islam yang ada di Sampang
dilibatkan untuk membahas konflik ini. Menurut pengurus cabang NU Sampang,
sebenarnya ulama Sampang bersama unsur keamanan telah melakukan pertemuan
dengan wakil-wakil dari warga Sunni dan Syiah yang berseteru. Namun, forum
ini tidak menghasilkan titik temu atau jalan damai, malah memperkeruh keadaan.
Hal ini karena hasilnya, ulama dan Bupati Sampang serta MUI Sampang meminta
warga Syiah untuk tobat dan kembali memeluk Sunni baru mereka boleh kembali
ke daerahnya. Hal yang ditolak mentah-mentah oleh warga Syiah. Salah seorang
ulama menuturkan bahwa, kyai Sunni di Sampang sebenarnya telah terlibat dalam
upaya mencari jalan damai. Tetapi warga Syiah yang tidak bersedia. Demikian
versi yang disampaikan oleh salah satu ulama Sampang. Forum pertemuan yang
dilakukan oleh ulama Sampang dan aparat keamanan di Sampang tidak
memberikan hasil yang positif bagi konflik Sunni-Syiah ini.
Menurut pengakuan warga Syiah, memang pernah ada upaya rekonsiliasi yang
dilakukan pada tahun 2013. Ketika perwakilan warga Sunni Sampang mendatangi
warga Syiah di tempat pengungsi untuk Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol.
28, No. 1, tahun 2015, hal. 34-50 49 bersama-sama menandatangani kesepakatan
damai dan rujuk antar warga yang bersetru. Namun, menurut penuturan warga
Syiah pertemuan dan perjanjian itu hanya isapan jempol saja. Kelihatannya di

1
media massa mereka telah rujuk. Kenyataannya warga Sunni, yang dipengaruhi
elit ulama di sana, tidak menjalankan perjanjian yang ditanda tangani bersama
.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari data yang didapatkan dari beberbagai sumber dan analisis
yang dilakukan terhadap data tersebut, penulis mendapatkan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Woodward, Mark., Hefner, Robert. dkk (2017). Dialog. Jurnal Penelitian dan
Kajian Agama, 40, 0126-396x.
Rifki Priohutomo S. 2015. Penerapan Teori Peacemakin Criminology Dalam
menyelesaikan Kasus Konflik Berakhir Damai. Skripsi. Depok: Universitas
Indonesia.
Febriandi, Febby.(2019). Suatu Upaya Memahami Konflik Internal Umat
Beragama. Jurnal Agama, Ritual, Dan Konflik, 02.
Febriandi, Febby.(2019). Suatu Upaya Memahami Konflik Internal Umat
Beragama. Jurnal Agama, Ritual, Dan Konflik, 02.
Retnowati,.(2018). Agama, Konflik, dan Integrasi Sosial Refleksi Kehidupan
Beragama Di Indonesia : Belajar dari Komunitas Situbondo Membangun
Integrasi Pasca Konflik. Jurnal Kajian Sosial Keagamaan,01, 2654-6612.
Takdir, Mohammad.(2017). Identifikasi Pola-Pola Konflik Agama dan
Sosial. Jurnal Ri’Ayah, 02.
Syukron, Buyung.(2017). Agama dalam Pusaram Konflik (Studi Analisis Resolusi
Terhadap Munculnya Kekerasan Sosial Berbasis Agama di Indonesia. Jurnal
Ri’ayah, 02.

Anda mungkin juga menyukai