KONFLIK SAMPANG
Kelompok 5 (1B) :
Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat limpahan karunia
nikmat-Nya. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Konflik Tolikara”. Harapan penyusun semoga makalah ini dapat membantu
menambah pengetahuan bagi para pembaca. Untuk itu kami mengucapkan
terimakasih kepada :
Meski demikian, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan
di dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi.
Sehingga penulis secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif dari
pembaca. Demikian apa yang dapat saya sampaikan.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
C. Metode Penulisan
D. Sistematika Penulisan
A. Konflik Agama
1. Definisi
2. Faktor Konflik
B. Konflik Sampang
2.
3.
4.
5.
6.
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri tidak pernah terlepas
dari hadirnya konflik yang dapat mengancam keutuhan kesatuan negara Indonesia.
Integrasi bangsa Indonesia terancam karena permasalahan konflik. Beberapa konflik
yang terjadi di negara Indonesia adalah mengenai perbedaan agama, ras, dan suku.
Konflik ini sering terjadi diberbagai daerah di Indonesia, khususnya daerah yang
masih kental dengan adat dan istiadat dan daerah golongan minoritas. Menyeruaknya
konflik bernuansa agama yang terjadi di negeri ini mengundang keprihatinan
berbagai pihak, termasuk diantaranya adalah pemerintah. Munculnya konflik seperti
itu bertolak belakang dengan pandangan masyarakat dunia yang melihat Indonesia
sebagai contoh bangsa yan menjunjung tinggi toleransi beragama. Kenyataannya
memang demikian, bahwa masyarakat Indonesia lebih dikenal dunia dengan
keberagaman ras, agama, dan suku bangsa.
Indonesia dikenal dengan negara yang bersifat majemuk dalam hal agama dan
keyakinan. Kemajemukan ini mengandung dua dampak yang positif dan negatif
sekaligus. Dampak kemajemukan bermakna positif karena keragaman agama yang
dipeluk warga menjadi faktor integratif bagi Indonesia. Pada sisi lain, keragaman
1
agama seperti ini juga menjadi factor disintegrasi bangsa karena perbedaan
kepehaman dan kepercayaan masing-masing sehingga menimbulkan konflik.
Tercatat cukup banyak sekali tejadi konflik yang menarik perhatian di Indonesia.
Tidak sedikit juga menelan korban jiwa akibat konflik ini. Seperti salah satu contoh
konflik yang terjadi di Poso yang dimuali dari tahun 1998 dan hingga 2001-2002.
Pada konflik ini, terjadi perang gerilya secara terus menerus dan pembakaran dengan
korban dan penderitaan dari masing-masing pihak. Untuk menangani konflik ini
pemerintah melibatkan semua pihak yang ikut andil dalam konflik ini. Guna Melerai
konflik ini pemerintah menghidupkan kembali kelompok kerja Malino dalam rangka
meningkatkan silaturahmi dan dialog antartokoh agama dan masyarakat. Selain itu
pemerintah juga diperkuat dengan pembentukan tim investigasi pencari fakta,
pejabat dari Kementrian Politik, Hukum, dan Keamanan dengan melibatkan TNI,
Polri, dan Majelis Ulama Indonesia (Rifki Priuhutomo, 2015).
B. Tujuan penulisan
a. Tujuan umum
Adapun dalam penulisan ini diharapkan mahasiswa mengetahui tentang konflik
yang terjadi di Sampang.
b. Tujuan khusus
Diharapkan mahasiswa mampu:
1) Menjelaskan tentang pengertian konflik.
2) Menjelaskan tentang pengertian konflik agama.
3) Menjelaskan tentang faktor yang mendasari suatu konflik.
4) Menjelaskan tentang penyebab insiden konflik di Sampang.
5) Menjelaskan solusi dan penanganan konflik di Sampang.
C. Metode penulisan
Dalam makalah ini penulis menggunakan metode penulisan, yaitu dengan
menggunakan studi pustaka dari literatur yang ada di internet serta media informasi
lainnya yang diperlukan dalam pembuatan makalah ini.
D. Sistematika penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan yaitu
BAB I Pendahuluan: Terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Teori: Terdiri dari konflik agama,
konflik di Sampang. BAB III Penutup: Terdiri dari kesimpulan dan saran. Serta
Daftar Pustaka.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konflik Agama
1. Definisi
Konflik merupakan bentuk ketidakharmonisan antara manusia satu dengan
manusia yang lainnya atau suatu kelompok dengan kelompok lainnya karena
perbedaan kepahaman, kepercayaan, atau keyakinan. Konflik pada umumnya
tidak akan pernah hilang, karena sejatinya manusia selalu merasa tidak puas
terhadap sesuatu yang dianggap tidak sejalan dengan pikiran, rasionalitas, dan
keinginan. Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang
memiliki kesamaan persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan,
kehendak, tujuan, dan lain-lain. Hal ini yang akan merujuk pada sebuah
pertikaian yang dikenal dengan istilah konflik.
Konflik agama merupakan konflik yang sering terjadi di indonesia ,tidak jarang nilai
sejarah berupa perlakuan pemerintah menjadi di indonesia cikal bakal mengenai
penguatan eksistensi agama yang kemudian mengundang terjadi kesalahphaman
antar agama. Menurut Bertrand (2012: hal 118) selama periode Orde Baru,identitas
agama muncul sebagai bentuk identitas etnis yang paling penting. Dengan
menekankan pada kekhasan dari berbagai bentuk keagamaan atau konflik bernuansa
agama,kita dimungkinkan untuk menjelaskan mengapa suatu bentuk konflik
keagamaan muncul pada waktu dan lokasi tertentu. Sementara bentuk lainnya terjadi
pada waktu dan lokasi tertentu,sementara bentuk lainnya terjadi pada waktu dan
tempat yang lain.
Agama sebagai sebuah kesadaran makna dan legitimasi tindakan bagi
pemeluknya dalam interaksi sosialnya justru mengalami konflik interpretasi,
sehingga disinilah sebuah konflik itu mucul. Konflik antar pemeluk agama
menganung muatan kompleks dan tidak sekedar menyentuh dimensi
keyakinan dari agama yang dipeluk. Tetapi juga terkait dengan kepentingan
sosial,ekonomi,politik dan sebagainya. Konflik antar pemeluk agama amat
mudah ditunggangi kelompok kepentingan, sehingga konflik yang terjadi
adalah konflik yang terjadi adalah konflik kepentingan yang
mengatasnamakan Tuhan dan agama.
1
a. Memperkuat integrasi kelompok. Konflik yang diakibatkan oleh perbedaan
penafsiran makna sholat antara kelompok POESA dan kelompok Habib di
Seunagan telah memperkuat integrasi anggota kelompok ke dalam group
mereka masing-masing. Demikian juga halnya dengan kasus konflik di
Tanah Tinggi Gayo, dimana konflik dengan pihak luar telah menyebabkan
masyarakat menyadari arti penting adat dalam kehidupan mereka.
b. Meningkatkan motivasi untuk belajar ilmu agama. Dalam semua kasus
konflik agama yang dijelaskan Bowen, terlihat bahwa konflik agama telah
mendorong umat Islam yang terlibat di dalamnya untuk semakin
mempelajari ajaran Islam yang mereka yakini, dan berdampak positif pada
peningkatan keimanan mereka.
c. Mendorong tumbuhnya beragam komunitas baru. Dalam kasus konflik di
Tanah Tinggi Gayo, konflik yang terjadi telah menyebabkan terbentuknya
aliansi baru, dimana sebagian dari anggota kelompok membentuk komunitas
baru di daerah yang baru. Hal ini menurut Coser dapat menambah dinamika
dalam masyarakat.
d. Menjaga konsensus sosial. Kasus konflik di Jakarta jelas menunjukkan
bahwa konflik yang terjadi berfungsi menjaga solidaritas, dan sikap
keterbukaan dalam masyarakat yang telah menjadi suatu konsensus. Konflik
yang terjadi juga mendorong orang-orang untuk bersosialisasi dalam
masyarakat dimana ia tinggal.
B. Konflik Sampang
1. Kronologi Konflik Sampang
(Handrini, 2012) Konflik yang meletus pada 26 Agustus 2012 sekitar pukul 09.00
WIB diawali dengan penyerbuan warga syiah di Sampang oleh kurang lebih 200
orang warga yang mengakibatkan dua orang tewas dan 15 rumah hangus terbakar.
Melihat dari latar belakang terjadinya konflik Sampang dapat diketahui bahwa
konflik tersebut justru berawal dari level pimpinan yaitu merupakan konflik
perebutan basis otoritas kepemimpinan agama. Para kyai Sunni/NU adalah
kelompok superordinat yang selama ini menikmati posisinya sebagai pemimpin
agama karena diakuinya nilai-nilai ke-sunni-an/ke-NU-an sebagai nilai-nilai
keagamaan bersama yang absah. Berbagai pendapat yang disebarkan dengan
mengatakan syi’ah sebagai kelompok sesat adalah upaya mendelitimasi syi’ah
telah menimbulkan stereotip yang begitu kuat dalam masyarakat. Kelompok Tajul
Muluk menjadi kelompok yang tidak disukai sehingga berujung pada
menajamnya konfrontasi yang berakhir pada konflik terbuka dari tahun ke tahun
diantaranya pada Desember 2010 beberapa warga melaporkan aktivitas ustad
Tajul Muluk dan jamaah syiahnya ke MUI. Para warga melaporkan ustad Tajul
Muluk dengan komunitas syiahnya karena dianggap telah meresahkan
masyarakat, yang diikuti dengan peristiwa pembubaran perayaraan Maulid Nabi
pada 4 April 2011 hingga konflik terbuka yang terjadi terakhir pada 26 Agustus
2012 berupa pembakaran 37 rumah warga penganut kelompok syiah.
Perbedaan Syiah menurut pengikut Sunni adalah karena orang-orang Syiah lebih
mengagungkan Ali bin Abi-Thalib yang merupakan menantu Nabi Muhammad
SAW, sebagai khalifah pengganti Muhammad. Mereka dianggap oleh pengikut
Sunni tidak mempercayai sahabat-sahabat Nabi yang lain seperti Abu Bakar,
Utsman bin-Affan, dan Umar bin-Khatab. Inilah yang membuat orang-orang
Sunni merasa bahwa pengikut Syiah mengkhianati kebenaran Islam. Menurut
1
warga Sunni di desa Bluuran dan Karang Gayam dianggap sudah melenceng dari
ajaran agama Islam yang benar menurut pengikut Sunni. Seperti yang dituturkan
oleh Faturossi, pengikut Syiah di Bluuran tidak seperti Syiah yang sebenarnya.
Misalnya, warga Syiah di Bluuran melanggar Rukun Iman yang dipercaya oleh
orang Sunni. Menurut warga ini orang Syiah setelah percaya pada Allah, mereka
percaya pada Sayyidina Ali, bukan Rasulullah Muhammad. Di kalangan orang
Syiah, menurut Faturossi, memiliki kitab suci Al-Qur‘an yang ayat-ayatnya lebih
banyak daripada Al-Qur‘an yang digunakan orang Sunni. Walaupun ketika
peneliti menanyakan apakah Faturossi melihat sendiri kitab Al-Qur‘an yang
digunakan orang Syiah, dia menyatakan belum pernah. Hampir sama dengan
Faturossi, beberapa warga Sunni yang ditemui di Desa Bluuran dan Karang
Gayam memang mempunyai kesamaan pandangan, penilaian, dan persepsi
terhadap warga
2. Isu-Isu Keagamaan Yang Terlibat
(Ida dan Dyson, 2015) Bagi pengikut Syiah, Sayiddina Ali dan keluarganya (istri dan
dua anaknya, Hasan dan Husain) adalah yang lebih dihormati. Pemahaman terhadap
ajaran Syiah sendiri, bagi pemeluk di luar Syiah, terutama pengikut Sunni
menginterpretasi Syiah secara berbeda. Bagi pengikut Sunni apa yang dilakukan oleh
Syiah adalah aliran sesat. Itulah mengapa orang Syiah dicap kafir oleh pengikut
Sunni karena dianggap tidak mempercayai sahabat Nabi Muhammad yang empat
orang tersebut. Persepsi yang kurang begitu dipahami akibat tidak memperlajari
langsung ajaran Syiah, ditambah dengan rumor-rumor dan katanya membuat ulama
Sunni di Sampang dan warga Sunni di Sampang semakin terbawa arus yang
mengerucut pada pemutarbalikkan fakta yang ada. Kondisi yang pada akhirnya
menyebabkan konflik berdarah yang berkepanjangan ketika kedua pihak yang
berkonflik saling merasa benar dan tidak mau disamakan. Konflik Sunni-Syiah di
Sampang yang berkembang isunya juga menyatakan bahwa karena dakwah yang
dilakukan oleh Tajul Muluk secara terbuka dengan menjelek-jelekkan sahabat Nabi
melalui pengeras suara dari masjidnya. Hal ini menimbulkan warga Sunni merasa
gerah. Sehingga mereka merasa dihina oleh Tajul. Tahun 2011 ketika Tajul
dipenjara, tuduhannya adalah menghina agama. Roisul pun membuat pernyataan
yang sama bahwa dakwah yang dilakukan Tajul dilakukan dengan terang-terang dan
mengolok-olok orang Sunni. Ketika peneliti, mengonfirmasi hal ini kepada warga
pengungsi Syiah, mereka menolak tuduhan itu. Menurut warga Syiah, ustadz Tajul
tidak pernah melakukan itu. Itu hanya fitnah yang dilakukan oleh kelompok Roisul
dan orang-orang yang tidak suka dengan mereka. Namun, keyakinan Syiah yang
dianggap benar oleh kelompok Tajul dan pengikutnya dianggap bukan sebagai
agama, atau Syiah yang sebenarnya oleh para ulama Sunni yang ada di Sampang.
Konflik Sunni-Syiah yang terjadi di Sampang pada tahun 2012 lalu tidak saja
berdampak secara fisik dan psikologis kepada warga Syiah yang menjadi sasaran
objek penyerangan massa yang anarkis. Namun konflik ini juga berdampak pada
penyebaran atau perluasan diskusi publik nasional tentang Sunni dan Syiah yang
dianggap berseberangan secara aqidah. Berbagai dampak yang terjadi akibat konflik
ini tidak hanya kehilangan rumah dan kepemilikan, melainkan juga kehilangan
identitas dan hak-hak kewarganegaraan dalam memeluk agama dan menjalankan
ibadah mereka di masyarakat. Hasil penelitian Hazim menyebutkan ada delapan
dampak sosial yang terjadi akibat konflik bernuansa Sara antara kelompok Islam
Syiah dan kelompok Islam Sunni di Sampang, Madura, Jawa Timur itu:
1.) Kehilangan tempat tinggal untuk sementara waktu, bahkan tidak menutup
kemungkinan bisa terjadi untuk seterusnya jika penduduk di wilayah konflik
ini tidak tercipta kesepakatan yang memungkinkan kedua belah pihak bisa
hidup berdampingan secara aman dan damai kembali. Berdasarkan informasi
dari Iklil (Koordinator Pengungsi Syiah) sebanyak sekitar 80 rumah warga
Syiah yang terbakar dari dua Desa juga belum ada pihak yang membantu
merehab kembali. Sementara itu, dari Pemerintah belum memberikan
kepastian alternatif solusi, apakah akan disiapkan tempat tinggal baru, atau
dipulangkan, atau alternatif pemecahan yang lain.
2.) Kehilangan sumber mata pencaharian. Sebelumnya, mayoritas mereka adalah
petani yang sangat tergantung dengan lahan yang dimiliki di Desanya sebagai
sumber ekonomi. Ketika mereka pindah dari desanya dan harus tinggal di
1
pengungsian, mereka sudah tidak memungkinkan lagi menggarap lahannya di
desa asal sementara ternaknya terpaksa harus dijual untuk menyelamatkan
asetnya.
3.) Ketiga, Tercipta ketergantungan dengan pihak lain. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya di pengungsian mereka mendapat disubsidi dari
Pemerintah Propinsi Jawa Timur, berupa uang sebesarRp709.000 perjiwa.
Hanya saja pengungsi tidak tahu hingga kapan subsidi ini akan diberikan.
4.) Keempat, Terganggunya pendidikan anak-anak dalam pengungsian. Saat ini,
terdapat 1 anak SMA, 2 anak SMP, dan 50 anak duduk di bangku SD.
5.) Kelima. Bagi anak-anak, mengalami gangguan psikologis karena mereka
berada dalam pusaran konflik secara berulang-ulang. Dampaknya anak-anak
akan terbiasa dalam kondisi kekerasan, sehingga bukan tidak mungkin
mereka kelak akan tumbuh menjadi anak yang bermental kasar dan frontal
yang diakibatkan oleh akumulasi pengalaman kekerasan yang dialami.
6.) Keenam, terpasung kebebasan dasar mereka.
7.) Ketujuh,Terbatasnya akses layanan sosial kesehatan
8.) Kedelapan, dampak lain yang harus menjadi perhatian dalam jangka panjang
adalah terjadi pemiskinan yang akan dialami oleh para pengungsi, karena
mereka tidak memiliki kepastian penghasilan maupun kepemilikan aset.
1
media massa mereka telah rujuk. Kenyataannya warga Sunni, yang dipengaruhi
elit ulama di sana, tidak menjalankan perjanjian yang ditanda tangani bersama
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari data yang didapatkan dari beberbagai sumber dan analisis
yang dilakukan terhadap data tersebut, penulis mendapatkan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Woodward, Mark., Hefner, Robert. dkk (2017). Dialog. Jurnal Penelitian dan
Kajian Agama, 40, 0126-396x.
Rifki Priohutomo S. 2015. Penerapan Teori Peacemakin Criminology Dalam
menyelesaikan Kasus Konflik Berakhir Damai. Skripsi. Depok: Universitas
Indonesia.
Febriandi, Febby.(2019). Suatu Upaya Memahami Konflik Internal Umat
Beragama. Jurnal Agama, Ritual, Dan Konflik, 02.
Febriandi, Febby.(2019). Suatu Upaya Memahami Konflik Internal Umat
Beragama. Jurnal Agama, Ritual, Dan Konflik, 02.
Retnowati,.(2018). Agama, Konflik, dan Integrasi Sosial Refleksi Kehidupan
Beragama Di Indonesia : Belajar dari Komunitas Situbondo Membangun
Integrasi Pasca Konflik. Jurnal Kajian Sosial Keagamaan,01, 2654-6612.
Takdir, Mohammad.(2017). Identifikasi Pola-Pola Konflik Agama dan
Sosial. Jurnal Ri’Ayah, 02.
Syukron, Buyung.(2017). Agama dalam Pusaram Konflik (Studi Analisis Resolusi
Terhadap Munculnya Kekerasan Sosial Berbasis Agama di Indonesia. Jurnal
Ri’ayah, 02.