Anda di halaman 1dari 39

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Diakui atau tidak, Dewi Sukarno adalah orang Indonesia nonpolitik yang paling terkenal di luar negeri. Namanya hampir bisa dipastikan selalu tercantum dalam pesta gala kalangan atas, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Wajahnya dengan mudah ditemukan terpampang sedang memandu talk show di Jepang. Kerap pula ia menjadi tamu khusus dalam acara malam amal lembaga-lembaga besar dunia(GAMMA, 24 1999). Siapakah perempuan ini. Dengan mengesampingkan popularitas di luar negeri, ia adalah salah satu sosok penting dalam sejarah Indonesia. Dewi, yang bernama asli Naoko Nemoto, merupakan salah satu perempuan yang pernah hinggap di hati Sukarno. Sukarno jatuh hati sewaktu tengah mengadakan kunjungan kenegaraan Tokyo pada tahun 1995. Itu bukan letupan perasaan yang segera padam oleh waktu dan jarak. Sukarno sangat menginginkannya. Pun Naoko, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa ia tertarik dengan pria gagah dan kharismatik dari seberang lautan ini. Mereka pun memutuskan menikah, meski secara sembunyi-sembunyi, karena saat itu Sukarno sebenarnya seorang lelaki9 beristri. Hubungan mereka bertahan sampai Sukarno meninggal dunia tahun 1970. Di antara istri-istri Sukarno yang lain hanyalah Dewi-lah (dan Hartini) yang seia mendampingi Sukarno sampai ajal menjemputnya. Mengingat Dewi adalah satu-satunya istri Sukarno yang bukan orang Indonesia tentu menarik sekali untuk menggali latar belakang hidupnya. Lagi

pula, sepanjang enam dekade umurnya, ia telah menjalani berbagai macam episode kehidupan, mulai dari yang paling menyenangkan hingga yang paling menyakitkan. Tapi dengan keberanian yang mencegahnya, ia tetap tegar. Willem Otomans, wartawan wartawan yang juga sahabat Sukarno, menyebut Dewi sebagai perempuan besi Jepang(2001:91). Franz Magnis-Suseno, seorang filsuf kenamaan Indonesia, menjuluki Dewi sebagai tokoh postmodernist sakura dari jenis yang sangat jarang tumbuh, karena sang sakura itu mampu berdiri kokoh meski badai prahara berkali-kali mencoba menggulungnya. Dalam konteks sejarah Indonesia, nama Dewi tercatat sebagai pelaku sejarah yang tidak bisa diabaikan peranannya dalam tiga periode. Pada masa Orde Lama, ia adalah orang yang paling dekat dan dipercaya Sukarno, termasuk untuk urusan politik yang sensitif. Pada kurun kekuasaan Orde Baru, ia hidup di luar negeri, tapi tetap menjalin kontak yang berpengaruh di dalam negeri sekaligus menjadi salah satu pengkritik Orde Baru yang paling tajam(tapi tak pernah tersentuh hukum Orde Baru otoriter, sehingga membuat sebagian kalang percaya bahwa ia, setidak-tidaknya pada masa-masa awal berdirinya Orde Baru, sebenarnya adalah orang yang bersimpati dengan Sukarno). Apalagi, di luar negeri sendiri ia kerap membuat masalah yang membuat namanya tetap populer di dalam negeri. Masa Reformasi tak pelak lagi menjadi tempo di mana Dewi dengan cepat meraih predikat sebagai bintang politik publik Indonesia, terutama dalam kaitan kesaksian pentingnya seputar proses pengambilan kekuasaan tahun 1965-1967. Untuk mencari tahu semuanya secara detail dan lengkap dan sistematis, maka penulis membuat pertanyaan-pertanyaan di dalam Rumusan Masalah

B.

Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah sebagai berikut: a. Apa peran Dewi dalam peristiwa G-30 S? b. Bagamana kisah cintanya dengan Sukarno c. Seperti apa kehidupan Dewi setelah suaminya[Sukarno] meninggal?

C.

Tujuan Penulisan Ada pun yang menjadi tujuan pembahasan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui peranan penting dewi, di dalam peristiwa G-30 S. b. Untuk mengetahui kehidupan Dewi setelah Sukarno meninggal.

D.

Kegunaan Penulisan Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang perjalanan singkat tentang sosok seorang Dewi istri dari Presiden Pertama Indonesia Sukarno

E.

Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan pada karya ilmiah ini sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan; latar belakang masalah; perumusan masalah; tujuan pembahasan; kegunaan penulisan; sistematika penulisan. BAB II : BAB III : Biografi, Semasa remaja, Kisah cinta dengan Sukarno Kajian peranan seorang Ratna Dewi dalam kebenanaran sebuah pion yang ditanama oleh Jepang di Indonesia, serta peranaan di dalam peristiwa G-30 S BAB IV : Penutup; kesimpulan; saran; daftar pustaka. dalam

BAB II BIOGRAFI DAN ASMARA SUKARNO

A.

Kelahiran Dan Masa Kecil

Ratna Sari Dewi Sukarno tentu bukan sebuah nama yang dikenal apalagi umum dipakai di Jepang. Jelas saja, ini adalah nama Indonesia. Dewi Sukarno, istri almarhum Sukarno- Presiden RI Pertama- ini, bernama Jepang Naoko Nemoto. Masa kecilnya ibarat pelangi yang penuh kontras warna namun saling memperkaya. Naoko Nemoto dilahirkan ketika keluarganya berada pada titik bawah roda kehidupan mereka. Ayah dan ibunya bukanlah orang berpunya, kalau terlalu jauh mengatakan mereka miskin. Mereka mengandalkan biaya hidup pada sang kepala keluarga yang bekerja sebagai tukang alias pekerja bangunan. Kondisi serba kekurangan itu semakin kentara di tengah Kota Tokyo yang tengah menggeliat menuju modernitas, sekaligus mencoba-coba mencari kesempatan meluaskan pengaruhnya, suatu prasyarat yang cukup untuk meletupkan perang kawasan. Di jantung Jepang yang dulu bernama Edo itulah anak manis bernama Naoko Nemoto itu pertama kali merasakan kehangatan matahari1. Tarikh mencatat tanggal 6 Februari 1940 sebagai saat bersejarah bagi keberlangsungan

Massa Nishihara, Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang:Hubungan IndonesiaJepang 1951-1966(Jakarta:Pustaka Utama Grafiti,1994), hal.168.

satu generasi lagi. Keluarga kecil itu pun menyambut kelahiran anak mereka dengan penuh haru dan suka cita. Tentang kelahiran dirinya dan kemelaratan keluarga ini, Naoko pernah bercerita di Mingguan Perempuan Zyoosei Zisin yang diterbitkan 1970. Katanya, Aku lahir 6 Februari 1940 dari keluarga Heishichiro Nemoto yang yang berada. Karena himpitan hidup sering menerpa kami. Begitu melaratnya sampai-sampai uang untuk besok saja tak tersedia hari ini.2 Kepada terbitan Jepang lainnya, Bungei Shunju, Dewi kembali mengungkap masa kecilnya yang suram. Pada edisi yang terbit di tahun 1976 itu dewi dengan haru berkata,Perasaan yang aku kenal pertama sejak aku dilahirkan adalah ketakutan.3 Dewi juga berkisah, saat ia berusia 2 tahun ia sempat merasakan kejamnya Perang Dunia II. Dalam kondisi darurat perang, ia akrab dengan bunyi raungan sirene. Dengan mata kepalanya sendiri ia merekam aksi pesawat legendaris Amerika Serikat, bomber B-29, yang memuntahkan bom-bom berdaya ledak besar di seantero Tokyo. Perang menimbulkan luka yang sangat dalam pada diri Naoko hampir saja kehilangan penglihatannya. Akibatnya, sang ayahanda tidak bisa lagi menghidupi keluarganya.

Anonim, Cintaku pada Bung Karno Dendamku pada Sukarno(Tanpa Kota Terbit: Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun Terbit), hlm. 12 3 Pasang Surut seorang Dewi, Tempo, 15 Februari 1992, hlm.23. Tulisan-tulisan dewi yang dimuat di Bungei Shunju ini merupakan cikal bakal untuk buku otobiografi Dewi. PeriksaDari Otobiografi Dewi Sukarno: Kompas, 04-05-1976, hlm.4.

Musibah demi musibah seakan datang silih berganti. Setelah ayahnya dikalahkan nasib, giliran ibu Naoko yang kena petaka. Kaki sang ibu mulai tidak bisa digerakkan. Ujungnya, ia menderita kelumpuhan.4 Kendati demikian, keceriaan kanak-kanak Naoko kecil menyentak kesadaran kedua orang tuanya. Mereka mafhum benar, anak ini tidak boleh menderita seperti mereka. Oleh karena itu, ayahnya memutuskan untuk mengirim Naoko kecil ke bangku sekolah. Meski berada tepat di depan hidung, namun masalah biaya adalah urusan kedua. Jenjang sekolah paling dini yang diikuti Naoko adalah Kogai School(1946). Selama duduk di bangku sekolah dasar, Naoko untuk Kesenian kalinya merasakan betapa hidup ini seperti tak berpihak padanya. Latar belakang keluarganya yang melarat membuatnya tampil sebagai siswa yang berbeda dengan teman-temannya. Berkelebihan dengan teman-temannya yang mengenakan baju mereka yang paling bagus dan meriah untuk pergi ke sekolah, Naoko hanya sanggup mengenakan pakaian berkualitas rendah. Sewaktu sekolah dasar aku kena syok yang tidak aku lupakan sepanjang hidup:, ungkap Naoko di Bungi Shunju.5 Lepas dari Kogai School ia meneruskan ke Koryo School (1952). Selam tiga tahun Naoko di sekolah menengah pertama ini. Pada masa inilah ekonomi keluarganya mulai menunjukkan peningkatan. Selain bisa bersekolah di tempat yang baik, Naoko jelang remaja juga aktif belajar menyanyi dan bermain organ. Dalam benaknya sudah tergambar apa yang ingin tercapainya di masa depan: menjadi aktris dan pelukis.

4 5

Ibid Ibid

Setelah

tamat

sekolah

menengah

pertama,

Naoko

melanjutkan

pendidikannya ke Mita School. Untuk menyiasati kebutuhan hidup yang semakin meningkat, Naoko mengambil risiko dengan bersekolah sambil bekerja. Kantor yang ia masuki pertama kali adalah PT Chiyoda. Selama beberapa tahum ia menjadi pegawai di perusahaan asuransi jiwa itu. Naoko seperti hidup selama 24 jam penuh. Siang hari dihabiskannya untuk bekerja. Malamnya berulah ia bersekolah. Gaji pertama saya belikan pensil alis mata untuk ibu. Soalnya, karena kemiskinan, ibu terpaksa menggunakan arang yang ada di ujung korek api, ungkap Naoko saat mengenang masa-masa sekolah dan kerjanya itu. Meski sudah merasakan kepuasan memegang uang, itu tidak berarti Dewi tidak lagi memiliki mimpi untuk masa depannya. Pekerjaan justru memperluas wawasan dan memberinya kemampuan yang brilian dalam hal manajemen dan pengolahan potensi diri. Maka, tidak mengherankan kalau Naoko remaja semakin membulat tekadnya untuk menjadi pelukis, pengarang atau kritikus sastra.6 Impian Naoko sangat khas, unik, tidak umum, dan luar biasa berani. Jarang sekali ada anak sebayanya yang berpikiran seperti dia. Selain keyakinan diri, pilihannya itu memperlihatkan kualitas masa mudanya yang berlian. Untuk memenuhi keinginannya itu, Naoko meluangkan sebagian waktunya guna mempelajari tarian klasik Jepang, menyanyi, serta bermain drama pada Sishere Hayakawa Art Production. Sishere Hayakawa Art Production sendiri semacam sanggar seni yang memberikan kursus berbagai

Majalah Berita Mingguan Tempo, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986 (Jakarta:Grafitipers, 1986), hlm.922-923.

jenis kesenian. Latihan-latihan keras yang dijalaninya membuahkan hasil. Naoko dan teman-teman sangarnya acap diundang untuk tampil di panggung ternama di kota Tokyo. Selain kursus tari, Naoko juga menyibukkan diri dengan belajar memainkan musik jazz dan memperdalam kemampuan basah Inggris. Awalnya semua kegiatan itu terasa menyenangkan. Tepi, lama kelamaan Naoko menyadari bahwa ia tidak memiliki waktu cukup untuk menjalani semuanya. Dus, harus ada yang di korbankan. Pilihannya ternyata jatuh ke pendidikannya. Naoko memutuskan untuk berhenti sekolah. Saat-saat menjadi remaja tanggung itu pula Naoko merasakan cinta pertama dalam hidupnya. Ia sempat berkenalan dengan seorang mahasiswa Universitas Waseda yang punya kerja sambilan sebagai pelayan di sebuah bar, Eiji Kurokawa. Benih-benih cinta itu pun mulai tumbuh dan mekar. Tentang betapa seriusnya hubungan itu agaknya bisa dilihat dari rencana mereka untuk segera meresmikan kisah kasih mereka dalam sebuah ikatan pernikahan. Namun, entah karena alasan itu atau ada sebab lain, yang jelas Naoko dan Eiji sudah merasakan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan jauh sebelum terlaksananya perkenan yang mereka rencanakan itu. Suatu hari kami pergi ke Danau Yamanaka, dan di atas perahu pertama kali berciuman. Dan malam harinya kami jadi satu. Aku tak menyesal. Malah aku menangis karena sangat terharu dengan kelakuan kami yang agung itu. Itulah upacara kami pada suatu malam, waktu saya berumur 16 tahun, ungkap Naoko.7 Namun, indahnya cinta remaja dan kuatnya keinginan untuk menjadi satu ternyata tak cukup kuat untuk melawan takdir. Kondisi fisik Eiji mulai

Pasang Surut Seorang Dewi, Tempo, 15 Februari 1992, hlm 23.

menurun. Tubuhnya roboh dihantam sakit keras sehingga ia terpaksa dirawat di rumah sakit. Naoko pun menghapus nama Eiji dari mimpi-mimpi masa depannya. Sepasang anak muda itu lalu berpisah tanpa sempat bersatu secara resmi.

B.

Bermula Dari Copacabana

Setamat sekolah, kebingungan melanda batin Naoko. Keluarganya sudah hampir lepas tangan terhadapnya, dan ia diharapkan segera bisa hidup mandiri. Sebenarnya ia sendiri ingin melanjutkan sekolah, tapi apa mau di kata, bila biaya tidak ada. Sementara itu Naoko sangat mafhum bahwa dirinya tamatan sekolah lanjutan atas. Untuk bekerja pun ia tentu mengalami kesulitan,

mengingat pendidikannya yang minim. Ia sempat berpikir,...sebagai anak tertua dari 2 bersaudara aku punya tanggung jawab besar untuk mengubah segalanya. Harus.8 Ia berpikir praktis taktis. Pekerjaan termudah yang bisa didapatnya hanya ada di sektor informal. Tentu, pekerjaan yang tidak mengandalkan pengetahuan ala bangku sekolahan. Pemikiran ini semakin klop dengan kesadaran yang dimilikinya menyangkut dirinya: ia punya paras yang jelita serta kepiawaian menari dan menyanyi! Ia tahu tempat yang ditujuinya. Keelokannya yang membius tidak membuatnya menunggu lama. Ia diterima bekerja sebagai pramuria di sebuah klub malam di Tokyo. Namun, agaknya ia tidak betah di satu tempat saja karena ia butuh uang lebih dan pengalaman ekstra. Dari sini, dimulailah pertualangannya dari klub malam yang satu ke klub malam yang lain. Namanya juga mulai dikenal di dunia malam

Anonim, op. cit. , hlm.12.

Tokyo, dan ia segera mendapatkan popularitas di antara para pengunjung night club tempat ia bekerja. Masuk ke dalam bar demi bar menjadi mula yang tidak bisa diabaikan untuk menentukan masa depan Naoko. Bagaimana tidak, pada umur 17 tahun ia sudah aktif menyanyi dan menari di klub malam. Dari Music Coffe shop, Naoko pindah ke klub malam Benibasha di kawasan elite Akasaka, Tokyo. Dengan uang honor menyanyi yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit, Naoko pun mampu membeli sebuah bar bernama Shirokuma(Beruang Putih), yang terletak di Shibuya.9 Sebagai perempuan dari keluarga baik-baik, pilihan hidupnya jelas sulit. Naoko sendiri menyadarinya. ...ketika usiaku masih menginjak 16 tahun, aku sudah berani merasakan kepahitan hidup. Bangku sekolah kutinggalkan, lalu aku nekat bekerja sebagai kabaret di pusat hiburan Akasaka, di kawasan Ginza Tokyo. Sebagai geisha , sebagai perempuan penghibur. Barangkali banyak orang mencibir profesiku ini. Tapi, aku bisa memakluminya. Kebutuhan hidup yang mendesak, telah membulatkan nalarku. Yang terlintas di benakku saat itu, hanya bagaimana bisa bertahan hidup, seluruh keluarga bisa makan secara layak, tak kelaparan. Karena itu orang tuaku tampaknya pasrah melihat anak gadisnya nekat bekerja sebagai perempuan malam. Apa boleh buat, situasilah memaksaku berbuat demikian. Puncak karier Naoko, sekaligus titik di mana ia kemudian memutuskan berhenti karena godaan dari seorang pria perayu dari selatan, adalah sewaktu ia bekerja di klub malam Copacabana yang terletak di Akasaka. Daerah Akasaka ini, tak diragukan lagi, adalah ikon dunia malam Tokyo, di mana di tempat ini terdapat puluhan klub malam mewah dan eksklusif. Pramurianya disebut-sebut memiliki kepadaian dalam menciptakan obrolan, berdansa, untuk kemudian

Pasang Surut Seorang Dewi, Tempo, 15 Februari 1992, hlm.26.

10

meneruskannya ke hotel. Bahkan, pria yang alim dan terkesan tidak senang perempuan sekalipun, begitu masuk ke salah satu klub di Akasaka seketika bisa berubah 180 derajat.10 Naoko Nemoto sangat beruntung bisa bekerja di Copacabana, yang kadang-kadang disebut juga Copacabana Super Club. Tempat ini bukan night club kacanagan. Bila Akasana merupakan ikon dunia gemerlap Tokyo, maka Copacabana bisa disebut sebagai ikonnya Akasana. Di klub spektakuler ini, pengunjungnya tidak main-main. Kalangan pejabat dan pengusaha acap kali menghabiskan leha-leha mereka di tempat ini. Uang berputar dengan sangat cepat setiap malam. Pun pelayann6a, hanya geisha-geisha berpengalaman, dan punya service berkelas. Bahkan, dari namanya saja kita bisa menduga bahwa klub malam ini bertaraf internasional dan memiliki maksud sesuai asal katanya. Siapakah yang tidak tahu dengan Copacabana, sebuah pantai berpasir putih nan indah menawan dan hangat di Rio de Jeneiro? Setiap petang kita bisa menyaksikan tubuh-tubuh dari berbagai kulit berbalut bikini memenuhi pantai itu. Para wisatawan dari seantero dunia pasti memasukan nama pantai itu ke dalam urutan teratas tempat yang mesti mereka kunjungi pada saat liburan. Suasana kosmopolitan demikianlah yang agaknya diinginkan oleh pemilik Akasakas Copacabana. Para ekspatriat yang ada di Tokyo sering mengunjungi tempai ini. Tamu-tamu kenegaraan yang berasal dari luar negeri Jepang juga memfavoritkan tempat yang satu ini. Bagi orang-orang asing itu, belum di sebut Jepang namanya bila belum singgah sejenak mengaso di Akasakas Copacabana. Ini klop dengan hal satunya. Ibarat telah menjadi kewajiban, para penjabat Jepang selalu menunjuk Akasaka bila ada duta asing uang ingin santai sejenak sehabis rapat-rapat diplomatik yang menguras energi cantik,

10

Haji G. Malikmass, Catatan Anak Emas Sukarno (Yogyakarta: Galangpress, 2002), hlm. 129

11

dan pikiran. Sebaliknya, bagi Copacabana, orang-orang asing itu adalah tamu istimewa yang harus diberi pelayanan yang maksimal dan memuaskan. Di tempat ini, Naoko disebut-sebut sebagai salah satu hostes tercantik. Dialah bunga penarik kumbang-kumbang untuk datang ke Copacabana. Selain karena wajahnya yang ayu, ia juga memiliki karakter yang ceria dan mudah bergaul dengan siapa pun, sebuah kombinasi yang sempurna di mata orangorang yang memandangnya. Ia punya gairah khas remaja jelang dewasa yang sangat menyenangkan. C. Kartina Anak Pertama Dewi Ketika usai perkawinan Sukarno-Dewi menginjak 7 tahun, Sukarno kelihatan resah. Rupanya ia merindukan seorang momongan kasih cintanya berdua. Pada suatu hari Sukarno mengungkapkan secara terus terang kegalauan hatinya itu, kau berumur 26 tahun dan aku 64 tahun, walaupun aku ingin sekali punya anak, tetapi setelah 7 tahun belum juga ada tanda-tanda bahwa kau mengandung, aku mulai putus asa, ungkap Sukarno. Untungnya, kemurahan Tuhan memang selalu datang tepat waktunya. Tuhan mengabulkan doa Ratna Sari Dewi. Dia mengandung dan karenanya ia sangat bersyukur atas karunia Tuhan. Kehamilan itu merupakan kebahagiaan tak terkira bagi Sukarno. Sebagaimana seorang suami yang baik, Sukarno kerap menunggui Dewi di Wisma Yasso. Keperluan dan kebutuhan Dewi sebagai ibu hamil dipenuhinya dengan baik. Bahkan ia juga mengalami kepanikan khas seorang suami, yakni pontang-panting mencari makanan yang menjadi objek ngidam istrinya. Menurut Rachmawati, ketika hamil Dewi Sukarno ngidam bubur kembang tahu dengan kinca. Meskipun membahagiakan, namun ini adalah situasi yang dilematis, karena saat itu sebenarnya tenaga Dewi sangat dibutuhkan. Sukarno memilih untuk tidak mengambil resiko. Ketika situasi negeri ini semakin tak

12

menentu, Sukarno menyarankan agar Dewi pulang ke Jepang bersama bayi yang dikandungnya. Pada bulan November 1966, atas desakan keras dari Sukarno ini, Dewi terbang ke Jepang. Di tanah kelahirannya itu ia melahirkan anaknya yang pertama. Anak itu diberi nama Indonesia seperti ibunya, sesuai dengan pesanan ayahnya, yakni Kartika Sari Dewi ( ada sumber, termasuk dari Dewi sendiri, yang menyebut Karina Sari Dewi ). Menurut Dewi, bayi itu lahir selamat pada tanggal 11 Maret 1967, diberi nama : Karina Sari Dewi . Hanya sayangnya ketika Karina lahir, ayahnya sudah tak berkuasa di negerinya. Begitu sayangnya Sukarno pada Karina, beliau tak pernah lupa titip salam pada si kecil jika berkirim surat pada Dewi. Salah satu isi suratnya pada Karina antara lain berbunyi demikian : Buat Kartika, papa sangat senang sekali Karina Karina darling Karina . Nama yang sebenarnya Karina, tapi Sukarno kadang memanggilnya dengan Kartika. Kebahagiaan pasangan suami-istri lintas negara ini belakangan terusik lantaran beredarnya berita miring yang menyebut bahwa Kartika bukanlah keturunan Sukarno. Untunglah kabar burung itu berhembus ketika ia masih bayi merah, jika tidak pasti menyakitkan sekali bila ia tumbuh dalam bayangan sebuah isu : Ayahnya bukanlah Sukarno, tetapi Ali Butho, sahabat Sukarno yang juga pemimpin

Pakistan. Sebagai penguasa dari dua negara yang memiliki latar belakang ideologis dan kepentingan yang sama, kedekatan yang terjalin sangat hangat dan intim. Ini pula yang

menyebabkan Dewi diundang untuk datang ke Pakistan sebagai tamu

13

negara. Sukarno yang sudah kadung percaya, ditambah lagi dengan kesibukannya mengatur negara, mengizinkan Dewi pergi seorang diri. Konon, dari peristiwa inilah muncul kabar angin tentang kemiripan anak Dewi dengan Ali Butho. Berita ini juga dihubung-hubungkan dengan kondisi Sukarno yang mulai tua dan sakit-sakitan. Ia dikabarkan sudah tidak sanggup lagi menghadapi wanita dalam urusan seksual. Kasak-kusuk seputar berita ini semakin santar dan sempat menjadi rahasia umum di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Akan tetapi, bila kabar burung ini dibawa ke depan Kartika yang kini telah beranjak dewasa, ia tentu dengan sigap dapat menampiknya. Ia yakin betul Sukarno adalah ayah biologisnya dan ia bangga sekali dengan kenyataan itu. Saya lahir di Tokyo dan waktu itu ayah saya dalam tahanan rumah di Jakarta. Tapi saya tahu beliau memberi nama saya dan kakak-kakak saya dengan nama dari bahasa Sanskerta yang berkaitan dengan alam. Saya Kartika Sari, itu artinya sari bintang (essense of the star). Megawati itu dari cloud, Mega, kata Kartika. Sama seperti ibunya, Kartika adalah tipikal wanita modern yang aktif dan kosmopolitan. Masa kecil hingga remaja ia lewati di negeri Perancis. SMA Victor Hugo di Paris adalah pintu masuk kedewasaannya. Status mahasiswa disandangnya di Jurusan

Komunikasi MASSA di Pine Manor College, Massachusetts, Amerika Serikat. Setamat kuliah ia meniti karier di sebuah stasiun televisi di Jepang. Tak lama berselang, ia kembali ke Amerika dan bekerja di Kota Big Apple, Biro periklanan New York. Kendati telah menjadi warga dunia, ia selalu berusaha untuk dekat dengan Indonesia. Oleh teman-teman sekolahnya di Prancis Kartika dikenal sebagai orang Indonesia. Ibunya sendiri kerap mengingatkan Kartika akan

14

tanah asal bapaknya. Kesempatan untuk datang ke Indonesia selalu dimanfaatkan Kartika dengan baik dan penuh antusiasme. Pada hari Jumat, 16 Oktober 1981 Kartika dan ibunya mendarat di Jakarta untuk menghadiri pernikahan Mohammad Taufan Sukarnoputra, anak Sukarno dari Hartini. Di bandara yang memakai nama ayahnya, Kartika dan Dewi disambut oleh keluarga besar Sukarno, yang menunjukkan bahwa mereka adalah tamu istimewa yang kedatangannya telah dinanti-nantikan. Dalam rombongan penjemput tampak Megawati, Rachmawati,

Sukmawati, Guntur, dan Guruh. Kartika, yang waktu itu berusia 14 tahun dan duduk di kelas 1 SMA Victor Hugo Paris, diberi izin libur seminggu oleh sekolahnya. Selain bersama ibunya, ia juga didampingi Tana Kaleya, seorang artis dan fotografer yang banyak bergerak di dunia perfilman. Karena baru saja melakukan perjalanan jauh, Kartika dan ibunya baru mau menerima wartawan keesokan harinya. Sewaktu kepadanya ditanyakan tentang kebangsaannya, Kartika dengan ceria menjawab dalam bahasa Prancis, Je suis Indonesienne !. Ibu menyekolahkan saya ketika saya baru berusia dua tahun. Padahal seharusnya paling sedikit tiga tahun baru bisa diterima sekolah. Jadi, saya untung satu tahun, ujar Kartika melanjutkan perbincangan. Dewi, yang duduk di sebelahnya, menimpali, Pendidikan memang merupakan program yang saya pentingkan baginya. Apalagi dia hidup di lingkungan Asia yang kecil saja, di tengah lingkungan Eropa.

15

BAB III MASALAH MASALAH


A. Peran Dewi Dalam Peristiwa G-30 S Misteri Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) kini mulai terungkap. Ini setidaknya menurut versi Ratna Sari Dewi, istri almarhum Presiden Sukarno, yang menyingkapkannya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/10). Dengan tutur bahasa Indonesia yang kurang lancar, Dewi memaparkan secara runtut kejadian sekitar tragedi berdarah yang membenamkan bangsa Indonesia dalam kepedihan berkepanjangan itu. G30S/PKI bukanlah suatu kup atau kudeta. Kudeta terjadi justru tanggal 11 Maret dengan Surat Perintah 11 Maret yang menghebohkan itu, kata Dewi dalam konferensi pers di kediamannya yang asri di Jl. Widya Chandra IX No. 10. Jumpa pers ini dihadiri ratusan wartawan dari dalam dan luar negeri. Maka meluncurlah cerita dari bibir mungil wanita yang masih cantik di usianya yang mendekati kepala enam ini. Dengan sangat ekspresif, ia bahkan

memperagakan saat-saat akhir Bung Karno (BK) ketika dibawa dari Wisma Yaso ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Sebelum 30 September, Bapak (Bung Karno-BK, red) memanggil Jenderal A. Yani untuk menanyakan tentang adanya Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta dan membunuhnya, kata Dewi mengutip ucapan suaminya. Saat itu, Pak Yani menyatakan bahwa dirinya sudah tahu tentang hal itu, dan nama-nama para jenderal itu sudah ada di tangannya. Jadi Bapak tidak usah khawatir,

16

kata A. Yani. Saat itu, sebetulnya tidak ada yang memberitahu anggota pasukan Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden, tentang rencana makar terhadap panglima revolusi ini. Entah mengapa, pentolan Tjakra seperti Letkol Untung, Kolonel Latief dan Supardjo mengetahuinya. Mungkin ada yang memberi tahu mereka, ucap Dewi mengutarakan prediksinya. Sebagai perwira muda yang sangat loyal kepada BK, didorong kekhawatiran akan keselamatan BK, pasukan Tjakra ini bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya. Sebab kalau lapor kepada atasannya, diperlukan bukti-bukti padahal mereka hanya punya waktu sekitar empat hari lagi, karena kudeta akan dilakukan tanggal 5 Oktober 1965 saat ulang tahun ABRI. Lebih baik kami interogasi saja jenderal-jenderal itu, kata Dewi tentang niat para perwira muda di kesatuan Tjakra ini. Hal ini sebenarnya tidak direncanakan dengan baik, karena para perwira muda ini didorong oleh suasana emosi dan darah mudanya yang memang panas. Guna menghindari kemungkinan yang lebih buruk, Kol. Latief menemui Pak Harto di RSPAD dan membicarakan tentang rencana dewan jenderal. Juga diungkapkan kekhawatirannya terhadap keselamatan BK dan anggotanya serta rencana menginterogasi anggota dewan jenderal. Kalau ada apa-apa, Pak Harto bisa mem-back up, kata Dewi. Namun permintaan itu ditanggapi dingin oleh Pak Harto yang saat itu menjabat Pangkostrad. Sebetulnya, kalau mau Pak Harto bisa mencegah kejadian ini. Namun karena tidak hirau, Pak Harto membiarkan pasukan Tjakra bertindak. Tjakra bermaksud menyelamatkan BK. Masudnya baik tapi caranya kasar. Saya bisa mengerti karena darah mudanya, tutur Dewi. Untuk menginterogasi para jenderal itu, Letkol Untung tak mungkin menyuruh prajurit muda dengan pangkat rendah. Mereka ini hanya bertugas menjemput para jenderal untuk diinterogasi. Para prajurit ini tak mungkin berani memanggil Pak Yani yang jenderal untuk menghadap. Karena itu, mereka meminta para jenderal untuk menghadap BK dan tidak ada sama sekali

17

rencana untuk membunuh mereka, jelas Dewi yang sempat menghebohkan masyarakat Indonesia lewat buku yang menampilkan seluruh tubuhnya, Madame Dsyuga. Namun karena mereka masih muda, kerap kali keluar kata kasar yang tidak layak ditujukan kepada jenderal sehingga mereka marah. Contohnya Jenderal Yani yang menampar seorang prajurit dan akhirnya ditembak di tempat, sebagaimana terungkap dalam film G30S/PKI arahan Arifin C. Noer. Jadi gerakan itu bukanlah orang PKI melainkan orang-orang militer. Ini merupakan insiden yang sangat bodoh, idiot, cruel dan harus dicela, kata mantan geisha di Jepang ini. Menurut Dewi, usai gerakan ini Soeharto langsung menyatakan bahwa pelakunya adalah PKI. Itu diutarakan lewat RRI sehingga membentuk opini masyarakat tentang jahatnya PKI. Saat HUT TNI, Soeharto telah berhasil menguasai TNI. Mengapa rencana kudeta itu tanggal 5 Oktober? Karena saat itu semua maklum bila tentara keluar barak menuju istana untuk memperlihatkan keterampilannya di hadapan presiden. Saat itu ada show of tank. Ini persis dilakuan CIA ketika menjatuhkan Presiden Mesir Anwar Sadat yang meninggal saat defile angkatan perangnya, kata Dewi yang saat konferensi pers mengenakan batik tulis lusuh warna cokelat muda ini. ** TENTANG jatuhnya BK, Dewi sangat yakin bahwa BK Jatuh atas keterlibatan CIA. Untuk memperkuat pernyataannya itu, Dewi memperlihatkan 10 fotokopi dari tiga surat penting yang disebutnya sebagai bukti otentik keterlibatan CIA dan AS. Bukti pertama adalah dokumen tentang pertemuan salah seorang jenderal dengan dubes AS waktu itu untuk membicarakan kudeta tanggal 5 Oktober 1965.

18

Dokumen kedua adalah dokumen Gillchrist, orang kedua di Kedubes AS yang menyebutkan tentang rencana Marshal Green menjadi Dubes AS di Indonesia. Orang terakhir ini adalah pakar kudeta CIA yang terlibat dalam kudeta di Korea dan Hongkong. Saat itu sebetulnya BK sudah diingatkan tentang kemungkinan adanya rencana CIA di Indonesia sehubungan dengan kedatangan Green ini. Tapi kalau saya tolak, berarti saya takut pada AS, kata BK, seperti dikutip Dewi, tentang alasannya menerima Green. Dokumen terakhir adalah surat dari BK untuk Dewi yang menyatakan penderitaannya karena tidak boleh dijenguk anak dan istrinya. Juga tentang kondisi terakhir BK. Saat saya datang, kondisi Bapak sangat mengenaskan. Keesokan harinya Bapak meninggal. Ketika saya konfirmasikan kepada dokter di AS dan Prancis, ternyata terungkap bahwa ada indikasi Bapak dibunuh dengan cara diberi obat over dosis, katanya .(Refa/PR) ***

B.

Percintaan Ratna Sari Dewi Dengan Mantan Presiden Sukarno

Para pejabat penting Indonesia acap kali melakukan kunjungan resmi ke Jepang. Begitu juga sebaliknya. Para birokrat Jepang juga rajin

menyambangi Indonesia. Kedekatan kedua negara mencapai puncaknya tahun 1957. Pada tahun

19

tersebut, kesepakatan tentang nilai pampasan perang disepakati. Kisah kasih antara Sukarno dengan Naoko adalah titik kisar penting untuk memahami masuknya Naoko ke dalam kehidupan sang presiden. Haru-biru cinta mereka tidak seperti kasmaran anak muda yang selalu berpikir tentang dua yang dimiliki berdua. Ini adalah sebuah episode bersambung yang kompleks, yang dipenuhi olah tragedi, intrik, dan persoalanpersoalan yang menyangkut banyak orang, bahkan negara. Bisa dikatakan, jalannya sejarah Indonesia dipengaruhi olah peristiwa ini. Semuanya bermula pada awal tahun 1959, kala Presiden Sukarno sendiri yang bertandang langsung ke Jepang untuk urusan harta pampasan perang. Ia tidak sendirian, tapi membawa rombongan yang untuk ukuran masa itu tergolong banyak bagi sebuah kunjungan kenegaraan, yakni 29 orang. Sebagian besar di antara mereka adalah para menteri anggota kabinet. Sukarno sendiri sangat senang berada di Jepang. Ada beberapa alasan untuk itu.

Bagan 1 Dewi bersama Sukarno

20

Pertama, Jepang adalah salah satu kota transit paling strategis di dunia. Kedua, berkaitan dengan kesukaan pribadinya, yakni ketertarikannya pada dunia malam Tokyo, yang dalam kunjungan mempertemukannya berikutnya dengan Naoko

Nemoto. Sukarno sendiri mengakui kegemarannya akan kerlap-kerlip dunia hiburan malam Tokyo, khususnya klub malam yang menyediakan jasa geisha,
Bagan 2 Gedung Akasaka

perempuan penghibur ala Jepang. Ia bahkan menganggap wajar-wajar saja

kalau ia mengunjungi geisha. Kata Sukarno, Tiada sesuatu yang melanggar susila mengenai Rumah Geisha. Orang sekedar duduk, makan-makan, bercakap-cakap, dan mendengarkan musik. Hanya itu. Sukarno mengunjungi Jepang beberapa kali. Pada tanggal 6 Juni 1959, Sukarno kembali menginjakkan kakinya di Tokyo. Untuk menunjukkan penghargaannya kepada para tamu, tuan rumah menjamu rombongan Sukarno dengan pelayanan yang terbaik. Setelah menghabiskan pikiran di siang hari untuk berunding, para anggota rombongan tentu akan kelelahan. Maka, mereka membutuhkan refreshing. Lagi pula, para pejabat Jepang tahu benar bahwa tidaklah sulit untuk memuaskan hati administratur dari Indonesia itu. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka sangat suka menghabiskan waktu di klub malam klub malam yang ada di Tokyo, khususnya daerah elite Akasaka. Untuk pelayanan terbaik, dipilihlah Akasakas Copacabana yang terkenal itu. Sepanjang malam anggota rombongan bakal menghabiskan waktu

21

bersukaria ditemani wanita-wanita cantik. Mereka bisa mengobrol sepuasnya. Pun kalau mau berdansa, para geisha
Bagan 3 Gedung Akasaka's Copacabana

itu sudah tentu telah terlatih. Bahkan, kalau berdansa sudah tidak cukup lagi sementara hasrat juga meminta untuk segera dipenuhi, maka para tamu bisa saja menyewa gadis-gadis itu untuk one night stand. Tentu, keprofesionalan mereka harus dibayar dengan harga yang sangat tinggi. Haji G. Malikmass juga menyatakan banyak pejabat Indonesia yang suka bertandang ke klub malam yang ada di Tokyo. Salah satu di antaranya adalah Ibnu Sutowo, yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina. Ibnu dikabarkan sering mengunjungi klub Latin Quarter di Akasaka. Di klub malam ini ia menyenangi seorang pramuria bernama Ryokosan. Di Akasakas Copacabana itulah Sukarno bertemu untuk pertama kalinya dengan Naoko Nemoto. Yang berjasa dalam mempertemukan mereka adalah Kubo Masao, seorang pengusaha Jepang dari Perusahaan Dagang Tonichi yang tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Suatu malam, imbuh Naoko, sehabis nonton film dengan Kubo, aku diajaknya mampir ke Hotel Imperial, ia hanya berkata singkat, Ada orang penting yang akan dikenalkan kepadamu , aku menerut saja. Malam itu, 16 Juni 1959, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Sukarno, presiden pertama RI. Ada rasa senang campur bangga, bisa berkenalan dan makan malam dengan orang nomor satu di Indonesia kala itu. Untuk seterusnya biarlah kupanggil dia Bapak . Sukarno jatuh hati dengan pramuria ayu itu, apalagi karena pada pertemuan pertama yang berkesan itu sang geisha dengan piawai menyanyikan lagu Indonesia yang sangat populer, Bengawan Solo. Tampaknya Sukarno jatuh hati bukan saja

22

disebabkan oleh paras Naoko, tapi juga karena kepandaian Naoko dalam menari dan menyanyi. Dalam urusan ini, antara Sukarno dan Naoko memiliki satu kesesuaian yang membuat mereka bisa dekat dan nyambung : kecintaan yang dalam akan seni. Dari latar belakangnya, kita tahu bahwa Naoko semenjak kecil memiliki cita-cita berkecimpung dalam dunia kesenian. Sementara itu, Sukarno sendiri mewarisi darah seni dari ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai, seorang keponakan Raja Singaraja, Bali. Selama pergaulan hidupnya dengan budaya Bali, sang ibu tentu menyerap dan menyimpan pengalaman estetik yang kemudian diturunkannya kepada putranya,Sukarno. Dalam beberapa contoh lainnya, Sukarno menunjukkan perhatian yang mengesankan pada karya seni bermutu tinggi. Hal ini bisa dilihat dari koleksi patung dan lukisan yang dimilikinya. Untuk yang terakhir, ia bahkan rela menghabiskan waktu dan uangnya supaya bisa mendapatkan lukisan-lukisan karya para maestro dunia seperti Diego Rivera, Ito Sinshui, dan William Russel Flynt. Begitu juga Naoko, ia tertarik dengan Sukarno yang ganteng dan penuh kharisma. Pertemuan itu segera meninggalkan kesan di benak masingmasing.Naoko juga bilang, Begitulah, sejak pertemuan itu, Bapak banyak menulis surat kepadaku. Bahasanya romantis, dan ia tak segan-segan mengungkapkan rasa cintanya yang beribu-ribu kali kepadaku. Dan pada akhir suratnya, ia selalu menulis : I am constantly thinking of you. You know how I love you, 1000 kisses, Sukarno. Bahkan, berdasarkan catatan hariannya yang belakangan diplublikasikan, Naoko menyebutkan bahwa ia sempat bertemu dua kali dengan Presiden Sukarno di Hotel Imperial Tokyo sebelum keberangkatan Sukarno ke Jakarta. Dalam sebuah keterangan yang belum bisa dikonfirmasikan tahun terjadinya, namun diperkirakan pada saat yang sama

23

dengan peristiwa di atas, yakni Juni 1959, didapat informasi yang lebih jelas seputar kisah kasih dua anak manusia beda bangsa ini.

24

Beberapa menteri ikut merayakan hari ulang tahun Presiden Sukarno yang jatuh pada tanggal 6 Juni di Hotel Imperial, Tokyo. Bukannya senang, mereka malah gelisah. Mereka sedang membawa misi penting dari Tanah Air, dan sekaranglah detik-detik menentukan berhasil tidaknya misi itu. Gadis bar Naoko Nemoto dan Sang Pemimpin Besar Revolusi adalah objek misi itu. Menteri-menterinya kawatir kalau-kalau hubungannya dengan Naoko tentu bisa merugikan dan kontraproduktif. Musuh-musuh Presiden Sukarno merasa mendapat kesempatan sempurna untuk kembali menyerang moral Sang Presiden. Guna mengingatkan Presiden Sukarno atas api yang baru saja ia hidupkan dan bisa membakar dirinya-sendiri, maka diusulkan oleh Kolonel Soenarso agar Sukarno jangan ketemu lagi dengan Naoko. Lha, cara untuk memutuskannya bagaimana?. Kolonel Soenarso, yang jelas senang, berpikir taktis. Gampang, Pak. Sekarang saja Bapak kembali ke Jakarta, tanpa memberitahu siapa pun, kecuali protokol pemerintah Jepang. Presiden sepakat. Sorenya, ia dan rombongan segera check out dari hotel dan terbang ke Jakarta. Malamnya, di hotel yang baru saja mereka tinggalkan, berdiri kaku seorang gadis muda. Naoko Nemoto,

pelayan night club yang baru saja merasakan nikmatnya panah cinta, sangat terkejut karena seluruh kamar tempat presiden dan rombongannya menginap telah sepi

penghuninya. Ia merasa sangat terhina dan disia-siakan. Ini pasti membuktikan betapa besarnya kekecewaannya : diambilnya pisau, dan ia melakukan bunuh diri. Untunglah, harakiri itu tidak mengambil nyawanya. Petugas hotel menemukannya, dan segera membawa gadis malang ini untuk mendapatkan pertolongan medis.

25

Jakarta tampaknya menjadi kota yang terlalu terbuka untuk kabar apapun, termasuk apa yang terjadi di seberang lautan. Berita tentang percobaan bunuh diri yang dilakukan gadis bar Naoko dengan cepat menjalar
Bagan 4 Foto Dewi menjadi cover majalah Spanyol 1973

ke Indonesia, dan tinggal menunggu waktu saja untuk hinggap ke telinga Presiden Sukarno yang super sensitif untuk urusan wanita. Benar saja,

entah dari mana asalnya, Presiden tahu tragedi itu. Ia, yang merasa bertanggung jawab karena dicintai wanita yang sampai mencoba bunuh diri, tiba-tiba merasa sangat egois. Tanpa ada yang berani menghalangi sang presiden, ia langsung terbang ke Jepang. Sekembalinya ke Jakarta, Sukarno rupanya tidak bisa menghilangkan wajah cantik gadis kabaret berusia 19 tahun itu dari pikirannya. Ia pun sempat mengirimkan surat-surat bernada mesra kepada Naoko melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ada di Tokyo. Naoko juga sempat beberapa kali mengirimkan surat balasan. Sukarno jelas pemikat hati yang ulung. Suratsuratnya memperlihatkan bahwa ia sama berapi - apinya untuk urusan pidato politik dan surat cinta. Naoko tidak malu-malu mengakuinya. Katanya, Sebagai wanita biasa, perasaanku jadi berbunga-bunga setiap kali membaca surat-suratnya. Dan aku meski saat itu masih begitu belia, berusaha membalas ungkapan hati Bapak dengan bahasa saya, bahasa cinta pula.Sampai pada 18 Agustus tahun itu juga, datang surat Bapak untuk ke sekian kalinya. Tapi kali ini isinya berupa undangan agar aku mau berkunjung ke negaranya, Indonesia. Tanpa pikir panjang, ajakan itu kuterima. Apalagi aku tak seorang diri pergi ke sana. Kubo, yang mengenalkan aku dengan Bapak, ternyata diundangnya pula. Pada 14 September kami berdua terbang ke Jakarta, dan baru tiba keesokan harinya. Puncak dari hubungan jarak jauh itu, sebagaimana diungkapkan di atas, adalah sebuah surat tertanggal 18 Agustus 1959. Dalam surat yang sekali lagi membuktikan kekerasan kepala Sukarno dalam mendapatkan wanita yang disukainya, Sukarno mengundang Naoko untuk

26

berkunjung ke Indonesia selama dua minggu. Selain mengajak Naoko, Sukarno juga memberitahukan rencananya ini kepada Kubo Masao. Tak lebih satu bulan sesudah itu, tepatnya tanggal 14 September, Naoko berangkat ke Indonesia. Untuk menghindarkan kecurigaan, ia menyamar sebagai seorang karyawati Perusahaan Dagang Tonichi cabang Jakarta. Bersama Naoko turut pula Kubo Masao. Sehari kemudian mereka sampai di Jakarta. Pada waktu inilah Naoko menyadari bahwa ia telah dimanfaatkan oleh Kubo Masao untuk memperlancar usaha bisnisnya di Indonesia. Belakangan, tepatnya tahun 1966, Kubo Masao mengelak tuduhan tersebut, meski ia mengakui peran penting Naoko dalam kontrak-kontrak ekonomi yang dia dapatkan sesudah memperkenalkan Naoko dengan Sukarno. Sebagai contoh, antara tahun 1960 dan 1963 Kubo Masao mendapatkan empat kontrak besar di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah pembangunan Samudera Beach Hotel di Jawa Barat dan Hotel Ambarukmo di Yogyakarta. Sejumlah orang mencurigai keberhasilannya ini sebagai hasil dari usahanya mendekatkan Presiden Sukarno dengan Naoko. Selama di Jakarta, Naoko tinggal menyendiri di asrama Tonichi di Jakarta. Barangkali hal inilah yang kemudian memudahkan Sukarno sewaktu menemuinya. Bahkan, Sukarno dengan nekat mengajak Naoko dalam setiap kunjungannya ke luar negeri. Sewaktu diperkenalkan kepada koleganya, Sukarno menyebut Naoko sebagai salah seorang sekretarisnya. Dalam kesempatan lain, ia menyebut Naoko sebagai istri dari rekannya, Kirishima. Kirishima sendiri adalah seorang pegawai di Perusahaan Dagang Tonichi cabang Jakarta. Sekitar tahun 1962, hubungan Naoko dengan Kubo Masao memburuk. Naoko tidak senang dikendalikan sedemikian rupa oleh Kubo Masao. Naoko

27

juga punya kepentingannya sendiri, dan dia merasa Kubo Masao tidak berhak mengatur-ngaturnya. Karena itu, Naoko memutuskan untuk melepaskan diri dari pengaruh Masao. Ia lalu mulai mendekat kepada Toyoshima, saingan bisnis Kubo Masao. Keputusannya pas dengan ketidaksukaan Presiden Sukarno atas bisnis-bisnis yang dijalankan Kubo Masao di Indonesia. Bahkan, Sukarno sampai memaksa Kubo Masao untuk menutup kantornya yang ada di Jakarta. Lewat Toyoshima, Naoko berkenalan dengan Duta Besar Jepang di Indonesia, Oda Takio. Naoko tidak hanya dekat dengan Toyoshima, tetapi juga akrab dengan Perusahaan Dagang Kinoshita. Persahabatannya dengan orang-orang Jepang dari kalangan politik dan bisnis ini semakin memantapkan posisi Naoko di mata orang-orang Jepang yang ada di Indonesia. Dalam tahap selanjutnya, Naoko menjelma sebagai pintu utama yang harus dilewati sebelum masuk ke lobi-lobi penting dan pihak-pihak yang berkuasa di Indonesia. Tidak hanya itu. Nama Naoko juga semakin santer di kalangan petinggi-petinggi di Negeri Matahari Terbit. Pada bulan Juni 1961, Naoko mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan calon ketua Partai Demokrat, Kawashima Shojiro. Bahkan, dalam sebuah kunjungan ke Jepang setahun berikutnya, Naoko bertemu dengan Takemi Taro, ketua Asosiasi Medis Jepang. Ia juga bersobok dengan direktur utama Perusahaan Konstruksi Kajima, Kaima Morinosuke. Dengan orang yang disebut terakhir ini Naoko mendiskusikan keinginannya untuk mendirikan sebuah rumah sakit di Jakarta. Sementara itu, setelah menjalani percintaan Backstreet sedemikian lama, Presiden Sukarno dan Naoko bosan juga. Menurut pengakuan Naoko, Selama tinggal di Jakarta, aku tak boleh tampil terang-terangan. Sedikit banyak, aku harus menyamar. Kubo lantas mengakui kalau aku adalah karyawatinya. Maka selama di Jakarta, aku tinggal di kantor perwakilan

28

Tonichi. Hubungan kami bisa bebas, jika Bapak mengadakan kunjungan ke luar negeri. Selama kunjungan, aku biasanya dikenalkan sebagai staf sekretarisnya. Aku tak keberatan sama sekali. Aku tahu benar resik yang harus ditanggung Bapak sebagai Presiden RI jika sampai ada yang tahu affair di antara kami. Di imbuhkan Naoko, Tapi, hidup dalam penyamaran dan tak bebas menampilkan jati diri, sungguh membuat batin tersiksa. Apalagi diamdiam Kubo ternyata memanfaatkan diriku untuk meminta banyak fasilitas kepada Bapak. Dan akhirnya, Kubo memang mendapat sejumlah kontrak pekerjaan, di antaranya yang masih kuingat adalah pembangunan Monas, yang saat itu dianggap sebagai proyek mercusuar. Tapi aku tak mau terus dijadikan alatnya. Aku ingin melepaskan diri dengannya. Pada suatu saat Bapak rupanya tak berkenan dengan hasil pekerjaan Kubo. Sejak itu semua proyek untuk Kubo dihentikan, sementara kantor perwakilannya ditutup. Dari pada membiarkan telinga menjadi panas karena mendengar isu-isu miring seputar hubungan mereka, Sukarno dan Naoko akhirnya memutuskan menikah secara resmi. Hubunganku dengan Bapak, terang Naoko, mencapai puncaknya, ketika suatu hari lewat kurir kepresidenan ia menulis dalam secarik kertas: Sudilah menjadi sumber kegembiraan saya, kebahagiaan saya, sumber kekuatan saya, sumber ilham saya. Bapak meminangku untuk dijadikan istrinya. Hatiku berdebar-debar antara gembira dan ragu. Sebab siapa pun tahu saat itu Bapak telah memiliki sejumlah istri. Ada Bu Fat, Hartini, Yurike. Tapi Bapak bisa mengusir kebimbanganku juga lewat sepucuk surat, ia menulis: Jangan khawatir, jangan bimbang. Aku akan memperlakukanmu dan Hartini sebagai dua orang yang sama, yang seorang tidak lebih disenangi daripada yang lain, samasama. Perlu saya terangkan sedikit, sebenarnya si Kubo Masao telah memperkenalkan seorang gadis Jepang pada Sukarno.

29

Sebelumnya, saingan Perusahaan Dagang Tonichi, Perusahaan Dagang Kinoshita, sempat memperkenalkan Sukarno pada seorang gadis Jepang bernama Sakiko Kanase. Sakiko bahkan sempat masuk Islam dan berganti nama menjadi Saliku Maisaroh. Namun, hubungannya dengan Sukarno tidak berlanjut. Sakiko kecewa berat. Tidak lebih dari tiga minggu sesudah ia mendengar berita pernikahan Sukarno dengan Naoko Nemoto, ia memutuskan untuk bunuh diri. Namun pernikahan Sukarno dan Naoko tidak jelas. Ada yang menyebutkan bahwa mereka menikah secara diam-diam pada tanggal 3 Maret 1962. Pada hari perkawinannya itulah Naoko menganut agama Islam dan mendapatkan nama Indonesia yang anggun dari Sukarno : Ratna Sari Dewi yang berarti Intisari Perhiasan. Setelah menganut agama Islam, Dewi mengunjungi Tanah Suci, Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sementara itu, sumber lainnya menyangkal,dan mengatakan bahwa Naoko dan Sukarno menikah secara resmi pada bulan Mei 1964. Tanggal yang disebut pertama tampaknya lebih valid. Hal ini dikarenakan pada bulan September 1963 Presiden Sukarno sudah berani memperkenalkan Naoko, yang kini dipanggil Dewi, sebagai istrinya kepada Perdana Menteri Jepang Ikeda Hayato dan istrinya dalam sebuah acara pribadi dalam kunjungan resmi mereka ke Indonesia. Lagipula, Naoko sendiri telah mengkonfirmasi tanggal itu. Pada 3 Maret 1962 kami resmi menikah. Upacara perkawinan itu, berlangsung sederhana, dengan mas kawin Rp.5,-. Saya ingat, yang mengawinkan kami waktu itu adalah Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Saya dinasihati untuk menjadi seorang Islam yang baik, dan mau mempelajarinya setahap demi setahap. Bapak juga dinasihati, tapi terutama soal urusan wanita, katanya. Hanya saja, meski sudah menikah secara resmi, Dewi tetap merasa terkucil. Pernikahan yang bagi setiap anak manusia semestinya menjadi pintu gerbang menuju kegembiraan, bagi Dewi malah seperti sebuah petaka yang amat menakutkan.

30

Dalam sebuah pengakuannya ia mengatakan : Awal-awal pernikahan sangat menakutkan. Aku tidak kenal dengan siapapun. Aku tidak memiliki teman. Bahkan setiap orang tidak menyukaiku hanya karena aku orang asing. Aku sangat tidak bahagia. Selain karena ketidaksukaan orang-orang tersebut, aku juga dalam masalah besar berkaitan dengan kecenderungan politikku, yang terlalu condong ke Barat, sementara istri kedua Presiden berhaluan kiri. Ia membenciku. Ia adalah istri yang memiliki kekuasaan yang besar. Penjaga istana pun ada di bawah kendalinya sehingga, tentu saja, mereka juga membenciku. Terlalu banyak kecemburuan di sekitarku. Kemalangan seperti bergumpalgumpal menerjang Dewi. Kesepiannya di Indonesia mendengar kelahirannya. belumlah berita apa-apa duka ketika dari ia

tanah yang

Dengan

kegetiran

mendalam ia bercerita : Dan aku merasa


Bagan 5 Presiden Sukarno, Dewi, Perdana Mentri Republik Rakyat Cina, Chaou En-Lai, di Istana Merdeka tahun 1964

sangat kesepian. Aku kehilangan semua anggota keluargaku. Ibuku yang sudah janda sangat kecewa dengan pernikahanku. Tidak

lama sesudah aku memeluk agama Islam dan menjadi istri Presiden, beliau meninggal. Ia meninggal karena frustrasi denganku. Pada hari yang sama kakak laki-lakiku bunuh diri. Hanya dalam waktu 26 jam aku kehilangan semuanya. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi, kecuali Presiden. Kehilangan dua orang anggota keluarga hanya dalam waktu 48 jam sungguh sesuatu peristiwa yang menyedihkan. Sukarno pun tahu itu. Kesedihan Dewi juga menjadi kesedihannya. Ia berusaha keras untuk membuat Dewi tidak kehilangan asa. Salah satu cara yang dilakukannya ialah dengan mendirikan sebuah rumah untuk Dewi. Rumah itu, yang dilandasi harapan untuk melipur lara Dewi, diberi nama sesuai dengan nama adik Dewi yang sudah pergi ke

31

alam baka, Yasso. Dan, orang pun lalu mengenal rumah tersebut sebagai Wisma Yasso, di jalan Gatot Subroto, Jakarta-Selatan. Yang sekarang menjadi Museum Satria Mandala. Setelah menikah dengan Sukarno, Dewi sedapat mungkin harus menguasai bahasa resmi suaminya. Kalau tidak bisa dituduh tidak tulus menikahi Sukarno serta tidak mau berkorban. Selain lewat bahasa Indonesia ini, Dewi juga mencoba mendekatkan dirinya dengan kebudayaan Indonesia melalui pakaian tradisional Indonesia. Dalam beberapa kesempatan resmi, Dewi mengenakan kebaya khas Jawa. Untuk membuat penampilannya sempurna, ia juga menyanggul rambutnya. Hanya kulitnya yang putih dan matanya yang agak sipit yang membuatnya berbeda dari orang Jawa pada umumnya. Ratna Sari Dewi adalah istri ketiga Presiden Sukarno, sesudah Fatmawati dan Hartini. Dari segi umur, kita mengetahui bahwa sewaktu menikah usia Naoko Nemoto 22 tahun sementara Sukarno 61 tahun. Jadi, beda umur mereka sekitar 39 tahun. Meski beda usia mereka nyaris empat dekade, namun rasa cinta di antara keduanya sangat menggelora ibarat kisah kasih anak remaja. Salah satunya nampak dengan sangat subtil dalam sebuah surat semi puisi yang ditulis Sukarno tanggal 6 Juni 1962. Salah satu bagiannya yang sangat lembut, romantis, sekaligus menggemparkan berbunyi, Kalau aku mati, kuburlah aku di bawah pohon yang rindang. Aku mempunyai seorang istri, yang aku cintai dengan segenap jiwaku. Namanya Ratna Sari Dewi. Kalau ia meninggal kuburlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu bersama aku. Masyarakat Indonesia sempat heboh begitu isinya tersebar. Mereka terhenyak dengan publikasi surat cinta tersebut. Tidak hanya membuat risih dan cemburu istri-istri Sukarno yang lain, pernyataan itu juga telah menimbulkan kesan betapa kuatnya jalinan asmara antara Sukarno dengan Ratna Sari Dewi. Selain itu, ujaran Sukarno tersebut

32

juga menunjukkan besarnya peranan Ratna Sari Dewi dalam kehidupan Sukarno. Dengan sebuah ujaran yang visible, meloncat jauh ke depan, serta menyebut identitas, Sukarno telah menabalkan nama Ratna Sari Dewi sebagai istri terpentingnya, yang bahkan kematian sekalipun tidak akan sanggup memisahkan jasad mereka. C. Setelah Kematian Sukarno Begitu sakitnya kian parah, Sukarno dibawa ke RSAD Gatot Subroto pada sore hari 16 Juni 1970. Sewaktu ia di tengah sekarat, Dewi dan Karina menjenguknya. Kala itu Dewi berkata kepada Karlina, Karina, ke sini ini Bapak, this is your father, Karina .11 Sukarno tersugesti oleh ucapan Dewi. Tangannya mendadak bergerak. Ia seperti hendak memeluk darah dagingnya yang kelahirannya tak sempat ia saksikan. Tepatnya pada hari Senin tanggal 22 Juni 1970, jenazah telah disemayamkan di rumah duka. Upacara penguburan juga sudah dipersiapkan. Di Wisma Yaso ada kelima anak Sukarno dan menantunya. Juga ada Hartini dan anak-anaknya serta Dewi dengan Karina. Meski demikian, kematian Sukarno itulah yang paling mengguncang batin Dewi. Ia kehilangan seorang suami yang sangat ia cintai. Kesedihannya semakin kentara karena Sukarno mati tidak wajar. Dewi tahu betul, status tahan rumah dan larangan mendapat kunjungan dari keluarga membuat Sukarno putus asa. Keputusasaan itu berakumulasi secara secara tragis dengan ketuaan yang mulai membayangi. Akibatnya, secara perlahan namun pasti kehidupan Sukarno menuju titik nadir. Kematian itu datang dengan sangat cepat.

11

Pasang Surut Seorang Dewi, Tempo, 15 Februari 1992, hlm. 26.

33

Kondisi politik yang tidak stabil dan kontrol yang terlalu ketat bagi anggota keluarga besar Sukarno membuat Dewi yang sangat aktif menjadi sulit bergerak. Maka, Dewi memutuskan untuk mengurusi ke luar negeri. Sama seperti ketika ia datang pertama kali ke Indonesia, kali ini Indonesia kembali menjadi negeri yang tak bersahabat baginya. Dewi tidak mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan maupun menyesuaikan diri dengan atmosfer kehidupan yang jauh berbeda dengan Indonesia. Pengalaman berpesiar ke luar negeri serta perkawanannya yang luas memudahkan segala urusannya di luar negeri. Ia datang ke Inggris, mencoba mencari kesempatan untuk hidup di sana. Tapi nasibnya kurang beruntung. Kantor imigrasi untuk hidup hanya memberikannya izin tinggal sementara yang hanya berlaku selama tiga bulan.12 Setelah Inggris, tempat lain pun dijajal. Kali ini Amerika Serikat. Sayangnya, nasib Dewi tak jauh beda. Di negeri Paman Sam itu Dewi hanya diberi nafas selama beberapa bulan saja. Akhirnya, pilihan terakhirnya jatuh ke kota Kota Paris, yang memang dengan senang hati menerimanya. Di sana Dewi tinggal di sebuah apartemen mewah di kawasan Avenue Montahgne. Daerah Avenue Montaigne sendiri merupakan wilayah paling elite di Paris.13 Selain terletak di jantung Kota Paris, lokasi Avenue Montaigne ini juga hanya berjarak sepelemparan batu dari Ron-Point des Cham

12 13

Wawancara Santai dengan Ny. Dewi Sukarno, Kompas, 9-08-10976, hlm. 1. Pasang Surut Seorang Dewi, Tempo, 15 Februari 1992, hlm. 26.

34

BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan

35

Sebagai akhir dari penulisan karya ilmiah ini, disajikan suatu kesimpulan yang berisi inti atau pokok materi yang langsung menjawab pada perumusan masalah dan disampaikan pula saran-saran sebagai pemikiran B. Saran Adapun saran-saran : C. Harapan

DAFTAR PUSTAKA

A.

Buku Zara M.Yuanda, Ratna Sari Dewi Sukarno: Sakura di Tengah Prahara, Yogyakarta:Ombak.2008

36

B.

Situs Internet

Apit Wordpress, Tragedi 30 S PKI. Artikel diakses pada 18 September 2007 dari http://apit.wordpress.com/2007/09/18/tragedi-g30spki-versi-ratnasari-dewiSukarno/ http://www.indonesiamedia.com/2010/03/01/kisah-nyata-percintaan-ratna-saridewi-dengan-mantan-presiden-sukarno-bagian-ke-3-tamat/ http://www.indonesiamedia.com/2010/02/04/kisah-nyata-percintaan-ratna-saridewi-dengan-mantan-presiden-sukarno-bagian-pertama/ http://www.indonesiamedia.com/2010/02/15/kisah-nyata-percintaan-ratna-saridewi-dengan-mantan-presiden-sukarno-bagian-ke-2/ http://www.indonesiamedia.com/2010/04/17/kartika-sari-dewi-%E2%80%93putri-dari-mantan-presiden-sukarno-dan-ibu-ratna-sari-dewi-2/

LAMPIRAN

37

BIOGRAFI PENULIS

Nama No. Induk Tempat Tanggal Lahir Alamat

: Hasan Basri : 091010057 : Sukabumi, 14 Oktober 1993 : JL. Raya Siliwangi KM 478 No.108 RT.03/01 Kaum Babakan Kec. Cicurug Kab. Sukabumi

38

43359 Jawa Barat Indonesia Orang Tua : Ayah Ibu Pendidikan Sekolah : Mamat Abdurohman : Omah Rohmah

: TK ASSAMIROH SDN 3 Cicurug MTs. Daarul Uluum Lido MA. Daarul Uluum Lido

Pengalaman Berorganisasi : Sekretaris HISADA 2010-2011 Sekretaris Angkatan

39

Anda mungkin juga menyukai