Anda di halaman 1dari 5

RINGKASAN

3 BAB DALAM BUKU


BUNG KARNO PENYAMBUNG LIDAH
RAKYAT INDONESIA
KARYA : CINDY ADAMS

Nama : Sampe Hermanto


NIM : 2101230320
Kelas : S1 ILMU HUKUM (KARYAWAN)
Semester : I (SATU)
Mat-kul : AJARAN BUNG KARNO I
Dosen : SALOMON BABYS, S.IP., M.SI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG KARNO
BAB 1
ALASAN MENULIS BAB INI

Pada Bab ini Penulis membahas apa yang menjadi motivasi penulisan buku tentang Sukarno,
memaparkan sebagai pemimpin penuh perasaan dan cinta pada tanah air, wanita, rakyat,
seni, ,melebihi dari segala-galanya, Dijelaskan pula Sukarno sebagai manusia perasaan yang
meresapi keindahan alam dan terharu oleh karya seni. Beliau menyampaikan bahwa darah
seniman dalam dirinya menjadi kekuatannya untuk memimpin Revolusi Indonesia dan
membangun negara yang bersatu.
buku ini juga menyoroti kompleksitas Sukarno bahwa beliau sulit ditebak oleh yang lain.
Bahkan seorang diplomat Inggris memberi pandangan sukarno sebagai sesuatu yang tidak
dapat dikendalikan, tidak dapat diramalkan dan tidak dapat dikuasai.
Narasi ini mencakup tekanan dan kesulitan yang dihadapi Sukarno selama kepemimpinannya,
termasuk kritik dan serangan media barat yang menganggap bahwa Sukarno adalah “budak
Moskow”. Begitu juga dengan kesulitannya tidur selama enam tahun dan penggunaan obat
tidur.
Menyoroti interaksi sehari-hari dan persepsi masyarakat terhadap Sukarno. Ia berbagi
pengalaman tentang penghargaan dari masyarakat.
Sukarno juga membahas keyakinan dan mitos di sekitarnya, serta respons terhadap kritik media
Barat. Beliau juga membela keputusannya membangun Hotel Indonesia, menjelaskan
hubungannya dengan Negara-Negara Sosialis dan mengungkapkan terima kasih kepada Rakyat
Blok Timur yang tetap menjaga wibawa Sukarno dan tidak mempermalukannya didepan
rakyatnya.
Sukarno berusaha mengubah persepsi negatif tentang Indonesia, menyatakan tujuan
kunjungannya untuk memperkenalkan negaranya kepada dunia. Dia ingin memberikan wajah
orang Indonesia kepada dunia, membahas fakta geografis dan sumber daya alam yang kurang
diketahui oleh masyarakat internasional.
Sukarno melanjutkan dengan mengungkapkan kekesalannya terhadap tuduhan dan manipulasi
gambar oleh media asing dimana sebuah majalah remaja Amerika menampilkan gambar
manipulasi seolah-olah seorang gadis telanjang berdiri di sampingnya, menciptakan kesan
cabul terhadap seorang Kepala Negara.
Hubungannya dengan Presiden John F. Kennedy, menjelaskan hubungan persahabatan erat dan
penghargaan yang diberikan Kennedy atas kecerdasannya. Sukarno mengkritik pendekatan
media terhadap pemimpin dunia, menggambarkan bagaimana ejekan dan kritik yang terlalu
tajam dapat merusak hubungan internasional.
Sukarno menyoroti perlu perlindungan terhadap pemimpin dunia di negaranya, serta kebutuhan
mereka akan kesenangan dan pelarian dari tekanan politik. Dia berbicara tentang cara ia
menikmati kehidupan dan terlibat dengan rakyat meski menjadi seorang pemimpin yang
terisolasi. Sukarno menceritakan pengalaman berjalan tanpa dikenali ditengah rakyat,
menikmati makanan di pinggir jalan, dan berinteraksi dengan mereka.
Pengalaman Sukarno di berbagai negara sangat beraneka ragam seperti Jepang dan Filipina,
memberikan pandangan tentang kehidupan santai pemimpin dunia yang terisolasi. Dia
membahas pandangan dan kebutuhannya terhadap kesenangan pribadi, serta menjelaskan
bahwa mengagumi kecantikan, terutama pada wanita, bukanlah suatu kejahatan.
Sukarno bercerita tentang pengalamannya sakit parah di Wina pada tahun 1961, dimana Dia
harus menjalani operasi pengangkatan batu ginjal sambil perang kemerdekaan Irian Barat
berlangsung.
Sukarno bertemu dengan wartawati Amerika, Cindy Adams, yang ia gambarkan sebagai wanita
yang riang, ceria, dan memahami Indonesia dengan baik. Sukarno memutuskan untuk bekerja
dengan Cindy Adams, menunjukkan pemilihan dan interaksi yang didasarkan pada insting dan
rasa pribadi Sukarno.
Sukarno merenungkan bahwa waktunya untuk menulis otobiografi telah tiba karena ia
menyadari bahwa ia sudah menua. Dia merenungkan kehilangan kemampuan fisiknya dan
menyadari bahwa kini saatnya untuk mencurahkan pengalaman hidupnya dalam sebuah kisah
hidup. Sukarno menyampaikan bahwa otobiografi adalah operasi mental baginya,
mengungkapkan luka-luka kenangan dan menggambarkan proses yang sulit dan menyakitkan.
Sukarno ingin berbagi kisah hidupnya dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang
lebih baik tentang dirinya dan Indonesia.

BAB 2
PUTERA SANG FADJAR

Ibu Sukarno memprediksi masa depan anaknya yaitu Sukarno akan cerah ditandai dengan pada
waktu kelahirannya, Ia penuh keyakinan menyatakan bahwa anaknya akan menjadi pemimpin
mulia bagi rakyat Indonesia. Kelahirannya ditandai dengan banyaknya angka 6 yaitu pada
tanggal enam bulan enam, sebagai putera dari sang fajar dan dianggap sebagai takdir baik
menurut kepercayaan Jawa.

Sukarno mengidentifikasi dirinya sebagai lambang kekembaran dengan dua sifat berlawanan:
lunak dan tegas, keras dan lembut. Dia merasa memiliki peran penting dalam Abad Revolusi
Kemanusiaan, di mana bangsa-bangsa baru di Asia dan Afrika mulai berkembang, serta negara-
negara Sosialis muncul. Ia merasa terikat pada tugas kepahlawanan di masa tersebut. Meskipun
lahir dalam keadaan cerah, cerita kelahiran Sukarno mencatat pertentangan, seperti letusan
Gunung Kelud yang diartikan dengan makna yang beragam. Meskipun tumbuh dengan sifat
yang kompleks, Sukarno merangkul semua pihak dan memimpin dengan pemahaman terhadap
berbagai perspektif.

Pada tahun 1949 Propaganda Belanda mencoba merusak citra Sukarno dengan menyebarkan
fitnah bahwa ia bukan anak asli Indonesia. Sukarno tegas menyangkal klaim tersebut dia
menyatakan bahwa satu-satunya saksi sah adalah ibu kandungnya. Sukarno sering
menyinggung keberagaman darah Indonesia, yang telah bercampur dengan berbagai etnis,
membentuk suku bangsa rumpun melayu.
Meskipun asal-usulnya dari Bali dan Jawa, ia merasa pengabdian dan perjuangannya untuk
kemerdekaan adalah warisan dari nenek moyangnya. Sejarah keluarga Sukarno mencatat
perjuangan keluarga ibu dalam Perang Puputan di Bali.
Ibu Sukarno membawa rasa kebencian terhadap Belanda hingga ke generasi berikutnya. Pada
usia lebih dari 70 tahun, ibu Sukarno memarahi pasukan gerilya yang tidak aktif, mengajak
mereka melawan Belanda. Suku bapak Sukarno memiliki sejarah patriotik, dengan neneknya
berjuang di Perang Jawa. Bapak dan Ibu Sukarno menceritakan kisah kebangsaan dan cinta
antara guru Jawa dan gadis Bali. Meskipun dihadapkan pada perbedaan suku dan agama,
mereka menikah dengan cara kawin lari dan menghadapi berbagai rintangan. Kisah cinta
mereka mencerminkan semboyan nasional Indonesia, "Bhineka Tunggal Ika" (Berbeda-beda
tetapi tetap satu).

BAB 3

MODJOKERTO: KESEDIHAN DIMASA MUDA


Penulis menggambatkan masa kanak-kanak Sukarno dimana kehidupan penuh kesulitan dan
kemiskinan. Dilahirkan dalam kondisi sulit, Sukarno tumbuh tanpa sepatu, tanpa akses ke air
mengalir, dan tanpa pengetahuan tentang sendok dan garpu. Bersama kakak perempuannya,
Sukarmini, mereka membentuk keluarga kecil dengan ayah yang memiliki gaji sangat rendah.
Ekonomi Sukarno pada waktu itu sangat sulit dan Mojokerto tidak membawa perubahan
signifikan, karena mereka tinggal di daerah yang melarat, Hari Lebaran menjadi momen sulit
karena keluarganya tidak mampu berpesta atau memberikan fitrah.

Kehidupan keluarga Sukarno pada waktu itu sangatlah miskin, mereka bergantung pada ubi
kayu sebagai makanan utama. Ibunya harus menumbuk padi sendiri setiap pagi untuk
menghemat uang. Meskipun dalam kemelaratan, ibu Sukarno tetap memiliki hati yang besar.
Ayah Sukarno, seorang guru yang keras, memberikan disiplin yang kadang-kadang dianggap
kejam. Meskipun begitu, Sukarno tetap menghormati ayahnya.

Sukarno menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana, seperti permainan dengan teman-
temannya atau mendekatkan diri pada sungai, yang tidak hanya menjadi tempat bermain
tetapi juga sumber makanan.

Kisah ini mencerminkan semangat dan kegigihan dalam menghadapi kemelaratan, sambil
menyoroti nilai-nilai keluarga, cinta kasih, dan keinginan untuk membahagiakan ibu sebagai
kekuatan pendorong dalam hidup Sukarno. penulis juga menyoroti pengorbanan ayah Sukarno
saat ia sakit tifus dimana ayah Sukarno tidur di bawah tempat tidur bambu selama dua setengah
bulan, berharap mendapatkan kesembuhan dan kekuatan mistik untuk anaknya.

Meskipun hidup dalam kondisi sulit, keluarga Sukarno menemukan kekuatan dan kebahagiaan
dalam gotong-royong, cinta kasih, dan pengorbanan satu sama lain.

Penulis juga mengisahkan asal usul nama Sukarno, yang awalnya adalah Kusno. Ayahnya,
seorang yang gandrung pada Mahabharata, memberinya nama Karna dimana salah satu
pahlawan cerita klasik orang Hindu. Namun, Karna dalam Mahabharata juga memiliki makna
'telinga', yang diberikan karena kelahirannya unik melalui telinga puteri Kunti. Dengan
bercerita, ayah Sukarno menjelaskan makna kisah di balik pemberian nama tersebut. Ayah
Sukarno berharap Kusno (atau Karna) tumbuh menjadi patriot dan pahlawan besar rakyatnya.
Nama itu kemudian berkembang menjadi Sukarno, dan ayahnya menjelaskan dalam bahasa
Jawa, huruf "A" menjadi "O". Awalan "Su" pada kebanyakan nama mereka berarti baik, paling
baik, sehingga Sukarno berarti pahlawan yang paling baik. Sukarno juga berbagi tentang ejaan
nama saat di sekolah Tionghoa, yang dieja Soekarno menurut ejaan Belanda. Setelah Indonesia
merdeka, ia memerintahkan agar ejaan "OE" kembali ke"U", sehingga ejaan Soekarno berubah
menjadi Sukarno.
Sukarno saat kecil sering sakit- sakitan dan kesulitan ekonomi keluarganya. Ayahnya harus
bergantung pada kebaikan dan keramahan tetangga, seperti keluarga Munandar yang
bersambung dengan mereka. Ketergantungan saling membantu di dalam komunitas menjadi
bagian penting dari kehidupan keluarga Sukarno.

Saat masa kecil Sukarno tinggal bersama neneknya sementara di Tulungagung, dekat
Mojokerto, yang berdagang batik. Neneknya percaya bahwa Sukarno memiliki kekuatan gaib
menyembuhkan penyakit, dan dia sering dipanggil untuk membantu orang yang sakit. Ketika
Sukarno berumur 10 tahun, kegigihan dan kepemimpinannya mulai terlihat. Dia menjadi tokoh
berkuasa di kalangan keluarganya dan bahkan memimpin pasukan kecilnya. Sukarno
menggambarkan berbagai kegiatan dan permainan yang menunjukkan semangat
kepemimpinan dan keberaniannya di kalangan teman-temannya.

Sukarno juga bercerita kegemarannya mengumpulkan gambar-gambar bintang film yang ia


simpan di dinding dengan bungkus rokok bekas. Meskipun keluarganya tidak kaya, ia merasa
memiliki harta pertama dengan menjaga koleksi tersebut dengan rajin. Sukarno juga
menceritakan pengalaman pahit Sukarno di Perkumpulan Sepakbola, dimana diskriminasi
rasial oleh anak-anak Belanda membuatnya merasa terhina. Dia tidak hanya dihindari dari
kepemimpinan, tetapi juga diperlakukan dengan tidak adil. Sukarno merasa kesedihan dan luka
hati dalam pengalaman ini. Meskipun demikian, ketika Sukarno bersekolah di Inlandsche
School, dia merasa bahagia karena dapat berinteraksi dengan teman-teman sebaya dari
kalangan Bumiputera.

Namun, tantangan baru muncul ketika bapaknya menyatakan keinginan untuk mengirimnya ke
sekolah Belanda untuk persiapan masuk sekolah tinggi Belanda. Meskipun Sukarno
meragukan keputusan tersebut, bapaknya menjelaskan bahwa pendidikan Belanda adalah
langkah awal menuju pendidikan yang lebih tinggi.

Penulis juga mengisahkan perjuangan Sukarno mengejar pendidikan Barat dan mengatasi
kendala bahasa Belanda di masa muda. Setelah ditekan Kepala Sekolah karena kemampuan
bahasa Belandanya, ayah Sukarno mengambil tindakan menurunkannya satu kelas dan
mengurangkan umurnya agar dapat bersekolah di kelas yang sesuai. Meski sulit, ayahnya
menyewa guru khusus untuk membantu Sukarno belajar bahasa Belanda.

Dalam kisah cintanya yang pertama, Sukarno mencintai seorang gadis Belanda, Rika
Meelhuysen, namun merasa sulit mengungkapkan karena takut kemarahan ayahnya. Kejadian
ini berakhir dengan kejutan, ketika ayahnya justru mendukung hubungan mereka karena
melihat sebagai kesempatan meningkatkan kemampuan bahasa Belanda.

Ayah Sukarno kemudian memastikan Sukarno melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah


tertinggi di Jawa Timur, Hogere Burger School di Surabaya, dan tinggal bersama tokoh politik
Tjokroaminoto. Ayahnya memiliki visi menjaga keseimbangan antara pendidikan Barat dan
kekentalan budaya Jawa. Sukarno diberi arahan agar tidak melupakan akarnya dan diingatkan
akan tanggung jawabnya sebagai Karno kedua.

Sukarno yang meninggalkan rumahnya usia 15 tahun untuk mengejar pendidikan lebih tinggi,
meninggalkan ibunya dengan pengertian bahwa ia tidak kembali untuk tinggal bersama mereka.
Pergi dengan sedikit perlengkapan, Sukarno menghadapi perpisahan yang sulit, tetapi dengan
tekad untuk meraih pendidikan yang diimpikan.

Anda mungkin juga menyukai