Willy Alfarius
Sungguh amat sulit membayangkan hidup selama puluhan tahun jauh dari Tanah Air
kelahiran dengan status kewargenegaraan yang telah dicabut paksa dan tanpa kepastian
kapan dapat pulang. Kira-kira demikianlah nasib ratusan bahkan ribuan orang Indonesia
yang tidak bisa kembali ke tanah kelahirannya setelah terjadinya konstelasi dan perubahan
politik Indonesia pada 1965. Mereka adalah generasi intelektual Indonesia yang dikirim
Sukarno untuk belajar ke luar negeri, terutama Eropa, dengan harapan setelah lulus dapat
kembali menjadi para terpelajar yang akan memimpin dan membangun Indonesia yang baru
saja merdeka.
Salah satu dari ribuan orang tersebut adalah Awal Uzhara, seorang mahasiswa
sinematografi yang lulus dari VGIK (Institut Sinematografi Seluruh Negara Bagian) Moskow,
sebuah kampus perfilman yang cukup bergengsi di Uni Soviet, yang kemudian membuatnya
harus hidup setengah abad lebih di negari Beruang Madu tersebut. Kutub politik Tanah Air
yang bergeser ke kanan membuat Uzhara bersama ribuan mahasiswa Indonesia lainnya di
luar negeri menjadikan mereka tertahan untuk pulang. Kisahnya kemudian dituliskan dan
dibukukan oleh Syarif Maulana, dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan,
dengan judul Nasib Manusia –seperti yang diminta oleh Uzhara sendiri.
Buku ini dimulai dengan kisah masa kecil Uzhara yang ia lalui di Kayutanam, Sumatera
Barat tempat ia dilahirkan pada 1931 dan tumbuh besar dan bersekolah di sana. Hingga
kemudian situasi yang tidak menentu terutama semasa Revolusi Kemerdekaan membuat ia
bersama keluarganya mesti meninggalkan kampung halaman dan berpindah-pindah kota
mulai dari Padangpanjang, Bukittinggi, hingga Payakumbuh. Hingga akhirnya sesudah situasi
sosial politik Indonesia membaik pasca penyerahan kedaulatan pada 1949 ia meninggalkan
1
tanah kelahirannya di Sumatera untuk kemudian menetap di Jakarta, setelah sebelumnya
sempat terdaftar sebagai mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta pada
1952.
Kehidupannya di Jakarta ini yang kemudian membuka jalannya untuk bersentuhan
dengan dunia film. Berawal dari tukang gambar properti, karirnya semakin menanjak mulai
dari pemeran figuran, asisten sutradara, hingga menjadi sutradara beberapa film di dekade
1950an. Ia bekerja di Perusahan Film Negara (PFN) dan kemudian mengenal banyak nama-
nama sutradara yang sudah cukup ternama di dekade 1950an mulai dari seperi Basuki
Effendy, bachtiar Siagian, Alam Surawidjaja, hingga Nawi Ismail. Hingga kemudian pada
1957 ia benar-benar dapat menjadi sutradara dengan memproduksi film berjudul Hari Libur
yang dibintangi oleh Bing Slamet.
Potensi dalam diri Uzhara muda ini yang kemudian membuat namanya
direkomendasikan oleh PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia), tempat Uzhara tergabung
sebagai pelaku film, untuk berangkat menempuh studi sinematografi ke Uni Soviet. Hingga
kemudian pada 1958 ia bersama tiga orang rekannya yaitu Sjumandjaja, Zubair Lelo, dan
satu orang dari Yogyakarta, berangkat menuju Moskow dan menempuh studi selama enam
tahun di sana.
Pengalaman studi Uzhara di Moskow selama hampir delapan tahun hingga lulus
tingkat magister ini yang kemudian menjadi narasi dominan dalam buku ini. Syarif
mengisahkan dengan cukup bagus proses perkuliahan yang dilalui oleh Uzhara, terutama
terkait pembuatan tugas-tugas film yang wajib dikerjakan oleh Uzhara untuk menyelesaikan
studinya. Selain itu Syarif juga merekam kehidupan sehari-hari Uzhara selama di sana,
interaksinya dengan teman-teman kelasnya, hingga perjumpaannya dengan Utuy Tatang
Sontani sebagai sesama eksil Indonesia di Uni Soviet.
Tahun-tahun genting ini yang kemudian menjadi momen sekaligus patahan penting
cerita dalam buku ini. Kedudukan Sukarno sebagai presiden perlahan dilenyapkan menyusul
terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang kemudian membuat Angkatan Darat
di bawah komando Suharto berada di atas angin. Semua yang berkaitan dengan
pemerintahan Sukarno, termasuk para mahasiswa yang belajar di luar negeri atas
rekomendasi Bung Besar menjadi terkatung-katung. Mereka dihadapkan pada buah
simalakama. Jika pulang ke Tanah Air mereka sudah pasti akan ditahan oleh pemerintah
Orde Baru. Namun jika tetap bertahan di luar negeri, kemungkinan besar paspor mereka
2
dicabut dan kehilangan kewarganegaraan (stateless). Mereka yang terus setia dan loyal
pada Bung Karno pada akhirnya banyak yang memilih opsi yang kedua, kendati konsekuensi
yang mereka terima amat sangat pahit.
3
wawancara yang dilakukan di usia Uzhara yang tidak muda lagi, sekitar 2012 setelah Uzhara
kembali ke Tanah Air dan menetap di Bandung, sehingga tentu saja ia mesti berusaha keras
menggali berbagai ingatan dari puluhan tahun silam.
Terlepas dari berbagai catatan kritis untuk buku ini, yang jelas kehadiran buku ini
sekali lagi melengkapi ratusan literatur yang sudah tersedia, baik otobiografi, biografi,
memoar, serta karya sastra mengenai para eksil Indonesia yang jumlahnya kemungkinan
mencapai ribuan orang dan tersebar di berbagai negara di Eropa dan Amerika Latin.
Misalnya saja catatan Martin Aleida berjudul Tanah Air yang Hilang (Kompas, 2016) yang
merupakan wawancara terhadap belasan eksil Indonesia di Eropa yang dalam istilah Gus Dur
disebut sebagai orang-orang klayaban. Untuk daftar lebih lengkapnya dapat dilihat pada
bibliografi pustaka eksil yang ditulis oleh Henri Chamber-Loir pada dalam Sastra dan Sejarah
Indonesia (Kepustakaan Populer Gramedia, 2016).
Pada akhirnya terbitnya Nasib Manusia sekali lagi mengingatkan kepada kita semua,
terutama negara, bahwa ada satu periode yang hingga kini belum jelas penyelesaiannya.
Suatu kebijakan negara di masa lalu yang pada akhirnya merenggut hak asasi warga
negaranya sendiri, membuat mereka tercerai dari orang-orang terdekatnya, dan menghapus
satu generasi intelektual Indonesia yang harusnya dapat membuat negara ini maju sejajar
dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Di titik ini saya kira tulisan Syarif Maulana melalui
kisah mengenai Awal Uzhara yang setengah abad lebih menjadi eksil di Rusia ini
menemukan relevansinya, terus menghidupkan dan menyalakan ingatan-ingatan yang tidak
disukai dan bahkan berusaha dihapus oleh negara.
4
Willy Alfarius. Alumnus Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta (2019). Berminat pada kajian sejarah agama, transmigrasi, dan hak asasi
manusia. Saat ini sedang melanjutkan studi master di departemen yang sama. Dapat
dihubungi melalui surel: willy.alfarius@gmail.com dan akun Twitter: @jalurgaza_