Anda di halaman 1dari 6

BIOGRAFI

Pramoedya Ananta Toer atau yang kerap disapa Pram adalah sosok sastrawan legendaris
Indonesia. Sosok Pram dikenal sebagai penulis atau sastrawan Indonesia yang aktif dan
berani dalam menyuarakan kritik beragam topik melalui karya tulisannya. Kepopuleran
karyanya membuat seorang lelaki kelahiran Blora tersebut memiliki banyak penggemar.
Pramoedya Ananta Toer terkenal sebagai pengarang novel tahun 1940-an dengan
novelnya, antara lain, Keluarga Gerilya dan Perburuan. Dia lahir di Blora, Jawa Tengah,
tanggal 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta 30 April 2006. Nama asli Pramoedya
adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek
semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Oleh karena nama keluarga Mastoer
(nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa “Mas” dari
nama tersebut dan menggunakan “Toer” sebagai nama keluarganya.
Ayahnya adalah seorang guru yang mula-mula bertugas di HIS Rembang, kemudian
menjadi guru sekolah swasta Boedi Oetomo dan menjadi kepala sekolah. Menurut Pram,
ayahnya juga mengarang prosa dalam bahasa daerah dan telah menghasilkan beberapa lagu
dalam bahasa Jawa. Selain itu, ayahnya pernah mengarang buku teks sekolah dasar yang
tidak mengikuti kurikulum pendidikan kolonial. Pada tahun 1930-an, M. Toer menulis dalam
majalah dan surat kabar yang terbit di Semarang dan Surabaya. Ia seorang penganut
nasionalis kiri yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda.
Sedangkan ibu, Saidah, anak penghulu Kabupaten Rembang dan terdidik dalam Islam
pesisir yang menurut Pram: lebih murni daripada Islam pedalaman. Saidah pernah belajar di
sekolah dasar Belanda. Ketika berumur 18 tahun, Saidah menikah dengan gurunya: M. Toer
—yang ketika itu berumur 32 tahun.
DalamI “Memoar-Hikayat Sebuah Nama” (1962) dikemukakan, bahwa dalam lingkungan
keluarganya ia dipanggil sebagai Mas Moek karena menjadi anak sulung 8 bersaudara (5
lelaki dan 3 perempuan). Atas “perintah” abang tertua itu, adiknya meletakkan nama
belakang Toer sehingga nama keluarga, yakni Pradito Toer, Koenmarjatoen Toer,
Oemisapatoen Toer, Koesaisah Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Soesilo Toer, dan Soesetyo
Toer.

RIWAYAT PENDIDIKAN PRAMUDYA ANANTA TOER

Warsa 1929, Pram masuk sekolah dasar perguruan Budi Utomo, tempat ayahnya menjadi
kepala sekolah. Ia tidak menunjukkan kemajuan berarti dalam pelajaran sehingga tiga kali
sempat naik kelas. Ayahnya masygul. Pram dikeluarkan dari sekolah dan selama setahun
ayahnya sendiri yang mengajarnya secara teliti dan keras.
Setahun kemudian Pram masuk sekolah lagi. Sejak itu, prestasinya mulai normal sampai
akhirnya lulus pada tahun 1939. Artinya, ia memerlukan waktu sepuluh tahun untuk lulus dari
sekolah itu yang diselesaikan paling lama tujuh tahun.

Terlepas dari itu, Pram tidak bersekolah selama satu tahun karena ayahnya menolak
keinginannya untuk melanjutkan pelajaran ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),
sekolah menengah pertama pada zaman kolonial Belanda.

Tahun 1940, Pram mulai belajar di Radio Vakschool Surabaya dengan biaya dari hasil
usaha ibunya berjualan padi. Sekolah itu dipilihnya karena sejak di sekolah dasar ia banyak
mempelajari bidang kelistrikan dari buku-buku pamannya, seorang mekanik yang bekerja di
Kaledonia Baru. Pada akhir tahun 1941, ia lulus dari sekolah radio tetapi tidak menerima
ijazah. Surat tanda tamat belajar itu harus dikirim dulu ke Bandung untuk verifikasi, tetapi
ternyata tidak dikembalikan.
Ia bekerja di kantor Berita Jepang Domei sebagai juru ketik. Sambil bekerja, ia
mengikuti pendidikan di Taman Siswa (1942—1943) dan mengikuti kursus di Sekolah
Stenografi (1944—1945). Selanjutnya, ia kuliah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945)
dalam mata kuliah filsafat, sosiologi, dan sejarah. Pada tahun 1945 ia keluar dari tempa
kerjanya, yaitu Kantor Berita Jepang Domei dan pergi menjelajahi Pulau Jawa.
Pada tahun 1946 Pramoedya menjadi anggota Resimen 6 Devisi dengan pangkat letnan
dua Tentara Keamanan Rakyat yang ditempatkan di Cikampek. Ia kembali ke Jakarta tahun
1947. Tanggal 22 Juli 1947 ia ditangkap marinir Belanda karena menyimpan dokumen
gerakan bawah tanah menentang Belanda. Kemudian, ia ditahan di penjara pemerintah
Belanda di Pulau Edam dan di di Bukit Duri, Jakarta, sampai tahun 1949. Pada tahun 1950—
1951 ia bekerja di Balai Pustaka sebagai redaktur. Pada tahun 1952 Pramoedya mendirikan
dan memimpin Literary dan Fitures Agency Duta sampai tahun 1954. Tahun 1953 ia pergi ke
Belanda sebagai tamu Sticusa (Yayasan Belanda Kerja Sama Kebudayaan). Tahun 1956 ia
berkunjung ke Peking, Tiongkok, untuk menghadiri peringatan hari kematian Lu Sun. Pada
tahun 1958 Pramoedya Ananta Toer anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Jakrta
(Lekra) yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Keterlibatnnya dengan Lekra
menjadikannya harus berhadapan dengan seniman yang tidak sealiran, terutama yang
menentang PKI, seperti dalam penandatanganan Manifestasi Kebudayaan. Pada tahun 1962 ia
menjabat redaktur Lentera. Selain itu, ia juga menjadi dosen di Fakultas Sastra, Universitas
Res Publika, Jakarta, sebagai dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai. Pada masa
kejatuhan Partai Komunis Indonesia, Pramoedya dibuang ke Pulau Buru karena dianggap
terlibat PKI yang saat itu PKI hendak menggulingkan pemerintah Republik Indonesia tanggal
30 September 1960. Ketika terjadi penangkapan terhadapnya, ia mendapatkan penyiksaan.
Setelah itu, ia dipenjara di Tangerang, Salemba, Cilacap, dan selama sepuluh tahun hidup di
pengasingan Pulau Buru. Karyanya yang ditulis selama dalam pengasingan itu pada
umumnya dilarang diedarkan oleh Kejaksaan Agung. Setelah rezim Orde Baru jatuh, (1998),
Pramoedya Ananta Toer dibebaskan dari pengasingan di Pulau Buru.
KARYA – KARYA PRAMUDYA ANANTA TOER

Pramoedya Ananta Toer yang mengarang sejak tahun 1940-an telah menghasilkan
banyak karya sastra, yaitu cerpen, novel, esai, dan karya terjemahan. Karya Pramoedya
banyak yang sudah diterjemahkan dalam bahasa asing, yaitu Inggris, Belanda, Prancis,
Jerman, Rusia, dan Jepang. Dalam karyanya Pram selalu menampilkan revolutionary Hero
yang menentang pelbagai situasi tidak manusiawi yang datang dari tradisi, seperti feodalisme
priayi Jawa maupun dari pihak asing seperti kolonialisme dan imperialisme.

KARYA:

a. Novel

 Sepuluh Kepala Nica (1946)


 Kranji Bekasi (1947)
 Perburuan (1950)
 Keluarga Gerilya (1950)
 Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
 Bukan Pasar Malam (1951)
 Di Tepi Kali Bekasi (1951)
 Gulat di Jakarta (1953)
 Midah, Si Manis Bergigi Emas (1954)
 Korupsi (1954)

b. Cerita Pendek

 Subuh (1950)
 Percikan Revolusi (1950)
 Cerita dari Blora (1952)
 Cerita dari Jakarta (1957)

C. Novel Terjemahan
 Tikus dan Manusia karya John Steinbeck (1950)
 Kembali kepada Cinta Kasihmu karya Leo Tolstoy (1950)
 Perjalanan Ziarah yang Aneh karya Leo Tolstoy (1956)
 Kisah Seoraang Prajurit Soviet karya Mikhail Sholokov (1956)
 Ibu karya Maxim Gorky (1956)
 Asmara dari Rusia karya Alexander Kuprin (1959)
 Manusia Sejati karya Boris Posternak (1959) Karena kreativitasnya
dalam menulis karya sastra,

Karya Pram yang penuh dengan kritik sosial menjadikannya sering keluar masuk
penjara. Pram pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa orde
lama. Kemudian selama Orde Baru ia ditahan selama 14 tahun sebagai tahanan politik tanpa
proses pengadilan. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di
Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis
cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada tahun 1948
dan 1949. Pada tahun 1950-an ia kemudian tinggal di Belanda sebagai bagian program
pertukaran budaya, dan saat kembali ia menjadi anggota Lekra.
Beberapa karya Pram dilarang untuk dipublikasikan karena dianggap mengganggu
keananan negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun Soeharto. Misalnya
pada tahun 1960-an, ia menahan pemerintahan Soeharto karena pandangannya pro-komunis
Tiongkoknya. Bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia dicabut dari peredaran, dan ia
disimpan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau
Buru di kawasan timur Indonesia. Meskipun demikian, Pram mendapatkan banyak
penghargaan dari lembaga-lembaga di luar negeri. Potret kehidupan Pram yang dibenci di
negeri sendiri tetapi dihargai dunia membuatnya tetap optimis dan tidak pernah berhenti
berkarya.

PENGHARGAAN – PENGHARGAAN PRAMOEDYA ANANTA TOER

Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu penulis terkenal Indonesia yang diakui secara
internasional. Ia telah menerima beberapa penghargaan atas karyanya yang luar biasa dalam
bidang sastra. Berikut adalah beberapa penghargaan yang diterima oleh Pramoedya Ananta
Toer:

1. Penghargaan Magsaysay (1988): Pramoedya menerima Penghargaan Magsaysay


untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Pementasan atas kontribusinya yang luar biasa
dalam bidang sastra Indonesia.
2. Penghargaan Tanda Mata Bintang Budaya Parama Dharma (1995): Ia dianugerahi
penghargaan tertinggi dalam bidang kebudayaan oleh pemerintah Indonesia, yaitu
Tanda Mata Bintang Budaya Parama Dharma.

3. Penghargaan Ramon Magsaysay (1995): Pramoedya menerima Penghargaan Ramon


Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Pementasan atas karya-karyanya yang
menggambarkan perjuangan dan kehidupan rakyat Indonesia.

4. Penghargaan Nobel Alternatif dalam Sastra (2000): Meskipun tidak secara resmi
menerima Penghargaan Nobel dalam Sastra, Pramoedya diakui oleh Right Livelihood
Award Foundation sebagai penerima Penghargaan Nobel Alternatif dalam Sastra pada
tahun 2000.

Penghargaan-penghargaan ini adalah pengakuan atas kontribusi Pramoedya Ananta Toer


dalam mengangkat isu-isu sosial dan politik melalui karya-karyanya yang kuat dan
berpengaruh. Ia dianggap sebagai salah satu penulis terbesar Indonesia dan warisan sastranya
terus dihargai hingga saat ini.

KISAH PRAMUDYA ANANTA TOER

Kisahnya sungguh tragis dan menginspirasi kalangan pegiat literasi. Selama hidupnya,
dia berada di penjara. Penjara menjadi saksi bisu dan sosok yang diteladani oleh masyarakat
luas. Sejak zaman orde baru lama telah ditahan oleh kolonial selama kurun waktu 1 tahun
lamanya. Selanjutnya, pada masa orde baru pulau Nusa-kambangan dan pulau buru menjadi
jejak beliau tanpa adanya proses keadilan.
Keadilan yang seharusnya didapat kala itu nyatanya tidak ia rasakan. Justru, hukuman
kepadanya tidak ada toleransi. Ada sebuah kabar baik bahwa pada tanggal 21 Desember
1979, beliau mendapatkan remisi atau surat pembebasan secara hukum tidak bersalah terkait
keterlibatan dalam G30S PKI. Akan tetapi, masih diberlakukan penahanan rumah, kota
bahkan negara hingga tahun 1999. Beliau harus wajib lapor kepada kodim Jakarta Timur satu
kali dalam seminggu selama kurun waktu 2 tahun.
Hasil karya yang beliau torehkan selama hidupnya berada di penjara. Salah satu karya
yang beliau tulis adalah “Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah, dan Rumah Kaca)”. Pada kondisi yang mengenaskan dengan kehidupan di jeruji
besi tidak menghalangi Pramoedya Ananta Toer untuk berhenti menulis. Beliau masih
menyempatkan waktu untuk menulis setiap harinya selama berada di penjara. Baginya,
menulis adalah tugas pribadi dan nasional, tutur Pramoedya Ananta Toer. Selama menulis
pernah dilarang hingga dibakar tulisan. Betapa sedihnya dan kecewa ketika tulisan anda tidak
dihargai justru dibakar begitu saja. Hal ini terus terulang bukan satu kali melainkan berkali-
kali karyanya di bakar oleh pihak petugas. Para petugas geram melihatnya karena tidak ingin
melihat Pramoedya Ananta Toer menyelesaikan tulisannya hingga dibukukan.
Kerja keras dari hasil usahanya dan pantang menyerah untuk berkarya untuk bumi
Pertiwi. Akhirnya menghasilkan sebuah hasil yang menganggungkan dan sangat diapresiasi.
Melalui konsistensinya menulis selama ini dan bagaimana kondisinya ia akan menulis. Dari
hasil tangannya sendiri lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dari berbagai bahasa. Bahasa
yang berhasil beliau menerjemahkan sejumlah 43 bahasa asing. Sungguh luar biasa dan
sangat inspiratif jejaknya menjadi pegiat literasi pada zaman itu. Pada zaman itu belum
adanya teknologi secanggih saat ini, sehingga hasil tulisannya berupa manual hasil
pemikirannya. Meskipun kalimat yang ditulis sulit dimengerti bagi masyarakat awam tetapi
melalui tulisannya pula terdapat hal-hal luar biasa mulai jejak dan pengalamannya telah
ditulis di dalamnya.

WAFAT PRAMUDYA ANTATOER

Kesehatan Pramoedya Ananta Toer kian memburuk. Ia dibawa ke Unit Gawat Darurat
(UGD) Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, dan sempat dipindahkan ke ruang Intensive Care
Unit (ICU). Tak lama berselang, Pram meminta pulang ke rumahnya di Utan Kayu. Hari
ketiga di rumah, setelah menyisihkan tabung-tabung dan peralatan yang merintanginya, Pram
meminta rokok kretek kesayangannya. Ia lalu mengembuskan napas penghabisan pada pukul
09.15, tanggal 30 April 2006, tepat hari ini 15 tahun lalu. Ketika penyakitnya kian parah,
Pram gemar berbicara tentang kematian. Ia acap mengatakan sudah siap dan tak takut mati
karena merasa sudah menunaikan segala yang perlu ia kerjakan. Untuk kematiannya, Pram
berpesan: “…Kalau aku mati jangan bikin apa-apa, jangan didoain segala, langsung saja
bawa ke krematorium. Bakar di sana. Abunya bawa pulang. Mau dibuang juga terserah. Tapi,
kalau bisa, wadahi dan taruh di perpustakaanku.” Pesan hanya tinggal pesan. Jenazahnya
tidak dikremasi, melainkan dikuburkan di TPU Karet Bivak setelah sebelumnya disalatkan.
Keluarga, kerabat, sejumlah aktivis dan penulis muda, hadir dalam pemakamannya. Mereka
sedih dan kehilangan, tapi juga menggalang semangat sembari menyanyikan lagu-lagu
perjuangan sebagai ucapan selamat jalan. Mereka menyanyikan “Internationale” dan lagu
yang populer dalam masa-masa perjuangan melawan kediktatoran Soeharto: “Darah Juang”.

Anda mungkin juga menyukai