NPM : 2106712271
Angkatan sastra Indonesia merupakan salah satu permasalahan yang harus dipecahkan
dalam menuliskan sejarah sastra Indonesia. Sejarah sastra Indonesia terdiri atas jajaran
periode-periode, yakni bagian waktu yang dikuasai oleh suatu sistem norma, standar, dan
konvensi sastra yang kemunculan, penyebaran, keberagaman, integrasi, dan kelenyapannya
dapat dirunut. Periode-periode tersebut memiliki hubungan yang erat dengan angkatan-
angkatan sastra. Angkatan sastra yang dimaksud adalah sekumpulan sastrawan yang
menempati satu periode tertentu dengan ide, gagasan, atau semangat yang serupa karena
interaksi antarsastrawan yang sezaman (Yudiono. 2007).
Ajip Rosidi mengelompokan waktu sejarah sastra Indonesia menjadi dua masa, yaitu
Masa Kelahiran atau Masa Penjadian (1900—1945) dan Masa Perkembangan (1945—1969).
Masa Kelahiran terbagi atas tiga periode, yaitu periode awal sampai 1933, periode 1933—
1942, dan periode 1942—1945 (Ajip Rosidi. 1969). Kemudian, Masa Perkembangan terdiri
atas tiga periode, yaitu periode 1945—1953, periode 1953—1961, dan periode 1961—1969.
Sementara, Jakob Sumardjo dalam Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia oleh Ajip Rosidi
menyusun periodisasi sejarah Indonesia menjadi Sastra Awal (1900-an), Sastra Balai Pustaka
(1920—1942), Sastra Pujangga Baru (1930—1942), Sastra Angkatan 45 (1942—1955),
Sastra Generasi Kisah (1955—1965), dan Sastra Generasi Horison (1966--) (Ajip Rosidi.
1969). Pembabakan periode sejarah sastra Indonesia masih menjadi perdebatan sehingga
banyak pendapat mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia.
Remy Sylado merupakan sebuah nama pena. Nama asli dan lengkapnya adalah
Yusbal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong. Remy Sylado lahir pada tanggal 12
Juli 1943 di Malino, Makasar, Sulawesi Selatan. Ia lahir dari keluarga gereja Christian dan
Missioanary Alliance. Ia lahir dari sepasang kekasih yang bernama Johannes Hendrik
Tambajong dan Juliana Caterina Panda. Istri Remy Sylado bernama Maria Louise
Tambayong. Remy Sylado dan istrinya tinggal di rumah ketiga mereka yang berada di jalan
Cikakawang, Bogor.
Remy lulus dari sekolah dasar di Makasar. Kemudian, ia melanjutkan sekolahnya ke
Semarang pada tahun 1954. Remy lulus SMA pada tahun 1959. Ia sempat bermain drama
saat di Semarang. Drama tersebut berjudul “Midsummer Night’s Dream” karya Shakespeare.
Kemudian, Remy melanjutkan pendidikannya di Akademi Teater Nasional (ATNI), Solo
serta di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Solo dan Akademi Bahasa Asing, Jakarta
pada tahun 1959—1962.
Remy Sylado bukan hanya seorang satrawan. Ia merupakan seniman yang serba bisa.
Remy memiliki berbagai profesi, antara lain penyair, penyanyi, pemusik, novelis, kritikus
sastra, cerpenis, wartawan, dramawan, dan dosen. Dalam hal tulis-menulis, ia tidak lepas dari
riset yang mendalam bahkan ia mengumpulkan bahan-bahan untuk novelnya hingga ke
perpustakaan luar negeri. Kegiatannya di bidang jurnalistik, yaitu menjadi wartawan harian
Sinar Harapan (1963—1965), Redaktur Pelaksana harian Tempo di Semarang (1965—1966),
bergabung di majalah Top (1973—1976), bergabung di majalah Fokus (1982—1984), dan
menjadi Redaktur di majalah Vista (1984—...). Selain itu, Remy juga menjadi dosen di
Akedemi Sinematografi Bandung sejak tahun 1971. Remy merupakan redaktur pertama rubik
Puisi Mbeling dalam majalah Aktuil di Bandung pada tahun 1972—1975.
Remy membentuk sebuah grup teater yang bernama Teater 23761 (Remy Sylado)
pada tahun 1969. Sebelumnya, Remy berkunjung ke Bandung dan bertemu dengan Fred
Wetik. Fred Wetik merupakan salah seorang tokoh di Akdemi Teater dan Film (ATF)
Bandung. Pada saat itu, Jim Lim, pemimpin ATF, telah berangkat ke Paris. Kemudian,
terbentuklah grup Teater 23761 yang di dalamnya terdapat partisan Jim Lim serta mahasiswa
Akademi Sinematografi yang berjumlah sekitar 50 orang. Remy mengajarkan Dramaturgi,
Ikonografi, dan make up di akademi itu.
Remy Sylado menguasai berbagai bahasa asing, antara lain bahasa Jepang, Arab,
Mandarin, Inggris, Belanda, dan Yunani. Remy mulai menulis sejak umur 16 tahun.
Semangatnya untuk terus menulis saat itu didorong oleh guru bahasa Indonesianya. Ia juga
gemar membaca sejak kecil dan kegemarannya itu sepertinya ikut mendukung
keberhasilannya dalam menulis. Ia sudah membaca berbagai buku “berat” sejak kecil. Ia
membaca dan membeli buku-buku teologia dan buku-buku berbahasa Inggris seta
mempelajari sejarah sampai mengagumi para tokoh sejarah. Akan tetapi, Remy sering bolos
sekolah dan lebih suka bermain daripada sekolah.
Remy juga suka dengan musik. Keluarganya adalah penggemar musik klasik terutama
karya Frederick Handel pada periode Roccoco dan Bethoven. Remy menyukai gurp musik
Led Zeppelin, Grand Funk, Railroad, and The Beatles. Aktivitas Remy di bidang musik, yaitu
sebagai pembimbing beberapa penyanyi dan perkumpulan band. Selain itu, ia juga menulis
tentang musik dan mementaskan drama karyanya, seperti Genesis, Generasi Semau Gue, dan
Mesiah II. Ayah Remy menyadari bakat anaknya dan memberi julukan kepada Remy sejak
masih kecil. Remy diberi julukan Jubal yang artinya ‘bapak musik’ oleh ayahnya.
Remy Sylado berbagai karya dalam bentuk puisi, prosa, drama, dan nonfiksi. Puisi
karya Remy Sylado, antara lain Kerygma (1999), Puisi Mbeling Remy Sylado (2004), serta
Kerygma dan Martryria (2004). Kemudian, prosa karya Remy, antara lain Gali Lobang Gila
Lobang (1977), Kita Hidup Hanya Sekali (1977), Orexas (1978), Ca Bau Kan: Hanya
Sebuah Dosa (1999), Kembang Jepun (2002), Kerudung Merah Kirmizi (2002), Pariys van
Java (2003), Menunggu Matahari Melbourne (2004), dan Sampo Kong (2004), Mimi Lan
Mintuna (2007), Namaku Mata Hari (2010), dan Hotel Prodeo (2010). Drama karya Remy
Sylado, antara lain Siau Ling (2001), Jalan Tamblong: Kumpulan Drama Musik (2010), dan
Drama Sejarah 1832 (2012). Nonfiksi karya Remy, antara lain Dasar-Dasar Dramaturgi,
Mengenal Teater Anak, Menuju Apresiasi Musik, Sosiologi Musik, dan Ensiklopeia Musik.
Metode penelitian yang saya gunakan untuk menyusun tulisan ini, yaitu metode
penelitian historis atau kesejarahan dan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian
historis merupakan metode penilitian yang kritis terhadap keadaan, perkembangan, serta
pengalaman pada masa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati mengenai
bukti validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber tersebut. Peneliti
yang menggunakan metode penelitian historis dapat menggunakan sumber-sumber kearsipan
untuk menyusun dan menceritakan kembali masa lampau. Metode penelitian deskriptif
merupakan metode penelusuran fakta dengan interpretasi yang tepat terhadap objek
penelitian. Metode penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran-
gambaran, dan fakta secara sistematik. Metode penelitian deskriptif terbagi atas metode
survei, metode deskriptif berkesinambungan, studi kasus, studi komparatif, analisis kerja dan
aktivitas, studi pustaka atau dokumentasi, serta studi waktu dan gerakan (Puji Santosa. 2015).
Metode penilitian deskriptif yang saya gunakan ialah metode deskriptif berkesinambungan.
Selama masa Orde Baru (1968—1998), ranah pedidikan Indonesia telah memakai
empat kurikulum, yaitu Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994. Kurikulum 1968
menggantikan Rencana Pendidikan 1964 rezim Soekarno dan pendidikan agama mulai
diajarkan di sekolah. Kurikulum 1975 merupakan kurikulum pertama yang memasukan
pelajaran indoktrinasi dengan mewajibkan murid menghafal butir-butir Pancasila. Kurikulum
1984 merupakan kurikulum penyempurnaan dari Kurikulum 1975 dengan menambahkan
metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) serta pelajaran indoktirnasi sejarah. Kurikulum
1994 merupakan perpaduan dari Kurikulum 175 dan 1984. Kurikulum 1994 didominasi oleh
pelajaran eksakta dan mengecilkan pelajaran kesenian di semua jenjang. Dari keempat
kurikulum tersebut, Kurikulum 1994 memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap sastra.
Pelopor Puisi Mbeling adalah Remy Sylado. Ia mencetuskan Puisi Mbeling sebagai
bagaian dari gerakan mbeling. Gerakan mbeling merupakan gerakan untuk mendobrak sikap
rezim Orde Baru yang dirasa feodal dan munafik. Puisi Mbeling ingin mendobrak pandangan
estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih sesuai dengan stilistika
yang baku. Gerakan Puisi Mbeling menganggap pandangan tersebut sebagai penghalang bagi
kaum muda untuk berkreasi secara bebas. Menurut gerakan mbeling, hal terpenting dari puisi
adalah puisi tersebut dapat menggugah kesadaran masyarakat dan memiliki faedah.
Sajak Mulut dan Kentut? dan Sajak Korupsi dalam kumpulan Puisi Mbeling karya
Remy Sylado menggambarkan bentuk puisi yang lahir pada masa Orde Baru atau Periode
Pemapaman. Sajak Mulut dan Kentut? karya Remy mengandung kata-kata yang cukup
“kasar” dan “jorok”. Dalam bait pertama Sajak Mulut dan Kentut?, terdapat kata ‘kentut’.
Dalam bait kedua Sajak Mulut dan Kentut?, terdapat kata ‘beruk’ dan ‘dungu’. Sajak Korupsi
karya Remy Sylado tidak mengandung kata-kata yang “kasar” dan “jorok”. Akan tetapi,
kedua puisi tersebut tidak memakai kata-kata kiasan yang indah, tetapi memakai kata yang
sering digunakan sehari hari. Hal tersebut sejalan dengan tujuan dari gerakan Puisi Mbeling.
Selain pemilihan kata yang lebih bebas dan berani, kedua puisi tersebut juga
membuktikan bahwa karya yang lahir pada Periode Pemapaman mengangkat isu sosial,
politik, ekonomi, dan pendidikan di Indonesia. Menurut saya, Sajak Mulut dan Kentut?
mengangkat isu pendidikan Indonesia pada masa itu. Sajak ini menggambarkan guru pada
masa Orde Baru. Hal tersebut disimpulkan berdasarkan uraian di atas mengenai kurikulum
pendidikan masa itu yang sentralistik. Para guru saat itu hanya mengajarkan hal-hal yang
eksakta dan pelajaran indoktrinasi Pancasila. Selain itu, pengajarn seni sangat terbatas. Bait
ketiga dalam sajak tersebut merupakan bait yang meyakinkan pemikiran saya dalam
membuat kesimpulan ini. Berikut bunyi bait ketiga Sajak Mulut dan Kentut? yang saya
maksud.
SAJAK KORUPSI
dan seterusnya
Duh!!!
Daftar Referensi
Ardanareswari, Indira. (2019, Juni 27). Kurikulum Orde Baru: Sentralistik, Sesak Doktrin
Miskin Seni. Tirto.id. https://tirto.id/kurikulum-orde-baru-sentralistik-sesak-doktrin-
miskin-seni-ec6f
Rahmah, Afifah (2022, April 20). Masa Orde Baru: Latar Belakang, Sistem Pemerintah, dan
Penyebab Jatuhnya. Detik.com.
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6042076/masa-orde-baru-latar-belakang-
sistem-pemerintah-dan-penyebab-jatuhnya
Rahmawati, Dewi Silvia. (2022, Mei 14). Kesusastraan Indonesia Periode Orde Baru.
Kumparan.com. https://kumparan.com/silviadewirr/kesusastraan-indonesia-periode-
orde-baru-1y3oZy4bwdd/3
Rosidi, Ajip. (1969). Ikhtisar sejarah sastera indonesia. PT Dunia Pustaka Jaya.
Santosa, Puji. (2015). Metodologi penelitian sastra: paradigma, proposal, pelaporan, dan
penarapan. Azzagrafika.
Soedjarwo. Sri Rahayu Prihatmi. & Yudiono, K., S. (2001). Puisi mbeling: kitsch dan sastra
sepintas. IndonesiaTera.
Zaidan, Abdul R. dkk. (2016). Remy Sylado (1943—...). Ensiklopedia Sastra Indonesia.
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Remy_Sylado
Zuhry, Audi Alya. (2022, April 9). Sastra Indonesia di Zaman Orde Baru. Indonesiana.id.
https://www.indonesiana.id/read/154396/sastra-indonesia-di-zaman-orde-baru