Anda di halaman 1dari 11

Nama : Afifah Luthfiani

NPM : 2106712271

Mata Kuliah : Perkembangan Sastra Indonesia

Sastra pada Masa Pemapaman (1965—1998)

Angkatan sastra Indonesia merupakan salah satu permasalahan yang harus dipecahkan
dalam menuliskan sejarah sastra Indonesia. Sejarah sastra Indonesia terdiri atas jajaran
periode-periode, yakni bagian waktu yang dikuasai oleh suatu sistem norma, standar, dan
konvensi sastra yang kemunculan, penyebaran, keberagaman, integrasi, dan kelenyapannya
dapat dirunut. Periode-periode tersebut memiliki hubungan yang erat dengan angkatan-
angkatan sastra. Angkatan sastra yang dimaksud adalah sekumpulan sastrawan yang
menempati satu periode tertentu dengan ide, gagasan, atau semangat yang serupa karena
interaksi antarsastrawan yang sezaman (Yudiono. 2007).

Ajip Rosidi mengelompokan waktu sejarah sastra Indonesia menjadi dua masa, yaitu
Masa Kelahiran atau Masa Penjadian (1900—1945) dan Masa Perkembangan (1945—1969).
Masa Kelahiran terbagi atas tiga periode, yaitu periode awal sampai 1933, periode 1933—
1942, dan periode 1942—1945 (Ajip Rosidi. 1969). Kemudian, Masa Perkembangan terdiri
atas tiga periode, yaitu periode 1945—1953, periode 1953—1961, dan periode 1961—1969.
Sementara, Jakob Sumardjo dalam Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia oleh Ajip Rosidi
menyusun periodisasi sejarah Indonesia menjadi Sastra Awal (1900-an), Sastra Balai Pustaka
(1920—1942), Sastra Pujangga Baru (1930—1942), Sastra Angkatan 45 (1942—1955),
Sastra Generasi Kisah (1955—1965), dan Sastra Generasi Horison (1966--) (Ajip Rosidi.
1969). Pembabakan periode sejarah sastra Indonesia masih menjadi perdebatan sehingga
banyak pendapat mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia.

Sejarah Indonesia mencatat peristiwa-peristiwa besar di Indonesia, seperti pergerakan


kebangsaan, Perang Dunia II, masuknya militer Jepang ke Indonesia, kekalahan Jepang di
Perang Dunia II, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, berakhirnya perang antara Indonesia
dengan Belanda, dan peristiwa G30S. Hal tersebut melahirkan angkatan-angkatan sastra baru.
Rachmat Djoko Pradopo menyusun periode sejarah sastra setelah meninjau pendapat H.B.
Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakrie Siregar, dan Ajip Rosidi. Rachmat
Djoko Pradopo menyusun periode sejarah sastra Indonesia menjadi Periode Balai Pustaka
(1920—1940), Periode Pujangga Baru (1930—1945), Angkatan 45 (1940—1955), Angkatan
50 (1950—1970), serta Angkatan 70 (1965—1984) (Yudiono. 2007).

Rumusan baru periodisasi sejarah sastra Indonesia terbentuk setelah menggunakan


momentum sosial-politik. Periodisasi tersebut dirancang berdasarkan tonggak-tonggak
pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yakni Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus
1945), geger politik dan tragedi nasional (30 September 1965), serta reformasi politik (21
Mei 1998). Ketiga momentum tersebut tidak secara langsung terkait dengan gejala-gejala
yang berkembang dalam karya sastra yang lahir pada tahun-tahun yang bersangkutan.
Momentum tersebut hanya menjadi ancangan teoritis untuk memudahkan kesejarahan
Indonesia. Dengan demikian, periodisasi sejarah sastra Indonesia berdasarkan tiga
momentum besar tersebut, antara lain Masa Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan (1900-
1945), Masa Revolusi atau Masa Pergolakan (1945-1965), Masa Pemapanan (1965-1998),
dan Masa Pembebasan (1998-sekarang) (Yudiono. 2007)

Berdasarkan uraian di atas, periodisasi sejarah sastra Indonesia memiliki beberapa


rancangan yang berbeda. Dalam menulis essay ini, saya memilih rancangan periodisasi
sejarah sastra Indonesia yang menggunakan momentum sosial-politik sebagai tonggak
perumusan periode. Saya memilih Masa Pemapaman untuk dibahas lebih lanjut dalam tulisan
ini. Pada Masa Pemapaman atau pada tahun 1965—1998, berbagai aspek kehidupan di
Indonesia, seperti sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan sedang dalam masa pemapaman.
Hal tersebut tentunya berdampak terhadap bidang sastra. Momentum peristiwa penting di
Indonesia yang menjadi tonggak dari Masa Pemapaman ialah geger politik dan tragedi
nasional yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Saya memilih dua puisi dari
kumpulan Puisi Mbeling karya Remy Sylado. Puisi yang saya pilih, yaitu Sajak Badak dan
Sajak Korupsi.

Remy Sylado merupakan sebuah nama pena. Nama asli dan lengkapnya adalah
Yusbal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong. Remy Sylado lahir pada tanggal 12
Juli 1943 di Malino, Makasar, Sulawesi Selatan. Ia lahir dari keluarga gereja Christian dan
Missioanary Alliance. Ia lahir dari sepasang kekasih yang bernama Johannes Hendrik
Tambajong dan Juliana Caterina Panda. Istri Remy Sylado bernama Maria Louise
Tambayong. Remy Sylado dan istrinya tinggal di rumah ketiga mereka yang berada di jalan
Cikakawang, Bogor.
Remy lulus dari sekolah dasar di Makasar. Kemudian, ia melanjutkan sekolahnya ke
Semarang pada tahun 1954. Remy lulus SMA pada tahun 1959. Ia sempat bermain drama
saat di Semarang. Drama tersebut berjudul “Midsummer Night’s Dream” karya Shakespeare.
Kemudian, Remy melanjutkan pendidikannya di Akademi Teater Nasional (ATNI), Solo
serta di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Solo dan Akademi Bahasa Asing, Jakarta
pada tahun 1959—1962.

Remy Sylado bukan hanya seorang satrawan. Ia merupakan seniman yang serba bisa.
Remy memiliki berbagai profesi, antara lain penyair, penyanyi, pemusik, novelis, kritikus
sastra, cerpenis, wartawan, dramawan, dan dosen. Dalam hal tulis-menulis, ia tidak lepas dari
riset yang mendalam bahkan ia mengumpulkan bahan-bahan untuk novelnya hingga ke
perpustakaan luar negeri. Kegiatannya di bidang jurnalistik, yaitu menjadi wartawan harian
Sinar Harapan (1963—1965), Redaktur Pelaksana harian Tempo di Semarang (1965—1966),
bergabung di majalah Top (1973—1976), bergabung di majalah Fokus (1982—1984), dan
menjadi Redaktur di majalah Vista (1984—...). Selain itu, Remy juga menjadi dosen di
Akedemi Sinematografi Bandung sejak tahun 1971. Remy merupakan redaktur pertama rubik
Puisi Mbeling dalam majalah Aktuil di Bandung pada tahun 1972—1975.

Remy membentuk sebuah grup teater yang bernama Teater 23761 (Remy Sylado)
pada tahun 1969. Sebelumnya, Remy berkunjung ke Bandung dan bertemu dengan Fred
Wetik. Fred Wetik merupakan salah seorang tokoh di Akdemi Teater dan Film (ATF)
Bandung. Pada saat itu, Jim Lim, pemimpin ATF, telah berangkat ke Paris. Kemudian,
terbentuklah grup Teater 23761 yang di dalamnya terdapat partisan Jim Lim serta mahasiswa
Akademi Sinematografi yang berjumlah sekitar 50 orang. Remy mengajarkan Dramaturgi,
Ikonografi, dan make up di akademi itu.

Remy Sylado menguasai berbagai bahasa asing, antara lain bahasa Jepang, Arab,
Mandarin, Inggris, Belanda, dan Yunani. Remy mulai menulis sejak umur 16 tahun.
Semangatnya untuk terus menulis saat itu didorong oleh guru bahasa Indonesianya. Ia juga
gemar membaca sejak kecil dan kegemarannya itu sepertinya ikut mendukung
keberhasilannya dalam menulis. Ia sudah membaca berbagai buku “berat” sejak kecil. Ia
membaca dan membeli buku-buku teologia dan buku-buku berbahasa Inggris seta
mempelajari sejarah sampai mengagumi para tokoh sejarah. Akan tetapi, Remy sering bolos
sekolah dan lebih suka bermain daripada sekolah.
Remy juga suka dengan musik. Keluarganya adalah penggemar musik klasik terutama
karya Frederick Handel pada periode Roccoco dan Bethoven. Remy menyukai gurp musik
Led Zeppelin, Grand Funk, Railroad, and The Beatles. Aktivitas Remy di bidang musik, yaitu
sebagai pembimbing beberapa penyanyi dan perkumpulan band. Selain itu, ia juga menulis
tentang musik dan mementaskan drama karyanya, seperti Genesis, Generasi Semau Gue, dan
Mesiah II. Ayah Remy menyadari bakat anaknya dan memberi julukan kepada Remy sejak
masih kecil. Remy diberi julukan Jubal yang artinya ‘bapak musik’ oleh ayahnya.

Mengenai proses kreatifnya, Remy mengemukakan bahwa perubahan dan


perkembangan pada publik pembaca dapat memperlihatkan cara mereka yang tidak selalu
membaca novel untuk menikmati sebuah cerita, tetapi juga menghendaki adanya suatu
gagasan pemikiran yang terkandung di dalam cerita. Oleh karena itu, sebuah novel mestinya
dipandang sebagai sebuah objek kerja riset.

Remy memperoleh penghargaan Khatulistiwa Award 2002 atas novelnya yang


berjudul Kerudung Merah Kirmizi. Kemudian, ia mendapatkan penghargaan dari Pusat
Bahasa bersama dengan Sitor Situmorang dan Sitok Srengenge pada tahun 2006. Remy
Sylado telah menulis lebih dari 50 novel dengan 20 novel anak-anak dan 30-an novel
keluarga. Selain itu, Remy juga menulis novel sejarah. Novelnya yang berjudul Cau Bau Kan
berlatar belakang kehidupan pedagang Tionghoa di tanah Jawa terutama di Jakarta telah
dijadikan film. Meskipun usia Remy semakin bertambah tua, ia tidak pernah ingin berhenti
berkarya. Ia bekerja sama dengan PT Annzora Idecitra Semarang sejak bulan Februari 2002.
Selama kerja sama tersebut berlangsung, ia membuat film berdasarkan cerita rakyat Cina
seperti Sam Poo Kong.

Remy Sylado berbagai karya dalam bentuk puisi, prosa, drama, dan nonfiksi. Puisi
karya Remy Sylado, antara lain Kerygma (1999), Puisi Mbeling Remy Sylado (2004), serta
Kerygma dan Martryria (2004). Kemudian, prosa karya Remy, antara lain Gali Lobang Gila
Lobang (1977), Kita Hidup Hanya Sekali (1977), Orexas (1978), Ca Bau Kan: Hanya
Sebuah Dosa (1999), Kembang Jepun (2002), Kerudung Merah Kirmizi (2002), Pariys van
Java (2003), Menunggu Matahari Melbourne (2004), dan Sampo Kong (2004), Mimi Lan
Mintuna (2007), Namaku Mata Hari (2010), dan Hotel Prodeo (2010). Drama karya Remy
Sylado, antara lain Siau Ling (2001), Jalan Tamblong: Kumpulan Drama Musik (2010), dan
Drama Sejarah 1832 (2012). Nonfiksi karya Remy, antara lain Dasar-Dasar Dramaturgi,
Mengenal Teater Anak, Menuju Apresiasi Musik, Sosiologi Musik, dan Ensiklopeia Musik.
Metode penelitian yang saya gunakan untuk menyusun tulisan ini, yaitu metode
penelitian historis atau kesejarahan dan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian
historis merupakan metode penilitian yang kritis terhadap keadaan, perkembangan, serta
pengalaman pada masa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati mengenai
bukti validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber tersebut. Peneliti
yang menggunakan metode penelitian historis dapat menggunakan sumber-sumber kearsipan
untuk menyusun dan menceritakan kembali masa lampau. Metode penelitian deskriptif
merupakan metode penelusuran fakta dengan interpretasi yang tepat terhadap objek
penelitian. Metode penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran-
gambaran, dan fakta secara sistematik. Metode penelitian deskriptif terbagi atas metode
survei, metode deskriptif berkesinambungan, studi kasus, studi komparatif, analisis kerja dan
aktivitas, studi pustaka atau dokumentasi, serta studi waktu dan gerakan (Puji Santosa. 2015).
Metode penilitian deskriptif yang saya gunakan ialah metode deskriptif berkesinambungan.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, periode sejarah sastra Indonesia


yang menjadi pilihan saya dalam tulisan ini adalah Masa Pemapaman. Masa Pemapaman
dirumuskan berdasarkan momen atau peristiwa geger politik dan tragedi nasional 30
September Peristiwa geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965 memberikan
dampak positif dan negatif yang telah dirasakan masyarakat hingga belasan tahun kemudian.
Peristiwa geger politik telah memisahkan masa Orde Lama dan Orde Baru. Masa Orde Lama
dianggap tidak demokratis dan kacau balau. Sementara, masa Orde Baru menjanjikan
kemapaman berdasarkan demokrasi Pancasila. Akan tetapi, demokrasi Pancasila tersebut
rupanya tidak menghasilkan kebebasan beripikir yang memuaskan. Selama belasan tahun
terakhir masa kekuasaan Orde Baru, pemasungan terhadap kreativitas juga dirasakan
(Yudiono. 2007).

Selama masa Orde Baru (1968—1998), ranah pedidikan Indonesia telah memakai
empat kurikulum, yaitu Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994. Kurikulum 1968
menggantikan Rencana Pendidikan 1964 rezim Soekarno dan pendidikan agama mulai
diajarkan di sekolah. Kurikulum 1975 merupakan kurikulum pertama yang memasukan
pelajaran indoktrinasi dengan mewajibkan murid menghafal butir-butir Pancasila. Kurikulum
1984 merupakan kurikulum penyempurnaan dari Kurikulum 1975 dengan menambahkan
metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) serta pelajaran indoktirnasi sejarah. Kurikulum
1994 merupakan perpaduan dari Kurikulum 175 dan 1984. Kurikulum 1994 didominasi oleh
pelajaran eksakta dan mengecilkan pelajaran kesenian di semua jenjang. Dari keempat
kurikulum tersebut, Kurikulum 1994 memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap sastra.

Darmaningtyas mengkritik Kurikulum 1994 sebagai kurikulum tanpa perasaan yang


membunuh cita rasa seni dalam diri siswa Indonesia. Hal tersebut diakibatkan oleh dominasi
pelajaran eksakta dan bahasa dalam semua jenjang pendidikan. Kurikulum 1994 hampir tidak
memberikan ruang untuk pelajaran seni. Dengan demikian, pola pikir mereka jadi terikat dan
tingkat kreativitas mereka menurun.

Keith Foulcher berpendapat bahwa sastra Indonesia mengalami perubahan pada


sekitar tahun 1965. Keith menyatakan bahwa terdapat pola perhatian dalam hubungan antara
perkembangan sastra, isu sosial-politik, upaya dalam menemukan ekspresi fiksi yang cocok,
menyampaikan retorika puisi, serta perdebatan mengenai hubungan antara seni dan
masyarakat. Pada masa Orde Baru, pemerintah melarang beberapa buku sastra untuk
disimpan, dibaca, diedarkan, dan dimiliki. Hal tersebut terjadi karena pemerintahan Orde
Baru menerapkan beberapa metode indoktrinasi, salah satunya adalah melarang kritikan yang
menjatuhkan pemerintah untuk menjaga stabilitas negara.

Selain kekangan dari pemerintah, keterbatasan menghasilkan karya sastra adalah


terbatasnya ruang publikasi karya. Minat anak-anak untuk berkarya yang besar tidak
sebanding dengan ruang yang tersedia. Sajak-sajak yang dikirim ke majalah tidak dapat
langsung dimuat. Pada saat itu, hanya ada satu majalah yang memuat sajak-sajak tersebut,
yakni majalah Horison. Persaingan dan perjuangan tersebut sangat sengit. Selain alasan
publikasi, ukuran kepenyairan seseorang juga terukur dari dimuat atau tidaknya karya di
majalah tersebut. Sementara, posisi beberapa penyair semakin kuat dalam perkembangan
puisi Indonesia sehingga para pemuda yang baru mulai menulis merasa tertekan. Menurut
Sapardi dalam Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas oleh Sudjarwo dkk., hal tersebut
yang melatarbelakangi kehadiran Puisi Mbeling (Sudjarwo. 2001) .

Pelopor Puisi Mbeling adalah Remy Sylado. Ia mencetuskan Puisi Mbeling sebagai
bagaian dari gerakan mbeling. Gerakan mbeling merupakan gerakan untuk mendobrak sikap
rezim Orde Baru yang dirasa feodal dan munafik. Puisi Mbeling ingin mendobrak pandangan
estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih sesuai dengan stilistika
yang baku. Gerakan Puisi Mbeling menganggap pandangan tersebut sebagai penghalang bagi
kaum muda untuk berkreasi secara bebas. Menurut gerakan mbeling, hal terpenting dari puisi
adalah puisi tersebut dapat menggugah kesadaran masyarakat dan memiliki faedah.
Sajak Mulut dan Kentut? dan Sajak Korupsi dalam kumpulan Puisi Mbeling karya
Remy Sylado menggambarkan bentuk puisi yang lahir pada masa Orde Baru atau Periode
Pemapaman. Sajak Mulut dan Kentut? karya Remy mengandung kata-kata yang cukup
“kasar” dan “jorok”. Dalam bait pertama Sajak Mulut dan Kentut?, terdapat kata ‘kentut’.
Dalam bait kedua Sajak Mulut dan Kentut?, terdapat kata ‘beruk’ dan ‘dungu’. Sajak Korupsi
karya Remy Sylado tidak mengandung kata-kata yang “kasar” dan “jorok”. Akan tetapi,
kedua puisi tersebut tidak memakai kata-kata kiasan yang indah, tetapi memakai kata yang
sering digunakan sehari hari. Hal tersebut sejalan dengan tujuan dari gerakan Puisi Mbeling.

Selain pemilihan kata yang lebih bebas dan berani, kedua puisi tersebut juga
membuktikan bahwa karya yang lahir pada Periode Pemapaman mengangkat isu sosial,
politik, ekonomi, dan pendidikan di Indonesia. Menurut saya, Sajak Mulut dan Kentut?
mengangkat isu pendidikan Indonesia pada masa itu. Sajak ini menggambarkan guru pada
masa Orde Baru. Hal tersebut disimpulkan berdasarkan uraian di atas mengenai kurikulum
pendidikan masa itu yang sentralistik. Para guru saat itu hanya mengajarkan hal-hal yang
eksakta dan pelajaran indoktrinasi Pancasila. Selain itu, pengajarn seni sangat terbatas. Bait
ketiga dalam sajak tersebut merupakan bait yang meyakinkan pemikiran saya dalam
membuat kesimpulan ini. Berikut bunyi bait ketiga Sajak Mulut dan Kentut? yang saya
maksud.

Muak aku mendengar celotehmu


Apa tak ada lain kecuali gerutu?
Apa batok kepalamu cuma berisi kutu?
Tapi kau percaya diri buat menjamu
Anak-anak yang dahaga ilmu
Sajak Korupsi mengangkat isu ekonomi dan politik Indonesia pada masa itu. Pada
masa Orde Baru, Indonesia mengalami berbagai perubahan dalam bidang politik dan
ekonomi. Ekonomi Indonesia berkembang pesat bersamaan dengan praktik korupsi yang juga
merajalela. Sebagaimana judulnya, Sajak Korupsi menyinggung kondisi politik dan ekonomi
Indonesia yang digerogoti oleh praktik korupsi. Akan tetapi, semua pihak yang terkait berkata
jika melakukan “a” maka korupsi akan teratasi, jika melakukan “b” maka korupsi dapat
dihentikan, dan sebagainya. Berikut kutipan Sajak Korupsi yang menggambarkan hal
tersebut.
presiden bilang, korupsi tak ada
jika hukum bisa ditegakkan

DPR bilang, hukum ditegakkan


jika mafianya sudah tak ada

para pakar bilang, mafia hukum bisa lenyap


jika peradilan bisa tegas
Meskipun berbagai pihak berkata demikian, korupsi tetap akan ada di Indonesia. Berikut
kutipan Sajak Korupsi yang menggambarkan hal tersebut.
saya bilang, tak bakal korupsi sirna
di negeri bernama Indonesia
selama masih ada manusia
Kemudian, Sajak Korupsi diakhiri dengan duh!!! yang menggambarkan kekesalan,
kekecewaan, kegeraman, dan kemarahan rakyat dengan praktik korupsi yang tidak kunjung
tuntas dan pihak-pihak yang berkaitan hanya bisa bicara omong kosong saja.
Berdasarkan hasil kajian yang telah dipaparkan di atas. Dapat disimpulkan bahwa
pembabakan periode dalam sejarah sastra Indonesia berbeda-beda tergantung pada tahun atau
masa perumus periodisasi sejarah sastra Indonesia itu hidup. Selain itu, hal yang menjadi
fondasi, dasar, atau tonggak dalam perumusan periodisasi sejarah sastra Indonesia juga
menyebabkan perbedaan format periodisasi. Salah satu periodisasi sejarah sastra Indonesia
menggukan peristiwa penting atau peristiwa besar Indonesia sebagai tonggak perumusan
periodisasi. Berdasarkan hal tersebut, periodisasi sejarah sastra Indonesia terdiri atas Masa
Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan (1900-1945), Masa Revolusi atau Masa Pergolakan
(1945-1965), Masa Pemapanan (1965-1998), dan Masa Pembebasan (1998-sekarang).
Karya sastra pada Masa Pemapaman terdiri dari karya-karya yang bebas dan telah
keluar dari kekangan estetika puisi yang diatur oleh stilitika yang baku. Akan tetapi hal
tersebut tidak serta merta terjadi. Sebelumnya, para penyair tidak memiliki ruang yang cukup
untuk mempublikasikan karyanya serta masih ada pandangan yang kental terhadap estetika
puisi. Pandangan tersebut berupa puisi haruslah menggunakan kata-kata yang indah.
Kemudian, Remy Sylado mencetuskan gerakan mbeling untuk mendobrak hal tersebut. Selain
itu, sajak-sajak yang terdapat di dalam kumpulan Puisi Mbeling membuktikan bahwa karya
sastra pada masa itu mengangkat isu sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan di Indonesia.
Lampiran 1

SAJAK MULUT DAN KENTUT?

apa beda mulut dan kentut


kalau empunya suka kalut
saban hari selalu kecut
saban hari carut marut
kayak gembala hilang pecut.

jengah aku melihatmu


wajah kau tekuk kayak beruk
senyum sinis katamu manis
mulut mecucu kayak tungku
lakimu benar-benar dungu
kenapa dia menyebutmu ratu

muak aku mendengar celotehmu


apa tak ada lain kecuali gerutu?
apa batok kepalamu cuma berisi kutu ?
tapi kau percaya diri buat menjamu
anak-anak yang dahaga ilmu

ah, apa kau sudah tak punya malu?


Lampiran 2

SAJAK KORUPSI

presiden bilang, korupsi tak ada


jika hukum bisa ditegakkan

DPR bilang, hukum ditegakkan


jika mafianya sudah tak ada

para pakar bilang, mafia hukum bisa lenyap


jika peradilan bisa tegas

politisi bilang, peradilan bisa tegas


jika para koruptor bisa diterabas

jaksa bilang, koruptor bisa diterabas


jika hukum tak bakal berpihak

mahasiswa bilang, hukum tak bakal berpihak


jika praktisi hukum bisa adil bertindak

aktivis bilang, hukum bisa adil


jika tak ada jual beli keadilan

mereka pada bilang, jual beli keadilan akan tak ada


jika korupsi telah hilang di muka bumi

presiden bilang, korupsi tak ada


jika hukum bisa ditegakkan

dpr bilang, hukum ditegakkan


jika mafianya sudah tak ada

dan seterusnya

saya bilang, tak bakal korupsi sirna


di negeri bernama Indonesia
selama masih ada manusia

Duh!!!
Daftar Referensi

Ardanareswari, Indira. (2019, Juni 27). Kurikulum Orde Baru: Sentralistik, Sesak Doktrin
Miskin Seni. Tirto.id. https://tirto.id/kurikulum-orde-baru-sentralistik-sesak-doktrin-
miskin-seni-ec6f

K.S, Yudiono. (2007). Pengantar sejarah sastra indonesia. Grasindo.

Rahmah, Afifah (2022, April 20). Masa Orde Baru: Latar Belakang, Sistem Pemerintah, dan
Penyebab Jatuhnya. Detik.com.
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6042076/masa-orde-baru-latar-belakang-
sistem-pemerintah-dan-penyebab-jatuhnya

Rahmawati, Dewi Silvia. (2022, Mei 14). Kesusastraan Indonesia Periode Orde Baru.
Kumparan.com. https://kumparan.com/silviadewirr/kesusastraan-indonesia-periode-
orde-baru-1y3oZy4bwdd/3

Rosidi, Ajip. (1969). Ikhtisar sejarah sastera indonesia. PT Dunia Pustaka Jaya.

Santosa, Puji. (2015). Metodologi penelitian sastra: paradigma, proposal, pelaporan, dan
penarapan. Azzagrafika.

Soedjarwo. Sri Rahayu Prihatmi. & Yudiono, K., S. (2001). Puisi mbeling: kitsch dan sastra
sepintas. IndonesiaTera.

Suhariyadi. Puisi Mbeling. Academia.edu.


https://www.academia.edu/9588052/PUISI_MBELING

Zaidan, Abdul R. dkk. (2016). Remy Sylado (1943—...). Ensiklopedia Sastra Indonesia.
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Remy_Sylado

Zuhry, Audi Alya. (2022, April 9). Sastra Indonesia di Zaman Orde Baru. Indonesiana.id.
https://www.indonesiana.id/read/154396/sastra-indonesia-di-zaman-orde-baru

Anda mungkin juga menyukai